• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lokasi Penelitian"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lokasi Penelitian

Secara administratif, Desa Gelang termasuk dalam wilayah Kecamatan Rakit, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Luas Desa Gelang adalah 187.800 ha atau 5,79 persen dari luas total Kecamatan Rakit. Sebagian besar wilayah di Desa Gelang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian yang terdiri atas berbagai macam jenis yaitu padi, kelapa, sayuran, buah (jeruk) dan hasil pertanian lainnya. Desa Gelang merupakan desa yang memiliki tanaman melati gambir terbanyak di Kabupaten Banjarnegara. Setiap tahunnya, melati yang dihasilkan di Desa Gelang sebanyak ±6 ton/ha/tahun dengan harga per kilogramnya yang tidak menentu setiap waktu. Pada saat dilakukan pengambilan data, harga melati gambir adalah Rp 23.000,00/kg dengan pembagian Rp 10.000/kg untuk buruh pemetik dan Rp 13.000/kg untuk petani atau pemilik lahan melati gambir.

Data terakhir pada Tahun 2010, jumlah penduduk Desa Gelang adalah 4.190 orang yang terdiri atas 2.177 laki-laki dan 2.013 perempuan dengan 1.130 Kepala Keluarga. Pekerjaan mayoritas penduduk di Desa Gelang adalah sebagai petani dan petani penggarap (buruh tani). Pekerjaan selanjutnya yang banyak dimiliki adalah buruh bangunan, buruh industri, dan pedagang. Hanya terdapat beberapa orang saja yang memiliki pekerjaan sebagai PNS. Sampai tahun 2008, jumlah rumah tangga miskin di Desa Gelang sebanyak 30,45 persen dari total rumah tangga.

Fasilitas pendidikan yang terdapat di Desa Gelang antara lain enam Taman Kanak-kanak (TK), dua Play Group (PG), tiga Raudatul Aftal (RA), lima Sekolah Dasar (SD), dan dua Madrasah Ibtidai‟yah (MI). Sementara itu, untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdapat sebuah yayasan yang dibangun yaitu Yayasan Pendidikan Ma‟arif yang memberikan pendidikan gratis. Sampai Tahun 2010, penduduk di Desa Gelang yang berumur 18-56 tahun yang berhasil menempuh pendidikan hingga SD sebanyak 980 orang, tamat SMP sebanyak 367 orang, tamat SMA sebanyak 287 orang, dan tamat Perguruan Tinggi sebanyak 63 orang.

(2)

Karakteristik Demografi Keluarga

Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga atau besar keluarga merupakan jumlah seluruh anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan orang tua. Menurut BKKBN, besar keluarga digolongkan menjadi tiga yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar. Keluarga kecil adalah keluarga dengan jumlah anggota tidak lebih dari empat orang. Keluarga sedang memiliki jumlah anggota sebanyak lima hingga enam orang sedangkan keluarga besar memiliki jumlah anggota lebih dari enam orang. Tabel 3 memperlihatkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh (51,51%) termasuk dalam keluarga kecil, sisanya yaitu sebesar 37,87 persen dan 10,62 persen merupakan keluarga sedang dan keluarga besar. Jumlah anggota keluarga terkecil adalah tiga orang dan jumlah terbanyak adalah sembilan orang. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka beban orang tua untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarga juga akan semakin besar.

Tabel 3 Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga Keluarga

n %

Keluarga kecil (≤4 orang) 34 51,51

Keluarga sedang (5-6 orang) 25 37,87

Keluarga besar (≥7 orang) 7 10,62

Total 66 100,00

Min-max (orang) 3-9

Rataan±SD (orang) 4,67±1,35

Tipe Keluarga

Tipe keluarga dibedakan menjadi keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain seperti kakek, nenek, cucu, menantu, dan lain-lain. Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat sebesar 83,33 persen keluarga yang merupakan keluarga inti dan sebesar 16,67 persen keluarga yang merupakan keluarga luas.

Tabel 4 Sebaran keluarga berdasarkan tipe keluarga

Tipe keluarga Keluarga

n %

Keluarga inti 55 83,33

Keluarga luas 11 16,67

(3)

Usia Suami dan Istri

Usia suami dan istri dikelompokkan menjadi tiga yaitu dewasa muda, dewasa tengah dan dewasa tua (Hurlock 1980). Tabel 5 menunjukkan bahwa usia suami berada pada rentang 28 sampai dengan 65 tahun dengan rataan 44,05 tahun. Terdapat sebesar 57,57 persen keluarga yang memiliki suami pada usia dewasa tengah dan sebanyak 40,90 persen keluarga dengan suami berada pada usia dewasa muda. Hanya 1,53 persen keluarga dengan suami pada usia dewasa tua.

Tabel 5 Sebaran keluarga berdasarkan usia suami dan istri

Usia Suami Istri

n % n %

Dewasa muda (18-40 tahun) 27 40,90 40 60,60

Dewasa tengah (41-60 tahun) 38 57,57 26 39,40

Dewasa tua (>60 tahun) 1 1,53 0 0,00

Total 66 100,00 66 100,00

Min-max (tahun) 28-65 24-56

Rataan±SD (tahun) 44,05±8,17 39,38±7,63

Berbeda dengan usia suami, sebanyak 60,60 persen keluarga memiliki istri pada usia dewasa muda. Sisanya, yaitu 39,40 persen keluarga dengan istri usia dewasa tengah yaitu sebanyak 39,40 persen. Hanya terdapat 1,53 keluarga dengan istri yang berada pada usia 24 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa baik umur suami maupun umur istri berada pada usia produktif.

Usia Anak

Rentang usia anak sekolah dalam penelitian ini adalah 3-18 tahun. Rentang usia ini diambil berdasarkan usia seorang anak yang mulai mengenal pendidikan baik formal maupun non-formal sejak dini. Tabel 6 memperlihatkan bahwa rentang usia anak dibagi menjadi empat yaitu pra sekolah, anak usia sekolah, remaja, dan dewasa. Jumlah total anak sekolah yang dimiliki keluarga contoh adalah 100 anak. Lebih dari separuh anak keluarga contoh adalah anak usia sekolah dasar (56,00%). Urutan kedua adalah anak keluarga contoh dengan usia anak remaja (26,00%) dan terdapat masing-masing sembilan persen anak keluarga contoh yang berada pada usia pra sekolah dan dewasa awal.

(4)

Tabel 6 Sebaran anak keluarga contoh berdasarkan usia

Usia anak Jumlah

n %

Pra sekolah (3-5 tahun) 9 9,00

Anak usia sekolah (6-12 tahun) 56 56,00

Remaja (13-15 tahun) 26 26,00

Dewasa awal (16-18 tahun) 9 9,00

Total 100 100,00

Jumlah Anak Sekolah

Jumlah anak sekolah yang dimiliki oleh satu keluarga berbeda-beda, mulai dari satu anak hingga empat anak sekolah seperti yang ditunjukkan Tabel 7 dibawah ini. Terdapat lebih dari separuh contoh memiliki anak sekolah sebanyak satu orang (56,06%). Terdapat 43,94 persen keluarga yang memiliki anak usia sekolah lebih dari satu orang yaitu 37,68 persen keluarga dengan dua anak sekolah, 4,54 persen keluarga dengan tiga anak sekolah dan 1,62 persen keluarga dengan empat anak sekolah.

Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anak sekolah Jumlah anak sekolah (orang) Keluarga

n % 1 37 56,06 2 25 37,78 3 3 4,54 4 1 1,62 Total 66 100,00 Rataan±SD 1,52±0,66

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Pendidikan Orang tua

Pendidikan menjadi salah satu tolok ukur kemampuan berifikir seseorang. Semakin tinggi pendidikan, seseorang akan semakin mampu untuk berifikir kompleks dengan permasalah yang ada, demikian sebaliknya. Lebih separuh keluarga memiliki istri dengan pendidikan hingga tamat Sekolah Dasar (SD) dan tidak terdapat keluarga dengan istri yang menempuh pendidikan hingga SMA. Sama seperti istri, terdapat lebih dari separuh keluarga yang memiliki suami dengan pendidikan hingga SD. Persentase keluarga dengan istri dan suami yang tidak tamat SD lebih besar dari pada keluarga dengan istri dan suami yang tamat SMP. Rentang pendidikan tertinggi istri hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) sedangkan pendidikan tertinggi suami adalah Sekolah Menengah Atas (SMA).

(5)

Tabel 8 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan istri dan suami

Lama pendidikan Istri Suami

n % n % Tidak tamat SD 13 19,69 13 19,69 Tamat SD 42 63,63 43 65,17 Tamat SMP 11 17,68 9 13,63 Tamat SMA 0 0,00 1 1,51 Total 66 100,00 66 100,00 Min-max (tahun) 2-9 2-12 Rataan±SD (tahun) 6,08±1,69 6,09±1,85 Pekerjaan Suami

Melalui pendidikan yang tinggi diharapkan seseorang akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Seluruh suami adalah kepala keluarga yang bekerja sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga (primary breadwinner) sedangkan istri berperan sebagai pencari nafkah tambahan (secondary breadwinner). Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga memiliki suami yang bekerja di bidang pertanian yaitu sebanyak 31,81 persen bekerja sebagai buruh tani (termasuk pemetik melati gambir) dan 27,27 persen bekerja sebagai petani. Pekerjaan lain yang ditekuni oleh suami adalah buruh non-tani (bangunan), pedagang, dan pekerjaan lain seperti pencari batu, reparasi jam, dan tukang pijit. Dikarenakan pendapatan dari pekerjaan utama masih kurang mencukupi kebutuhan anggota keluarga, terdapat 6,06 persen keluarga dengan suami yang memiliki pekerjaan tambahan. Pekerjaan tambahan yang dimiliki oleh suami antara lain menjadi tukang kayu, membajak sawah, dan melakukan kegiatan pertanian lainnya.

