• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENCEGAHAN INFEKSI Aspergillus flavus DAN KONTAMINASI AFLATOKSIN PADA KACANG TANAH. Astanto Kasno

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENCEGAHAN INFEKSI Aspergillus flavus DAN KONTAMINASI AFLATOKSIN PADA KACANG TANAH. Astanto Kasno"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENCEGAHAN INFEKSI Aspergillus flavus

DAN KONTAMINASI AFLATOKSIN

PADA KACANG TANAH

Astanto Kasno

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jalan Raya Kendalpayak, Kotak Pos 66, Malang 65101

ABSTRAK

Kacang tanah biasanya ditanam di lahan kering pada awal atau akhir musim kemarau, dengan cara tanam tunggal atau tumpang sari dengan jagung atau ubi kayu. Budi daya kacang tanah umumnya menggunakan teknologi sederhana (rendah pupuk dan pestisida). Kondisi daerah tropika yang lembap dapat memacu tumbuh dan berkembangnya berbagai hama dan penyakit, termasuk Aspergillus flavus, kapang penghasil mikotoksin yang dikenal dengan aflatoksin. Aflatoksin, terutama B1 diketahui sangat toksik dan bersifat karsinogenik, hepatotoksik dan mutagenik bagi manusia, mamalia, dan unggas. Pada kacang tanah, aflatoksin B1 ditemukan dalam polong segar, polong kering, biji dan berbagai produk olahan pada batas rata-rata atau membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu, upaya untuk mencegah infeksi A. flavus patut mendapat dukungan yang memadai. Infeksi A. flavus terjadi sebagai akibat dari interaksi antara varietas kacang tanah peka, A. flavus yang agresif, dan lingkungan yang kondusif. Infeksi A. flavus dan kontaminasi aflatoksin dapat ditekan dengan mencegah terjadinya interaksi tersebut. Varietas kacang tanah yang biasa ditanam petani tergolong rentan terhadap infeksi A. flavus, sementara lingkungan tumbuh relatif kondusif bagi terjadinya infeksi patogen. Oleh karena itu, pencegahan infeksi dan kontaminasi aflatoksin dapat dilakukan melalui perbaikan teknik budi daya, terutama pengairan pada periode kritis, pemenuhan kebutuhan hara dan pengendalian penyakit daun, serta pengeringan polong segera setelah panen. Pencegahan infeksi yang efektif adalah dengan menanam varietas yang tahan atau agak tahan A. flavus, seperti Jerapah, Sima, dan Turangga yang dipadu dengan perbaikan teknologi budi daya.

Kata kunci: Kacang tanah, Aspergillus flavus, aflatoksin, resisten penyakit, teknologi budi daya

ABSTRACT

Prevention of Aspergillus flavus infection and aflatoxin contamination in groundnut

Groundnut is mainly grown in dryland during the early or late dry season as monoculture or intercropped with maize or cassava. Many farmers still use local and old varieties with simple culture practices (low input of fertilizers and pesticides). Growing climate condition in the humid tropical region suits rapid growth and widespread infestation of pests and diseases, included Aspergillus flavus, a mold producing aflatoxin. The aflatoxin hazards to man and animal have been known for long time. The aflatoxin contents of groundnut and groundnut products are found on average, hazardous to human health as permissible by FAO. Therefore, any effort to prevent A. flavus and aflatoxin contamination of groundnut should be supported. Interaction among a virulence of A. flavus, susceptible groundnut variety and favorable environment are required for occurrence of disease incidence and aflatoxin contamination. Therefore, preventing the occurrence of those interaction could be considered as an effective strategy to control the mold infection and aflatoxin contamination. In general, groundnut varieties grown by farmers are susceptible to A. flavus, whereas growing condition is favorable for mold infection. If new resistant varieties to A. flavus are not available, the improvement of growing environment is necessarily applied including water management, nutritive balance, leaf disease control, proper harvest condition and pod drafting. Prevention of A. flavus infection and aflatoxin contamination will be better using moderatelly resistant or resistant varieties, such as Jerapah, Sima, and Turangga combined with improvement of cultural practices.

Keywords: Arachis hypogaea, Aspergillus flavus, aflatoxins, disease resistance, cultural methods

K

acang tanah menempati posisi teratas sebagai sumber pendapatan tunai petani kecil di Indonesia. Produksi kacang tanah tahun 1997 mencapai 685.043 ton dari luas panen 624.890 ha,

dan tahun 2001 meningkat menjadi 709.770 ton dari luas panen 654.838 ha. Peningkatan produksi kacang tanah lebih disebabkan oleh bertambahnya luas panen dengan laju rata-rata 1,33%/tahun.

Selama periode 1997−2001, produktivitas kacang tanah justru mengalami penurun-an rata-rata 0,26%/tahun, dari 1,096 t/ha tahun 1997 menjadi 1,075 t/ha biji kering tahun 2001. Stagnasi produktivitas

(2)

tersebut disebabkan tidak adanya rang-sangan untuk meningkatkan produksi dan karena rendahnya harga. Selama periode 1997−2001, harga kacang tanah terus tertekan sedangkan biaya produksi cenderung meningkat.

Neraca penyediaan dan permintaan kacang tanah pada periode 1997−2001 rata-rata negatif, artinya produksi belum dapat memenuhi permintaan dalam negeri. Neraca perdagangan kacang tanah memperlihatkan bahwa Indonesia dalam periode tersebut masih sebagai negara net importir (Manurung 2002).

Kacang tanah umumnya ditanam di lahan kering pada awal atau akhir musim kemarau, baik secara monokultur mau-pun tumpang sari dengan jagung atau ubi kayu. Produksi kacang tanah Indo-nesia sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan sebagian kecil diekspor.

