• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1Kajian Teori

2.1.1 Hakikat IPA SD

IPA merupakan “rumpun ilmu, memiliki karakteristik khusus yaitu mempelajari fenomena alam yang faktual (factual), baik berupa kenyataan (reality) atau kejadian (events) dan hubungan sebab-akibatnya”, Wisudawati dan Sulistyowati (2014:22). IPA adalah “pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta dengan segala isinya”, Darmojo dalam Samatowa (2010:2). Winaputra dalam Samatowa (2010:3) mengemukakan bahwa IPA bukan hanya tentang kumpulan pengetahuan yang ada disekitar seperti benda atau makhluk hidup tetapi memerlukan bagaimana cara kerja, berpikir dan bagaimana cara memecahkan masalah.

Berdasarkan pendapat ahli seperti Wisudawati dan Sulistyowati, Darmojo, Winaputra IPA adalah pembelajaran IPA merupakan cabang dari ilmu pengetahuan yang mempelajari peristiwa alam beserta seluruh isinya sebagai ruang lingkup dalam kajian pembelajarannya. Pembelajaran IPA mengajarkan segala hal yang terjadi di lingkungan alam sekitar kita ini dengan berlandaskan ilmu pengetahuan alam yang berorientasi pada semua hal yang diperoleh secara teoritik bahkan juga diperoleh secara empirik. Adanya mata pelajaran IPA mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan siswa di sekolah dan masyarakat luas karena bagaimanapun mereka tidak dapat lepas dari alam semesta, untuk itu IPA penting diajarkan di jenjang sekolah dasar sebagai bekal dalam menjalani kehidupan kelak selain itu untuk melatih siswa berpikir kritis dan objektif terhadap kenyataan atau pengalaman pengamatan melalui panca indera yang ditangkapnya sehingga apa yang didapat dari pengalamannya bisa diuji kebenarannya dan menjadi pribadi yang berkembang dari segi pengetahuan dan sikap mengenai ilmu pengetahuan alam.

(2)

2.1.2 Pembelajaran IPA SD

Hadisubroto yang dikutip oleh Samatowa (2006:11) dalam bukunya

pembelajaran IPA sekolah dasar, mengutip pendapat Piaget yang mengatakan bahwa:

“Pengalaman langsung yang memegang peranan penting sebagai pendorong lajunya perkembangan kognitif anak. Pengalaman langsung anak terjadi secara spontan sejak lahir sampai anak berumur 12 tahun. Efisiensi pengalaman langsung tergantung pada konsistensi antara hubungan metode dan objek dengan tingkat perkembangan kognitif anak. Anak akan siap untuk mengembangkan konsep tertentu apabila anak telah memiliki struktur kognitif (schemata) yang menjadi prasyaratnya yakni perkembangan kognitif yang bersifat hirarkhis dan integratif”.

Pembelajaran langsung memang sangat cocok diterapkan untuk anak khususnya siswa SD karena melalui pembelajaran langsung akan memperkuat daya ingat siswa dan biayanya sangat murah sebab menggunakan alat-alat dan media belajar yang ada di lingkungan sekitar mereka. Sains atau IPA adalah usaha manusia memahami alam semesta melalui pengamatan serta menggunakan prosedur dan dijelaskan dengan penalaran sehingga mendapatkan suatu kesimpulan. Pembelajaran IPA di SD merupakan interaksi antara siswa dengan lingkungan disekitarnya. Hal ini akan mengakibatkan pembelajaran IPA mengutamakan peran siswa dalam kegiatan belajar mengajar sehingga pembelajaran berpusat pada siswa dan guru hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran tersebut.

2.1.3 Pentingnya IPA di SD

Berdasarkan kurikulum 2004, adapun tujuan pembelajaran IPA di Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah yang memiliki tujuan agar siswa mempunyai kemampuan antara lain:

1. Diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari kelak; 2. Mengembangkan sikap positif, meningkatkan rasa ingin tahu dan kesadaran

adanya hubungan saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat;

(3)

3. Mengembangkan keterampilan proses dalam belajar untuk menyelidiki alam di sekitar guna memecahkan masalah dan membuat keputusan;

