• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI PEREMPUAN PENGGEMAR KISAH FIKSI ROMANTIS ANTAR LELAKI (FUJOSHI) TERHADAP PERCINTAAN ANTAR LELAKI (BOY S LOVE) (studi pada budaya populer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSEPSI PEREMPUAN PENGGEMAR KISAH FIKSI ROMANTIS ANTAR LELAKI (FUJOSHI) TERHADAP PERCINTAAN ANTAR LELAKI (BOY S LOVE) (studi pada budaya populer"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI PEREMPUAN PENGGEMAR KISAH FIKSI ROMANTIS ANTAR LELAKI (FUJOSHI) TERHADAP PERCINTAAN ANTAR LELAKI (BOY’S LOVE)

(studi pada budaya populer Jepang) Ratih Puspitasari

(shin_kizuna@yahoo.com) Ari Pratiwi

Amir Hasan Ramli Universitas Brawijaya Malang ABSTRACT

In Indonesia, gay is considered as unacceptable norms and taboo in societies. Nevertheless, apart from this taboo and norms condition, the fans of romantic story between men can be found in Indonesia. Noticing this contradiction, the writer conducts a study to understand the fujoshi perception of boy’s love. Fujoshi is a term for female fans of romantic story between men, while boy’s love is a term for fictional media publisher genre which is focus on the relationship between men that have the quality of homoerotic or homoromantic. The study used is a qualitative study with case study approach of which subjects are 2 fujoshi, members of Johnny’s Family of Malang (JFM) and on their early adolescence, 21 and 25 y.o. The data collection method in this study is a non-participant observations, interviews with source of primary data, interviews with source of secondary data and documentations.. The result of this study shows significant similarity on both subjects’ perception of boy’s love genre and the similarity regarding the factors that affects their perception of boy’s love. Their perception of boy’s love is boy’s love have romantic, interesting and make their heart beat fast or feeling excited compared with a love story between men and women in common. For them, since this is a story between men it self it’s become interesting but even like that, doesn’t mean both of subject’s really agree with love between men (gay). They have a feeling of pro and con about it, both subject’s still pay attention about their religion. Then regarding the factors that affects their perception of boy’s love, it is factors from their self and that is their interest.

Keywords: Perception, Fujoshi, Boy’s Love, early adolescence ABSTRAK

Di Indonesia gay dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan tidak sesuai pada norma yang ada dalam masyarakat. Namun, walaupun dianggap tabu ternyata penggemar kisah romantis antar laki-laki dapat ditemui di Indonesia. Melihat pertentangan tersebut penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi fujoshi terhadap boy’s love. Fujoshi sendiri adalah sebutan untuk perempuan penggemar kisah romantis antar laki-laki, sedangkan boy’s love adalah sebutan untuk genre penerbitan media fiksi yang berfokus pada hubungan antar pria yang bersifat homoerotis maupun homoromantis. Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dimana subyeknya berjumlah 2 orang fujoshi, member dari Johnny’s Family of Malang (JFM) dan berada pada masa dewasa awal, 21 dan 25 tahun. Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah observasi non-partisipan, wawancara sumber data primer, wawancara sumber data sekunder dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesamaan pada persepsi dan faktor yang mempengaruhi persepsi kedua subyek, kedua subyek mempersepsikan bahwa boy’s love memiliki cerita yang romantis, menarik dan bisa membuat mereka berdebar-debar ataupun

excited dibandingkan cerita percintaan antar laki-laki dan perempuan pada umumnya.

Menurut kedua subyek persamaan jenis kelamin antara lelaki lah yang membuatnya menjadi menarik, namun walaupun kedua subyek menyukai genre boy’s love, keduanya tidak benar-benar menyetujui hubungan sesama jenis (gay). Mereka memiliki perasaan pro dan kontra serta masih memperhatikan nilai Agama. Kemudian faktor yang paling mempengaruhi persepsi kedua subyek adalah faktor dalam diri pengarti yaitu minat.

(2)

LATAR BELAKANG

Di Indonesia hal yang berkaitan dengan gay atau homoseksual dianggap sebagai hal yang salah dan melenceng dari norma masyarakat. Pandangan negatif terhadap kaum homoseksual masih sangat tinggi, hal ini dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat yang masih memegang nilai-nilai kesusilaan dan religi yang kuat (Novita, 2008) namun, pada kenyataan setiap negara memiliki pandangan yang berbeda tentang kaum gay, seperti di Jepang, gay bukanlah hal yang aneh. Media-media di Jepang menggambarkan bahwa gay adalah hal yang biasa, terbukti dengan mudahnya ditemukan kisah gay di beberapa drama, anime, manga (komik) atau film yang berasal dari Jepang. Media-media tersebut sering mengangkat tema tentang homoseksual yang terjadi pada lelaki, walaupun terkadang tidak menjadi cerita pokok (Triana, 2012).

