• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. begitu taat bernama Nidah Kirani. Ia masuk dalam sebuah organisasi Islam garis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. begitu taat bernama Nidah Kirani. Ia masuk dalam sebuah organisasi Islam garis"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1

Iman jenis apa yang mereka maksudkan dan bangga-banggakan untuk menghakimiku, mencibirku sebagai perempuan sundal yang tak tahu pekerti tak tahu susila tak tahu ajaran? Bukankah iman adalah adanya penyerahan seorang manusia hanya karena ia tak berdaya...

(Dahlan, 2009: 233).

Novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! yang selanjutnya disebut TIAMP adalah novel yang mengisahkan perjalanan hidup seorang muslimah yang begitu taat bernama Nidah Kirani. Ia masuk dalam sebuah organisasi Islam garis keras yang menginginkan berdirinya Daulah Islamiah Indonesia. Namun organisasi garis keras yang ia bangga-banggakan itu ternyata justru menanamkan kekecewaan dalam dirinya. Sistem jemaahnya tidak transparan dan banyak terdapat kejanggalan dan kebohongan. Selain itu ia diusir dari kampungnya karena dianggap menyebarkan ajaran sesat setelah mengajak keluarga dan teman-teman sekampungnya untuk masuk dalam jemaah tersebut. Ia kecewa, merasa telah melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya tetapi ia merasa Tuhan tidak menolongnya. Karena kekecewaannya itu, ia frustasi dan jatuh dalam hubungan seks bebas. Dari pengalaman seksualnya, ia menemukan fakta kemunafikan yang amat mengejutkan, bahwa semua laki-laki yang menidurinya

(2)

adalah figur-figur yang selama ini terlihat sangat idealis dan agamis. Pada akhirnya, kepercayaannya pada laki-laki, perkawinan, cinta, bahkan Tuhan pun menjadi sirna. Dengan perasaan nista, putus asa, marah, kecewa, dia berusaha untuk bangkit tak mau kalah. Dicarinya pembenaran-pembenaran yang dapat menguatkan hatinya, hingga dia pun dapat berdiri tegak, menantang dunia, dan realitas. Pada akhirnya ia mengukuhkan dirinya untuk menjadi seorang pelacur.

Pemilihan novel tersebut berangkat dari penemuan peneliti terhadap fenomena kepelacuran sebagai jalan yang dipilih oleh tokoh utama. Penulis menganggap bahwa novel ini menarik karena menggambarkan wujud pembebasan yang dipilih oleh seorang perempuan melalui cara menjadi seorang pelacur. Perempuan dalam novel tersebut membawa kesadaran memahami keberadaan dirinya sebagai pribadi yang mampu mengsubjekkan dirinya.

Diakui oleh pengarang, TIAMP adalah kisah nyata seorang teman lamanya—alumni Universitas Muhamadiyah Yogyakarta yang menjadi pelacur. Berikut tulisan pengarang pada bagian prolog novel yang termuat dalam cetakan ke-13.

Terimakasih kuucapkan kepadamu yang telah mengizinkan aku untuk masuk dan mengupingi jalan hidupmu lalu membiarkanku secara bebas merekamnya, mentranskripnya, mengulur kalimat, menciptakan kata baru yang tak kalah serunya dengan jalan hidupmu. Aku hanya pengantara dari memoar lukamu. Aku hanya menuliskan kembali. Dasar cerita sepenuh-penuhnya didasarkan pada liku perih hidupmu yang bercadas-cadas, kering, dan penuh lubang luka. Kaulah yang menciptakan alur dan plot dan aku… aku hanya menggurat dan memoles dan menyambung-nyambung retak-retak kisahmu menjadi cerita

(3)

“utuh” yang kemudian kuberi titel: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi

Pelacur! Memoar Luka Seorang Muslimah (Dahlan, 2009: 18).

Muhidin M. Dahlan adalah pendatang asal Palu, Sulawesi Tengah dan sekarang tinggal di Bantul, Yogyakarta. Semasa kecil ia dibesarkan di lingkungan masjid. Ia dekat dengan bacaan Al-Quran dan buku-buku agama seperti fiqih, juga ditanamkan ideologi kebencian terhadap pancasila, juga anti Barat, dan anti non Islam. Muhidin kemudian nekat keluar dari daerahnya untuk masuk dalam pergulatan hidup di Kota Pelajar. Ia aktif pada beberapa organisasi Islam, di antaranya Pelajar Islam Indonesia yang disingkat PII (sejak duduk di bangku STM), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Muhidin merupakan penulis yang memiliki keberanian dalam mengangkat hal-hal yang kontroversial. Tulisan-tulisannya seringkali menuai berbagai hujan kecaman, caci maki, dan hujatan dari publik yang kebanyakan berdatangan dari berbagai organisasi Islam dan kalangan ulama. Ia dituduh menghina, merusak ajaran Islam dan melecehkan Al-Quran.

Merujuk pada sinopsis yang telah dipaparkan sebelumnya, Kiran yang mengalami kekecewaan dan tekanan terhadap banyak hal dalam hidupnya, pada akhirnya memutuskan untuk menjadi pelacur sebagai wujud pembebasan yang ia pilih. Dalam kebebasannya, ia mencoba memaknai eksistensi atau keberadaan dirinya, memaknai hubungannya dengan manusia lainnya, dan mempertanyakan keberadaan dirinya dalam hubungannya dengan Tuhan. Hal-hal tersebut menyangkut eksistensialisme, sebagaimana filsafat eksistensialisme yang

(4)

diuraikan oleh Muzairi (2002: 31, 39) sebagai suatu filsafat yang memusatkan kepada analisa eksistensi manusia dan menitkberatkan kebebasan, tanggung jawab, dan keterasingan individu.

Jean Paul Sartre sebagai salah satu tokoh eksistensialisme dalam Being

and Nothingness serta Existensialism is Humanism, menegaskan bahwa

eksistensialisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa exixtence precedes

essence ‘eksistensi mendahului esensi’. Apa yang dimaksudkannya adalah bahwa

manusia sudah lebih dulu ada baru kemudian ia menciptakan esensinya melalui pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan.