4. Ikut berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam yang ada disekitar;

5. Menghargai alam dan segala isinya sebagai salah satu ciptaan Tuhan yang wajib kita jaga;

6. Memiliki pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya.

Pendidikan IPA di SD sangat penting, hal ini berkaitan dengan struktur kognitif anak yang perlu diberikan kesempatan untuk berlatih keterampilan-keterampilan dalam proses belajar IPA dan dimodifikasikan sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya. Adapun keterampilan proses dalam belajar IPA yang didefinisikan oleh Paolo dan Marten dalam Samatowa (2010:5) sebagai berikut:

1. Melakukan pengamatan;

2. Mencoba memahami apa yang telah diamati;

3. Menggunakan pengetahuan baru untuk dikaitkan dengan apa yang terjadi; 4. Menguji ramalan-ramalan di bawah kondisi-kondisi untuk melihat kebenaran

ramalan tersebut.

Selanjutnya Paolo dan Marten dalam Samatowa (2010:5) juga menegaskan bahwa dalam pembelajaran IPA tercakup juga coba-coba dan melakukan kesalahan, gagal dan mencoba lagi. Ilmu pengetahuan alam tidak menyediakan semua jawaban untuk semua masalah yang kita ajukan. Samatowa (2010:6) menyebutkan alasan yang menyebabkan mata pelajaran IPA dimasukkan dalam suatu kurikulum sekolah dasar sebagai berikut:

1. Bahwa IPA berfaedah bagi suatu bangsa, kesejahteraan bangsa tergantung kemampuan dalam bidang IPA karena IPA sebagi tulang punggung pembangunan dan dasar teknologi;

(4)

2. IPA merupakan suatu mata pelajaran yang melatih atau mengembangkan kemampuan dalam berpikir kritis dari penemuan sampai mencari dan menyelidiki;

3. IPA bukan merupakan mata pelajaran yang bersifat hafalan belaka jika dalam prosesnya melalui percobaan-percobaan yang dilakukan oleh siswa sendiri; 4. IPA mempunyai nilai-nilai pendidikan yang dapat membentuk kepribadian

anak secara keseluruhan.

IPA mengajarkan untuk melakukan berbagai percobaan untuk memahami konsep baru atau menguji berbagai ide. Hal ini akan membantu mengembangkan kemampuan menemukan jawaban berdasarkan bukti serta mengembangkan cara berpikir ilmiah.

Berdasarkan kurikulum 2004, Paolo dan Marten, dan Samatowa maka dapat disimpulkan pentingnya IPA di Sekolah Dasar merupakan pembelajaran yang memuat berbagai tujuan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam kehidupan sehari-harinya kelak dan memberikan pengetahuan akan pentingnya menjaga keseimbangan alam semesta beserta isinya. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar sangat penting sebagai dasar membentuk pemikiran siswa yang kritis dari penemuan sampai mencari tahu dan menyelidiki sehingga akan membiasakan siswa menjadi pribadi yang memiliki rasa keingintahuan tinggi. Penanaman konsep IPA akan membantu memahami semua hal yang berkaitan dengan fenomena alam di sekitar, apabila perlu dengan melakukan praktikum sederhana yang mencakup semua siswa ikut terlibat. 2.1.4 Pelaksanaan IPA di SD

IPA merupakan pembelajaran yang tidak hanya disampaikan melalui ceramah saja akan tetapi lebih kepada pemberian pengalaman langsung siswa untuk menemukan sendiri konsep atau pengetahuan melalui prosedur yang benar. Adapun proses pembelajaran IPA terdiri dari tiga tahap yaitu perencanaan proses

(5)

pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran, Wisudawati dan Sulistyowati (2014:26).

Pelaksanaan pembelajaran IPA dalam kegiatan penelitian tindakan kelas dilakukan pada kelas 5 SD Negeri 2 Pucungkerep Wonosobo semester II Tahun pelajaran 2015/2016 berdasarkan dua kompetensi dasar yang termuat dalam silabus IPA kelas 5 SD Negeri 2 Pucungkerep Wonosobo semester II tahun pelajaran 2015/2016 yaitu:

Tabel 2.1

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Kelas 5 Semester II

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

7. Memahami perubahan yang terjadi di alam dan hubungannya dengan penggunaan sumber daya alam.

7.1 Mendeskripsikan proses pembentukan

tanah karena pelapukan.

