• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHASA KAO SEBAGAI BAHASA YANG TERANCAM PUNAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAHASA KAO SEBAGAI BAHASA YANG TERANCAM PUNAH"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAHASA KAO SEBAGAI BAHASA YANG TERANCAM PUNAH M. Umar Muslim

mohammad_mslm@yahoo.com Universitas Indonesia Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan bahasa. Di antara ratusan bahasa yang ada di Indonesia, banyak bahasa yang terancam punah. Salah satu bahasa yang terancam punah adalah bahasa Kao yang digunakan oleh orang Kao di Kao, Halmahera Utara. Informasi tentang bahasa Kao sangat sedikit dan sulit didapatkan. Informasi yang didapatkan dari Ethnologue (Lewis 2009) adalah bahwa populasinya 300 orang pada tahun 2000. Akan tetapi, jumlah populasi ini tidak jelas apakah jumlah orang Kao atau jumlah penutur bahasa Kao. Disebutkan juga bahwa orang Kao bergama Islam dan orang Kao belajar Kao ketika mereka menjadi remaja.Dalam tulisan ini akan dipaparkan hal-hal berkaitan dengan bahasa Kao berdasarkan penelitian lapangan sekitar empat minggu.i Masih banyak hal yang perlu dicek dan ditindaklanjuti sehingga informasi yang disajikan dalam tulisan ini menjadi lebih akurat. Kao: Wilayah, Orang, dan Bahasa

Kata Kao mempunyai beberapa pengertian. Kao dapat mengacu pada wilayah, orang, bahasa atau gabungan dari dua atau tiga hal ini. Sebagai wilayah, dalam pengertian luas Kao adalah wilayah di Halmahera Utara yang paling tidak meliputi 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Kao, Kecamatan Kao Barat, Kecamatan Kao Utara, dan Kecamatan Malifut. Dalam pengertian sempit, Kao sebagai wilayah hanya meliputi Kecamatan Kao. Dalam pengertian yang lebih sempit lagi, Kao mengacu pada daerah yang hanya meliputi Desa Kao, satu dari 14 desa yang terdapat di Kecamatan Kao. Desa Kao merupakan pusat keramaian di Kecamatan Kao. Kantor Kecaamatan Kao sendiri terletak di Desa Kao. Di Desa Kao juga terdapat dua pasar, yaitu Pasar Lama dan Pasar Baru.

Dalam penggunaannya untuk mengacu pada orang, orang Kao adalah orang tinggal di wilayah Kao. Karena Kao sebagai wilayah mempunyai beberapa pengertian, sebutan orang Kao juga mempunyai beberapa pengertian. Dalam pengertian luas orang Kao adalah orang yang tinggal di 4 kecamatan di atas. Dalam pengertian yang lebih sempit, orang Kao adalah orang yang tinggal di Kecamatan Kao. Dalam pengertian yang lebih sempit lagi orang Kao adalah orang yang tinggal di Desa Kao. Orang-orang yang tinggal di Desa Kao ini terdiri atas tiga kelompok: penduduk setempat/asli, penduduk etnis Cina, dan penduduk pendatang. Penduduk asli Desa Kao adalah orang-orang setempat yang secara turun-temurun tinggal di Desa Kao. Mereka membentuk komunitas tersendiri yang berbeda dengan komunitas-komunitas lain di sekitarnya. Mereka mempunyai dua ciri yang menonjol: (1) mereka beragama Islam dan (2) mereka mempunyai tradisi berziarah ke makam keramat di Desa Popon (salah satu desa di Kecamatan Kao) sebelum bulan puasa (Ramadan). Penduduk asli Desa Kao tinggal mengelompok dalam satu kampung yang oleh orang luar disebut Kampung Islam. Di Desa Kao juga terdapat beberapa orang Cina yang sudah lama menetap. Mereka tinggal di Pasar Lama. Penduduk pendatang Desa Kao adalah orang-orang tinggal di Desa Kao dan berasal dari luar Halmahera (seperti Bugis, Jawa, dan Padang). Mereka pada umumnya bekerja sebagai pedagang dan tinggal di Pasar Baru dan sekitarnya. Dalam tulisan ini, tidak akan dibicarakan hal-hal yang berkaitan dengan penduduk etnis Cina dan penduduk pendatang Desa Kao. Dengan demikian, yang disebut orang Kao selanjutnya adalah penduduk asli Kao.