Genre yang memfokuskan hubungan antar lelaki biasa disebut dengan boy’s love atau

yaoi. Pengertian boy’s love atau yaoi sering kali disama ratakan walaupun sebenarnya

keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Boy’s love mengacu pada cerita bergenre

shonen-ai yaitu kisah percintaan yang berisikan tema-tema percintaan antar lelaki yang

memfokuskan pada kisah romantisnya daripada hubungan seksual, sedangkan yaoi adalah kisah percintaan antar lelaki yang berisikan percintaan antar lelaki dengan materi hubungan seksual yang lebih banyak dan lebih jelas (McLelland, 2006).

Nagaike (McLelland, 2006), dalam pelitiannya Given Yaoi’s Overwhelmingly Female

Readership, menyatakan bahwa pornografi pada cerita dan ilustrasi pada budaya Jepang

mungkin akan membuat seseorang yang tidak familiar menjadi terkejut, di Jepang terdapat banyak sekali media cetak untuk mencetak hal yang berkaitan dengan pornografi dan hal tersebut di ciptakan dan di konsumsi oleh perempuan, pornografi tidak hanya untuk kaum lelaki. Nagaike juga menyatakan, bahwa cerita dan ilustrasi yaoi yang berisikan hubungan seksual ditunjukkan secara jelas tanpa malu-malu. Yaoi adalah contoh cerita naratif yang

(3)

mengandung pornografi dan di ciptakan oleh perempuan, didalam yaoi sendiri berisikan berbagai macam tindakan seksual.

Perempuan penggemar kisah bergenre boy’s love atau yaoi disebut dengan fujoshi.

Fujoshi (rotten girl) dapat diartikan sebagai gadis busuk atau gadis yang rusak. Fujoshi

sendiri sebenarnya merupakan istilah yang dimaksudkan untuk merendahkan atau mengejek para perempuan penggemar kisah atau hubungan romantis antar lelaki (Aoyama, 2009). Greenberg (2009), menyebut Fujoshi sebagai female yaoi fans yang berarti perempuan penggemar kisah bergenre yaoi (boy’s love). Fujoshi menikmati imajinasi yang berkaitan dengan hal-hal yang akan terjadi jika karakter pria dari manga dan anime atau bahkan terkadang sesuatu yang berasal dari dunia nyata seperti idola lelaki saling mencintai.

Di Indonesia penggemar kisah cinta antar lelaki (fujoshi) sendiri, biasanya tidak menampilkan diri di depan umum. Namun, sebenarnya para fujoshi bisa dapat dengan mudah ditemui di antar penggemar kebudayaan Jepang. Internet adalah media yang sangat penting sebagai tempat mengkontribusikan kepopuleran boy’s love, penggemar dan penulis boy’s love di Indonesia berhasil mengekspor cerita boy’s love, mempopulerkan serta menikmatinya diam-diam dengan mengunakan media internet (McHarry & Pagliassotti, 2010).

Contohnya saja pada penelitian ini, peneliti menemukan fujoshi di salah satu grup pecinta idola Jepang di Malang yang bernama Johnny’s Family of Malang (JFM). JFM adalah grup yang berisikan para fans dari pecinta idola Jepang yang berada di bawah naungan manajemen

Johnny Entertainment. JFM sendiri bukanlah grup yang bergenre boy’s love. Namun,

berdasarkan hasil wawancara pada anggota grup tersebut beberapa orang memaparkan bahwa mereka adalah seorang fujoshi, dan disinilah penulis menyadari bahwa fujoshi bisa saja berada di sekitar kita.

McHarry dan Pagliassotti (2010), menyatakan bahwa di Indonesia, tidak terdapat iklan atau produk yang menayangkan hal-hal yang berkaitan dengan boy’s love. Selain itu, terdapat budaya yang benar-benar melarang dan membatasi hal tersebut. Setelah beberapa

(4)

tahun melakukan penelitian, mereka berdua menemukan bahwa sejarah, politik, agama dan budaya sangat mempengaruhi perkembangan boy’s love di Indonesia, terutama mendominasinya agama Islam yang mencapai 87 persen populasi sehingga, Islam menjadi dasar hukum untuk menentukan moral didalam Negara tersebut.