7.2 Mengidentifikasi jenis-jenis tanah

Pada kompetensi dasar 7.1 mendeskripsikan proses pembentukan tanah karena pelapukan akan dilaksanakan dalam siklus I dan setiap siklus terdiri dari 2 kali pertemuan, kemudian kompetensi dasar 7.2 mengidentifikasi jenis-jenis tanah akan dilaksanakan pada siklus II dengan pelaksanaan 2 kali pertemuan. Sebelum pelaksanaan siklus akan disiapkan soal dalam bentuk soal pilihan ganda sesuai dengan indikator-indikator yang ada pada KD 7.1 dan 7.2 dalam silabus IPA kelas 5 semester II yang nantinya pengujian soal terlebih dahulu diberikan di SD yang sama dalam satu pertemuan dengan tingkat kelas yang berbeda yakni kelas 6 SD Negeri 2 Pucungkerep Wonosobo dan hasil dari tes tersebut akan diolah untuk mengetahui uji validitas dan reabilitas soal yang telah dibuat, baru kemudian diujikan di kelas 5 SD Negeri 2 Pucungkerep Wonosobo sebagai tes hasil belajar dalam kegiatan evalusi diakhir tatap muka siklus I dan siklus II.

(6)

Pembelajaran IPA dapat diperoleh dengan cara percobaan (induktif) namun pada perkembangan selanjutnya IPA dikembangkan berdasarkan teori (deduktif), IPA sebagai produk dan IPA sebagai proses yaitu kerja ilmiah, Wisudawati dan Sulistyowati (2014:22). Pembelajaran IPA untuk anak SD harus disesuaikan dengan perkembangan kognitif dan karakteristiknya sehingga kompetensi yang diharapkan dapat tercapai.

2.1.5 Penilaian IPA SD

Menurut Sapriati (2009:7.12) penilaian merupakan pengukuran keberhasilan seseorang baik dalam proses pembelajaran maupun keberhasilan pembelajaran, dimana tidak hanya mengukur materi yang dikuasai tetapi juga dampak materi terhadap jenjang proses berpikir, jenjang pengembangan kepribadian, dan jenjang kemampuan keterampilan. Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam Sapriati (2009:7.3) penilaian (evaluasi) bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemajuan belajar siswa, guna keperluan perbaikan dan peningkatan kegiatan belajar siswa untuk memperoleh perbaikan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.

Penilaian berfungsi untuk memberikan informasi kepada guru mengenai hasil belajar siswa yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dalam suatu pembelajaran. Adanya penilaian, guru dapat membuat keputusan berdasar hasil penelitian mengenai apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan hasil pembelajaran dan memperkuat proses belajar siswa. Penilaian juga mengukur seberapa jauh pemahaman pengetahuan siswa mengenai pembelajaran yang telah disampaikan oleh guru. Penilaian dibagi menjadi tiga ranah yaitu kognitif dilaksanakan dengan lisan atau tertulis dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan materi yang disampaikan, biasanya dilakukan dengan cara pemberian soal objektif baik itu pilihan ganda, uraian singkat ataupun essay sedangkan untuk penilaian pembelajaran yang menyangkut pengembangan psikomotorik dan afektif biasanya dilakukan melalui observasi di kelas saat pembelajaran berlangsung.

(7)

2.2Hasil Belajar

2.2.1 Pengertian Belajar

Menurut Hamalik (2004:27) “Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or strengthening of behavior through experiencing)”, dalam hal ini belajar merupakan suatu serangkaian proses yang dialami siswa yang menghasilkan suatu pengalaman, belajar juga tidak hanya mengingat melainkan lebih menekankan pengalaman apa yang didapat siswa sehingga apa yang telah dipelajari akan selalu diingatnya. Menurut Gagne dalam Susanto (2013:1) “belajar adalah suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman” sedangkan pengertian belajar menurut Hilgard dalam Sanjaya (2008:229), “belajar adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratoium maupun dalam lingkungan alamiah”. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan perilaku melalui pengalaman yang didapatkan.

Menurut Hamalik, Gagne dan Hilgard dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku yang dialami seseorang dalam serangkaian proses yang menghasilkan pengalaman dan bersifat permanen.

2.2.2 Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi, adapun sisi tersebut yaitu sisi siswa dan sisi guru. Hasil belajar dari sisi siswa merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan saat sebelum belajar. tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor Slameto (2003:6).

