• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS DAN KELIMPAHAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DI HUTAN PANTAI BERDASARKAN GRADIEN SALINITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STATUS DAN KELIMPAHAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DI HUTAN PANTAI BERDASARKAN GRADIEN SALINITAS"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA TULIS

STATUS DAN KELIMPAHAN

CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DI

HUTAN PANTAI BERDASARKAN GRADIEN

SALINITAS

Oleh:

Dr. Delvian, SP.MP.

NIP. 132 299 348

JURUSAN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2006

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan tentang Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula Di Hutan Berdasarkan Gradien Salinitas ini dengan baik.

Tulisan ini berisi informasi tentang faktor-faktor lingkungan, khususnya tanah yang mempengaruhi keberedaan cendawan mikoriza arbuskula. Salinitas tanah sebagai faktor pembatas utama untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan di daerah pantai, ternyata juga berpengaruh besar terhadap keberadaan cendawan mikoriza arbuskula. Dalam tulisan ini coba diambil satu lokasi yang dapat mewakili keadaan ekosistem hutan pantai. Dari hasil studi diperoleh informasi bahwa status dan kelimpahan cendawan mikoriza arbuskula di hutan pantai berhubungan terbalik dengan tingkat salinitas tanah. Peningkatan salinitas tanah menyebabkan terjadinya pengurangan kelimpahan cendawan mikoriza arbuskula, demikian juga sebaliknya.

Penulis berharap tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat sebagai bahan bacaan bagi para mahasiswa yang berminat dan dapat menjadi salah satu sumber referensi dalam melakukan penelitian dalam bidang yang berkaitan.

Akhirnya, pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penulusuran bahan tulisan ini.

Medan, Juli 2006

Penulis

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(3)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN 1

II. GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI 4

III. STATUS DAN KELIMPAHAN CENDAWAN MIKORIZA

ARBUSKULA DI HUTAN PANTAI 7

A. Kepadatan Spora dan Persentase Kolonisasi 7 B. Status Mikoriza pada Vegetasi Hutan pantai 11 IV. ULASAN 14 V. KESIMPULAN 19 DAFTAR PUSTAKA 20

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(4)

STATUS DAN KELIMPAHAN

CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DI HUTAN PANTAI

BERDASARKAN GRADIEN SALINITAS

DELVIAN

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Jl. Tri Darma Ujung No. 1 Kampus USU Padang Bulan

M e d a n

e-mail :

dvilly6@yahoo.co.uk

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(5)

PENDAHULUAN

Ekosistem pantai merupakan ekoton antara ekosistem darat dan ekosistem laut, oleh karena itu ekosistem ini memiliki peranan penting bagi kehidupan biota darat dan biota laut. Luas hutan pantai Indonesia selalu mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada 1991 luas hutan pantai Indonesia ± 1 juta hektar dengan daerah penyebaran di pantai selatan pulau Jawa, pantai baratdaya Sumatera dan pantai Sulawesi (Fakuara, 1991). Sedangkan pada 1996 hanya tinggal 0,55 juta hektar (Sugiarto dan Ekariyono, 1996).

Hutan pantai memiliki berbagai fungsi antara lain sebagai pelindung pantai dari gempuran arus laut dan angin, sebagai tempat berlindung dan berkembang biak bagi bermacam jenis satwa, sebagai penghasil bahan organik, sebagai penghasil bahan baku industri kehutanan,dan sebagai daerah penyanggah atau peralihan antara kawasan darat dan dan laut (Sugiarto dan Ekariyono, 1996). Karena luasannya yang besar dan fungsinya yang penting ini maka keberadaan hutan pantai harus tetap dipertahankan dan perlu dilakukan usaha-usaha penghijauan kembali kawasan pantai yang telah rusak.

Telah lama diyakini bahwa mikoriza sangat penting di daerah pantai berpasir yang umumnya dicirikan dengan ketersediaan posfor yang rendah (Nicolson, 1960 dalam Siguenza et al., 1996). Simbiosis CMA sangat penting untuk pertumbuhan dan stabilitas tanaman di daerah pantai (Koske, 1987 ; Siguenza et al., 1996). Adanya hifa-hifa CMA dapat mengikat butiran-butiran pasir yang akan memfasilitasi stabilitas tanah. Cendawan mikoriza arbuskula diduga juga berperan penting dalam pertumbuhan tanaman pada beberapa kegiatan restorasi daerah pantai berpasir (Will dan Sylvia, 1990).

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(6)

Belakangan ini CMA mendapat perhatian yang lebih dari para ahli lingkungan dan pertanian karena merupakan salah satu alternatif teknologi di masa datang yang tidak saja efektif tetapi juga ramah lingkungan. Keadaan ini telah mendorong sejumlah survei untuk mempelajari distribusi dan menghitung kelimpahan CMA di suatu daerah tertentu atau di ekosistem alami (Kim dan Weber, 1985 ; Rozema et al., 1986 ; Koske, 1987 ; Raman dan Elumalai, 1991 ; Ragupathy dan Mahadevan, 1991 ; Johnson-Green et al., 1995 ; Boerner et el., 1996). Diketahui bahwa CMA terdapat pada hampir semua jenis tanah dan bersiombiosis dengan berbagai jenis tanaman dari taksonomi yang berbeda.