Tabel 9 Sebaran keluarga berdasarkan jenis pekerjaan utama suami

Jenis pekerjaan Jumlah

n % Pedagang 6 9,09 Petani 18 27,27 Buruh tani 21 31,81 Buruh non-tani 12 18,18 Lain-lain 9 13,65 Total 66 100,00

Pekerjaan Istri dan Anak

Seluruh istri memiliki pekerjaan utama sebagai buruh pemetik melati gambir. Sama halnya dengan suami, istri juga mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terdapat 10,60 persen keluarga dengan istri yang memiliki pekerjaan tambahan. Jenis pekerjaan tambahan yang dimiliki

(6)

istri antara lain sebagai pekerja pabrik, pembuat jajanan, membuka warung di rumah dan penjual jamu. Selain orang tua, terdapat 33,33 persen keluarga yang memiliki sumber penghasilan keluarga dari anak. Pekerjaan yang dimiliki anak antara lain pekerja pabrik, pekerja migran (bekerja di luar kota), berdagang, buruh tani, membuka bengkel, dan bekerja di tempat fotocopy.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga adalah sejumlah uang yang diterima oleh seluruh anggota keluarga dari pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan, dihitung dalam rupiah/bulan. Hampir separuh keluarga contoh memiliki pendapatan keluarga kurang dari Rp 500.000,00/bulan (46,96%). Proporsi terbesar kedua adalah keluarga dengan penghasilan antara Rp 500.000,00 sampai Rp 999.999,00/bulan yaitu sebesar 34,85 persen. Hanya terdapat sebagian kecil keluarga contoh yang memiliki pendapatan keluarga lebih dari sama dengan Rp 1000.000,00/bulan. Pendapatan keluarga contoh bervariasi dengan nilai minimal adalah Rp 90.000,00/bulan sampai Rp 2.250.000,00/bulan dengan rataan sebesar Rp 649.090,91/bulan.

Tabel 10 Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan keluarga

Pendapatan (Rp/bulan) Jumlah

n % <500.000,00 31 46,96 500.000,00-999.999,00 23 34,85 1.000.000,00-1.499.999,00 6 9,09 1.500.000,00-2.000.000,00 5 7,57 >2.000.000,00 1 1,53 Total 66 100,00 Min-max (Rp/bulan) 90.000,00-2.250.000,00 Rataan±SD(Rp/bulan) 649.090,91±482.720,58

Pendapatan per Kapita

Pendapatan yang dihitung berdasarkan pendapatan seluruh anggota keluarga dibagi jumlah seluruh anggota keluarga adalah pendapatan per kapita yang dinyatakan dalam rupiah/kapita/bulan. Semakin banyak anggota keluarga maka akan semakin besar pula beban yang ditanggung oleh keluarga. Tabel 11 menunjukkan pendapatan keluarga yang dikelompokkan berdasarkan Garis Kemiskinan (GK) BPS.

Hampir tiga per empat keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita ≤Rp 179.982,00 atau termasuk dalam kategori miskin. Sedangkan sisanya

(7)

termasuk dalam kategori hampir miskin, hampir tidak miskin dan tidak miskin dengan persentase masing-masing sebesar 7,57 persen, 12,12 persen dan 8,59 persen. Pendapatan per kapita terendah yang dimiliki keluarga contoh adalah Rp 16.667,00/bulan dan pendapatan per kapita tertinggi keluarga contoh adalah Rp 600.000,00/bulan dengan rataan sebesar Rp 144.543,84/bulan. Besar rata-rata pendapatan per kapita masih berada di bawah Garis Kemiskinan.

Tabel 11 Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan per kapita Pendapatanab (Rp/kapita/bulan) Jumlah

n %

Miskin (≤179.982,00) 47 71,72

Hampir miskin (179.982,01-224.977,50) 5 7,57

Hampir tidak miskin (224.977,60-269.9730) 8 12,12

Tidak miskin (>269.973,00) 6 8,59

Total 66 100,00

Min-max (Rp/bulan) 16.667,00-600.000,00

Rataan±SD (Rp/bulan) 144.543,84±113.960,00

Keterangan: a. Rp 179.982,00 adalah Garis Kemiskinan (GK) Propinsi Jawa Tengah untuk daerah perdesaan Tahun 2010

b. Menggunakan kriteria dari Badan Resmi Statistik No 47/IX/1 September 2006 (Miksin: <GK, Hampir miskin : 1,00-1,25GK, Hampir tidak miskin : 1.25-1.50GK dan Tidak miskin >1.50GK)

Kontribusi Istri terhadap Pendapatan Keluarga

Sebagai ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan sebagai sumber penghasilan, istri memiliki kontribusi terhadap pendapatan keluarga. Tabel 12 memperlihatkan besarnya kontribusi pendapatan suami, istri dan anak terhadap pendapatan keluarga. Rata-rata pendapatan keluarga adalah Rp 649.090,91/bulan. Proporsi terbesar pendapatan keluarga masih berasal dari suami baik dari pekerjaan utama maupun dari pekerjaan tambahan yaitu sebesar 46,65 persen/bulan. Proporsi pendapatan total istri dan anak terhadap pendapatan keluarga hampir sama yaitu 26,25 persen/bulan untuk istri dan 27,10 persen/bulan untuk anak. Artinya, anak dan istri yang bekerja memiliki kontribusi cukup besar terhadap pendapatan keluarga.

Sebesar 33,33 persen keluarga yang memiliki anak bekerja, terdapat 9,09 persen keluarga yang memiliki anak bekerja dengan usia anak sekolah yaitu antara 16-18 tahun. Adanya anak usia sekolah yang bekerja bertujuan untuk menambah pendapatan keluarga sehingga anak bersekolah hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa anak memiliki kontribusi penting terhadap pendapatan keluarga. Ketika anak yang

(8)

bekerja memutuskan untuk melanjutkan sekolah dan tidak bekerja maka keluarga akan kehilangan pendapatannya lebih dari satu per empat pendapatan keluarga.

Tabel 12 Kontribusi anggota keluarga terhadap pendapatan keluarga per bulan Sumber

pendapatan

Utama Tambahan Rataan

Rp % Rp % Rp %

Suami 287.500,00 44,30 15.303,03 2,35 302.803,03 46,65 Istri 134.015,15 20,65 36.363,64 5,60 170.378.79 26,25 Anak 175.909,09 27,10 0,00 0,00 175.909.09 27,10 Jumlah 597.424,24 92,05 51.666,67 7,95 649.090.91 100,00

Penggunaan Pendapatan Istri sebagai Buruh Pemetik Melati Gambir

Pendapatan rata-rata istri sebagai buruh pemetik melati adalah Rp 134.015,15/bulan dengan kisaran antara Rp 30.000,00 sampai Rp 300.000,00 per bulan. Pendapatan yang diperoleh dari melati gambir digunakan untuk berbagai macam kebutuhan seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 13. Penggunaan pendapatan istri sebagai buruh pemetik melati paling banyak digunakan adalah untuk membeli kebutuhan pokok yang hampir dilakukan oleh seluruh contoh (92,42%). Penggunaan ini sebagai upaya penambahan kebutuhan pokok yang belum tercukupi oleh suami. Terdapat beberapa istri yang tidak menggunakan pendapatan tersebut untuk memenuhi kebutuhan pokok karena pemenuhan kebutuhan pokok sudah menjadi tanggung jawab suami saja, sehingga dimanfaatkan oleh istri untuk pemenuhan kebutuhan lain. Pemanfaatan selanjutnya adalah untuk biaya pendidikan anak. Hasil ini mengindikasikan bahwa kebutuhan pendidikan anak masih menjadi prioritas penting bagi keluarga buruh pemetik melati.

Tabel 13 Penggunaan pendapatan buruh pemetik melati gambir

Kegiatan Keluarga

n %

Membeli kebutuhan pokok 61 92.42

Biaya pendidikan anak 53 80.30

Biaya kesehatan anak 3 4.55

Membayar hutang 23 34.85

Membeli peralatan rumah tangga 7 10.61

Ditabung 2 3.03

Investasi 5 7,58

Lain-lain (bahan dan peralatan pertanian) 2 3,03

Hasil lain menunjukkan bahwa terdapat lebih dari satu per tiga keluarga contoh yang memanfaatkan pendapatan dari memetik melati gambir untuk

(9)

membayar hutang baik hutang di warung atau hutang lainnya. Hal ini terjadi karena tingkat kepercayaan masyarakat untuk saling berhutang masih cukup tinggi. Kegiatan menabung juga hanya dilakukan oleh sedikit keluarga contoh. Kegiatan menabung tidak menjadi prioritas utama ketika mendapatkan uang dari pendapatan melati gambir karena pendapatan yang rendah sudah dimanfaatkan terlebih dahulu untuk pemenuhan kebutuhan lain terutama kebutuhan pokok sehingga tidak terdapat uang lebih yang dapat ditabung. Masyarakat memiliki pemahaman yang salah bahwa uang untuk menabung adalah sisa uang yang telah digunakan. Padahal, sebaiknya menabung dilakukan dengan menyisihkan uang diawal. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Suryadarma et al (2005) di Cianjur dan Demak bahwa tedapat perbedaan kegiatan yang dilakukan oleh orang kaya dan orang miskin yaitu kebanyakan keluarga kaya memiliki dana tabungan, sementara hampir tidak satu pun keluarga miskin memiliki tabungan.

