• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belajar Ilmu Migas ke Jerman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Belajar Ilmu Migas ke Jerman"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Belajar Ilmu

Migas

ke Jerman

(2)

Keberangkatan yang Mendadak

Pada saat suami saya bekerja di BPPT, ia mendapat kesempatan beasiswa ke luar negeri. Saat itu Indonesia memperoleh bantuan dari Bank Dunia untuk menyekolahkan putra-putri Indonesia sebanyak-banyaknya. Program yang dirintis oleh Pak B.J. Habibie disambut meriah oleh putra-putri Indonesia. Jumlah penerima beasiswa mencapai ribuan orang pertahunnya. Pada tahun 1985 suami saya mengungkapkan bahwa ia juga ingin ikut serta dalam program tersebut.

“Pokoknya saya ingin sekolah lagi,” ujarnya penuh semangat. Hingga pada suatu pagi di Juli 1985, suami saya menelpon ke kantor.

“Ma, siapin koper. Aku mau berangkat ke Jerman sore ini,” katanya di ujung telepon.

“Ha? Mendadak begini?” tanya saya dengan nada tinggi karena kesannya kok buru-buru sekali, seperti mau berangkat perang saja.

“Iya, beasiswa saya diterima dan harus segera berangkat hari ini juga.” “Kenapa mendadak begini? Nggak bisa! Pulang sekarang juga,” jawab saya sembari menyimpan kesal. Masalahnya saya masih di kantor dan keberangkatan itu terlalu tiba-tiba. Suami saya juga hari itu masih berada di kantor. Saya minta ia segera pulang agar tahu barang-barang apa saja yang perlu dibawa.

Pagi itu juga saya minta izin ke atasan untuk pulang lebih awal. Setelah saya ceritakan perihal berangkat sekolah ke Jerman yang super mendadak itu, beliau pun heran. “Ini kasus langka,” kata beliau.

Sesampai di rumah saya tanyakan kembali apakah keberangkatan bisa diundur. Tetapi menurut suami saya keberangkatannya sudah fix.

“Kesempatan emas tidak datang dua kali”, ujarnya.

Akibatnya hari itu kami sekeluarga heboh menyiapkan barang-barang yang harus dibawa suami saya ke Jerman.

Setelah suami berangkat ke Jerman, ternyata tidak semudah yang dibayangkan semula. Saya seolah kehilangan keseimbangan hidup. Saat

(3)

itu ketiga buah hati kami masih kanak-kanak. Meskipun akhirnya kami bisa beradaptasi tetapi saya ingat sekali selama delapan bulan berat badan saya menyusut drastis. Tidak tahu kenapa, padahal kami merasa sudah dapat menyesuaikan diri.

Menyusul Sekolah ke Jerman

Saya merasa khawatir dengan perkembangan psikologis anak-anak yang ditinggal oleh Ayahnya ke Jerman. Oleh karena itu, seperti yang sudah saya singgung di bab sebelumnya, saya beranikan diri bicara ke atasan saya, Prof. Dr. Wahyudi Wicaksono. Saya menghadap untuk meminta izin cuti di luar tanggungan. Tetapi permohonan itu tidak dapat beliau luluskan. Beliau malah memberi saran agar saya ikut test di BPPT, barangkali bisa mendapat beasiswa. Pada saat itu sebenarnya tidak ada niat sekolah tetapi pilihan untuk cuti di luar tanggungan negara sudah tertutup, maka dengan terpaksa saya mengikuti saja saran Prof. Wahyudi Wicaksono tersebut.

Persaingan mengikuti test di BPPT tersebut terbilang ketat. Dari 900 pelamar yang ikut test, yang akan diterima hanya 10% saja, yakni 90 orang. Pada tes pertama yang lulus hanya 270 peserta, jadi untuk test awal saja hanya sepertiga yang dinyatakan ikut test berikutnya, yaitu test psikologi. Selepas test psikologi dilanjutkan lagi pada tahap wawancara yang sekaligus mendata minat peserta mengambil kuliah di negara mana.

Pada saat pengumuman tiba, saya sangat kecewa karena nama saya tidak ada dalam daftar yang lulus. Padahal sebelumnya merasa yakin akan lulus karena soal-soal test dapat saya kerjakan tanpa kendala berarti. Apakah saingannya sangat tangguh sehingga tidak masuk yang sepuluh persen? Anehnya, nama saya juga tidak ada di daftar yang tidak lulus. Seolah hilang dari medan pertarungan.

Oleh karena itu saya beranikan diri bertanya langsung kepada Pak Wardiman (Prof. Wardiman Djojonegoro, peny). Saat itu beliau adalah atasan suami saya. “Mengapa nama saya tidak ada di daftar yang lulus ataupun yang tidak lulus Pak? Apakah saya lulus? Atau bagaimana?” pertanyaan itu meluncur deras

(4)

“Kamu lulus di urutan pertama,” ujar Pak Wardiman.

“Loh, kok bisa?” saya malah bertambah heran karena nama saya nyata-nyata tidak tercantum di pengumuman. Ternyata-nyata, menurut Pak Wardiman, karena saya dari Departemen (Kementerian, peny) maka nama saya tidak dicantumkan di daftar peserta yang lulus. Jadi keputusan tidak menampilkan nama saya itu memang disengaja.