Dalam penggunaannya untuk mengacu pada bahasa, apa yang disebut bahasa Kao juga mempunyai beberapa pengertian, tetapi pengertian ini tidak selalu berkaitan dengan pengertian Kao sebagai wilayah. Pertama, dalam pengertian luas bahasa Kao adalah bahasa daerah yang digunakan oleh orang yang tinggal di Desa Kao dan orang yang tinggal di desa lain di Kao, yaitu orang Pagu dan orang Towiliko. Dengan demikian, bahasa Kao mencakup juga apa yang disebut bahasa Pagu dan bahasa Towiliko. Kedua, dalam pengertian yang lebih sempit bahasa Kao adalah sebutan untuk bahasa daerah yang digunakan oleh orang yang tinggal di Desa Kao dan orang Pagu. Dengan demikian, bahasa Pagu dalam pengertian ini merupakan dialek bahasa Kao. Ketiga, bahasa Kao adalah bahasa daerah yang digunakan oleh orang yang tinggal di Desa Kao atau orang Kao. Dalam pengertian terakhir ini, bahasa

(2)

Kao berbeda dengan bahasa Pagu dan bahasa Towiliko. Dalam tulisan ini apa yang disebut bahasa Kao mengacu pada pengertian yang ketiga, yaitu bahasa daerah yang digunakan orang Kao.

Penutur Bahasa Kao

Di Desa Kao terdapat sekitar 400 KK. Apabila setiap keluarga rata-rata beranggotakan 4 orang, jumlah penduduk di Desa Kao sekitar 1.600 jiwa. Dari jumlah ini 80% atau 1.280 orang merupakan etnis Kao dan 20% atau 320 merupakan etnis Cina yang sudah lama menetap dan etnis pendatang yang berasal dari luar Halmahera (yang paling dominan adalah etnis Bugis). Orang Kao umumnya menikah dengan orang dari luar Kao. Dengan demikian, jumlah orang Kao asli (yaitu orang yang kedua orang tuanya berdarah Kao asli) sangat sedikit (mungkin kurang dari 10 orang).

Semua orang Kao dapat menggunakan bahasa Melayu (di Halmahera disebut bahasa Melayu Ternate) dan bahasa Indonesia. Hanya sedikit yang masih dapat menguasai dan menggunakan bahasa Kao. Dari 1.280 orang Kao hanya sekitar 3% atau 36 orang yang dapat berbahasa Kao.ii Mereka yang dapat berbahasa Kao berusia di atas 40 tahun. Berdasarkan usianya, penutur bahasa Kao dapat dikelompokkan atas tiga kelompok. Pada dasarnya, semakin tua usia seorang penutur, semakin fasih bahasanya.

I 40—49 tahun (sekitar 10 orang) : cukup fasih II 50—59 tahun (sekitar 16 orang) : fasih III 60 tahun ke atas (sekitar 10 orang) : sangat fasih

Penutur bahasa dari Kelompok I adalah penutur yang berusia antara 40 dan 49 tahun. Penutur dari kelompok ini mengerti bahasa Kao dan dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Kao dengan cukup fasih. Bahasa Kao yang mereka gunakan mengandung banyak kata-kata dari bahasa lain, terutama bahasa melayu. Di antara ketiga kelompok penutur bahasa Kao, penutur dari kelompok ini mengalami paling banyak kesulitan dalam memberikan padanan sejumlah kata bahasa Indonesia dalam bahasa Kao.

Penutur bahasa dari Kelompok II adalah penutur yang berusia antara 50 dan 59 tahun. Penutur dari kelompok ini mengerti bahasa Kao dan dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Kao dengan fasih. Bahasa Kao yang mereka gunakan diwarnai kata-kata dari bahasa lain, terutama bahasa Melayu. Mereka juga masih mengalami kesulitan dalam memberikan padanan sejumlah kata bahasa Indonesia dalam bahasa Kao.