Kesejahteraan Keluarga

Indikator Garis Kemiskinan (GK) Badan Pusat Statistik (BPS)

Indikator pertama yang digunakan untuk menganalisis kesejahteraan keluarga buruh pemetik melati gambir adalah indikator Garis Kemiskinan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pada indikator ini, keluarga dengan pendapatan per kapita kurang dari sama dengan Garis Kemiskinan termasuk dalam kategori keluarga miskin, dan sebaliknya. Terdapat hampir tiga per empat keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita kurang dari sama dengan Garis Kemiskinan (71,21%) sedangkan sisanya yaitu 28,79 persen keluarga memiliki pendapatan per kapita di atas Garis Kemiskinan.

Tabel 14 Sebaran keluarga berdasarkan indikator kesejahteraan Garis Kemiskinan BPS

Pendapatan/kapita (Rp/bulan) Jumlah

n %

Miskin (≤Rp179.982) 47 71,21

Tidak miskin (>Rp179.982) 19 28,79

Total 66 100,00

Keterangan: Rp179.982,00 adalah Garis Kemiskinan Propinsi Jawa Tengah di Daerah Perdesaan tahun 2010 (BPS 2010)

(10)

Indikator 14 Kriteria Rumah Tangga Miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT)

Indikator kedua yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga adalah indikator 14 kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (selanjutnya disebut BLT) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Keluarga yang menjadi sasaran Bantuan Langsung Tunai adalah keluarga yang memenuhi sembilan kriteria dari 14 kriteria yang ada. Tabel 15 memperlihatkan sebaran keluarga berdasarkan 14 indikator BLT.

Tabel 15 Sebaran keluarga berdasarkan 14 kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT)

No Kriteria Keluarga

n %

1 Luas lantai bangunan tempat tinggal <8m2 per orang 5 7,57 2 Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari

tanah/bambu kayu murahan

15 22,72 3 Jenis dinding rumah terbuat dari bambu/rumbia/kayu

berkualitas rendah/tembok tanpa diplester

37 56,06

4 Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain

46 69,69 5 Sumber penerangan tidak menggunakan listrik 0 0,00 6 Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak

terlindung/sungai/hujan

66 100,00 7 Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu

bakar/arang/minyak tanah

56 84,84

8 Hanya mengonsumsi susu atau daging/ayam satu kali dalam seminggu

54 81,81 9 Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun 46 69,69 10 Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari 0 0,00 11 Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di

puskesmas/poliklinik

0 0,00 12 Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani

dengan luas 0,5ha, buruh tani/nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan/pekerjaan lain dengan pendapatan <Rp 600.000,00

57 83,36

13 Pendidikan tertinggi kepala keluarga tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD

52 78,78

14 Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000,00 seperti sepeda motor, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya

17 25,75

Rumah adalah kebutuhan dasar manusia disamping pakaian dan makanan. Kondisi dan kualitas rumah menunjukkan keadaan sosial ekonomi pemiliknya, semakin baik kondisi rumah menunjukkan semakin baik pula keadaan sosial ekonomi rumah tangga (BPS 2007). Tabel 15 menunjukkan bahwa masih terdapat sebesar 7,57 persen keluarga contoh yang memiliki rumah dengan luas <8m2 per orang, dan sebesar 22,71 persen keluarga contoh yang

(11)

memiliki rumah dengan lantai dari tanah/bambu kayu murahan. Dilihat dari jenis dinding, lebih dari setengah keluarga contoh (56,06%) memiliki rumah dengan dinding kayu dan tembok tanpa diplester.

Salah satu fasilitas rumah yang penting adalah ketersediaan jamban atau fasilitas buang air besar. Keluarga yang berbagi fasilitas buang air akan lebih beresiko untuk terkena suatu penyakit tertentu seperti disentri, diare, dan thypus (BPS et al 2008). Terdapat sebesar 69,69 persen keluarga contoh yang tidak memiliki fasilitas buang air besar. Pada keluarga ini, sungai dijadikan sebagai fasilitas untuk buang air besar. Sungai yang melewati Desa Gelang, selain dipergunakan sebagai fasilitas buang air besar juga dipergunakan untuk mandi dan mencuci oleh beberapa keluarga contoh. Seluruh keluarga contoh memenuhi kebutuhan air bersih dengan menggunakan mata air dan air sumur.

Fasilitas lain yang penting adalah ketersediaan listrik, di Desa Gelang seluruh contoh sudah menggunakan listrik sebagai sumber penerangan dan membantu berbagai aktivitas sehari-hari. Akan tetapi, untuk kegiatan memasak, sebagian besar keluarga contoh (84,84%) masih menggunakan kayu bakar atau minyak tanah. Pemerintah sudah menggalakkan program konversi minyak tanah ke gas, akan tetapi masyarakat belum merasakan manfaat dari program tersebut. Harga tabung gas yang dirasa mahal membuat masyarakat tetap menggunakan kayu bakar yang dapat diperoleh secara gratis.

Terdapat sebanyak 81,81 persen responden yang tidak mampu mengonsumsi susu atau daging atau ayam dalam satu minggu satu kali. Hal ini terjadi karena sebagian besar contoh menganggap makanan bergizi seperti daging atau ayam dan susu sebagai makanan mewah dan diperoleh dengan harga mahal. Oleh karena itu, lebih baik mengonsumsi makanan jenis lain dengan harga yang lebih murah dan dapat dinikmati oleh seluruh anggota keluarga. Makanan seperti daging dan ayam biasanya dikonsumsi saat acara tertentu seperti pernikahan, khitanan, dan acara istimewa lainnya. Akan tetapi, seluruh keluarga contoh mampu makan lebih dari dua kali dalam satu hari.

Kebutuhan keluarga untuk memenuhi kebutuhan sandang masih tergolong rendah. Sebagian besar keluarga contoh (69,69 persen) hanya memenuhi kebutuhan sandang atau pakaian satu tahun sekali, yaitu pada saat lebaran. Biaya pengobatan di puskesmas dapat dijangkau oleh seluruh keluarga contoh, walaupun tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga contoh sebagian besar merupakan tindakan kuratif yaitu pengobatan ke puskesmas

(12)

ketika terdapat anggota keluarga yang sakit. Terdapat 83,36 persen keluarga contoh dengan kepala keluarga yang memiliki penghasilan kurang dari Rp 600.000,00/bulan. Selain memiliki penghasilan yang rendah, 78,78 persen keluarga contoh juga memiliki kepala keluarga dengan pendidikan terkahir sampai Sekolah Dasar (SD) atau bahkan tidak tamat Sekolah Dasar. Aset merupakan sumber daya materi yang benilai uang yang dimiliki oleh keluarga dapat berupa aset uang dan barang. Tidak semua keluarga memiliki aset, terdapat 25,75 persen keluarga contoh yang tidak memiliki tabungan mudah dijual seperti kolam, sawah, kebun, dan sepeda motor.

Keluarga yang memenuhi kurang dari 9 kriteria termasuk sebagai keluarga tidak miskin, 9-10 kriteria termasuk sebagai keluarga hampir miskin dan lebih dari sama dengan 11 termasuk sebagai keluarga miskin. Keluarga yang berhak mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah keluarga yang termasuk dalam kelompok miskin dan hampir miskin. Dalam penelitian ini hanya ditemukan 18,18 persen keluarga buruh pemetik melati yang tergolong dalam keluarga hampir miskin dan berhak mendapatkan bantuan dana BLT seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 16. Selain itu, tidak terdapat keluarga yang tergolong sebagai keluarga miskin.

Tabel 16 Sebaran keluarga berdasarkan kategori miskin menurut indikator BPS untuk penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT)

Kategori Jumlah

n %

Miskin (skor ≥11) 0 0

Hampir miskin (skor 9-10) 12 18,18

Tidak miskin (skor <9) 54 81,82

Total 66 100,00

Berdasarkan cut off point yang ada pada Tabel 16, sebagian besar keluarga buruh pemetik melati termasuk dalam keluarga tidak miskin. Hasil ini berbeda dengan jumlah keluarga miskin ketika diukur menggunakan indikator Garis Kemsikinan BPS bahwa jumlah keluarga miskin sebanyak 71,21 persen. Pada kasus ini, penggolongan keluarga sebagai keluarga miskin diubah menjadi keluarga yang memenuhi lima indikator yang dimiliki oleh lebih dari tiga per empat keluarga contoh di setiap item pernyataan indikator BLT yang dijadikan sebagai ciri keluarga miskin pada keluarga buruh pemetik melati gambir di wilayah penelitian. Lima indikator yang dimaksud adalah sumber air minum, sumber bahan bakar untuk memasak, kemampuan mengonsumsi susu/daging dan ayam, sumber penghasilan Kepala Keluarga, dan pendidikan Kepala

(13)

Keluarga. Keluarga contoh yang memenuhi lima indikator tersebut tergolong sebagai keluarga miskin. Berdasarkan indikator baru ini, sebanyak 54,54 persen keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga miskin, sisanya sebesar 45,46 persen termasuk dalam keluarga tidak miskin seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 17.

