• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI PERLINDUNGAN HUKUM JURNALIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MENURUT UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "URGENSI PERLINDUNGAN HUKUM JURNALIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MENURUT UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

URGENSI PERLINDUNGAN HUKUM JURNALIS TERHADAP TINDAK PIDANA

PENCEMARAN NAMA BAIK MENURUT UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN

TRANSAKSI ELEKTRONIK

Nurul Fatihah Manfaati, Budi Setiyanto, Diana Lukitasari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

E-mail : nurulfatihah327@gmail.com Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mengenai urgensi perlindungan jurnalis terhadap tindak pidana pencemaran nama baik menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dengan studi putusan Pengadilan Negeri Bireuen Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN Bir. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau doktrinal yang bersifat preskriptif. Penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder. Teknik analisis yang digunakan yaitu dengan metode silogisme yang menggunakan pola berpikir deduktif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa bahwa penerapan tindak pidana pencemaran nama baik menurut pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE terhadap profesi jurnalis masih menjadi problematika dalam praktek litigasi, dikarenakan pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE bersifat terlalu luas, sedangkan menurut Undang-Undang-Undang-Undang Pers persoalan pemberitaan diselesaikan berdasarkan mekanisme UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yakni pengajuan hak jawab, hak koreksi, atau diadukan ke Dewan Pers. Berdasarkan analisis tersebut, Putusan Hakim Nomor: 42/ Pid.Sus/2019/PN Bir. tidak tepat karena selain seharusnya diselesaikan dengan mekanisme Dewan Pers terlebih dahulu, unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE sebagaimana yang diterapkan oleh Hakim tidak semuanya terpenuhi.

Kata kunci : Perlindungan Hukum, Putusan Hakim, Pencemaran Nama Baik, Pers. Abstract

This study aims to examine the urgency of protecting journalists against criminal defamation according to Article 27 Paragraph (3) of the ITE Law with a study of the Bireuen District Court decision Number 42 / Pid.Sus / 2019 / PN Bir. The research used normative or doctrinal legal research which are prescriptive. The sources of this research are included primary and secondary legal materials. The analysis technique that has been used was the syllogism method which uses deductive thinking patterns. Based on the results of this legal research, it can be concluded that the application of criminal defamation according to article 27 paragraph (3) of the ITE Law on the journalist profession is still problematic in litigation practice, because article 27 paragraph (3) of the ITE Law is too broad, whereas according to the Press Law, reporting problems are resolved based on the mechanism of Law no. 40 of 1999 concerning the Press, namely submitting the right of reply, the right of correction, or a complaint to the Press Council. Based on this analysis, the Judge’s Decision Number: 42 / Pid.Sus / 2019 / PN Bir. is inappropriate

because apart from being supposed to be resolved by a Press Council mechanism first, not all of the elements in Article 27 paragraph (3) of the ITE Law as applied by the Judge are fulfilled.

Keywords : Legal Protection, Judge’s Decision, Defamation, Press.

A. Pendahuluan

Perkembangan teknologi yang cepat mengakibatkan banyak perubahan dalam berbagai bidang, termasuk pergeseran bentuk kejahatan konvensional yang berkembang dengan terbentuknya salah satu dimensi baru dari kejahatan masa kini atau disebut dengan kejahatan

(2)

menggunakan internet yang berbasis pada kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi (Raodia, 2019: 235).

Menurut Southeast Freedom of Expression Network (SAFEnet), pada 2013 terjadi 2 kasus pada jurnalis, pada 2015 terjadi 2 kasus terhadap jurnalis dan media, pada 2016 terjadi 6 kasus terhadap jurnalis, pada 2017 terjadi 3 kasus terhadap 2 jurnalis dan 1 media, pada 2018 terjadi 8 kasus terhadap 3 jurnalis dan 5 media. Pasal yang paling banyak digunakan adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang Pencemaran Nama Baik (15 aduan). (Rommy Roosyana. Jurnalis dibayangi jerat UU ITE. https://beritagar.id/artikel/berita/jurnalis-dibayangi-jerat-uu-ite, diakses pada 24 Oktober 2020 pukul 11.26). Tindak pidana pencemaran nama baik merupakan kejahatan hukum yang saat ini perlu diperhatikan secara khusus.

