• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Majelis Adat Aceh Dalam Menyelesaikan Sengketa Waris Tanahdi Kecamatan Tempuk Teungohkota Lhokseumawe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Majelis Adat Aceh Dalam Menyelesaikan Sengketa Waris Tanahdi Kecamatan Tempuk Teungohkota Lhokseumawe"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara yang memiliki kekayaan yang beraneka ragam yang terdiri dari suku bangsa, bahasa, adat istiadat serta agama yang berbeda-beda yang tersebar dari sabang hingga merauke. Keragaman ini merupakan peninggalan yang harus di lestarikan sebagai warisan untuk generasi penerus dan salah satu kekayaan kebudayaan yang harus dilestarikan adalah kebudayaan Indonesia dalam hal pewarisan adat.

Sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia ada 3 (tiga) yaitu, sistem Hukum waris Islam, sistem hukum waris Adat dan sistem hukum waris Perdata. Ketiga sistem ini semua berlaku dikalangan masyarakat hukum di Indonesia. Terserah para pihak untuk memilih hukum apa yang akan digunakan dalam pembagian harta warisan yang dipandang cocok dan mencerminkan rasa keadilan.1

Hukum adat tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah, dan norma yang disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat adat.2Hukum adat sebagai hukum yang hidup dikonsepsikan sebagai suatu sistem hukum yang terbentuk dan berasal dari pengalaman empiris masyarakat pada masa lalu, yang dianggap adil dan patut dan telah

1. Emman Suparman, Hukum Waris Islam, Rajawali Press, Bandung, 2005, hlm. 12 2. Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi Dalam hukum syariah, hukum adat, dan hukum

(2)

mendapatkan legitimasi dari penguasa adat sehingga mengikat atau wajib dipatuhi (bersifat normatif).3

Proses pewarisan menurut hukum waris adat pada tiap daerah berbeda beda. Masyarakat Indonesia yang berbhineka terdiri dari beragam suku bangsa memiliki adat istiadat dan hukum adat yang beragam antara yang satu dengan yang lainnya berbeda. Hukum waris suatu golongan masyarakat sangat dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan memiliki sistem hukum waris sendiri-sendiri.

“Seperti diungkapkan oleh Hilman Hadikusuma bahwa dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan kewarisan individual. Di antara ketiga sistem kewarisan tesebut pada kenyataannya ada yang bersifat campuran”.

a. Sistem Kolektif

Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian disebut kewarisan kolektif. Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk memakai, mengusahakan atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau: “ganggam bauntuak”). Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut

“harta pusaka”, berupa bidang tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka, seperti tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang,

yang dikuasai oleh Mamak kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di Ambon seperti tanah dati yang diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap tanah “kalakeran” yang dikuasai oleh Tua Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol,

3. Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung: Alumni, hlm. 27.

(3)

yang di masa sekarang sudah boleh ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama.

b. Sistem Mayorat

Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut “kewarisan mayorat”. Di daerah Lampung beradat

pepadun seluruh harta peninggalan dimaksud oleh anak tertua lelaki yang disebut “anak punyimbang” sebagai “mayorat pria”. Hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten Jayapura. Sedangkan di daerah Semendo Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan dikuasai oleh anak wanita yang disebut

“tunggu tubing” (penunggu harta) yang didampingi “paying jurai, sebagai “mayorat wanita”.

c. Sistem Individual

Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan “hak milik”, yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan demikian disebut “kewarisan individual”. Sistem kewarisan ini yang banyak berlaku di kalangan masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) dan dalam Hukum Waris Islam.4

Sedangkan menurut Wirjono Projodikoro, bahwa diantara orang-orang Indonesia asli ditemukan 3 (tiga) macam golongan kekeluargaan atau kekerabatan, yaitu :

1. Golongan kekeluargaan yang bersifat kebapakan atau disebut juga patrilineal terdapat didaerah tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian, Timor, dan Bali.

2. Golongan kekeluargaan yang bersifat keibuan atau disebut juga matrilineal terdapat di Minangkabau.

3. Golongan kekeluargaan yang kebapak-ibuan terdapat di Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Ssumatera Selatan, seluruh Kalimanta, seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok.5

4. Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,Mandar Maju,

Bandung hlm. 211

5. Wirjono Prodjodikoro, 1983, Hukum Waris di Indonesia, Cet-II, Bandung : Sumur, hlm.15-16.

(4)

Aceh merupakan salah satu provinsi yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Aceh memberlakukan hukum islam dan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari karena adat merupakan salah satu bagian terpenting yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat.

Masyarakat Aceh menganut sistem kekerabatan parental atau bilateral artinya sistem waris dalam masyarakat kekerabatan parental atau bilateral memberikan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan yaitu sama-sama mempunyai peluang untuk menjadi ahli waris. Sistem kekerabatan pada masyarakat parental atau bilateral didasarkan pada kedua orang tua (bapak dan ibu).6

Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam di Indonesia dan sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Peurelak dan Pasai. Puncak kejayaan Aceh dicapai pada permulaan abad ke-17, masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa Sultan Iskandar Muda agama dan Kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, sehingga daerah ini mendapat julukan "seuramo mekkah" (serambi mekkah).7

6. Ibid.

7. Ahmad fazil, http://acehseuramoemekkah.blogspot.com/2013/07/sejarah-singkat-aceh.html, dilihat pada tanggal 11 April 2018 Pukul 13.05 WIB.