Menurut Sartre, manusia itu adalah kebebasan. Manusia, yang berarti eksistensi mendahului esensi, adalah bebas, tidak ditentukan oleh suatu kodrat tertentu. Dengan kebebasan itu manusia menciptakan kodratnya sendiri. Manusia tiada lain kecuali apa yang diperbuatnya. Di sinilah letak titik tolak pertama kali tindakan manusia dalam usahanya memberikan makna terhadap eksistensinya (Muzairi, 2002: 5).

Sartre dalam buku La Literature Ēngagēe membahas tanggung jawab sastra: ia bertanggung jawab membawa kebebasan kepada pembacanya. Tanggung jawab itu dilakukan sejauh pengarang mengenal eksistensi tulisan (what is writing?); mengapa pengarang menulis (why write?); dan mengetahui kepada siapa tulisan itu ditujukan (or whom does one write?). Dalam pandangannya, sastra adalah alat pembawa kesadaran akan dunia. Penulis

(5)

memiliki panggilan sosial yang harus dilaksanakan dengan media tulisan (Supriono, 2014: 102: 89, 93). Lebih lanjut, Wellek & Warren menjelaskan bahwa penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri: Sang pengarang. Itulah sebabnya penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra (1995: 82).

Karya sastra memuat kehidupan manusia dan bagaimana eksistensinya terhadap kehidupan tersebut. TIAMP adalah novel yang dengan kuat menarasikan kisah perjalanan hidup seorang muslimah yang seringkali mengalami bentuk objektifikasi sehingga pada akhirnya memutuskan dirinya untuk menjadi seorang pelacur sebagai wujud kebebasannya. Syam (2012: v) menyatakan bahwa pelacur sebagai profesi yang paling kental dan sarat dengan tekanan. Pelacur adalah orang-orang yang mengalami ketidakberuntungan nasib. Akan tetapi, dengan menjadi seorang pelacur, Kiran dalam TIAMP justru merasa bebas dan kehilangan tekanan dalam hidupnya.

1.2 Rumusan Masalah

Muslimah dalam TIAMP memutuskan untuk menjadi pelacur sebagai wujud kebebasannya. Dalam kebebasannya, ia mencoba memaknai keberadaannya dirinya, memaknai hubungannya dengan manusia lainnya dan mempertanyakan keberadaan dirinya dalam hubungannya dengan Tuhan. Hal-hal tersebut menyangkut eksistensialisme. Dalam eksistensinya sebagai muslimah, ia seringkali mengalami bentuk objektifikasi sehingga pada akhirnya memutuskan

(6)

dirinya untuk menjadi seorang pelacur. Syam (2012: v) menyatakan bahwa pelacur sebagai profesi yang paling kental dan sarat dengan tekanan. Pelacur ialah orang-orang yang mengalami ketidakberuntungan nasib. Namun dengan menjadi seorang pelacur, Kiran dalam TIAMP justru merasa bebas dan kehilangan tekanan dalam hidupnya.

Sartre membahas tanggung jawab sastra: mengapa pengarang menulis dan mengetahui kepada siapa tulisan itu ditujukan. Dalam hubungannya dengan pengarang TIAMP, Dahlan mengakui bahwa novel yang ia tulis adalah kisah nyata seorang kawan lamanya. Ia penulis yang berani mengangkat hal-hal yang kontroversi. Tulisan-tulisannya seringkali menuai berbagai hujan kecaman, caci maki, dan hujatan dari publik yang kebanyakan berdatangan dari berbagai organisasi Islam dan kalangan ulama.

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, maka beberapa pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana eksistensi sebagai muslimah dijelaskan oleh pengarang dalam novel?

2. Bagaimana eksistensi menjadi pelacur dijelaskan oleh pengarang dalam novel? 3. Bagaimana tanggung jawab pengarang dalam novel?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sejauh mana eksistensi menjadi pelacur mampu membuat hidup seorang muslimah menjadi lebih bermakna.

(7)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik teoritis maupun praktis, yang dirumuskan sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Dalam dimensi teoritis, penelitian ini diharapkan memiliki signifikansi dan memberi kontribusi bagi pengembangan kajian sastra dan filsafat.

b. Manfaat Praktis

Dalam dimensi praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada pembaca sastra dengan memberikan alternatif pemahaman terhadap novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! karya Muhidin M. Dahlan sehingga menambah wawasan pembaca. Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan bahan pertimbangan bagi para mahasiswa sastra yang akan mengadakan penelitian mengenai sastra dalam hubungannya dengan filsafat sehingga dapat memberikan gagasan baru yang lebih kreatif di masa mendatang.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang membahas mengenai eksistensi sebelumnya dilakukan oleh Sri Murtiningsih (1998), mahasiswi Pascasarjana Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada, dengan judul Pengaruh Eksistensialisme Terhadap Novel dan

(8)

Drama Karya Iwan Simatupang. Dalam penelitian tersebut, Sri lebih menyoroti

bagaimana konsep eksistensialisme dalam novel-novel Iwan Simatupang dan bagaimana persamaan dan perbedaan antara eksistensialisme Jean Paul Sartre, Albert Camus, dan Iwan Simatupang. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa karya-karya Iwan Simatupang banyak mengarah pada konsep-konsep pemikiran kedua eksistensialis—Sartre dan Albert Camus. Ide-ide pemikiran Sartre yang mempengaruhi karya Iwan Simatupang antara lain meliputi konsep tentang kesadaran diri dan kebebasan individu yang dihadapkan pada tuntutan rasa tanggung jawab terhadap pilihan manusia. Sedangkan ide-ide pemikiran Albert Camus yang digunakan oleh Iwan adalah persoalan pencarian makna kehidupan, masalah bunuh diri, pemberontakan, keterasingan manusia, dan absurditas.