Berdasarkan pendapat diatas dapat dilihat bahwa di Indonesia hal-hal yang berkaitan dengan gay, boy’s love ataupun homoseksual adalah hal yang tabu, dilarang dan dibatahi, namun walaupun demikian masih terdapat fujoshi yang justru menyukai hal-hal yang berkaitan dengan boy’s love. Dari sinilah penenelitian ini menjadi menarik, ketika masyarakat Indonesia mempersepsikan boy’s love, homoseksual dan gay sebagai sesuatu yang buruk, namun ternyata terdapat fujoshi yang menyukainya. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi fujoshi terhadap boy’s love.

Definisi persepsi sendiri adalah suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan atau menginterpretasikan kesan-kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka (Robbins, 2008) sedangkan, menurut Kinichi dan Kreitner (2003) pada hakekatnya persepsi adalah proses kognitif yang dialami setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Menurut Robbins (2008) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi penafsiran kesan-kesan indera untuk menjadi persepsi yaitu faktor dari diri si pengarti, faktor situasi dan faktor dalam diri target.

Pada penelitian ini peneliti ingin melihat persepsi fujoshi yang berada masa dewasa awal. Papalia (2001) menyatakan bahwa usia dewasa awal dimulai ketika individu menginjak usia 20-40 tahun. Begitu juga Hurlock (2004), mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai umur 40 tahun. Menurut Piaget (Santrock, 2001), pada masa ini kapasitas kognitif dewasa awal tergolong pada tahap operasional formal. Pada tahap operasional formal, pola berpikir sudah jauh lebih fleksibel, sehingga individu mampu melihat suatu persoalan dari berbagai sudut pandang yang berbeda sehingga, individu

(5)

dewasa awal mampu memecahkan masalah yang kompleks dengan kapasitas berpikir abstrak, logis, dan rasional.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas maka penulis bermaksud mengadakan penelitian tentang persepsi fujoshi yang berada pada masa dewasa awal terhadap genre percintaan antar laki-laki boy’s love.

LANDASAN TEORI

A. Boy’s Love

Yaoi adalah sebuah istilah popular dalam bahasa Jepang yang merujuk pada genre penerbitan media fiksi yang berfokus pada hubungan antar pria yang bersifat homoerotis maupun homoromantis. Yaoi juga dikenal dengan sebutan boy’s love. Sebagian orang barat menganggap bahwa yaoi sama seperti boy’s love, karena memiliki materi yang hampir sama namun, sebenarnya keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Boy’s love lebih mengacu pada cerita bergenre shonen-ai yaitu kisah percintaan yang berisikan tema-tema percintaan antar lelaki yang memfokuskan pada kisah romantis dari pada hubungan seksual sedangkan, yaoi adalah kisah percintaan antar lelaki yang berisikan percintaan antar lelaki dengan materi hubungan seksual yang lebih banyak dan lebih jelas (McLelland, 2006). Pagliassotti (2008), menyatakan bahwa boy’s love mengarah pada cerita homoerotis antar lelaki dan biasanya terdapat pada manga. Cerita tersebut diciptakan oleh wanita dan untuk wanita. Menurut Pagliassotti, boy’s love pertama kali berkembang di Jepang dan sekarang telah menjadi fenomena global.

Berdasarkan penelitian McLelland (2006), tema tentang homoseksual muncul pertama kali pada tahun 1970, dimana para penulis manga di Jepang mulai menulis dan menggambarkan tentang “beautiful boys” (bishoomen) sebagai pemeran utama dalam cerita buatan mereka. Bishoomen adalah karakter lelaki yang digambarkan memiliki kecantikan seperti perempuan. Pada masa ini cerita bishoomen lebih berfokus pada pencarian cinta, penerimaan diri dan identitas diri. Kemudian seiring berjalannya waktu bishoomen berlanjut

(6)

pada cerita romantis antar lelaki yang disebut dengan shonen-ai. Kemudian pada akhir tahun 1990 shonen-ai dan yaoi menjadi genre manga yang cukup terkemuka.

Kisah bergenre yaoi melibatkan 2 peran yaitu lelaki yang dominan (bergender maskulin) dan lelaki yang penurut atau bersikap tunduk (bergender feminim). Sebutan uke ditujukan pada lelaki yang feminim, membutuhkan perlindungan, sedangkan seme ditujukan pada lelaki yang kuat dan tabah. Uke memiliki arti bottom atau bawah yang menunjukkan posisi ketika hubungan seksual dilakukan sedangkan seme, berarti top atau atas (O’Brien, 2008). Menurut Willow (O’Brien, 2006), mendeskripsikan uke dan seme sebagai stereotipe pada yaoi, uke hampir selalu bersifat ramah, emosional dan pasangan yang suka berteman atau berkumpul sedangkan, seme digambargan sebagai sosok yang protektif, tabah dan sering kali lebih tinggi dibandingkan dengan uke.