(5)

Sultan Iskandar Muda rupanya tertarik dengan seorang puteri dan Pahang yang bernama Puteri Kamaliah. Puteri Kamaliah kemudian dinikahi Sultan Iskandar Muda dan diangkat menjadi permaisurinya. Karena Puteri Kamaliah berasal dan Pahang, rakyat Aceh memanggilnya dengan Putroe Phang.8Puteri Kamaliah masyhur karena cerdas dan bijaksana dalam memutuskan persoalan yang dihadapi masyarakat Aceh Darussalam.9

Pada suatu hari, terdapat kasus pembagian harta waris dengan dua ahli waris yakni seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Adapun harta yang menjadi objek pembagian adalah berupa sawah dan rumah. Diputuskan bahwa anak perempuan mendapatkan sawah sedangkan anak laki-lakinya mendapat rumah. Anak perempuan tersebut tidak menerima keputusan tersebut dan melakukan banding.10

Mendengar kasus tersebut, Putroe Phang langsung meresponnya dan membela perempuan tersebut dengan argumen bahwa wanita tidak mempunyai rumah dan tidak dapat tinggal di meunasah (mushola) sedangkan anak laki-laki dapat tinggal di mushola. Oleh karena itu, yang layak menerima rumah adalah wanita sedangkan yang layak menerima sawah adalah anak laki-laki. Sejak itu, Puteri Kamaliah yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh sebagai Putroe Phang itu menjadi

8. Sang penunggu istana darud dunia, https://www.blogger.com/profile, dilihat pada tanggal 11 April 2018 Pukul 13.05 WIB.

9. Ibid. 10. Ibid.

(6)

rujukan dalam penyelesaian masalah hukum, khususnya hukum waris.11

Sejarah dimulainya hukum adat di Aceh diawali dengan lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam. Masuknya agama Islam ke Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1511 – 1530 M juga sangat mempengaruhi proses terbentuknya hukum adat. Penyebaran agama Islam pada masa itu berkembang luas dan cepat karena agama Islam sangat cocok dengan karakteristik masyarakat Aceh. Maka atas hasil mufakat pembesar-pembesar kerajaan, terbentuklah suatu sistem hukum adat yang mulai diberlakukan di Kerajaan Aceh Darussalam.12

Pelaksanaan hukum adat tersebut berjalan tertib karena adanya kerjasama yang solid antara pemerintah, lembaga adat dan masyarakat. Salah satunya termasuk aspek penataan hukum adat. Hukum adat Aceh sangat dikenal di seluruh dunia, ada beberapa faktor yang menyebabkan adat Aceh terkenal ke seluruh negeri:

a. Hubungan diplomatis yang sangat erat dengan pemerintah Turki. Hasil dari hubungan bilateral ini Sultan sering berbagi pengalaman tentang kondisi kemajuan di Aceh, termasuk adat-istiadatnya.

11. Ibid.

12. Iki Aneuk Guba, http://ourlz.blogspot.com/2013/05/makalah-sejarah-kerajaan-aceh.html, dilihat pada tanggal 11 April 2018, Pukul 11.06 WIB.

(7)

b. Luasnya daerah yang berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh. Daerah yang berhasil ditaklukkan sebagian besar adalah daerah-daerah Melayu. Misi Sultan adalah menyebarluaskan agama Islam dan juga memperkenalkan adat-istiadat Aceh. Secara tidak langsung, daerah yang berhasil ditaklukkan harus mengikuti aturan Kerajaan Aceh.13

Kepiawaian Sultan Iskandar Muda juga tergambar jelas ketika berhasil mempersatukan beberapa suku yang masih menganut adat budaya masing-masing menjadi adat nasional (hukum adat yang dikendalikan oleh kerajaan). Sebelum Sultan Iskandar Muda memimpin, di Aceh tersebar empat suku besar, yaitu :

1. Suku Lhee Reutoh (Tiga ratus), yang berasal dari orang-orang mante dan Karo/Batak

2. Suku Imuem Peut (Imam Empat), yang berasal dari orang-orang Hindu

3. Suku Tok Batee, kaum asing yang berasal dari Arab, Parsi, Turki, dan Hindi yang sudah lama menetap di Aceh

4. Suku Ja Sandang, yaitu kaum Hindu, tukang tuak yang pertama sekali datang ke Lampanaih.14

13. Ibid.

(8)

Beberapa nasehat dari mufti kerajaan dan ahli-ahli agama, maka Sultan telah dapat menyatukan suku-suku yang berbeda tersebut dalam satu wadah pemerintahan. Muncul lah hadih maja yang masih dikenal sampai sekarang yaitu,

adat bak Poteu Meureuhom, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lage zat ngon,yang artinya adat bersumber pada kebijakansanaan sri sultan dan penasihatnya yang dalam hal ini dilambangkan kepada sultan iskandar muda, hukum merupakan wewenang para ulama yang dalam hal ini dilambangkan oleh ulama besar yang terkenal teungku syiah kuala, urusan kanun seperti kitab sopan santun didalam perkawinan dan lain-lain diserahkan menjadi urusan Maharani yang dilambangkan Putro Phang, urusan reusam menjadi kewenangan panglima kaum dan bentara-bentara di masing-masing tempat atau negeri, hukum dan adat berjalin erat seperti zat dengan sifat.”15

Secara teoritis, masyarakat Indonesia sekalipun ia beragama Islam, masih banyak dalam melaksanakan hukum waris dipengaruhi oleh hukum adat masing-masing yang masih hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terjadi pencampuran antara hukum Islam dan hukum adat dalam menyelesaikan persoalan warisan.

15. Hamid Sarong, 2015, Mahkamah Syari’ah Aceh Lintas Sejarah dan eksistensinya, Global education institute, Banda Aceh, hlm. 25.