Setelah mengantongi izin sekolah dan beasiswa, tak lama berselang saya langsung terbang ke Jerman, persisnya pada Mei 1986. Kala itu saya sudah memiliki tiga orang anak, jadi saya membawa mereka turut serta menyusul ayahnya yang sudah lebih dulu kesana. Ketiga anak saya masing-masing berusia tujuh tahun, lima tahun, dan yang bungsu baru dua tahun.

Sempat Mengalami Gegar Budaya di Aachen-Jerman

Saat teman-teman yang lain mengikuti ujian bahasa, saya tidak bisa ikut karena anak saya sedang sakit dan harus diopname. Selama dua minggu saya harus menemani anak di rumah sakit. Apalagi prosedur perawatan rumah sakit Jerman yang rupanya tidak mudah. Meskipun sudah masuk rumah sakit, mereka tidak langsung mendapatkan pengobatan, tetapi harus diperiksa seksama apakah anak saya terjangkit penyakit berbahaya.

Bisa jadi karena kami warga negara asing dan mereka khawatir pasien membawa bibit penyakit tertentu. Demi menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, pihak rumah sakit sampai mengisolasi anak saya. Praktis selama dua minggu itu saya tidak mengikuti ujian.

Setelah anak saya sembuh total, barulah bisa mengurus lagi persiapan ujian bahasa. Saya menghubungi pihak penyelenggara ujian untuk merevisi keikutsertaan saya di ujian bahasa. Saya berniat mengikuti kursus intensif Bahasa Jerman selama kurang lebih 6-10 bulan untuk menyiapkan ujian yang tertunda.

Saat bertemu dengan pihak penyelenggara, mereka malah menyarankan agar tidak perlu ikut kursus itu. Mereka mengusulkan, kalau saya sanggup, langsung saja ikut ujian tanpa harus mengikuti dulu kursus yang terlalu lama.

(5)

Saya diberi waktu sekitar dua minggu untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian yang dimaksud. Suami saya juga menganjurkan agar saya tidak ragu mencobanya. “Siapa tahu lulus?”, katanya. Hal ini menambah keyakinan bahwa saya harus mampu. Kondisi terburuk, jikalaupun nantinya saya tidak lulus, saya masih bisa mengulanginya lagi.

Eh... ternyata saya lulus, padahal rekan-rekan seangkatan saya masih ikut kursus bahasa. Sedangkan saya sudah bisa masuk universitas.

Di Jerman, saya ditempatkan di Kota Aachen, sebuah kota yang terkenal sebagai pusat bidang Kimia. Perekonomian Aachen juga didominasi oleh industri berbasis industri kimia. Disinilah pusat ilmu dan industri kimia berkembang.

Di tanah air, dengan posisi saya yang sudah mencapai tingkatan kepala seksi memberikan kemudahan bagi saya. Meskipun saya aktif dengan pekerjaan, saya tidak khawatir dengan keadaan anak-anak di rumah. Saya dibantu dengan supir yang siap mengantar, baby sitter yang mengurus anak-anak, juga pembantu yang bertugas mengurus kepentingan rumah tangga selama saya bekerja.

Keadaan berbeda harus saya alami ketika saya harus hidup di negeri orang. Kalau di rumah banyak yang membantu, di Jerman saya tidak punya siapa-siapa sama sekali. Kami berdua harus bahu-membahu mengurus anak-anak. Selain harus membenahi keadaan keluarga, kami juga harus berjuang menghadapi lingkungan yang amat keras. Pada saat itu Ausländerfeindlich di Jerman masih sangat kental. Ausländerfeindlich adalah sikap orang Jerman yang tidak suka kepada orang asing. Kami benar-benar merasakan hal itu pada masa awal kedatangan di Jerman.

Ada sebuah pengalaman terkait Ausländerfeindlich ini di Aachen. Sewaktu saya mengikuti sebuah seminar di Aachen, seseorang yang duduk persis bersebelahan dengan saya tiba-tiba menjauh tanpa sebab. Saya kemudian mengerti, mereka sengaja menjauh karena warna kulit kami yang berbeda. Peristiwa yang menimpa saya ini merupakan reaksi orang Jerman yang masih curiga kepada warga pendatang seperti kami, termasuk sebagian yang berasal

(6)

dari Asia. Hal yang sama juga dialami anak-anak saya di sekolah, bahkan teman mereka dipanggil ‘ ’ oleh teman-temannya, yang berarti orang negro. Untuk menghibur dan menyemangati mereka, saya memberikan nasehat agar mereka bersungguh-sungguh belajar dan berprestasi. Hanya dengan prestasi kita bisa mendapat pengakuan dan diterima lingkungan. Syukurlah, anak-anak amat mematuhi apa yang saya sampaikan dan mereka mengamalkannya dengan baik.

Keteguhan itu membuahkan hasil, anak-anak berprestasi baik di sekolah. Ternyata benar, meskipun orang Jerman pada saat itu cenderung anti pada orang asing, tetapi dengan prestasi baik sikap mereka malah berbalik arah, semakin ramah dan menghargai. Beberapa teman-teman anak saya malah ada mampir ke rumah. Apalagi setelah mereka tahu kalau di rumah kami mereka bisa makan nasi dan mie goreng, jenis panganan yang jarang mereka temui sehari-hari.