Kacang tanah sebagai bahan pangan dapat menjadi substrat yang baik bagi jamur toksigenik yang menghasilkan mikotoksin. Jamur toksigenik yang bia-sa menginfeksi kacang tanah adalah

Aspergillus flavus dan A. parasiticus.

Toksin yang dihasilkan disebut dengan aflatoksin (Afla kependekan A. flavus). Di Indonesia, aflatoksin tergolong ke dalam mikotoksin utama yang banyak meng-kontaminasi produk-produk pertanian, seperti jagung, kacang tanah, bahan pakan ternak, dan produk ternak (Muhilal dan Karyadi 1985). Berbagai aflatoksin yang dihasilkan oleh jamur toksigenik tersebut adalah B1, B2, G1, dan G2. Dari jenis-jenis aflatoksin tersebut, aflatoksin B1 merupakan yang paling toksik karena bersifat karsinogenik, hepatotoksik, dan mutagenik bagi manusia, mamalia, dan unggas. Gangguan akut akibat aflatoksin adalah kanker hati yang sering berakhir dengan kematian (Mehan 1989; Swindale 1989).

Kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah di Indonesia telah dilaporkan oleh banyak peneliti. Kacang tanah dalam bentuk polong segar, polong kering, biji serta berbagai produk olahan sederhana (kacang rebus, kacang garing, bungkil, oncom) dan olahan modern (kacang atom, kacang mentega, pasta kacang) umumnya telah terkontaminasi afla-toksin B1 dengan kandungan di luar batas toleransi aman (Adenan et al. 1985; Dharmaputra et al. 1989; Bahri 2001). Menurut Bahri (2001), kacang tanah merupakan salah satu substrat

yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan berbagai kapang.

Kesadaran penduduk dunia akan keamanan pangan diwujudkan dengan menetapkan standar mutu produk (ISO 9000) dan mutu lingkungan (ISO 14000) serta ekolabel sebagai instrumen pe-ngendali nonlegal dalam interaksi pasar. Kandungan aflatoksin pada kacang tanah dapat menjadi salah satu hambatan nontarif di pasar internasional. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk me-minimumkan kandungan aflatoksin dalam rangka menghilangkan berbagai hambatan dalam pemasaran serta melindungi kon-sumen dalam dan luar negeri perlu segera dikembangkan.

INFEKSI Aspergillus flavus

DAN KONTAMINASI

AFLATOKSIN

A. flavus merupakan kapang saprofit.

Koloni yang sudah menghasilkan spora berwarna cokelat kehijauan hingga ke-hitaman. Miselium yang semula berwarna putih tidak tampak lagi (Dwidjoseputro 1981). Selain oleh A. flavus, biji kacang tanah sering terkontaminasi pula oleh A.

niger dan Penicillium sp. Varietas lokal

dan varietas unggul lama seperti Macan peka terhadap A. flavus dan jamur lain-nya (Gambar 1). Bila A. flavus telah memproduksi aflatoksin, maka biji akan terasa pahit bila dimakan. Kandungan aflatoksin yang tinggi dikenali dari warna biji yang makin cokelat dan rasa yang makin pahit pula.

Infeksi A. flavus dan produksi aflatoksin pada kacang tanah merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan

lingkungan. Polong dan biji dari varietas yang secara genetik tahan terhadap in-feksi A. flavus memperlihatkan laju perkembangan, perkecambahan, dan produksi aflatoksin yang lebih rendah dibanding varietas yang rentan pada kondisi lingkungan yang sama. Beberapa genotipe kacang tanah memiliki kulit polong dan kulit ari yang tahan terhadap penetrasi A. flavus dan A. parasiticus sehingga dapat mengurangi produksi aflatoksin dalam biji.

Mixon dan Rogers (1975) melapor-kan, koloni kapang A. flavus pada biji kacang tanah varietas PI 327409 dan PI 337394 F lebih rendah dibanding pada genotipe lain yang diujinya. Koloni A.

flavus beragam sejalan dengan

bertam-bahnya umur panen dan cara pengeringan. Biji yang dipanen terlalu muda atau terlalu tua mudah terinfeksi A. flavus. Demikian pula polong segar yang segera dikeringkan memperlihatkan tingkat in-feksi A. flavus yang lebih sedikit dibandingkan dengan polong segar yang ditunda pengeringannya. Penundaan pe-ngeringan polong segar melebihi 48 jam setelah dipanen akan meningkatkan infeksi A. flavus dan kontaminasi afla-toksin (Bartz et al. 1978; Cardona et al. 1989).

Pettit et al. (1989) menemukan adanya hubungan antara struktur dan komposisi biokimia kulit ari biji dengan kepekaannya terhadap A. flavus. Genotipe kacang tanah yang tahan A. flavus memiliki kulit ari biji dengan susunan jaringan palisade yang kompak, hilumnya kecil, lapisan lilin tebal pada permukaannya, dan mengandung senyawa serupa tanin. Mehan dan McDonald (1984) melaporkan bahwa lima genotipe kacang tanah dapat menjadi

Gambar 1. Berbagai macam koloni A. flavus (kehijauan), A. niger (hitam), dan

Penicillium sp. (keabu-abuan atau putih) pada biji kacang tanah varietas

(3)

sumber ketahanan, termasuk varietas J11. Varietas tersebut telah diintroduksi ke Indonesia untuk disilangkan dengan varietas unggul nasional dan galur tahan

A. flavus. Daya hasil keturunannya telah

pula diuji (Kasno et al. 2001a; Kasno et

al. 2002a; Kasno et al. 2002b). Ternyata

kemampuan varietas dalam menghasilkan senyawa fitoaleksin dapat menghambat pembentukan aflatoksin, dan menentukan ketahanan varietas terhadap A. flavus (Wotton dan Strange 1987; Dorner et al. 1987 dalam Pettit et al. 1989).