(9)

Ketentuan Hukum adat di Aceh, segala harta warisan dibagi-bagikan menurut hukum Islam yang dibarengi oleh Adat, tidak menurut hukum semata-mata atau menurut adat semata-mata.16 Semua anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan ibu dan bapaknya yaitu dengan membagikan atau mempersamakan hak waris anak laki-laki dan anak perempuan yang didasarkan atas kesepakatan ahli waris, saling rela atau saling terima bagian (tameu jeut-jeut).17

“Menurut Syahrizal, Adat merupakan aturan baik berupa perbuatan ataupun ucapan yang lazim diturut dan dilakukan sejak dahulu kala.18 Dengan kata lain adat merupakan suatu hukum yang tidak tertulis dan merupakan hukum Indonesia asli dalam bentuk laporan perundang-undangan Republik Indonesia yang terkandung di dalamnya unsur-unsur keagamaan yang berkembang di dalam masyarakat secara turun-temurun melalui keyakinan yang tertentu.”19

Muhammad Hakim Nyak Pha yang dikutip Mohd Zaim Irsyad, menuliskan bahwa “Adat istiadat adalah tata kelakuan atau tata tindakan atau tata perbuatan yang selanjutnya merupakan

16. Moehammad Hoesin, 1970, Adat aceh, Dinas Pendidikan Kebudayaan Propinsi Daeerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, hlm. 163

17. Hasil Wawancara dengan Teungku Yusdedi, Ketua Majelis Adat Aceh Lhokseumawe, Tanggal 29 Maret 2018, Pukul 09.45 WIB.

18. Syahrizal, 2004, Hukum Adat dan hukum Islam di Indonesia, Nadiya Foundation Nanggroe Aceh, Banda Aceh, hlm 63.

(10)

kaedah yang bukan saja dikenal, diakui dan dihargai, akan tetapi juga ditaati oleh sebagian besar warga masyarakat yang bersangkutan.20

Didalam Masyarakat Aceh, adat istiadat merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh.21

Didalam hukum adat Aceh terdapat juga perpaduan antara hukum adat dengan hukum islam yang terasa sangat kental pada kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh secara umum dan hal ini juga diterapkan atau dijalankan dalam sistem kewarisan masyarakat Aceh.Dalam realitas kehidupan masyarakat sering ditemui penyelesian sengketa atau perkara diluar pengadilan.

Salah satu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah melelui pendekatan adat. Penyelesaian melalui pendekatan adat adalah penyelesian sengketa dengan mekanisme adat dan oleh lembaga adat.

Dilahirkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh pada Pasal 3 ayat 2, yang menegaskan kembali bahwa Aceh adalah Daerah Istimewa dalam bidang adat, agama, dan pendidikan. Berdasarkan undang-undang ini pemerintah memberikan

20. Mohd Zaim Irsyad, Struktur Dan Lembaga Adat Di Aceh, http://misteraim.blogspot. com/html, Diakses 17 Februari 2017.

(11)

ruang bagi masyarakat adat lokal untuk bangkit dan menenun kembali adat yang ada dalam masyarakat Aceh.22

Status keistimewaan Aceh dikonfirmasikan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (disingkat NAD). Kebijakan ini menyebabkan lahirnya tiga lembaga baru di Aceh, yaitu Majelis Adat Aceh (MAA) yang bertugas mengurus masalah adat, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang bertugas membidangi masalah agama Islam dan Majelis Pendidikan Aceh (MPD) yang mengurus masalah pendidikan di Aceh.23

MAA merupakan perubahan dari Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (disingkat LAKA) yang dibentuk pada masa Gubernur Prof. Ali Hasjmy (1957-1964), kemudian pada tahun 2003 muncul juga sebuah qanun yaitu Qanun Nomor 4 tahun 2003 Tentang

Mukim.24 Setelah perdamaian terjadi, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh didalamnya juga

22. Juniarti, Peran Strategis Peradilan Adat Aceh Dalam Memberikan Keadilan Bagi

Perempuan Dan Kaum Marjinal, Badan Litbang Pusat Analisis Perubahan Sosial (PASPAS) Aceh, hlm. 5.

23. Rahmat Fitrah, lembaga adat aceh sebagai tempat menyelesaikan

sengketapembagian warisan

https://media.neliti.com/media/publications/164922-ID-efektifitas-penyelesaian-sengketa-warisan.pdf, diakses tanggal 28 Februari 2017.

24. Murtalabuddin, 10 Tahun Perjalanan Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Lhokseumawe, Lhokseumawe, hlm. 3.

(12)

mempertegas mengenai Lembaga Adat yang kemudian diatur lebih lanjut didalam Qanun.25

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus khususnya bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terkait masalah kewarisandapat dijelaskan salah satunya bahwa dalam suatu permasalahan itu diselesaikan melalui majelis Mahkamah Syari’ah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Hukum Negara Indonesia sudah ada kompilasi Hukum Islam dan salah satu daerah yang penyelesaian perkaranya berdasarkan Kompilasi Hukum Islam itu adalah daerah Aceh, namun masyarakat Aceh, khususnya didaerah Tempok Teungoh Kota Lhokseumawe, berdasarkan penelitian penulis lakukan dominan penyelesaian pembagian warisan tidak diselesaikan di Mahkamah Syari’ah yang berdasarkan Kompilasi hukum Islam akan tetapi lebih dominan diselesaikan melalui Peradilan adat atauMAA.26

Salah satu contoh kasus yang diselesaikan oleh MAA dimana pembagian Warisan yang dilakukan oleh Lembaga Adat

GampongTempok Teungoh, atas ahli waris N, FU, R, M, H, N, dan

25. Ibid

26. Abdurrahaman, 2009, Peradilan Adat di Aceh sebagai Sarana Kerukunan Masyarakat (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh), hlm. 1.

(13)

Mberupa tanah almarhum UM. Pada awalnya salah satu ahli waris menguasai sendiri harta warisan peninggalan orang tuanya tanpa memperdulikan hak saudara kandungnya sehingga ahli waris lainnya kemudian menuntut haknya dan melaporkan ke geuchik untuk bisa menyelesaikan pembagian warisan yang ditinggalkan.