Meskipun CMA tersebar hampir di seluruh permukaan bumi, namun keberadaannya ditentukan oleh berbegai faktor lingkungan dan tanah. Distribusi dan kelimpahan CMA berhubungan erat dengan kandungan hara dan ketersediaan air tanah, latitud, gradien temperatur (Koske, 1987) dan beberapa sifat kimia tanah, antara lain salinitas tanah (Raman dan Elumalai, 1991 ; Ragupathy dan Mahadevan, 1991 ; Johnson-Green et al., 1995).

Cendawan mikoriza arbuskula adalah simbion obligat sehingga semua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan inangnya juga akan berpengaruh terhadap keberadaan CMA. Salinitas tanah sangat mempengaruhi distribusi spesies tanaman dan struktur komunitasnya (Burchill dan Kenkel, 1991) dengan demikian keberadaan CMA pun dipengaruhi oleh salinitas tanah.

Hasil penelitian Ragupathy dan Mahadevan (1991) dan Johnson-Green

et al. (1995) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara tingkat

salinitas tanah dengan persentase kolonisasi, jumlah spora dan jumlah tipe spora per 100 gram tanah. Kolonisasi CMA hanya terjadi pada sebagian kecil tanaman, yaitu 28% dari 74 tanaman yang hidup pada daerah yang sangat salin dimana kandungan garam total berkisar antara 55,3 - 78,4 mg/mL. Persentase kolonisasi yang terbentuk juga sangat rendah (0,9–1,5%) dan dibandingkan

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(7)

dengan tanaman yang hidup pada daerah dengan tingkat salinitas rendah, dimana kandungan garam total 19,8–41,9 mg/mL dan persentase kolonisasi sebesar 44,8 – 90,1% (Johnson-Green et el., 1995).

Sangat menarik untuk mengetahui peranan CMA bagi pertumbuhan tanaman pada daerah dengan tingkat salinitas tanah yang tinggi. Salah satu pendekatan awal yang dapat dilakukan adalah kuantifikasi status dan kelimpahan CMA sepanjang gradien lingkungan terhadap tanaman inang dan faktor tanah. Dalam studi ini dijelaskan hubungan antara tingkat salinitas tanah dengan status dan kelimpahan CMA di hutan pantai. Diduga tingkat salinitas tanah akan mempengaruhi perkembangan dan penyebaran CMA di hutan pantai.

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(8)

GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI

Kawasan hutan Leuweung Sancang merupakan kawasan konservasi yang termasuk ke dalam wilayah kerja Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat II. Wilayah ini khusus diperuntukkan sebagai lokasi perlindungan bagi berbagai jenis flora dan fauna, baik yang dilindungi undang-undang maupun yang belum dilindungi dengan status Cagar Alam. Secara geografis Cagar Alam Leuweung Sancang terletak antara 33o28’ – 33o51’ LS dan 3o00’ – 3o21’ BT. Secara administratif Cagar Alam Leuweung Sancang terletak di desa Sancang, desa Karyamukti dan desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Daerah Tingkat II Garut, Propinsi Jawa Barat.

Gambar 1. Hutan cagar alam Leuweung Sancang, Pameungpeuk Kabupaten Garut.

Menurut Schmidt dan Ferguson kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang termasuk ke dalam tipe iklim B. Temperatur rata-rata 26,2 oC dengan temparatur maksimum 30,75 oC dan temperatur minimum 22,4 oC. Kelembaban udara rata 84,6% dengan penyinaran matahari 61,4%. Curah hujan rata-rata tahunan 3.471 mm dengan rata-rata-rata-rata 141 hari hujan setiap tahun. Jenis tanah dalam kawasan ini termasuk ke dalam jenis Podsolik Merah Kuning,

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(9)

Latosol dan Litosol yang berasal dari endapan dan batuan (Departemen Kehutanan, 1991).

Vegetasi hutan pantai tumbuh di sepanjang pantai Cagar Alam leuweung Sancang pada daerah berpasir dengan luas sekitar 367 Ha dan terdiri dari dua formasi, yaitu formasi pescaprae dan formasi baringtonia. Formasi perscaprae merupakan lapisan terluar dan dijumpai di daerah pantai berpasir dan landai. Tumbuhan yang dominan di daerah ini adalah Ipomoea pescaprae dan

Spinifex littoralis.

Formasi baringtonia memanjang di sepanjang pantai dan terletak di belakang formasi pescaprae, tetapi kadang-kadang formasi tersebut bercampur. Jenis-jenis yang dominan antara lain adalah Baringtonia asiatica, Callophylum

inophylum, Terminalia catappa, Hibiscus tiliaceus, dan Sargasum sp.

Salinitas Tanah dan Sifat Kimia Lainnya

Hasil pengukuran salinitas tanah dan konsentrasi garam dalam larutan tanah disajikan pada Tabel 1 berikut ini. Dari data yang diperoleh tampak terdapat kecenderungan penurunan tingkat salinitas tanah dengan semakin jauhnya letak petak pengamatan dari garis pantai. Nilai salinitas rata-rata tertinggi diperoleh pada petak ukur 1 (0-20 m dari garis pantai) dan terendah pada petak ukur 8 (140-160 m dari garis pantai).

Dari hasil analisa beberapa sifat kimia tanah contoh yang disajikan pada Tabel 2. Secara umum semua petak ukur mempunyai variasi yang rendah dalam hal sifat kimia kecuali untuk konsentrasi Na dan Cl. Sedangkan perbedaan konsentrasi Na dan Cl cukup tinggi untuk mempengaruhi nilai salinitas tanah pada lokasi penelitian.