Penutur bahasa dari Kelompok III adalah penutur yang berusia 60 tahun ke atas. Mereka dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Kao dengan sangat fasih. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam memberikan padanan sejumlah kata bahasa Indonesia dalam bahasa Kao.

Dari segi pendidikan, hampir semua orang Kao dewasa pernah mengenyam pendidikan formal sehingga hampir semua orang Kao dapat membaca. Kebanyakan dari mereka berpendidikan setingkat SMP dan SMA; sejumlah kecil, yaitu mereka yang berusia di bawah 40 tahun, pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.

Untuk pekerjaan, kebanyakan orang Kao bekerja sebagai petani dan nelayan. Sebagian kecil bekerja sebagai pegawai dan buruh.

Karena hampir semua penutur bahasa Kao berusia 40 tahun ke atas, sebagian dari mereka adalah tokoh-tokoh masyarakat, adat, dan agama.

Penggunaan Bahasa Kao

Bahasa Kao jarang digunakan dalam keluarga. Ini dapat dipahami karena sebagian besar orang Kao menikah dengan orang dari etnis lain yang bahasanya berbeda. Dalam komunitas Kao, orang luar yang menetap di Desa Kao tidak dituntut untuk belajar atau menggunakan bahasa Kao. Orang Kao sendiri tidak mengajarkan bahasa Kao kepada anak-anaknya. Bahasa yang digunakan dalam keluarga adalah bahasa Melayu.

Seperti disebutkan di atas, menurut Ethnologue (Lewis 2009) orang Kao belajar bahasa Kao ketika mereka menjadi remaja. Informasi ini juga saya dapatkan dari salah seorang tokoh masyarakat

(3)

Kao. Akan tetapi, informasi ini patut diragukan kebenarannya karena informasi dari penutur bahasa Kao yang lain tidak demikian. Bahkan salah seorang penutur yang paling fasih berbahasa Kao menuturkan beberapa cerita anak dalam bahasa Kao yang biasa diperdengarkan untuk anak-anak di masa lalu.

Agaknya aneh kalau dikatakan bahwa ada cerita untuk anak dalam bahasa Kao, tetapi tidak ada anak-anak yang dapat berbahasa Kao (karena mereka belajar bahasa Kao pada masa remaja)..

Dalam kehidupan sehari-hari di luar rumah (seperti di warung dan pasar), bahasa Kao masih digunakan oleh orang Kao, tetapi ini dilakukan secara terbatas, yaitu di antara orang-orang yang dapat berbahasa Kao dalam situasi di mana semua peserta komunikasi dapat berbahasa Kao. Apabila dalam situasi tersebut ada orang yang tidak dapat berbahasa Kao, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu. Bahasa Kao kadang-kadang digunakan hanya untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat rahasia atau yang tidak seharusnya diketahui

Dalam ranah adat, agama, administrasi/pemerintahan, dan pendidikan, bahasa Kao tidak digunakan. Untuk ranah adat, pemerintahan, dan pendidikan bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu. Untuk ranah agama (khutbah atau ceramah keagamaan) bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia.

Sikap Bahasa Orang Kao terhadap Bahasa Kao

Orang Kao mempunyai sikap yang mendua terhadap bahasa Kao. Di satu sisi, mereka senang apabila bahasa Kao digunakan secara luas dalam berbagai situasi. Mereka juga senang apabila bahasa Kao diajarkan di sekolah. Mereka tidak merasa senang apabila bahasa Kao punah.

Di sisi lain, orang Kao yang tidak dapat berbahasa Kao pada umumnya tidak ingin belajar bahasa Kao dan mereka yang dapat berbahasa Kao tidak mengajarkan bahasa Kao kepada anak-anak mereka atau tidak menggunakan bahasa Kao dalam banyak situasi.