Dalam hal ini Geuchik menyelesaikan perkara yang diselesaikannya dengan lebih menekankan kepada pihak-pihak ahli waris untuk mencapai perdamaian dengan cara mediasi ataupun dengan musyawarah berdasarkan suatu pembuktian, misalnya keterangan dari saksi-saksi yang masih hidup. Namun beberapa pihak ahli waris merasa tidak puas dengan pembagian harta warisan yang dilakukan di tingkat gampong, dimana hak yang diterima menurut mereka tidak dengan kebijakan-kebijakan, dan dari harta yang diterima oleh ahli waris yang berupa tanah dan rumah tidak mempunyai akses jalan untuk menuju ketempat-tempat tersebut dikarenakan ada beberapa ahli waris tidak mau tanah yang menjadi haknya dalam harta warisan tersebut di ambil untuk dijadikan jalan karena akan merugikan pihaknya. Sedangkan hareuta peunulang(Harta bawaan) yang telah diberikan untuk setiap anak yaitu berupa tanah beserta rumah namun tidak dengan ketetapan batas-batas yang akurat sehingga tanah yang dekat dengan lingkungan rumah dari tiap-tiap hareuta peunulang

(14)

besar-kecil dari bidang tanah lingkungan rumah tersebut yang di perdebatkan.

Para pihak tidak melanjutkan permasalahan ke mahkamah syari’ah dikarenakan menurut mereka dengan penyelesaian secara adat tersebut sudah menjadi kebiasaan selama ini dalam penyelesaian sengketa lainnya dan jika permasalahan ini dilanjutkan kemahkamah syari’ah, maka para pihak yang tidak menyetujui akan diberikan sanksi yang lebih berat oleh lembaga adat tersebut.27

Sengketa pembagian warisan tanah yang diselesaikan secara adat di tingkat Gampong khususnya di Kecamatan Tempok Teungoh Kota Lhokseumawe menggambarkan bahwa para ahli waris lebih memilih dengan jalan damai melalui mediasi yang melibatkan lembaga adat di tingkat gampong daripada diselesaikan melalui Mahkamah Syari’ah

yang berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai “PERAN MAJELIS ADAT ACEH DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA WARIS TANAH DI KECAMATAN TEMPUK TENGOH KOTA LHOKSEUMAWE”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Peran Majelis Adat Aceh Dalam Menyelesaikan Sengketa Waris Tanah di Kecamatan Tempuk Tengoh Lhokseumawe?

27. Wawancara dengan Bapak Asral Usman, sekdes Tumpok Teungoh Lhokseumawe, pada hari Kamis tanggal 5 April 2018, Pukul 10.14 WIB.

(15)

2. Bagaimana penerapan putusan yang di ambil oleh Majelis Adat Aceh bagi para pihak yang bersengketa di Kota Lhokseumawe?

C. Tujuan Penelitian

a) Untuk mengetahui peran majelis adat aceh dalam menyelesaikan Sengketa waris tanah di kecamatan Tempuk Tengoh Kota Lhokseumawe.

b) Untuk mengetahuipenerapan keputusan penyelesaian sengketa waris tanah oleh Majelis Adat Aceh kecamatan Tempuk Tengoh Kota Lhokseumawe.

D. Manfaat Penelitian

a) Secara teoritis, Penelitian ini diharapkan bisa menjadi tolak ukur untuk MAA dalam penyelesaian sengketa tanah yang sudah terjadi maupun yang akan datang, memberikan sumbangan ilmu di bidang kenotariatan, khususnya bagi para Notaris dan calon Notaris sebagai acuan dalam membantu untuk membuat suatu akta dalam pembagian waris adat, serta dapat memberikan tuntunan bagi penegak hukum, dan juga pejabat pemerintah dalam peran aktifnya untuk ikut serta menciptakan keamanan, kenyamanan dan kedamaian dalam masyarakat nantinya.

b) Secara praktis, Agar dapat dijadikan sebagai jalan keluar terhadap permasalahan yang timbul atau dihadapi dalam penyelesaian sengketa waris Tanah oleh Majelis Adat Aceh, sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam pembagian harta warisan, serta memahami proses yang terjadi di Majelis Adat Aceh bagi para pihak yang bersengketa, dan diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan dan informasi yang

(16)

dapat menjadi bahan perbandingan bagi penulis lainnya yang melakukan penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang sama.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran Penulis terhadap Perpustakaan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Web Site yang ada, penulis belum menemukan suatu karya tulis Ilmiah atau Tesis yang sama terhadap penelitian yang akan penulis lakukan dengan judul: “Peran Majelis Adat Aceh Dalam Menyelesaikan Sengketa Waris Tanah di Kecamatan Tempuk Tengoh Kota Lhokseumawe.”

Tesis yang akan penulis teliti ini jauh dari kata plagiat, karena setiap penulisan, penulis mencantumkan sumber atau daftar kepustakaannya. Namun, jika dikemudian hari terjadi permasalahan yang menyerupai penulisan dengan judul dan substansinya, diharapkan hal itu dapat dijadikan sebagai penyempurnaan penulisan sebelumnya.

F. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui,28 sebagai masukan eksternal dalam penelitian ini.

28. M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hlm. 80.

(17)

Penulis dalam penelitian ini mengacu pada teori penyelesaian sengketa dan teori kepastian hukum.

a. Teori Receptio In Complexu

Teori receptio in Complexu ini dikemukakan oleh seorang Belanda yang bernama Mr. Lodewijk Willem Christian Van Der Berg pada tahun 1845-1927. Menurut teori Receptio in Complexu kalau suatu masyarakat itu memeluk agama tertentu maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya.29

Berdasarkan pengalamannya beberapa tahun di Indonesia dan khususnya ketika bertugas di Pengadilan Negeri Semarang, ia sampai kepada kesimpulan penting untuk melakukan unifikasi hukum Islam di Indonesia. Ia kemudian mengusulkan agar kitab Minhaj al-Thalibin (dan terjemahan dia kedalam bahasa Perancis) dijadikan Undang-Undang Pengadilan Agama yang digunakan sebagai pedoman para hakim Pengadilan Agama di Indonesia.30

Van den Berg bertugas di Indonesia pada tahun 1870-1887, dengan teorinya Receptio in Complexu yang menyatakan bahwa Hukum penduduk setempat (dan juga orang-orang Timur lainnya) sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh agama yang dianut sejauh tidak ada bukti lain yang menolaknya. Sebab dengan menerima dan menganut suatu agama berarti sekaligus juga menerima aturan hukum dari agama

29. Yaswirman, 2011, “ Hukum Keluarga, Karakteristik dan prospek doktrin

islam dan adat dalam masyarakat Matrilineal Minangkabau”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 63.