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(10)

Tabel 1. Rata-rata nilai salinitas tanah pada lokasi penelitian Salinitas Petak Ukur Jarak (m)

mmho/cm ppm 1 0-20 10,2 6.509,06 2 20-40 9,7 6.159,96 3 40-60 8,1 5.194,02 4 60-80 7,8 5.006,16 5 80-100 6,2 4.004,22 6 100-120 6,1 3.941,60 7 120-140 5,9 3.816,36 8 140-160 5,3 3.440,63 9 160-180 5,9 3.816,36 10 180-200 5,7 3.658,26

Tabel 2. Hasil analisa beberapa sifat kimia tanah contoh Ph Petak Ukur Air KCl N (%) P (ppm) K (ppm) KTK C.org (%) Na (%) Cl (%) 1 7,38 7,07 1,87 36,1 13,6 6,77 1,67 27,3 24,2 2 6,91 6,78 2,59 33,1 13,4 6,17 1,69 26,9 24,0 3 6,90 6,58 1,23 35,6 12,0 4,01 0,64 26,1 23,4 4 6,93 6,69 2,31 36,1 13,1 4,42 0,65 25,9 23,3 5 6,85 5,14 1,02 42,8 12,0 3,27 0,20 22,1 22,7 6 6,88 6,48 0,97 37,8 14,1 4,62 0,19 19,9 22,6 7 6,70 6,40 1,36 39,5 11,5 3,78 0,18 18,8 22,6 8 7,04 6,45 1,60 44,5 15,3 5,09 0,24 18,4 22,4 9 7,26 6,73 1,43 38,6 12,7 4,61 0,24 15,8 22,1 10 7,02 6,54 0,97 35,2 14,86 4,74 0,25 16,1 22,5

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(11)

STATUS DAN KELIMPAHAN

CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DI HUTAN PANTAI

Kepadatan Spora dan Persentase Kolonisasi

Nilai kepadatan spora (jumlah spora per 50 gram tanah) dan persentase kolonisasi CMA dari tanah contoh dan hubungannya dengan tingkat salinitas tanah ditampilkan pada Gambar 2 dan 3. Dari gambar tersebut tampak bahwa kepadatan spora meningkat sejalan dengan menurunnya salinitas tanah.

Kepadatan spora terendah ditemukan pada petak ukur 1 (31 spora) dan tertinggi pada petak ukur 6 (134 spora) dimana salinitas tanah masing-masing sebesar 10,2 mmho/cm dan 6,1 mmho/cm. Setelah petak ukur 6 kepadatan spora relatif stabil kecuali pada petak ukur 8 (114 spora) dimana terjadi penurunan sebesar 15%.

Sama halnya dengan kepadatan spora, persentase kolonisasi juga meningkat dengan menurunnya tingkat salinitas tanah. Di sini terlihat adanya korelasi negatif antara tingkat salinitas tanah dengan persentase kolonisasi dan kepadatan spora CMA. Persentase kolonisasi terendah (8,9%) diperoleh pada petak ukur 1 dan tertinggi pada petak ukur 9 (68,5%) dimana tingkat salinitas masing-masing petak adalah 10,2 mmho/cm dan 5,9 mmho/cm. Besarnya peningkatan persentase kolonisasi adalah 87%.

Selain mempengaruhi kepadatan spora dan persentase kolonisasi, tingkat salinitas tanah juga menentukan jumlah tipe spora CMA yang ditemukan pada setiap petak ukur. Pada Tabel 3 tampak bahwa secara umum penurunan tingkat salinitas tanah menghasilkan peningkatan jumlah tipe spora CMA meskipun pada petak-petak tertentu terjadi penurunan jumlah tipe spora CMA yang diperoleh.

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(12)

0 20 40 60 80 100 120 140 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Petak Ukur Ju

mlah Spora (per 50 gr tanah) dan Pers

entas

e Kolonis

as

i (%)

Salinitas Jumlah Spore % K

Gambar 2. Rata-rata Jumlah spora dan persentase kolonisasi CMA pada petak ukur dan hubungannya dengan salinitas tanah 31 50 76 80 106 134 114 131 132 132 8.9 16.7 19.2 38.6 45.1 58.9 64.8 63.9 68.5 66.4 0 20 40 60 80 100 120 140 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Petak ukur

Jumlah spora dan

persentase kolonisasi

Jml. Spora

Persentase Kolonisasi

Gambar 3. Hubungan antara Jumlah spore CMA dan persentase kolonisasi pada tingkat salinitas tertentu

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(13)

Tabel 3. Jumlah tipe spora yang ditemukan berdasarkan tingkat salinitas tanah Jumlah tipe spora CMA pada setiap jalur Petak ukur Salinitas (mmho/cm) A B C D E 1 10,2 5 4 5 2 4 2 9,7 4 4 5 5 6 3 8,1 8 4 10 5 5 4 7,8 6 5 8 7 5 5 6,2 10 5 8 4 6 6 6,1 9 7 8 7 10 7 5,9 10 5 6 8 10 8 5,3 10 10 9 8 9 9 5,9 8 10 10 9 10 10 5,7 9 8 10 8 8

Dari data kepadatan spora dan tipe spora yang ditemukan kemudian dihitung frekuensi mutlak dan frekuensi relatif kehadiran setiap tipe spora CMA (koske, 1987) seperti yang disajikan pada Tabel 4. Spora CMA tipe Glomus mempunyai frekuensi mutlak dan frekuensi relatif kehadiran tertinggi (100% dan 37,98%) yang diikuti oleh Acaulospora (76% dan 28,82%), Sclerocystis (54% dan 20,38%) dan Gigaspora (34% dan 12,81%).