Faktor lingkungan yang mem-pengaruhi infeksi A. flavus dan produksi aflatoksin dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Cekaman kekeringan dan suhu tanah tergolong ke dalam faktor yang langsung berpengaruh terhadap infeksi jamur dan kontaminasi aflatoksin, sedangkan nutrisi dan serangan hama-penyakit berpengaruh tidak langsung terhadap infeksi jamur dan kontaminasi aflatoksin dalam kegiatan prapanen.

Periode Kritis Kacang Tanah

terhadap Infeksi Aspergillus

flavus

Fase pengisian biji merupakan fase pertumbuhan yang sangat sensitif ter-hadap cekaman suhu dan kekeringan. Suhu tanah optimum untuk perkembangan

A. flavus berkisar 25,70o− 31,30o C. Kisaran

suhu optimum tercapai bila tanaman mengalami cekaman kekeringan pada umur 4−6 minggu sebelum dipanen. Pada suhu 25,70o C, biji kacang tanah utuh dan sehat

akan terbebas dari infeksi A. flavus dan kontaminasi aflatoksin. Kontaminasi aflatoksin mulai terjadi pada suhu 26,30o

C, dan kandungan aflatoksin terus me-ningkat sejalan dengan peme-ningkatan suhu hingga mencapai 31,20o C. Bila suhu tanah

melebihi 31,20o C maka kontaminasi

aflatoksin tidak terjadi (Cole et al. 1989; Hill et al. 1985 dalam Ginting dan Beti 1996). Di Indonesia, kacang tanah biasa-nya ditanam pada lahan kering pada musim kemarau sehingga akan mengalami cekaman kekeringan sekaligus suhu. Oleh karena itu, peluang untuk terinfeksi A.

flavus dan terkontaminasi aflatoksin

cukup besar.

Pada fase pembentukan dan peng-isian biji, tanaman memerlukan air dan kalsium (Ca). Tanaman yang mengalami kahat air dan Ca pada fase tersebut akan menghasilkan sedikit polong isi dengan

biji keriput. Biji keriput umumnya mudah terinfeksi A. flavus. Sekitar 60% per-tanaman kacang tanah di Indonesia terdapat di lahan kering Alfisol alkalis yang meskipun kaya Ca, namun miskin hara Fe sehingga mudah mengalami klorosis. Tanaman yang mengalami klorosis memperlihatkan gejala serupa dengan kahat Ca (Taufik 2000; Sudar-yono 2001). Keadaan tersebut memberi peluang bagi infeksi jamur A. flavus dan kontaminasi aflatoksin.

Sumber Inokulum Aspergillus

flavus

Bahan tanaman yang terinfeksi me-rupakan sumber inokulum A. flavus. Pettit

et al. (1989) melaporkan bahwa infeksi A. flavus terjadi pada ginofor baik yang

masih menggantung maupun yang telah menembus tanah hingga membentuk polong dan biji. Analisis tanah pada bekas tanaman kacang tanah mendeteksi 1.000− 5.000 spora A. flavus pada setiap gram tanah (Mehan et al. 1988a)

Kesehatan tanaman yang tidak optimum akibat serangan hama dan penyakit ditengarai berasosiasi dengan kerentanannya terhadap infeksi A. flavus. Pada tanaman yang tidak sehat karena serangan penyakit layu dan hama seperti rayap dan Empoasca, biji sebelum dipanen terinfeksi A. flavus 56,40−69,80% (Ahmed et al. 1989). Dengan mem-perhatikan karakteristik varietas, musim tanam, dan teknologi prapanen yang diterapkan petani, maka besar kemung-kinan daerah sentra produksi kacang tanah di Indonesia kaya akan spora A.

flavus.

Infeksi Aspergillus flavus dan

Kontaminasi Aflatoksin

Pascapanen

Panen, pengeringan, kondisi penyimpan-an, dan lama penyimpanan berpengaruh langsung terhadap infeksi A. flavus. Infeksi jamur A. flavus dan kontaminasi aflatoksin terjadi pada biji dari tanaman yang mengalami cekaman kekeringan pada fase generatif, terutama pada 3−6 minggu menjelang panen (Cole et al. 1995). Kapang akan berkembang biak pada biji bila senyawa antimikroba, (fitoaleksin) tidak terbentuk (Basha et al. 1994). Fitoaleksin hanya terbentuk jika aktivitas air pada biji (kernel water activity/K-AW)

minimum 0,95. Dengan terbentuknya senyawa antimikroba ini, maka A. flavus yang masuk ke dalam biji akan berada pada kondisi dorman (istirahat). Sebaliknya, pada kisaran K-AW 0,80−0,95 dengan suhu 25o−36o C, A. flavus berkembang

biak dan membentuk aflatoksin (Wotton dan Strange 1987). Di Bogor, Dharmaputra

et al. (1989) menemukan bahwa 80%

contoh biji kacang tanah yang berkadar air 3,60−11% mengandung aflatoksin B1 lebih dari 30 ppb.