(18)

yang dianutnya tersebut. Jika terdapat bukti yang sebaliknya atau “sebuah pengecualian” berupa atauran-aturan tertentu, maka kekecualian tersebut harus dipandang sebagai “deviasi” dari hukum agama yang telah diterima secara complexu.31

Hukum Islam dipandang sebagai hukum yang hidup dan berlaku bagi umat Islam. Teori ini didasarkan pada keyakinan Van den Berg bahwa “Islam telah diterima secara baik oleh sebagian besar, jika tidak semua, umat Islam setempat.” Teori Van den Berg ini kemudian diresmikan melalui Aturan Pemerintah Kolonial Belanda Nomor 152 tahun 1882.32

Van den Berg bukanlah orang pertama yang berpendapat bahwa hukum Islam adalah hukum yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia. Pertama, Pengakuan ini terlihat dalam beberapa ketentuan yang terdapat pada Reglement op het beleid der Regeering van Nederlandsch Indie(R.R.), Stbl. Nomor 129 tahun 1854 dan Nomor 2 tahun 1855, terutama pasal-pasal 75, 78, dan 109, kedua pada masa Daendels dan Raffles, hukum yang berlaku bagi umat Islam Indonesia adalah hukum Islam.33

Van den Berg adalah orang pertama yang merumuskannya dalam bentuk teori yang kemudian dikenal secara luas.Berdasarkan teori yang diajukan oleh Van den Berg, institusi keagamaan (Islam) yang telah

31. Yaswirman, 2011, “ Hukum Keluarga, Karakteristik dan prospek doktrin

islam dan adat dalam masyarakat Matrilineal Minangkabau”, Ibid. Hlm. 66.

32. Ibid, Hlm. 68 33. Ibid

(19)

ada dan berjalan pada masa sebelum penjajahan Belanda, seperti Pengadilan Agama, berlanjut terus di tengah-tengah masyakarat Islam, dan Van den Berg meneruskan hal tersebut dengan berupaya agar hukum-hukum perkawinan dan kewarisan Islam direalisasikan secara baik oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari.34 Jadi adat yang dipakai oleh masyarakat sehari-hari adalah bagian dari hukum agamanya sendiri. Inilah yang dia maksudkan dengan berbagai penyimpangan yang diterima secara keseluruhan (in complexu gerecipieerd).35

b. Teori Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa merupakan upaya untuk mengembalikan hubungan para pihak yang bersengketa dalam keadaan seperti semula. Dengan pengembalian hubungan tersebut, maka mereka dapat mengadakan hubungan, baik hubungan sosial maupun hubungan hukum antara satu dengan lainnya. Teori yang mengkaji tentang hal ini, disebut teori penyelesaian sengketa.36

Penyelesaian dapat didefenisikan adalah proses, pembuatan, cara menyelesaikan. Menyelesaikan diartikan menyudahkan, menjadikan berakhir, membereskan atau memutuskan, mengatur atau memperdamaikan (perselisihan atau pertengkaran), atau

34. Yaswirman, 2011, “ Hukum Keluarga, Karakteristik dan prospek doktrin

islam dan adat dalam masyarakat Matrilineal Minangkabau”, Ibid. Hlm. 66.

35. Ibid

36. Salim HS dan Elies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Pada Penelitian Tesis dan Desertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 135.

(20)

mengatur sesuatu sehingga menjadi baik.37 Istilah sengketa berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu dispute, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah geding atau proces. Sementara itu, penggunaan istilah sengketa itu sendiri belum ada kesatuan pandangan dari para ahli.

Ada ahli yang menggunakan istilah sengketa dan ada juga yang menggunakan istilah konflik. Kedua istilah ini sering digunakan oleh para ahli. Richard L. Abel menggunakan istilah sengketa, sedangkan Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, serta Nader dan Todd menggunakan istilah konflik. Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, mengemukakan bahwa sengketa adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perseived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang bersengketa tidak dicapai secara simultan (secara serentak).38

“Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, melihat sengketa dari perbedaan kepentingan atau tidak tercapainya kesepakatan para pihak. Yang diartikan dengan perbedaan kepentingan adalah berlainannya keperluan atau kebutuhan dari masing-masing pihak.39

“Richard L. Abel mengartikan sengketa (dispute) adalah pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak selaras (inconsistent claim) terhadap sesuatu yang bernilai.40 Richard L. Abel melihat sengketa dari aspek ketidakcocokan atau

37. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 801.

38. Richard L. Abel dalam Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, 2004, Konflik

Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 9-10. 39. Ibid.

(21)

ketidaksesuaian para pihak tentang sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bernilai dimaknakan sebagai sesuatu yang mempunyai harga atau berharga uang.41

Laura Nader dan Harry F. Todd Jr, mengartikan sengketa sebagai Keadaan dimana sengketa tersebut dinyatakan di muka atau dengan melibatkan pihak ketiga. Selanjutnya ia mengemukakan istilah pra konflik dan konflik. Pra konflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang. Konflik itu sendiri adalah keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut.42

Pengertian sengketa yang disajikan oleh para ahli mengandung kelemahan-kelemahan yang meliputi tidak jelasnya subjek yang bersengketa dan objek sengketa. Jadi pengertian sengketa perlu penyempurnaan yaitu pertentangan, perselisihan atau percekcokan yang terjadi antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dan/atau antara pihak yang satu dengan berbagai pihak yang berkaitan dengan sesuatu yang bernilai, baik itu berupa uang ataupun benda.43

Dari definisi diatas dapat dikonstruksikan sebagai perselisihan/pertentangan. Pihak yang bersengketa terdiri dari dua pihak atau lebih. Jadi dari uraian diatas dapat dirumuskan definisi teori penyelesaian sengketa yaitu teori yang mengkaji dan menganalisis tentang kategori atau penggolongan sengketa atau

41. Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, dalam Lawrence M. Friedman, Sistem

Hukum Perspektif Ilmu Sosial (A Legal Sistem A Sosial Science Perspektive), 2009, diterjemahkan oleh M. Khozim. Nusa Media, Bandung, hlm. 11.