1. Boy’s Love di Indonesia

Di bukunya yang berjudul Boy’s Love Manga, McHarry dan Pagliassotti (2010) menjelaskan bahwa boy’s love tumbuh dengan subur di Indonesia. Tahun 2004 keduanya mencoba mempublikasikan kisah bergenre boy’s love dan mendapatkan tanggapan dari studio penerbit di Indonesia. Kepala studio yang bernama Adetyar menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Islam namun didalamnya terdapat banyak penggemar yaoi. Mereka menemukan bahwa boy’s love merupakan suatu sensasi di Indonesia. Di Indonesia, tidak terdapat iklan atau produk yang menayangkan hal-hal yang berkaitan dengan boy’s love. Selain itu, terdapat budaya yang benar-benar melarang dan membatasi hal tersebut. Setelah beberapa tahun melakukan penelitian mereka berdua menemukan bahwa sejarah, politik, agama dan budaya sangat mempengaruhi perkembangan boy’s love di Indonesia, terutama mendominasinya agama Islam yang mencapai 87 persen populasi sehingga, Islam menjadi dasar hukum untuk menentukan moral didalam Negara tersebut.

Penggemar dan penulis boy’s love di Indonesia berhasil mengekspor cerita boy’s love, mempopulerkan serta menikmatinya diam-diam dengan mengunakan media internet. Internet

(7)

adalah media yang sangat penting sebagai tempat mengkontribusikan kepopuleran boy’s

love. Kebanyakan dari penggemar di Indonesia mengetahui boy’s love dari internet dan

bermula dari anime atau manga yang mereka sukai. Ketika mereka menjelajahi internet, mereka akan menemukan sebuah forum untuk berdiskusi dan menemukan web web yang berisi yaoi. Kemudian muncullah rasa penasaran dan itulah yang biasanya menjadi alasan mengapa seseorang menyukai yaoi.

2. Fujoshi

Fujoshi merupakan sebutan penggemar perempuan di dalam yaoi fandom. yaoi merupakan genre yang memfokuskan hubungan antar lelaki sedangkan, fandom (fans

kingdom) menurut Bury (2005) fandom berkaitan dengan bagaimana seseorang dan orang

lain memiliki pandangan yang sama akan sesuatu. Bury juga menjelaskan bahwa konsep dari sebuah fandom adalah komunitas yang diciptakan oleh penggemar untuk melakukan aktifitas yaitu berdiskusi secara online yang mengacu pada kumpulan penggemar dengan menggunakan bulletin boards, mailing list dan forum.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yaoi fandom adalah kumpulan para pembaca atau penggemar kisah percintaan dengan genre antar lelaki. Menurut Youssef (2004), komunitas yaoi hampir berada pada setiap fandom, dengan kata lain mereka dapat ditemukan hampir disetiap fandom. Bahkan fandom biasa yang berfokus pada media film, buku, idola musik, olahraga dan aktor dari film. Di dalam yaoi fandom sebutan untuk para fans dibagi menjadi 2 yaitu fujoshi dan fudanshi. Fujoshi merupakan sebutan penggemar perempuan, sedangkan fudanshi adalah sebutan untuk penggemar lelaki.

Menurut Aoyama (2009), fujoshi (rotten girl) dapat diartikan sebagai gadis busuk atau

gadis yang rusak. Fujoshi sendiri sebenarnya merupakan istilah yang dimaksudkan untuk merendahkan atau mengejek para penggemar perempuan yang menyukai kisah atau hubungan romantis antar lelaki. Fujoshi menikmati imajinasi yang berkaitan dengan hal-hal yang akan terjadi jika karakter pria dari komik (manga) dan kartun (anime) atau bahkan

(8)

terkadang sesuatu yang berasal dari dunia nyata seperti idola lelaki saling mencintai sedangkan.

Greenberg (2009), menyatakan bahwa fujoshi adalah female yaoi fans yang berarti perempuan penggemar kisah bergenre yaoi (boy’s love). Pagliassotti (2008), menyatakan bahwa boy’s love diciptakan dan di tujukan untuk perempuan. Penggemar dan penulis boy’s

love biasanya mempublikasikan karyanya dan mendapati karya-karya penulis lain melalui

media internet. Melalui internet mereka bisa menemukan manga dan anime bergenre yaoi (McHarry dan Pagliassotti, 2010).

Terdapat banyak fan product (hasil karya) dari para penggemar yaoi yang diciptakan dari

yaoi pairing seperti doujinshi, fanfiction dan fan art (O’Brien, 2008).

B. Dewasa awal

Kata adult berasal dari bahasa Latin, yang berarti tumbuh menjadi dewasa, jadi orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 2004). Hurlock (2004), masa dewasa awal berada pada usia 18 – 40 tahun. Papalia (2001) menyatakan bahwa usia dewasa awal dimulai ketika individu menginjak usia 20-40 tahun. Sementara itu, Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong dewasa muda (young adulthood) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun.

