• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. fiction. Kata fiction dalam bahasa Inggris merupakan serapan dari bahasa Latin fictio.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. fiction. Kata fiction dalam bahasa Inggris merupakan serapan dari bahasa Latin fictio."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang Penelitian

Kata fiksi dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari kata Inggris fiction. Kata fiction dalam bahasa Inggris merupakan serapan dari bahasa Latin fictio. Kata fictio itu berasal dari kata fingere, fictum, yang dalam bahasa Inggris diartikan dengan to fashion, to form, dan kadang-kadang feign. Jadi, kata fictio berarti sesuatu yang diciptakan, dibentuk, dikonstruksikan, ditemukan, atau dikarang-karang atau dibuat-buat. Fiksi dioposisikan dengan fakta karena keberadaannya tidak sungguh-sungguh, tetapi suatu temuan, untuk menipu, menghibur, atau dengan saran-sarannya tentang kenyataan untuk mengajar (Pujiharto, 2010:4-6).

Novel merupakan bagian dari karya fiksi. Novel memiliki struktur cerita yang panjang dibandingkan dengan cerpen. Oleh karena itu, novel mampu menghadirkan perkembangan suatu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau beberapa tahun silam secara lebih mendetail. Ciri khas novel ada pada kemampuannya untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit. Ini berarti bahwa novel lebih mudah sekaligus lebih sulit dibaca jika dibandingkan dengan cerpen. Fisik novel yang panjang akan mengurangi kepekaan pembaca terhadap bagian-bagian kecil salah satunya alur cerita, padahal setiap bab dalam novel mengandung berbagai episode. Setiap episode tersebut terdiri atas berbagai macam

(2)

topik yang berlainan. Episode-episode dan bab-bab tersebut sangat mungkin memiliki keterkaitan satu sama lain (dari segi tema ataupun topik pembicaraan). Istilah episode dalam fiksi hampir mirip dengan adegan dalam drama. Pergeseran dari satu episode ke episode lain biasa ditandai oleh pergeseran waktu, tempat, atau karakter-karakter (Stanton, 2007: 90-91).

Terdapat dua kategori novel, yaitu novel serius dan populer. Perbedaan fiksi serius dan fiksi populer salah satunya pada tingkat kesulitan tertentu. Misalnya, fiksi populer hanya menceritakan suatu cerita tanpa perlu menggunakan fakta-fakta dan sarana-sarana cerita yang lebih rumit dibandingkan dengan fiksi serius. Fiksi populer biasanya menggambarkan karakter yang stereotipe (pada umumnya). Berbeda dengan fiksi populer, fiksi serius menggambarkan karakter dan tipe tokoh yang tidak biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan itu, fiksi serius mengandung dua sifat, unik dan universal. Pembaca akan tetap bisa menikmati fiksi serius meskipun sudah terbit beberapa tahun yang lalu. Fiksi serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu yang berguna untuk kita dan memberikan kenikmatan ketika membaca. Fiksi serius bukan karena suatu keharusan, melainkan karena menikmatinya apa adanya, berbeda dengan fiksi populer (Stanton, 2007: 4-5). Novel yang diteliti merupakan salah satu dari novel serius karya Ayu Utami.

Ayu Utami merupakan salah satu novelis dan jurnalis di Indonesia. Ayu Utami dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman yang memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Beberapa novel karya Ayu Utami adalah Saman (1998), Larung (2001), Kumpulan Esai "Si Parasit Lajang" (2003), Bilangan Fu

(3)

(2008), Manjali Dan Cakrabirawa (Seri Bilangan Fu) (2010), Cerita Cinta Enrico (2012), Soegija: 100% Indonesia (2012), Lalita (Seri Bilangan Fu) (2012), Si Parasit Lajang (2013), Pengakuan: Eks Parasit Lajang (2013).

