• Tidak ada hasil yang ditemukan

Epilepsi pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Epilepsi pada Anak"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Epilepsi pada anak adalah penyebab utama kunjungan ke pusat pengobatan, terutama bagian emergensi. Epilepsi masih menjadi masalah utama pada anak khususnya di bidang Neurologi yang dapat mengakibatkan mobiditas dan disabilitas pada anak. Angka kematian anak penderita epilepsi meningkat terutama pada anak dengan abnormalitas neurologik dan epilepsi yang tidak terdiagnosis. Insiden epilepsi pada anak adalah dua kali lipat dibandingkan insiden pada dewasa (sekitar 700 per 100.000 pada anak usia kurang 16 tahun dibandingkan dengan 330 per 100.000 pada dewasa).1,2,3

Menurut WHO, 50 juta penduduk Bumi menderita epilepsi. Sekitar 80% penderita epilepsi berada di negara berkembang. Setidaknya 4-10% anak pernah menderita serangan epilepsi pada usia kurang 16 tahun. Di amerika, sekitar 2-3 juta penduduk menderita epilepsi. Setiap tahun dilaporkan sekitar 300.000 serangan pertama epilepsi pada penduduk Amerika dan sebanyak 120.000 penderita adalah anak berusia di bawah 18 tahun. Sekitar 75.000-100.000 penderita ini pernah mengalami kejang demam pada usia kurang 5 tahun. Di Australia sekitar 1 dari 120 penduduk menderita epilepsi. Dari sebuah studi di Peru, didapatkan bahwa 2016 dari 100.000 anak di bawah usia 15 tahun menderita epilepsi.2,4,5

Epilepsi adalah kondisi kronik pada sistem saraf yang ditandai dengan kejang berulang. Kejang terjadi ketika suatu aktivitas listrik abnormal pada otak menyebabkan perubahan yang tidak disadari pada pergerakan dan fungsi tubuh, sensasi, kesadaran, dan tingkah laku. Sebagian penderita memiliki hanya satu tipe kejang sedangkan pada penderita lain dapat menderita lebih dari satu tipe. Kondisi ini tidak dapat ditularkan dari satu orang ke orang lainnya.Manifestasi klinis dari epilepsi tergantung jenis epilepsi yang diderita. The International League Againts Epilepsy (ILAE) mengelompokkan epilepsi menjadi 3, yaitu epilepsi lokal, epilepsi umum, dan epilepsi tidak terklasifikasi.6

(2)

Seseorang dapat menderita epilepsi jika ia memiliki faktor risiko. Faktor risiko yang diketahui dapat meningkatkan insiden epilepsi adalah kelainan kongenital pada sistem saraf pusat, trauma kepala sedang dan berat, infeksi cairan serebro-spinal, gangguan metabolik bawaan, dan faktor genetik. Faktor ini dapat dikelompokkan menjadi faktor prenatal, natal, postnatal, dan faktor herediter. Diagnosis epilepsi ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan, fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang paling sensitif adalah elekroensefalografi (EEG).3

Hampir 70% dari penderita epilepsi memberikan respon baik terhadap pengobatan, sisanya sebanyak 30% penderita yang berada di negara berkembang tidak mendapatkan pengobatan yang semestinya. Penderita epilepsi dan keluarganya mendapat stigma yang buruk dari masyarakat. Oleh karena itu, perlu diagnosis dini terhadap epilepsi agar dapat diobati secara tepat sehingga penderita mengalami remisi.

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai epilepsi mulai dari definisi sampai penatalaksanaannya.

1.3. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan referat ini adalah menambah pengetahuan mengenai epilepsi.

1.4. Metode Penulisan

Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengacu pada beberapa literatur.

(3)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Epilepsi

Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang ditandai oleh kejang berulang dalam waktu lebih dari 24 jam. Jika seorang anak mengalami kejang hanya satu kali, maka belum dapat disebut sebagai epilepsi. Namun, jika terjadi dua atau lebih kejang dalam waktu lebih dari 24 jam, maka anak dapat dinyatakan menderita epilepsi. Epilepsi terjadi akibat ketidakseimbangan rangsangan (eksitasi) dan hambatan (inhibitor) muatan listrik di neuron otak. Epilepsi dapat menimbulkan implikasi medis dan psikososial.7,8,9,10,11

Berdasarkan etiologi, epilepsi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu, epilepsi simtomatik dan epilepsi idiopatik. Jika epilepsi terjadi setelah peristiwa tertentu (asfiksia, trauma kepala, meningitis), maka ini disebut sebagai epilepsi simptomatik. Namun, jika epilepsi terjadi tidak diketahui penyebabnya maka disebut sebagai epilepsi idiopatik.9

2.2 Epidemiologi

Epilepsi adalah penyakit kronis dengan tingkat prevalensi tinggi. Oleh karena itu setiap tenaga medis diharapakan lebih memperhatikan penderita dengan epilepsi dan menangani mereka dengan baik. Insiden epilepsi lebih tinggi di negara berkembang dibanding negara maju.11 Dari berbagai penelitian di beberapa negara, didapatkaan insiden epilepsi sebanyak 20-70 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya.11 Berdasarkan penelitian di British Colombia tahun 2002-2003, terdapat sebanyak 8125 anak menderita epilepsi dari 1.013.816 kunjungan anak yang datang berobat. Angka ini setara dengan 55 per 10.000 anak. Dari jumlah ini, kasus terbanyak terjadi pada anak dengan usia 0-4 tahun.12

Di Indonesia, setidaknya terdapat 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun. Dari jumlah ini, diperkirakan 40%-50% kasus terjadi pada anak. Insiden epilepsi dalam 4 tahun belakangan adalah 5,3% dari kasus yang berobat. Insiden terbanyak terjadi pada

(4)

kelompok umur 1-5 tahun, sedangkan onset terbanyak pada kelompok umur <1 tahun.12

2.3. Etiologi dan Faktor Risiko

Epilepsi dicetuskan oleh inaktivasi sinaps inhibisi atau oleh stimulasi berlebihan sinaps eksitasi atau perubahan keseimbangan neurotransmitter. Ditinjau dari faktor etiologi, epilepsi dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:7,13

1. Epilepsi Primer atau Epilepsi Idiopatik

Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Penderita tidak menunjukkan manifestasi patologi otak dan penyebab epilepsi tidak diketahui.15 Diduga terjadi mutasi gen pada sel otak. Mutasi gen pada epilepsi dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu mutasi gen ekspresi pada kanal dan mutasi gen pengkode non-kanal ion. Mutasi gen ekspresi pada kanal ion seperti gen SCN1A dan SCN2A dapat menyebabkan defek kanal ion natrium sehingga inaktifasi kanal ion tidak berfungsi dan terjadilah peningkatan eksitasi. Selain itu, mutasi gen pengkode non-kanal ion seperti neurotransmitter eksitasi glutamat atau inhibisi gama amino butyric acid (GABA) berperan serta dalam menimbulkan ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi.13

2. Epilepsi Sekunder atau Simtomatik

Epilepsi sekunder atau simptomatik adalah epilepsi yang diketahui faktor penyebabnya seperti infeksi susunan saraf pusat, trauma kepala atau kelainan struktural otak. Selain itu, jika gangguan metabolisme (seperti hipokalsemia), infeksi (seperti meningitis), keracunan, atau penyebab lainnya tidak ditatalaksana dengan baik maka hal ini dapat memicu terjadinya epilepsi.13

Faktor risiko untuk menderita epilepsi dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal ataupun postnatal dan juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi.14

(5)