Tabel 4. Nilai frekuensi mutlak (FM - %) dan frekuensi relatif (FR - %) kehadiran suatu jenis CMA pada setiap jalur pengamatan

Jalur pengamatan A B C D E Jenis CMA FM FR FM FR FM FR FM FR FM FM Glomus 100 35,7 100 38,5 100 41,7 100 37,0 100 37,0 Sclerocystis 60 21,4 60 23,1 40 16,7 60 22,2 50 18,5 Acaulospora 90 32,1 60 23,1 80 33,3 70 25,9 80 29,6 Enthropospora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Gigaspora 30 10,7 40 15,4 20 8,3 40 14,8 40 14,8 Scutellospora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Hasil perhitungan frekuensi mutlak menunjukkan bahwa spora tipe Glomus ditemukan pada seluruh petak ukur dari setiap jalur pengamatan. Ini

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(14)

berarti spora tipe Glomus mempunyai daerah sebaran yang paling luas dibandingkan dengan tipe spora CMA lainnya. Apakah hal ini berhubungan dengan species dari Glomus yang lebih banyak daripada tipe spora lainnya sehingga berpengaruh terhadap sebarannya di alam tentu merupakan suatu hal yang menarik untuk dipelajari.

Satu hal yang juga cukup menarik dalam penelitian ini adalah daerah sebaran spora tipe Gigaspora. Spora tipe Gigaspora umumnya ditemukan pada petak-petak ukur yang lebih dekat dengan garis pantai, yaitu pada petak ukur 1, 2, 3, 4, dan 5 dimana tingkat salinitas tanah relatif tinggi (6,2 – 10,2 mmho/cm).

Beberapa tipe spora CMA ditemukan dalam contoh tanah dari lokasi penelitian dan contoh akar tanaman yang dikolonisasi oleh CMA ditampilkan pada Gambar 4, 5, 6, dan 7 berikut ini.

Gambar 4. Beberapa tipe spora Glomus yang diperoleh dari hutan pantai Cagar Alam Leuweung Sancang

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(15)

Gambar 5. Tipe spora Sclerocystis yang diperoleh dari hutan pantai Cagar Alam Leuweung Sancang

Gambar 6. Beberapa tipe spora AcaulosporIa yang diperoleh dari hutan pantai Cagar Alam Leuweung Sancang

Status Mikoriza pada Vegetasi Hutan Pantai

Dari 20 spesies tanaman yang diamati hanya satu jenis yang tidak ditemukan adanya asosiasi dengan CMA, yaitu Pandanus sp. Ini menunjukkan bahwa vegetasi hutan pantai di lokasi penelitian mempunyai asosiasi yang tinggi dengan CMA, yaitu sekitar 95% dari tanaman yang diobservasi mampu membentuk asosiasi mikoriza dengan persentase kolonisasi yang beragam. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 5.

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(16)

Gambar 7. Beberapa tipe spora Gigaspora yang diperoleh dari hutan pantai Cagar Alam Leuweung Sancang

Tabel 5. Keberadaan cendawan mikoriza arbuskula pada vegetasi hutan pantai Cagar Alam Leuweung Sancang

No. Spesies tanaman Persentase

kolonisasi Lokasi (petak ukur) 1 Alstonia sp 4 – 63 1,2,4,5,8 2 Belimbing wuluh 35 - 68 4,8,10 3 Buchanania arborescen 13 - 70 2,3,6,7,9,10 4 Dyospiros yendula 36 - 68 3,5,7,9 5 Erythina crassifolia 8 – 78 2,3,4,5,6,7,8,10 6 Flamingia congesta 56 - 68 2,3,4,6,7,9 7 Ficus glomerata 41 - 61 5,7 8 Hibiscus tiliaceaus 2 – 51 2,6 9 Macaranga tanorius 7-78 2,5,6,10 10 Myrystica crinita 71 9 11 Myristica iners 12-72 2,5,8, 12 Pandanus sp. 0 1 13 Planchella nitida 6 – 52 1,2,4,5,6,8,9,10 14 Planchonia valida 44 - 51 1,3,4,6,8,9 15 Pongamia pinnata 8 - 23 3,4,8,9 16 Pterospermum pterosfolium 3 – 70 1,5,6,7,8,9 17 Sterculia campanulata 4 – 67 1,2,3,4,6,7,8,9,10 18 Terminalia catappa 14 - 21 1,3,5,6,10 19 Uraria crinita 7 – 58 2,3,4,7,8,9,10 20 Vitex quinata 9 – 73 1,2,4,5,6,7,8,9,10

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(17)

Dari Tabel 5 di atas tampak bahwa tanaman yang daerah penyebarannya cukup luas mempunyai interval persentase kolonisasi yang cukup lebar. Tanaman yang berada pada petak ukur terdepan mempunyai persentase kolonisasi yang rendah dan makin meningkat dengan semakin jauhnya letak tanaman dari garis pantai.

