• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Kantor Urusan Agama (KUA) dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perkawinan Beda Agama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peranan Kantor Urusan Agama (KUA) dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perkawinan Beda Agama"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA SAKINAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG

PERKAWINAN BEDA AGAMA Danu Aris Setiyanto

Email: danuaris07@gmail.com

Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

ABSTRAK

Penelitian ini difokuskan tentang peran Kantor Urusan Agama (KUA) dalam sosialisasi kepada masyarakat tentang perkawinan beda agama pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis. Tujuan penelitian ini adalah memberikan penjelasan secara substansi hukum terutama KUA dalam menangangi kasus perkawinan beda agama. Putusan MK menolak permohonan pemohon yang mengajukkan yudicial review Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Hasil penelitian ini adalah bahwa secara hukum, putusan MK sebaiknya menjadi perhatian khusus untuk KUA sebagai salah satu agen negara pencatat perkawinan. KUA sebagai pelaksana UU Perkawinan memiliki peran sosialisasi yang penting baik sebelum dan sesudah perkawinan yang dicatatkan agar terbentuk keluarga sakinah. Apabila terjadi kasus perkawinan beda agama, maka KUA berhak memberikan sosialisasi tentang perkawinan beda agama baik yang akan terjadi ataupun yang telah terjadi dengan berbagai pendekatan hukum yang tegas baik hukum Islam dan Hukum perkawinan di Indonesia.

Kata kunci: Kantor Urusan Agama, Pernikahan Beda Agama, Mahkamah Konstitusi

ABSTRACT

This study focused on the role of the Religious Affairs Office (KUA) in the dissemination to the public about interfaith marriage after the decision of Constitutional Court. As for the approach in this study is juridical. Purpose of this study is to provide an explanation in substance KUA law, especially in cases of interfaith marriage. Constitutional Court’s decision to reject the applican’t application to judicial review Article 2, paragraph 1of Law Marriage (UUP). The results of this study are KUA should have special attention to decision of the Court as one of the state agencies marriage registrar. KUA as the executor of the Marriage Law has an important role socialization both before and after marriage registered in order to form harmonious family. In case of interfaith marriage, then KUA entitled to provide socialization on interfaith marriage good is going to happen or has happened with various strict legal approach both Islamic law and the law of marriage in Indonesia.

(2)

A.Pendahuluan

Perkawinan merupakan fitrah manusia untuk meredam segala gejolak biologis dan psikologis dalam diri manusia. Oleh sebab itu, perkawinan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan baik dari sisi hukum agama maupun hukum suatu negara. Hukum agama berperan dalam arti pertanggungjawaban kepada agama masing-masing mempelai, sedangkan hukum negara berperan dalam mengatur hubungan sosial antar warga negara itu sendiri.Seorang laki-laki dan perempuan yang melakukan perkawinan maka berarti terikat dalam ikatan suci dan perjanjian yang kokoh untuk menciptakan keluarga sakinah. Dalam Islam, untuk mencapai keluarga yang sakinah tersebut dianjurkan dengan perkawinan antara dua orang yang seagama. Perkawinan beda agama dalam Islam diatur dengan sangat ketat dan bahwa bisa dikatakan bahwa perkawinan beda agama adalah hal yang dilarang.

Perkawinan beda agama secara fakta merupakan persoalan yang menjadi perdebatan dalam hukum keluarga.1 Di Indonesia sendiri perkawinan beda agama mengalami perubahan sejak sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis UUP atau UU Perkawinan) dan setelah adanya UU Perkawinan. Namun walaupun ada perubahan secara regulasi tetapi hal itu tetap saja dianggap beberapa pihak bahwa pengaturan perkawinan beda agama tidak tegas dan dianggap telah ada ketidakjelasan/penyelundupan hukum di dalamnya. Dalam UU Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing.2 Bukan hanya itu saja pelaksanaan perkawinan beda agama terkadang menimbulkan masalah lain seperti keabsahan pernikahan yang berakibat konflik hak dan kewajiban suami dan isteri; hak waris mewarisi suami isteri dan anak; masalah pengadilan untuk menyelesaikan perkawinan beda agama.3

Lebih lanjut, yudicial reviewdi Mahkamah Konstitusi tentang regulasi perkawinan beda agama juga telah diajukan oleh para pemohon4 yang merasa dirugikan dengan adanya UU Perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1). Perkara tersebut juga telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK menyatakan penolakan seluruhnya tentang uji materiil UUP yang diajukan oleh pemohon. Permohonan pemohon ditolak seluruhnya oleh MK5 karena dinilai tidak beralasan menurut hukum.6 MK justru menilai bahwa negara

1 Yusdani, Menuju Fiqh Progresif, (Yogyakarta: Kaukaba, 2015), 22-23.

2Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

3

M. Kasayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta; Total Media, 2006), 89-90.

4Pemohon tersebut adalah tiga konsultan hukum dan satu orang mahasiswa, Damian Agata Yuvens, Varita, dan

Megawati Simarmata. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, 1-2.

5Putusan MK ini diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada hari Kamis, 18 Juni 2015; Ibid.,154. 6Ibid., hlm. 153.

(3)

harus mengeluarkan peraturan dengan nilai agama, moral, keamanan, dan ketertiban umum. Menurut MK perkawinan beda agama justru tidak menimbulkan kepastian hukum. Selain itu, pembatasan dalam perkawinan beda agama akan bisa memberikan kebahagiaan dalam melaksanakan perkawinan.7

Pada sisi lain, peran KUA merupakan hal yang penting sebagai salah satu agen dari negara yang berperan memberikan penerangan terhadapa segala hal yang berkaitan dengan perkawinan beda agama. KUA sebagai salah satu pelaksana Undang-undang tentu memiliki kewenangan dalam memberikan sosialisasi tentang perkawinan sesuai dengan undang-undang perkawinan. Dalam hal ini, peran KUA juga dikuatkan dengan adanya Kompilasi Hukum Islam, putusan MK dan peraturan lain yang terkait dengan tugas dan wewenangnya.