C. Persepsi

Secara etimologis, persepsi atau dalam bahasa inggris perception berasal dari bahasa latin

perception dan percipere yang artinya menerima atau mengambil. Persepsi dalam arti sempit

ialah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Sobur, 2003). Menurut Rakhmat (1994), persepsi merupakan proses memberi makna pada sensasi (hal yang ditangkap oleh alat indera) sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Selain itu Ia juga menyebutkan persepsi sebagai pengalaman mengenai obyek,

(9)

peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Robbins (2008), menyatakan bahwa persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan atau menginterpretasikan kesan-kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka.

1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Robbins (2008), menguraikan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi dalam menafsirkan kesan-kesan indera menjadi suatu persepsi, berikut adalah tiga faktor tersebut : a. Faktor dalam diri pengarti atau pemersepsi, terdapat 5 hal yang mempengaruhinya.

Berikut 5 adalah hal tersebut : Sikap, Motif, Minat, Pengalaman dan Harapan.

b. Faktor dalam situasi, merupakan suatu konteks yang penting dalam melihat suatu peristiwa-peristiwa. Unsur-unsur dalam lingkungan sekitar mempengaruhi persepsi seperti waktu, keadaan kerja dan keadaan sosial sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor situasi berkaitan dengan lingkungan dan keadaan sosial si pemersepsi.

c. Faktor dalam diri target, merupakan karakteristik-karakteristik dalam target yang akan diamati seperti hal-hal yang baru, gerakan, suara, ukuran, latar belakang, kedekatan dan kemiripan.

METODE

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Menurut Creswel (1998), studi kasus (case study) adalah suatu model yang menekankan pada eksplorasi dari suatu “sistem yang terbatas” (bounded system) pada satu kasus atau beberapa kasus secara mendetail. Disertai dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks. Subyek pada penelitian ini berjumlah 2 orang fujoshi, member dari Johnny’s Family of Malang (JFM) dan berada pada masa dewasa awal. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan cara wawancara sumber data primer (2 subyek) dan wawancara sumber data sekunder (2 teman

(10)

subyek di grup JFM), observasi non-partisipan pada facebook subyek dan dokumentasi

printscreen pada facebook subyek yang berkaitan dengan boy’s love. Teknik analisi data yang

digunakan pada penelitian ini adalah teknik analisis model interaktif yang menurut Miles & Huberman (Herdiansyah, 2010), teknik ini dibagi menjadi 4 tahap yaitu pengumpulan data, reduksi data, display data dan kesimpulan atau verifikasi.

HASIL

Sobur (2003), persepsi berkaitan dengan bagaimana seseorang memandang atau mengartikan. Rakhmat (1994), mengatakan bahwa persepsi merupakan proses memberi makna pada sensasi (hal yang ditangkap oleh alat indera) sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Selain itu Ia juga menyebutkan persepsi sebagai pengalaman mengenai obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi berkaitan dengan bagaimana seseorang memaknai, mengartikan, menyimpulkan dan menafsirkan sesuatu hal, kemudian dari wawancara yang dilakukan dapat dilihat kedua subyek mempersepsikan bahwa boy’s love memiliki cerita yang romantis, menarik dan bisa membuat mereka berdebar-debar ataupun excited dibandingkan cerita percintaan antara laki-laki dan perempuan pada umumnya. Keduanya juga memaparkan bahwa mereka menyukai ekspresi malu-malu laki-laki yang ada dalam boy’s love.

Kedua subyek juga memiliki kemiripan pendapat atau persepsi tentang pemeran didalam

boy’s love. yang menurut mereka di dalam boy’s love terdapat pemeran uke dan seme.

Subyek S mengatakan bahwa uke adalah laki-laki yang digambarkan seperti perempuan, merupakan laki-laki yang mungil, cantik, dan terlihat lemah, sedangkan seme adalah sosok laki-laki yang tinggi dan keren. Menurut subyek L, uke memiliki peran yang feminim, cantik, manja dan imut sedangkan, seme adalah pemeran laki-laki yang memiliki karakter maskulin. Selain itu walaupun keduanya menyukai boy’s love, bukan berarti mereka benar-benar menyetujui percintaan sesama jenis gay ataupun menyukai gay di dunia nyata,

(11)

berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat bahwa kedua subyek masih memegang nilai Agama.