Hubungan negatif antara tingkat salinitas tanah (ditunjukkan oleh petak ukur) dengan persentase kolonisasi pada satu tanaman disajikan pada Gambar 8. Dari Gambar 8 tampak bahwa kemampuan CMA mengkolonisasi semakin meningkat dengan berkurangnya tingkat salinitas tanah (semakin jauh dari garis pantai). Pada tingkat salinitas 10,2 mmho/cm (petak ukur 1) persentase kolonisasi hanya berkisar 4-6%. Selanjutnya persentase kolonisasi terus meningkat sampai mencapai 62-79% pada tingkat salinitas 5,3 mmho/cm.

0 10 2 3 4 5 6 70 0 0 0 0 0 80 Persenta s e Koloni sa si (%) Pn Sc Vq 1 2 3 4 5 6 7 9 9 10 Petak ukur

Gambar 8. Hubungan antara persentase kolonisasi dengan tingkat salinitas tanah (diwakili oleh petak ukur) pada satu individu tanaman. Pn = Planchella nitida, Sc =

Sterculia campanulata dan Vq = Vitex quinata.

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(18)

ULASAN

Tanah hutan pantai Cagar Alam Leuweung Sancang mempunyai tingkat salinitas yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara 5,3–10,2 mmho/cm. Menurut Tan (1991) tanah disebut mempunyai kadar garam tinggi jika nilai salinitas lebih dari 4 mmho/cm. Secara alternatif, jika salinitas tanah dinyatakan dalam konteks konsentrasi garam adalah tanah dengan kandungan garam total lebih dari 0,1% (1.000 ppm). Dengan demikian tanah pada lokasi penelitian dapat dikategorikan sebagai tanah dengan tingkat salinitas yang tinggi.

Menurut Chapman (1975) nilai salinitas suatu lokasi ditentukan oleh konsentrasi dari NaCl, NaCO3, Na2SO4 atau garam-garam Mg. Garam-garam ini dapat berasal dari batuan induk, air irigasi atau air laut. Untuk daerah pantai sumber utama salinitas tanah adalah air laut, dimana NaCl adalah penyusun utamanya. Kandungan Na dan Cl dalam air laut menurut Carter (1975) masing-masing adalah 30,61% dan 55,04%.

Hasil analisa kandungan Na dan Cl dari tanah contoh menunjukkan kandungan Na yang tinggi sedangkan Cl lebih rendah dari hasil yang dilaporkan Carter (1975). Dari data tersebut dapat dipastikan bahwa tinggi salinitas tanah hutan pantai Cagar Alam Leuweung Sancang ditentukan oleh kandungan NaCl. Hal ini diperkuat oleh hasil analisa terhadap air laut dari lokasi peneltian dimana kandungan NaCl sebesar 19.710 ppm sedangkan NaCO3 hanya sebesar 180 ppm

Tingginya salinitas tanah ini berpengaruh negatif terhadap kepadatan spora CMA dan persentase kolonisasi. Terjadinya penurunan salinitas tanah menghasilkan peningkatan kepadatan spora CMA dan persentase kolonisasi akar tanaman sepanjang jalur pengamatan. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Weber (1985), Koske dan Tews (1987), Koske

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(19)

(1987), dan Ragupathy dan Mahadevan (1991). Ragupathy dan Mahadevan (1991) mempelajari pengaruh gradien salinitas terhadap distribusi CMA di Kodikkarai Reserve Forest, Tamil Nadu, India dan secara tegas menyatakan bahwa salinitas akan menekan pembentukan spora CMA dan kolonisasi akar tanaman. Penurunan tingkat salinitas tanah dari 7,0 mmho/cm menjadi 2,0 mmho/cm menghasilkan peningkatan kepadatan spora antara 51-1.052 spora per 100 gram tanah dan persentase kolonisasi sebesar 5-85%.

Pengaruh salinitas terhadap CMA ini yang dipelajari oleh Kim dan Weber (1985) menyimpulkan bahwa kepadatan spora CMA berhubungan erat dengan salinitas tanah dimana kepadatan spora CMA akan menurun sejalan dengan peningkatan salinitas tanah. Secara umum Brundrett et al. (1996) menyimpulkan bahwa salinitas merupakan salah satu faktor tanah yang menyebabkan kurangnya spora CMA di tanah di samping faktor pH tanah, kekeringan, pencucian, atau iklim yang ekstrim, dan kehilangan lapisan tanah bagian atas atau kurangnya tanaman inang.

Jika melihat hasil analisa kimia tanah tampak bahwa variasi sifat-sifat kimianya relatif kecil. Untuk nilai pH tanah tampaknya tidak berhubungan dengan tingkat salinitas tanah, dimana peningkatan salinitas tanah tidak diikuti oleh pH. Hal ini terjadi karena NaCl adalah garam netral sehingga peningkatan konsentrasinya tidak mempengaruhi nilai pH tanah (Shainberg, 1975). Kandungan Na cukup bervariasi antar petak ukur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Na adalah faktor utama yang mempengarui CMA pada lokasi penelitian. Koske (1987) mempelajari distribusi CMA pada beberapa lokasi dengan karakteristik kimia tanah, antara lain pH dan ketersediaan N, P dan K yang relatif sama. Disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal distribusi CMA pada keenam lokasi yang diamati.

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(20)

Beberapa penelitan telah menunjukkan bahwa salinitas tanah berpengaruh negatif terhadap perkembangan CMA. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan hasil Rozema et al. (1986) yang mempelajari respon CMA di saltmarsh terhadap salinitas dan penggenangan. Perbedaan keberadaan CMA dan persentase kolonisasinya tidak selalu berhubungan dengan gradien salinitas dan suasana yang anaerobik karena dipengaruhi juga oleh perkembangan sistem aerenkima dari sistem perakaran tanaman.