Tabel 17 Sebaran keluarga berdasarkan kategori miskin menurut indikator BPS untuk penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan cut off point 5

Kategori Jumlah n % Miskin 36 54,54 Tidak miskin 30 45,46 Total 66 100,00

Strategi Koping

Menurut Voydanoff (1987), strategi koping adalah proses yang dilakukan oleh individu dan keluarga dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Pada penelitian ini strategi koping diukur pada saat keluarga buruh pemetik melati gambir mengalami penurunan pendapatan, yaitu saat harga bunga melati gambir rendah.

Mengurangi Pengeluaran (Cutting Back)

Cutting back adalah strategi yang digunakan untuk merespon rendahnya keterbatasan sumber daya uang melalui pola pengeluaran yang berbeda sehingga dapat mengurangi pengeluaran. Dalam penelitian ini, strategi mengurangi pengeluaran (cutting back) dikelompokkan menjadi mengurangi kebutuhan pangan, kebutuhan kesehatan, kebutuhan pendidikan, dan kebutuhan lain-lain.

Pangan merupakan kebutuhan pokok yang menjadi prioritas utama bagi manusia. Firdaus dan Sunarti (2009) mengatakan bahwa pengeluaran pangan tidak bisa dikurangi hingga batas tertentu, bahkan jika diperlukan keluarga berhutang terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tabel 18 menunjukkan strategi mengurangi kebutuhan pangan. Strategi yang paling banyak dilakukan oleh keluarga contoh adalah mengurangi pembelian kebutuhan pangan baik jenis maupun jumlahnya, seperti lebih memilih makan menggunakan lauk tempe dari pada daging atau telur. Walaupun pandapatan keluarga rendah, pemenuhan kebutuhan pangan keluarga jarang mendapat pengurangan, karena pemenuhan kebutuhan pangan bagi keluarga adalah hal utama.

(14)

Strategi kedua yang banyak dilakukan oleh keluarga adalah mengubah distribusi pangan yang awalnya untuk ibu dialihkan untuk anak. Strategi lain yang banyak dilakukan adalah mengurangi pembelian susu dan jajan anak (43,93%); mengurangi penggunaan bahan minuman seperti kopi, teh dan gula (40,90%); dengan sengaja memanfaatkan makanan yang tidak habis untuk keesokkan harinya (28,78%) dan mengurangi porsi makan (misalnya satu piring menjadi setengah piring) (18,18%). Strategi mengurangi pengeluaran pangan yang paling sedikit dilakukan oleh keluarga adalah mengurangi frekuensi makan yang hanya dilakukan oleh 6,06 persen keluarga. Sementara itu, strategi pengeluaran yang tidak dilakukan oleh keluarga adalah strategi mengganti bahan pangan pokok (misalnya beras diganti menjadi jagung atau singkong).

Tabel 18 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping mengurangi kebutuhan pangan

No Strategi koping Keluarga

n %

1 Mengurangi pembelian kebutuhan pangan (jenis dan jumlah)

45 68,18

2 Mengurangi prosi makan (misalnya 1 piring menjadi setengah piring)

12 18,18

3 Mengganti bahan pangan pokok (misalnya beras diganti menjadi jagung atau singkong)

0 0,00

4 Mengurangi frekuensi makan (2 kali menjadi 1 kali) 4 6,06 5 Mengurangi pembelian susu dan jajan anak 29 43,93 6 Mengubah distribusi pangan (prioritas ibu menjadi

untuk anak)

40 60,60

7 Dengan sengaja memanfaatkan makanan yang tidak habis untuk keesokan harinya

19 28,78

8 Mengurangi penggunaan bahan minuman (kopi, teh, gula)

27 40,90

Selain pangan, strategi pengeluaran juga dilakukan dalam mengurangi pengeluaran kesehatan. Tabel 19 menunjukkan bahwa strategi mengurangi pengeluaran dibidang kesehatan yang paling banyak dilakukan adalah keluarga contoh mencari tempat pengobatan gratis (menggunakan asuransi jaminan kesehatan). Strategi selanjutnya adalah menggunakan obat generik ketika berobat, menggunakan pengobatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit, dan lebih memilih mengonsumsi jamu dari pada obat modern.

Kesehatan anggota keluarga merupakan hal penting yang harus tetap dijaga. Ketika terdapat anggota keluarga yang sakit, hanya terdapat 6,06 persen keluarga yang menunda pengobatan seperti menggunakan obat warung terlebih dahulu. Jika anggota keluarga yang sakit tidak kunjung sembuh, keluarga akan

(15)

membawa ke Puskesmas atau mantri. Terdapat 4,54 persen keluarga yang mengurangi anggaran pemeriksanaan kesehatan. Selain menggunakan obat moderen, keluarga juga menggunakan obat tradisional atau alternatif untuk menyembuhkan sakit anggota keluarga, seperti menggunakan dedaunan dan tanaman obat. Pembelian suplemen atau vitamin untuk anak tidak menjadi prioritas utama keluarga. Banyak keluarga yang mengaku tidak terlalu memprioritaskan kebutuhan vitamin untuk anak, karena orang tua merasa anak sudah atau tetap sehat tanpa mengonsumsi vitamin. Dari keluarga yang terbiasa membeli vitamin untuk anak hanya terdapat 4,54 persen keluarga yang mengurangi pembelian vitamin.

Tabel 19 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping mengurangi pengeluaran kesehatan

No Strategi koping Keluarga

n %

1 Menggunakan obat generik 11 16,67

2 Menggunakan jamu dari pada obat modern 6 9,09 3 Mencari tempat pengobatan gratis (menggunakan

asuransi jaminan kemiskinan)

35 53,03 4 Mengurangi pembelian suplemen/vitamin 3 4,54 5 Menunda pengobatan anggota keluarga yang sakit 4 6,06 6 Mengurangi anggaran pemeriksaan kesehatan 3 4,54 7 Mencari pengobatan alternatif/tradisional 10 15,15

Selain pangan dan kesehatan, strategi koping mengurangi pengeluaran juga dilakukan dalam bidang pendidikan seperti yang ditunjukkan Tabel 20 Kebutuhan pendidikan merupakan kebutuhan yang harus dicukupi oleh orang tua untuk membantu anak belajar. Akan tetapi, penghasilan yang kurang mencukupi sering membuat orang tua melakukan penghematan. Kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh keluarga dalam menghemat pengeluaran pendidikan adalah dengan cara mengurangi pembelian buku pelajaran. Hal ini dapat diatasi dengan cara hanya membeli buku-buku penting yang diharuskan oleh pihak sekolah. Keluarga sangat jarang membeli buku tambahan yang dapat dimanfaatkan anak sebagai tambahan materi belajar. Kegiatan lain yang dilakukan adalah dengan mengurangi uang saku anak. Dalam penelitian ini tidak ditemukan keluarga yang memiliki anak berhenti sekolah karena kekurangan biaya, anak terpaksa bolos karena tidak memiliki uang saku, dan membeli buku bekas.

(16)

Tabel 20 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping mengurangi pengeluaran pendidikan

No Strategi koping Keluarga

n %

1 Mengurangi uang saku anak sehari-hari 22 33,33

2 Anak berhenti sekolah 0 0,00

3 Anak terpaksa bolos 0 0,00

4 Membeli buku bekas 0 0,00

5 Mengurangi pembelian buku pelajaran 27 40,90

Strategi mengurangi pengeluaran juga dilakukan oleh keluarga dalam pemenuhan kebutuhan lain, seperti peralatan rumah tangga, barang elektronik, pakaian, dan lain-lain seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 21. Strategi mengurangi kebutuhan lain lebih banyak dilakukan oleh keluarga. Hal ini karena strategi mengurangi kebutuhan lain dianggap bukan suatu kebutuhan wajib yang harus dipenuhi layaknya kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan. Dalam kebutuhan lain-lain, strategi yang paling sering dilakukan adalah menunda pembelian barang elektronik (96,96%). Selanjutnya, keluarga menunda pembelian perabot rumah tangga seperti meja, kursi, lemari dan lain-lain (89,39%).

Tabel 21 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping mengurangi pengeluaran lain-lain

No Strategi koping Keluarga

n %

1 Menunda pembelian perabot rumah tangga seperti meja, kursi, lemari, dll

59 89,39 2 Menunda pembelian barang elektronik 64 96,96

3 Mengurangi penggunaan listrik 37 56,06

4 Mengurangi pembelian pakaian 50 75,75

5 Mengurangi sumbangan sosial 15 22,72

6 Mengurangi pembelian rokok 33 50,00

Gambar 2 menunjukkan pengelompokkan strategi koping mengurangi pengeluaran secara keseluruhan yang terdiri atas kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan lain. Lebih dari separuh keluarga contoh melakukan strategi mengurangi pengeluaran dalam kategori sedikit (60,61%) yaitu hanya melakukan sedikit kegiatan mengurangi pengeluaran ketika terjadi masalah ekonomi yaitu masalah penurunan pendapatan. Sisanya yaitu sebesar 39,39 persen keluarga contoh tergolong dalam kategori sedang dan tidak terdapat keluarga yang melakukan strategi koping dalam kategori banyak.