Kadar air biji kacang tanah pada saat panen berkisar 35−50%. Pengeringan merupakan kegiatan pascapanen yang paling kritis, terutama pada musim hujan. Musim hujan dengan cuaca mendung dan kelembapan tinggi akan memperlambat proses pengeringan menggunakan energi surya sebagaimana yang dilakukan petani di Indonesia. Kadar air substrat 15−20%, suhu 25o−30o C, dan kelembapan nisbi 85%

sangat kondusif bagi pertumbuhan dan perkecambahan A. flavus dan produksi aflatoksin (ICAR 1987 dalam Ginting dan Beti 1996). Laju produksi aflatoksin akan meningkat bila polong tidak segera dikeringkan dalam waktu 48 jam setelah panen (Cardona et al. 1989).

Kontaminasi aflatoksin sebanyak 0,43 ppm sudah terdeteksi pada polong yang dirontok secara mekanis, dijemur 4 hari bersama brangkasannya dan disimpan selama 15 hari. Pada 45 hari penyimpanan, kandungan aflatoksin men-capai 108,50 ppm (Ilangantileke dan Lagunda 1989). Dharmaputra et al. (1989) menyatakan bahwa laju infeksi A. flavus dan produksi aflatoksin sangat di-pengaruhi oleh kadar air biji. Penyimpanan biji dengan kadar air 5−8% selama 3 bulan menunjukkan kandungan aflatoksin 275 ppb (Quitco et al. 1989). Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa kacang tanah yang disimpan telah terinfeksi oleh

A. flavus sejak di lapang. Pollet et al.

(1989) melaporkan bahwa contoh kacang tanah yang diambil dari ruang simpan di tingkat petani memiliki persentase infeksi

A. flavus yang lebih rendah daripada

contoh yang diambil di pasar. Di Indo-nesia, untuk sampai ke pasar kacang tanah memerlukan waktu 40−110 hari setelah panen (Muhilal 1977 dalam Machmud 1989). Kerusakan mekanis polong saat panen karena tanah kering, perontokan, pengupasan dan akibat kegiatan prapanen merupakan pembuka jalan bagi infeksi A. flavus dan kontami-nasi aflatoksin (Blankenship et al. 1984).

(4)

STRATEGI PENGENDALIAN

Aspergillus flavus DAN

PEN-CEGAHAN KONTAMINASI

AFLATOKSIN

Infeksi A. flavus dan kontaminasi afla-toksin pada kacang tanah melibatkan tiga faktor agar terjadi kolonisasi A. flavus dan produksi aflatoksin. Ketiga faktor tersebut adalah varietas kacang tanah yang peka, jamur A. flavus yang ganas dan agresif, serta lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan, perkembangan dan produksi aflatoksin. Ketiga faktor tersebut secara sederhana dapat digambarkan sebagai segi tiga penyakit A. flavus (Gambar 2).

Segi tiga penyakit menunjukkan keharusan koinsidensi dan interaksi varietas peka, A. flavus agresif dan lingkungan kondusif untuk menimbul-kan penyakit (kolonisasi kapang). Varietas kacang tanah yang ditanam petani di Indonesia umumnya adalah varietas lokal dan varietas unggul lama yang peka terhadap A. flavus. Musim tanam pada musim kemarau, suhu tanah yang tinggi pada periode kritis, dan kebiasaan petani untuk tidak segera menjemur polong setelah panen sangat kondusif bagi infeksi A. flavus. Tampak bahwa dua dari tiga komponen segi tiga penyakit, yakni varietas peka dan lingkungan tumbuh, sangat kondusif bagi kolonisasi A.

flavus. Dengan demikian maka strategi

pencegahan atau pengendalian penyakit oleh A. flavus di Indonesia ialah dengan mengintroduksi varietas yang tahan A.

flavus dan memperbaiki lingkungan

tumbuh atau kultur teknis.

Penggunaan Varietas Tahan

Aspergillus flavus

Ketahanan merupakan tanggapan aktif dan dinamis inang terhadap patogen yang menyerangnya. Ketahanan hanya terjadi jika inang berinteraksi dengan patogen. Ketahanan dan kepekaan varietas meng-gambarkan keadaan interaksi tanaman kacang tanah sebagai inang dan A. flavus sebagai patogen. Ketahanan inang tam-pak dari taraf penyakit atau kolonisasi jamur A. flavus yang terjadi. Taraf penyakit yang rendah disebabkan oleh in-kompatibilitas inang dan patogen pada kondisi lingkungan tertentu.

Manipulasi Lingkungan Tumbuh

Manipulasi lingkungan tumbuh merupa-kan upaya untuk mencegah terjadinya interaksi kacang tanah dengan A. flavus. Interaksi tersebut terjadi sejak tanaman di lapangan dan sporanya terus terbawa polong atau biji hingga tempat penyim-panan atau pemasaran. Pettit et al. (1989) melaporkan bahwa frekuensi isolasi A.

flavus pada ginofor udara kacang tanah

sebesar 13−32%, dan pada ginofor tanah 5−22%. Pengujian pada polong tua me-nemukan hal yang sama, yakni 10−27%. Oleh karena itu, manipulasi lingkungan untuk mencegah interaksi tanaman dengan

A. flavus harus dimulai sejak tanaman di

lapang hingga penanganan pascapanen. Pengaturan waktu tanam dan peng-airan agar tanaman terhindar dari cekaman kekeringan dan suhu terbukti efektif menekan laju infeksi A. flavus (Mehan et

al. 1988b; Kasno et al. 2002a). Panen tepat

waktu juga dapat menekan laju infeksi

A. flavus. Tingkat kemasakan biji

memperlihatkan tingkat infeksi yang berbeda, demikian pula dengan varietas. Pemanenan pada saat biji masak optimum dapat mencegah infeksi A. flavus. Secara visual, biji masak penuh dapat dikenali dari warna kulit polong yang agak gelap dan bila dikupas bagian kulit polong memperlihatkan guratan hitam dengan latar belakang putih. Secara kuantitatif, masak optimum dicapai bila nisbah biji-kulit (seed-hull) telah maksimum (Mehan

et al. 1986; Trustinah 1987). Panen terlalu

awal akan menghasilkan banyak polong muda dan bila polong dikeringkan bijinya menjadi keriput dengan waktu pengeringan yang lebih lama. Biji muda lebih sensitif terhadap infeksi A. flavus dibandingkan biji tua (Rucher et al. 1994). Sebaliknya, panen terlambat akan me-nyebabkan biji melekat pada kulit polong sehingga mudah rusak bila dikupas (Trustinah dan Kasno 1992). Biji keriput dan biji rusak rentan terhadap infeksi A.

flavus (Woodrof 1983 dalam Ginting dan

Beti 1996).