Konsep eksistensialisme dalam novel Ziarah banyak mengacu pada konsep dasar eksistensialisme aliran Sartre, yaitu eksistensi mendahului esensi yang menurut penganut eksistensialisme itu manusia awalnya bukan apa-apa. Ia baru menjadi sesuatu kemudian dan ia akan menjadi apa yang dibangunnya sendiri. Manusia ada terlebih dahulu, muncul di dunia lantas melakukan tindakan, dengan kebebasannya serta bertanggung jawab. Sedangkan dalam naskah Bulan

Bujur Sangkar tokoh orang tua selalu bebas dalam hidupnya dan memilih apa

yang menjadi pilihannya mencari jati dirinya, hakikat hidupnya dan tujuan hidupnya.

(9)

Tokoh-tokoh dalam novel Ziarah naskah drama Bulan Bujur Sangkar bereksistensi secara aktif, melakukan sesuatu, dan merencanakan sesuatu. Manusia adalah pencipta dirinya sendiri yang terus-menerus mencipta dirinya dengan kemauannya, perbuatannya, dan kemerdekaannya. Manusia bebas merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri, ia tidak dapat mempersalahkan orang lain ataupun menggantungkan dirinya kepada kekuatan di luar manusia. Gagasan eksistensialisme Iwan Simatupang adalah persoalan keberadaan manusia dengan segala problematikanya yang antara lain masalah kondisi manusia dengan kesadarannya, kesadaran akan dirinya sendiri, kesadaran sosial, kebebasan manusia, yaitu kebebasan memilih, kebebasan berbuat, bertindak, masalah kewajiban, dan tanggung jawab.

Tika Sylvia Utami, mahasiswi Program Studi Ilmu Filsafat Universitas Indonesia dalam skripsinya berjudul Ketidaktunggalan identitas dalam novel

Kering Iwan Simatupang, Tinjauan Berdasarkan Eksistensialisme Jean Paul Sartre (2011), menemukan bahwa modus keberadaan manusia (être pour soi) yang

berbeda dengan benda-benda (être en soi) telah menghasilkan adanya ketidaktunggalan identitas. Penggunaan tokoh tidak bernama dalam Novel Kering telah menjadi sebuah metafora yang sangat menarik akan keberadaan identitas yang tidak tunggal. Ada kebebasan yang dimiliki oleh manusia untuk menentukan identitas yang ingin disandangnya, sehingga sewaktu-waktu bisa menjadi apa saja, kapan saja, dan di mana saja. Jean Paul Sartre mengetengahkan kebebasan sebagai sesuatu yang mutlak dimiliki oleh manusia. Meskipun ada penghayatan terhadap

(10)

nilai-nilai yang bisa mengurangi kebebasan itu sendiri (faktisitas), bagi Sartre kebebasan manusia tetap mutlak.

Penelitian yang bercorak eksistensi juga dilakukan oleh Wahyu Budi Nogroho (2013), mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Universitas Gadjah Mada dalam tesisnya yang berjudul Fenomenologi Eksistensial Subjek Gelandangan di

Jalanan Kota Yogyakarta. Dalam tesisnya, Wahyu mengkaji bagaimana praktis

metode fenomenologi eksistensial dalam menelisik dan menjelaskan berbagai pengalaman dan pemaknaan hidup subjek gelandangan. Hasil penelitiannya menjelaskan pengalaman gelandangan sebagai être en soi “ditindak dunia” dan pengalamannya sebagai être pour soi “menindak dunia” serta bagaimana ia memanipulasi faktisitas sebagai bentuk pemaknaannya terhadap kehidupan.

Pengalaman gelandangan sebagai être en soi “ditindak dunia” terjadi melalui hubungannya dengan orang lain, yaitu diusir oleh keluarga, berhadapan dengan preman, menjadi korban kejahilan anak-anak kecil di jalanan, tidak dihargai, menjadi pembantu. Sedangkan pengalaman sebagai être pour soi “menindak dunia” adalah saat berani melawan preman, menolak permintaan saudara-saudaranya untuk tinggal bersama mereka, membuat nilai atau norma sendiri—mengikuti kata hati, dan keengganan untuk meminta-minta atau menjadi pengemis, sebab kehidupannya ditentukan oleh dirinya sendiri melalui kebebasan dan tanggung jawab.

Gelandangan memanipulasi faktisitas melalui beberapa cara, yaitu menganggap jalanan lebih nyaman dan ramah dibandingkan rumah. Lebih jauh, ia

(11)

memaparkan pengalaman eksistensi gelandangan yang tidak menganggap kehidupannya di jalanan sebagai buah keterpaksaan, melainkan sebentuk kerelaan guna memenuhi naluri kebebasannya.

Terdapat beberapa kajian yang pernah dilakukan mengenai novel Tuhan,

Izinkan Aku Menjadi Pelacur. Di antaranya adalah; Representasi Perlawanan Tokoh Perempuan dalam Novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur Karya Muhidin M. Dahlan yang dilakukan oleh Elsa Nur S. Faruk (2005), mahasiswi

Universitas Airlangga Surabaya; Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Tuhan

Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Karya Muhidin M. Dahlan: Tinjauan Psikologi Sastra yang dilakukan oleh Tri Wijayanti (2005), mahasiswa Universitas

Muhammadiyah Surakarta; Konflik Psikologis Tokoh Tokoh Utama dalam Novel

Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Karya Muhidin M. Dahlan yang dilakukan

oleh Shofiyatun (2009), mahasiswi Universitas Negeri Semarang; Pandangan

Dunia Pengarang dalam Novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Karya Muhidin M. Dahlan yang dilakukan oleh Arlan Ibrahim (2013), mahasiswa

Universitas Negeri Gorontalo.