(17)

Gambar 2 Sebaran keluarga berdasarkan kategori strategi koping mengurangi pengeluaran secara keseluruhan

Menambah Pendapatan (Generating Income)

Generating income adalah strategi untuk meningkatkan ketersediaan sumber daya uang di dalam keluarga yang dapat dilakukan dengan cara: anggota keluarga memiliki pekerjaan sampingan, menambah jam kerja atau menambah jumlah anggota keluarga yang bekerja. Sama halnya dengan strategi mengurangi pengeluaran, strategi menambah pendapatan juga dilihat dari kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lainnya.

Strategi menambah pendapatan dalam kebutuhan pangan yang paling banyak dilakukan oleh keluarga pemetik melati gambir di Desa Gelang adalah dengan sengaja menerima makanan dari saudara atau tetangga (Tabel 22). Kegiatan kedua yang paling banyak dilakukan adalah menggunakan hasil panen dari kebun/hasil ternak/kolam untuk dijual dan atau dikonsumsi sendiri. Kegiatan selanjutnya yaitu memelihara hewan ternak seperti ayam, itik, dan kambing; dan memanfaatkan lahah kosong untuk ditanami sayuran seperti bayam, daun singkong, kacang panjang dan jenis sayuran lain yang dengan cara penanaman yang mudah.

Tabel 22 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping menambah pendapatan pangan

No Strategi koping Keluarga

n % 1 Memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami sayuran,dll 28 42,42 2 Memeliharan hewan ternak (ayam atau bebek untuk diambil

telurnya)

31 46,96 3 Dengan sengaja menerima makanan dari tetangga/saudara 64 96,96 4 Menggunakan hasil panen dari kebun/hasil ternak/kolam untuk

dijual dan dikonsumsi sendiri

40 60,60

Keluarga contoh tidak terlalu banyak melakukan kegiatan menambah pendapatan dalam bidang kesehatan. Hanya terdapat 24,24 persen keluarga

60,61% 39,39% Sedikit (≤9 kegiatan) Sedang (10-17 kegiatan) Banyak (≥18 kegiatan)

(18)

contoh yang memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami obat seperti tanaman ciplukan, daun sirih, dan kunyit. Hal ini dikarenakan keluarga contoh banyak yang tidak mengenal tanaman obat dan lebih memilih menggunakan obat warung atau berobat ke puskesmas dan mantri ketika terdapat anggota keluarga yang sakit.

Kegiatan menambah pendapatan di bidang pendidikan yang paling banyak dilakukan adalah meminta seragam bekas ke saudara atau tetangga (Tabel 23). Orang tua tetap mengusahakan untuk membeli buku sekolah anak dan tidak terdapat keluarga contoh yang meminta buku bekas ke saudara/tetangga. Hal ini disebabkan bergantinya buku-buku pelajaran yang digunakan anak untuk belajar di sekolah sehingga ketika anak meminta buku ke orang lain dikhawatirkan materi yang terdapat dalam buku berbeda. Selain itu, kebanyakan buku-buku yang dibeli adalah buku yang memang wajib untuk dimiliki oleh masing-masing anak di sekolah seperti Lembar Kerja Siswa (LKS). Untuk buku paket, dapat diakses oleh anak melalui perpustakaan. Meminta sepatu bekas ke saudara atau tetangga masih dilakukan oleh sebagian kecil keluarga (6,06%).

Tabel 23 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping menambah pendapatan pendidikan

No Strategi koping Keluarga

n %

1 Mengusahakan beasiswa untuk anak 12 18,18

2 Meminta buku bekas ke saudara/tetangga 0 0,00 3 Meminta seragam bekas ke saudara/tetangga 22 33,33 4 Meminta sepatu bekas ke saudara/tetangga 4 6,06

Dalam bidang strategi menambah pendapatan lain-lain, sebagain keluarga contoh memiliki anak bekerja untuk membantu orang tua seperti berdagang, bertani, bekerja di pabrik dan bermigrasi ke kota (Tabel 24). Kegiatan selanjutnya adalah mencari pekerjaan tambahan baik suami maupun istri. Lebih dari satu per empat istri mencari pekerjaan tambahan, seperti membuka warung di rumah, bekerja di pabrik, membuat jajanan, dan berjualan keliling. Sementara itu, suami yang mencari pekerjaan tambahan lebih sedikit dari pada istri, karena pekerjaan suami sebagai petani sudah menyita waktu cukup banyak yaitu dari pagi sampai siang bahkan sampai sore.

(19)

Tabel 24 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping menambah pendapatan lain-lain

No Strategi koping Keluarga

n %

1 Suami mencari pekerjaan tambahan 18 27,27

2 Istri mencari pekerjaan tambahan 12 18,18

3 Suami menambah jam kerja dari pekerjaan utama 10 15,15 4 Istri menambah jam kerja dari pekerjaan utama 17 25,75

5 Anak bekerja membantu orang tua 32 48,48

6 Menjual aset rumah untuk keperluan sehari-hari 4 6,06

7 Menggadaikan barang 1 1,51

Strategi koping menambah pendapatan dikelompokkan menjadi sedikit, sedang, dan banyak (Gambar 3). Lebih dari separuh keluarga responden melakukan kegiatan menambah pendapatan pada kategori sedikit. Artinya keluarga contoh hanya melakukan sedikit kegiatan menambah pendapatan ketika terjadi masalah ekonomi. Sisanya, sebesar 36,37 persen keluarga contoh memiliki startegi koping dalam kategori sedang dan tidak terdapat keluarga contoh yang melakukan strategi koping dalam kategori banyak.

Gambar 3 Sebaran keluarga berdasarkan kategori strategi koping menambah pendapatan secara keseluruhan

Jumlah strategi koping dihitung berdasarkan jumlah strategi mengurangi pengeluaran dan menambah pendapatan. Tabel 25 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh (68,18%) melakukan strategi koping pada kategori sedikit baik cutting back maupun generating income. Sisanya yaitu sebesar 31,82 persen keluarga contoh melakukan strategi koping pada kategori sedang dan tidak terdapat keluarga contoh yang melakukan cutting back dan generating income pada kategori banyak.

63,63% 36,37%

(20)

Tabel 25 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping secara keseluruhan Kategori Keluarga n % Sedikit (≤14 kegiatan) 42 68,18 Sedang (15-28 kegiatan) 24 31,82 Banyak (≥29 kegiatan) 0 0,00 Total 66 100,00

Investasi Anak

Perilaku Investasi Anak

Setiap manusia memiliki sumber daya yang dapat dikembangkan. Agar manusia dapat menggunakan sumber daya yang dimiliki, diperlukan suatu upaya berupa investasi sumber daya manusia. Investasi pada anak terdiri dari dua komponen yaitu nilai uang dari jasa seperti makanan, pakaian, rumah, transportasi, pendidikan, dan perawatan kesehatan; dan nilai waktu yaitu waktu yang dihabiskan orang tua, khususnya ibu untuk membesarkan anak baik melalui perawatan maupun pemeliharaan (Bryant & Zick, 2006). Perilaku investasi adalah seluruh perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh orang tua untuk menunjang peningkatan kualitas anak seperti pendidikan dan kesehatan.

Perilaku Investasi Pendidikan. Pendidikan merupakan jalan menuju

produktivitas tinggi bagi masyarakat, sehingga diharapkan melalui pendidikan yang tinggi dapat menghasilkan SDM yang berkualitas. Perilaku investasi pendidikan adalah tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh orang tua untuk menunjang pendidikan anak. Berdasarkan Gambar 4, sebagian besar keluarga contoh memiliki investasi pendidikan dalam kategori sedang (81,81%) dan hanya sebagian kecil keluarga contoh yang memiliki perilaku investasi pendidikan dalam kategori tinggi (7,59%).

Gambar 4 Sebaran keluarga berdasarkan perilaku investasi pendidikan 10,60%

81,81% 7,59%

(21)

Perilaku Investasi Kesehatan. Perilaku investasi kesehatan merupakan

segala tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh orang tua untuk menunjang kesehatan anak. Gambar 5 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh memiliki perilaku investasi kesehatan dalam kategori sedang. Sebesar 46,96 persen keluarga contoh memiliki perilaku investasi yang tergolong rendah dan hanya terdapat satu keluarga contoh yang memiliki perilaku kesehatan dalam kategori tinggi.

Gambar 5 Sebaran keluarga contoh berdasarkan perilaku investasi kesehatan

Dilihat dari perilaku investasi pendidikan dan investasi kesehatan secara keseluruhan, terdapat tiga per empat keluarga contoh yang memiliki perilaku investasi dalam kategori sedang, sisanya yaitu sebesar 24,24 persen termasuk dalam kategori rendah dan tidak terdapat keluarga yang memiliki perilaku investasi anak dalam kategori tinggi seperti yang ditunjukkan Tabel 26.

Tabel 26 Sebaran keluarga berdasarkan perilaku investasi pendidikan dan kesehatan Kategori Keluarga n % Rendah (≤33,33%) 16 24,24 Sedang (33,34%-66,66%) 50 75,76 Tinggi (≥66,67) 0 0,00 Total 66 100,00

Alokasi Uang. Alokasi uang untuk anak terdiri atas tiga kebutuhan yaitu

pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan pendidikan terdiri atas seragam sekolah, uang saku harian, buku pelajaran/buku cerita, les, kursus, sepatu, tas, uang SPP dan alat tulis. Kebutuhan kesehatan terdiri atas

46,96% 51,51%

1,53%

(22)

suplemen/vitamin, medical check up dan obat-obatan. Kebutuhan pakaian, jalan-jalan dan hobi termasuk dalam kebutuhan lainnya.