Pada tahun 2016 telah dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, terdapat beberapa perubahan mengenai ketentuan dalam pasal pencemaran nama baik ke arah yang lebih baik, akan tetapi perubahan yang dilakukan pada revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tahun 2016 tidak lantas membuat ancaman kebebasan ekpresi berakhir. Berbagai permasalahan belum terselesaikan akibat tidak adanya pembatasan pengertian pencemaran nama baik yang jelas, yang berakibat pengertiannya bersifat kabur dan subjektif. (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2/PUU-VII/2009).

Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi dan sejumlah lembaga hak asasi manusia internasional, mencanangkan untuk melakukan dekriminalisasi terhadap pencemaran nama baik karena dianggap sebagai penggunaan sewenang-wenang hukum pidana terhadap ekspresi yang sah,dan merupakan bentuk dari pembatasan hak asasi manusia (Wahyudi djafar dan Justitia A. V., 2014: 71). Hingga tahun 2012, terdapat setidaknya 21 negara secara penuh mendekriminalisasikan pidana pencemaran nama baik, selain itu terdapat 14 negara yang melakukan dekriminalisasi terhadap pencemaran tertulis ( Courtney C. Radsch, 2014: 29).

Pasal pencemaran nama baik dianggap menjadi hambatan bagi kebebasan menyampaikan pendapat melalui karya. Pasal tersebut dapat menjerat siapapun yang dilaporkan mencemarkan nama baik, termasuk wartawan yang bertugas menjalankan profesinya. Pasal tersebut tidak memberikan perbedaan antara aktivitas jurnalistik yang memiliki kaedah dan pengaturan yang jelas, dengan penghinaan terhadap pribadi seseorang. Sejumlah jurnalis harus berhadapan dengan proses hukum akibat karya jurnalistik mereka dilaporkan berisi pencemaran nama baik, padahal pada dasarnya dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum yang tercantum dalam ketentuan Pasal 8 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. (Putusan Mahkamah Agung Nomor 50/PUU-VI/2008).

Kasus pencemaran nama baik yang akan penulis jelaskan yaitu tentang M. Reza alias Epong Reza selaku jurnalis media online yang bernama mediarealitas.com telah didakwa melakukan dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (3) Kasus tersebut bermula dari liputan yang dibuat oleh Epong pada mediarealitas.com tertanggal 25 Agustus 2018 yang berjudul “Merasa Kebal Hukum Adik Bupati Bireuen Diduga Terus Gunakan Minyak Subsidi Untuk Perusahaan Raksasa”. Dalam berita tersebut mencoba mengangkat persoalan terkait dugaan adik Bupati Bireuen yang menggunakan BBM bersubsidi untuk kepentingan perusahaannya.

Fleksibelnya pasal pencemaran nama baik juga bisa menjerat siapapun yang dapat menjadi korban kriminalisasi dari pasal ini yang berakibat pada over capacity. Serta lemahnya penegakan hukum dimasyarakat dikarenakan perbedaan presepsi diantara penegak hukum yang menimbulkan diskriminasi dalam pengakan hukum, sampai kepada ancaman pidana dalam pasal-pasal KUHP tidak sebanding dengan tingkat kerugian yang ditimbulkan menunjukkan tujuan keadilan yang tidak tercapai.

(3)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:

Bagaimana urgensi perlindungan hukum jurnalis terhadap tindak pidana pencemaran nama baik menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Putusan Nomor: 42/Pid.Sus/2019/PN Bir?

C. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau biasa dikenal dengan hukum doctrinal. Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach). Penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum primer yang terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Putusan Pengadilan Negeri Bireuen Nomor: Putusan Nomor: 42/Pid.Sus/2019/PN Bir. serta sumber bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, dan bahan dari media internet dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.