Pemeraman atau penundaan pe-ngeringan polong dan biji setelah dipanen dapat memicu infeksi A. flavus. Pengolah kacang tanah umumnya hanya mau membeli polong basah jika penyimpanan di pabrik tidak lebih dari 24 jam sejak polong dipanen. Polong basah yang disimpan lebih dari 24 jam setelah panen akan menghasilkan kacang garing dengan rasa tengik akibat oksidasi minyak. Kontaminasi aflatoksin akan terjadi bila hasil panen tidak dikeringkan dalam waktu 48 jam setelah panen (Cardona et al. 1989). Oleh karena itu, mengeringkan polong basah segera setelah panen merupakan cara yang efektif mencegah infeksi A.

flavus. Di Indonesia, pengeringan

po-long basah secara tradisional dilakukan dengan pengasapan, terutama untuk panen musim hujan.

Pengeringan bertujuan menurunkan kadar air polong dan biji dari 35−40% pada saat panen (bergantung pada umur ma-sak) menjadi kadar air yang aman dari infeksi A. flavus. Kadar air biji 15−20% sangat kondusif bagi A. flavus untuk menghasilkan aflatoksin, dan pada kadar air 5−8% biji masih terkontaminasi aflatoksin setelah disimpan 3 bulan (Cardona et al. 1989; ICAR 1987 dalam Ginting dan Beti 1996). Oleh karena itu, pengeringan polong untuk mencegah infeksi A. flavus dilakukan hingga kadar

Gambar 2. Segi tiga penyakit Aspergillus flavus.

Varietas kacang tanah peka

Penyakit

Lingkungan kondusif

A. flavus

(5)

air kurang dari 5%. Namun, meskipun hal itu dapat dilakukan, suhu dan kelembapan nisbi udara di Indonesia menjadi faktor pembatas dan menghasilkan kadar air biji seimbang pada kisaran 7−9%. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa penyim-panan merupakan tahapan kritis dalam mencegah infeksi A. flavus karena kacang tanah harus disimpan pada kadar yang sangat rendah atau kadar air mutlak. Untuk itu diperlukan fasilitas penyimpanan yang canggih dengan biaya relatif mahal. Langkah praktis yang dapat dilakukan adalah dengan memperpendek waktu tempuh kacang tanah dari petani ke konsumen yang di Indonesia memerlukan waktu 40−110 hari (Muhilal dan Nurjadi 1977 dalam Machmud 1989).

PENCEGAHAN

KONTAMI-NASI AFLATOKSIN

Penggunaan Varietas Tahan

Di Indonesia telah tersedia varietas kacang tanah Jerapah dan Turangga yang toleran kekeringan dan penyakit daun (Kasno et al. 2001a; Kasno et al. 2001b; Kasno et al. 2002c). Varietas toleran kekeringan berasosiasi dengan toleransi terhadap A. flavus, sehingga penelitian diarahkan untuk memperoleh varietas yang toleran kekeringan dan tahan terhadap penyakit daun dan A. flavus. Varietas Jerapah, Sima, dan Turangga memperlihatkan reaksi agak tahan ter-hadap A. flavus dibandingkan dengan

varietas J11 (Sumartini 2000) (Tabel 1). J11 adalah varietas kacang tanah tahan

A. flavus asal ICRISAT, India dan banyak

digunakan sebagai sumber gen tahan

A. flavus oleh pemulia kacang tanah di

dunia (Mehan et al. 1987). Pada tahun 2000, varietas introduksi tersebut telah disilangkan dengan varietas Jerapah. Seleksi pada tahun 2002 mendapatkan 120 galur F7 yang memperlihatkan ke-tahanan yang lebih baik dibanding tetua tahan asal introduksi, termasuk J11 (Kasno et al. 2002b).

Pengairan pada Stadium

Reproduktif

Tanaman kacang tanah yang tercekam kekeringan pada stadium reproduktif sangat sensitif terhadap serangan A.

flavus. Cekaman kekeringan secara

langsung berpengaruh pada vigor ta-naman proliferasi A. flavus. Kondisi tanaman yang kurang sehat karena cekaman kekeringan dan tersedianya inokulum dalam jumlah cukup akan memacu infeksi dan kontaminasi afla-toksin. Kontaminasi aflatoksin terjadi bila tanaman tercekam kekeringan lebih dari 30 hari sebelum dipanen (Sanders

et al. 1985). Cekaman kekeringan

menyebabkan bunga gugur sehingga menghasilkan sedikit polong isi dengan biji keriput. Biji keriput dan biji terlalu tua mudah terinfeksi A. flavus (Trustinah dan Kasno 1992; Rucher et al. 1994). Keadaan tersebut mengisyaratkan bahwa

karakteristik lingkungan dan tanggap kacang tanah terhadap A. flavus memiliki peran penting dalam program seleksi.