Banting Stir ke TU Clausthal

Awalnya, saya diarahkan ke Aachen agar memperkuat ilmu Kimia Murni. Akan tetapi, setelah mempertimbangkan bahwa di Lemigas tantangannya lebih ke aplikasi minyak dan gas, maka kuliah di Aachen tidak langsung menjurus pada kebutuhan riil di Lemigas nantinya. Apalagi sepulang ke Indonesia, kemungkinan besar akan mendapat tempat di wilayah yang lebih strategis (strukural). Dengan demikian ilmu Kimia Murni yang hendak diperdalam di Aachen nantinya relatif tidak memberikan kontribusi yang tinggi juga. Kebetulan pada saat masih di Indonesia, ada sebuah universitas dari Jerman yang pernah berkunjung ke Lemigas, yaitu Technisie Universiteit Clausthal (TU Clausthal). Menurut hemat saya, ada baiknya saya kontak lagi profesor yang pernah datang ke Lemigas untuk mengkonsultasikan masalah ini. Setelah berhasil mendapatkan kontaknya, saya hubungi beliau dan menyampaikan bahwa saya merasa kurang sreg jika kuliah di Aachen karena minat saya lebih menjurus kepada petrokimia. Beliau menanggapi positif dan mengusulkan agar saya ikut tes wawancara di TU Clausthal.

(7)

Wawancara tersebut berjalan lancar dan saya dinyatakan lulus ke TU Clausthal. Berhubung saya akan pindah dan jarak Aachen ke Clausthal lebih dari 400 km, suami saya akhirnya mengalah. Ia juga ikut pindah ke TU Clausthal. Pada tahun 1987 kami sekeluarga pindah dari Aachen ke Clausthal-Zellerfeld. Ada beberapa perbedaan antara Clausthal dengan Aachen. Pertama, di Aachen mudah sekali menemui komunitas orang Indonesia, sedangkan di Clausthal jauh lebih sedikit. Kedua, temperatur di Clausthal lebih dingin dibandingkan Aachen. Dan ketiga, biaya sekolah anak-anak jauh lebih ringan karena di Clausthal kami tidak perlu membayar uang sekolah, sedangkan ketika di Aachen kami harus mengeluarkan biaya untuk sekolah anak-anak. Kepindahan itu juga tidak mudah karena birokrasi Jerman sangat ketat pada saat itu. Apalagi kami mengambil program doktor yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Jerman. Untuk itu kami harus menempuh dulu semacam ujian persamaan untuk Dipl-Ing.

Sesampainya di TU Clausthal saya tidak bisa langsung melakukan penelitian program doktoral. Saya harus kuliah dan lulus di tahapan Dipl-Ing tersebut untuk mendapatkan persamaan dari sarjana ITB ke Dipl-Ing. Ujian persamaan ini tergolong berat bagi saya, oleh karena itu perlu usaha ekstra, terutama kami masih dalam tahap penyesuaian dengan budaya dan iklim baru di Clausthal.

Penelitian yang saya jalani di program doktor ini memberikan suatu pengalaman batin yang mendalam. Betapa tidak, semua itu saya jalani dengan perjuangan ekstra yang tidak selalu mulus. Berada di negara asing tanpa ada yang membantu, hanya bersama suami dan ketiga anak yang kecil-kecil membuat saya memerankan banyak tugas sekaligus. Saya harus mendampingi suami, mengurus ketiga anak di rumah, dan mengikuti kuliah dengan baik.

Untungnya di Clausthal anak-anak sudah bisa lebih cepat menyesuaikan diri dan sekolah mereka berlangsung lancar. Terasa sekali mereka lebih mandiri setelah berada di Clausthal. Tak terkecuali anak bungsu saya yang masih berusia tiga tahun. Dia masih TK tetapi sudah berani pulang sekolah sendiri.

(8)

Kalau kami belum pulang dan tidak sempat menjemput, ia langsung pulang sendiri ke rumah.

Dengan kesibukan yang banyak di luar rumah, saya menyempatkan diri untuk mengurus anak-anak terlebih dahulu. Sebelum bekerja, saya menyiapkan semua keperluan mereka untuk berangkat ke sekolah. Pagi-pagi bangun lebih awal dan memasak sarapan pagi. Siang selalu saya sempatkan kami pulang ke rumah dan makan siang bersama keluarga. Selepas itu kembali lagi ke lab. rutinitas seperti ini berlangsung selama kami tinggal di Clausthal, sejak 1987 sampai 1991.

Di ITB saya lebih awal lulus dibandingkan suami yang notabene lebih awal masuk ITB. Di Jerman kejadian yang sama terulang kembali. Saya sudah menyelesaikan ujian doktor pada Februari 1991, sedangkan suami saya belum selesai juga program doktornya. Beasiswa saya masih berlaku hingga Juli 1991, oleh karena itu saya punya waktu ekstra di Jerman kurang lebih lima bulan. Sepanjang Februari – Juni 1991 saya menikmati masa-masa bersama keluarga di Jerman, setelah sebelumnya berkutat terus dengan urusan kampus.