D. Pembahasan

Pada sebuah berita kebenaran yang disajikan didalamnya tidaklah harus kebenaran absolut. Suatu berita mungkin baru bersifat samar-samar namun dapat diungkap oleh pers dengan tujuan mencari berita yang benar demi kepentingan umum, karena Pers sendiri memiliki fungsi sebagai kontrol sosial dalam masyarakat. Ketentuan tersebut tidak jarang membuat beberapa pihak merasa tersinggung atau dirugikan atas pemberitaan yang menyebutkan nama beberapa pihak tersebut, tidak jarang pula berujung dengan melakukan pelaporan pencemaran nama baik dirinya dikarenakan perasaan tidak terima dijadikan objek dari suatu pemberitaan yang dibuat oleh jurnalis. Untuk jaminan perlindungan terhadap pihak yang merasa dirugikan maka terdapat beberapa ketentuan pidana yang mengatur dan sekaligus dianggap membatasi kebebasan pers di Indonesia.

Menurut teori etis, hukum bertujuan untuk mencapai keadilan. Isi undang-undang tergantung pada keyakinan tentang apa yang adil dan apa yang tidak. Menurut Aristoteles ada dua macam keadilan, yaitu keadilan distribusif yang artinya keadilan adalah bahwa setiap orang memperoleh haknya secara proporsional, dan hak tersebut bergantung pada kekayaan, kelahiran, pendidikan, kemampuan, dan sebagainya, sedangkan keadilan korektif ini mengacu pada apakah hak diberikan kepada semua orang secara setara, terlepas dari lokasinya, dan seterusnya.

Penulis meyakini bahwa ketentuan penyebaran informasi dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat diarahkan untuk mencapai keadilan melalui keadilan distributif, dan berusaha memberikan kebahagiaan seperti teori utilitis. Meski begitu, masih patut dipertanyakan apakah pasal ini juga ditujukan untuk mewujudkan ketertiban masyarakat, karena dalam pengaturan keadilan yang terlampau subjektif, hal-hal yang diatur belum tentu dapat mencapai keadilan untuk kelompok tertentu.

Salah satu bagian yang penting untuk dicermati adalah keberadaan pers ditinjau dari sisi hukum. Ketika pers berada di tengah masyarakat, terjadilah interaksi antara pers (sebagai lembaga) dengan masyarakat sebagai konsumennya. Secara teknis akan muncul permasalahan hukum, ketika sajian itu ternyata dinilai tidak benar atau merugikan masyarakat. Untuk itu harus

(4)

masyarakat dan kelangsungan pers itu sendiri. Sementara ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang diatur dalam BAB VIII Pasal 18 di dalamnya tidak memuat ketentuan mengenai pengertian dan ketentuan pidana tentang pencemaran nama baik yang dilakukan oleh pers, sehingga tidak ada pengaturan serta sanksi yang jelas mengenai pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Akan tetapi dalam Pers diatur mengenai kewajiban Pers yang dicantumkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dengan demikian perlindungan hukum terhadap wartawan merupakan kewajiban Negara yang seharusnya dilaksanakan secara tegas oleh aparat penegak hukum yang berwenang sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku di Indonesia khususnya sesuai ketentuan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 sebagai lex specialist derogate lex generalist, hal ini didukung dengan yang disebutkan dalam Article 19 The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan Article 19 The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR): “kebebasan menjadi syarat yang mutlak ada bagi terwujudnya prinsip transparansi dan akuntabilitas suatu pemerintahan yang pada gilirannya akan membawa pada pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).” (Endre Vendy Katiandagho, 2018: 85), Selain itu menurut Komite Hak Asasi Manusia, semua undang-undang pencemaran nama baik khususnya yang bersifat pidana harus mencakup pembelaan terhadap kebenaran (exceptionio veritatis) dan tidak boleh diterapkan sehubungan dengan bentuk-bentuk ekspresi yang menurut sifatnya, tidak tunduk pada subjek untuk verifikasi.