Dari data yang diperoleh terlihat bahwa CMA masih mampu menghasilkan spora pada salinitas yang tinggi. Hal ini mungkin terjadi karena jenis-jenis CMA pada lokasi tersebut mampu melakukan osmoregulasi tertentu yang memungkinkan baginya untuk tetap hidup dan berkembang. Akan tetapi bagaimana mekanisme osmoregulasi CMA yang sebenarnya belum diketahui. Sedangkan osmoregulasi atau penyesuaian osmotik dari halofit pada tanah-tanah salin adalah dengan menyerap ion-ion natrium dan klorida sehingga potensial osmotik dalam sel akan lebih rendah daripada dalam larutan tanah (Flowers et al., 1977).

Walaupun kepadatan spora CMA dan persentase kolonisasi menunjukkan pola peningkatan yang sama terhadap penurunan salinitas tanah, tidak dapat langsung dipastikan bahwa keduanya mempunyai korelasi yang positif. Hasil penelitian Ragupathy dan Mahadevan (1991) dan Siguenza et al. (1996) menunjukkan tidak adanya korelasi yang tetap antara kepadatan spora CMA dan persentase kolonisasi tanaman. Sebelumnya Kianmehr (1981) dan Mohankumar dan Mahadevan (1987) memberikan laporan yang sama bahwa persentase kolonisasi akar adalah faktor yang bebas dari jumlah spora yang ada di tanah.

Hal ini dijelaskan oleh Abbott et al. (1992) dan telah didemonstrasikan oleh Mansur (2000) dengan teknik PDOC (Petri-dish Observation Chamber)

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(21)

bahwa setiap jenis CMA mempunyai pola kolonisasi yang berbeda sehingga akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam persentase kolonisasinya. Perbedaan ini selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan setiap jenis CMA, termasuk dalam produksi spora. Dengan demikian menghubungkan antara kepadatan spora CMA dan persentase kolonisasi tanpa mengetahui spesies CMA yang digunakan adalah kurang tepat.

Spora CMA tipe Glomus mempunyai frekuensi mutlak dan frekuensi relatif kehadiran tertinggi. Ini menunjukkan bahwa Glomus mempunyai daerah sebaran yang paling luas dan paling toleran terhadap kondisi salinitas tanah tanah. Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh banyak peneliti dimana jenis CMA yang paling banyak ditemukan pada tanah-tanah bergaram tinggi adalah Glomus spp. (Allen dan Cunningham, 1983; Koske dan Tews, 1987; Koske, 1987; Pond et al., 1984; Purwanto, 1999) Ragupathy dan Mahadevan (1991) yang mempelajari CMA pada hutan pantai juga menyimpulkan bahwa

Glomus adalah jenis CMA yang paling dominan penyebarannya, dimana dimana

25 spesies dari 37 spesies yang ditemukan adalah tipe Glomus.

Tingginya frekuensi kehadiran spora CMA tipe Glomus ini mungkin berhubungan dengan spesies Glomus yang sangat banyak dibandingkan jenis lainnya. Dari 172 jenis CMA yang sudah diidentifikasi diketahui Glomus adalah jenis yang paling dominan (52,3%), diikuti Acaulospora (20,9%), Scutellospora (16,9%), Gigaspora (4,7%), Enthropospora (2,3%), Archaeospora (1,7%), dan

Paraglomus (1,2%). ( http://invam.caf.wvu.edu/Myc-_info/Taxonomy/classification.htm). Keanekaragaman spesies yang tinggi ini tentu menghasilkan toleransi yang sangat luas terhadap berbagai faktor lingkungan sehingga daerah penyebarannya lebih luas.

Pada daerah hutan pantai Cagar Alam Leuweung Sancang sekitar 95% tanaman yang diobservasi membentuk simbiosis dengan CMA dan sisanya 5%

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(22)

(Pandanus sp.) tidak ditemukan adanya kolonisasi CMA pada akarnya. Apakah

Pandanus sp. memang tidak bersimbiosis dengan CMA ataukah pada saat

pengambilan contoh tanaman Pandanus sp. belum membentuk simbiosis dengan CMA. Sampai saat ini belum ada penjelasan yang defenitif ketahanan suatu spesies atau genus terhadap kolonisasi CMA. Menurut Sieverding (1991) kandungan glucosinolat (dan produk hidrolisis, isothiocyanate) dalam akar tidak mempengaruhi pembentukan mikoriza.

Di samping faktor genetik tanaman sebagai penyebab ketahanan terhadap kolonisasi CMA, pola adaptasi terhadap tapak-tapak khusus dari spesies tanaman mungkin dapat menjadi alasan lain untuk perkembangan tanaman dengan status tanpa mikoriza (Fitter dan Merryweather, 1992). Selanjutnya dikatakan bahwa tanaman dengan sistem perakaran yang ekstensif akan sangat tergantung pada simbiosis dengan CMA. Ketergantungan ini berhubungan dengan morfologi rambut akar, dimana spesies atau kultivar dengan kepadatan dan panjang rambut akar yang tinggi kurang tergantung pada simbiosis dengan CMA dan sebaliknya.