Salah satu faktor prenatal yang dapat menjadi pencetus epilepsi pada anak adalah keadaan asfiksia. Asfiksia akan menyebabkan hipoksia dan iskemia sehingga menimbulkan lesi pada daerah hipokampus yang mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya epilepsi di kemudian hari. Keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia yaitu kehamilan dengan hipertensi dan eklamsia, kehamilan pada usia berisiko terjadinya komplikasi seperti prematuritas, penyulit persalinan dan partus lama.9,14

2. Faktor Natal

Faktor natal yang menjadi faktor risiko epilepsi adalah bayi berat badan lahir rendah yang dapat menyebakan asfiksia, hipoglikemi dan perdarahan intraventikuler pada bayi. Selain itu, kelahiran prematur, postmatur, partus lama, dan persalinan dibantu alat seperti forcep dan vakum yang menyebabkan jejas pada otak juga dapat memicu terjadinya epilepsi. Penelitian Raharjo TB (2007) telah menunjukkan hubungan partus lama yang lebih dari 13 jam terhadap peningkatan insiden epilepsi pada anak.14

3. Faktor Postnatal

Faktor-faktor yang menjadi pencetus epilepsi setelah masa natal adalah sebagai berikut :

a. Kejang Demam

Kejang akan mengakibatkan gangguan pada sel neuron. Gangguan ini dapat berupa gangguan fungsi dan metabolisme sel neuron sehingga berkembang menjadi fokus epileptik. Pada kejang demam, harus dibedakan antara kejang demam sederhana dan kejang demam komplek. Hal ini disebabkan oleh karena bentuk bangkitan menentukan risiko kemungkinan menjadi epilepsi. Kejang demam dapat menjadi epilepsi apajika kejang terjadi lebih dari 30 menit sehingga mengakibatkan kerusakan DNA dan protein sel yang menimbulkan jaringan parut.

(6)

Jaringan parut ini dapat menghambat proses inhibisi. Hal ini akan mengganggu keseimbangan inhibisi-eksitasi, sehingga mempermudah timbulnya kejang.7,14

b. Tumor Otak

Jaringan patologis seperti tumor tidak dianggap sebagai epileptogenik, tetapi neuron di sekitar tumor akan menjadi terganggu fungsinya sehingga akan menjadi fokus epileptik yang menyebabkan munculnya gejala epilepsi.7,9

c. Trauma Kepala / Cedera Kepala

Munculan kejang tergantung pada usia terjadinya kecelakaan. Sebagai contoh, trauma kelahiran akan memberikan kejang pada tahun pertama kehidupan. Tidak semua orang yang telah memiliki cedera kepala akan berkembang menjadi kejang. Kejang lebih sering terjadi pada cedera tembus, fraktur depresi tengkorak, hematoma intrakranial, atau terdapat amnesia pasca trauma yang lebih dari 24 jam. Lima puluh persen dari kejang pasca trauma berkembang pada tahun pertama setelah kecelakaan, dan 20% lainnya akan berkembang pada akhir tahun kedua.9

d. Infeksi Susunan Saraf Pusat

Ensefalitis virus berat dan meningitis dapat mengakibatkan terjadinya epilepsi. Sikatriks pada sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron dapat menjadi fokus epilepsi, yang dalam kurun waktu 2 -3 tahun kemudian menimbulkan epilepsi.9

4. Faktor Heriditer (Keturunan)

Jika salah satu orang tua memiliki epilepsi idiopatik risiko anak berkembang epilepsi adalah 4-6 %, dibandingkan dengan risiko 0,3-0,5 % pada populasi umum. Jika kedua orang tua memiliki epilepsi

(7)

idiopatik, risiko meningkat menjadi 12-20 %. Pada orang tua dengan gejala epilepsi, masih ada sedikit peningkatan dalam risiko hingga 2 %.9

Faktor herediter memiliki pengaruh yang penting terhadap beberapa kasus epilepsi, Jika seseorang mengidap epilepsi pada masa kecil, maka saudara kandung memiliki risiko lebih tinggi menderita epilepsi. Risiko epilepsi pada saudara kandung penderita epilepsi primer kurang lebih 4%.14

Pada anak, faktor risiko untuk terjadi epilepsi juga dipengaruhi umur dan perkembangannya seperti terlihat pada grafik 2.1. Epilepsi akan lebih jarang pada anak prematur dibanding anak cukup bulan. Hal ini disebabkan karena perkembangan saraf pada anak prematur belum berkembang secara sempurna sehingga memungkinkan terjadinya ketidakseimbangan eksitasi-inhibisi. Munculan gejala sering terjadi pada usia 4 bulan-4 tahun dengan frekuensi yang lebih tinggi. Selanjutnya, frekuensi munculannya akan menurun sampai remaja.7,9

Grafik 1 Grafik penyebab epilepsi berdasarkan usia9

Terjadinya bangkitan epilepsi membutuhkan beberapa faktor yang bekerja sama, seperti kelainan struktural otak atau jaringan abnormal pada otak dan juga faktor faktor pencetus yang mungkin akan berbeda pada setiap penderita seperti keadaan demam, hipoglikemia, alkalosis karena hiperventilasi, kurang tidur, emosional, dan stress.7

(8)

Kasus epilepsi kebanyakan berupa tipe grand mal dan absence. Tipe grand mal menunjukkan kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik, diikuti gerakan kejang kelojotan pada kedua lengan dan tungkai (fase klonik) selama 30-60 detik. Selain itu, dapat disertai mulut berbusa dan setelah bangkitan penderita menjadi lemas (fase flaksid), serta tampak bingung. Pada tipe absence (lena) terjadi gangguan kesadaran secara mendadak, berlangsung beberapa detik. Selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan penderita diam tanpa reaksi. Setelah bangkitan selesai, penderita melanjutkan aktivitas semula tanpa menyadari telah terjadi bangkitan.8

Pada kebanyakan kasus, didapatkan temuan sistem saraf pusat (SSP) yang normal secara makroskopik maupun mikroskopik. Namun, pada kasus epilepsi sekunder sering ditemukan lesi pada otak. Lesi dapat berupa hilangnya zona neuronal dan gliosis (scar). Tanda-tanda kehilangan jaringan lainnya misalnya porencephaly, heterotopia, dysgenesis cortex, hamartoma, malformasi vaskular, atau tumor.15

Walaupun mekanisme pasti kejang pada epilepsi ini belum diketahui, beberapa faktor fisiologis berperan dalam proses terjadinya kejang. Untuk memulai terjadinya suatu kejang, terdapat sebuah kelompok neuron yang dapat menyebabkan perubahan signifikan dan kerusakan sistem yang menginhibisi γ-aminobutyric acid (GABA). Terjadinya kejang sepenuhnya tergantung pada eksitasi sinaps glutamatergik. Dari bukti yang ada, eksitasi asam amino neurotransmitter (glutamate, aspartat) berperan dalam eksitasi karena aksi reseptor sel spesifik.8

Kejang dapat timbul dari area-area kerusakan neuron sehingga meningkatkan hipereksitasi sinaps dan menimbulkan kejang. Lesi di lobus temporal seperti slow-growing glioma, hamartoma, gliosis, hippocampus sclerosis, and arteriovenous malformation yang menyebabkan kejang, jika diangkat terbukti mengurangi frekuensi kejang.8

Tanda dan gejala kejang mungkin termasuk peringatan terhadap perubahan yang terjadi pada otak. Patofisiologi yang mendasari proses epilepsi meliputi

(9)

mekanisme yang terlibat dalam inisiasi kejang (ictogenesis) dan perubahan pada otak normal yang menjadi otak yang rawan terjadi kejang (epileptogenesis).16