Berikut adalah penjabaran dari persepsi subyek terhadap boy’s love :

Subyek S, menyatakan keromantisan dari boy’s love, selain dari alur ceritanya, justru

persamaan jenis kelamin lah yang membuatnya merasa cerita ini menarik dan romantis (subyek merasa bahwa percintaan laki-laki dan perempuan adalah hal yang sudah biasa). Hal tersebut juga berkaitan dengan ekspresi tokoh yang ada didalamnya, subyek menyukai ekpresi malu-malu yang tidak biasa di tunjukkan oleh laki-laki, sedangkan yang membuat subyek berdebar debar dan menyukai genre ini adalah ketika melihat seme memperlakukan uke dengan lembut, usaha seme untuk mendapatkan uke serta bagian dimana seme yang merasa percaya diri bahwa uke menyukainya. Menurut subyek S, didalam boy’s love juga terdapat pemeran laki-laki dan perempuan seperti pada cerita pada umumnya, menurutnya karena didalam boy’s love terdapat seme yang digambarkan dengan sosok yang tinggi dan keren sedangkan uke seperti perempuan yang digambarkan sebagai laki-laki, uke merupakan laki-laki yang mungil dengan muka yang terlihat lemah dan cantik.

Persepsi subyek S tentang percintaan sesama jenis atau forbidden love antara laki-laki sedikit berbeda, walaupun ia menyukai boy’s love subyek tidak menyetujui percintaan sesama jenis dan cinta terlarang, karena menurutnya manusia di ciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. Pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa subyek masih memperhatikan nilai Agama. Selain itu, subyek merasa bahwa terdapat batasan antara cerita fiksi dan dunia nyata. Subyek memaparkan bahwa menurutnya, apa yang terjadi pada manga

(boy’s love) ia anggap tidak ada di dunia nyata. Oleh karena itu ia memaparkan bahwa ia

hanya menyukai cerita fiksi boy’s love, subyek juga memaparkan bahwa ia hanya menyukai bentuk fisik gay di dalam fiksi dari pada gay yang ia temui di dunia nyata.

Begitu juga dengan subyek L, ia menyatakan bahwa boy’s love menjadi lebih romantis karena di perankan antar lelaki serta adanya perasaan tidak biasa dengan cerita pada

(12)

umumnya. Subyek L juga memaparkan bahwa keromantisan tersebut juga dapat dilihat dari alur ceritanya, penggunaan kata-kata dalam cerita, cara pemeran mengungkapkan perasaannya, cara mereka berhubungan (berpacaran) dan perilaku pemerannya. Subyek L juga memaparkan bahwa ia merasa boy’s love menjadi romantis dapat dilihat dari cara cemburu pada pasangannya yang terlihat lebih kekanak-kanakan dan cara berkorban untuk pasangannya, mereka lebih terlihat rela melakukan apa saja demi pasangannya. Menurut subyek L, biasanya pemeran dalam boy’s love bisa menunjukkan rasa sukanya dengan jelas namun malu-malu dalam menunjukkan perasaan cemburunya. Ekspresi malu-malu tersebutlah yang menurut subyek L sangat menarik.

Persepsi subyek L tentang percintaan sesama jenis atau forbidden love antara laki-laki, hampir sama dengan subyek S. Bahwa walaupun ia menyukai boy’s love bukan berarti subyek L benar-benar menyetujui atau mendukung percintaan sesama jenis gay. Subyek memiliki perasaan pro dan kontra dimana ia mengatakan bahwa, jika membicarakan tentang cinta, sebenarnya itu sesuatu yang tidak bisa dipaksakan, ia merasa kasihan jika harus dilarang atau tidak perbolehkan namun, subyek juga tidak benar-benar menyetujui adanya gay dengan alasan selain dilarang Agama dan ia tidak ingin keberadaan gay semakin banyak. Subyek L memiliki pengecualian yang bisa membuatnya menyetujui keberadaan gay. Seperti pandangan pribadinya pada Akame yang menurutnya mereka berdua sangat cocok. Menurutnya, perasaan setuju oleh adanya gay bisa datang bergantung pada siapa gay nya. Oleh karena itu subyek juga menyatakan bahwa boy’s love yang ia baca atau akses juga bergantung pada cerita dan siapa pemerannya. Subyek juga merasa tidak nyaman jika bertemu dengan gay di dunia nyata, karena ia tetap merasa memiliki perasaan tidak menyetujui hubungan tersebut.

Robbins (2008), menguraikan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi dalam menafsirkan kesan-kesan indera menjadi suatu persepsi yaitu faktor dalam diri si pengarti, faktor-faktor dalam situasi dan faktor-faktor dalam diri target. Namun pada penelitian ini

(13)

dapat di temui bahwa faktor yang mempengaruhi persepsi subyek terhadap boy’s love adalah faktor dalam diri si pengarti yaitu minat.