Ada sejumlah faktor yang tampaknya menyebabkan sikap mendua orang Kao terhadap bahasa Kao. Pertama, orang Kao sadar bahwa bahasa Kao merupakan bagian penting budaya Kao. Apabila bahasa Kao punah, ada bagian dari budaya Kao yang hilang. Mereka sangat senang ketika mendengar bahwa kami, tim peneliti, ingin belajar bahasa dan budaya Kao. Dengan antusias, mereka mengajari kami bahasa dan budaya Kao. Ini merupakan sikap positif mereka terhadap bahasa Kao.

Kedua, orang Kao menunjukkan sikap toleransi yang tinggi terhadap orang luar berbagai hal termasuk dalam hal penggunaan bahasa. Orang Kao merasa tidak nyaman menggunakan bahasa Kao apabila ada orang dari etnis lain di sekitarnya. Untuk menjaga perasaan orang lain, mereka cenderung menggunakan bahasa Melayu.

Ketiga, sebagian orang Kao menikah dengan orang dari etnis lain. Jumlah kawin campur yang sangat tinggi ini ditambah sikap toleransi berbahasa orang Kao tampaknya telah menyebabkan

berkurangnya penggunaan bahasa Kao. Orang Kao pada umumnya menggunakan bahasa Melayu dengan suami atau istri mereka yang berasal dari etnis lain. Ketika mereka mempunyai anak, mereka juga menggunakan bahasa Melayu dengan anak-anak mereka.

Keempat, orang Kao selalu berhubungan dengan orang dari berbagai etnis karena Desa Kao dilalui kendaraan dari Ternate ke Tobelo atau sebaliknya. Desa Kao juga merupakan pusat keramaian dan perdagangan di Kecamatan Kao karena di sini terdapat dua pasar, yaitu Pasar Lama yang didiami etnis Cina dan Pasar Baru yang didiami berbagai etnis, seperti Bugis, Minang, dan Jawa. Letak geografis ini juga menyebabkan sering digunakannya bahasa Melayu.

Bahasa Kao dan Bahasa-Bahasa Lain di Halmahera Utara

Di Halmahera terdapat puluhan bahasa. Bahasa-bahasa, selain bahasa Kao, yang digunakan di Kecamatan Kao atau bahasa-bahasa yang penuturnya sering berhubungan dengan orang Kao adalah bahasa Melayu, bahasa Ternate, bahasa Tobelo, bahasa Towiliko, bahasa Pagu, bahasa Modole, dan bahasa Makian.

Bahasa Melayu merupakan bahasa yang paling banyak digunakan. Orang dari berbagai etnis dengan bahasa yang berbeda menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi. Seiring dengan makin banyaknya bahasa daerah yang terancam punah, semakin banyak generasi muda di Kecamatan Kao dari berbagai etnis yang hanya dapat berbahasa Melayu (monolingual).

(4)

Bahasa Ternate di masa lalu digunakan sebagai bahasa pengantar di Halmahera karena dari sejarahnya Halmahera berada di bawah Kesultanan Ternate. Akan tetapi, sekarang bahasa Ternate hampir tidak digunakan di Kecamatan Kao. Hanya orang-orang tua yang masih dapat berbahasa Ternate, tetapi tampaknya mereka juga tidak lagi menggunakan bahasa ini.

Bahasa Tobelo merupakan bahasa yang digunakan oleh sejumlah etnis, di antaranya etnis Boeng. Di Kecamatan Kao terdapat komunitas Boeng di Desa Jati, di sebelah utara Desa Kao. Pada umumnya, orang beragama Kristen. Bahasa Tobelo masih digunakan oleh banyak orang Boeng di Kecamatan Kao. Akan tetapi, semakin banyak generasi muda Boeng di Kecamatan Kao yang tidak dapat lagi berbahasa Tobelo.

Bahasa Pagu adalah bahasa yang digunakan oleh etnis Pagu yang sebagian besar tinggal di Kecamatan Malifut di sebelah selatan Kecamatan Kao. Pada umumnya orang Pagu beragama Kristen. Sekarang ini, semakin banyak generasi muda Pagu yang tidak bisa berbahasa Pagu.