42. Laura Nader dan Harry F. Todd Jr dalam Velerine J.L.Kriekhoff, Mediasi (Tinjauan dari egi Antropologi Hukum), 2001, dalam Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai oleh T.O. Ihromi, Yayasan Obor, Jakarta, hlm. 225.

43. Salim HS dan Elies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Pada Penelitian Tesis dan Desertasi, Raja Grafindo Persada, Op. Cit, hlm. 137.

(22)

pertentangan yang timbul dalam masyarakat, faktor penyebab terjadinya sengketa dan cara-cara atau strategi yang digunakan untuk mengakhiri sengketa tersebut.44

Ruang lingkup teori penyelesaian sengketa meliputi : 1) Jenis-jenis sengketa

2) Faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa, dan 3) Strategi di dalam penyelesaian sengketa.45

Kategori sengketa adalah penggolongan jenis-jenis sengketa yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, seperti sengketa tanah, sengketa pilkada, sengketa saham, sengketa perkawinan dan lainnya. Faktor penyebab timbulnya sengketa adalah sebagai upaya mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan sesuatu hal terjadi atau menjadi lantaran terjadinya sengketa. Strategi dalam penyelesaian sengketa adalah upaya untuk mencari dan merumuskan cara-cara mengakhiri sengketa yang timbul diantara para pihak, seperti dengan cara mediasi, rekonsiliasi, negosiasi dan lainnya.46

Cara penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan, ADR, dan melalui lembaga adat. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara penyelesaian sengketa diatur melalui pengadilan, untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

44. Ibid. 45. Ibid.

46. Salim HS dan Elies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Pada Penelitian Tesis dan Desertasi, Raja Grafindo Persada, hlm. 137.

(23)

Alternatif Penyelesaian Sengketa, atau disebut juga dengan

alternative dispute resolution (ADR). Ada lima cara penyelesaian sengketa melalui ADR, yaitu :

1) Konsultasi 2) Negosiasi 3) Mediasi 4) Konsiliasi 5) Penilaian Ahli.47

Konsultasi adalah perundingan yang dilakukan antara para pihak tanpa melibatkan pihak ketiga dalam menyelesaikan sengketa mereka. Negosiasi merupakan sarana bagi para pihak untuk mengadakan komunikasi dan arah dirancang untuk mencapai kesepakatan sebagai akibat adanya perbedaan pandangan terhadap sesuatu hal dan dilatarbelakangi oleh kesamaan/ketidaksamaan kepentingan diantara mereka.48

Mediasi adalah pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa, dimana pihak ketiga ini bertindak sebagai penasihat. Konsultasi adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut. Penilaian ahli dimana para pihak menunjuk seorang ahli yang netral untuk membuat

47. Salim HS dan Elies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Pada Penelitian Tesis dan Desertasi, Raja Grafindo Persada, Ibid, hlm. 142

(24)

penemuan fakta-fakta yang mengikat ataupun tidak, bahkan membuat pengarahan materi secara mengikat.49

c. Teori Kewenangan

Menurut kamus besar bahasa indonesia, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang atau badan lain.50

“Menurut H.D Stout wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik.” 51

“Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.52

Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan kepada undang-undang.Sebagaimana yang dikemukakan H.D. Van Wijk,

49. Ibid.

50. Kamal Hidjaz, 2010, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam

Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Pustaka Refleksi, Makasar, hlm 35. 51. H.D Stout dalam Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, hlm 71.

52. Bagir Manan dalam Nurmayani, 2009, Hukum Administrasi Daerah. Universitas Lampung Bandar lampung. hlm. 26.

(25)

Pemerintahan menurut undang-undang yaitu yang mendapatkan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh undang-undang atau undang-undang dasar.53

Wewenang pemerintah yang didasarkan kepada ketentuan perundang-undangan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengetahuinya, sehingga masyarakat dapat menyesuaikan dengan keadaan demikian.54 Berdasarkan definisi kewenangan

menurut para ahli diatas, penulis berpendapat bahwa kewenangan merupakan suatu hak yang dimiliki oleh seorang pejabat atau institusi yang beritindak menjalankan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa wewenang atribusi merupakan wewenang yang melekat pada jabatan, dengan kata lain wewenang dibentuk bersama jabatan tersebut.

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti ini bertujuan agar adanya persamaan defenisi dari konsep-konsep yang menjadi pembahasan. Adapun konsep-konsep tersebut adalah :

53. Lukman Hakim, 2011, Kewenangan Organ Negara Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan, Malang, hlm. 19.

54. Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan

(26)

a. Pewarisan

Pewarisan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu proses, cara, perbuatan mewarisi atau mewariskan.55 Dengan adanya pewarisan dapat diartikan adanya suatu peralihan harta waris dari si pewaris kepada ahli waris. Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup.

Sebagaimana pengertian tentang waris menurut Nani Soewondo meliputi unsur-unsur yang berikut:

a) “Seorang pewaris yang pada waktu wafatnya meninggalkan harta kekayaan.

b) Seseorang/beberapa orang ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan yang ditinggalkan itu.

c) Harta warisan, yaitu wujud harta kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada para ahli waris itu.56”

Maka dalam hal waris akan ada unsur pihak yang mewariskan, harta yang diwariskan dan siapa yang mewarisi. Mewarisi disini dengan arti menggantikan dan meneruskan segala hak dan kepunyaan yang diperoleh, dikembangkan dan ditinggalkan oleh seseorang yang terdahulu yang mewarisi harta ini. Waris, ialah keturunan orang yang patut menerima warisan.

a. Majelis Adat Aceh

Adat dan Adat Istiadat merupakan salah satu pilar Keistimewaan Aceh, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang

55. Departemen pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Op Cit, hlm. 801

56. Nani Soewondo, 1982, Hukum dan Kpendudukan Indonesia , Bina Cipta, Bandung hlm. 120.

(27)

Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat.57 Dengan demikian, Pemerintahan Aceh wajib melaksanakan pembangunan di bidang Adat dan Adat Istiadat.