Menurut Sudjana (2012:22) hasil belajar merupakan kemampuan-kemampuan yang dimiliki seorang siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Pengalaman belajar siswa diperoleh saat proses pembelajaran berlangsung maupun diluar kelas terkait dengan apa yang telah dialami dan dipelajari siswa. Adapun klasifikasi hasil

(8)

belajar dari Benyamin Bloom yang sering digunakan dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik dalam tujuan kurikuler maupun dalam tujuan instruksional secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris. Menurut Rusman (2012: 123) hasil belajar merupakan sejumlah pengalaman yang diperoleh siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Belajar tidak hanya penguasaan konsep teori mata pelajaran saja tetapi juga penguasaan kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat-bakat, penyesuaian sosial, macam-macam keterampilan, cita-cita, keinginan dan harapan.

Berdasarkan pendapat Slameto, Sudjana, dan Rusman hasil belajar adalah sejumlah pengalaman yang didapatkan seseorang yang mencakup tiga ranah yaitu kognitif, afektif, psikomotorik dan menjadi tolak ukur dari keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Hasil belajar dapat diukur keberhasilanya dengan memberikan soal evaluasi yang dikerjakan secara individu. Pemberian soal evaluasi bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keberhasilan suatu proses pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan teknik tes maupun nontes yang diberikan setelah pembelajaran selesai sehingga dari hasil soal evaluasi yang telah dikerjakan akan diketahui apakah tujuan dari proses pembelajaran itu sudah tercapai sesuai KKM atau belum dengan melihat hasil tes dan untuk merencanakan kegiatan pembelajaran pada pertemuan selanjutnya.

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam setiap proses pembelajaran, proses penilaian dapat memberikan informasi kepada guru terhadap hasil belajar dalam mencapai tujuan belajar dan kemajuan siswa. Adapun faktor-faktor yang saling mempengaruhi hasil belajar yang dapat berasal dari dalam diri sendiri (internal) dan dari luar diri seseorang (eksternal).

(9)

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar menurut Munadi dalam Rusman (2012:124) yaitu:

a. Faktor Internal

1) Faktor Fisiologis

Secara umum kondisi fisiologis, seperti kondisi kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan cacat jasmani, dan sebagainya. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi siswa dalam menerima materi pembelajaran.

2) Faktor Psikologis

Setiap individu dalam hal ini siswa pada dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, tentunya hal ini turut mempengaruhi hasil belajarnya. Beberapa faktor psikologis meliputi intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi, kognitif, dan daya nalar siswa.

b. Faktor Eksternal

1) Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan dapat mempengaruhi hasil belajar. Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan alam misalnya suhu, kelembaban, dan lain-lain. Belajar pada tengah hari di ruang yang memiliki ventilasi udara yang kurang tentunya akan berbeda suasana belajarnya dengan yang belajar di pagi hari yang udaranya masih segar dan di ruang yang cukup mendukung untuk bernafas lega.

2) Faktor Instrumental

Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk tercapainya tujuan-tujuan belajar yang telah direncanakan. Faktor-faktor instrumental ini berupa kurikulum, sarana, dan guru.

2.2.4 Pengukuran Hasil Belajar

Prinsip yang mendasari penilaian hasil belajar yaitu untuk memberi harapan bagi siswa dan guru untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Kualitas dalam arti siswa menjadi pembelajar yang efektif dan guru menjadi motivator yang baik. Guru dan pembelajar dapat menjadikan informasi hasil penilaian sebagai dasar dalam menentukan langkah-langkah pemecahan masalah, sehingga mereka dapat memperbaiki dan meningkatkan belajarnya (Rasyid, 2008: 67).

(10)

Berdasarkan tujuan dan ruang lingkupnya, tes hasil belajar dapat digolongkan ke dalam jenis penilaian, sebagai berikut:

1. Tes sebagai penilaian adalah pertanyaan pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (tes lisan), dalam bentuk tulisan (tes tulisan), atau dalam bentuk perbuatan (tes tindakan). Jenis tes yakni tes uraian atau tes esai dan tes objektif. Tes uraian terdiri dari uraian bebas, uraian terbatas, dan uraian berstruktur. Sedangkan tes objektif terdiri dari benar salah, pilihan ganda, menjodohkan, isian pendek (Sudjana, 2005:44). 2. Nontes sebagai alat penilaian hasil dan proses belajar mengajar masih sangat

terbatas penggunaannya dibanding dengan penggunaan tes dalam menilai hasil dan proses belajar. Para guru di sekolah pada umumnya lebih banyak menggunakan tes daripada bukan tes mengingat alatnya mudah dibuat, penggunaannya lebih praktis, dan yang dinilai terbatas pada aspek kognitif berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya. Bentuk-bentuk teknik nontes berupa kuesioner atau wawancara, skala (skala penilaian, skala sikap, skala minat), observasi atau pengamatan, studi kasus dan sosiometri (Sudjana, 2005:68).