Novel Lalita karya Ayu Utami yang dijadikan objek penelitian ini terbit pada September 2012. Kata Lalita yang merupakan judul novel berasal dari nama salah satu relief di Candi Borobudur yaitu Lalitavistara, nama tersebut seperti nama tokoh utama di dalam novel Lalita. Novel Lalita termasuk novel seri Bilangan Fu. Novel Lalita yang termasuk novel seri Bilangan Fu adalah serial novel teka-teki dan petualangan yang berhubungan dengan sejarah dan kesenian. Novel seri Bilangan Fu terdiri atas tiga novel, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita.

Ketiga novel seri Bilangan Fu membahas yang berhubungan dengan spiritualisme. Di dalam novel Bilangan Fu Ayu Utami membahas tentang spiritualitas posmodern. Novel Manjali dan Cakrabirawa membahas tentang spiritualisme Jawa mempengaruhi paham skeptis seseorang yang memunculkan sebuah pemikiran baru. Berbeda dari keduanya, novel Lalita membahas tentang spiritual bahwa pentingnya mempunyai keyakinan dalam menjalani kehidupan.

Dari ketiga novel seri Bilangan Fu, novel Lalita memiliki jumlah halaman paling sedikit, tetapi dengan alur yang rumit. Pada novel Bilangan Fu terdiri atas tiga bab dan di dalam bab-bab terdapat subbab-subbab yang diberi judul. Sehingga memudahkan pembaca dalam membaca dan menebak isi cerita novel tersebut. Dari awal bab hingga akhir bab, sudut pandang Bilangan Fu hanya dari satu tokoh yang

(4)

terdapat dalam novel Bilangan Fu, hal ini memudahkan pembaca tetap di dalam satu garis alur.

Novel kedua seri Bilangan Fu ialah Manjali dan Cakrabirawa. Di dalam novel ini, terdapat tiga bab seperti dalam novel Bilangan Fu. Berbeda dengan Bilangan Fu, novel Manjali dan Cakrabirawa tidak memiliki judul dalam subbab-subbab, hanya urutan angka-angka saja. Namun, dalam novel Manjali dan Cakrabirawa tidak terdapat peristiwa-peristiwa yang membuat pembaca terkejut dan menduga-duga apa yang terjadi selanjutnya.

Novel Lalita mempunyai persamaan dengan novel Manjali dan Cakrabirawa, keduanya tidak memiliki judul dalam setiap subbab-subbabnya. Peristiwa-peristiwa dalam novel Lalita adalah peristiwa kausal yang menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain. Subalur novel Lalita membingkai dan membungkus naratif utama sehingga menghasilkan cerita dalam cerita. Hal tersebut tidak ditemukan dalam novel seri Bilangan Fu yang lain, baik Bilangan Fu dan Manjali dan Cakrabirawa. Oleh karena itu, alur dalam novel Lalita dijadikan objek dalam penelitian ini.

Novel ini menggunakan letak peristiwa masa lampau yang berkaitan dengan peristiwa masa kini. Menggambarkan konflik batin yang dialami oleh tokoh utama. Alur dalam novel ini memiliki hubungan kausal yang tidak begitu rekat, tapi mampu memberikan kejutan bagi pembaca dengan memunculkan cerita di dalam cerita yang menjadi jawaban dari seluruh rangkaian cerita. Serta kesatuan cerita dalam alur Lalita sangat terjaga. Novel Lalita memiliki cerita dalam cerita (subplot) yang dihubungkan oleh makna, gagasan, dan pengalaman hidup yang ingin disampaikan oleh pengarang

(5)

untuk kemudian dipertemukan untuk mencapai efek tertentu. Oleh sebab itu, penulis memilih novel Lalita untuk dikaji menggunakan teori fiksi Robert Stanton dalam penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini ialah ketidakberaturan peristiwa dalam alur episodis novel Lalita, ketidakberuntutan tahapan alur yang terjadi dalam Lalita, ketidakdugaan konflik dalam peristiwa yang menyebabkan suspense yang tinggi serta open ending, dan ketidakbersatuan hubungan antarunsur yang mendukung makna novel Lalita yang hanya dapat ditemukan dan dijelaskan dalam unity.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan pokok yaitu tujuan teoretis atau tujuan ilmiah dan tujuan praktis atau tujuan pragmatis.