Lembaga keistimewaan Aceh yang melaksanakan pembangunan dibidang Adat Istiadat adalah Majelis Adat Aceh (MAA), sesuai dengan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, dan Qanun Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga-lembaga Adat.58

Peran dan fungsi Majelis Adat Aceh (MAA) dalam membina dan mengembangkan adat dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka dalam menjalankan visi dan misinya sesuai Qanun Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat Pasal 7, Majelis Adat Aceh (MAA) mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk membina dan mengembangkan lembaga-lembaga Adat Aceh, membina dan mengembangkan tokoh-tokoh Adat Aceh, membina dan mengembangkan kehidupan Adat dan Adat Istiadat Aceh, melestarikan

57. Badruzzaman Ismail, 2008, Pedoman Peradilan Adat di Aceh, Banda Aceh, hlm. 7.

(28)

nilai-nilai adat yang berlandaskan Syariat Islam, serta untuk menyelesaikan sengketa pembagian harta warisan.

Majelis Adat Aceh ini menggabungkan pendekatan mediasi dan pendekatan memutus (ajudikatif).59 Namun, di dalam masyarakat adat Aceh yang menjalankan syariat Islam dalam hal penyelesaian sengketa selalu mengutamakan penyelesaian melalui mediasi maupun musyawarah. Demikian pula halnya dalam penyelesaian sengketa pembagian waris dalam masyarakat di Aceh termasuk di Lhokseumawe khususnya dalam melakukan peralihan harta warisan dari pewaris kepada ahli waris.

Masyarakat Aceh dalam menyelesaikan masalah warisan yang terjadi di tingkat Gampong, biasanya memilih untuk melibatkan lembaga adat di tingkat Gampong seperti Keuchik, Imeum Meunasah

dan perangkat gampong lainnya.60

b. Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa dalam pembagian waris termasuk melalui mediasi dengan majelis adat Aceh seperti keuchik, tuha peut, imeum meunasah dan perangkat lainnya dilandasi dengan kewenangan-kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.61Hal ini penting sebagai

59. Ibid, Badruzzaman Ismail, 2008, Pedoman Peradilan Adat di Aceh, 60. Ibid, hlm. 10.

(29)

landasan bagi keuchik dan perangkat MAA untuk bertindak menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa pembagian waris, oleh karena harta warisan yang dibagi tersebut dikuasai aspek hukum publik dan hukum privat.

Dalam hal ini sebagian harta warisan juga harus melibatkan aparat pemerintahan lainnya, seperti peralihan harta warisan yang berbentuk tanah, rumah maupun objek warisan lainnya tidak semua dapat diselesaikan hanya melalui majelis adat aceh saja, tetapi juga melibatkan Mahkamah Syari’ah sebagai pihak yang menetapkan ahli waris.62

Pada umumnya prosedur penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui lembaga mediasi ini dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa yaitu dengan jalan menunjuk keuchik sebagai seorang mediator dan disaksikan oleh saksi-saksi yang terdiri dari perangkat gampong. Metode penyelesaian sengketa warisan melalui majelis adat aceh inimerupakan suatu wadah pertemuan yang bertujuan untuk menyelesaikanperselisihan dan permasalahan yang terjadi. Dalam Rapat Majelis Adat Acehinilah perselisihan antara ahli waris dicoba diselesaikan dengandamai. Pimpinan rapat dalam mengambil keputusan lebih banyak mengandalkansaksi sebagai alat bukti.63

c. Waris

62. Mahadi, 1980, laporan hasil pengkajian bidang hukum adat, BPHN, hlm. 61.

(30)

Waris adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris termasuk dalam hal ini pusaka dan surat wasiat. Pewaris, adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat. Ahli waris, yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris.

Mewarisi,yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya. Proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup, dan pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.64

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Berdasarkan Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Jadi harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka.65

d. Kota Lhokseumawe

64. Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif

Islam, Adat dan BW), Rafika Aditama, Bandung, Op Cit, hlm 4 – 5.

65. Effendi Perangin, 2014, Hukum Waris, Jakarta, PT RajaGarafindo Persada, hlm. 3.

(31)

Kota Lhokseumawe adalah sebuah kota di provinsi Aceh, Indonesia. Kota ini berada persis di tengah-tengah jalur timur Sumatera. Berada di antara Banda Aceh dan Medan, sehingga kota ini merupakan jalur vital distribusi dan perdagangan di Aceh. Penggunaan lahan terbesar di Kota Lhokseumawe adalah untuk permukiman seluas 10.877 ha atau sekitar 60% dari luas yang ada.

Dengan keberadaan daerahnya yang luas dengan jumlah penduduk yang mayoritas adalah masyarakat adat Aceh, Kota Lhokseumawe memiliki Lembaga Adat yang disebut dengan Majelis Adat Aceh, bertugas dalam penegakan hukum, berfungsi untuk memeriksa, memutuskan dan juga menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi masyarakat pencari keadilan pada umumnya serta menyelesaikan sengketa waris adat yang diajukan kepadanya,sebagai lembaga yang membantu sistem pemerintahan Aceh. Daerah hukum Majelis Adat Aceh ini meliputi Kota Lhokseumawe, dalam hal ini peneliti melakukan penelitian di lingkungan Majelis Adat Aceh dimana objek perkara waris berada di wilayah Kota Lhokseumawe.