Dalam banyak kasus legislasi overbroad atau karet, terutama ketika mencapai kondisi hukum pidana, merupakan ancaman serius terkait kebebasan berekspresi. Rekomendasi Komite untuk prinsip intervensi minimal (termasuk dekriminalisasi perilaku semacam itu) dan mengenai perancangan undang-undang yang cermat dan tepat sangat penting berhadapan dengan tren ekspansif yang diamati dalam banyak kasus (Alfred de Zayasdan Aurea Roldan Martin, 2012), sehingga wartawan juga mendapat perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berlaku saat ini, serta mekanisme dalam penyelesaian hukum menurut undang-undang tersebut jika terdapat permasalahan hukum yang menjerat wartawan.

Salah satu kasus mengenai pencemaran nama baik oleh jurnalis yang akan penulis bahas adalah kasus Saudara M. Reza als Epong Bin Mukhtar. Terdakwa pada tanggal 25 Agustus 2018 sekitar pukul 09.00 WIB terdakwa mendapatkan informasi dari seseorang perihal adanya penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) Subsidi yang terjadi di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Gampong Sawang Kecamatan Peudada Kabupaten Bireuen, setelah mendapatkan informasi tersebut terdakwa berangkat menuju SPBU tersebut. Setibanya di disana, terdakwa melihat adanya kendaraan dump truck yang diduga milik PT Takabeya Perkasa Group kemudian terdakwa menulis dan memuat berita di MEDIAREALITAS.COM dengan judul Merasa Kebal Hukum Adik Bupati Bireuen Diduga Terus Gunakan Minyak Subsidi Untuk Perusahaan Raksasa selanjutnya terdakwa mendistribusikan tautan Link berita tersebut dengan cara Posting melalui Akun Facebook miliknya dengan nama EPONG REZA.

Postingan melalui Akun Facebook EPONG REZA yang dilakukan terdakwa tersebut telah diketahui banyak orang atau berbagai pihak, saksi H. Mukhlis, A.Md Bin Cut Hasan adalah Adik Bupati Bireuen saat ini yang merupakan Direktur Utama Perusahaan PT Takabeya Perkasa Group, sehingga Postingan melalui Akun Facebook EPONG REZA yang dilakukan terdakwa telah membuat saksi H. Mukhlis, A.Md Bin Cut Hasan merasa sangat malu, terhina dan tercemar nama baiknya selaku Direktur Utama Perusahaan PT Takabeya Perkasa Group.

Dalam Surat Dakwaan, Jaksa Penuntut Umum memberikan dakwaan kesatu yaitu Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan pada Dakwaan Kedua yaitu Pasal 45A ayat (1) Jo Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam surat tuntutan, Jaksa Penuntut Umum menuntut Saudara M.Reza Als Epong Bin Mukhtar bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi

(5)

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” sebagaiman diatur dan diancam pidana dalam pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 Ayat (3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam surat Dakwaan Penuntut Umum menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah Terdakwa tetap berada dalam tahanan. Hakim dalam putusannya memutus terdakwa dengan dakwaan alternative kesatu, yaitu Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun;

Hakim juga mempertimbangkan dari pelanggaran terhadap unsur-unsur dari Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dimana unsur-unsurnya adalah:

1. Unsur Setiap Orang

Yang dimaksud dengan Setiap orang disini adalah dapat dipersamakan dengan Barang siapa yaitu siapa saja subjek hukum pendukung hak dan kewajiban yang kepadanya dapat dibebankan tanggung jawab suatu perbuatan hukum dan kepadanya bukan termasuk orang-orang yang dikecualikan oleh Undang-Undang untuk dapat dituntut pidana.

Fakta dipersidangan menunjukkan bahwa Terdakwa bernama M. Reza Als Epong Bin Mukhtar sudah diperiksa Identitasnya sebagaimana dalam surat Dakwaan Penuntut Umum dengan terhadap Identitas tersebut dan Terdakwa membenarkannya, maka dengan demikian unsur ini terlah terpenuhi.