Mehan et al. (1981) dan Mehan (1989) telah melakukan seleksi kacang tanah tahan A. flavus pada tanah berpasir dengan memberikan cekaman kekeringan pada stadia pembentukan polong dan pengisian biji. Genotipe kacang tanah dinyatakan tahan terhadap A. flavus bila persentase koloni kapang pada biji maksimum 15%. Metode seleksi yang sama dilakukan di Indonesia, yakni de-ngan memberikan perlakuan pengairan optimum dan suboptimum pada stadium reproduktif. Hasil penelitian menunjuk-kan bahwa pengairan nyata menemenunjuk-kan laju infeksi A. flavus. Pengairan optimum selama stadium reproduktif mampu menekan intensitas serangan jamur dari 28% (tanpa pengairan) menjadi 3% (Kasno et al. 2002a).

Mengendalikan Penyakit Daun

Karat dan bercak daun merupakan penyakit utama kacang tanah di dunia. Penggunaan varietas tahan penyakit daun dapat meningkatkan stabilitas produksi kacang tanah (Reddy et al. 1995). Di Indonesia, penyakit karat dan bercak daun terutama menyerang pertanaman musim kemarau. Kerugian hasil akibat serangan penyakit tersebut mencapai 50% (Saleh et

al. 1992).

Pada varietas rentan, pengendalian penyakit dengan fungisida Topsin M, Daconil, dan Baycor 4−6 kali semprot dapat mencegah kehilangan hasil 55− 1.007%. Tanpa pengendalian penyakit daun, hasil polong kering hanya 1,30−1,60 t/ha, dan bila penyakit dikendalikan hasilnya mencapai 2,48–2,70 t/ha (Harda-ningsih et al. 1992). Kasno (1993) me-laporkan, varietas kacang tanah toleran penyakit daun dapat menyelamatkan hasil 20%.

Serangan penyakit daun dapat meningkatkan serangan jamur A. flavus, meskipun tidak sebesar pengaruh ke-keringan. Dengan mengendalikan pe-nyakit daun, intensitas serangan A.

flavus berkurang dari 13% menjadi 7%

(Kasno et al. 2002a).

KESIMPULAN DAN SARAN

Infeksi A. flavus pada kacang tanah terjadi sejak ginofor belum menembus tanah

Tabel 1. Hasil dan ketahanan beberapa varietas kacang tanah terhadap

Aspergillus flavus.

Varietas (t/ha) Hasil Ketahananterhadap Karakter penting lainnya

A. flavus

Jerapah 2 AT Toleran kekeringan dan lahan masam,

agak tahan penyakit daun

Sima 2 AT Agak tahan penyakit daun dan

pe-nyakit layu

Turangga 2 AT Agak tahan penyakit daun dan sesuai

untuk tumpang sari

Kancil 1,85 AT Agak tahan penyakit daun dan sesuai

untuk tanah Alfisol alkalis

Bima 1,70 AT Agak tahan layu dan sesuai untuk kacang

BIGA

J11 (kontrol) 1,60 T

(6)

hingga polong dan biji disimpan. Pada lingkungan yang sesuai, jamur ini akan menghasilkan aflatoksin.

Strategi pencegahan infeksi A. flavus dan kontaminasi aflatoksin dalam jangka pendek adalah dengan memperbaiki teknologi prapanen terutama pengairan pada stadium reproduktif, pemenuhan kebutuhan hara, dan pengendalian pe-nyakit daun, serta perbaikan teknologi panen dan pascapanen terutama

pe-DAFTAR PUSTAKA

Adenan, H., S. Tsuboi, K. Kawamura, M.L. Cruz, H.W. Soeliadi, dan H. Suharto. 1985. Peranan aflatoksin B1 pada karsinoma hepatoseluler. Makalah dipresentasikan pada Kongres PPHI, PGI. PEGI di Palembang, 1−3 Agustus 1985.

Ahmed, N.E., Y.M.E. Younis, and K.M. Malik. 1989. Aspergillus flavus colonization and contamination of groundnut in Sudan, p. 255−262. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India.

Bahri, S. 2001. Mewaspadai cemaran mikotoksin pada pakan dan produk peternakan di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. 15 hlm.

Bartz, J.A., A.J. Norden, J.C. LaPrade, and T.J. Demuynk. 1978. Seed tolerance in peanut to members of the Aspergillus flavus group fungi. Peanut Sci. 2: 53−56.

Basha, S.M., B.J. Cole, and S.K. Pancholy. 1994. A phytoalexin and aflatoxin producing peanut seed culture system. Peanut Sci. 21: 130−134.

Blankenship, P.D., R.J. Cole, T.H. Sanders, and R.A. Hill. 1984. Effect of geocarpospere temperature on preharvest colonization of drought stress peanut by Aspergillus flavus and subsequent aflatoxin contamination. Mycopathologia 85: 69−74.

Cardona, T.D., S.G. Ilangantileke, and A. Noomhorm. 1989. Aflatoxin research on grain in Asia: Its problems and possible solution. Proc. of the 12th ASEAN Seminar

on Grain Postharvest Technology AGPP. Bangkok. p. 378−394.

Cole, R.J., T.H. Sanders, J.W. Dorner, and P.D. Blankkenship. 1989. Environmental con-dition required to induce preharvest aflatoxin contamination of groundnut: Summary of six year’s research. p. 279−287. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.).

Asper-gillus flavus and Aflatoxin Contamination

of Groundnut. ICRISAT, India.

Cole, R.J., J.W. Dorner, and C.C. Holbrook. 1995. Advances in mycotoxin elimination

and resistance. p. 456−474. In Advance Peanut. Sci. Champer 13.