2.3Model Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) 2.3.1 Model Kooperatif

Menurut Roger dalam Huda (2011:29) “Pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial diantara kelompok-kelompok pembelajar yang di dalamnya setiap pembelajaran bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota lain”. Johnson dalam Huda (2011: 31) “menyajikan devinisi ringkas tentang kooperatif serta membedakannya dengan pembelajaran kompetitif dan individual”. Menurut Johnson, pembelajaran kooperatif berarti working together to accomplish shared goals (bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama). Setiap anggota sama-sama berusaha mencapai hasil yang nantinya bisa dirasakan oleh semua anggota kelompok. Pembelajaran kooperatif dalam konteks pengajaran seringkali didefinisikan sebagai pembentukan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari siswa-siswa yang dituntut untuk bekerja sama dan saling meningkatkan pembelajarannya dan pembelajaran siswa-siswa lain. Hal ini tentu saja berbeda

(11)

dengan pembelajaran kompetitif (siswa bekerja saling mengalahkan satu sama lain untuk mencapai tujuan akademik tertentu, seperti nilai “A”, yang hanya bisa diperoleh oleh satu atau dua siswa saja) dan individualistik (siswa bekerja sendiri-sendiri untuk mencapai tujuan pembelajaran yang tidak berhubungan dengan atau tidak berpengaruh terhadap siswa-siswa lainnya). Pembelajaran kooperatif dan individualistik kita mengevaluasi pekerjaan siswa berdasarkan kriteria tertentu, sedangkan dalam pembelajaran kompetitif kita meng-grad-ing (menilai berdasarkan peringkat-peringkat tertentu) siswa berdasarkan standar yang sudah jelas dan baku meskipun ada batasan-batasan yang jelas kapan dan dimana kita seharusnya menggunakan pembelajaran kompetitif dan individualistik, kita sebenarnya bisa merancang tugas pembelajaran apapun dengan menggunakan struktur-struktur kooperatif.

Trianto (2007: 41) menuliskan bahwa “Pembelajaran Kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa aktif jika mereka saling berdiskusi dengan kelompok sejawat”. Didalam kelas kooperatif siswa dapat belajar bersama kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa sedrajat tetapi heterogen. Tujuannya dalam proses berfikir siswa dapat terlibat secara keseluruhan aktif dalam kegiatan belajar. Selama belajar secara kooperatif siswa tetap tinggal dalam kelompoknya selama beberapa kali pertemuan. Mereka seperti menjadi pendengar aktif, memberikan penjelasan kepada teman sekelompok dengan baik, dan berdiskusi agar terlaksana dengan baik siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan.

Pembelajaran kooperatif bergantung pada efektivitas kelompok-kelompok siswa tersebut. Guru diharapkan mampu membentuk kelompok-kelompok kooperatif dengan berhati-hati agar semua anggotanya dapat bekerja bersama-sama untuk memaksimalkan pembelajarannya sendiri dan pembelajaran teman-teman satu kelompoknya. Masing-masing anggota kelompok bertanggung jawab mempelajari apa yang disajikan dan membantu teman-teman satu anggota untuk mempelajarinya juga. Singkatnya pembelajaran kooperatif itu saling berdiskusi aktif dengan

(12)

kelompok sejawatnya. Adapula lembar kegiatan untuk mempermudah pembelajaran yang direncanakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan.

Pembelajaran kooperatif mempunyai tujuan untuk mempermudah siswa dalam pembelajaran dengan memperoleh hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan ketrampilan sosial. Secara jelas hasil belajar akademik akan meningkat sebab sebelumnya menggunakan pembelajaran kooperatif konvensional menjadi hasil belajar akademik kurang memuaskan bagi siswa dan guru. Efek pada penerimaan terhadap keragaman seperti agama, ras, budaya, strata (tingkatan). Ketrampilan sosial seperti terampil dalam tanya jawab dalam kelompok. Semakin bagus dalam tanya jawab pada diskusi berarti ketrampilan sosialnya baik.