Tujuan teoretis penelitian ini adalah menganalisis alur dengan teori fiksi Robert Stanton dalam menjawab alur episodis, tahapan alur, konflik, suspense, ending, dan unity yang muncul di dalam analisis novel Lalita sehingga dapat menentukan kesatuan makna dari semua unsurnya ialah alur.

Tujuan praktis penelitian ini adalah meningkatkan pemahaman tentang alur episodis, tahapan alur, konflik, suspense, ending, dan unity dalam novel Lalita dan

(6)

memberikan apresiasi terhadap novel Lalita. Penelitian ini diharapkan menambah apresiasi pembaca terhadap novel Lalita.

1.4 Tinjauan Pustaka

Tulisan Ayu Utami banyak menuai tanggapan baik maupun buruk. Tanggapan tersebut datang dari berbagai pihak, misalnya kritikus sastra dalam blog. Tanggapan tentang tulisan Ayu Utami ada dari skripsi, tesis, dan beberapa blog yang diambil. Dalam blog klubbukufilmsctv.wordpress.com mengatakan bahwa perempuan ini atau Ayu Utami melihat moralitas berlebihan, bahkan sampai ke soal bahasa. Karena itu, novelnya ingin mendobrak tiga hal: seks, kegilaan, dan agama. Tanggapan lain dari blog indradya.wordpress.com mengatakan bahwa tulisan Ayu Utami enak dibaca, padahal substansinya cukup rumit. Ibarat makan cireng yang alot, tapi ingin terus mengunyahnya. Ayu secara tidak langsung memberikan pemahaman kepada pembaca Lalita melalui jalinan kalimat yang mudah dicerna. Penceritaan yang baik, karakter yang dibungkus apik, dan kaya dengan deskripsi mengenai tentang jiwa manusia dan Candi Borobudur menjadi kekuatan utama buku ini.

Tanggapan lain juga ada dalam blog dhutag.wordpress.com. Ia mengambil kesimpulan kalau novel Lalita ini bisa dibaca secara terpisah dari seri Bilangan Fu, karena yang satu sepertinya bukan penentu bagian lainnya. Ia mencoba untuk melibatkan politik di dalam pembahasan ini karena saya menilai pendekatan yang dilakukan Ayu dalam karyanya ini mengandung implikasi ideologis dan politis dan dalam gitaputridamayana.wordpress.com mengatakan bahwa masalah yang ada di

(7)

dalam novel Lalita adalah fokus cerita Lalita, tentang perebutan dokumen keluarga atau tentang perempuan misterius bernama Lalita yang kehadirannya melahirkan kontroversi, sebuah variasi jinak dari femme fatale. Kemudian mengenai penokohan dari masing-masing karakter dalam Lalita. Harus diakui, Ayu Utami cukup berhasil mengilustrasikan karakter tokohnya, terutama Parang Jati, Sandi Yuda, dan Marja.

Penelitian yang dilakukan oleh Fitra Firdaus Aden (2009) yang berjudul “Spiritualisme-Kritis dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami” mengatakan bahwa novel Bilangan Fu mengeritik semua agama. Terdapat tiga agama yang dibahas dalam novel Bilangan fu yaitu Islam, Kristen, dan agam lain.

Penelitian menggunakan analisis struktur novel dengan menggunakan teori Robert Stanton juga dilakukan oleh Astri Wulandari (2013) di Universitas Gadjah Mada. Astri dalam skripsinya yang berjudul Cerpen “Keroncong Pembunuhan” karya Seno Gumira Ajidarma: Analisis Alur Robert Stanton yang menitikberatkan hanya pada alur saja. Dalam penelitiannya, Astri mengatakan bahwa cerpen yang ia teliti memiliki alur yang bersifat tolak belakang di awal cerita agar memunculkan rasa ingin tahu pembaca.