Dalam skripsinya yang berjudul Representasi Perlawanan Tokoh

Perempuan dalam Novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur Karya Muhidin M. Dahlan, Elsa mengkaji bagaimana upaya perlawanan tokoh utama dalam novel

tersebut dengan menggunakan teori feminisme dengan hasil penelitian: Perlawanan pertama yang dilakukan Kiran adalah perlawanan pada keyakinan dan cinta terhadap Tuhan, perlawanan kedua dilakukan terhadap konstruksi atas

(12)

konsep hijab dan jilbab, perlawanan ketiga adalah perlawanan atas lelaki, dan perlawanan terakhir mengenai konsep cinta dan pernikahan.

Tri Wijayanti dengan judul skripsinya Konflik Batin Tokoh Utama dalam

Novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur Karya Muhidin M. Dahlan: Tinjauan Psikologi Sastra, menyimpulkan (1) Nidah Kirani mengalami konflik batin

akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar fisiologis yakni kebutuhan akan pakaian, seks, dan makanan; (2) Nidah Kirani mengalami konflik batin karena tidak terpenuhinya kebutuhan akan rasa aman yakni selalu merasakan ketakutan dan seolah-olah berada dalam keadaan terancam; (3) Konflik batin akibat tidak terpenuhinya kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki yakni Nidah Kirani tidak memperoleh rasa cinta dan memiliki dari pos jamaah dan Da’arul Rakhiem; (4) Konflik batin akibat tidak terpenuhinya kebutuhan akan harga diri yakni tidak adanya penghargaan atas perjuangannya dan dedikasinya terhadap pos jamaah dan juga kehilangan keperawannya oleh Da’arul Rakhiem, dan; (5) Konflik batin karena tidak terpenuhinya kebutuhan akan aktualisasi diri yakni Nidah Kirani tidak mendapat kepuasan intelektual dan mengalami penurunan pengembangan motivasi diri.

Dalam skripsinya yang berjudul Konflik Psikologis Tokoh Tokoh Utama

dalam Novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Karya Muhidin M. Dahlan,

Shofiyatun menemukan bahwa tokoh utama mengalami konflik psikologis, antara lain approach-approach conflict, approach-avoidance conflict, avoidance-avoidance conflict, dan multiple approach-avoidance-avoidance conflict. Faktor

(13)

penyebabnya adalah faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal meliputi faktor biologis, dan faktor sosiopsikologis. Faktor sosiopsikologis yang berpengaruh adalah motif kompetensi, motif cinta, sikap dan emosi. Sedangkan faktor situasional yang berpengaruh meliputi faktor sosial dan faktor stimuli mendorong dan memperteguh perilaku. Akibat dari konflik psikologis tersebut yaitu, frustasi, kekecewaan, ketidakberdayaan, dan kemarahan.

Arlan Ibrahim dengan judul skripsinya Pandangan Dunia Pengarang

dalam Novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Karya Muhidin M. Dahlan

menyimpulkan bahwa dalam novel TIAMP terdapat pandangan dunia pengarang, yaitu (1) setiap manusia pasti memiliki kesalahan (2) masalah lingkungan telah menjerumuskan tokoh aku ke lembah pelacuran, hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh kondisi sosial terhadap pembentukan perilaku seseorang (3) novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur merupakan bentuk kesadaran pengarang terhadap kehidupan para pelacur yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, dan masyarakat.

1.5 Landasan Teori

1.5.1 Eksistensialisme: Eksistensi Mendahului esensi

Secara etimologis, istilah “eksistensialisme” berasal dari bahasa Latin,

existo yang artinya “tegak berdiri”. Sartre (2002: 40-41, 87) sebagai tokoh

sentral pemahaman tersebut memberikan landasan filosofis yang sistematis atasnya dalam Being and Nothingness serta Existensialism is Humanism,

(14)

menegaskan bahwa eksistensialisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa

exixtence precedes essence ‘eksistensi mendahului esensi’. Apa yang

dimaksudkannya adalah bahwa manusia sudah lebih dulu ada baru kemudian ia menciptakan esensinya melalui pilihan-pilihan dan tindakan-tidakan. Manusia sebagai eksistensi yang memilih esensinya sendiri. Palmer menjelaskan bahwa eksistensi adalah keberadaan manusia itu sendiri, sedangkan esensi adalah hakikat, definisi, sifat dasar atau kodrat, fungsi, atau “program” dari suatu hal (2007: 21). Kiran—tokoh utama dalam TIAMP, mengada di dunia, lantas menentukan nilai dan normanya sendiri melalui pilihan-pilihan dan tindakan-tindakannya. Ia memiliki kemungkinan-kemungkinan yang terbuka untuk memilih dan menjadikan dirinya sebagaimana yang ia inginkan, dan pilihan yang ia putuskan untuk dijalani adalah dengan menjadi seorang pelacur.

Eksistensi bagi manusia itu tidak sekedar “mengada”. Makanya, bulan, bintang, kursi atau benda lainya tidak mempergunakan istilah “bereksistensi”. Eksistensi adalah label khusus yang hanya digunakan kepada manusia. Dengan keluar dari diri, manusia menemukan dirinya. Dia bukan objek, dan bukan sekedar ada dan mengada, dia selalu keluar, muncul dari tidak sadar menjadi sadar. Muncul dari non “Aku” menjadi “Aku”. “Aku” yang sadar selalu menampilkan intensionalitas sebagai subjek yang mengarahkan kepada objek (Muzairi, 2002: 29-30). Ketika Kiran mengalami berbagai bentuk objektifikasi dari jemaahnya, saat itu ia mengalami kesadaran non reflektif. Kesadarannya terpaku pada hal-hal di luar dirinya, sehingga ia menjadi non ”Aku”. Karena

(15)

Kiran adalah être pour soi atau ada yang berkesadaran, maka ia memiliki kemungkinan untuk keluar dari non “Aku” dengan menggunakan kesadaran reflektif menjadi “Aku”. Ia keluar dari jemaahnya, melepaskan objektifikasi dan tekanan yang dialaminya atas pilihannya sendiri.