2.3.2 Pembelajaran Kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)

Menurut Trianto (2007:62) Numbered Heads Together (NHT) adalah suatu model pembelajaran kooperatif dimana siswa diberi nomor kemudian dibuat ke dalam kelompok, lalu guru memanggil nomor secara acak dari siswa. Menurut Kurniasih dan Sani (2015:29) pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) atau Kepala Bernomor Struktur merupakan model yang dapat dijadikan salah satu alternatif variasi model pembelajaran dengan membentuk kelompok secara heterogen, dimana setiap kelompok beranggotakan 3-5 siswa, setiap anggota memiliki satu nomor kemudian, setelah itu guru akan mengajukan pertanyaan untuk didiskusikan bersama dalam kelompok dengan menunjuk salah satu nomor untuk mewakili kelompoknya.

Model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) memiliki ciri khas dimana guru akan menunjuk seorang siswa dalam kelompok tanpa memberitahu siapa yang akan mewakili kelompoknya tersebut sehingga dengan cara begitu akan menjamin semua siswa terlibat dan merupakan salah satu upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab individu dalam diskusi kelompoknya. Selain itu, manfaat dari model pembelajaran kooperatif tipe Numbered

(13)

Heads Together (NHT) akan sangat membantu siswa dalam menumbuhkan rasa percaya diri yang baik, meningkatkan kebaikan budi, meminimalisir perilaku mengganggu sehingga konflik antara pribadi berkurang sehingga akan muncul pemahaman yang lebih mendalam, kepekaan dan toleransi yang hasil akhirnya mendapat hasil belajar yang lebih baik.

Adapun kelebihan Numbered Heads Together (NHT) menurut Kurniasih dan Sani (2015:30) antara lain:

1. Menuntut siswa harus aktif semua,

2. Dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, 3. Mampu memperdalam pemahaman siswa, 4. Melatih tanggung jawab siswa,

5. Menyenangkan siswa dalam belajar, 6. Mengembangkan rasa ingin tahu siswa, 7. Meningkatkan rasa percaya diri siswa,

8. Mengembangkan rasa saling memiliki dan kerjasama, 9. Setiap siswa termotivasi untuk menguasai materi,

10. Menghilangkan kesenjangan antara yang pintar dengan tidak pintar,

11. Tercipta suasana gembira dalam belajar dengan demikian meskipun saat pelajaran menempati jam terakhirpun siswa tetap antusias belajar.

` Adapun kekurangan dari Numbered Heads Together (NHT) menurut Kurniasih dan Sani (2015:118) antara lain:

1. Tidak terlalu cocok untuk jumlah siswa yang banyak karena membutuhkan waktu yang lama,

2. Karena keterbatasan waktu, mengakibatkan semua anggota kelompok tidak bisa mengutarakan pendapatnya.

Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) menurut Kurniasih dan Sani (2015:119) adalah:

1. Persiapan

Guru harus mempersiapkan rancangan pelajaran yang sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT

2. Membagi kelompok

Kelompok yang dibentuk, harus sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT yakni dengan beberapa kelompok yang beranggotakan 3-5 orang siswa. Kemudian memberi nomor serta member nama setiap kelompok. Usahakan masing-masing kelompok terdiri dari beragam karakter anak yang heterogen.

3. Lengkapi setiap anak dengan buku panduan agar memudahkan mereka dalam mengerjakan perintah yang diberikan oleh guru.

(14)

Mulailah memberikan tugas kepada siswa. Dalam kerja kelompok tersebut, pastikan semua siswa mengerti dengan pertanyaan serta jawaban yang hendak diberikan. 5. Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban

Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk dibaca di kelas.

6. Mengakhiri dengan kesimpulan

Guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan yang telah didiskusikan tadi.

(15)

Tabel 2.2

Prosedur Penerapan Model Pembelajaran Numbered Heads Together (NHT)

Kegiatan Guru Langkah-langkah Kegiatan Siswa

1. Mengucapkan salam

2. Mengajak siswa berdoa sesuai

keyakinan dan kepercayaan masing-masing.

3. Mengecek absensi siswa.

4. Memberikan motivasi kepada siswa.

5. Melakukan apersepsi

6. Menuliskan judul pembelajaran.

7. Menyampaikan tujuan pembelajaran.

1. Kegiatan

Awal

1. Menjawab salam dan

berdoa.

8. Menyampaikan kegiatan yang akan

dilakukan selama proses pembelajaran.