2. Unsur dengan Sengaja dan Tanpa Hak

Maksud dari unsur dengan tanpa hak disini adalah menyangkut hak untuk melakukan akses atau memposting atau mengutarakan suatu perbuatan atau peristiwa yang sebenarnya sehingga apa yang dimuat tersebut sudah benar dan dapat dibuktikan dengan factual dari pihak yang berwenang yang dapat memberikan Justifikasi terhadap suatu fakta hukum. Jika dilihat dari sudut subjektif, maka hubungan dari unsur “tanpa hak” lebih dekat dengan unsur “dengan sengaja”, bahwa unsur sengaja diletakkan sebelum unsur “tanpa hak” dalam struktur tindak pidana (Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, 2015: 26).

Dalam kasus Reza, sesuai dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE disebut, hanya mereka yang terkena ”tanpa hak” yang dikenakan pasal ini. Reza selaku Jurnalis atau wartawan yang menjalankan tugasnya sesuai UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers harus dilindungi dan karena itu dinilai sedang ”memiliki hak” dan ”tidak melawan hukum,” karena dalam hal ini pers sedang menjalankan tugas Undang-undang.

Makna perlindungan dalam undang-undang ini adalah menjadi dasar pembenar terhadap tugas-tugas jurnalistik wartawan sama dengan dasar-dasar pembenar untuk profesi lainnya, Sesuai dengan pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menegaskan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan tidak boleh dihukum Ini membuktikan bahwa wartawan juga diberikan kewenangan atau menjalankan ketentuan perundang-undangan” (Endre Vendy Katiandagho, 2018: 84). 3. Unsur Mendistribusikan dan/atau Mentransmisi dan/atau Membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elekronik;

Mendistibusikan berasal dari kata “distribusi” yang artinya “penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat. Arti dari mentransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan pesan dari seseorang (benda) kepada orang lain (benda lain). Sementara membuat dapat diaksesnya ialah menjadikan Informasi Elektronik

(6)

Hal yang dilakukan oleh M Reza selaku jurnalis adalah menyebarkan karya jurnalistik yang dilindungi oleh UU Pers dan merupakan bagian dari hak kebebasan berekspresi yang di jamin oleh Konstitusi Indonesia dan UU Hak Asasi Manusia lainnya. Dimana Reza hanya mengirim link berita Mediarealitas.com jadi tanpa menulis status maka dengan sendirinya judul berita langsung menjadi judul status, sehingga ketika penyebaran link berita/karya jurnalistik dikriminalisasi, maka sesungguhnya yang sedang dikriminalisasi saat ini adalah produk jurnalistik itu sendiri. Karena dalam pokok perkara, mau tidak mau akan membahas materi dari konten informasi yg dianggap mencemarkan nama baik dan berita bohong yaitu berita yang disebarkan oleh M Reza.

4. Unsur Memiliki Muatan Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik

Frasa “penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” tidak dijelaskan sedikitpun dalam UU ITE. Untuk itu maka sesuai dengan penjelasan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan bahwa ketentuan pencemaran nama baik sesuai dengan ketentuan dalam Bab XVI Buku II KUHP (Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, 2015: 73).

Sementara “nama baik” sendiri adalah rasa harga diri atau harkat-martabat yang didasarkan pada pandangan atau penilaian baik dari masyrakat terhadap keadaan dan sifat pribadi seseorang dalam pergaulan hidup di dalam masarakat. Semua bentuk penghinaan bersifat subjektif, sesuai asas dalam konsepsi hukum penghinaan, yaitu dalam batas-batas tertentu setiap orang dianggap mempunyai harga diri mengenai kehormatan dan nama baik. Akan tetapi segala jenis penghinaan juga mengadung sifat objektif, dimana pandangan menghina orang harus diukur dari sudut penilaian umum pada waktu dan tempat dimana perbuatan tersebut dilakukan (Satro, J, 2005: 180-181).

Dalam kasus Reza, judul dari berita yang dibuat “Merasa Kebal Hukum Adik Bupati Bireuen diduga Terus Gunakan Minyak Subsidi Untuk Perusahaan Raksasa” tersebut tidak mengandung pencemaran nama karena menggunakan kata “diduga”. Kata itu menunjukkan bahwa kebenaran berita tersebut belum final, baru dugaan. Dengan atribusi “diduga”, berarti berita tersebut tidak menuduh, namun hanya menuliskan fakta melalui dugaan. Atribusi “diduga” menunjukkan bahwa jurnalis telah menghormati praduga tidak bersalah, tidak membuat kesimpulan (Margiyono, 2010: 162).