Bahasa Towiliko adalah bahasa yang digunakan etnis Towiliko di Kecamatan Kao Barat di sebelah barat Kecamatan Kao. Pada umumnya, orang Towiliko juga beragama Kristen. Bahasa Towiliko juga mulai ditinggalkan oleh generasi muda Towiliko.

Bahasa Modole adalah bahasa yang digunakan oleh etnis Modole yang juga di Kecamatan Kao Barat. Orang Modole juga beragama Kristen. Di beberapa desa, semakin banyak generasi muda yang tidak dapat berbahasa Modole.

Bahasa Makian digunakan oleh etnis Makian yang tinggal di Kecamatan Malifut. Orang Makian ini adalah pendatang dari Pulau Makian. Di Kecamatan Kao, tepatnya di Desa Kusu, juga terdapat beberapa orang Makian. Pada umumnya, orang Makian beragama Islam.

Bahasa Kao bersama dengan bahasa Tobelo, Ternate, Pagu, Towiliko, Modole, dan Makian termasuk dalam kelompok bahasa non-Austronesia (tepatnya bahasa Papua Barat) (Grimes dan Grimes 1984). Bahasa Kao, Tobelo, Pagu, Towiliko, dan Modole mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa penutur bahasa-bahasa tersebut dapat saling mengerti. Bahasa Kao mempunyai hubungan yang paling dekat dengan bahasa Pagu. Penghitungan leksikostatistik oleh Grimes dan Grimes (1984:41) menunjukkan persamaan kosakata sebesar 82% yang menunjukkan bahwa kedua bahasa tersebut bukan merupakan dua bahasa yang berbeda, tetapi merupakan dua dialek dari bahasa yang sama.

Walaupun secara leksikosatisitik, bahasa Kao dan bahasa Pagu merupakan dua dialek dari bahasa yang sama, orang Kao dan orang Pagu menganggap bahasa Kao dan bahasa Pagu sebagai dua bahasa yang berbeda. Perbedaan ini tampaknya berkaitan dengan perbedaan identitas agama, yaitu orang Kao beragama Islam dan orang Pagu beragama Kristen (Wimbish 1991:6).

Struktur Bahasa Kao

Seperti telah disebutkan di atas, bahasa Kao bersama dengan sejumlah bahasa di Halmahera, seperti bahasa Tobelo, Pagu, dan Modole, termasuk bahasa Papua Barat. Bahasa-bahasa Papua Barat pada umumnya mempunyai urutan SOV (Subjek-Objek-Verba/Predikat). Dari pengamatan dan elisitasi kalimat-kalimat dalam bahasa Kao, bahasa Kao telah mengalami perubahan urutan dari SOV menjadi SVO. Dalam contoh berikut dari bahasa Kao, subjek (S) kalimatnya adalah ngoi ‘saya’ yang diikuti predikat (V) tooke ‘minum dan objek (O) o te ‘teh’.

(1) Ngoi to-oke o te. (Bahasa Kao)

1S 1S-minum ART teh

‘Saya minum teh.’

Kalimat di atas berstruktur SVO. Bandingkan dengan contoh berikut dari bahasa Pagu yang berstruktur SOV:

(5)

3SM 3SM.Pos galah bambu 3SM-KAU-lihat ‘Dia (laki-laki) memperlihatkan galah bambunya.’

Subjek (S) kalimat di atas adalah una ‘dia (laki-laki)’ yang diikuti objek (O) awi louk ‘galah bambunya’ dan predikat (V) wosimatok ‘memperlihatkan’.

Seperti bahasa-bahasa Papua Barat yang lain, bahasa Kao mempunyai sistem persesuaian antara subjek dengan predikatnya (S dan V). Persesuaian ini ditunjukkan melalui pronomina klitik yang dilekatkan pada predikat atau verbanya. Seperti terlihat pada contoh satu, apabila subjeknya ngoi ‘saya’, predikatnya oke ‘minum’ harus dilekati to- menjadi tooke. Apabila subjeknya ngona ‘kamu’ predikatnya harus dilekati no sehingga akan menjadi nooke.