1. Mekanisme Ictogenesis

Hipereksitasi adalah faktor utama yang mendasari ictogenesis. Eksitasi berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuronal, atau jaringan saraf.16

a. Rangsangan dari neuron tunggal timbul dari perubahan struktural atau fungsional dalam membran postsinaptic, yakni perubahan dalam jenis, jumlah, dan distribusi tegangan dan ligand-gated saluran ion atau modifikasi biokimia dari reseptor yang meningkatkan permeabilitas untuk Ca2+ yang menyebabkan depolarisasi berkepanjangan sehingga terjadi kejang.16

b. Rangsangan yang timbul dari lingkungan neuronal merupakan hal fisiologis dan perubahan struktural. Perubahan fisiologis termasuk perubahan dalam konsentrasi ion, metabolisme perubahan, dan tingkat neurotransmitter. Perubahan struktural mempengaruhi neuron dan glia astrosit.16

c. Perubahan dalam jaringan saraf dapat mengakibatkan hilangnya neuron inhibisi atau hilangnya rangsang neuron yang dibutuhkan untuk mengaktifkan neuron inhibisi.16

2. Mekanisme Non-sinaptik

Selama hipereksitasi terjadi peningkatan K+ ekstraseluler atau menurunnya Ca+ ekstraseluler, hal ini dapat disebabkan oleh penurunan volume ekstraseluler. Kegagalan pompa Na+ dan K+ karena hipoksia atau iskemia dikenal sebagai epileptogenesis, dan gangguan transportasi Cl dan K+ dapat menyebabkan peningkatan eksitasi. Rangsangan terminal sinaptik tergantung pada sejauh mana depolarisasi dan jumlah neurotransmitter yang dilepaskan. Sinkronisasi dari lonjakan percabangan aksonal memainkan peran kunci dalam epileptogenesis. Interaksi yang terjadi antara neuron tetangga

(10)

dipisahkan dengan jarak ekstraseluler yang kecil dan berkontribusi terhadap peningkatan sinkronisasi.16

3. Mekanisme Sinaptik

Patofisiologi Sinaptik pada epilepsi adalah berupa berkurangnya inhibisi GABAergic atau eksitas glutamatergic yang meningkat.16

a. GABA

Pesien dengan jenis epilepsi tonik-klonik terbukti memiliki jumlah GABA yang lebih sedikit dalam cairan cerebrospinal (CSS). Jika jaringan otak yang mengalami epilepsi diangkat dari penderita dengan epilepsi resistan terhadap obat, maka akan terjadi penurunan inhibisi pada penderita.16

b. Glutamat

Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar telah menunjukkan peningkatan berkelanjutan di tingkat kadar glutamat ekstraseluler selama dan sebelum kejang. Tingkat GABA tetap rendah di daerah epileptogenik hipokampus, tetapi selama kejang konsentrasi GABA meningkat, sebagian besar terdapat di daerah non-epileptogenik hipokampus.16

II.5. Manifestasi Klinis

Epilepsi memiliki gejala klinis yang bervariasi dan salah satu cara untuk mengelompokkan jenis-jenis kejang. The International League Against Epilepsy (ILAE) telah mendeskripsikan secara sistematis dan telah mengklasifikasikannya dari klinis dan hasil pemeriksaan.

ILAE 1981 mengklasifikasikan epilepsi menjadi:11 I. Kejang Parsial (Fokal atau Lokal)

(11)

1. Dengan gejala motorik 2. Dengan gejala somatosensori 3. Dengan gejala otonom

4.Dengan gejala psikis B. Kejang Parsial Kompleks

1. Kejang parsial simpleks yang diikuti oleh penurunan kesadaran

2. Dengan penurunan kesadaran saat onset kejang

C. Kejang parsial yang berkembang menjadi kejang umum sekunder (tonik-klonik, tonik, atau klonik)

1. Kejang parsial simpleks berkembang menjadi kejang umum 2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum

3. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang parsial kompleks dan berkembang menjadi kejang umum

II. Kejang

A. Kejang Absens

1. Kejang Absens

2. Kejang Absens Atipikal B. Kejang Mioklonik

C. Kejang Klonik D. Kejang Tonik

E. Kejang Tonik-Klonik F. Kejang Atonik

III. Kejang Epilepsi yang Tidak Terklasifikasi

1. Kejang Parsial Simplek

Kejang parsial simplek didefinisikan sebagai kejang parsial di mana kesadaran tidak terganggu. Kejang ini disebabkan oleh kerusakan otak fokal.

(12)

Bagian otak yang paling umum terkena adalah lobus frontal dan temporal. Gejala pada kejang ini berguna dalam memprediksi lokalisasi anatomis dari kejang. Bentuk kejang biasanya tidak memiliki gejala patologis yang spesifik. Biasanya sebagian kejang parsial simplek dialami hanya beberapa detik.11

Terjadinya kejang parsial simplek dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita mengalami sensasi, gerakan atau kelainan psikis yang abnormal, tergantung kepada daerah otak yang terkena. Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan, maka lengan kanan akan bergoyang dan mengalami sentakan; jika terjadi pada lobus temporalis anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan. Pada penderita yang mengalami kelainan psikis dapat mengalami déjà vu (merasa pernah mengalami keadaan sekarang di masa yang lalu).11

2. Kejang Partial Kompleks

Kejang parsial kompleks berasal dari lobus temporal pada 60% kasus, lobus frontal pada 30% kasus dan daerah kortikal lainnya sekitar 10% kasus. Gambaran klinis menunjukkan anatomi yang menyebabkan timbulnya kejang. Lamanya kejang parsial kompleks bervariasi dalam lamanya.11 Manifestasi yang timbul pada kejang parsial kompleks diantaranya timbulnya aura diikuti oleh penurunan kesadaran, dan automatism (tindakan motorik yang terjadi selama serangan epilepsi).11

3. Kejang Parsial Berkembang Menjadi Kejang Umum Sekunder

Kejang parsial (simpleks dan kompleks) dapat menjadi kejang umum. Kejang parsial sering dialami sebagai aura sesaat sebelum terjadinya kejang. Kejang umum biasanya memiliki klinis tonik - klonik.11

4. Kejang Absen

Kejang ini terdiri dari penurunan kesadaran dan penghentian semua aktivitas motorik. Tones biasanya dipertahankan, dan tidak penderita tidak

(13)

mengalami jatuh. Penderita sama sekali tidak berhubungan dengan lingkungan sekitar, tidak diajak berkomunikasi dan sering seperti terlihat kosong. Serangan itu berakhir secara tiba-tiba tiba-tiba seperti serangan itu dimulai, dan aktivitas sebelumnya dilanjutkan seolah-olah tidak ada yang terjadi saat kejang itu berlangsung. Biasanya penderita tidak mengalami kebingungan, tetapi penderita sering tidak menyadari bahwa serangan telah terjadi. Sebagian kejang (> 80%) berlangsung kurang dari 10 detik. Fenomena klinis lainnya termasuk berkedip, gerakan klonik sedikit batang atau anggota badan dan otomatisasi yang singkat dapat terjadi terutama pada saat serangan terjadi. Serangan sering terulang, kadang-kadang mencapai ratusan kali dalam sehari.11

Kejang absen dapat dipicu oleh kelelahan, mengantuk, relaksasi, atau hiperventilasi. Kejang tidak khas berkembang di masa anak-anak atau remaja. Variasi dari bentuk khas kejang ini termasuk tidak adanya mioklonik, dan tidak adanya dengan mioklonik perioral atau mioklonik kelopak mata.11