Jika dikaji lebih dalam adalah sebagai berikut, Crow dan Crow (Abror 1993) mengatakan bahwa minat (Interest) bisa berhubungan dengan daya gerak yang mendorong kita cenderung atau merasa tertarik pada orang, benda, atau kegiatan ataupun bisa berupa pengalaman yang efektif yang dirangsang olah kegiatan itu sendiri. Berdasarkan definisi di atas dapat di lihat bahwa ketertarikan subyek S terhadap boy’s love dikarenakan subyek S merasa bahwa cerita pada boy’s love bagus, menarik dan romantis, menurutnya melihat seme memperlakukan uke dengan lembut serta melihat usaha seme untuk mendapatkan uke serta bagian dimana seme yang merasa percaya diri bahwa uke menyukainya membuatnya merasa berdebar-debar. Subyek juga menyukai karakter tokoh (berkaitan dengan bentuk fisik) di dalam cerita bergenre boy’s love, menyukai ekpresi malu-malu laki-laki pada boy’s love, subyek S juga menyukai keadaan dimana seme sedang melakukan sesuatu terhadap uke (berkaitan dengan hubungan seksual) selain itu subyek S lebih menyukai gay dalam film yang berasal dari Jepang.

Sedangkan faktor minat pada subyek L dapat dijelaskan sebagai berikut, subyek L juga merasa bahwa boy’s love memiliki cerita yang menarik dan romantis. Menurut subyek boy’s love menjadi lebih romantis karena di perankan antar lelaki serta adanya perasaan tidak biasa dengan cerita pada umumnya. Subyek L juga memaparkan bahwa keromantisan tersebut juga dapat dilihat dari alur ceritanya, penggunaan kata-kata dalam cerita, cara pemeran mengungkapkan perasaannya, cara mereka berhubungan (berpacaran), perilaku pemerannya, cara cemburu pada pasangannya, cara berkorbannya dan juga ekspresi malu-malu lelaki didalamnya lah yang menurut subyek L sangat menarik. Hanya saja ketertarikan subyek L terhadap boy’s love juga berkaitan dengan kesukaannya terhadap J-pop dan idola laki-laki yang ia sukai. Subyek menyukai uke karena idolanya sering digambarkan sebagai uke, baik

(14)

boy’s love ataupun fanfiction yang dibacanya didasari oleh bagaimana cerita dan yang paling penting adalah siapakah pemerannya.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa kedua subyek mempersepsikan bahwa genre boy’s love memiliki cerita yang romantis, menarik dan bisa membuat mereka berdebar-debar ataupun excited dibandingkan cerita percintaan antar laki-laki dan perempuan pada umumnya. Menurut kedua subyek persamaan jenis kelamin antara lelaki lah yang membuatnya menjadi menarik. Rasa romantis tersebut dapat dilihat dari perilaku pemerannya seperti, perilaku lembut seme terhadap uke, usaha seme untuk mendapatkan uke, cara pemeran mengungkapkan perasaannya dimana biasanya mereka dapat dengan jelas menunjukkan rasa sukanya namun, malu-malu dalam menunjukkan rasa cemburunya, cara mereka berkorban yang terlihat lebih rela melakukan apa saja demi pasangan dll.

Walaupun kedua subyek menyukai genre boy’s love, keduanya tidak benar-benar menyetujui hubungan sesama jenis (gay). Mereka memiliki perasaan pro dan kontra serta masih memperhatikan nilai Agama.

Faktor yang paling mempengaruhi persepsi terhadap boy’s love adalah faktor dalam diri pengarti yaitu minat. Kedua subyek merasa boy’s love memiliki cerita yang menarik dan romantis. Subyek S lebih memperhatikan karakter pemeran dalam cerita bergenre boy’s love (berkaitan dengan bentuk fisik) dan sedangkan subyek L lebih memperhatikan siapakah pemerannya didalamnya (berkaitan dengan pairing idola laki-laki yang subyek sukai).

DISKUSI

Pada penelitian ini terdapat beberapa hal yang perlu untuk didiskusikan lebih lanjut yang nantinya dapat berguna bagi penelitian selanjutnya, yang pertama pembahasan tentang boy’s love terlalu luas. Oleh karena itu pada penelitian berikutnya dapat lebih memfokuskan pada bahasan yang lebih spesifik. Begitu juga pada pemilihan subyek, karena fujoshi bisa memiliki ketertarikan yang berbeda, seperti pada manga,fanfic, film dan pairing idola.