Ketentuan sifat kebenaran yang disajikan oleh pers dalam suatu berita tidaklah harus kebenaran absolut. Meskipun suatu berita mungkin baru bersifat samar-samar, namun dapat diungkap oleh pers guna mencari berita yang benar demi kepentingan umum. Jadi bila ada kepentingan umum disitu, untuk dapat dilansir oleh pers kepada publik suatu berita tidak mesti berupa kebenaran absolut. Yang penting pers bersangkutan tidak memiliki niat untuk menghina atau mencemarkan nama baik dan masih dalam koridor etika jurnalistik (Margiyono, 2010: 48). Hal tersebut selaras dengan yurisprudensi Mahkamah Agung yang lahir pada tahun 1993, yakni dalam perkara Anif melawan Harian Garuda, yang berbunyi: “sehubungan dengan kebenaran suatu peristiwa yang hendak diberitakan pers, pada hakikatnya merupakan suatu kebenaran yang elusive, artinya bahwa apa yang hendak diulas dan diberitakan pers tidak mesti kebenaran yang bersifat absolut. Jika kebenaran absolut yang boleh diberitakan, berarti sejak semula kehidupan pers yang bebas dan bertanggung jawab sudah mati sebelum lahir,” (Margiyono, 2010: 80).

Dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP dijelaskan juga apabila pencemaran baik dilakukan untuk kepentingan umum, maka pelakunya tidak dapat dihukum. Dengan demikian apabila wartawan melakukan seluruh profesinya berdasarkan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, berarti wartawan tersebut dapat dianggap sudah melaksanakan kepentingan umum dan dengan demikian oleh karenanya wartawan tidak dapat lagi dituntut berdasarkan pasal 310 ayat 1 dan 2 (Margiyono, 2010: 17).

(7)

Selain itu, UU Pers juga lengkap dengan Hak jawab yang telah dijelaskan dalam Pasal 5 ayat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yaitu : “Pers wajib melayani Hak Jawab”. Dan terkait pengertian dari hak jawab telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 11 yakni: “Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya”.

Dari penjelasan tersebut telah jelas bahwasannya hak jawab itu merupakan hak memberikan kesempatan kepada setiap warga masyarakat yang menjadi narasumber atau objek pemberitaan untuk mengemukakan versinya yang berbeda atau bertentangan dengan isi berita yang sudah di publikasikan atau di siarkan. Upaya ini merupakan jalur tempuh paling praktis dan cepat, yang dapat ditempuh warga masyarakat dan terjadi ketidakpuasan terhadap suatu pemberitaan yang berkaitan dengan hak jawab.

Selain Hak Jawab, Hak Koreksi juga telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dalam Pasal 5 ayat 3 yang berbunyi : “Pers wajib melayani Hak Koreksi”. Dan terkait pengertian hak koreksi telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 12, yakni : “Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain (Muhammad Fatkur Rozi dan R. Hari Purwanto, 2018: 6).

Sedangkan kewajiban hak koreksi juga dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers pada Pasal 1 ayat 13 yakni: “Keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan”. Sedangkan dalam Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik juga menjelaskan: “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. (Muhammad Fatkur Rozi dan R. Hari Purwanto, 2018: 7). Seharusnya persoalan pemberitaan dalam kasus ini diselesaikan berdasarkan mekanisme dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yakni melalui mekanisme pengajuan hak jawab, hak koreksi, atau diadukan ke Dewan Pers. Selain itu pertanggungjawaban atas materi pemberitaan terletak pada Pemimpin Redaksi bukan Reporter yang melakukan peliputan secara langsung, karena sistem pertanggungjawaban air terjun tidak sesuai untuk digunakan, dalam semua kasus penulisan atau berita melanggar mekanisme kerja pers dan karenanya bertentangan dengan keadilan.