Manusia, ketika muncul di dunia, dia terlempar, karena tidak menghendaki muncul di sana, dan pada mulanya tidak ada pilihan apapun. Dia hanya menemukan sesuatu yang menampakkan diri kepadanya, disebut dengan “kenyataan” yang tidak dapat dihindari. Kenyataan yang tak dapat dihindari itulah yang disebut Sartre sebagai faktisitas, yang artinya tidak dapat ditiadakan, hanya bisa dilupakan sejenak, dimanipulasi, dan diolah. Beberapa di antaranya yaitu (a) place [tempat di mana orang tinggal], (b) past [masa lampau] (c)

envirotment [lingkungan], (d) fellowmen [di sini termasuk hubungan

antarmanusia, dan adanya sesama manusia masing-masing dengan eksistensinya], (e) death [maut] (idem, 2002: 152-153).

1.5.2 Être En Soi, Être Pour Soi, dan Mauvaise Foi

Sebelum melangkah pada pemahaman être pour soi, être en soi, dan

mauvaiese foi, peneliti terlebih dahulu menjelaskan dua ragam kesadaran

manusia menurut Sartre yaitu kesadaran reflektif dan nonreflektif. Kesadaran reflektif adalah kesadaran akan keberadaan manusia itu sendiri, dengan demikian ia mengenyahkan hal-hal lain di luar dirinya, termasuk orang lain, lingkungan sekitar, bahkan dunia. Sebaliknya, kesadaran nonreflektif adalah

(16)

kesadaran akan segala sesuatu di luar diri manusia yang dengan demikian ia mengenyahkan dirinya sendiri (Sartre, 1956: 471, 633; Sartre, 1991: 48-49). Berikut adalah pemisalan sederhana dari penggambaran kesadaran reflektif dan kesadaran nonreflektif.

Sartre memberikan contoh kesadaran nonreflektif melalui kasus seseorang yang tengah menunggu bus dan terpaku pada sebuah pamflet yang tertempel di halte. Ketika ia tengah terpaku pada pamflet tersebut, kesadarannya bersifat nonreflektif mengingat meniadakan dirinya sendiri, dan sepenuhnya memenuhi struktur kesadarannya dengan pamflet tersebut. Sedangkan kesadaran reflektif adalah orang yang sama tiba-tiba sadar bahwa ia tertinggal bus dikarenakan terlampau terpaku pada pamflet yang dilihatnya. Kemudian ia berkata pada dirinya, “Aku tertinggal bus!”, perkataan tersebut secara seketika membalikkan struktur kesadarannya dari nonreflektif pada reflektif mengingat dirinyalah yang ada dalam kesadarannya: “Aku yang tertinggal bus”.

Sartre (1956: 440, 629) membagi segala hal di dunia ke dalam dua bentuk yakni être pour soi dan être en soi. Être pour soi (being for itself) ‘berada bagi dirinya’ merupakan entitas yang berkesadaran dan mampu mengkonstruksi diri sebagaimana yang dikehendakinya. Sebaliknya, être en soi

(being in itself) ‘berada dalam dirinya’ merupakan entitas yang tak berkesadaran

dan menemui dirinya sebagaimana adanya. Dalam hal ini, être pour soi dimisalkan secara spesifik sebagai manusia yang berkesadaran, sedangkan être

(17)

Nugroho, 2013: 58), menyatakan bahwa kesadaran reflektif mensyaratkan akan dirinya sendiri sebagai subjek, sedangkan kesadaran nonreflektif menunjuk pada kesadaran diri akan suatu objek dan mengenyahkan eksistensinya sebagai subjek.

Sartre menegaskan bahwa entitas-entitas di atas memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Être pour soi, yang dalam hal ini adalah manusia, memiliki kelebihan berupa kesadaran yang dimilikinya, tetapi ia memiliki kekurangan berupa ketidaksempurnaan atau kekosongan yang ditunjukkan melalui hasrat atau keinginan-keinginan yang selalu dimilikinya. Bagi Sartre, hasrat atau keinginan merupakan tanda dari kekurangan yang dimiliki manusia: “The exixtence of desire as a human fact is sufficient to prove

that human reality is lack”. Dengan kata lain, keinginan mengisyaratkan

sesuatu yang harus dipenuhi, menandakan adanya kekosongan (1956: 87). Salah satu problem eksistensial “ketubuhan orang lain” timbul tatkala

être pour soi berhadapan dengan être pour soi (manusia berhadapan dengan

manusia). Melalui kesadaran yang dimilikinya, manusia dapat mengkerangka, menilai, atau yang lebih parah lagi, “meng-objek-kan” (mem-benda-kan) orang lain. Hal ini tentu berbeda apabila manusia berhadapan dengan sebuah boneka atau patung yang tak berkesadaran yang membuat manusia bebas menindaknya. “My original fall is the existence of the other” [Asal mula kejatuhanku adalah eksistensi orang lain] (Sartre, 1956: 254, 263). Ketika Kiran berhadapan dengan Midas dan berdebat mengenai persoalan ketuhanan, sanggahan-sanggahan

(18)

Midas dijawab lantang oleh Kiran dengan berbagai bukti-bukti rasional maupun empirik, juga disertai oleh deretan referensi yang kuat. Mendengar setiap jawaban-jawaban dan sanggahan-sanggahan Kiran, Midas tidak dapat berbuat apa-apa. Pada situasi tersebut, ia tidak dapat mempertahankan kesadarannya. Ia berada bagi orang lain yakni Kiran. Ia menyerahkan sepenuhnya eksistensinya kepada Kiran.