Analisis alur teori Robert Stanton juga dilakukan oleh Rina Tyas Sari (2011) dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Anantatoer melalui skripsi yang berjudul “Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Anantatoer: Analisis Struktur dan Fungsi Plot” di Universitas Gadjah Mada. Sari hanya menganalisis plot atau alur, alasannya karena alur adalah unsur yang paling menonjol dan memunculkan aspek estetis penyajian novel Bumi Manusia. Alur mampu membuat pembacanya terlibat secara

(8)

spiritual dan emosional dalam perjuangan minke. Alur juga membuat pembaca tidak dapat berhenti sampai tuntas membaca karena di dalamnya terkandung unsur-unsur yang menimbulkan rasa ingin tahu pada apa yang telah terjadi. Selain itu, alur merupakan tulang punggung cerita. Penelitian alur Bumi Manusia dapat memberikan informasi unsur-unsur lain, yaitu tokoh, latar, dan sarana sastra. Dalam novel Bumi Manusia mempunyai alur yang misterius dan sulit ditebak, karena tidak adanya judul dalam masing-masing bab. Pembaca sulit menebak isi bab tersebut.

Selain itu, ada pula penelitian yang dilakukan Retno Susanti (2013) menggunakan teori Robert Stanton di Universitas Gadjah Mada berjudul "Novel Perempuan Poppo karya Dul Abdul Rahma: Analisis Plot dan Kesatuan Antar-Unsur." Retno menitikberatkan penelitian pada plot atau alur dan kesatuan antar-unsur dalam membentuk kesatuan organik yang bulat dan utuh seperti pada novel yang diteliti oleh Retno. Novel Perempuan Poppo memiliki alur episodis yang bersifat rekat atau padat karena terhubung secara kaulitas dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.

Penelitian mengenai alur teori Robert Stanton juga telah dilakukan oleh Mohammad Arif Amrullah (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Novel Lelaki Terindah Karya Andrei Aksana: Kajian Alur menurut Teori Robert Stanton.” Arif meneliti alur pada novel Lelaki Terindah mempunyai peristiwa-peristiwa masa lampau yang tidak beraturan dan dimunculkan melalui ingatan dan proses penceritaan yang dialami oleh tokoh.

(9)

Penelitian yang hanya menitikberatkan pada alurnya saja juga dilakukan oleh M. Rivqi Syalfhariza (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Novel Kecuali 8 karya Alex Suhendra: Analisis Plot Robert Stanton.” Novel Kecuali 8 memiliki kekhasan alur yang terdapat pada perkembangan alur yang tidak beraturan.

Dalam skripsi yang diteliti oleh Eko Sulistyo (2014) yang berjudul “Novel Pulang karya Lelia S. Chudori: Analisis Struktur Alur Robert Stanton.” Dalam novel yang Eko teliti, alurnya memiliki sifat rekat dan plausible. Peristiwa-peristiwa dan episode-episode dalam masing-masing bab dan subbab dalam keseluruhan novel terhubung secara kausal.

Lalita memiliki tahapan alur yang tidak beraturan, mampu membuat pembaca penasaran dan bertanya-tanya peristiwa yang akan terjadi selanjutnya hingga akhir cerita. Alur episodis Lalita yang tidak begitu rekat dan tidak bisa dipisahkan karena semuanya terhubung menjadi satu kesatuan. Dari penelitian-penelitian dan tanggapan-tanggapan di atas, analisis alur yang seperti Lalita belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti novel Lalita dengan menggunakan alur teori Robert Stanton.

1.5 Landasan Teori

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teori fiksi Robert Stanton. Menurut Stanton (2007: 91) fisik novel yang panjang akan mengurangi kepekaan pembaca terhadap bagian-bagian kecil dari alur cerita. Setiap episode terdiri atas berbagai macam topik yang berlainan. Episode-episode dan topik-topik tersebut dapat

(10)

dileburkan dalam satu bab karena suatu alasan tertentu. Stanton menyebutkan bahwa fakta cerita terdiri atas tiga unsur yang salah satunya adalah alur. Tipe episode dalam novel yang umum dikenal menurut Stanton (2007: 92) adalah episode naratif, episode dramatik, dan episode analitik. Episode naratif menunjukan peristiwa yang sedang terjadi sebagian besar melalui perantaraan dialog. Episode dramatik menunjukkan apa yang telah terjadi, misalnya dialog yang membawa peristiwa itu seolah hadir ketika dibaca. Episode analitik adalah sebuah episode yang berisi kontemplasi pengarang, tokoh terhadap tokoh lain, atau peristiwa yang terjadi.