Tabel 27 Alokasi uang untuk anak per bulan berdasarkan tingkat pendidikan anak Tingkat pendidikan Kegiatan Rataan Standar Deviasi Rupiah % PAUD Pendidikan 74.763,44 11,52 26.530,75 Kesehatan 16.944,33 2,61 24.300,49 Lainnya 43.854,25 6,76 74.892,59 Total 119.393,11 18,39 82.108,28 SD Pendidikan 65.226,25 10,05 23.279,93 Kesehatan 9.666,58 1,49 9.134,09 Lainnya 8.052,40 1,24 4.084,68 Total 75.879,12 11,69 24.968,80 SMP Pendidikan 87.212,60 13,44 33.525,11 Kesehatan 6.875,00 1,06 3.750,00 Lainnya 12.143,82 1,87 6.445,36 Total 98.999,16 15,25 39.712,84 SMA Pendidikan 270.411,40 41,66 145.917,80 Kesehatan 5.083,25 0,78 3.500,05 Lainnya 10.076,89 1,55 3.978,56 Total 282.747,60 43,56 146.408,80

Tabel 27 menunjukkan alokasi uang untuk anak per bulan. Alokasi pengeluaran minimal keluarga untuk anak adalah Rp 43.167,00/anak/bulan sedangkan nilai maksimal adalah Rp 642.887,00/anak/bulan dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 105.860,80/anak/bulan. Pengeluaran keluarga untuk anak bervariasi sesuai dengan jenjang pendidikan dan jumlah anak. Keluarga dengan anak Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki alokasi pengeluaran terbesar yaitu Rp 282.747,60/bulan atau 43,56% dari pendapatan keluarga.

Alokasi pengeluaran dikelompokkan menjadi tiga yaitu rendah, sedang dan tinggi. Lebih dari separuh anak memiliki alokasi pengeluaran dari orang tua dalam kategori rendah (55%) dengan persentase terbesar untuk kelompok Sekolah Dasar (SD) seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 28. Hal ini karena anak dengan jenjang pendidikan Sekolah Dasar mendapat bantuan paling banyak dari pihak pemerintah dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya, sehingga orang tua merasa kewajiban untuk membiayai sekolah anak beralih menjadi tanggung jawab pihak lain yaitu pemerintah (adanya bantuan memicu ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah).

Pada kelompok sedang, anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) memiliki alokasi terbesar (50,00%), sedangkan untuk kelompok tinggi anak SMA mendapatkan persentase terbesar. Hal ini karena keluarga dengan anak SMA

(23)

memiliki beban yang semakin banyak untuk menunjang segala keperluan sekolah dan sedikitnya dana/bantuan yang diberikan pemerintah bila dibandingkan dengan jenjang pendidikan di bawahnya. Adanya biaya Sumbangan Pembangunan Pendidikan (SPP) menambah semakin banyaknya kebutuhan anak SMA. Selain itu, banyaknya pelajaran yang diterima oleh siswa SMA membuat biaya pendidikan semakin meningkat.

Tabel 28 Alokasi pengeluaran berdasarkan tingkat pendidikan anak

Alokasi pengeluaran Tingkat pendidikan Total TK SD SMP SMA n % n % n % n % n % Rendah 5 55,6 36 64,28 10 38,46 4 44,4 55 55 Sedang 2 22,2 17 30,35 13 50,00 1 11,2 33 33 Tinggi 2 22,2 3 5,37 3 11,54 4 44,4 12 12 Total 9 100 56 100 26 100 9 100 100 100

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga dianalisis menggunakan analisis regresi logistik untuk indikator Garis Kemiskinan (GK) dan indikator 14 kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang digunakan adalah indikator dengan lima skor. Keluarga yang memenuhi lima indikator keluarga miskin berdasarkan indikator baru ini tergolong sebagai keluarga miskin dan keluarga yang memenuhi kurang dari lima indikator tergolong sebagai keluarga tidak miskin.

Hasil analisis regresi logistik pada Tabel 29 menunjukkan bahwa nilai Negelkerke adalah sebesar 0,332 untuk indikator kesejahteraan Garis Kemiskinan (GK) dan 0,560 untuk indikator kesejahteraan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Artinya, model hanya dapat menjelaskan sebesar 33,2 persen dan 56,00 persen faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan berdasarkan indikator Garis Kemiskinan dan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Uji regresi logistik untuk variabel kesejahteraan Garis Kemiskinan (GK) sebagai variabel dependen menujukkan bahwa variabel pekerjaan tambahan suami dan mata pencaharian suami berpengaruh signifikan. Keluarga dengan suami memiliki pekerjaan tambahan dan memiliki mata pencaharian bukan di bidang pertanian berpeluang lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga dengan suami yang tidak memiliki pekerjaan tambahan dan bekerja di bidang

(24)

pertanian. Diantara tujuh variabel yang diduga berpengaruh terhadap kesejahteraan Garis Kemiskinan (GK), variabel pekerjaan tambahan suami memiliki pengaruh paling besar terhadap kesejahteraan Garis Kemiskinan (GK). Keluarga dengan suami memiliki pekerjaan tambahan, berpeluang 3,171 kali lipat untuk sejahtera dibandingkan keluarga dengan suami yang tidak memiliki pekerjaan.

Tabel 29 Nilai koefisien regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan Variabel independen Kesejahteraan GK Kesejahteraan BLT B Exp (B) .Sig B Exp (B) .Sig Konstanta -3,636 -0,026 0,243 -8,484 -0,000 0,025 Umur suami (tahun) 0,029 1,029 0,530 0,016 1,016 0,733 Jumlah anggota keluarga

(orang) 0,110 1,117 0,693 -0,410 -0,664 0,283 Pendidikan istri (tahun) 0,062 1,064 0,754 0,197 1,218 0,378 Pendidikan suami (tahun) -0,088 -0,916 0,628 0,933 2,541 0,003*** Pekerjaan tambahan suami

(0=tidak memiliki; 1=memiliki) 3,171 23,837 0,029** -0,735 -0,479 0,690 Mata pencaharian suami

(0=pertanian; 1=bukan pertanian)

2,190 8,933 0,004*** 1,465 4,325 0,061* Tipe keluarga (0=keluarga inti;

1=keluarga luas) -1,692 -0,184 0,189 -0,531 -0,588 0,616 Pendapatan keluarga (rupiah) 0,000 1,000 0,004**

Chi-square 17,396 35,854

Nagelkerke R2 0,332** 0,560 **

Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 90% **=signifikan pada selang kepercayaan 95% ***=signifikan pada selang kepercayaan 99%

Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah pendidikan suami, mata pencaharian suami, dan pendapatan keluarga. Keluarga dengan pendidikan suami tinggi, memiliki mata pencaharian bukan di bidang pertanian, dan memiliki pendapatan keluarga yang tinggi berpeluang lebih besar untuk sejahtera. Diantara delapan variabel yang diduga berpengaruh terhadap kesejahteraan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT), mata pencaharian suami memiliki pengaruh paling besar. Keluarga dengan suami yang bekerja bukan di bidang pertanian memiliki peluang sejahtera sebanyak 1,465 kali lipat.

Berdasarkan dua indikator yang telah digunakan untuk mengukur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga, variabel mata pencaharian suami berpengaruh secara konsisten terhadap indikator Garis

(25)

Kemiskinan (GK) dan indikator penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Keluarga dengan suami yang bekerja bukan di bidang pertanian memiliki peluang yang lebih besar untuk sejahtera dibandingkan dengan keluarga dengan suami yang bekerja di bidang pertanian.

Umur suami memiliki pengaruh positif tidak signifikan terhadap indikator kesejahteraan Garis Kemiskinan (GK) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Semakin tua umur suami, peluang untuk sejahtera semakin besar. Bertambahnya umur suami, diikuti dengan pertambahan aset yang dimiliki oleh keluarga, sehingga akumulasi aset dapat terjadi seiring dengan pertambahan umur suami.

Jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh signifikan dengan kesejahteraan keluarga baik indikator Garis Kemiskinan (GK) maupun indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Akan tetapi, terdapat hubungan positif antara jumlah anggota keluarga dengan indikator Garis Kemiskinan yang diukur menggunakan pendapatan perkapita keluarga. Hal ini diduga karena banyaknya anak yang bekerja dalam keluarga. Berdasarkan pengamatan, sebagian besar anak yang dimiliki oleh keluarga contoh memilih untuk bekerja pada usia dini yaitu sekitar 15 tahun ke atas atau setelah selesai menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Adanya anak bekerja memiliki kontribusi cukup penting terhadap pendapatan keluarga. Sementara itu, jumlah anggota keluarga memiliki hubungan negatif dengan kesejahteraan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Semakin banyak jumlah anggota keluarga, peluang keluarga untuk sejahtera semakin kecil karena banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi keluarga. Keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang besar seringkali mempunyai masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok keluarga (Iskandar 2007).

Pendidikan istri tidak berpengaruh signifikan terhadap pendapatan keluarga. Akan tetapi, terdapat hubungan positif antara lama pendidikan istri dengan kesejahteraan keluarga baik indikator Garis Kemiskinan (GK) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Semakin tinggi pendidikan istri maka peluang keluarga untuk sejahtera lebih besar.