Ujian dan Hikmah Puasa

Pelajaran Berharga Bulan Ramadhan Pertama di Jerman

Berhubung masih bulan puasa (penulisan dilakukan pada bulan puasa, peny), ingatan saya melayang ke masa 80-an, di masa awal kami berada di Jerman. Saya merasa, barangkali itulah puasa saya yang sepertinya tidak akan diterima Tuhan. Mengapa? Sepanjang bulan ramadhan itu saya melaluinya dengan marah-marah melulu.

Bulan Ramadhan tiba saat beberapa saat setelah kami sampai di Jerman. Saya dan anak-anak masih dalam tahap penyesuaian. Kondisi yang kami alami sangat berbeda dengan di Indonesia. Sedianya saya sudah terbiasa dimudahkan dengan adanya pembantu rumah tangga, supir, dan baby sitter. Sementara di Jerman harus menangani semua urusan rumah tangga sendirian. Ditambah lagi suami juga belum terbiasa berkecimpung dengan urusan ‘dapur’. Pendeknya kami mengalami gegar budaya. Tertatih

(9)

menangani urusan rumah tangga akibat sudah terbiasa mendapat bantuan dari orang lain.

Mengurusi rumah sembari kuliah ternyata bukan perkara mudah. Apalagi saya merasa beban itu saya tanggung sendiri. Perubahan mendadak ini membuat saya kerap terpancing emosi. Pokoknya rumah kami dipenuhi omelan dan suasana menjadi tidak nyaman. Sangkin seringnya tersulut emosi, saya yakin puasa saya ketika itu tidak diterima. Mana ada orang puasa yang malah bawaannya marah-marah terus kan?

Kalau dipikir-pikir masalahnya sebenarnya sederhana saja. Saya tidak dapat menerima keadaan karena merasa seluruh beban yang harusnya dipikul bersama suami malah saya tanggung sendirian. Misalnya begini, kami sudah sepakat bergiliran mencuci piring. Saya mendapat giliran cuci piring pagi-siang dan suami malam hari. Tetapi begitu giliran suami saya harus cuci piring, ia tidak melakukan tugasnya. Alasannya ia baru pulang dan masih lelah. Nah, meledaklah marah saya. Terkesan sepele memang, tetapi hal-hal seperti itu memang terjadi.

Saya sampai menulis surat kepada mertua untuk melaporkan tingkah laku suami saya yang tidak mau bekerja sama. Ungkapan emosi itu saya tuangkan dalam berlembar-lembar surat. Untungnya tidak satu pun surat itu saya kirim. Kalaupun saya kirim, mungkin mertua saya hanya tertawa saja melihat tindakan kami yang masih kekanak-kanakan meski sudah memiliki tiga anak. Seingat saya sekitar empat bulan saya berada dalam situasi menyiksa tadi. Meski begitu, saya juga yakin bahwa momentum itu justru menjadi bekal di kemudian hari karena saya belajar banyak darinya. Keruwetan menangani kuliah dan keluarga sekaligus membuat level stress berada pada tingkatan puncak. Namun, itu juga yang membuat saya tersadar. Terlintas pertanyaan, kenapa saya jadi begini? Bukankah orang lain juga ada yang mengalami hal serupa?

Tak akan terbayang apa jadinya jika saya masih meneruskan amarah. Bisa-bisa saya gila dibuatnya. Dalam hati saya bertanya, “Kalau begini terus, apa yang akan terjadi dengan anak-anak saya? Siapa yang akan mengurus

(10)

mereka?” Saya benar-benar tersadar dan langsung mengubah total sikap saya menghadapi masalah.

Kemudian saya mulai menata kembali bagaimana harus bersikap dengan situasi baru. Daripada terus terbawa emosi yang justru membuat saya lemah, kenapa tidak bersahabat saja dengan keadaan? Saya seperti mendapat pencerahan baru, bahwa selama ini saya sering menghadapi ujian formal dan alhamdulillah bisa berhasil baik. Harusnya ujian kehidupan bisa juga saya lalui, bukan malah larut dalam bersungut-sungut.

Hikmah yang saya petik dari kejadian itu, tekanan yang bertubi-tubi justru membuat kita semakin kuat. Jadi tekanan itu bukan untuk dihindari melainkan membantu kita agar mampu menghadapi tekanan lain yang lebih berat di kemudian hari. Saya mulai bisa ikhlas dan berdamai dengan keadaan. Here it is... ternyata itu solusinya. Saya pun bisa menjalani seluruh rutinitas yang padat dengan senang hati.

Dalam masa penuh gundah gulana selama empat bulan pertama di Jerman itu, kiriman surat dari rekan-rekan Lemigas bak setetes air di tengah gurun pasir.

“Ibu, kami sangat menantikan kedatangan ke Lemigas lagi,” torehan kalimat seperti itu terasa membawa kesejukan bagi saya. Semangat saya pun tumbuh kembali menjalani tugas belajar di Jerman.

Pelajaran berharga saat puasa di tahun 1986 silam itu sangat berguna hingga saat ini. Beberapa kali saya mendapat respon dari generasi di bawah saya di ESDM. Intinya mereka mengapresiasi ketahanan saya dalam menjalani banyak kesibukan.