Dari uraian di atas, jelas bahwa perkawinan beda agama menjadi isu kontroversial dan problematika yang berakibat adanya perbedaan-perbedaan baik secara hukum positif maupun secara fakta. Padahal hakikat perkawinan adalah untuk mencapai keluarga yang sakinah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, peranan KUA dalam hal ini sangatlah penting sebagai salah satu agen negara yang berhak mencatatkan perkawinan serta memiliki kemampuan dalam sosialiasi kepada masyarkat untuk mencapai keluarga yang sakinah. Permasalahan tersebut semakin runcing setelah adanya putusan MK yang bersifat final dan menolak pengajuan uji materiil Pasal 2 ayat (1) UUP. Sehingga dalam hal ini, terdapat kegelisahan akademik yang ingin diteliti adalah bagaimanakah peran KUA dalam sosialisasi pernikahan beda agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi untuk Mencapai Keluarga Sakinah. Analisis dalam tulisan ini difokuskan pada teori peran KUA yang berkaitan dengan hukum perkawinan di Indonesia. Jenis penelitian ini merupakan penelitian pustaka.

B.Metode dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi pustaka yang berkaitan dengan perkawinan beda agama. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 dan KMA No. 34 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan. Adapun data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari beberapa referensi yang terkait perkawinan beda agama dan peranan KUA baik itu dari buku, jurnal dan peraturan perundang-undangan.

Pembahasan dalam penelitian ini merupakan upaya menggali permasalahan substansif secara hukum yang berkaitan dengan perkawinan beda agama. Untuk

(4)

mendapatkan analisis yang tepat sesuai objek penelitian maka penelitian ini menggunakan teori hukum positifisme atau teori hukum murni. Teori hukum ini menekankan bahwa sebuah hukum yang tertulis harus ditaati oleh sebuah masyarakat wilayah tertentu. Sehingga segala hal yang berkaitan tentang sebuah fenomena yang tidak dibenarkan secara hukum normatif harus diabaikan untuk mencapai keadilan substansif.

Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis. Sehinga dalam penelitian ini tidak terlepas dari beberapa peraturan perundang-undangan. Peraturan yang dimaksud terkait erat dengan sistem perkawinan di Indonesia terutama tentang perkawinan beda agama. Oleh sebab itu, maka dalam hal ini tidak terlepas dari beberapa pasal dan peraturan untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini.

Tujuan dalam penelitan ini adalah untuk menambah wawasan pengetahuan kepada masyarakat dalam mencapai keluarga sakinah, memberikan masukkan dan saran kepada KUA dalam sosialisasi pentingnya keluarga sakinah terutama dalam menanggapi isu perkawinan beda agama seteah putusan MK, memberikan pertimbangan secara legal formal kepada instansi dan pihak-pihak terkait yang berfungsi dalam penegakkan hukum keluarga di Indonesia.

C.Keluarga Sakinah Perspektif Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia 1. Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam

Islam merupakan ajaran agung yang memiliki cita-cita yang mulia dalam membentuk masyarakat dengan segala tatanan kebersamaan hidup. Hal ini dapat dipahami karena Islam selalu memperhatikan permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam lingkup yang sempit, Islam sangat memperhatikan segala hal yang berkaitan dengan keluarga. Agama Islam menekankan bahwa dalam sebuah keluarga merupakan organisasi penting bagi setiap pasangan untuk menjadi memadu kasih sayang, cinta, dalam kebersamaan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Hal ini didasari sebuah konsep dalam Islam bahwa pernikahan adalah sebuah ikatan suci dan bukan sebatas hubungan perdata semata. Perkawinan dalam Islam harus diwujudkan dalam sebuah tujuan yang jelas yaitu keluarga yang sakinah.

Setiap muslim yang memiliki keluarga tentu saja mengidamkan keluarga yang sakinah. Oleh sebab itu, maka kemudian ada beberapa konsekuensi yang harus dilakukan, diantaranya adalah mengikuti pola hidup yang benar dan lurus. Terkait dalam hal ini, yaitu mengikuti perikehidupan Rasulullah SAW. Kata sakinah dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak enam kali, yakni pada surat al-Baqarah ayat 248, surat

(5)

at-Taubah ayat 26 dan 40, dan surat al-Fath ayat 4, 18, dan 26.8 Sakinah ditegaskan dalam al Qur’an diberikan hanya kepada para Nabi dan orang-orang yang beriman. Sakinah yang berarti ketenangan tersebut akan menimbulkan sifat lain yaitu saling mengasihi dan menyanyangi (mawaddah) serta tanggungjawab kedua belah pihak semakin tinggi.

Al-Quran sebagai pedoman hidup seorang muslim menyebutkan bahwa tujuan salah satu perkawinan adalah menciptkan keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an Surat ar-Rum ayat 21. Apabila ditelaah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sakinah bermakna kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebahagiaan. Sedangkan kata mawaddah memiliki makna kasih sayang, dan rahmat berarti belas kasih, rahim, anugrah, ganjaran, limpahan, restu, berkah. Dalam tulisan A. M Ismatulloh dijelaskan bahwa mawaddah mengandung pengertian filosofis adanya dorongan batin yang kuat dalam diri sang pencipta untuk senantiasa berharap dan berusaha menghindarkan orang yang dicintainya dari segala hal yang buruk, dibenci dan menyakitinya. Selanjutnya dijelaskan bahwa rahmah adalah kelembutan hati dan perasaan empati yang mendorong seseorang melakukan kebaikkan kepada pihak lain yang patut dikasihi dan disayangi.9

M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa makna kata sakinah dalam Q.S ar-Rum: 21 adalah berasal dari kata sakana yang berarti diam, tenang setelah sebelumnya goncang dan sibuk. Penggunaan kata sakan yang artinya rumah, merupakan tempat untuk melahirkan ketenangan setelah ditinggal penghuninya. Adapun yang dimaksud ketenangan dalam ayat ini adalah ketenangan seseorang setelah melakukan perkawinan. Hal ini karena disebabkan adanya ketidaksempurnaan manusia apabila setiap jenis kelamin, baik itu laki-laki atau wanita, yang berdiri sendiri. Dalam hal ini Allah memberikan adanya naluri seksual yang bisa menimbulkan gejolak jika penggabungan dan kebersamaan dengan pasangan tidak terpenuhi. Sehingga dengan adanya pensyariatan perkawinan, maka segala gejolak jiwa dan kekacauan pikiran dapat mereda, dan memperoleh dan mendapatkan ketenangan.10

Keluarga sakinah berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Pemiihan Keluarga Sakinah dalam Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/191 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemilihan Keluarga Sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan

8Ahmad Zaini, “Membentuk Keluarga Sakinah Melalui Bimbingan dan Konseling Pernikahan”, Konseling Religi: Jurnal

Bimbingan Konseling Islam”, Vol. 6, No. 1, Juni 2016, 91.