Dharmaputra, O.S., H.S.S. Tjitrosomo, H. Susilo, and Sulaswati. 1989. Aspergillus flavus and aflatoxin in peanut collected from three markets in Bogor, West Java, Indonesia. Proc. of the Twelfth ASEAN Seminar on Grain Postharvest Technology in Surabaya, 29−31 August, 1989. p. 111.

Dwidjoseputro. 1981. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Jambatan, Jakarta. hlm. 134−135. Ginting, E. dan J.A. Beti. 1996. Upaya penyedia-an bahpenyedia-an baku bebas aflatoksin mendukung agroindustri kacang tanah. hlm. 388−406.

Dalam N. Saleh, K.H. Hendroatmodjo,

Heriyanto, A. Kasno, A.G. Manshuri, dan A. Winarto (Penyunting). Risalah Seminar Nasional Prospek Pengembangan Agribisnis Kacang Tanah di Indonesia. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 18−19 Desember 1995. Edisi Khusus Balai Pe-nelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 7.

Hardaningsih, S., N. Saleh, dan. K.E. Neering. 1992. Pengendalian kimiawi penyakit bercak daun dan karat kacang tanah di Tuban. hlm. 77−81. Dalam T. Adisarwanto, Sunardi, dan A. Winarto (Penyunting). Risalah Seminar Hasil Penelitian Kacang Tanah di Tuban 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang.

Ilangantileke, S.G. and R.E.A. Lagunda. 1989. A study on-farm groundnut postharvest handling systems. Proc. of the Twelfth ASEAN Seminar on Grain Postharvest Technology, Bangkok. p. 138−146. Kasno, A. 1993. Toleransi galur-galur harapan

kacang tanah terhadap penyakit daun. hlm. 141−147. Dalam Suharsono, B.S. Radjit, Y.A. Bety, A. Kasno, dan A. Winarto (Penyun-ting). Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1993. Malang 17−

19 Februari 1993. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang.

Kasno, A., N. Nugrahaeni, J. Purnomo, Sumar-tini, dan Trustinah. 2001a. Pembentukan varietas kacang tanah hasil stabil dan

beradaptasi luas. Studi kasus varietas Jerapah. Buletin Palawija No.1: 1−14.

Kasno, A., N. Nugrahaeni, J. Purnomo, Trustinah, dan H. Prasetyono. 2001b. Kacang tanah varietas Sima tahan cekaman lingkungan biotik dan abiotik. hlm. 192−203. Dalam A. Kasno, S. Lamadji, N. Basuki, D.M. Arsyad, R. Mardjojo, Mirzawan, Baswarsiati, dan Sudjindro (Penyunting). Kontribusi Pe-muliaan dalam Inovasi Teknologi Ramah Lingkungan. Prosiding Simposium Pe-muliaan VI. Malang, 28 Agustus 2001. Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) Komda Jawa Timur.

Kasno, A., Trustinah, J. Purnomo, dan Moedji-ono. 2002a. Seleksi galur kacang tanah toleran kekeringan, tahan penyakit daun dan

Aspergillus flavus. Laporan Teknik Tahun

2002 Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang.

Kasno, A., N. Nugrahaeni, J. Purnomo, dan Sumartini. 2002b. Tanggap fenotipik dan genotipik beberapa varietas kacang tanah dan populasi keturunannya terhadap cen-dawan Aspergillus flavus, hlm. 401−409.

Dalam IK. Tastra, J. Soejitno, Sudaryono,

D.M. Arsyad, M. Sudardjo, Heriyanto, J.S Utomo, dan A. Taufik (Penyunting). Pe-ningkatan Produktivitas, Kualitas, Efisiensi dan Sistem Produksi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Risalah Seminar Hasil Penelitian, Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 24−25 Juli 2001.

Kasno, A., J. Purnomo, N. Nugrahaeni, dan H. Prasetyono. 2002c. Turangga varietas ka-cang tanah adaptif pada cara tanam tumpang sari. hlm. 421−437. Dalam IK. Tastra, J. Soejitno, Sudaryono, D.M. Arsyad, M. Sudardjo, Heriyanto, J.S. Utomo, dan A. Taufik (Penyunting). Peningkatan Produk-tivitas, Kualitas, Efisiensi dan Sistem Produksi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Risalah Seminar Hasil Pe-nelitian, Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 24−25 Juli 2001. Machmud, M. 1989. Groundnut aflatoxin problems

in Indonesia. p. 215−222. In D. McDonald ngeringan polong segera setelah panen.

Upaya tersebut akan lebih efisien jika dipadu dengan penggunaan varietas unggul kacang agak tahan infeksi A. flavus seperti Jerapah, Sima, dan Turangga.

Untuk mencegah kontaminasi afla-toksin, dalam jangka pendek disarankan untuk menyosialisasikan pengendalian penyakit karat dan bercak daun terutama kepada petani yang masih menggunakan varietas lokal atau unggul lama.

Pe-mupukan dan pengairan pada 60−80 hari setelah tanam juga perlu dilakukan. Panen sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah dan polong yang telah dipanen segera dikeringkan. Sosialisasi bahaya aflatoksin kepada petani dan pengolah kacang tanah serta menguji kandungan aflatoksin pada produk kacang tanah sebelum dipasarkan juga diperhatikan.

(7)

production, p. 324−334. In D. McDonald, and V.K. Mehan (Eds.). Aspergillus flavus Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India.

Mixon, A.C. and K.M. Rogers. 1975. Factors affecting Aspergillus flavus Link ex Fr. Colonization of resistant and susceptible genotypes of Arachis hypogaea L. Peanut Sci. 2: 18−22.