“Apa sih rahasianya bisa bertahan dengan begitu banyak pekerjaan dan tantangan Bu? ‘Dibanting-banting’ bagaimanapun tetap segar dan semangat?” tanya mereka. Terutama menyoroti bagaimana beratnya menghadapi beragam tugas dari DPR saat menjabat sebagai Dirjen Migas. Saya selalu jawab, “Bagaimanapun beratnya tugas, kalau kita kerjakan dengan ikhlas, insya Allah tidak ada yang berat.” Pelajaran ikhlas ini justru saya peroleh lewat pengalaman menjalani puasa pertama di Jerman yang saya ceritakan di atas.

(11)

Menghadapi Tantangan Berat dengan Ilmu Legowo

Saya semakin meyakini ikhlaslah yang membuat kita kuat, terutama setelah saya menderita mioma di perut dan harus dioperasi. Ketika itu saya tidak bersedia dioperasi, namun ibu terus membujuk dan menyadarkan saya bahwa operasi untuk penyembuhan itu justru bukti tanda cinta kepada keluarga. “Kamu masih sayang ga sih dengan suami dan anak-anakmu?” begitu tanya Ibu di ujung telepon.

Penyakit itu sebenarnya sudah teridentifikasi sejak 1992 dan baru dioperasi pada 1999. Kenapa baru tujuh tahun baru diambil tindakan operasi? Ceritanya begini, sebenarnya pada 1992 saya sudah sempat menjalani operasi. Ketika dioperasi, ternyata obat bius yang dimasukkan ke tubuh saya tidak bekerja optimal. Sementara itu, ketika operasi berlangsung saya sudah dalam keadaaan tidak bisa apa-apa lagi. Tangan dan kaki pun dalam keadaan terikat. Bisa dibayangkan bagaimana perihnya dan tersiksanya menjalani operasi dengan kondisi begitu.

Obat bius tidak bereaksi terhadap tubuh saya karena ketika penelitian saya banyak menggunakan ether yang notabene adalah obat bius. Sudah 19 tahun saya tidak aktif di laboratorium tetapi hingga tahun 1992 itu tubuh saya ternyata masih kebal dengan obat bius.

Nah, ketika dokter anastesi memberikan obat bius ether, tubuh saya nyatanya masih kebal terhadap ether. Akibatnya, ketika pisau bedah sudah menempel di atas perut dan mata saya masih terbuka, saya masih bisa merasakan sayatan demi sayatan yang sungguh menyakitkan. Dalam menahan derita perih akibat sayatan pisau bedah itu, saya sama sekali tidak dapat berteriak. Obat bius hanya mampu membuat saya tak dapat bicara, tetapi tubuh masih kebal terhadapnya. Begitulah operasi mengerikan yang saya alami dan membuat trauma untuk dioperasi lagi.

Makanya ketika hendak operasi kedua di tahun 1999 saya harus sampaikan ke dokter bahwa saya orang kimia dan sudah terbiasa menghirup ether di lab. Jadi, saya memohon agar operasi yang saya jalani jangan sampai seperti yang saya rasakan di tahun 1992.

(12)

“Dok, Saya masih memiliki trauma hebat merasakan pisau di atas perut,” begitu saya katakan ke dokter.

Dokter akhirnya mengambil solusi spinal anastesi, yaitu metode pembiusan dengan cara menyuntikkan obat bius melalui sumsum tulang belakang. Tetapi menurut dokter spinal anastesi sakit sekali.

Menghadapi operasi itu saya sudah pasrah total. Bahkan jika pun saya harus kembali menghadapNya saya sudah siap. Oleh karena itu sehari sebelum operasi, saya panggil suami dan sampaikan seluruh seluk beluk rumah tangga. Mulai dari uang ada dimana dan apa saja yang harus dibayar. Saya juga sudah mengakui seluruh kesalahan dan dosa saya lalu meminta maaf.

Mendekati operasi, terputar kembali hikmah ikhlas yang saya peroleh kejadian di bulan ramadhan di Jerman. Saya ikhlas dan pasrah sepasrah-pasrahnya. Ternyata, dengan bersikap ikhlas saya tidak merasakan sakitnya suntik seperti yang dijelaskan dokter. Bagi saya, ini menjadi sebuah perjalan batin yang meneguhkan, bahwa ikhlas adalah obat terbaik menghadapi segala cobaan. Makanya pada saat memberikan nasihat kepada yang sedang menghadapi cobaan saya selalu katakan, cobalah untuk ikhlas. Menerima dengan legowo apa yang terjadi. Nikmati saja dan jalani sebaik mungkin. Serahkan saja semuanya kepada Allah SWT, niscaya tidak ada yang berat. Seringkali masalah itu berat ketika kita tidak siap dan tidak ikhlas menghadapinya.

Sangkin seringnya memberikan wejangan ikhlas, malah ada yang bergurau, “Lah... itu kan karena nama Ibu ada Legowo-nya,” ha..ha... Tapi benar juga, saya merasa beruntung menyandang nama Legowo milik suami saya. Dengan begitu saya selalu teringat akan rahasia ilmu ikhlas meskipun harus saya akui saya juga tidak selalu berhasil menerapkan praktik ikhlas ini.

Tantangan Kehidupan yang Keras di Jerman

Sesampainya di Jerman saya harus menjalani pola hidup yang berbeda. Kalau di Indonesia saya banyak dimanjakan dengan adanya pembantu, baby sitter, dan supir. Maka di Jerman saya harus melakoninya sendirian.