Melalui peristiwa di atas, Sartre (1956: 251-252, 260-261, 275) mengemukakan bertransformasinya être pour soi atau being for itself menjadi

being for other ‘berada untuk orang lain’, dan dalam kondisi yang demikian

(being for other), kesadaran yang melingkupi manusia bersifat nonreflektif mengingat terpakunya dirinya pada ketubuhan orang lain—dalam konteks eksistensialisme Sartre terutama tatapan mata orang lain. Secara tak langsung, ia pun mengenyahkan keberadaan dirinya diakibatkan terpaku pada ketubuhan orang lain yang mengarah padanya. Ia menjadi tak mengenal dirinya, dan eksistensinya sepenuhnya berada dalam kerangka orang lain—ia berada untuk orang lain. Dalam kondisi yang demikian, manusia pun segera berubah menjadi entitas être en soi, sebuah objek atau benda semata. “My being for the other is a

fall through absolute emptiness towards being an object” [Adaku untuk orang

lain adalah kejatuhan menyusuri kehampaan untuk menjadi objek]. Hanya saja, kondisi dapat berbalik bila individu berbalik untuk mengobjekkan orang tersebut. Ini terjadi saat individu mempertahankan kesadarannya dan menolak serangkaian penilaian yang tersirat dalam tatapan mata yang tertuju padanya—

(19)

membalas tajamnya tatapan mata dengan tatapan serupa. Bahkan, hal terkait tak syarat terjadi dalam konteks saling bertatap mata. Sartre (dalam Palmer, 2007: 97) memisalkannya dengan tatapan mata seorang gadis pada lelaki yang mengikat dan menyumpal mulutnya. Tatapan mata gadis tersebut merupakan bentuk perlawanan sekaligus sebagai upaya guna merendahkan orang yang menyakitinya. Melalui tatapan mata tersebut, sang gadis meminta orang yang menyakitinya untuk menilai betapa hina dan rendah kelakuannya. Selama tatapan mata tersebut masih dapat dipertahankan, selama itu pula harga diri sang gadis tetap bertahan.

Melalui fenomena hubungan antara être pour soi dan être pour soi (manusia dengan manusia) yang mengindikasikan hubungan bahwa salah satu mengobjekkan yang lain ataupun saling mengobjekkan satu sama lain, maka Sartre mengeluarkan pernyataan neraka adalah orang lain. Bagi Sartre, “penajisan” orang lain sebagai “neraka” dikarenakan eksistensinya yang selalu “mengobjekkan” diri kita. Hal tersebut dapat terjadi mengingat aspek “kesadaran” (être pour soi) yang dimiliki pula oleh individu lain layaknya diri kita sehingga berpotensi membentuk “penilaian” ataupun “menstruktur” eksistensi kita (Nugroho, 2013: 68).

Sartre memandang sinis dan bersikap pesimis dalam hubungan inter-subjektif. Dalam hal ini Sartre mempunyai pandangan dikotomis terhadap hubungan subjek-objek yang keduanya tidak dapat dipertemukan. “Orang lain adalah neraka bagiku”, kata Sartre. Sebagai konsekuensinya, corak

(20)

pemikirannya diwarnai oleh konflik antarsesama manusia, yang menjadikan objek yang satu dengan lainnya. Konflik itu esensi hubungan antar “Ada” berkesadaran. Siapa yang menjebak orang lain dengan lebih awal itulah yang menang. Mungkin orang tidak akan mau diobjektivitir, atau dengan kata lain tidak mau dijadikan objek. Hal itu tidak mungkin menurut Sartre karena pertemuan itu diartikan sebagai hubungan antar”for-itself”, padahal pada saat bertemu satu dari keduanya sudah kehilangan kepribadian. Apa yang tinggal adalah kejasmanian (ketubuhan) orang sebagai pengamatan (Muzairi, 2002: 59). Apabila individu mengakui kebebasannya tetapi serentak pula menyangkalnya maka dalam pandangan Sartre individu tersebut memiliki

mauvaise foi ‘keyakinan buruk’, sikap yang tidak otentik, sikap menipu diri

sendiri (Sartre, 1964: xxi). Melalui penipuan diri, seseorang mencoba menghindarkan diri dari kebebasan yang bertanggungjawab sebagai seorang yang berkesadaran. Seorang yang dalam posisi menipu diri, menurut Sartre, dia dalam keadaan ragu-ragu di antara transendensi dan faktisitas. Dia menolak untuk mengakui salah satu di antara keduanya, atau mencampuradukkan antara keduanya (Muzairi, 2002: 138). Sartre menyatakan bahwa dalam bad faith atau keyakinan buruk, manusia menipu dirinya sendiri dengan cara menyangkal kebebasannya dan menutupi kecemasannya. Manusia mengidentifikasikan diri dengan objek (benda) dan tidak mengakui dirinya sebagai subjek (Abidin, 2011: 202).

(21)

1.5.3 Kebebasan dan Tanggung Jawab

Menurut Sartre, manusia itu adalah kebebasan; “... man is free, or

rather, man is freedom” [... manusia adalah bebas, atau lebih tepatnya, manusia

adalah kebebasan]. Manusia, yang berarti eksistensi mendahului esensi, adalah bebas, tidak ditentukan oleh suatu kodrat tertentu. Dengan kebebasan itu manusia menciptakan kodratnya sendiri. “Man is nothing else but that which he

makes of himself”. [Manusia tiada lain kecuali apa yang diperbuatnya]. Di

sinilah letak titik tolak pertama kali tindakan manusia dalam usahanya memberikan makna terhadap eksistensinya (Muzairi, 2002: 5).

Walaupun manusia terbentur oleh faktisitas, tetapi menurut pendapat Sartre dia tetap bebas. Mengenai faktisitas, Sartre tidak berbicara tentang batas-batas yang mengurangi kemutlakan itu, tetapi berusaha merumuskan kenyataan-kenyataan yang dihadapi manusia, yang menyebabkan kurangnya penghayatan kebebasan (idem: 153).

Sartre menyatakan bahwa kesadaran adalah pusaran kemungkinan, proses penciptaan tanpa henti yang membanjiri diri. Ia memberikan gambaran tentang seorang pengantin muda ketika suaminya meninggalkannya sendirian, ia merasa sangat ketakutan akan kemungkinan bahwa ia duduk di jendela dan menggoda orang-orang yang lewat sebagaimana layaknya seorang pelacur. Pusaran kemungkinan memperlihatkan bahwa kita benar-benar bebas, kebebasan yang sangat besar, dan Anda dibuat takut olehnya (Palmer, 2007: 41).