Muhilal and Karyadi. 1985. Aflatoxin in nuts and grains. Gizi Indonesia X(1): 75−79. Pettit, R.E., H.A. Azaizeh, R.A. Taber, J.B.

Szerszen, and O.D. Smith. 1989. Screening groundnut cultivars for resistance to

Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus,

and aflatoxin contamination. p. 191−303.

In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.).

Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India.

Pollet, A., C. Declert, W. Wiegant, J. Harkena, and Els de Lisdonk. 1989. Traditional groundnut storage and aflatoxin problems in Cote d’Ivoire: Ecolocigal approach. p. 263−268. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Ground-nut. ICRISAT, India.

Quitco, R., L. Bautista, and C. Bautista. 1989. Aflatoxin contamination of groundnut at post-production level of operation in the Philippines. p. 101−110. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aspergillus flavus Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India.

Reddy, L.J., S.N. Nigam, and A.G.S. Reddy. 1995. Stability of pod yield in foliar diseases resistant groundnut varieties. International Arachis Newsletter No. 15.

Rucher, K.S., C.K. Kiven, G. Velidis, N.S. Hill, and J.K. Sharpe. 1994. A visual method of determining maturity of shelled peanuts. Peanut Sci. 21(2): 143−146.

Saleh, N., Supriyatin, Marwoto, dan S. Harda-ningsih. 1992. Status hama dan penyakit tanaman kacang tanah di Kabupaten Tuban dan pengendaliannya. hlm. 63−70. Dalam T. Adisarwanto, Sunardi, dan A. Winarto (Penyunting). Risalah Seminar Hasil Pe-nelitian Kacang Tanah di Tuban 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Sanders, T.H., R.J. Cole, P.D. Blankenship, and

R.A. Hill. 1985. Relation of environment stress duration to Aspergillus flavus invasion and aflatoxin production in preharvest peanuts. Peanut Sci. 12(2): 90.

Sudaryono. 2001. Pemberdayaan Alfisol dengan ZK plus untuk meningkatkan hasil kacang tanah. Buletin Palawija 1: 50−58. Sumartini. 2000. Evaluasi ketahanan varietas

kacang tanah terhadap cendawan Aspergillus

flavus. Laporan Teknis Tahun 2000 Balai

Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 7 hlm.

Swindale. L.D. 1989. A general overview of the problem of aflatoxin contamination of groundnut. p. 3−10. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India.

Taufik, A. 2000. Status hara makro dan hara mikro tanah Alfisol di sentra produksi kacang tanah. Penelitian Pertanian 19: 81−

90.

Trustinah. 1987. Perkembangan polong kacang tanah (Arachis hypogaea L.) pada berbagai umur panen. Penelitian Palawija 2: 56−60. Trustinah dan A. Kasno. 1992. Indeks masak

galur kacang tanah F6. Penelitian Palawija 7(1): 70−78.

Wotton, H.R. and R.N. Strange. 1987. Cir-cumstantial evidence for phytoalexin in-volvement in the resistance of peanuts to

Aspergillus flavus. J. General Microbiol.

131: 487−494. and V.K. Mehan (Eds.). Aspergillus flavus

Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India.

Manurung, R.M.H. 2002. Tantangan dan peluang pengembangan tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian dalam rangka mendukung ketahanan pangan. hlm. 19−40. Dalam M. Jusuf, J. Soejitno, Sudaryono, D.M. Arsyad, A.A. Rahmianna, Heriyanto, Marwoto, IK. Tastra, M.M. Adie, dan Hermanto (Penyun-ting). Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Ketahanan Pangan. Risalah Seminar Hasil Penelitian, Balai Penelitian Kacang-ka-cangan dan Umbi-umbian, 25−26 Juni 2002. Mehan, V.K., D. McDonald, S.N. Nigam, and B. Lalitha. 1981. Groundnut cultivars with seed resistance to invasion by Aspergillus flavus. Oleagineux 36: 501−505.

Mehan, V.K. and D. McDonald. 1984. Research on the aflatoxin in groundnut at ICRISAT. Plant and Soil 79: 255−260.

Mehan, V.K., D. McDonald, N. Ramakrisna, and J.H. Williams. 1986. Effect of genotype and date of harvest on infection of peanut seed by Aspergillus flavus and subsequent contamination with aflatoxin. Peanut Sci. 13: 46−50.

Mehan, V.K., D. McDonald, and K. Rajagopalar. 1987. Resistance of peanut to seed invasion by Aspergillus flavus in field trials in India. Peanut Sci. 14: 17−21.

Mehan, V.K., D. McDonald, and N. Ramakrisna. 1988a. Effect of adding inoculum by

Aspergillus flavus to pod zone soil on seed

infection and aflatoxin contamination of peanut genotypes. Oleagineux 43: 21−28. Mehan, V.K., R.C. Nageswara Rao, D. McDonald,

and J.H. Williams. 1988b. Management of drought stress to improve field screening of peanuts for resistance to Aspergillus flavus. Phyophatology 78: 659−663.

Mehan, V.K. 1989. Screening groundnut for resistance to seed invasion by and to aflatoxin

Gambar

Gambar 1. Berbagai macam koloni A. flavus (kehijauan), A. niger (hitam), dan Penicillium sp

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Konsentrasi Aflatoksin dan Kontaminan Asperqillus flavus NRRL 4098 Selama Tahap Fermentasi Bungkil Kacang Tanah Oleh Rhizopus oligosporus NRRL 2710 Terhadap

Pada masa pandemi Covid-19, pemenuhan fasilitas untuk menunjang pencegahan dan pengendalian infeksi Covid- 19 harus dilakukan terutama dengan menyediakan fasilitas