Oleh karena itu, alur dapat pula disebut sebagai struktur faktual sebuah cerita. Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Alur terbatas pada perisitiwa-peritiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lainnya. Stanton (2007: 28) alur merupakan tulang punggung cerita, alur self evident (menjelaskan dirinya sendiri) dari pada unsur-unsur yang lain. Alur mengalir karena mampu merangsang berbagai pertanyaan di dalam benak pembaca, keingintahuan, harapan, maupun rasa takut. Alur dapat membuktikan dirinya meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Setiap kejadian dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Alur memiliki hukum-hukum sendiri, yakni memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata meyakinkan dan logis, dapat menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton, 2007: 28)

Tahapan alur dalam sebuah karya fiksi dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu awal, tengah, dan akhir. Akan tetapi, masing-masing penulis memiliki prereferensi

(11)

tertentu dalam menyusun ceritanya. Struktur alur dapat dirinci lagi ke dalam yang kecil. Penyajian alur dalam sebuah cerita dapat dikembangkan dan diurutkan melalui tahap-tahap. Tahapan-tahapan alur tersebut dikemukakan oleh (Lubis, 1978:10) sebagai berikut

1. Tahap penyituasian (situasion)

Tahap penyituasian adalah tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan karakter cerita.

2. Tahap pemunculan konflik (generating circumsstarces)

Tahap pemunculan konflik merupakan tahap awal munculnya konflik dan konflik itu akan berkembang pada tahap berikutnya.

3. Tahap peningkatan konflik (rising action)

Tahap peningkatan konflik merupakan tahap peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin menegangkan, konflik internal maupun eksternal yang menuju klimaks semakin tidak dapat dihindari.

4. Tahap klimaks (climax)

Tahap klimaks, konflik yang terjadi terhadap para karakter cerita dalam mencapai intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami tokoh-karakter utama yang berperan pada pelaku dan penderita terjadinya konflik.

5. Tahap penyelesaian (denouement)

Tahap ini konflik telah mencapai klimaks dan diberi penyelesaian. Sub-sub konflik tambahan jika ada juga diberi jalan keluar kemudian cerita diakhiri.

(12)

Jadi, apabila digambarkan, bagian-bagian alur akan seperti berikut ini.

Dalam membentuk alur cerita seorang pengarang biasanya dapat kita harapkan mengikuti kaidah-kaidah pengaluran (alurting) tertentu. Kaidah alur diambil dari kenyataan-kenyataan praktis yang umum dilakukan oleh penulis-penulis.

Sayuti (2000: 47) mengatakan bahwa suatu cerita seharusnya memberikan kejutan tertentu. Kejutan itu sendiri dalam keseluruhan cerita dapat berfungsi bermacam-macam misalnya, untuk memperlambat klimaks atau sebaliknya untuk mempercepat klimaks. Alur cerita yang baik hendaknya menimbulkan suspense, yakni alur mengalir karena mampu merangsang pertanyaan di dalam benak pembaca, terkait keingintahuan, harapan, maupun rasa takut. Seorang pengarang yang terampil akan mengeksploitasi pertanyaan-pertanyaan di benak pembaca untuk menajamkan dan mengendalikan perhatian. Salah satu usaha tersebut adalah ending yang tidak terduga. Ending yang tidak terduga akan terus-menerus membius pembaca karena dapat memungkas alur dengan amat meyakinkan. Sifat tidak terduga ini dapat selalu dinikmati meski cerita tersebut sudah dibaca berulang kali (Stanton, 2007: 28-31)

(13)