5. Kejang Mioklonik

Kejang mioklonik merupakan kontraksi singkat otot atau sekelompok otot. Hal ini dapat terjadi sekali atau berulang-ulang, yang bervariasi dalam tingkat keparahan mulai dari kedutan yang hampir tak terlihat sampai sentakan yang kuat. Contohnya, penderita tiba-tiba jatuh atau melempar benda yang ada ditangannya. Pemulihan pada kejang ini cepat dan penderita sering menyatakan bahwa kesadaran tidak hilang saat kejang terjadi. Kejang mioklonik dapat disebabkan oleh tindakan, kebisingan, terkejut, atau stimulasi oleh cahaya.11

Kejang mioklonik biasanya terjadi beberapa jam setelah bangun atau sebelum tidur. Kejang mioklonik juga terjadi pada ensefalopati epilepsi. Mioclonus Focal adalah gambaran dari fokus epilepsi lobus oksipital dan epilepsi yang timbul di daerah pusat (jika terjadi terus menerus, diberi nama epilepsia partialis continua). Mioklonik umum juga dapat terjadi pada

(14)

epilepsi simtomatik yang disebabkan oleh anoksia otak, infeksi otak, penyakit metabolik bawaan atau yang didapat, obat-obatan, atau keracunan.11

6. Kejang Klonik

Kejang klonik terdiri dari sentakan yang sering asimetris dan tidak teratur. Kejang ini paling sering terjadi pada neonatus, bayi atau anak-anak muda.11

7. Kejang Tonik

Kejang tonik adalah bentuk kontraksi otot tonik dengan kesadaran berubah tanpa ada fase klonik. Kontraksi pada kejang tonik menyebabkan ekstensi leher, kontraksi otot-otot wajah, dengan mata membuka secara luas, bola mata melihat ke atas, kontraksi otot-otot respirasi, dan spasme otot-otot proksimal ekstremitas atas. Jika kontraksi tonik menyebar ke distal, lengan akan naik ke samping-samping kepala seolah-olah menyembunyikan kepala terhadap pukulan dan tungkai seolah-olah dipaksa utuk menjadi lebih panjang. Kejang biasanya berfluktuasi sehingga kepala terlihat seolah-olah mengangguk atau ada sedikit perubahan dalam postur badan.11

8. Kejang Tonik Klonik

Kejang ini merupakan bentuk klasik dari serangan epilepsi. Kejang ini didahului oleh aura, dimulai dengan kehilangan kesadaran dan dilanjutkan dengan tonik (Terjatuh jika berdiri, kejadian singkat kontraksi otot, respirasi terhenti dan terjadi sianosis umum) dan dilanjutkan dengan fase kloni (gerakan kejang, pernafasan menjadi sesak, dan air liur sering tercampur darah akibat lidah yang tergigit).11

(15)

Atonik adalah klinis kejang yang paling berat dimana penderita tiba-tiba jatuh ke tanah seperti boneka kain. Biasanya kejang ini berlangsung sebentar dan diikuti oleh pemulihan segera.11

2.6. Diagnosis Epilepsi

Langkah awal dalam mendiagnosa penderita epilepsi adalah menentukan apakah serangan yang terjadi merupakan serangan kejang atau bukan, dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara baik dengan orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata yang mengetahui tentang penderita. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum, selama dan sesudah serangan kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami penderita.17

a. Hal-hal yang penting dalam anamnesis adalah sebagai berikut: 1. Waktu serangan pertama kali muncul

Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb.17

2. Hal yang terjadi selama serangan kejang berlangsung

Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin

(16)

kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.17

3. Hal yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung

Periode sesudah serangan kejang berlangsung dikenal dengan istilah “post ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik penderita lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak.17

4. Frekuensi kejang per siklus 24 jam

Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.17

5. Faktor pencetus

Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena panas, kelelahan fisik dan mental, atau suara suara tertentu. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan keluarga dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.17

6. Frekuensi serangan kejang

Informasi ini dapat membantu untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan jika sudah mendapat obat obat anti kejang.17

7. Periode bebas kejang

Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya penderita sudah mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat.17

(17)

Pertanyaan ini penting mengingat penderita yang mengalami luka ditubuh akibat serangan kejang, sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.17 9. Riwayat pengobatan

Dengan mengetahui gambaran penderita yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan penderita, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.17

b. Riwayat Keluarga

Ditanyakan apa ada orangtua, saudara, yang menderita penyakit seperti ini.

c. Riwayat Perinatal

Pertanyaan tentang masa perinatal penting ditanyakan ke orang tua baik keluhan ibu selama hamil, penggunaan obat-obatan selama kehamilan, alkohol, rokok dan penyakit-penyakit yang diidap ibu selama hamil.9

d. Riwayat Persalinan

Masa persalinan juga dapat menetukan apakah ada faktor penyebab yang dimiliki anak. Dengan bertanya tentang cara persalinan, lamanya persalinan, apakah terjadi asfiksia, berat badan saat lahir, dan riwayat penyakit yang dialami anak seperti kuning, sesak nafas. Selain dari itu, riwayat menyusui dan imunisasi juga ditanyakan kepada keluarga.9

e. Masa Tumbuh Kembang

Pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dipengaruhi oleh epilepsi yang diderita oleh anak dan sebaliknya pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi. Untuk itu sangat

(18)

penting menanyakan tumbuh kembang anak apakah sesuai dengan milestone, bagaimana prestasi disekolah, kualitas tidur, dan kegiatan sehari-hari.9

f. Mengenai tindakan yang telah dilakukan untuk mengatasi kejang

Riwayat perawatan dan pengobatan karena kejang. Perlu ditanyakan jenis obat yang diberikan berserta dosis, apakah pernah diganti dengan obat lain, apakah alasan diganti.9

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita kejang diawali dengan observasi. Hal-hal yang diobservasi antara lain cara berjalannyaapakah normal, atau tampak kelemahan bahkan spastisitas pada salah satu atau kedua sisi.perlu pula diperhatikan interaksi dengan lingkungan, normal atau hiperaktif dan apakah perkembangan bicara sesuai dengam usia.9

Pemeriksaan fisik dilakukan pada semua sistem. Perlu diperhatikan apakah ada jaringan parut, perubahan warna kulit, adenoma sebaseum, haemangioma, asimetri, anomali kongenital. Pada kondisi akut, perhatikan: demam, penonjolan fontanel, kaku leher, ruam, penurunan kesadaran.9

Pemeriksaan neurologis yang perlu diperhatikan antara lain mata: ukuran dan reaksi pupil, lapangan pandang, nystagmus, funduskopi jika memungkinkan serta saraf kranial lainnya, kekuatan otot, serta tonus (hiper atau hipotonus) refleks apakah ada perbedaan antara kiri dengan kanan. Tanda-tanda keracunan obat, seperti ataksia, mengantuk, nystagmus.9

2.7. Pemeriksaan Penunjang

Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, penegakan diagnosa epilepsi juga tergantung dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita dengan kejang adalah sebagai berikut.9

(19)

1. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua penderita epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling baik untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG, menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan adanya kemungkinan kelainan genetik atau metabolik.9

Perlu diingat bahwa tidak selalu gangguan fungsi otak dapat tercermin dalam gambaran EEG. EEG normal dapat dijumpai pada anak yang nyata-nyata ,menderita kelainan otak, dan sebaliknya EEG abnormal dapat dijumpai pada anak normal dan sehat. EEG abnormal ringan dan tidak khas terdapat pada 15 % populasi normal, dan kira-kira 10% penderita epilepsi mempunyai EEG normal.9

Untuk mendapatkan hasil EEG yang lebih positif perlu dilakukan beberapa prosedur aktivasi, misalnya tidur, hiperventilasi, stimulasi fotik, dan lain-lain. Aktivasi tidur akan memberikan hasil positif terutama pada penderita dengan epilepsi psikomotor (epilepsi lobus temporalis). Aktivasi hiperventilasi akan memberikan hasil positif terutama pada penderita epilepsi absence (petit mal). Stimulasi fotik akan memberikan hasil positif terutama pada penderita epilepsi centrencephalic. Ada jenis epilepsi yang timbil apajika ada rangsangan atau suara tertentu. Aktivasi dapat dilakukan dengan rangsangan yang sesuai, yang dapat menimbulkan epilepsi.9

Rekaman EEG dikatakan abnormal apajika terdapat :

1. Asimetri irama dan voltase gelombang pada derah yang sama di kedua hemisfer otak.

2. Irama gelombang tidak teratur.

3. Irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misalnya gelombang delta.

(20)

4. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada amak normal, misalnya gelombamg tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.