Pendidikan suami berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap indikator kesejahteraan Garis Kemiskinan (GK). Hasil ini diduga karena pendapatan suami tidak ditentukan oleh perbedaan lama tahun pendidikan yang didominasi oleh suami dengan tingkat pendidikan akhir di Sekolah Dasar. Perbedaan pendapatan

(26)

ditentukan oleh kemampuam bekerja. Sementara itu, pendidikan suami berpengaruh positif signifikan terhadap kesejahteraan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pendidikan terakhir suami hingga Sekolah Dasar (SD) baik tamat maupun tidak merupakan salah satu ciri keluarga miskin berdasarkan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT), sehingga keluarga dengan pendidikan suami yang lebih tinggi dari Sekolah Dasar berpeluang lebih besar untuk sejahtera.

Variabel pekerjaan tambahan suami berpengaruh positif signifikan tehadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator Garis Kemiskinan (GK). Suami yang memiliki pekerjaan tambahan berpeluang lebih besar untuk sejahtera dibandingkan dengan keluarga dengan suami tanpa pekerjaan tambahan. Lain halnya dengan indikator Garis Kemiskinan, variabel pekerjaan suami memiliki hubungan negatif tidak signifikan terhadap indikator kesejahteraan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Perbedaan hasil ini diduga karena indikator Garis Kemiskinan diukur menggunakan pendekatan pendapatan sehingga keluarga dengan suami memiliki pekerjaan tambahan akan memiliki pendapatan per kapita keluarga yang lebih besar dibandingkan keluarga dengan suami yang tidak memiliki pekerjaan tambahan.

Sementara itu, variabel pekerjaan tambahan memiliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap kesejahteraan berdasarkan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Hal ini diduga karena pendapatan dari pekerjaan tambahan masih dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan pokok, sedangkan kebutuhan akan sumber air minum yang tidak menggunakan air sumur, kemampuan menggunakan bahan bakar memasak yang tidak menggunakan kayu dan kemampuan mengonsumsi pangan dengan harga mahal (susu, daging dan ayam) yang merupakan ciri keluarga miskin berdasarkan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT) belum dapat tercukupi oleh keluarga.

Variabel tipe keluarga yang dibedakan menjadi keluarga inti dan keluarga luas memiliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap kesejahteraan keluarga baik terhadap indikator Garis Kemiskinan (GK) maupun indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Keluarga inti memiliki peluang lebih besar untuk sejahtera dibandingkan dengan keluarga luas. Keluarga dengan status keluarga inti lebih fokus dalam memenuhi segala kebutuhan anggotanya dibandingkan dengan keluarga luas yang terdiri atas anggota keluarga lain. Kehadiran orang lain selain anggota keluarga inti akan membuat kebutuhan semakin beragam dan

(27)

meningkatkan pengeluaran rumah tangga, seperti adanya nenek atau kakek yang tinggal bersama dengan keluarga inti akan menambah kebutuhan anggota keluarga.

Pendapatan keluarga memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Keluarga dengan pendapatan tinggi memiliki peluang lebih besar untuk sejahtera dibandingkan dengan keluarga dengan pendapatan rendah.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Koping

Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap jumlah strategi koping yang dilakukan oleh keluarga buruh pemetik melati gambir dianalisis menggunakan regresi linier berganda. Hasil uji regresi linier berganda pada Tabel 30 menunjukkan nilai Adjusted R square sebesar 0,097. Artinya hanya sebesar 9,7 persen dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap strategi koping yang dilakukan oleh keluarga buruh pemetik melati gambir dapat dijelaskan oleh model. Jumlah anggota keluarga, tipe keluarga, pekerjaan tambahan suami dan kesejahteraan keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap strategi koping keluarga.

Tabel 30 Nilai koefisien regresi linier faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah strategi koping Variabel Koefisien β Tidak terstandarisasi Terstandarisasi .Sig Konstanta 10,688 - 0,000

Jumlah anggota keluarga (orang) 0,645 0,255 0,096*

Pendidikan istri (tahun) -0,034 -0,017 0,894

Pendidikan suami (tahun) 0,186 0,101 0,498

Tipe keluarga (0=keluarga inti,

1=keluarga luas) -2,720 -0,299 0,035**

Pekerjaan tambahan suami (0=tidak

memiliki, 1=memiliki) 3,068 0,216 0,095*

Pendapatan keluarga (rupiah) -2,447E-7 -0,035 0,814

Kesejahteraan BLT (0=tidak

sejahtera, 1=sejahtera) -2,169 -0,319 0,034**

F 1,995

R 0,440

Adjusted R square 0,097*

Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 90% ** =signifikan pada selang kepercayaan 95% ***=signifikan pada selang kepercayaan 99%

Diantara tujuh variabel yang diduga berpengaruh terhadap strategi koping keluarga, variabel kesejahteraan keluarga memiliki pengaruh terbesar

(28)

dibandingkan dengan variabel lainnya. Keluarga yang sejahtera akan menurunkan strategi koping yang dilakukan oleh keluarga sebanyak 2,169 poin. Jumlah anggota keluarga berpengaruh positif tidak signifikan terhadap jumlah strategi koping. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, strategi koping yang dilakukan oleh keluarga akan semakin meningkat.

Pendidikan istri dan suami tidak berpengaruh signifikan terhadap strategi koping keluarga. Hal ini diduga karena pendidikan istri dan suami yang cenderung homogen. Akan tetapi, pendidikan istri dan suami memiliki hubungan yang positif dengan strategi koping. Semakin tinggi pendidikan suami dan istri, strategi koping yang dilakukan oleh keluarga akan semakin banyak. Semakin tinggi pendidikan menunjukkan wawasan serta jejaring yang dimiliki akan semakin meningkat sehingga strategi koping yang dilakukan keluarga akan semakin banyak terutama dalam menambah pendapatan yang lebih sulit diwujudkan dibanding mengurangi pegeluaran atau berhemat. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) diacu dalam Rachmawati (2010), salah satu faktor yang mempengaruhi banyaknya strategi koping adalah pengalaman dalam menghadapi masalah.

Tipe keluarga berpengaruh negatif signfikan terhadap strategi koping keluarga. Keluarga luas memiliki strategi koping yang lebih sedikit dibandingkan dengan keluarga inti. Variabel pekerjaan tambahan suami berpengaruh positif signifikan terhadap strategi koping. Adanya pekerjaan tambahan yang dimiliki suami menunjukkan sebagai salah satu bentuk strategi koping menambah pendapatan yang dimiliki oleh keluarga. Pendapatan suami dari pekerjaan utama dirasa belum mencukupi kebutuhan keluarga sehingga suami melakukan suatu upaya menambah pendapatan dengan cara memiliki pekerjaan tambahan.

Pendapatan keluarga memiliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap jumlah strategi koping yang dilakukan keluarga. Semakin tinggi pendapatan keluarga maka strategi koping yang dilakukan akan semakin sedikit. Deacon dan Firebough (1988) menyatakan bahwa keluarga memiliki strategi koping apabila terjadi penurunan pendapatan sehingga akan mempengaruhi alokasi pengeluaran keluarga. Status kesejahteraan keluarga berpengaruh negatif signifikan terhadap strategi koping. Keluarga yang lebih sejahtera akan melakukan strategi koping yang lebih sedikit dibandingkan dengan keluarga yang tidak sejahtera.

(29)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Investasi Anak

Perilaku investasi anak adalah tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh orang tua untuk menunjang pendidikan dan kesehatan anak. Berdasarkan hasil uji regresi linier berganda dengan perilaku investasi anak sebagai variabel dependent diperoleh nilai Adjusted R square sebesar 0,111. Artinya sebesar 11,1 persen variabel yang mempengaruhi perilaku investasi anak dapat dijelaskan oleh model. Diantara lima variabel yang diduga berpengaruh terhadap perilaku investasi anak, variabel pendidikan istri memiliki pengaruh terbesar di antara variabel lain. Setiap kenaikan 1 tahun pendidikan istri maka akan terjadi kenaikan perilaku investasi anak sebesar 1,915 poin.

Tabel 31 Nilai koefisien regresi linier faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi anak Variabel Koefisien β Tidak terstandarisasi Terstandarisasi .Sig Konstanta 28,806 - 0,001

Jumlah anggota keluarga (orang) -0,279 -0,035 0,813

Pendidikan istri (tahun) 1,915 0,299 0,020**

Pendidikan suami (tahun) -0,191 -0,033 0,804

Tipe keluarga (0=keluarga inti,

1=keluarga luas) -6,057 -0,209 0,133

Pendapatan keluarga (rupiah) 5,347E-6 0,238 0,059*

F 2,616

R 0,423

Adjusted R square 0,111**

Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 90% **=signifikan pada selang kepercayaan 95% ***=signifikan pada selang kepercayaan 99%

Jumlah anggota keluarga berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap perilaku investasi anak. Hal ini diduga karena banyaknya anggota keluarga didominasi oleh anak yang sudah tidak sekolah. Semakin banyak jumlah anggota keluarga akan menyebabkan kasih sayang yang diberikan orang tua semakin berkurang. Menurut Gunarsa (1990) diacu dalam Hartoyo dan Hastuti (2003), dalam keluarga kecil seorang anak tidak perlu memperjuangkan kasih sayang dari orang tuanya, tetapi anak-anak dalam keluarga besar harus berjuang untuk mendapat kasih sayang orang tua. Semakin banyak jumlah anggota keluarga diasumsikan dengan semakin bertambahnya jumlah anak. Menurut Laybourn (1994) diacu dalam Tyas (2008), anak yang memiliki saudara tidak bisa mendapatkan seluruh perhatian dan cinta orang tuanya karena orang tua tersebut harus membagi kasih sayang kepada semua anak yang dimilikinya tanpa pilih kasih.