9A. M Ismatulloh, “Konsep Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah dalam Al Qur’an (Prepektif Penafsiran Kitab

al-Qur’an dan Tafsirnya)”, Mazahib:Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. XIV, No. 1 (Juni 2015), 54-55.

10M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur’an,Cet. I,(Jakarta: Lentera Hati,

(6)

spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi, serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia dalam kehidupan bermasyarakat.11

Dengan segala penjelasan makna keluarga sakinah di atas, maka dapat dipahami bahwa keluarga sakinah adalah hal yang sangat penting. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Khoiruddin Nasution. Dia menekankan bahwa makna dan terwujudnya keluarga sakinah adalah hal yang penting. Keluarga sakinah merupakan tujuan perkawinan itu sendiri berdasarkan apa yang disebutkan dalam al-Qur’an surah ar-Rum ayat 21. Posisi keluarga yang merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat, bangsa, dan negara menjadikan keluarga menjadi kunci terbangunnya suatu masyarakat yang sakinah. Hal ini bermakna bangsa yang sakinah harus dimulai dari keluarga yang sakinah pula.12

2. Keluarga Sakinah dalam Perspektif Hukum Perkawinan di Indonesia

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan istilah keluarga sakinah. Namun hanya ditemukan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan kebahagiaan yang kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.13 Dalam mencapai tujuannya tersebut, maka suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

Hukum perkawinan di Indonesia memiliki peran yang penting dalam menciptakan keluarga sakinah. Peran penting tersebut adalah peran dalam bidang hukum itu sendiri, baik dimaknai secara luas maupun sempit. Hal itu terkait dengan fungsi hukum sebagai kepastian hukum, mengatur tingkah laku masyarakat, pemberian rasa aman, pengayoman, keadilan, dan pembentuk suatu tatanan masyarakat. Sehingga kemudian juga dapat disebut social of engineering.

Undang-undang perkawinan merupakan unifikasi hukum perkawinan di Indonesia. Perkawinan di Indonesia telah mengatur di di dalamnya secara rinci secara agama dan secara hukum negara untuk membentuk keluarga sakinah. Eksistensi Undang-undang perkawinan merupakan peran negara dalam menciptakan masyarakat

11

Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/191 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemilihan Keluarga Sakinah.

12Khoiruddin Nasution, “Arah dan Pembangunan Hukum Keluarga: Pendekatan Integratif dan Interkonektif

dalam membangun Keluarga Sakinah”, Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 46, No. I, Januari-Juni 2012, 99-100.

(7)

yang damai, tenang dan bahagia melalui keluarga sebagai institusi terkecil dalam suatu negara.Melalui undang-undang perkawinan, negara dapat mengatur segala hal yang terkait dengan perkawinan. Pengaturan tersebut meliputi dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, dan sebagainya. Lebih lanjut, undang-undang perkawinan telah menetapkan azas-azas penting, yaitu asas sukarela, asas partisipasi keluarga dan dicatat, asas monogami, asas perceraian dipersulit, asas kematangan calon mempelai, asas memperbaiki derajat kaum wanita.14

Dengan segala penjelasan di atas, maka dapat kita ketahui bahwa dengan adanya pelaksanaan Undang-undang perkawinan diperuntukan bagi warga negara Indonesia supaya tentram dan bahagia dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Selain itu, Undang-undang bertujuan untuk menjamin cita-cita luhur dari perkawinan. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa negara telah berupaya menyatukan dimensi batin atau agama dengan dimensi lahiriyah atau dimensi berusaha untuk mencapai keluarga sakinah dalam undang-undang perkawinan.

D. Problematika Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Peraturan mengenai perkawinan beda agama sebelum adanya UU Perkawinan sebenarnya sudah mengalami beberapa perubahan. Pada masa VOC perkawinan beda agama adalah merupakan hal yang dilarang terutama orang Eropa yang beragama Nasrani dan orang Pribumi yang beragama non-Nasrani. Namun karena VOC merugi, akhirnya VOC diambil alih resmi oleh Belanda. Sejak saat itulah Belanda mengukuhkan penjajahannya. Di bidang hukum, Belanda memisahkan berdasarkan sekat asal-usul, dan hukum adat. Selanjutnya, politik hukum Belanda berusaha memisahkan antara hukum Islam dari masyarakat dan mengutamakan berlakunya hukum adat. Pemerintah Belanda juga menerapkan penggolongan penduduk dan penerapan hukum-hukum yang berbeda-beda di setiap golongan dan mengurangi pemberlakuan hukum Islam di masyarakat.15

Sebelum adanya UU Perkawinan di Indonesia terdapat bermacam-macam peraturan yang mengatur perkawinan bagi golongan masyarakat, mulai dari hukum adat sampai hukum agama.16 Peraturan perkawinan dibagi menjadi empat, yaitu: bagi orang

14

Penjelasan UU Perkawinan.

15

Sri Wahyuni, “Politik Hukum Perkawinan dan Perkawinan Beda Agama di Indonesia”, Jurnal Pusaka,

Malang: Vol. , No. 2, Januari-Juni 2014, 6-7.