Bentuk serangan epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantil mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal mempunyai gambaran EEG gelombang paku-ombak 3 siklus perdetik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku/tajam/lambat dan paku majemuk yang timbul secara serempak.9

2. Pemeriksaan Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal pada penderita epilepsi umumnya normal, pungsi lumbal dilakukan pada penderita yang diduga menderita meningitis. Pada penderita epilepsi dengan kelainan neurologis fokal dan tanda peningkatan tekanan intrakranial sangat berbahaya apajika dilakukan pungsi lumbal. Pada penderita dengan proses degeneratif pemeriksaan cairan serebrospinal dapat berguna untuk menegakkan diagnosis, misalnya pada Subaccute sclerosing panencephalitis (SSPE). Jika ditemukan zat anti terhadap morbili dalam cairan serebrospinal berarti penderita menderita SSPE.9

3. CT Scan

Merupakan prosedur aman dan non invasif. Serangkaian gambar dari bagian horisontal tengkorak dan otak diambil dan disajikan dalam gambar anatomis yang akurat. Radiasi yang digunakan adalah dalam dosis rendah. Teknik ini dapat menunjukkan tumor, hemorrhage, subdural hematoma, anomali vaskular dan kelainan struktur lainnya.9

4. MRI

MRI bekerja berdasarkan prinsip absorpsi dan emisi energi dalam range radiofrekuensi dari spektrum elektromagnetis. Tubuh manusia utamanya terdiri dari lemak dan air. Lemak dan air tersusun dari atom hidrogen. Tubuh manusia terdiri dari 63% atom hidrogen. Inti hidrogen

(21)

memiliki sinyal Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Atas kerja inilah MRI mencitrakan sinyal NRM dari inti hidrogen. MRI menghasilkan gambar dalam potongan tipis tubuh manusia. MRI telah banyak membantu dalam penilaian Sistem Saraf Pusat.9

2.8. Diagnosis Banding 1. Gangguan metabolik

a. Hipoglikemia

Kadar gula plasma < 45 mg/dl pada bayi atau anak-anak dengan atau tanpa gejala.

Kadar gula plasma < 35 mg/dl pada neonatus aterm < 72 jam Kadar gula plasma < 25 mg/dl pada neonatus preterm dan KMK

Ketika kadar glukosa dalam darah rendah, sel-sel dalam tubuh terutama otak, tidak menerima cukup glukosa dan akibatnya tidak dapat menghasilkan cukup energi untuk metabolisme dan dapat menimbulkan kejang yang dapat berakibat pada rusaknya sel-sel otak serta saraf dan sel-sel otak serta saraf yang rusak dapat menyebabkan cerebral palsy, retardasi mental, dll.18

Penyebab hipoglikemia pada anak :

o Peningkatan pemakaian glukosa / hiperinsulin yaitu pada neonatus dari ibu penderita diabetes, besar masa kehamilan (BMK), neonatus yang menderita eritroblastosis fetalis,dll18

o Penurunan produksi/simpanan glukosa seperti pada bayi prematur, IUGR, Asupan kalori yang tidak adekuat, penundaan pemberian asupan(susu/minum), dll.18

o Peningkatan pemakaian glukosa dan atau penurunan produksi glukosa seperti pada stress perinatal, sepsis, syok, asfiksia, hipotermi, pasca resusitasi, dll.18

(22)

b. Hiponatremia

- Kadar natrium serum < 120 mEq/L sering bergejala kejang, syok dan lethargi.8

- Hiponatremia dapat mengakibatkan penurunan kesadaran hingga koma, dan penderita juga dapat mengalami kejang, hemiparesis, ataksia, tremor, afasia dan gejala gangguan jaras kortikospinalis. Apajika disertai kejang, harus segera dilakukan koreksi natrium karena penderita mempunyai mortalitas yang tinggi.19

c. Hipomagnesemia

- Hypomagnesemia didefinisikan sebagai konsentrasi magnesium plasma <1,6 mEq/L (<1,9 mg/dl). Magnesium direkomendasikan sebagai anti konvulsan pada preeklampsia dan eklampsia. Penghambatan N-metil- D aspartat (NMDA) reseptor glutamat dan meningkatnya produksi prostaglandin vasodilator dalam otak dapat menganggu mekanisme antikonvulsan dari magnesium. Selain itu, magnesium juga berfungsi untuk menstabilkan membran saraf.8

- Gelaja biasanya muncul apajika kadar magnesium dalam tubuh < 1,2 mEq/L, dan untuk kejang yang timbul biasanya tonik klonik umum. Selain kejang gejala lain yang dapat timbul adalah iritabilitas neuromuscular, hipereksitabilitas SSP dan aritmia jantung.8

d. Defisiensi vitamin B6

- Fungsi sistem saraf cukup tergantung pada piridoksin, defisiensi piridoksin dapat menyebabkan kejang-kejang dan neuropati perifer. Piridoksin berperan serta dalam transport aktif asam amino melewati membran sel, chelates metal dan berperan serta dalam sintesis asam arakhidonat dari asam linoleat. Piridoksin tersedia dalam asi, susu sapi dan dalam tepung, tetapi proses pemanasan yang lama pada susu sapi dan tepung dapat menghancurkan piridoksin.8

(23)

- Piridoksal fosfat merupakan koenzim untuk dekarboksilase glutamat dan asam Y-aminobutirat transaminase yang masing-masingnya berfungsi untuk metabolisme otak normal8

- Bayi yang minum susu formula yang kurang vitamin B6 selama 1-6 bulan menunjukkan iritabilitas dan kejang menyeluruh8

- Selain dari defisiensi vitamin B6, ketergantungan atau berlebihannya vitamin B6 juga dapat menyebabkan kejang-kejang yang bersifat mioklonik khas dengan gambaran hipsaritmik pada elektroensefalogram. Ini terjadi biasanya pada bayi-bayi yang mendapat dosis besar piridoksin selama kehamilan ibunya. Oleh karena itu diet seimbang vitamin B6 sangatlah diperlukan.8

e. Gangguan metabolik bawaan

Defek metabolisme tubuh yang disebabkan oleh mutasi pada gen yang mengkode protein spesifik sehingga terjadi perubahan struktur protein atau jumlah protein yang disintesis yang dapat menimbulkan berbagai sindrom, antara lain sindrom neurologis berupa disfungsi neurologis yaitu kejang.8

2. Kejang Demam

 Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.20  Terjadi pada 2%-4% anak berumur 6 bulan hingga 5 tahun, apajika anak

berumur < 6 bulan atau > 5 tahun mengalami kejang yang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain seperti epilepsi atau infeksi sistem saraf pusat.20

 Kejang demam kompleks dapat meningkatkan risiko kejadian epilepsi hingga 4%-6%.20

(24)

a. Meningitis

- Peradangan selaput jaringan otak dan medulla spinalis yang dapat disebabkan oleh bakteri patogen.18