9. Menyampaikan materi kepada siswa.

2. Persiapan 2. Mengikuti pembelajaran

sesuai dengan kegiatan yang akan dilakukan.

3. Menjawab pertanyaan yang

diberikan guru.

10. Membagi siswa dalam 5 kelompok,

setiap kelompok terdiri dari 3-5 siswa yang heterogen.

11. Membagikan nomor pada setiap

kelompok untuk dipasang di kepala setiap siswa dan memberi nama setiap kelompok. 3. Membagi kelompok 4. Bergabung dengan kelompoknya. 5. Memasang nomor di kepalanya.

12. Membagi buku panduan 4. Memberi

buku panduan

6. Mengerjakan lembar kerja

kelompok.

13. Membagikan lembar kerja kelompok

untuk didiskusikan bersama kelompoknya.

14. Meminta siswa untuk saling

menjelaskan jawaban kepada sesama anggotanya.

5. Memulai

diskusi

7. Aktif dan mampu

bersosialisasi dengan kelompok.

8. Bersama kelompoknya

melakukan diskusi.

9. Saling menjelaskan jawaban

kepada sesama anggotanya.

15. Memanggil salah satu nomor dan bagi

nomor yang dipanggil dari tiap kelompok harus mengangkat tangan.

16. Meminta siswa maju ke depan kelas

untuk menjawab pertanyaan.

6. Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban

10. Siswa yang dipanggil harus

mengangkat tangan dan maju ke depan untuk menjawab pertanyaan.

17. Guru bersama siswa menyimpulkan

jawaban akhir dari semua pertanyaan.

7. Mengakhiri

dengan kesimpulan

11. Siswa bersama-sama

menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan.

18. Melakukan refleksi dan memberikan

penguatan kepada siswa.

19. Menyampaikan rencana pembelajaran

pada pertemuan selanjutnya.

8. Kegiatan

Akhir

12. Mendengarkan refleksi dan

penguatan dari guru.

13. Mendengarkan rencana

(16)

2.4Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Anggita Rizki Amalia tahun 2015 dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Penerapan Pembelajaran Number Head Together (NHT) Pada Siswa Kelas V SDN Ngajaran 02 Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Semester II Tahun Ajaran 2014/2015” diperoleh hasil penelitian ketuntasan pada kondisi awal menunjukan dari 15 siswa ada 8 siswa yang tuntas (53,33%) dan 7 siswa belum tuntas (46,67%), setelah tindakan yang dilakukan dapat dilihat hasil belajar pada siklus I meningkat dari 15 siswa ada 10 siswa yang tuntas (66,67%) dan 5 siswa yang belum tuntas (33,33%). Hasil belajar pada siklus II pun meningkat dari 15 siswa tuntas semua (100%).

Selain itu, Winarti Yuni melakukan penelitian pada tahun 2012 dengan judul “Penggunaan Metode NHT (Numbered Heads Together) Untuk Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SD Negeri Banyumudal 2 Kabupaten Wonosobo Semester 2 Tahun Pelajaran 2011/2012” diperoleh hasil penelitian ketuntasan pada kondisi awal menunjukan dari 30 siswa ada 13 siswa yang tuntas (43,3%) dan 17 siswa belum tuntas (56,7%), setelah dilakukan tindakan dapat dilihat hasil belajar pada siklus I meningkat menjadi 22 siswa yang tuntas (73,3%) dan 8 siswa yang belum tuntas (26,7%). Hasil belajar pada siklus II pun meningkat lagi menjadi 27 siswa yang tuntas (90%) dan 3 siswa yang belum tuntas (10%).

Devi Dwi Wijayanti dan Julianto dalam penelitiannya berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Untuk Meningkatkan Hasil Belajar di Sekolah Dasar” tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah meningkatkan aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran serta meningktakan hasil belajar siswa dengan menerapkan model pembelajaran NHT (Numbered Heads Together). Diperoleh hasil aktivitas guru mengalami peningkatan sebesar 7,82% dari rata-rata skor ketercapaian sebesar 77,34% pada siklus I menjadi 85,16% pada siklus II, sedangkan aktivitas siswa mengalami peningkatan sebesar 8,6% dari rata-rata skor

(17)

Melatih tanggung jawab siswa dalam

kelompok, berani mengungkapkan pendapat, melatih kerjasama antar siswa,

termotivasi untuk menguasai materi.

ketercapaian 77,34% pada siklus I menjadi 85,94% pada siklus II. Ketuntasan klasikal hasil belajar siswa juga mengalami peningkatan sebesar 35% dari 55% pada siklus I menjadi 90% pada siklus II.