16Muhammad Ashsubli, “Undang-Undang Perkawinan dalam Pluralitas Hukum Agama (Judicial Review Pasal

Perkawinan Beda Agama, Jurnal Cita Hukum, Jakarta: Vol. II No. 2 Desember 2015, hlm. 290. Pemerintah Kolonial Belanda berdasarjan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling), Stb. 1855 Nomor 2, membedakan penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu: Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, dan Golongan Bumi

(8)

Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Islam yang sudah diresepir dalam Hukum Adat; bagi orang Indonesia asli berlaku Hukum Adat; bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie Cristen Indonesier atau disingkat HOCI (Stb. 1933 No. 74); bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa dan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa berlaku KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek); bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan keturunannya berlaku hukum adat mereka; dan bagi orang Eropa dan Warga Negara Indonesia Keturunan Eropa berlaku KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek).17

Berbagai macam aturan tersebut di atas telah menyebabkan berbagai masalah tentang perkawinan terutama ketika perkawinan dilakukan oleh dua orang yang berbeda golongan asal daerah atau berbeda agama. Maka pemerintah Belanda saat itu memberikan pengaturan dalam bentuk Penetapan Raja tanggal 29 Desember 1896 No.158 (Stb 1898 No.158) yang merupakan peraturan tentang Perkawinan Campuran atau Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR).18 Sisruwadi menjelaskan bahwa dalam Staatblad 1896 No. 158 dikenal dengan perkawinan campuran. Perkawinan dalam Staatblad tersebut ada empat jenis, yaitu: perkawinan campuran internasional, perkawinan campuran antar tempat, perkawinan campuran antar golongan, dan perkawinan campuran antar agama.19

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa perkawinan beda agama pada mulanya disebut pula dengan perkawinan campuran atau hanya salah satu jenis dari perkawinan campuran. Hal ini tercantum dalam GHR Pasal 1. Dalam Pasal 1 GHR dinyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan. Perbedaan yang dimaksud dalam pasal ini mencakup dua perbedaan hukum, yaitu perbedaan agama dan perbedaan kewarganegaraan.20

Pasal 7 ayat (2) GHR menegaskan bahwa perbedaan agama, bangsa atau asal itu sama sekali bukanlah halangan perkawinan. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum adanya UUP, perkawinan dapat dilakukan tanpa melihat perbedaan agama, bangsa atau

putra. Wiratni Ahmadi, “Hak dan Kewajiban Wanita dalam Keluarga Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Bandung: Vol. 26 No. 1, 2008, 371.

17Wiratni Ahmadi, “Hak dan Kewajiban Wanita dalam Keluarga Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Bandung: Vol. 26 No. 1, 2008, 371.

18

Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri: Kajian Filosofis, Yuridis, Prosedural, dan Sosiologis, (Yogyakarta: SUKA-Press, 2014), 149-150.

19Sisruwadi, Praktek Perkawinan Beda Agama dalam Masyarakat Indonesia, slide dipresentasikan dalam

seminar sehari yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Yogyakarta, 4.

20Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-masalah Krusial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),

(9)

asal. Perkawinan beda agama sebelum adanya UUP adalah tindakan hukum yang sah yang diatur dalam GHR dan pelaksanaannya dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil.21

Beberapa pasal yang terkait dengan perkawinan beda agama terdapat dalam UU Perkawinan, yaitu: Pasal 2, Pasal 8 (f), Pasal 57, dan Pasal 66. Adanya beberapa Pasal di atas menunjukkan bahwa perkawinan beda agama telah diatur dalam beberapa Pasal UU Perkawinan. Namun beberapa ahli hukum berbeda pendapat tentang kebolehan atau larangan perkawinan beda agama di Indonesia.22

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang perkawinan menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yangan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.23 Pasal ini memberikan pengertian bahwa perkawinan beda agama pada dasarnya tidaklah diperkenankan karena perkawinan yang sah adalah yang dilakukan oleh orang yang memiliki kesamaan agama dan kepercayaan. Pasal ini juga menegaskan bahwa perkawinan harus dilakukan menurut ketentuan agama, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh UU Perkawinan.24 Sedangkan dalam Pasal 8 UU Perkawinan ditegaskan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Lebih lanjut, M. Ashary memberikan contoh berkenaan dengan Pasal 2 ayat (1) di atas. Dia menjelaskan apabila yang melakukan perkawinan adalah perempuan beragama Kristen dengan laki-laki beragama Islam, maka tidaklah mungkin kemudian dilakukan akad dua kali, sekali menggunakan agama Kristen dan sekali menggunakan agama Islam. Menurutnya, perbuatan hukum hanya bisa dilakukan dengan sekali akad untuk menjamin kepastian hukum. Apabila dilakukan dua kali akad maka justru tidak ada kepastian hukum. Selain itu, perkawinan tersebut juga sangatlah rumit dalam alat bukti, jika perkawinan menurut Islam maka dicatatkan perkawinannya tersebut di KUA, dan

21Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama, 150.

22Zaidah Nur menegaskan bahwa perkawinan beda agama setelah adanya UU Perkawinan tidak diatur secara

jelas dan tegas.

23Penjelasan dari Pasal ini berbunyi: “Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”. Ermi Suhasti menjelaskan bahwa dalam pasal ini terdapat ketentuan bahwa perkawinan sah apabila mengikuti satu agama. Orang Islam hanya bisa mengikuti tatacara perkawinan dalam Islam, sehingga tidak mungkin dia melaksanakan perkawinan dengan nonmuslim dan mengikuti tata cara pelaksanaan perkawinan nonmuslim. Hal ini juga berlaku sebaliknya kepada nonmuslim. Menurutnya perkawinan juga tidak bisa dilaksanakan dengan mengikuti tatacara pelaksanaan dua agama sekaligus. Ermi Suhasti, “Harmoni Keluarga Beda Agama Di Mlati, Sleman, Yogyakarta”, Jurnal Asy-Syir’ah, Yogyakarta: Vol. 45, No. 1, 2011, 1234.

24Zaedah Nur Rosidah, “Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan Mengenai Perkawinan Beda Agama”, Al-Ahkam: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Surakarta: Volume 23, Nomor 1, April 2013, 11.