Persoalan berita merupakan persoalan Kode Etik Jurnalistik. Pihak yang memiliki kapasitas dan berhak menilai sengketa pemberitaan atau ada tidaknya pelanggaran kode etik jurnalistik adalah Dewan Pers. Terlebih lagi terdapat Nota Kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: 2/DP/MoU/II/2017/B/15/ II/2017 tentang Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan yang mengatur koordinasi penanganan perkara ketika terdapat pelaporan menyangkut pemberitaan. Dalam MoU tersebut mewajibkan adanya koordinasi antara Kepolisian dengan Dewan Pers untuk menyerahkan kasus pemberitaan ke Dewan Pers agar dapat diselesaikan berdasarkan mekanisme dalam UU Pers. Di samping itu pula telah dijelaskan mengenai tata cara penyelesaian sengketa terkait penyelesaian perkara yang melibatkan pers yang tertuang dalam peraturan Dewan Pers yakni Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013 Tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers.

Penjelasan tata cara penyelesaian sengketa melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 3/ Peraturan-DP/VII/2013Tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers, yang melibatkan insan pers melalui Dewan Pers diatas, telah menggambarkan secara jelas bahwa yang ingin dicapai dari penyelesaian sengketa tersebut adalah penyelesaian yang seimbang tanpa mencederai kebebasan-kebebasan pers dan kebebasan-kebebasan berpendapat.

(8)

Langkah-dan dalam meminta pertanggungjawaban kepada insan pers atas pemberitaan yang dibuat dan disebarluaskan kepada masyarakat. Sehingga penyelesaian akan dirasa berimbang dan memenuhi rasa keadilan. Setidaknya apabila mekanisme hak jawab dan dewan Pers gagal menyelesaikan masalah barulah dibuka kemungkinan suatu perkara pers diajukan ke muka pengadilan, sesuai dengan kedudukan hukum pidana sebagai ultimatum remedium seharusnya mendukung kasus ini diselesaikan dengan mekanisme Undang-Undang Pers, yaitu terlebih dahulu dilakukan hak jawab dan kemudian hak koreksi yang mana hal tersebut akan lebih efisien untuk mengembalikan nama baik korban yang merasa dirugikan dengan adanya koreksi dibandingkan harus melalui jalur pengadilan yang memakan waktu relatif lama dan dinilai kurang efektif.

E. Penutup Kesimpulan

Perlindungan hukum jurnalis yang karya jurnalistiknya bermasalah sudah jelas dijamin oleh Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa: dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum, tapi secara faktual di lapangan tidaklah demikian. Salah satu contoh kasus penerapan tindak pidana pencemaran nama baik menurut pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE terhadap Putusan Nomor: 42/Pid. Sus/2019/PN Bir., penulis menilai bahwa kasus ini terkesan dipaksakan untuk diselesaikan melalui persidangan secara pidana, karena tindak pidana pencemaran nama baik atas karya jurnalistik dapat diterapkan dalam UU ITE jika telah memenuhi 3 (tiga) syarat, pertama harus terlebih dahulu korban menggunakan hak jawab; dan korban dan pers melakukan mediasi melalui perantaraan Dewan Pers dan ketiga upaya mediasi tersebut ternyata gagal. Kegagalan upaya mediasi dapat ditempatkan sebagai alasan utama penuntutan pidana. Selain itu, menurut penulis terdakwa Epong Reza tidak memenuhi semua unsur yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum. Dimana unsur tanpa hak tidak terpenuhi karena Reza selaku Jurnalis atau wartawan yang menjalankan tugasnya sesuai UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, Selain itu dalam unsur mendistribusikan, yang disebarkan adalah karya jurnalistik dan unsur memiliki muatan pencemaran nama baik tidak terpenuhi karena sifat kebenaran berita bukan kebenaran absolut. Hal ini menunjukkan perlunya penegasan perlindungan hukum terhadap jurnalis terkait tindak pidana pencemaran nama baik menurut UU ITE.