Perubahan struktur SOV menjadi SVO dalam bahasa Kao menarik apabila dikaitkan dengan laju kepunahan bahasa Kao. Di antara bahasa-bahasa yang berkerabat dekat dengan bahasa Kao yang telah disebutkan di atas, yaitu bahasa Boeng, Pagu, Towiliko, dan Modole, bahasa Kao mempunyai struktur kalimat yang sangat berbeda. Perubahan struktur dari SOV ke SVO mungkin dipengaruhi oleh penggunaan bahasa Melayu yang sangat dominan di antara penutur bahasa Kao sehingga lambat laun struktur bahasa ini menjadi mirip dengan bahasa Melayu yang berstruktur SVO.

Masa Depan Bahasa Kao

Tidak diajarkannya bahasa Kao kepada generasi muda, apabila dikaitkan dengan usia termuda penutur bahasa Kao, yaitu sekitar 40 tahun, mulai berlangsung sekitar 40 tahun yang lalu atau sejak tahun 1970-an. Apabila situasi ini terus berlangsung, dalam 20—30 tahun (paling cepat sekitar tahun 2030-an) bahasa Kao akan punah karena penuturnya pada saat itu tidak ada lagi (mencapai usia 60—70 tahun).

Berkaitan dengan tingkat kepunahan bahasa, Stephen Wurm (Crystal 2000: 21) membagi lima tingkat kepunahan bahasa, yaitu : (1) kemungkinan terancam punah (mulai kehilangan penutur anak-anak) (2) terancam punah (tidak dipelajari anak-anak atau hanya sedikit anak-anak yang belajar) dan penutur yang fasih adalah orang dewasa) (3) sangat terancam punah (penutur yang fasih berusia 50 tahun ke atas) (4) moribun (penutur yang fasih sedikit dan sudah sangat tua) (5) punah (tidak ada lagi

penuturnya).Apabila dikaitkan dengan lima tingkat bahaya kepunahan bahasa yang diajukan Stephen Wurm, bahasa Kao sekarang ini ada dalam tingkat ketiga, yaitu termasuk dalam bahasa yang sangat terancam punah karena sekarang ini tidak ada penutur anak-anak dan penutur yang fasih berusia 50 tahun ke atas.

Apakah bahasa Kao masih dapat diselamatkan? Untuk menyelamatkan bahasa dari kepunahan, faktor terpenting adalah kemauan dari penutur bahasa yang bersangkutan untuk terus menggunakan bahasa tersebut dan mengajarkannya kepada generasi muda. Mengingat penutur termuda bahasa Kao berusia 40-an tahun, pewarisan bahasa tersebut kepada generasi muda akan sangat sulit. Akan tetapi, dengan kemauan yang keras, kesadaran yang tinggi, serta dorongan dan bantuan dari pihak luar, bukan tidak mungkin bahasa Kao masih dapat diselamatkan.

Penutup

Indonesia mempunyai ratusan bahasa daerah yang masa depannya tidak jauh berbeda dengan bahasa Kao. Semakin banyak penutur bahasa daerah yang tidak mengajarkan bahasanya kepada generasi muda dan semakin banyak generasi muda yang meninggalkan bahasanya beralih menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Apabila keadaan ini terus berlangsung, pada abad yang akan datang akan ada banyak bahasa yang punah. Untuk mencegah kepunahan bahasa-bahasa di Indonesia perlu dilakukan usaha-usaha untuk mendorong agar penutur bahasa daerah terus menggunakan bahasanya dan mewariskannya pada generasi muda. Untuk itu perlu digiatkan penelitian terhadap bahasa-bahasa yang terancam punah sehingga didapatkan temuan-temuan yang dapat memberikan sumbangan pada usaha penyelamatan bahasa.

(6)

Crystal, David. 2000. Language Death. Cambridge: Cambridge University Press.

Dorian, Nancy C. 1989. Investigating Obsolescence: Studies in Language Contraction and Death. Cambridge: Cambridge University Press.

Grimes, Barabara F. 2002. Kecenderungan Bahasa untuk Hidup atau Mati secara Global (Global

Language Viability): Sebab, Gejala, dan Pemulihan untuk Bahasa-Bahasa yang Terancam Punah, dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed.), PELBBA 15, 1—33. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya, Unika Atma Jaya.