(13)

Saat belanja misalnya, saya menggendong si bungsu yang masih berusia dua tahun, tertatih menenteng karung beras, dan tangan satu lagi masih menenteng belanjaan. Melihat untuk belanja saja saya kerepotan seperti itu, seorang teman yang sama-sama di Jerman malah tertawa dan bilang, “Rasain, kamu di Indonesia hidupnya keenakan sih.” Bukannya dibantu, saya malah diledek begitu.

Belum lagi masalah ekonomi. Beasiswa saya dan suami berasal dari sumber yang sama. Akibatnya, kalau beasiswa datangnya terlambat—dan memang sering begitu—keuangan kami jadi berantakan. Beberapa kali kami harus meminjam duit rekan-rekan yang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Saya tidak tahu persis kenapa beasiswa pada saat itu seringkali datang terlambat. Barangkali administrasi beasiswa di Indonesia masih belum rapi karena saat itu Indonesia tengah belajar mengelola beasiswa.

Akibatnya kami harus pandai-pandai berhemat kalau dana beasiswa belum turun juga. Beruntung suami dan anak-anak saya tidak pernah mengeluh dengan keadaan tersebut. Semua kami lalui dengan senang hati.

Hidup di negeri orang dengan beasiswa yang pas-pasan memang tidak mudah bagi kami. Apalagi kami sekeluarga tinggal di Jerman. Meskipun saya dan suami sama-sama mendapat beasiswa, namun dana itu masih tergolong pas-pasan. Sudah begitu, administrasinya masih belum rapi sehingga sering terlambar cair.

Namun, ada satu peristiwa yang cukup membekas dalam ingatan. Ketika itu seorang teman kami yang berkebangsaan Jerman singgah ke rumah. Barangkali ia ikut prihatin dengan kondisi kami yang seadanya. Esok pagi, ketika bertemu di kampus, ia mengatakan kira-kira begini “Evita, saya tadi transfer 500 DEM1 ke rekening kamu”.

Saya kan bingung, “Loh kenapa?” tanya saya.

(14)

Uang sebenar 500 DEM kalau dikoversi dengan ukuran saat ini kurang lebih empat juta rupiah. Bagi kami dana tersebut termasuk besar.

Hikmah yang saya peroleh dari kejadian tersebut, kepedulian teman-teman di Jerman sebenarnya sangat besar. Kesan bahwa mereka anti terhadap asing itu memang wajar dan umumnya hanya kita rasakan di awal saja. Kalau sudah kenal, kita baru bisa merasakan bahwa mereka menaruh peduli yang sangat besar.

Sulitnya orang Jerman menerima kita masuk ke lingkungannya memang kami rasakan pada masa itu. Kalau dibandingkan dengan kondisi sekarang mungkin sudah jauh berbeda. Dulu, untuk akrab dengan mereka susahnya setengah mati. Butuh kesabaran yang ekstra kuat.

Misalnya saja, kalau kita hadir di sebuah seminar. Mereka akan sengaja duduk berkumpul sesama mereka dan membiarkan saya duduk sendirian. Esoknya saya coba membaur dengan pindah ke tempat mereka duduk, eh... mereka malah pindah dan menjauh lagi. “Dinginnya” orang Jerman bisa dipahami memang karena kondisi politik saat itu membuat mereka seolah menjadi eksklusif. Apalagi ketika itu Jerman Barat dan Jerman Timur masih belum bersatu.

Di Jerman saya harus memasak sendiri untuk keluarga. Memasak memang bukan hal yang terlalu sulit, karena pada dasarnya saya suka sekali memasak. Hanya saja selama di Indonesia respon suami terhadap masakan saya biasa saja. Oleh sebab itulah di Indonesia saya tidak rutin memasak lagi.

Tetapi, di Jerman selain karena biaya yang pas-pasan, mendapatkan panganan ala Indonesia sangat susah. Oleh karena itu mau tidak mau saya harus memasak dan suami juga mau tidak mau harus makan hasil masakan saya.

Hikmahnya, dengan rutin memasak, keterampilan memasak saya jadi semakin baik. Dulu, kalau memasak rasanya lama sekali baru selesai satu jenis masakan. Setelah terlatih masak sehari-hari di Jerman, memasak jadi hal yang mudah saja. Bahkan, sampai pulang ke Indonesia dan ada tamu saya sendiri yang masak. Tamu sampai lima puluh orang pun masih bisa saya tangani sendiri dalam menyiapkan makanannya.

(15)

Ada hal yang cukup berkesan selama di Clausthal. Setiap jam 9 pagi selalu diadakan minum kopi bersama selama setengah jam. Saya yang sudah terbiasa minum kopi ala Indonesia selalu menambahkan gula di cangkir saya. Ternyata itu diperhatikan karena bagi mereka aneh ada orang yang minum kopi pakai gula. Kebiasaan disana, kalau minum kopi ya kopi saja, tanpa gula. Meski kebiasaan minum kopi pakai gula saya diangap aneh, tetapi mereka sangat senang kalau saya membawa makanan khas Indonesia, khususnya lumpia basah.