- Sering didahului infeksi pada saluran nafas atas atau saluran cerna seperti demam, batuk, pilek, diare dan muntah serta saat pemeriksaan akan ditemukan ubun-ubun besar yang menonjol, kaku kuduk atau tanda ransangan meningeal (brudzinski dan kernig).18

- Untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis perlu dilakukan pemeriksaan cairan cerebrospinal dengan lumbal pungsi.20

b. Encephalitis

- Infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme (virus,bakteri,jamur dan protozoa) namun yang tersering adalah virus.18

- Gejala yang timbul antara lain demam tinggi mendadak (hiperpireksia), terdapatnya gejala peningkatan tekanan intrakranial dan tanda kelumpuhan tipe upper motor neuron (spastis, hiperrefleks, refleks patologis dan klonus).18

- Kejang pada encephalitis bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivus dan dapat ditemukan sejak awal ataupun kemudian dalam perjalanan penyakitnya.18

4. Keracunan Teofilin

Digunakan untuk mengatasi apneu pada bayi yang dilahirkan dengan persalinan yang sulit, efek samping penggunaan obat ini salah satunya yaitu kejang.

5. Encephalopati Hipertensi

Dapat terjadi pada hipertensi emergensi yaitu suatu keadaan yang menunjukkan tekanan darah yang harus diturunkan dalam waktu satu

(25)

jam karena didapatkan kejang, nyeri kepala, gangguan penglihatan atau payah jantung. 21

6. Tumor Otak

Tumor otak adalah keganasan nomor 2 yang sering terjadi pada anak setelah leukemia. Tumor otak supratentorial lebih sering menunjukkan gejala kejang dibanding tumor otak infratentorial. Untuk menegakkan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan MRI dan CT Scan.18

7. Perdarahan Intrakranial

Perdarahan intrakranial didiagnosis atas dasar riwayat, manifestasi klinis, ultrasonografi atau CT scan transfontanela kranium dan pengetahuan tentang risiko spesifik-berat badan lahir terhadap tipe perdarahan. Diagnosis perdarahan subdural pada bayi cukup bulan yang berat badan lahirnya besar menurut kehamilan (BBLB) dengan disproporsi kepala-panggul dapat tertunda 1 bulan sampai volume cairan subdural kronis bertambah menyebabkan sefalomegali, dominasi frontal, fontanela cembung, kejang-kejang dan anemia. Apajika neonatus sehat namun terdapat kejang-kejang, kemungkinan neonatus tersebut menderita perdarahan subarakhnoid ringan18

2.9. Tatalaksana

Dampak epilepsi terhadap anak lebih luas cakupannya daripada dewasa. Efek jangka panjang yang akan terjadi pada anak baik dari segi kesehatan fisiknya dan juga efek terhadap kehidupan anak sehari-hari. Untuk itu terapi pada epilepsi ini bukan hanya medikamentosa, tetapi juga disertai dengan terapi motivasi terhadap anak dan keluarga.11

Tatalaksana awal yang diberikan pada anak dengan kejang adalah penatalaksanaan emergensinya. Lalu dilanjutkan dengan mencari tahu penyebab dari serangan kejang.9

(26)

Manajemen yang dilakukan saat serangan terjadi adalah sebagai berikut: - Pindahkan dan jauhi penderita dari benda-benda yang dapat

mencelakai seperti api, air, atau jalan raya - Jauhkan penderita dari benda-benda tajam

- Longgarkan pakaian yang melekat pada penderita, dan lepaskan kacamata jika penderita mengenakan kacamata

- Letakkan benda yang lembut pada kepala

- Putar kepala penderita sehingga saliva dan mukus keluar dari mulut penderita

- Jangan letakkan benda apapun kedalam mulut penderita - Jangan beri penderita minum

- Jangan coba untuk menghentikan gerakan ataupun menahannya - Tetap berada didekat penderita sampai kesadaran penderita kembali - Biarkan penderita beristirahat dan melanjutkan aktivitas yang

sedang dilakukannya.

Gambar 1. Memposisikan Penderita saat Serangan

Selain dalam memposisikan, pada saat kejang diberikan juga antikonvulsan agar kejang dapat berhenti. Manajemen emergensi dalam penanganan kejang dapat dilihat pada gambar berikut:11

(27)

Skema 1. Penghentian Kejang22

Berdasarkan skema 1 pembagian kejang menurut waktu adalah: 1. 0 – 5 menit

- Longgarkan pakaian penderita, dan miringkan. Jika perlu letakkan kepala lebih rendah dari kaki penderita agar tidak terjadi aspirasi - Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik, berikan oksigen jika

ada.

- Berikan diazepam rektal 0,5mg/kg (berat badan < 10 kg = 5mg, sedangkan berat badan > 10 kg = 10 mg) dosis maksimal adalah 10 mg/dosis.

(28)

2. 5 – 10 menit

- Jika masih kejang, dapat diberikan diazepam rektal dalam dosis yang sama.

- Lakukan pemasangan akses intravena sekaligus mengambil darah untuk pemeriksaan darah rutin, glukosa, dan elektrolit.

- Jika masih kejang berikan diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena (kecepatan 5 mg/menit).22

3. 10 – 30 menit

- Pada waktu ini cenderung menjadi status konvulsifus

- Berikan fenitoin 20mg/kg intravena dengan pengenceran setiap 10 mg fenitoin dengan 1 ml NaCl 0,9% dan diberikan dengan kecepatan 50mg/menit. Dosis maksimal adalah 1g fenitoin.

- Jika kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20mg/kg intravena bolus perlahan-lahan dengan kecepatan 100mg/menit. Dosis maksimal yang diberikan adalah 1000mg fenobarbital. - Jika kejang masih berlangsung diberikan midazolam 0,2mg/kg

diberikan bolu perlahan dilanjutkan dengan dosis 0,02-0,06mg/kg/jam yang diberikan secara drip. Cairan dibuat dengan cara 15 mg midazolam berupa 3 ml midazolam diencerkan dengan 12 ml NaCl 0,9% menjadi 15 ml larutan dan diberikan perdrip dengan kecepatan 1ml/jam (1mg/jam).22

4. > 30 menit

- Jika kejang berhenti dengan pemberian fenitoin dan selama perawatan timbul kejang kembali, diberikan fenitoin tambahan dengan dosis 10mgkg intravena dengan pengenceran. Dosis rumatan fenitoin selanjutnya adalah 5 – 7 mg/kg intravena dengan pengenceran diberikan 12 jam kemudian

(29)

- Jika kejang berhenti dengan fenobarbital dan selama perawatan timbul kejang kembali, diberikan fenobarbital tambahan dengan dosis 10mg/kg intravena secara bolus langsung. Dosis rumatan fenobarbital adalah 5 – 7 mg/kg intravena diberikan 12 jam kemudian.

- Jika kejang berhenti dengan midazolam, maka rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap diberikan.

- Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan kebutuhan seperti analisis gas darah, elektrolit, gula darah. Dilakukan koreksi terhadap kelainan yang ada dan awasi tanda-tanda depresi pernafasan.22

Terdapat perbedaan antara penatalaksanaan kejang dari beberapa negara dengan penatalaksanaan kejang di Indonesia. Dimana pada awal kejang, IDAI menyarankan untuk pemberian diazepam baru diikuti dengan pemberian fenitoin dan fenobarbital jika kejang tidak berhenti. Sebaliknya, menurut guideline epilepsi dari Indian Pediatrik mengatakan seperti yang tergambar dalam skema berikut.