A. Metode Penelitian

(32)

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Berkaitan dengan itu menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya tertulis, metode penelitian merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan suatu ilmu pengetahuan.66

Dalam Penelitian ini peneliti menggunakan yuridis empiris, yaitu penelitian yang didasarkan pada penelitian lapangan untuk mendapatkan data primer di bidang hukum. Adapun alat penelitian yang digunakan untuk penelitian di lapangan (field research) adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Sementara alat penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan teori yang mendukung adalah penelitian kepustakaan (library research)67.

2. Spesifikasi Penelitian

Untuk melaksanakan metode yuridis empiris diatas, diperlukan langkah-langkah seperti jenis penelitian yang bersifat deskriptif analitis, bersifat deskriptif karena dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data yang menggambarkan secara jelas dan untuk menggambarkan secara sistematis, faktual tentang keakuratan fungsi Majelis Adat Aceh

66. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, “Penelitian Hukum Normatif, Suatu

Tinjauan Singkat”, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 1.

67. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 44

(33)

bersamaan dengan pelaksanaan hukum adatnya dalam prilaku masyarakat serta konteksnya dengan teori-teori sumber hukum berkenaan dengan permasalahan yang diajukan. Sedangkan, bersifat analitis, karena data yang diperoleh akan dianalisis terhadap aspek yang diteliti untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh, sistematik, dan akurat mengenai sistem hukum.68 Sehingga diketahui bagaimana peran Majelis Adat Aceh dalam menyelesaikan sengketa harta waris di Lhokseumawe.

3. Sumber dan Jenis Data a. Sumber Data

Penelitian ini bersumber dari penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research) sebagai pendukung hasil penelitian lapangan.

1. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi

Data yang diperoleh melalui observasi, Observasi adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan yang cermat dan teliti secara langsung terhadap gejala - gejala yang diselidiki.69Observasi yang digunakan adalah observasi langsung, yaitu untuk memperoleh data dari subjek dengan pengamatan partisipan yaitu penelitian dengan melakukan pengamatan secara

68. Salim HS dan Elies Septiana Nurbani, Op. Cit, hlm. 9.

69. Nasution, 1996, Metode Research (Penelitian Ilmiah), (Jakarta, Bumi Aksara), hlm. 106.

(34)

mendalam dan menyeluruh mengenai hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian dengan melibatkan interaksi sosial antara peneliti dan responden dalam satu penelitian selama pengumpulan data.

b. Wawancara

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan.70 Wawancara dilakukan secara bebas terbuka dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan judul penulis yaitu Peranan Majelis Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Harta Warisan di Lhokseumawe.

2. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari:71 1) Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan informan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini.

2) Data Sekunder

70. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, 2001, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 81.

71. Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum

(35)

Data Sekunder, merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu serta dapat menganalisis data, seperti buku-buku (literature), artikel penelitian, pendapat para sarjana, hasil penelitian, jurnal ilmiah, dan makalah seminar yang terkait dengan pembahasan penelitian yang dilakukan. Data sekunder sumber utamanya dari bahan hukum yaitu:

A.Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.72 Bahan-bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari:

a) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh; b) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang

Pemerintah Aceh;

c) Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiadat,

d) Qanun Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat;

72. Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, Prenada Media, Jakarta, hlm. 140.

(36)

e) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. B.Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku-buku (literature), artikel penelitian, makalah, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, serta makalah seminar-seminar oleh para pakar terkait dengan pembahasan penelitian yang dilakukan.

Dalam hal ini studi kepustakaan yang mengkaji tentang berbagai dokumen-dokumen, baik yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan maupun dokumen-dokumen yang sudah ada.73.

C.Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum Tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, kamus bahasa, indeks, dan lain sebagainya

3. Pengolahan dan Analisis Data a. Pengolahan Data

73. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, “Penelitian Hukum Normatif,

(37)

Setelah data terkumpul berdasarkan penelitian yang dilakukan, kemudian diolah dengan sedemikian rupa secara sistematis. Setelah itu dilakukan penyaringan terhadap data yang berkualitas. Penyaringan dan pengolahan data meliputi :

1. Editing, yaitu meneliti kembali terhadap catatan-catatan, berkas-berkas, informasi dikumpulkan oleh para pencari data. 2. Coding, yaitu memberikan kode-kode terhadap data-data yang

sebelumnya telah diedit sedemikian rupa untuk mempermudah penulisan.

b. Analisis Data

Analisis data dilakukan setelah data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari penelitian lapangan akan dianalisis secara kualitatif.74 Analisis kualitatif merupakan analisis data yang tidak menggunakan angka, melainkan memberikan gambaran-gambaran (deskrepsi) dengan kata-kata atas temuan-temuan, dan karenanya ia lebih mengutamakan mutu/kualitas dari data, dan bukan kuantitas, sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan75.

74. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, hlm. 86

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan ekosistem kewirausahaan berisikan seperangkat aktor dan faktor yang terkait dan terkordinasi baik secara formal mapun informal yang saling berhubungan satu

Dokumen Penjajaran Kurikulum 2.0 - KSSM Sejarah dan Pengurusan Seni SSeM Tingkatan 5(Sisipan Tingkatan

Comments: I believe this qualifies as a 'corrigendum' as it only corrects functionality as specified, and as it is a relxation of cardinality constraints it will also not invalidate

Indonesia 3.1 Menggali informasi dari teks laporan buku tentang makanan dan rantai makanan, kesehatan manusia, keseimbangan ekosistem, serta alam dan pengaruh kegiatan

Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang relevan untuk memahami fenomena sosial (tindakan manusia) 13 dimana data hasil penelitian tidak diolah melalui

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menguasai bahasa Madura lisan dan tulis, reseptif Menilai penggunaan bahasa Madura pada Tingkat keilmuan yang mendukung mata

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh metode ceramah dan media leaflet terhadap pengetahuan dan sikap masyarakat dalam mencegah Tuberkulosis paru di Desa

Dari fenomena tersebut menunjukan bahwa selama tahun 2009, penjualan untuk sepeda motor Yamaha “SCORPIO”, tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pihak manajemen