Masih tentang makanan. Dalam rangka kegiatan PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) kami pernah menjual panganan khas Indonesia di acara pesta kota. Kami menyajikan pisang goreng, lumpia, dan kerupuk udang. Hasilnya sangat menggembirakan karena dagangan kami ludes terjual, padahal panganan itu dijual dengan harga yang cukup mahal bila dibandingkan dengan harga standarnya.

Hanya dalam waktu dua malam, kami berhasil mendapat untung sebesar DM 800. Sebagai perbandingan, ketika itu sewa rumah hanya DM 400 per bulan. Jadi, hanya dengan jualan dua malam saja kita sudah bisa menyewa rumah untuk dua bulan.

Tertib dengan Manajemen Waktu

Menjalani program doktor di Jerman terbilang berat. Terutama saya harus menyeimbangkan tugas sebagai ibu dan istri di rumah sehingga saya harus berusaha ekstra keras menjalani rutinitas sehari-hari.

Pagi-pagi buta harus menyiapkan sarapan untuk anak-anak, membangunkan mereka dan membantu persiapan ke sekolah. Sambil mengantar ke sekolah juga sekalian berangkat ke institut untuk meneruskan kegiatan penelitian. Siang harus buru-buru ke rumah lagi agar anak-anak bisa makan siang di rumah. Secepat mungkin kembali lagi ke institut melanjutkan serangkaian kegiatan rutin hingga pukul 5 sore. Saya baru tiba di rumah pukul 6 sore dan langsung mengurusi anak-anak dan rumah. Belum lagi tugas menulis paper

(16)

Beban kian bertambah ketika saya memasuki tahap menulis disertasi. Ketika anak-anak masih di rumah, apakah sedang dalam kondisi santai atau menuntaskan pekerjaan rumah mereka, saya sempatkan mencoret-coret konsep. Ketika mereka tidur, sekitar pukul 9 malam, barulah saya serius meneruskan disertasi. Setiap hari begitu sehingga saya hanya tidur 3-4 jam saja.

Sejak mahasiswa saya memang sudah membiasakan diri untuk tertib menjalankan program yang saya canangkan sendiri. Nah, di Jerman pola manajemen waktu itu saya gunakan lagi.

Saya selalu merencakan aktivitas yang harus saya tuntaskan setiap hari dan mengatur jam berapa pekerjaan itu harus saya kerjakan dan berapa waktu untuk mengerjakannya. Daftar tugas itu saya rancang sedetail mungkin. Agar tertib dalam manajemen waktu yang saya maksud tadi, saya selalui menggunakan timer.

Misalnya, dari jam sekian sampai sekian menyiapkan makanan, lalu mengantar anak-anak, diteruskan menulis sekian jam, dan lainnya. Sampai waktu tidur pun saya jadwalkan. Sampai-sampai suami saya sering protes.

“Kok, mau, ya, hidup diatur sama sebuah timer?” tanyanya heran. “Kalau tidak disiplin, ya saya nggak akan lulus,” jawab saya.

Terbukti saya lebih awal menyelesaikan program doktor dibandingkan suami. Padahal dia lebih awal sampai ke Jerman.

Disertasi, Motivasi Mengatasi Masalah di Indonesia

Selain untuk bergabung dengan suami ke Jerman, niat awal saya sekolah adalah untuk ikut berkontribusi dalam pengembangan minyak dan gas di Indonesia. Oleh karena itulah ketika tiba di Jerman saya bersikeras pindah karena di Aachen lebih cenderung ke ilmu Kimia Murni, bukan ke arah petroleum.

Setelah pindah ke Clausthal saya belajar kembali seluk beluk migas mulai dari upstream (survey, drilling, dan production) hingga downstream (product

(17)

refinary dan marketing). Saya harus belajar lebih keras dibandingkan orang lain karena background pendidikan saya Kimia. Namun semua itu saya lalui dengan senang karena pelajaran-pelajaran tersebut sudah dapat saya kaitkan dengan apa yang sudah dan akan saya temui Lemigas. Pada perjalanannya, saya cenderung lebih tertarik pada ilmu upstream.

Itulah sebabnya topik penelitian saya untuk disertasi juga masih pada lingkup upstream. Saya bertekad penelitian saya harus membawa manfaat bagi Indonesia.

Salah satu tema yang sedang hangat pada tahun itu adalah bagaimana meningkatkan produksi migas di Indonesia? Setelah diskusi dengan pembimbing, akhirnya saya memilik topik Enhanced Oil Recovery. Berhubung saya dari Kimia, topik itu saya kerucutkan lagi menjadi Enhanced Oil Recovery

dari sisi Kimia, tepatnya En Hen Recovery Sub Facta Flooding.

Subtansi penelitian saya adalah mencari surfaktan yang sesuai untuk meningkat produksi berbagai jenis minyak bumi. Jadi saya belajar dan meneliti apa saja yang mempengaruhi produksi minyak bumi dari sisi

chemical. Suami saya juga mengambil topik enhanced oil recovery, tetapi konsentrasinya adalah computer modelling.

Ini menarik, karena topik penelitian kami berada dalam lingkup yang sama tetapi pendekatannya berbeda. Saya bekerja di lab, sedangkan suami bekerja dengan komputer. Tempat penelitian kami juga berseberangan. Suami bertugas di universitas langsung, sedangkan saya di “Lemigas-nya” Jerman yang memang berada di bangunan yang berdekatan.