(30)

Skema 2. Penatalaksanaan emergensi penderita kejang23

Kejang dapat terjadi lebih dari satu kali dan penyebab lain untuk kejang harus diidentifikasi sebelum dilakukannya pengobatan rutin antiepilepsi. Tujuan dari identifikasi ini adalah untuk mencegah serangan kejang lebih lanjut baik sepenuhnya ataupun untuk mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan dengan sedikit mungkin efek samping.23

Obat antiepilepsi diberikan setiap hari selama bertahun-tahun atau terkadang seumur hidup sampai periode bebas kejang. Periode bebas kejang setidaknya dua tahun pada epilepsi idiopatik dan setidaknya tiga tahun pada epilepsi simtomatik. Setelah itu dosis dapat dikurangi secara bertahap selama berbulan-buln dan jika tidak kambuh lagi obat dapat dihentikan. Dalam kasus di mana epilepsi itu sangat berat sebelum pengobatan dimulai, atau jika terdapat lesi

(31)

otak, lebih baik untuk melanjutkan pengobatan lebih lama, karena kemungkinan kambuh dikemudian hari jauh lebih besar. Prinsip-prinsip bagaimana memulai pengobatan pada penderita yang baru didiagnosis diringkas sebagai berikut:9

- Hati-hati dalam menegakkan diagnosis

- Mulai pengobatan dengan satu jenis macam obat - Mulai pengobatan dengan dosis minimal

- Naikkan dosis secara bertahap sampai kejang terkontrol. Dosis ini merupakan dosis minimum pemeliharaan.

- Tujuan dari pengobatan adalah untuk mencapai dosis minimum pemeliharaan.

- Pengobatan dengan menaikkan dosis secara bertahap menghasilkan terapi secepat inisiasi dengan dosis besar tetapi dengan efek samping minimum.

- Efek samping berupa keracunan yang berat muncul pada awal pengobatan dengan dosis yang terlalu besar atau peningkatan terlalu cepat. Efek samping lainnya termasuk kelelahan, kebutuhan tidur yang berlebih, pusing, atau kesulitan belajar (ataksia).

- Jika obat yang diberikan tidak ditoleransi dengan baik (efek samping timbul atau dosis maksimum tidak menghentikan kejang) maka obat digantikan dengan obat antikonvulsan lain yang juga lini pertama.

- Antikonvulsan yang kedua harus ditambah secara bertahap dan antikonvusan pertama perlahan-lahan ditarik.

- Dalam kasus acute withdrawal syndrom, kekambuhan kejang digunakan diazepam

- Kepatuhan dalam meminum obat adalah kunci untuk mengontrol kejang dan konseling pada pada keluarga adalah faktor yang terpenting dalam kepatuhan9

(32)

Idealnya pemberian obat awal tergantung dari jenis epilepsi dan jenis yang terjadi. Tetap dalam prakteknya kembali kepada ketersediaan dan keterjangkauan obat. Karena pada awal kejadian kejang sulit menentukan jenis epilepsi yang terjadi, maka pengobatan biasanya dimulai sesuai dengan jenis kejang. Kejang yang umum terjadi adalah tonik-klonik. Terapi antiepilepsi yang digunakan untuk kejang ini ada empat jenis yang utama yakni fenobarbital, phenitoin, carbamazepin, dan valproate. Jika kita mampu membedakan antara kejang tonik-klonik primer dan sekunder, maka fenobarbital atau valproate digunakan untuk kejang klonik primer dan phenitoin atau carbamazepin untuk kejang tonik-klonik sekunder.23

1. Fenobarbital

Fenobarbital merupakan obat antikonvulsan yang efektif dan murah, tetapi penggunaan fenobarbital tidak lagi dianjurkan pada negara maju. Jika obat jenis ini satu-satunya obat yang ada, maka pengobatan semua penderita epilepsi dimulai dengan fenobarbital. Tetapi jika tidak ada perbaikan atau bahkan kondisi menjadi lebih buruk, penderita dirujuk ke pusat kesehatan lain yang memiliki obat antikonvulsan jenis lain.9

Efek samping utama fenobarbital adalah mengantuk terutama selama minggu pertama pengobatan dan perlahan-lahan menghilang, dan hanya berulang ketika dosis menjadi terlalu tinggi. Pada beberapa anak mungkin terdapat penurunan kinerja belajar atau perubahan perilaku, seperti hiperaktif dan kadang-kadang agresif. Fenobarbital memiliki waktu paruh yang panjang dan oleh karena itu akan memakan waktu beberapa minggu sebelum mencapai tingkat terapeutik dan efektif. Ini juga berarti bahwa obat ini dapat diberikan hanya sekali sehari, sebaiknya setelah makan malam sebelum tidur.9

Indikasi utama adalah epilepsi umum idiopatik. Tetapi juga cukup efektif dalam kejang umum lainnya dan kejang parsial. Hal ini tidak efektif dalam absen umum, dan mungkin memperburuk kejang malam hari, karena akan meningkatkan tidur. Ini adalah obat pilihan

(33)

ketika pengobatan profilaksis yang ditunjukkan untuk kejang demam, namun jika diazepam rektal dapat dengan mudah diperoleh dengan harga yang wajar maka obat ini bukan merupakan pengobatan profilaksis.9

2. Fenitoin

Phenitoin merupakan antikonvulsan yang sangat efektif untuk untuk kejang parsial, kejang tonik-klonik, dan kejang saat tidur. Tetapi phenitoin memiliki jarak yang kecil antara dosis terapeutik dan dosis toksik.9

Efek samping dari phenitoin adalah mengantuk, hipertropi gusi, dan hirsutisme. Jika dosis terlalu tinggi akan terjadi ataksia dan nistagmus. Jika gejala toksisitas telah muncul, dosis harus dihilangkan selama satu hari dan kemudian restart pada tingkat yang lebih rendah. Jika memungkinkan, mengganti obat ke antikonvulsan lain dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan lebih lanjut.9

Obat-obat dengan zat aktif yang sama banyak diproduksi dari pabrik yang berbeda. Dalam hal ini memungkinkan untuk terjadi perbedaan antara penyerapan obat satu dengan yang lainnya. Sebuah peningkatan dalam penyerapan dapat mengakibatkan efek toksik, sedangkan menurunnya sebuah penyerapan phenitoin dapat menyebabkan terulangnya kejang karena dosis terapeutik tidak tercapai.9

3. Carbamazepine

Carbamazepine adalah obat yang dipasarkan setelah tahun 1960. Indikasi utama pemakaian carbamazepine adalah untuk kejang parsial kompleks. Tetapi juga efektif untuk kejang parsial lainnya dan untuk semua tonik-klonik. Hal ini tidak efektif untuk absen umum dan kejang mioklonik. Pada awal pengobatan biasanya akan terjadi efek seperti mengantuk dan pusing, dan terjadi lagi ketika dosis menjadi

(34)

terlalu tinggi. Efek samping lain ada juga penglihatan ganda dan ataksia. Obat ini tidak memiliki waktu paruh yang lama dan karena itu tidak dapat diberikan sekali sehari. Obat ini harus diberikan dua kali sehari dan jika dikombinasikan dengan obat lain harus diberikan tiga kali sehari.9

4. Valproate

Valproatetelah dipasarkan sejak tahun 1966. Indikasi utama adalah absen umum, kejang mioklonik, dan serangan drop. Obat ini juga digunakan untuk kejang tonik-klonik. Jika perlu dapat digunakan untuk semua jenis kejang lainnya. Phenobarbitone tidak dapat digunakan sebagai profilaksis untuk kejang demam. Obat ini memiliki waktu paruh pendek. Walaupun farmakodinamik dalam sistem saraf pusat melebihi jumlah di serum, obat ini harus diberikan tiga kali sehari untuk menghindari konsentrasi puncak tinggi. Efek samping spesifik adalah peningkatan berat badan, rambut rontok, dan iritasi lambung.9

5. Diazepam

Diazepam digunakan untuk status epileptikus dan kejang demam. Diazepam harus diberikan secara intravena, tetapi jika tidak dapat akses intravena maka pemberian melalui rektum diperbolehkan.9

(35)

Dosis yang diberikan untuk masing-masing obat dapat dilihat dalam tabel berikut.