Saran

1. Pemerintah dan DPR perlu mengkaji, meninjau kembali, dan menyempurnakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan dalam penyempurnaan itu pun harus menjadi jelas menyangkut pertanggungjawaban pidana pers, karena menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dikaitkan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana menurut Undang-Undang ITE terdapat perbedaan sehingga terkesan terjadi dualisme serta perlu ditegaskan bahwa Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah Lex Specialis (hukum yang lebih khusus), sehingga apabila terdapat suatu permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-Undang Pers. Dengan demikian, kebebasan pers sebagai bagian esensial dari kehidupan yang demokratis dapat terjamin pelaksanaannya.

2. Pihak Dewan Pers perlu secara berimbang menjaga dan meningkatkan kepedulian, pemahaman dan kedisiplinan menegakkan Kode Etik Jurnalistik untuk mewujudkan kemerdekaan pers yang informatif dan bermanfaat serta dapat dipertanggungjawabkan.

(9)

F. Persantunan

Terima kasih disampaikan kepada Bapak Budi Setiyanto, S.H., M.H. dan Ibu Diana Lukitasari, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.

G. Daftar Pustaka

Alfred de Zayasdan Aurea Roldan Martin. 2012. “Freedom Of Opinion And Freedom Of Expression: Some Reflections On General Comment No. 34 Of The Un Human Rights Committee”. Vol. 59 No. 3.

Chazawi, Adami dan Ardi Ferdian. 2015. Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik. Malang: Media Nusa Creative.

(Rommy Roosyana. Jurnalis dibayangi jerat UU ITE. https://beritagar.id/artikel/berita/jurnalis-dibayangi-jerat-uu-ite. diakses pada 24 Oktober 2020 pukul 11.26).

Endre Vendy Katiandagho. 2018. “Perlindungan Hukum Terhadap Profesi Wartawan Menurut Pasal 8 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers”. Lex Crimen Vol. 7. No. 6.

Margiyono. 2010. Seri Reformasi Kebijakan Media Seri II: Kasus Pencemaran Nama Baik. AJI Indonesia dan DRSP/USAID.

Muhammad Fatkur Rozi dan R. Hari Purwanto. 2018. “Tindak Pidana Penghinaan Dan Pencemaran Nama Baik Atas Karya Jurnalistik Ditinjau Dari Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”. Jurnal Hukum. Universitas Gresik.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2/PUU-VII/2009 Putusan Mahkamah Agung Nomor 50/PUU-VI/2008

Radsch, Courtney C. 2014. World Trends in Freedom of Expression and Media Development. Paris: UNESCO.

Raodia. 2019. “Pengaruh Perkembangan Teknologi terhadap Terjadinya Kejahatan Mayaantara (Cybercrime)”. Jurisprudentie. Vol. 6 No. 2.

Satro, J. 2005. Gugatan Perdata Atas Dasar Penghinaan Sebagai Tindakan Melawan Hukum. Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Referensi

Dokumen terkait

Pada spectrum 2 (bagian dekat retakan) sampe A unsur tertinggi yaitu Ca, Ca ini adalah unsur pengotor dan begitu pula terdapat unsur C yang tinggi sehingga

Sehubungan dengan dilaksanakannya proses evaluasi dokumen penawaran dan dokumen kualifikasi, Kami selaku Panitia Pengadaan Barang dan Jasa APBD-P T. A 2013 Dinas Bina Marga

Sumber : Hamermesh dan Rees, (1987) Mereka menyimpulkan bahwa individu dengan pendidikan yang lebih tinggi awalnya mempunyai pendapatan yang lebih rendah dari pada

Hasil pengujian reliabilitas menunjukkan bahwa nilai koefisien reliabilitas dari masing-masing variabel yang digunakan dalam penelitian lebih besar dari pada 0,6,

Simpulan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe paired storytelling lebih efektif digunakan untuk meningkatkan keterampilan menyimak cerita

Kemudian dari data yang terbaca sebagai data input pada proses neural network untuk dihasilkan keluaran berupa kode, dari kode yang dihasilkan dicocokkan dengan

Penulisan ilmiah ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi pengguna informasi pada Bagian Air Condition PT Wisma Nusantara International untuk mendapatkan data dengan lebih

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( Lembaran Negara Republik