Grimes, Charles E. dan Barbara D. Grimes. 1984. Languages of the North Mollucas: A Preliminary Lexicostatistic Classification, dalam E.K.M. Masinambow (ed.), Maluku dan Irian Jaya (Buletin Leknas Vol. III, No. 1), 35-63. Jakarta: Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Harrison, K. David. 2007. When Languages Die: The Extinction of the World’s Languages and the Erosion of Human Knowledge. Oxford: Oxford University Press.

Nettle, Daniel dan Suzanne Romaine. 2000. Vanishing Voices: The Extinction of the World’s Languages. Oxford: Oxford University Press.

Lewis, M. Paul, ed. 2009. Ethnologue: Languages of the World (Edisi Keenam). Dallas, Texas: SIL International. Versi online: http://www.ethnologue.com/.

Tim Peneliti Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun. 2008. Pemetaan Bahasa Daerah di Maluku Utara: Sebaran, Pemerolehan, dan Pola Penggunaan. Draf Laporan Akhir.

Wildan. 2008. Pemetaan Bahasa 2008 (Bahasa Kao). Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun. Wimbish, Sandra Gay. 1991. An Introduction to Pagu through the Analysis of Narrative Discourse. Tesis

Master, University of Texas at Arlington.

i

Penelitian ini dilakukan sekitar bulan April, Juni, dan Juli 2011. Penelitian ini diselenggaran oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB LIPI) dengan anggaran dari Program Prioritas Nasional “Perlindungan dan Kekayaan Budaya”. Terima kasih saya sampaikan kepada Thung Ju Lan selaku Koordinator Penelitian, rekan-rekan Tim Kao: Endang Retnowati, Sutamat Arybowo, Moh. Azzam Manan, dan Henny Warsilah, serta rekan-rekan peneliti LIPI yang lain atas bantuan dan dukungannya. Terima kasih juga saya sampaikan kepada komunitas Kao terutama Kades Nasir Langgar, H. Hasbi, Qifli, dan Sukur Salampay yang telah mengajari saya budaya dan bahasa Kao.

ii

Informasi tentang jumlah penduduk dan penutur bahasa Kao didasarkan pada keterangan Kepala Desa Bapak Nasir Langgar dan mantan Kepala Desa Bapak Sukur Salampay dan pengamatan di lapangan. Data dari Kecamatan Kao untuk tahun 2011 menyebutkan di Desa Kao terdapat 373 KK dengan jumlah penduduk 1445 orang. Angka-angka ini perlu dicek karena kemungkinan besar ada KK atau penduduk yang tidak tercatat mengingat administrasi di Desa Kao yang tampaknya belum tertata dengan baik.

Referensi

Dokumen terkait

Karena siswa laki-laki lebih memiliki keyakinan akan kemampuan matematikanya, memiliki kemampuan dalam mengolah pengalaman lalunya di dalam pembelajaran matematika

16 Kompresi Medula Akut merupakan penyakit dengan tingkat kompetensi 3B, yang berarti lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinis serta dapat

Seiring dengan hasil riset yang dilakukan oleh Ikhram & Azzuhri (2011) bahwa program-program pelayanan yang disediakan perusahaan berpengaruh signifikan

Untuk menguji variabel bebas secara parsial terhadap variabel terkait digunakan pengujian koefisien regresi secara.. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui ada

Observasi langsung mikrostruktur menggunakan TurboMAP yang melewati sebuah halangan berupa “bukit” di perairan paparan kontinen pesisir pantai Jogashima, Teluk

Berdasarkan pengalaman pengguna, dosis rendah hingga sedang (1-5 gram) serbuk daun kratom memiliki efek stimulan ringan yang menyenangkan, pada dosis lebih tinggi

Berdasarkan hasil penelitian terkait pengaruh konsentrasi substrat terhadap produksi keratinase, media produksi bulu ayam dan sukrosa 0,5% memiliki aktivitas yang

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat dikemukakan simpulan yaitu terdapat perbandingan yang signifikan terhadap aktivitas