Jenis Obat Dosis (perhari) Efek Samping

Fenobarbital 3-8 mg/kg Hiperaktif, penurunan kinerja belajar, mengantuk Fenitoin 5-15 mg/kg Hipersutisme, ataxia,

Valparin 10-60 mg/kg Mual, muntah, peningkatan berat badan, rambut rontok Carbamazepine 10-30 mg/kg Mengantuk, pusing

Tabel 1. Dosis obat-obat epilepsi23

2.10. Prognosis

Prognosis dari epilepsi tergantung dari jenis epilepsi yang ada. Beberapa prognosis jenis epilepsi dijelaskan pada tabel berikut.

(36)
(37)

BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Epilepsi adalah bangkitan kejang tanpa didahului demam yang berfrekuensi lebih dari satu kali dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Berdasarkan etiologi, epilepsi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu, epilepsi simtomatik dan epilepsi idiopatik. Epilepsi dicetuskan oleh inaktivasi sinaps inhibisi atau oleh stimulasi berlebihan sinaps eksitasi atau perubahan keseimbangan neurotransmitter.

Faktor risiko yang diketahui dapat meningkatkan insiden epilepsi adalah kelainan kongenital pada sistem saraf pusat, trauma kepala sedang dan berat, infeksi cairan serebro-spinal, gangguan metabolik bawaan, dan faktor genetik. Faktor ini dapat dikelompokkan menjadi faktor prenatal, natal, postnatal, dan faktor herediter.

Diagnosis epilepsi ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan, fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang paling sensitif adalah elekroensefalografi (EEG). Penatalaksanaan epilepsi pada saat terjadi bangkitan kejang adalah sama dengan penatalaksaan kejang anak pada umumnya. Perbedaan terletak pada pengobatan jangka panjang yaitu sampai dua tahun periode bebas kejang.

3.2 Saran

Diharapkan tenaga kesehatan dapat mendiagnosis epilepsi secara dini sehingga dapat melakukan tata laksana secara tepat. Selain itu, diperlukan edukasi kepada keluarga mengenai epilepsi sehingga keluarga dapat berpartisipasi aktif dalam pengobatan penderita.

(38)

DAFTAR PUSTAKA

1. Shinnar S, Pellock JM. Update on the Epidemiology and Prognosis of Pediatric Epilepsy. J Child Neurol. 2002; 17:S4—S17.

2. WHO. Epilepsy. Diakses di http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs999/en/ pada 10 April 2014 pukul 20.15 WIB.

3. Cowan LD. The epidemiology of the epilepsies in children. Ment Retard Dev Disabil Res Rev. 2002;8(3):171-81.

4. Friedman MJ, Ghazala QS. Seizure in children. In Taheri PA, Naseri M, Lahooti M, Sadeghi M. The Life Time Prevalence of Chilhood Seizure. Iranian J Publ Health. 2009 Jan; 28(1):69-73.

5. Mandal A. Epilepsy Epidemiology. Diakses di http://www.news-medical.net/health/Epilepsy-Epidemiology.aspx pada 10 April 2014 pukul 19.05 WIB.

6. CDC. Targeting Epilepsy Improving the Lives of People One of The Nation’s Most Common Neurological Conditions. At a Glance. 2011; 1-4. 7. Soetamenggolo TS, Sofyan I. Kelainan Paroksismal dalam Buku Ajar

Neurologi anak. IDAI;(10):190.

8. Kliegman RM, Behrman, Richard E, Jenson. Nelson Textbook of Pediatric, 18th ed. 2007.

9. WHO. Epilepsy:Manual For Medical and Clinical Officer in Africa.Geneva;2002;3-4

10. Major P, Thiele EA. Seizure in children: laboratory, diagnosis, and management. Pediatri Rev 2007;28:405-14.

11. Shorvon S. Definition and Epidemiology in Handbook of Epilepsy Treatment. Ed.3 2010:1-2.

12. Suwarba, IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi Pada Anak. Saripediatri. Vol.13;2;2011;123-28.

13. Risan NA. Aspek Genetik Pada Epilepsi dalam PIKAB VII Tatalaksana Terkini di Bidang Nefrologi, Neuropediatri dan Respirologi untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Anak dari Ilmu Dasar ke Aplikasi Klinis. (ed) Garna H. 2009; 93-99.

14. Raharjo TB. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi pada Anak Dibawah Usia 6 Tahun.Tesis, Magister Biomedik dan Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro Semarang. 2002.

(39)

15. Ropper A. Brown R. Adam And Victor’s Principle of Neurology. In Epilepsy And Other Seizure Disorders. 2005; 285-86.

16. Engelborghs S, D’hooge R, Deyn PPD. Pathophysiology of Epilepsy. J Acta Neurol. 2000; (100):210-13.

17. Sunaryo U. Diagnosis Epilepsi dalam Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. 2007;1:1

18. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Indonesia. (Ed) Antonius HP, Badriul H, Septio H, Nikmah SI, Ellen PG, Eva DH. Jil.1. 2010. 19. Weiner HL. Buku Saku Neurologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2001:

227.

20. Hardjono DP, Widodo DP, Ismael S. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2006; 1-7.

21. Nanan S, Rachmadi D, Hilmanto D. Tatalaksana Hipertensi pada anak. Jakarta:Unit Kerja Koordinasi Nefrologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011; 11.

22. WHO, Depkes RI. Tatalaksana Kejang dalam Pelayanan Kesehatan Anak di rumah Sakit: Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. 2008. Hal:16-17.

23. Naek N. Guideline for Diagnosis and Management of Childhood Epilepsy. Indian Pediatric. 2007;46:683.

Gambar

Grafik 1 Grafik penyebab epilepsi berdasarkan usia 9
Gambar 1. Memposisikan Penderita saat Serangan
Gambar II.4. Prognosis Epilepsi 9

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gangguan perilaku dan pengaruh onset kejang, frekuensi kejang, tipe kejang, lama menderita epilepsi dan obat

Efek samping: ekstrak daun ivy telah ditoleransi dengan baik, dengan efek samping umumnya terbatas pada reaksi gastrointestinal; sangat jarang juga reaksi

Pemberian obat antiepilepsi yang lama dapat timbul berbagai macam efek samping gangguan pertumbuhan, gangguan tulang seperti osteopenia, osteoporosis dan fraktur.. Untuk

Memberikan informasi tentang obat yang diberikan kepada pasien meliputi : nama obat, tujuan pengobatan, cara pakai, lamanya pengobatan, efek samping yang mungkin timbul,

Jika Anda mengalami efek samping tertentu saat meminum IBRANCE (lihat bagian “8. Efek yang tidak diinginkan”), dokter Anda dapat menurunkan dosis atau menghentikan pengobatan,

Obat dalam menekan produksi asam lambung lebih baik dari AH 2 pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu.

Penelitian ini secara retrospektif meneliti efek pemakaian jangka panjang obat anti epilepsi baik yang monoterapi maupun politerapi, durasi, dosis terhadap kadar fungsi hati

Penelitian ini secara retrospektif meneliti efek pemakaian jangka panjang obat anti epilepsi baik yang monoterapi maupun politerapi, durasi, dosis terhadap kadar fungsi hati