(22)

Manusia, kata Sartre, “...can not be slave and at the same time free he is

free for ever or he is not free at all”. [... tidak bisa menjadi budak dan pada saat

yang sama bebas, dia bebas selamanya atau tidak bebas sama sekali]. Sartre menjelaskan bahwa manusia bebas memilih, pilihannya tidak ditentukan, dan bagaimana ia membuat dirinya. Karena kebebasan dipandang Sartre sebagai hal yang otonom dan mutlak maka manusia harus terus-menerus mengatasi dirinya dan dia harus memilih dari kemungkinan-kemungkinannya berdasarkan kebebasannya. Ini menjadi tanggung jawab yang berat untuk dipikul. Akibatnya, manusia menghayatinya dengan kecemasan, kemuakan, serta kegelisahan. Dengan kata lain, keharusan memilih itu menjadikan manusia merasakan kecemasan. Kecemasan akan kebebasan muncul dengan realisasi bahwa seseorang harus memilih, menentukan dirinya sendiri dengan seluruh tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dan sekaligus terhadap orang lain (Muzairi: 134). Kecemasan dirumuskan Sartre sebagai kesadaran bahwa diri seseorang yang sekarang bukanlah dirinya yang akan datang. Kesemuanya adalah bentuk penderitaan, sebagai rasa takut mendapati diri di masa depan tidak menepati ketetapan yang dibuat di masa kini (Palmer, 2007: 68).

Oleh karena itu, kebebasan bukanlah suatu keberadaan, atau suatu kualitas tambahan dari eksistensi manusia tetapi keberadaan manusia itu sendiri. Kebebasan merupakan dasar semua esensi selama manusia menampakkan hal pada dunia dengan mengatasinya dari kemungkinan-kemungkinan yang dia miliki. Dengan demikian, kebebasan adalah serta-merta begitu ada manusia,

(23)

kebebasan itu ada; begitu kesadaran ada, kebebasan pun ada. Ia terpatri ada pada manusia dari eksistensinya sendiri. Karena kebebasan itu sedemikian rupa, menurut Sartre tidak dapat didefinisikan, tidak bisa digambarkan karena manusia akan mengalami kesulitan jika menggambarkan kebebasan itu. Baginya manusia dapat merencanakan kemungkinan total, kemudian meniadakan rencananya semula dan menjadikannya masa lalu. Hal ini karena manusia adalah bebas, selalu mengatasi dirinya sendiri, dan terus-menerus membuat dirinya (Muzairi: 135-137).

Sartre memberikan pernyataan yang sangat radikal: ”Neither man is free

and does not derive his meaning from God, or he is dependant on God and not free”. Hanya ada salah satu di antara dua sebagai “for itself”, dia bebas yang

berarti tidak berasal dari Tuhan, atau jika tergantung kepada Tuhan berarti ia tidak bebas (idem: 146).

Sartre mengemukakan bahwa kebebasan selalu melibatkan tanggung jawab. “Thus, the first effect of existentialism is that puts every man posseses of

himself as he is, and places the entire responsibility for his existence squarely upon his own shoulders.” [Demikianlah, efek pertama dari eksistensialisme

bahwasanya ia menaruh setiap manusia memiliki diri sendiri, sebagaimana dia, menempatkan seluruh tanggung jawab terhadap eksistensinya secara jelas di atas kedua pundaknya.] Lebih lanjut, Sartre memberikan keterangan sebagai berikut: “When we say that man choose himself; we do mean that every one of

(24)

choose for all men.” [Walaupun pilihan itu dari pribadi seorang manusia,

namun dalam menjatuhkan pilihan untuk diri sendiri, sekaligus untuk semua manusia.] Ini menjadi tanggung jawab yang cukup berat untuk dipikul. Sartre menciptakan gambaran manusia pada umumnya sebagai proyek bagi dirinya dengan label “kemanusiaan”. Sehingga apa yang diputuskan oleh seorang individu dari pilihannya, sekaligus tanggung jawabnya melingkupi diri sendiri dan seluruh kemanusiaan (idem: 182, 184-185).

Sartre menyatakan bahwa sebagai eksistensi yang ditandai dengan keterbukaannya menjelang masa depan, manusia merencanakan masa depannya, dan dia bertanggung jawab penuh terhadap apa yang dia jalankan tanpa pertolongan dari siapapun, bahkan dari Tuhan. Dengan kata lain, akibat kebebasan manusia yang mutlak, manusia mengalami keterasingan. Kondisi keterasingan yang dimutlakkan dalam pandangan Sartre, yaitu keterasingan dengan Tuhan, alam, dan masyarakat. Sartre menjelaskan bahwa tidak ada esensi dari manusia dikarenakan tidak ada Tuhan yang menciptakannya. Hal tersebut berimplikasi pada totalitas kebebasan manusia, “I am condemned to be

free” [“Aku dihukum untuk bebas”] pungkas Sartre. Dihukum karena dia

tahu-tahu muncul dengan kebebasan serta seluruh tanggung jawab yang dia pikul. Dengan demikian akhir cita-cita manusia yaitu menjadi “Tu ens cause sui” yang ditafsirkan sebagai “Tuhan”. Dalam ungkapan Sartre: “Thus the best way to

conceive of the fundamental project of human reality is to say that man is the being whose project is to be God. Bahwa jalan yang terbaik meyakini rencana

(25)

manusia dapat dikatakan: manusia adalah ada yang mempunyai rencana untuk menjadi Tuhan, dan rencana itu adalah fundamental (idem: 57-58, 138, 144, 148). Namun, Sartre (dalam Palmer, 2007: 103) menyatakan bahwa keinginan tidak pernah dapat dipuaskan sepenuhnya. Ia tidak pernah mencapai tujuannya secara penuh. Apa yang sesungguhnya diinginkan adalah being in itself-being

for itself. Ini persis definisi Tuhan. Tetapi dalam pandangan Sartre untuk

mencapainya adalah mustahil. Dengan kata lain, tidak ada seorang pun yang dapat menjadi Tuhan, bahkan Tuhan sendiri pun tidak.