(30)

Pendidikan istri berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku investasi anak. Semakin tinggi pendidikan istri maka perilaku investasi yang diberikan untuk anak akan semakin baik. Lain halnya dengan pendidikan istri, pendidikan suami memiliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap perilaku investasi anak. Perbedaan hasil ini dikarenakan, perilaku investasi terkait dengan pengasuhan yang lebih banyak dilakukan oleh istri atau ibu. Dilihat dari tipe keluarga, tipe keluarga berpengaruh negatif signifikan terhadap perilaku investasi anak. Keluarga luas memiliki perilaku investasi yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tinggal hanya dengan keluarga inti. Pendapatan keluarga berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku investasi anak. Semakin tinggi pendapatan keluarga maka perilaku investasi yang diberikan orang tua akan semakin tinggi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Uang untuk Anak

Uji regresi linier berganda digunakan untuk menentukan faktor yang berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran uang untuk anak. Alokasi pengeluaran uang dihitung berdasarkan nilai rupiah dan persentase dari pendapatan rata-rata keluarga seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 32 di bawah ini. Berdasarkan uji regresi linier berganda diperoleh nilai Adjusted R square sebesar 0,469 untuk pengeluaran dalam rupiah dan pengeluaran dalam persen. Artinya, sebesar 46,9 persen faktor yang berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran anak dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti.

Hasil uji regresi keduanya menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga, jumlah anak sekolah, pendidikan suami, tipe keluarga dan pendapatan keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap alokasi uang untuk anak pada keluarga buruh pemetik melati gambir. Diantara tujuh variabel yang diduga berpengaruh terhadap alokasi uang untuk anak, variabel jumlah anak sekolah memiliki pengaruh terbesar dibandingkan variabel lainnya. Setiap penambahan satu orang anak sekolah, alokasi uang untuk anak akan bertambah sebanyak Rp 139.104,665 atau 21,431 persen dari total pendapatan keluarga.

(31)

Tabel 32 Nilai koefisien regresi linier faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi uang untuk anak

Variabel Pengeluaran (Rp) Pengeluaran (%)

B Beta .Sig B Beta .Sig

Konstanta -23.656,961 - 0,763 -3,643 - 0,763

Jumlah anggota

keluarga (orang) -41.664,834 -0,476 0,001*** -6,419 -0,476 0,001***

Jumlah anak sekolah

(orang) 139.104,665 0,778 0,000*** 21,431 0,778 0,000***

Pendidikan istri (tahun) -8.637,462 -0,124 0,228 -1,331 -0,124 0,228 Pendidikan suami (tahun) 20.734,275 0,325 0,002*** 3,194 0,325 0,002*** Tipe keluarga (0=keluarga inti, 1=keluarga luas) 77.265,123 0,245 0,055* 11,902 0,245 0,055* Pendapatan keluarga (rupiah) 0,078 0,320 0,003*** 1,208E-5 0,320 0,003***

Perilaku Investasi (skor) 682,388 0,063 0,554 0,105 0,063 0,554

F 9,187 9,187

R 0,725 0,725

Adjusted R square 0,469*** 0,469***

Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 90% **=signifikan pada selang kepercayaan 95%

***=signifikan pada selang kepercayaan 99%

Jumlah anggota keluarga memiliki hubungan negatif signifikan terhadap alokasi uang untuk anak. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka akan semakin kecil alokasi uang yang diterima oleh masing-masing anggota keluarga. Banyaknya anak sekolah akan membuat pengeluaran orang tua untuk anak semakin tinggi, baik untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan maupun kebutuhan lain-lain. Diantara pendidikan orang tua, pendidikan suami lebih berpengaruh secara signifikan dibandingkan dengan pendidikan istri. Lain halnya dengan perilaku investasi anak yang lebih dipengaruhi oleh pendidikan istri, alokasi uang dipengaruhi oleh pendidikan suami. Tipe keluarga yang dibedakan menjadi keluarga inti dan keluarga luas. Tipe keluarga memiliki pengaruh positif signifikan terhadap alokasi uang untuk anak. keluarga luas memiliki alokasi uang yang lebih banyak dibandingkan dengn keluarga inti.

Pendapatan keluarga berpengaruh positif sangat signifikan terhadap alokasi uang untuk anak. Semakin tinggi pendapatan keluarga, maka alokasi uang yang diberikan untuk anak semakin besar. Sementara itu, hasil penelitian tidak menunjukkan bahwa perilaku investasi berpengaruh secara signifikan terhadap alokasi uang untuk anak. Akan tetapi, terdapat hubungan yang positif diantara kedua variabel. Semakin baik perilaku investasi anak, alokasi uang yang diberikan orang tua untuk anak akan semakin tinggi.

(32)

Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji strategi koping dan perilaku investasi anak pada keluarga buruh pemetik melati gambir yang dilakukan di Desa Gelang, Kecamatan Rakit, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Keluarga buruh merupakan keluarga dengan pendapatan rendah. Pendapatan rendah menjadi penyumbang besar terhadap kemiskinan yang dialami oleh masyarakat, khususnya masyarakat perdesaan. Bekerja sebagai buruh tidak memerlukan pendidikan tinggi karena buruh lebih mengandalkan kekuatan fisik untuk bekerja. Termasuk dalam kelompok ini adalah buruh pemetik melati gambir. Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang bekerja sebagai buruh pemetik melati dan memiliki anak sekolah (3-18 tahun).

Rata-rata pendapatan keluarga buruh pemetik melati gambir adalah Rp 649.090,91/bulan. Sumber pendapatan keluarga adalah suami, istri dan terdapat beberapa keluarga dengan anak bekerja. Meskipun pendapatan buruh pemetik melati gambir tergolong rendah, buruh pemetik melati gambir memiliki kontribusi penting terhadap pendapatan keluarga. Istri yang bekerja memiliki kontribusi sebesar 26,25 persen terhadap pendapatan keluarga yang terdiri atas 20,65 persen dari pendapatan utama sebagai buruh pemetik melati gambir dan 5,60 persen dari pendapatan tambahan. Hasil ini mendukung pernyataan Suryocondro (1987) dalam Suryawati (2002) bahwa setiap wanita bekerja di luar rumah dapat membawa dampak positif terhadap pendapatan keluarga.

Pendapatan rata-rata buruh pemetik melati gambir adalah Rp 134.015,15/bulan dengan kisaran antara Rp 30.000,00 hingga Rp 300.000,00/bulan. Perbedaan pendapatan ini tergantung pada perolehan bunga melati gambir setiap harinya. Tidak terdapat jadwal bekerja bagi buruh pemetik melati gambir. Biasanya, pemetik melati gambir memulai kegiatannya pada pukul 06.00 WIB dan berakhir dengan waktu yang tidak menentu, tergantung pada habis atau belumnya bunga melati yang dapat dipetik pada hari itu. Akan tetapi, biasanya kegiatan memetik melati gambir dilakukan selama kurang lebih lima sampai enam jam.

Pendapatan sebagai buruh pemetik melati gambir tergolong kecil, akan tetapi memiliki manfaat yang besar, antara lain istri dapat membantu suami untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Penggunaan ini merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh istri sebagai buruh pemetik melati.

Gambar

Tabel 5 Sebaran keluarga berdasarkan usia suami dan istri
Tabel 8 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan istri dan suami
Tabel 12 Kontribusi anggota keluarga terhadap pendapatan keluarga per bulan  Sumber
Tabel  15  Sebaran  keluarga  berdasarkan  14  kriteria  rumah  tangga  miskin  penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT)
+7

Referensi

Dokumen terkait

keberadaan Harian Tribun Timur di tengah arus perkembangan media online setelah beberapa tahun terakhir menjadi koran nomor satu di kota Makassar, berdasarkan hasil

Agama Adam bagi warga Samin merupakan ajaran yang mengedepankan nilai-nilai etika dan dalam realitanya memegang teguh pada prinsip hidup yang bersifat

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah penggenangan air, dengan judul Pengaruh Tinggi Penggenangan Air terhadap Pertumbuhan

Tujuan ini mempunyai justifikasi teoritis, walaupun mungkin menghadapi masalah- masalah operasional (terutama di Negara-negara yang sedang berkembang) : (i) Tujuan ini tidak

Bangunan dirancang dengan konsep strong coloum weak beam dengan sistem rangka pemikul momen khusus agar lebih daktail. Dalam perencanaan tahanan gedung terhadap

Jalur langsung adalah jalur yang memiliki jalur khusus berupa trotoar yang menghubungkan langsung antar gedung asal dengan gedung yang menjadi tujuan pejalan

Siswa dapat menulis kata, frasa dan kalimat yang sesuai dengan gambar, dengan huruf, ejaan dan tanda baca yang tepat2. Siswa dapat menyusun kata-kata acak menjadi

Penentuan awal dan panjang musim kemarau dilakukan dengan menganalisis fungsi kumulatif dari curah hujan harian dalam satu tahun.. Curah hujan yang terjadi di suatu