(10)

apabila dia melakukan perkawinan secara Kristen maka dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Dua akad perkawinan inilah yang juga bisa dipermasalahkan sebagai bukti perbuatan hukum.25 Wiratni juga menjelaskan bagi orang yang beragama Islam, dalam melangsungkan perkawinan harus berdasarkan Hukum Islam, dan tidak mungkin dirinya kemudian melanggar hukum agama Islam. Hal ini juga berlaku kepada agama yang lain, yaitu: Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan kepercayaannya masing-masing.26

Pasal 57 UU Perkawinan menegaskan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Sehingga dalam hal ini makna perkawinan campuran sebelum dan sesudah adanya UU Perkawinan mengalami perubahan makna.27 Menurut GHR, perkawinan campuran merupakan perkawinan antara dua orang yang beda agama atau beda kewarganegaraannya. Sedangkan dalam UU Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan yang terjadi antara WNI dan WNA saja.28 Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan sah apabila orang yang melakukan perkawinan berbeda kewarganegaraan tetapi memiliki agama yang sama.29

Pendapat lainnya, tentang perkawinan beda agama disampaikan oleh Sirman Dahwal. Dia berpendapat bahwa dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia harus diakui masih terpengaruh dengan hukum peninggalan Belanda.30 Menurutnya perkawinan beda agama di Indonesia belum diatur sepenuhnya secara jelas dan rinci dalam UU Perkawinan. Sehingga perkawinan beda agama diatur dan bersandarkan pada hukum sebelumnya.31 Hal inilah yang digunakan pegangan para hakim di Pengadilan dalam mengabulkan permohonan perkawinan beda agama. Sehingga bagi pasangan beda agama masih terdapat pilihan hukum (choice of law) untuk melangsungkan perkawinannya.32

25

M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, 56.

26Wiratni Ahmadi, “Hak dan Kewajiban Wanita”, 370.

27M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-masalah Krusial, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta,

2010), 50.

28Zaedah Nur Rosidah, “Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan”, 11. Perkawinan campuran menurut UU

Perkawinan dapat mengakibatkan memperoleh kewarganegaraan suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan UU Perkawinan Pasal 58.

29

Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia, 52.

30Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 66 UU Perkawinan beserta penjelasannya dan pelaksanaanyaPeraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Hal ini juga dijelaskan dalam penjelasan umum Nomor. 5 bahwa, “apabila mengenai suatu hal undang-undang ini tidak mengaturnya dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada”. Selain itu, juga ada dalam penjelasan Pasal 47 PP Nomor 1975 mengemukakan bahwa, “dengan berlakunya peraturan Pemerintah ini, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam peraturan pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku”.

31

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Penjelasan Umum Nomor 5 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 Tahun 1975.

(11)

E.Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Perkawinan Beda Agama

Pada tanggal 4 Juli 2014, tiga konsultan hukum dan seorang mahasiswa (selanjutnya disebut sebagai pemohon) yaitu Damian Agata Yuvenus, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi mengajukan permohonan judicialreview ke MK. Pemohon mengajukan permohonan yudicial review terhadap pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal tersebut menyatakan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.”33

Adapun keseluruhan alasan pemohon dituliskan dalam rincian alasan pemohon yang dibagi menjadi dua alasan, yaitu alasan uji materiil dan alasan uji formil34. Para pemohon merinci alasan uji materiil permohonannya menjadi lima alasan dan tiga alasan secara formal. Pemohon menyatakan ada beberapa hal yang menjadi alasan uji materiil yaitu:

a. Adanya penghakiman negara terhadap warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan melalui Pasal 2 ayat (1) dinilai melanggar pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;35

b. Adanya pembatasan dalam melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga yang sah terkait dengan Pasal 2 ayat (1) melanggar Pasal 28E ayat (1) UUD 1945;36 c. Adanya ruang penafsiran yang amat luas dan menimbulkan pertentangan antara

norma sehingga tidak dapat menjamin terpenuhinya hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (10 UUD 1945;37

d. Adanya pertentangan dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan terhadap Pasal 27 ayat (10 dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 mengenai hak atas persamaan di hadapan hukum dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 mengenai kebebasan dari perlakuan diskriminatif;38

e. Adanya pembatasan hak dan kebebasan yang tidak sesuai dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.39

Sebagaimana pernyataan pemohon maka Mahkamah Konstitusi menguji konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

33

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, 2-3.

34MK berpendapat bahwa bahwa pemohon terkait uji formil karena telah melewati masa tenggat 45 (empat puluh

lima) hari setelah Undang-undang perkawinan a qua dimuat dalam Lembaran Negara. Maka MK tidak dapat mempertimbangkan permohonan pengujian formil yang diajukan para pemohon berdasarkan Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009. Ibid., 150. 35Ibid, 16-22. 36Ibid., 22-26. 37 Ibid., 26-35. 38Ibid., 36-38. 39Ibid., 38-45.

(12)

Perkawinan terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2)40, Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2)41 UUD 1945, MK kemudian mempertimbangkan kewenangannya dan kedudukan para pemohon. Dalam Hal ini MK berpendapat bahwa MK memiki kewenangan untuk memeriksa pemohon dan pemohon secara konstitusi termasuk warga negara Indonesia yang berhak mengajukan permohonan yudicial review. Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa pemohon mengalami kerugian secara konstitusional.42

Dalam pertimbangan hukum MK kemudian memeriksa keterangan dari pemohon, keterangan Presiden, keterangan pihak terkait, keterangan dari beberapa tokoh/ organisasi agama di Indonesia dan saksi ahli. Beberapa organisasi agama tersebut adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Perwakilan Umat Budha Indonesia, Konferensi WaliGereja-gereja Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu. Para pemohon dalam permohonannya mengajukan saksi dari Tim Advokasi Untuk Kebhinekaan, serta bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh pemohon.43