Sartre (dalam Martin, 2003: 29-30) menyatakan dengan tegas bahwa dunia dan benda-benda yang membentuknya adalah benda-benda yang ada tanpa alasan maupun tujuan. Tidak tercipta, tanpa alasan untuk hidup, mereka sekedar ada. Karena dunia tidak mempunyai alasan untuk ada, Sartre menyebutnya sebagai Yang Absurd. Absurditas ini pada gilirannya membangkitkan dalam diri manusia suatu perasaan muak. Muak adalah sesuatu yang menjijikkan karena kurangnya makna dalam keberadaan; suatu keengganan yang mendatangkan sekumpulan realitas yang hitam, tidak jelas dan tidak teratur; suatu rasa sakit yang muncul dalam diri manusia dari kehadiran eksistensi di sekelilingnya. Lebih lanjut Sartre (dalam Muzairi, 2002: 186-187) menjelaskan bahwa meskipun keputusan memilih tidak pernah disertai dengan suatu kepastian, tetapi tanggung jawab besar tetap tidak dapat dielakkan. Manusia menemukan kebebasan justru kebebasan merupakan sebab eksistensial yang memuakkan. Kebebasan dan tanggung jawab yang

(26)

menyertainya tidak mendapatkan topangan yang kokoh dengan suatu kepastian yang mantap. Selama manusia itu bebas dan bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri serta bebas merencanakan dan memilih dengan suatu tindakan “bagaimana menjadikan diri”, maka selama itu pula tidak ada kepastian baginya. Manusia selalu mencoba menjadi, merencanakan diri sendiri yang tak selesai-selesai.

1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) melakukan studi pustaka untuk mengumpulkan data-data primer dan sekunder yang mendukung peneliti dalam menganalisis objek material dan permasalahan. Teks dalam novel TIAMP karya Muhidin M. Dahlan merupakan sumber data primer dalam penelitian ini. Sementara sumber data sekunder asuk autobiografinya berjudul Jalan Sunyi Seorang Penulis, blog yang dimilikinya, dan data lainnya yang berhubungan dengan objek kajian; berupa rekaman wawancara dengan pengarang, karya-karya Dahlan yang lain—termasuk autobiografinya.

2) melakukan identifikasi data yang berkaitan dengan eksistensi sebagai muslimah yang diperoleh melalui dialog, pikiran tokoh, maupun peristiwa dalam TIAMP; dan

(27)

3) melakukan identifikasi data yang berkaitan dengan eksistensinya menjadi pelacur yang diperoleh melalui dialog, pikiran tokoh, maupun peristiwa dalam TIAMP

1.6.2 Analisis Data

Prosedur analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) menguraikan dan memaknai eksistensi sebagai muslimah dalam TIAMP berdasarkan sekuel kejadian atau peristiwa cerita. Analisis tersebut dihubungkan dengan latar belakang kehidupan pengarang yang diperoleh melalui buku autobiografinya, melalui tulisan-tulisan di blog pengarang, data rekaman wawancara dengan Dahlan, serta karya-karya pengarang lainnya—untuk menemukan tanggung jawab pengarang;

2) menguraikan dan memaknai eksistensi menjadi pelacur dalam TIAMP. Selanjutnya analisis tersebut dihubungkan dengan latar belakang kehidupan pengarang yang diperoleh melalui buku autobiografinya, data rekaman wawancara dengan Dahlan, tulisan-tulisan di blog pengarang, serta karya-karya pengarang (Muhidin M. Dahlan) lainnya—untuk menemukan tanggung jawab pengarang; dan

(28)

1.7 Sistematika Penyajian

Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penenlitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penyajian. Pada Bab II, penulis menjelaskan eksistensi sebagai muslimah, yang terdiri dari tiga subjudul, yaitu dimensi être en

soi ‘objek’ muslimah, dimensi être pour soi ‘subjek’ muslimah, dan mulimah

dalam mauvaise foi ‘keyakinan buruk’. Dalam Bab III, penulis menerangkan eksistensi menjadi pelacur, yang terdiri dari dua subjudul, yaitu kebebasan dan tanggung jawab pelacur serta kebebasan dan tanggung jawab pengarang. Sementara itu, Bab IV ditulis sebagai penutup yang berisi kesimpulan dan saran tentang penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis hubungan antara kebersihan kuku dengan kejadian cacingan diperoleh sebanyak 31 anak atau 77,5 persen kelompok kasus yang mengalami cacingan memiliki kuku

Distribusi muatan 4 memiliki nilai periode oleng lebih kecil diban- dingkan dengan lainnya, ini berarti waktu yang dibutuhkan kembali ke posisi semula lebih

Sebagian besar responden tidak melakukan perubahan pemilihan penolong persalinan (64,9%), jenis penolong persalinan yang tidak dirubah oleh responden berupa

Tabungan Dian lebih banyak daripada jumlah tabungan Anis, Benny, dan Kinar.. Tabungan Anis lebih banyak daripada

Pandangan Zamakhshary dalam surah al-Hujurat ayat 12 dapat diambil kesimpulan bahwa agar manusia menjauhi buruk sangka apapun yang dapat menjerumuskannya ke

Penelitian dilakukan dengan mengintegrasikan kedua model atenuasi gelombang berdasarkan karakteristik vegetasi mangrove yang meliputi tinggi pohon, kerapatan serta persen

Apakah penerapan Model Kooperatif tipe The Power of Two pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial pokok bahasan jenis pekerjaan dapat meningkatkan hasil belajar

Pada siklus II, guru guru menggunakan media dengan baik menggunakan jam matahari yang sudah di sediakan oleh guru, guru sudah memberikan arahan kepada siswa