Berdasarkan analisis dari penelitian yang dilakukan oleh Anggita Rizki Amalia, Winarti Yuni serta Devi Dwi Wijayanti dan Julianto telah menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT). Pada penelitian ini diharapkan akan berhasil meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 2 Pucungkerep Wonosobo melalui model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) pada semester II tahun ajaran 2015/2016.

2.5 Kerangka Pikir

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Rendahnya hasil belajar IPA siswa kelas 5 SD Negeri 2 Pucungkerep

Pembelajaran IPA yang dilaksanakan guru kelas masih menggunakan metode konvensional dan

siswa kurang terlibat dalam pembelajaran

Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)

(18)

Kerangka berpikir ini menjelaskan mengenai kondisi hasil belajar pada siswa kelas 5 SD Negeri 2 Pucungkerep Wonosobo tahun ajaran 2015/2016. Siswa mengalami permasalahan hasil belajar IPA yang rendah karena guru masih menggunakan metode konvensional dalam kegiatan mengajar dan siswa kurang terlibat aktif dalam pembelajaran, sehingga siswa kurang memahami materi yang disampaikan. Kurangnya pemahaman siswa terhadap materi berakibat pada hasil belajar IPA siswa menjadi rendah. Berdasarkan hasil observasi nilai IPA terdapat 10 siswa yang mendapat nilai diatas KKM sebesar 70 kemudian 12 siswa lain masih di bawah KKM sehingga peneliti memberikan solusi sebagai pemecahan masalah untuk meningkatkan hasil pembelajaran IPA dengan memilih model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT).

Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dengan membagi siswa kedalam kelompok dengan memberikan kepala bernomor sebagai identitas diri siswa, setiap siswa berdiskusi bersama kelompoknya. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) ini dapat melatih tanggung jawab siswa dalam penugasan kelompok, menjadi berani mengungkapkan pendapat, melatih kerjasama antar siswa dalam kelompok, termotivasi untuk menguasai materi. Berdasarkan kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) yang sesuai dengan pokok permasalahan hasil belajar IPA pada kelas 5 SD Negeri 2 Pucungkerep Wonosobo diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas 5 SD Negeri 2 Pucungkerep Wonosobo semester II tahun ajaran 2015/2016.

(19)

2.6Hipotesis

Dari beberapa teori–teori yang telah dikemukakan maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan yaitu:

1) Model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas 5 SD Negeri 2 Pucungkerep Wonosobo semester II tahun ajaran 2015/2016 secara signifikan dengan KKM ≥ 70.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

157 terdapat tanda dan makna, pasangan suami istri di ruang makan maknanya istri yang taat dan berbakti pada suami, mitos yang terdapat di dalamnya “Swarga nunut

Pada hasil penelitian berdasarkan media tanam kain perca dengan dosis AB mix 3 ml/l dan interval pemberian nutrisi AB mix 10 (A13) hari memberikan hasil yang

- Jika obat yang diberikan tidak ditoleransi dengan baik (efek samping timbul atau dosis maksimum tidak menghentikan kejang) maka obat digantikan dengan

Menurut Chapra, stabilitas dalam nilai uang tidak bisa dilepaskan dari tujuan dalam kerangka referensi yang Islami karena hal ini ditekankan Islam secara jelas mengenai ketulusan

LQSXW HNVWULP NHULQJ GL VLQL DNDQ WHUMDGL GHILVLW DLU SDGD EXODQ - EXODQ 0HL VDPSDL 1RYHPEHU GL PDQD T WXUELQ EHUQLODL QHJDWLI %HJLWX SXOD GDODP SHQJJXQDDQ WUD\HN YROXPH ZDGXN

Walaupun agak sulit untuk dikelompokkan secara vertikal, secara kasar akuifer Basin JABODETABEK di kawasan Jakarta dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) lapis,

ini masih banyaknya pekerjaan menumpuk tidak dikerjakan oleh pegawai yang dimana seharusnya pekerjaan itu telah selesai dikerjakannya. Selain daripada itu

 Repo SBSN OPT Syariah adalah transaksi penjualan SBSN oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh Bank sesuai dengan harga dan jangka waktu