(15)

Yang kedua kebanyakan dari perilaku fujoshi sebenarnya hanya menikmati boy’s love dengan membaca dan menonton film bergenre ini namun, perilaku fujoshi bisa menjadi sangat ekstrem jika mereka benar-benar menyukai boy’s love. Mereka tidak hanya memposting hasil karyanya sendiri. Dari hasil pengamatan dari salah satu grup yang berisikan para fujoshi di media sosial facebook, terdapat fujoshi yang bertingkah laku seperti penguntit, mereka mengambil foto laki-laki berpasangan yang mereka temui di kehidupan sehari harinya tanpa izin (diam-diam) dan juga menceritakan kakak, teman-temannya sendiri atau orang-orang disekitarnya yang menurutnya memiliki suatu hubungan khusus (sesama laki-laki) dan mempostingnya pada grup tersebut.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Abror, A. R. (1993). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: PT. Tiara kencana.

Aoyama, T. E. (2009). Discovers Culture Girls, Fujoshi, and BL: Essay Reviews of Th ree Issues of the Japanese Literary Magazine, Yuriika (Eureka). Essay. Intersections:

Gender and Sexuality in Asia and the Pacific, no. 20, (2009).

Bury, R. (2005). Cyberspaces of Their Own: Female Fandoms Online. New York : Peter Lang.

Creswell, J. W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among Five

Traditions. Thousand Oaks, California : Sage

Dariyo, A. (2003). Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta : Grasindo Greenberg, A. (2009). East Asian Studies : Homosexuality in Manga.

http://www.annualglobalcollegeconference.com

Hediansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : Salemba Humanika

Hurlock, E. B. (2004). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Jakarta : Erlangga

Kinichi, A & Kreitner R. (2003). Organizational Behaviour Key Concepts, Skill & Best

Practices. Mc. Graw Hill : Boston

McHarry, Mark & Pagliassotti, Dru. (2010). Boy’s Love Manga. Essay on the Sexual

Ambiguity and Cross-Cultural Fandom of the Genre. McFarland & Company :

Jefferson.

McLelland, M. (2006). Why are Japanese Girls’ Comics full of Boys Bonking?, Journal of Entertainment Media (ISSN:1447-4905).

Novita, Sri , Haryanto, Yuda, Saputra, Deni, Kuswara, Idris, Rosiana & Agista . (2008). Pandangan Masyarakat Terhadap Perilaku Seks Menyimpang dan Pendidikan Seks Usia Dini sebagai Solusi Pencegahan. Karya Ilmiah. Bogor : Istitut Pertanian Bogor O’Brien A. (2008). Boy’s Love and Female Friendships : The Subculture of Yaoi as A Social

Bond Between Women. Skripsi not published. Georgia : Georgia State University Papalia, DE, Olds SW, Feldman RD. (2001). Human Development. 8th ed. Boston:

McGraw-Hill.

Pagliassotti. (2008). Reading Boy’s Love in the West.Journal Participations Volume 5, Issue

2 Special Edition, 1-10.

(17)

Robbins, S. P. (2008). Perilaku Organisasi edisi 12. Jakarta : Salemba Empat Santrock, J. W. (2001). Adolescence 8th edition.Boston: McGraw-Hill. Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung : Pustaka Setia.

Triana S. I. (2012). Analisis Sosiologis Komunitas Gay dalam Masyarakat Jepang yang Tergambar dalam Komik Free Punch Karya Isaku Natsume. Skripsi tidak diterbitkan. Medan : Universitas Sumatera Utara

Youssef, S. (2004). Girls who Like Boys who Like Boys. Skripsinot published. USA : Mount Holyoke College

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengamatan bobot larva ikan gurami selama 30 hari kultur berlangsung dengan selang waktu pengamatan 5 hari menunjukkan bahwa pemberian pakan

ABC, yang banyak membuka lowongan pekerjaan untuk berbagai jabatan yang dibutuhkan mengalami kesulitan dalam melakukan seleksi administrasi pelamar kerja dikarenakan

31 Maka radja perempuan dari tanah sebelah selatan akan berbangkit pada hari kiamat beserta dengan orang bangsa ini dan akan menjalahkan mereka itu; karena radja perempuan itu

They are figuring out the characteristics of Damien Karras as seen in The Exorcist, a novel by William Peter Blatty, viewing the description of his childhood memory, and revealing

BAB II : GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN Pada bab ini membahas tentang sejarah perusahaan, lokasi perusahaan, visi dan misi perusahaan, produk dan jasa perusahaan, struktur

terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing

pelaksanaan pengajaran bahasa Lampung sebagai muatan lokal, maka para pembelajar ditugaskan untuk menonton pertunjukkan tersebut dan melaporkan hasilnya, baik secara tertulis

Musik pada dasarnya dapat digunakan secara efektif untuk mengiringi pertunjukan tari anak-anak tuna rungu asalkan menggunakan musik yang memiliki getaran yang kuat