Dua unsur penting pada alur adalah konflik dan klimaks. Konflik memiliki atas dua bagian konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya. Konflik eksternal adalah konflik antara karakter yang satu dengan karakter yang lainnya. Konflik bersifat fundamental, membenturkan sifat-sifat dan kekuatan-kekuatan tertentu, pengalaman, individualitas dengan kemauan beradaptasi. Konflik semacam inilah yang menjadi inti struktur cerita, pusat yang pada gilirannya akan tumbuh dan berkembang seiring dengan alur yang terus menerus mengalir (Stanton, 2007: 31-32)

Menurut Stanton (2007: 31-32) klimaks adalah saat konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan. Klimaks utama sering berwujud satu peristiwa yang spektakuler. Klimaks utama tersebut acap sulit dikenali karena konflik-konflik subordinat pun memiliki klimaks-klimaksnya sendiri. Bahkan, bila konflik sebuah cerita mewujud dalam berbagai bentuk atau cara dan melalui beberapa fase yang berlainan akan sangat tidak mungkin menentukan satu klimaks utama. Memilih lebih dari satu pilihan masih dapat merangkum struktur cerita secara menyeluruh.

Sifat kesatupaduan, keutuhan atau unity pada alur merupakan aspek yang penting dalam alur. Keseluruhan cerita mendukung dan diceritakan tampak berjalinan satu dengan lain dan secara bersama mendukung makna utama yang ingin disampaikan. Novel yang memiliki struktur peristiwa yang utuh adalah karya novel yang dapat disebut keseluruhan yang artistik. Seluruh unsur yang terdapat pada karya

(14)

itu saling berjalinan dan saling menentukan kemenyeluruhan, sebuah totalitas, atau sebuah sistem yang besar (Nurgiyantoro, 2013: 197-200).

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis yaitu metode yang mendeskripsikan fakta dan data dalam teks kemudian dilanjutkan dengan analisis untuk memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2004: 53) Penulis mempunyai lima tahap cara penelitian sebagai berikut.

1. Menemukan sumber data yang akan dikaji sebagai objek penelitian, yaitu novel Lalita karya Ayu Utami.

2. Merumuskan permasalahan yang akan menentukan arah penelitian.

3. Melakukan studi pustaka dengan mencari sumber-sumber bahan dan data yang menunjang penelitian.

4. Menganalisis novel Lalita berdasarkan teori fiksi Robert Stanton. 5. Menarik kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan.

1.7 Sistematika Laporan Penelitian

Hasil penelitian akan disajikan dalam enam bab. Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penyajian. Bab II adalah uraian mengenai alur episodis dalam novel Lalita. Bab III adalah tahapan alur. Bab IV konflik, suspense, dan ending. Bab V berisi unity. Bab VI berisi penutup. Penutup

(15)

berisi simpulan yang diambil berdasarkan uraian yang terdapat pada bab-bab sebelumnya.

(16)

Referensi

Dokumen terkait

kepemilikannya/kepenghuniannya atas suatu sarusun yang dimiliki/dihuninya, dan/atau setiap orang/pihak yang secara nyata menjadi Pemilik dan atau Penghuni dari

Untuk penelitian ini variabel moderating yang digunakan adalah motivasi dan ternyata motivasi tidak memoderasi ketiga variabel bebas yaitu kecerdasan emosional,

Untuk mengembangkan kapasitas produksi, dibutuhkan investasi yang tidak sedikit, sehingga dibutuhkan suatu analisis kelayakan usaha pengolahan susu sapi murni yang berkaitan

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa umur simpan saos tomat terpendek adalah 24 hari untuk saos dengan bahan pengental 5 dan 7.5 % dan 47 hari untuk untuk saos

As data on climatic factors are desirable for many areas of research and applications in various fields, the objective of this study is to predict the maximum and minimum air

Meningkatnya konsentrasi ambien menyebabkan meningkatnya dampak pencemaran pada kesehatan manusia dan nilai ekonomi dari gangguan kesehatan tersebut (Gambar 4 dan Gambar 5).. Gambar

bahwa organisasi dan tata kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 8 Tahun