Selanjutnya, MK memberikan beberapa pendapat terkait apa yang dipermohonkan oleh pemohon. Pertimbangan MK yang pertama tentang hubungan perkawinan dan prinsip Ketuhanan dalam pembukaan UUD 194544 dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. MK berpendapat bahwa setiap warga negara dalam setiap tindakannya berhubungan erat dengan agama. Termasuk tindakan seorang warga negara dalam hal ini adalah perkawinan. MK mempertegas bahwa perkawinan merupakan hak konstitusional warga negara yang harus dilindungi dan dihormati oleh negara. Hak konstitisional dalam hal ini terkandung kewajiban penghormatan atas hak konstitusional orang lain. Sehingga untuk menghidari adanya benturan terkait hak konstitusional tersebut maka negara diperlukan aturan dalam pelaksanaanya.45

Selanjutnya, MK mempertimbangkan terkait dalil pemohon adanya pelanggaran hak konstitusional untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga hak secara sah. Dalam hal ini pemohon menyatakan bahwa pasal 2 ayat (1) UU

40Pasal 28E ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyakini pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

41Pasal 29 ayat (2) UUD 1945: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

42Kerugian tersebut sebagaimana dimaksud dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005,

bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, 145-149.

43Ibid.

44Dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa “... yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.

(13)

Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, maka MK berpendapat bahwa setiap warga negara harus tunduk terhadap segala apa yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Ketundukan masing-masing warga ini dimaksudkan demi terwujudnya pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Selain itu, juga dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Hal ini secara keseluruhan demi mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Terkait dengan hal ini MK berpendapat bahwa UU Perkawinan dianggap telah mampu mewujudkan prinsip-prinsip tersebut dan telah mampu menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat.46

Adapun pertimbangan MK terkait pemohon dirugikan karena Pasal 2 ayat (2) beranggapan ada unsur “memaksa” setiap warga negara untuk mematuhi hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dalam bidang perkawinan, maka MK berpendapat bahwa perkawinan adalah permasalahan yang telah diatur dalam bidang hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, setiap hal yang berkaitan dengan urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.47

Lebih lanjut MK menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan tentang perkawinan untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara. Dijelaskan lebih lanjut ditegaskan bahwa perkawinan dalam UU Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin yang bertujuan menciptakan keluarga atau rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.48 Pertimbangan MK selanjutnya adalah terkait dengan dalil pemohon yang merasa ada pelanggaran konstitusi dalam hak untuk menjalankan agama dan hak atas kebebasan beragama. Negara telah dianggap pemohon telah mencampuradukkan pelaksanaan administrasi dan pelaksanaan ajaran agama, sehingga negara mendikte penafsiran agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan. Terkait hal ini, MK berpendapat bahwa dalam kehidupan beragama dan bernegara harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 termasuk dalam hal ini adalah urusan perkawinan.49

Menurut MK bahwa agama adalah landasan komunitas individu yang menjadi komunitas individu di dalamnya. MK juga menegaskan bahwa negara berperan dalam memberikan pedoman untuk memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan

46Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, hlm. 151-152. 47

Ibid., 152.

48Ibid.

(14)

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan keberlangsungan manusia. Selain itu menurutnya bahwa perkawinan harus didasarkan kepada agama bukan hanya aspek formal semata. Selain itu, perkawinan harus juga melihat aspek sosial dan spritual. Terkait dengan pencatatan dan pengesahan, maka MK berpendapat bahwa agama berperan sebagai penentu keabsahan perkawinan dan negara berperan menetapkan keabsahan administratif.50

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 diucapkan terbuka untuk umum. Putusan dibacakan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada hari Kamis, tanggal 18 Juni 2015 oleh delapan hakim MK.51 Dalam kesimpulannya, MK menilai bahwa pemohonan para pemohon memang benar adalah kewenangan MK. Pemohon juga memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang atas Undang-Undang Dasar. Maka MK selanjutnya menilai bahwa permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Selanjutnya, MK memutuskan dalam amar putusannya menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.52

F. Sosialisasi Pernikahan Beda Agama oleh Kantor Urusan Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi untuk Mencapai Keluarga Sakinah

Keputusan Menteri Agama Nomor 517 Tahun 2001 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 menjelaskan bahwa KUA merupakan sebuah instansi di lingkungan Kementerian Agama yang melaksanakan sebagian tugas pemerintah di bidang agama Islam, yang berada di Kecamatan. Peran KUA sudah ada sejak adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1976 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR). Namun sejak adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka kewenangan talak dan cerai diurus oleh Pengadilan Agama. Semua hal itu kemudian dikuatkan melalui Putusan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan.

KUA pada dasarnya memiliki banyak hal yang bersifat penting dan bukan saja terkait dengan pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh orang islam semata. Lebih dari itu, KUA juga memiliki peran dalam pembinaan masjid, pelayanan zakat, wakaf, pelayanan keluarga sakinah, pelayanan bimbingan hisab rukyat dan lain-lain.53Dalam menjalankan tugasnya KUA memiliki susunan organisasi di tingkat Kecamatan yang

50

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, 152-153.

51Delapan hakim tersebut, yaitu: Arief Hidayat selaku Ketua merangkap anggota, Anwar Usman, Maria Farida

Indrati, Aswanto, Patrialis Akbar, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Manahan MP; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, 154.

52Ibid., 153-154.

(15)

terdiri dari Kepala KUA Kecamatan, petugas tata usaha, Kelompok Jabatan Fungsional.54 Adapun yang dimaksud dengan kelompok jabatan fungsional adalah penyuluh dan penghulu serta kelompok jabatan fungsional umum lainnya.55

KUA merupakan ujung tombak Kementerian Agama. Hal ini juga sesuai dengan KMA No. 34 Tahun 2016 disebutkan bahwa KUA adalah pelaksanan teknis pada Kementerian Agama, yang bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan secara operasional dibantu oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/kota. Salah satu hal yang penting adalah bahwa KUA tentu saja adalah unit dari negara untukmengimplementasi Undang Undang Perkawinan. KUA juga bukan hanya berperan sebagai pencatat nikah tetapi juga memiliki tanggungjawab penting untuk menciptakan keluarga sakinah. Perwujudan keluarga sakinah dapat dilakukan oleh KUA dengan berbagai metode baik sebelum perkawinan, maupun sesudah adanya perkawinan.