Pembimbing disertasi saya adalah “Kepala Lemigas-nya” Jerman. Beliau berasal dari kalangan profesional bidang industri, bukan akademisi kampus. Tuntutannya terhadap saya berbeda dengan umumnya para pembimbing yang akademis. Saya merasa kebanting-banting saat menulis disertasi ini karena tuntutan pembimbing yang harus menjawab kebutuhan industri. Layaknya proses menulis disertasi yang baik, tulisan saya banyak mendapat koreksi disana-sini. Terutama pada masa itu alat bantu menulis disertasi tidak semudah hari ini. Untuk sebuah masalah, seringkali harus dikoreksi

(18)

berkali-Namun, semua perjuangan itu membuahkan hasil yang indah. Saya berhasil menuntaskan program doktoral lebih cepat dari yang seharusnya (lima bulan lebih cepat).

Yang menarik lagi, perayaan wisuda di Chaultal terbilang unik karena para wisudawan akan diarak keliling kota. Dipertontonkan ke seluruh masyarakat bahwa wisudawan sudah menuntaskan perjuangannya. Bukan hanya diarak, kami juga dipasangi bermacam-macam aksesoris yang membuat suasana kian meriah. Semua orang memberikan ucapan selamat dan seolah ikut bahagia dengan prosesi wisuda tersebut.

Beratnya

Reserve Culture

Setelah saya dan suami menyelesaikan studi, kami kembali ke Indonesia pada 1991. Empat tahun di Jerman ternyata sedikit banyak telah membawa budaya baru kepada kami.

Misalnya, anak-anak sudah tidak terbiasa berbicara Bahasa Indonesia lagi karena di Clausthal mereka sekolah menggunakan Bahasa Jerman. Selama di Jerman kami sama-sama membiasakan berbahasa Jerman supaya terlatih. Tetapi menjelang pulang ke Indonesia, baru sadar bahwa kami harus menyesuaikan diri lagi dengan Bahasa Indonesia. Terutama anak-anak yang sudah merasa nyaman dengan Bahasa Jermannya. Oleh karena itu, untuk transisi lagi ke Bahasa Indonesia di rumah kami biasakan kembali menggunakan Bahasa Indonesia.

Sesampainya di Indonesia, saya mencoba mencari sekolah yang menggunakan Bahasa Jerman. Satu-satunya pilihan adalah mencoba mendaftar ke Goethe Institute. Tetapi sayangnya persyaratan untuk bisa sekolah disana harus memiliki paspor Jerman. Akibatnya mereka harus sekolah di sekolah biasa dan harus berjuang setengah mati belajar Bahasa Indonesia kembali. Selain masalah penyesuaian bahasa, kami juga mengalami gegar budaya karena perbedaan kebiasaan di Jerman dan di Indonesia.

Pada suatu saat, saya dan anak-anak hendak menyeberang jalan. Ketika menyeberang itu kami nyaris saja tertabrak mobil yang melaju kencang,

(19)

padahal kami sudah menyeberang di zebra cross. Ternyata kami masih terbawa-bawa kebiasaan menyeberang di Jerman. Kalau disana, selama kita menyeberang di zebra cross, maka pejalan kaki adalah yang paling utama. Pengendara mobil harus mengalah ketika ada pejalan kaki yang menyeberang. Tapi kalau di Indonesia kebiasaan seperti itu kan memang tidak ada.

Ternyata empat tahun saja bisa membuat kita menjadi asing di tempat kelahiran sendiri. Ini pelajaran bagi siapa saja yang pergi sekolah ke luar negeri. Kita harus siap saat kembali ke Indonesia dan harus menyesuaikan kembali. Terkadang itu malah lebih sulit dibandingkan ketika pertama kali kita ke luar negeri dan harus menyesuaikan diri dengan budaya mereka.

(20)

Mendapat ucapan selamat dari rekan-rekan di kampus selepas ujian sidang doktor di TU Clausthal.

(21)

Budaya merayakan wisuda dengan beragam pernak-pernik aksesoris membuat perjuangan menyelesaikan program doktor akan terkenang sepanjang masa.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan mengkaji peningkatan nutrisi serat kelapa ( Cocos nucifera L ) yang difermentasi dengan kapang-kapang terseleksi hasil isolasi dari serat kelapa

ROM (Read Only Memory) adalah data yang terdiri dari program-program pokok yang hanya bisa dibaca saja, berbeda dengan RAM, pada ROM data sudah diisi dari pabrik

Walaupun aspek afektif dan konatif lebih tinggi dimiliki para ibu hamil yang memiliki sikap positif terhadap dokter kandungan wanita, masih terdapat para ibu

Buku ini telah dibeli hak ciptanya oleh Departemen Pendidikan Nasional dari Penerbit CV Teguh Karya. Diterbitkan oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional

Some results connected to inclusion relations, neighborhoods of the elements of class Σ λ ( α, β, γ ) and integral operators are obtained.

[r]

Hasil penilaian sikap yang dibuat oleh guru berada pada kriteria sangat. rendah , hasil penilaian pengetahuan berada pada kriteria tinggi ,

[r]