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(23)

KESIMPULAN

Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Status mikoriza pada tegakan hutan pantai Cagar Alam Leuweung Sancang termasuk kategori tinggi (95% tanaman) dengan kisaran kolonisasi antara 8,9% - 68,5%.

2. Kepadatan spora CMA dan persentase kolonisasi berhubungan negatif dengan tingkat salinitas tanah.

3. Spora CMA tipe Glomus mempunyai frekuensi kehadiran paling tinggi yang diikuti berturut-turut spora tipe Acaulospora, Sclerocystis dan

Gigaspora.

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Abbott LK, Robson AD, Jasper DA, dan Gazey C. 1992. What is the role of VA mycorrhizal hyphae in soil?. In : Read D.J., D.H. Lewis, A.H. Fitter, dan I.J. Alexander (Eds). Mycorrhizas in ecosystems. C.A.B. International. Hal. 37-41

Allen EB dan Cunningham GL. 1983. Effects of vesicular-arbuscular mycorrhizae on Distichlis spicata Under Three Salinity Levels. New Phytol. 93 : 227-236.

Boerner REJ, Demars BG dan Leicht PN. 1996. Spatial pattern of mycorrhizal infectiveness of soil long a successional chronosequence. Mycorrhiza 6 : 79-90.

Brundrett MC dan Abbott LK. 1995. Mycorrhizal fungus propagules in the Jarrah Forest. New Phytology 131 : 461-469

Brundrett MC, Bougher N, Dells B, Grove T, dan Malajczuk N. 1996. Working with mycorrhizas in forestry and agriculture. ACIAR. Canberra.

Burchill CA dan Kenkel NC. 1991. Vegetation-environment relationships of an inland boreal salt pan. Can. J. Bot. 69 : 722-732

Carter D.L. 1975. Problems of salinity in agriculture. Di Dalam : A. Poljakoff-Mayber dan J. Gale (Eds.). Plants in saline environments. Springer-Verlag – Berlin, Heildelberg, New York. Hal. 25-38

Chapman V.J. 1975. The salinity problem in general, its importance, and distribution with special reference to natural halophytes. In A. Poljakoff-Mayber dan J. Gale (Eds.). Plants in saline environments. Springer-Verlag – Berlin, Heildelberg, New York. Hal. 7-24

Departemen Kehutanan. 1991. laporan inventarisasi flora-fauna di Cagar Alam Leuweung Sancang. Departemen Kehutanan, Dirjen PHPA, BKSDA III, SBKSDA Jawa Barat II. Proyek Pembinaan Suaka Alam dan Human Wisata/Taman Nasional Pangandaran.

Ervayenri. 1998. Studi keanekaragaman dan potensi inokulan cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di lahan gambut (studi kasus di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau). Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Fakuara MY. 1991. Teknologi mikroba hutan potensi dan peranannya dalam

pembinaan hutan hujan tropika. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fitter AH dan Merryweather JW. 1992. Why are some plants more mycorrhizal than others? An ecological enquiry. ?. Di Dalam : Read DJ, Lewis DH, Fitter AH, dan Alexander IJ (Eds). Mycorrhizas in ecosystems. C.A.B. International. Hal. 26-36

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(25)

Flowers TJ, Troke PF and Yeo AR. 1977. The mechanism of salt tolerance in halophytes. Annu. Rev. Plant Physiol. 28 : 89-121.

Giovannetti M dan Mosse B. 1980. An evaluation of technique for measuring vesicular-arbuscular mycorrhizal infection in roots. New Phytol 84 : 489-500

Johnson-Green PC, Kenkel NC dan Booth T. 1995. The distribution and phenology of arbuscular mycorrhizae along an inland salinity gradient. Can. J. Bot. 73 : 1318-1327

Kianmehr H. 1981. Vesicular-arbuscular mycorrhizal spore population and infectivity of saffron (Crocus sativus) in Iran. New Phytologist 88 : 79-82

Kim CK and Weber DJ. 1985. Distribution of VA Mycorrhiza on Halophytes on Inland Salt Playas. Plant Soil. 83 : 207-214.

Kormanik PP dan McGraw AC. 1982. Quantification of VA mycorrhizae in plant root. Di Dalam : N.C.Schenk (Ed.) Methods and principles of mycorrhizae research. The American Phytop. Soc. 46 : 37-45

Koske RE. 1987. Distribution of VA mycorrhizal fungi along a latitudinal temperature gradient. Mycologia 79(1) : 55-68

Koske RE dan Tews LL. 1987. Vesicular-arbsucular mycorrhizal fungi of Wisconsin sandy soils. Mycologia 79(6) : 901-905

Mansur I. 2000. Diversity of rhizobia nodulating the tree legumes Acacia

mangium and Paraserianthes falcataria and their interaction with

arbuscular mycorrizal fungi in young seedling. PhD Dissertation, University of Kent at Canterbury, Kent, Inggris.

Pacioni G. 1992. Wet sieving and decanting techniques for the extraction of spores of VA mycorrhizal fungi. Di Dalam : Norris, J.R., D.J. Read and A.K. Varma (Eds.). Methods in Microbiology. Vol. 24. Academic Press Inc. San Diego. Hal. 317-322

Pond EC, Menge JA dan Jarrell WM. 1984. Improved growth of tomato in salinized soil by vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi collected from salin soils. Mycologia. 76 : 74-84.