Peran KUA dalam mewujudkan keluarga sakinah yang dilakukan sebelum perkawinan dilakukan, antara lain dengan kursus pra pernikahan dan penelitian terhadap calon mempelai laki-laki dan perempuan. Pendidikan pranikah merupakan hal penting untuk mensosialisikan segala hal yang berkaitan dengan perkawinan supaya calon mempelai terutama yang masih muda bisa memahami dan melaksanakan perkawinan sesuai tujuan tepat. Adapun penelitian perkawinan merupakan hal yang bersifat preventif untuk megetahui apakah kedua mempelai sudah memenuhi syarat atau belum sesuai UUP untuk melaksanakan perkawinan.

Adapun apabila dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, KUA hendaknya juga memiliki beberapa langkah untuk pencegahan perkawinan beda agama. Salah satu langkah yang penting adalah melalui penyuluh agama, atau bekerjasama dengan tokoh masyarakat untuk memberikan pencerahan kedudukan, manfaat dan madharat perkawinan beda agama. Hal ini penting karena selama ini agama masih dianggap sebagai langkah yang terbaik yang dipercaya oleh masyarakat. Pendekatan melalui agama, bukan saja dianggap sebagai solusi namun hendaknya dimaknai untuk wujud kedekatan kepada Tuhan sehingga menimbulkan ketenangan dalam hidup. Dengan demikian, KUA juga tidak terbebani sebagai instansi yang meng-agama-kan negara. Namun KUA hanya berperan sebagai bagian dari negara yang mendorong agar penduduknya tetap mempertahankan nila-nilai agama dan kesakralan perkawinan itu sendiri. Sehingga pasangan yang melakukan perkawinan di dasarkan atas kesamaan ideologi dan teologi.

54

KMA No. 34 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasal 5. 55

(16)

Persamaan agama di antara pasangan calon merupakan hal yang penting dalam perkawinan. Hal ini mengingat karena tujuan perkawinan adalah mencapai keluarga yang sakinah atau keluarga bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah hal yang mudah. Perjalanan pasangan membangun rumah tangga kadang harus mengalami beberapa permasalahan. Dengan demikian, persamaan agama atau keyakinan adalah pondasi awal sebuah perkawinan. Keluarga yang dibangun dengan pondasi beda agama akan lebih rentan mengalami pertengkaran yang mungkin saja berujung kepada perceraian.

Landasan untuk melakukan perkawinan dengan pasangan yang sama agama bukan saja anjuran dalam agama Islam, namun juga di atur dalam UU Perkawinan. Dalam pembahasan subbab sebelumnya telah jelas perbedaan pendapat baik sebelum dan sesudah adanya UU Perkawinan. Namun, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak perkawinan beda agama, maka hendaknya KUA bisa menjalankan konstitusi tersebut tanpa ada penafsiran lain dan mendukung kesakralan perkawinan dan menolak pencatatan perkawinan beda agama dengan segala metodenya.

Maka dengan analisis di atas maka apabila dikaitkan dengan perkawinan beda agama pasca putusan Mahkamah Konstitusi, KUA sebagai perwakilan negara harus ikut dan tunduk terhadap putusan MK tersebut. Putusan MK yang menolak permohonan pemohon, yang bisa dipahami menguatkan substansi perkawinan di Indonesia sejak lebih dari 41 tahun. KUA merupakan ujung tombak dari segala hal yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan.

Putusan MK terkait dengan perkawinan beda agama, hendaknya dimaknai sebagai intropeksi diri KUA selama ini. Perbaikan sistem dan sosialisasi tentang perkawinan hendaknya dilakukan terus menerus untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan perkawinan beda agama di masyarakat. Dengan adanya permohonan judicial review tentang perkawinan beda agama menunjukkan adanya konsistensi upaya pelegalan perkawinan beda agama, salah satunya lewat KUA. Pengaruh isu feminisme dan perkembangan teknologi juga merupakan tantangan sulit untuk membendung adanya pluralisme dan komunikasi yang tiada mengenal perbedaan agama, suku, ras, bangsa dan sebagainya. Hal itu semakin mendorong dan berpotensi munculnya rasa sayang dan cinta terjadi kepada setiap pasangan untuk melakukan perkawinan beda agama.

Lebih lanjut, dalam mencapai keluhuran dan ketentraman hidup (sakinah) sekaligus sebagai pembentukan masyarakat yang harmoni, maka asas pembinaan sebuah perkawinan sangat penting untuk dilakukan.56Oleh sebab itu, peran lembaga pencatat perkawinan

56Nur Zahidah Hj Jaapar dan Raihanah Hj Azahari, “Model Keluarga Bahagia Menurut Islam”, Jurnal Fiqh, No.

(17)

(KUA) sangatlah penting sebagai penguasa untuk melegalkan segala peristiwa titik awal terbentuknya sebuah keluarga. Hal ini disebabkan karena secara fakta perkawinan beda agama tetap bisa dilaksanakan dengan berbagai metode dan model walaupun sudah dinyatakan jelas dalam UU Perkawinan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Namun dalam menafsirkan UU Perkawinan tersebut terjadi perbedaan baik masyarakat maupun pencatat perkawinan.

Oleh sebab itu, pernikahan beda agama haruslah menjadi isu yang seharusnya segera direspon oleh KUA. Respon yang dimaksud tentu saja karena adanya putusan MK tersebut di atas. Dengan adanya putusan tersebut setidaknya KUA harus sadar bahwa perkawinan beda agama bukan saja menjadi isu secara teoritis, tetapi harus disadari bahwa secara praktis sebagian orang tetap akan melakukan perkawinan beda agama dengan berbagai cara. Salah satu cara yang pro terhadap perkawinan beda agama tentu saja lewat KUA.

Penghulu sebagai salah satu salah satu bagian penting KUA sebaiknya memberikan sikap tegas atas penolakkan perkawinan beda agama. Hal ini harus dibuktikan dengan jelas baik secara konsep maupun praktik. Tidak bisa dipungkiri tetap ada beberapa penghulu yang mau menihkahkan perkawinan beda agama.57 Oleh sebab itu, secara praktek perlu semua komitmen bersama agar perkawinan beda agam tidak menjadi permasalahan yang tiada habisnya.