Puppi G, Tabacchini P, Riess S, dan Sanvito A. 1986. Seasonal pattern in mycorrhizal associations in maritime sand dune system (Castelporziano, Italy). Di Dalam : Physiological and genetical aspect of mycorrhizae. Proceeding of the 1st Europens Symposium on Mycorrhizae. Hal. 245-249

Ragupathy S and Mahadevan A. 1991. VAM distribution influenced by salinity gradient in a coastal tropical forest. pp. 91-97. Di Dalam : Soerianegara and Supriyanto (Eds). Proceeding of second Asian

Conference on Mycorrhiza. BIOTROP Special Publication. No. 42.

SEAMEO BIOTROP. Bogor. Hal. 91-97

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

(26)

Rajapakse S dan Miller Jr. JC. 1992. Methods for studying vesicular-arbuscular mycorrhizal root colonization and related root physical properties. Di Dalam : Norris JR, Read DJ dan Varma AK (Eds.). Methods microbiology volume 24. Academic Press. p. 301-316

Raman N dan Elumalai S. 1991. A survey on actinorhizal nodulation status and mycorrhizal association in Casuarina equisetifolia in coastal region of Madras, India. Di Dalam : Soerianegara and Supriyanto (Eds).

Proceeding of second Asian Conference on Mycorrhiza. BIOTROP

Special Publication. No. 42. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Hal. 33-38 Rozema J, W. ARP, Van Esbroek M, Broekman R, Punte H, dan Schat H. 1986.

Vesicular arbuscular mycorrhiza in salt marsh plants in response to soil salinity and flooding and the significance to water relations. Di Dalam : Physiological and genetical aspect of mycorrhizae. Proceeding of the 1st Europens Symposium on Mycorrhizae. Hal. 657-660.

Setiadi Y. 1998b. Aplikasi cendawan mikoriza arbuskula untuk merehabilitasi lahan kritis pasca tambang. Prosiding Workshop Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Pada Tanaman Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Asosiasi Mikoriza Indonesia. PAU Bioteknologi IPB. The British Council.

Shainberg I. 1975. Salinity of soils, effect of salinity on the physics and chemistry of soils. Di Dalam : A. Poljakoff-Mayber dan J. Gale (Eds.). Plants in saline environments. Springer-Verlag – Berlin, Heildelberg, New York. Hal. 39-55

Sieverding E. 1991. Vesicular-arbuscular mycorrhiza management in tropical agrosystems. Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit, Germany. 371 hal.

Siguenza C, Espejel I dan Allen EB. 1996. Seasonality of mycorrhizae in coastal sand dunes of Baja California. Mycorrhiza 6 ; 151-157

Sugiarto dan Ekariyono W. 1996. Penghijauan pantai. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tan KH. 1991. Principles of soil chemistry. Marcel Dekker. Madison Vanue New York Inc.

Will ME dan Sylvia DM. 1990. Interaction of rhizosphere bacteria, fertilizer and vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi with sea oats. Appl Environ Microbiol 56 : 2073-2079

Delvian: Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan… , 2006

Gambar

Gambar 1.  Hutan cagar alam Leuweung Sancang, Pameungpeuk  Kabupaten Garut.
Tabel 1.  Rata-rata nilai salinitas tanah pada lokasi penelitian  Salinitas  Petak Ukur  Jarak (m)
Gambar 2.  Rata-rata  Jumlah  spora  dan persentase kolonisasi  CMA pada petak ukur dan hubungannya dengan  salinitas tanah  31 50 76 80 106 134 114 131 132 132 8.9 16.7 19.2 38.6 45.1 58.9 64.8 63.9 68.5 66.4 020406080100120140 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Petak
Tabel 3.  Jumlah tipe spora yang ditemukan berdasarkan tingkat salinitas tanah  Jumlah tipe spora CMA pada setiap jalur Petak  ukur  Salinitas  (mmho/cm)  A B C D E  1  10,2  5 4 5 2 4  2  9,7 4 4 5 5 6  3 8,1  8  4  10  5  5  4  7,8 6 5 8 7 5  5  6,2  10
+5

Referensi

Dokumen terkait

Investasi dalam kelompok tersedia untuk dijual adalah aset keuangan yang ditetapkan untuk dimiliki untuk periode tertentu dimana akan dijual dalam rangka pemenuhan

• Meskipun adanya benjolan pada payudara pria lebih mudah dideteksi daripada wanita, diagnosis adanya kanker atau tidak pada payudara pria lebih sulit, karena harus

104 GONG KEBYAR ANGSANA WUNGU DESA KEDURAN TONTONAN. 105 GONG KEBYAR GITA SANTI

Traffic light yang diterapkan pada saat sekarang ini masih menggunakan sistem konvensional dengan menggunakan komponen diskrit seperti transistor resistor

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laba, pengungkapan CSR, dan profitabilitas berpengaruh sangat lemah terhadap abnormal return saham baik secara bersama-sama

Hasil uji silang mikroskopis menunjukkan masih ditemukannya kesalahan diagnosis oleh tenaga mikroskopis puskesmas yaitu 6 subjek yang terdiagnosis positif padahal

Salah satu ciri lembaga sosial adalah memiliki tradisi tertulis atau tidak tertulis, dalam hal ini ada nilai-nilai tertentu yang diikuti untuk mewujudkan tujuan dari

Data mengenai timbulan,densitas, komposisi, dan kadar air sampah merupakan hal yang sangat menunjang dalam menyusun sistem pengelolaan persampahan di PPNS.. Data