Adapun peran KUA dalam menciptakan keluarga sakinah sesudah perkawinan berlangsung dapat dilakukan antara lain melalui konseling pernikahan, melakukan penyuluhan agama, dan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang mendorong terwujudnya keluarga sakinah. Melakukan konseling perkawinan dapat berjalan dengan baik apabila masyarakat yang mengalami masalah rumah tangga berkonsultasi dengan baik dan datang di KUA. KUA kemudian memberikan solusi tentang permasalahan yang dihadapi dan menjaga kerasahasiaan permasalahan yang ada. Sedangkan melakukan penyuluhan, dilakukan oleh dengan cara pembinaan agama di masjid atau di majelis taklim dan dalam acara-acara tertentu dengan memberikan penjelasan baik secara pendekatan batiniyah atau agama dan pendekatan lahiriyah atau hukum negara atau ilmu lain.

G. Kesimpulan

57Danu Aris Setiyanto, Tuhan Ridhoi Kami: Kajian Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, (Surakarta: BukuKu Media, 2016), 133.

(18)

Putusan MK tentang perkawinan beda agama sebaiknya menjadi perhatian khsusus untuk KUA sebagai salah satu agen negara pencatat perkawinan. KUA sebagai pelaksana UU Perkawinan sebaiknya memiliki peran sosialisasi yang penting baik sebelum dan sesudah perkawinan yang dicatatkan agar terbentuk keluarga sakinah. Sosialisasi perkawinan beda agama dapat dilakukan dengan memaksimalkan kursus pranikah. Selain itu juga dapat dilakukan melalui penyuluh agama, atau bekerjasama dengan tokoh masyarakat untuk memberikan pencerahan kedudukan, manfaat dan madharat perkawinan beda agama.

Adapun jika sudah terjadi perkawinan maka peran KUA dapat dilakukan dengan cara konseling pernikahan, melakukan penyuluhan agama, dan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang mendorong terwujudnya keluarga sakinah. Apabila terjadi kasus perkawinan beda agama, maka KUA berhak memberikan sosialisasi tentang perkawinan beda agama baik yang akan terjadi ataupun yang telah terjadi dengan berbagai pendekatan hukum yang tegas baik hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Wiratni, “Hak dan Kewajiban Wanita dalam Keluarga Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Bandung: Vol. 26 No. 1, 2008

A. M Ismatulloh, “Konsep Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah dalam Al Qur’an (Prepektif Penafsiran Kitab al-Qur’an dan Tafsirnya)”, Mazahib:Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. XIV, No. 1, Juni 2015

Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-masalah Krusial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

Ashsubli, Muhammad, “Undang-Undang Perkawinan dalam Pluralitas Hukum Agama (Judicial Review Pasal Perkawinan Beda Agama”, Jurnal Cita Hukum, Jakarta: Vol. II No. 2 Desember 2015

Azahari, Raihanah dan Nur Zahidah Hj Jaapar, , “Model Keluarga Bahagia Menurut Islam”, Jurnal Fiqh, No. 8 Tahun 2011

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990

KMA No. 34 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-masalah Krusial, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2010

M. Kasayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Total Media, 2006

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur’an,Cet. I,Jakarta: Lentera Hati, 2003

Nasution, Khoiruddin, “Arah dan Pembangunan Hukum Keluarga: Pendekatan Integratif dan Interkonektif dalam membangun Keluarga Sakinah”, Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 46, No. I, Januari-Juni 2012, hlm. 99-100.

Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/191 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemilihan Keluarga Sakinah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014

Rosidah, Zaedah Nur, “Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan Mengenai Perkawinan Beda Agama”, Al-Ahkam: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Surakarta: Volume 23, Nomor 1, April 2013

Setiyanto, Danu Aris, Tuhan Ridhoi Kami: Kajian Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,Surakarta: BukuKu Media, 2016

Sisruwadi, Praktek Perkawinan Beda Agama dalam Masyarakat Indonesia, slide dipresentasikan dalam seminar sehari yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Yogyakarta

Wahyuni, Sri, Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri: Kajian Filosofis, Yuridis, Prosedural, dan Sosiologis, Yogyakarta: SUKA-Press, 2014

Wahyuni, Sri, “Politik Hukum Perkawinan dan Perkawinan Beda Agama di Yusdani, Menuju Fiqh Progresif, Yogyakarta: Kaukaba, 2015

Zaini, Ahmad, “Membentuk Keluarga Sakinah Melalui Bimbingan dan Konseling Pernikahan”, Konseling Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam”, Vol. 6, No. 1, Juni 2016

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan prestasi belajar siswa dengan model problem solving dilengkapi media kartu pintar pada materi

Penulis mengambil tema ini karena di latar belakangi oleh anggapan masyarakat bahwa tradisi tersebut tidak ada dalam Alquran maupun hadis, generasi sekarang

Dalam sejarah Thailand, tidak ada bukti yang menyatakan bahawa ada kawasan lain di negara tersebut selain daripada wilayah Selatan Thai yang menggunakan undang-undang

1) Mahasiswa mendaftar ujian kelayakan di Prodi kepada seksi Pengajaran dengan menyerahkan naskah hasil laporan Tugas Akhir Skripsi yang sudah disahkan oleh pembimbing Skripsi sejumlah

Sistem Informasi; Institut Sains dan Teknologi Pradita; Scienta Business Park, Summarecon Serpong, Jalan Boulevard Gading Serpong Blok O/1, Kelapa Dua, Banten – 15810, Indonesia,

Dalam hubungannya dengan sumber daya manusia, dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, perubahan kondisi lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal secara

Peningkatan juga terjadi pada aktivitas siswa dari siklus I dengan persentase 73,33% meningkat pada siklus ke II dengan persentase 85,00% dapat di katakan juga aktivitas siswa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan minat dan prestasi belajar siswa menggunakan metode discovery-inquiry terbimbing pada materi perpindahan energi panas