• Tidak ada hasil yang ditemukan

Heri Wibowo 1, Tuti Sugiyarti 2, Setiari Marwanto 1, Fahmuddin Agus 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Heri Wibowo 1, Tuti Sugiyarti 2, Setiari Marwanto 1, Fahmuddin Agus 1"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

UNTUK LAHAN BUDIDAYA: STUDI KASUS DI PROVINSI

KALIMANTAN BARAT

CO

2

EMISSION FROM AGRICULTURAL PEATLAND: A CASE STUDY IN WEST

KALIMANTAN

Heri Wibowo1, Tuti Sugiyarti2, Setiari Marwanto1, Fahmuddin Agus1 1

Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114. 2

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat, Jl. Budi Utono No. 45, Siantan, Pontianak 78241.

Abstrak Isu lingkungan terkait emisi gas CO2 sering menjadi kendala

dalam tata kelola lahan gambut di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat emisi gas CO2 dari gambut yang masih berupa belukar dibandingkan dengan gambut yang dibuka untuk budidaya pertanian (nenas). Lokasi penelitian berada di Provinsi Kalimantan Barat. Lahan gambut belukar terdapat di lokasi yang dekat dengan gambut budidaya pertanian. Pengamatan dilakukan sebanyak dua kali sebulan mulai bulan Februari hingga Juli 2014 dengan total 11 pengamatan (n=11). Laju emisi gas CO2 gambut diukur menggunakan IRGA (Infra Red Gas Analyzer) Li-COR 802, yang dilakukan bersamaan dengan pengukuran suhu tanah, suhu udara, suhu chamber dan kedalaman muka air tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat emisi gas CO2 lahan gambut belukar (50,33 ± 23,09 ton ha-1 tahun-1) sedangkan lahan gambut pertanian budidaya nenas sebesar (47,01 ± 32,18 ton ha-1 tahun-1) dan tidak berbeda nyata pada galat 5%. Hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi gas CO2 menunjukkan korelasi yang nyata pada taraf 1% korelasi Pearson. Faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat emisi gas CO2 lahan gambut adalah pengelolaan lahan dan kedalaman muka air tanah. Hasil ini menunjukkan bahwa lahan gambut yang dibuka untuk budidaya nenas memiliki tingkat emisi CO2 yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan belukar gambut. Pengelolaan lahan gambut dengan budidaya pertanian (nenas) disarankan untuk menekan laju emisi CO2 dari lahan gambut. Kata kunci: Gambut, emisi, gas CO2, gambut budidaya, gambut belukar

Abstract Environmental issue concern to the CO2 emission sometime has been a problem in peatland management in Indonesia. This research aims to study the level of CO2 emissions from peatland under shruband pineapple (anenas comosus). The study was conducted in West Kalimantan. The peatland site under shrub location was close (less than 1 km distance) to peat cultivated with pineapple (anenas comosus). Observations were

(2)

made twice a month from February to July 2014 with total measurement eleven times (n=11). CO2 flux were measured using Infra red Gas Analyzer (IRGA) Li-COR 802. Some parameters included soil temperature, air temperature, chamber temperature and depth of water table were also measured. The results showed that the level of peatshrub CO2 fluxs (50.33 ± 23.09 tons ha-1 year-1) while the pineapple cultivation of peatlands for agriculture (47.01 ± 32.18 tons ha-1 year-1) and not significantly different at (p<0.005) . The correlation between the water table depth with CO2 flux were significant at 1% level of Pearson correlation. In this study, peat management and water table depth were most influenced CO2 emissions. These results indicated that CO2 emission on the peatland under pineapple (anenas comosus) was relatively lower compared to peatland under shrub (non cultivated). Therefore, the cultivation of pineapple (anenas comosus) could be an option to cultivate peatland.

PENDAHULUAN

Gambut merupakan hasil pelapukan bahan organik seperti dedaunan, ranting kayu dan semak dalam keadaan jenuh air dan dalam jangka waktu yang sangat lama (ribuan tahun). Di alam, gambut sering bercampur dengan tanah liat. Adapun untuk disebut sebagai tanah gambut harus memenuhi beberapa syarat (Soil Survey Staff, 1996), yaitu apabila dalam keadaan jenuh air mempunyai kandungan C-organik minimal 18% jika kandungan liatnya ≥ 60%. Atau mempunyai kandungan C-organik 12% jika tidak mempunyai liat (0%) atau mempunyai kandungan C-organik lebih dari 12% + % liat x 0,1 jika kandungan liatnya antara 0 - 60%. Apabila dalam kondisi tidak jenuh air, kandungan C-organik minimal 20%.

Secara alami gambut akan berada di lapisan atas, dan di bawahnya terdapat tanah aluvial dengan kedalaman yang bervariasi. Lahan dengan lapisan gambut dengan ketebalan di bawah 50 cm disebut lahan atau tanah bergambut, sedangkan lahan dengan ketebalan lapisan gambut lebih dari 50 cm disebut dengan lahan gambut. Berdasarkan kedalamannya, lahan gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu lahan gambut dangkal dengan kedalaman 50-100 cm, lahan gambut sedang dengan kedalaman 100-200 cm, lahan gambut dalam dengan kedalaman 200-300 cm, serta lahan gambut sangat dalam dengan kedalaman lebih dari 300 cm. Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan atas gambut eutrofik yang subur, mesotrofik yang agak subur dan oligotrofik yang tidak subur.Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik (Radjagukguk et al., 1997).

Degradasi lahan gambut bisa terjadi bila pengelolaan lahan tidak dilakukan dengan baik, sehingga laju dekomposisi terlalu besar dan atau terjadi kebakaran lahan yang menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) besar. Meniadakan emisi GRK dalam

(3)

pemanfaatan lahan gambut adalah mustahil, karena proses dekomposisi adalah proses alamiah yang juga diperlukan dalam penyediaan hara bagi tanaman (Subiksa et al., 2011).

Salah satu fungsi ekologi lahan gambut adalah sebagai simpanan karbon, dimana total karbon lahan gambut di Indonesia sekitar 44,5 GT (Rieley, 2008). Konversi hutan rawa gambut merupakan sumber emisi gas CO2 (Hooijer, 2006 dalam Verwer, 2008). Menurut Pirkko et al.(1990), kontribusi gas CO2 terhadap efek rumah kaca sebesar 48%, kemudian diikuti kontribsi ozon sebesar 26%, metan 8%, NO2 6%, serta gas lainnya sebesar 2%. Sedangkan menurut IPPC(2001), kontribusi gas CO2 terhadap pemanasan global sebesar 60%. Sejak tahun 1980, konsentrasi CO2 di atmosfir meningkat sekitar 0,4 % setiap tahun, sekarang konsentrasi CO2 di atmosfir diperkirakan sebesar 367 ppm. Dariah et al., (2011), menyatakan bahwa emisi dari deforestasi dan penggunaan lahan gambut diperkirakan menyumbang >50% total emisi di Indonesia

Ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap emisi gas rumah kaca diantaranya adalah proses dekomposisi gambut sendiri, pada prinsipnya, faktor yang berpengaruh terhadap laju emisi GRK identik dengan faktor yang berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme dekomposer bahan organik (Dariah et al., 2011). Faktor pendorong terjadinya emisi gas rumah kaca yang berlebihan di lahan gambut antara lain adalah kebakaran lahan, pembuatan saluran drainase dan pengelolaan lahan (Subiksa et al., 2011).

Faktor lain seperti suhu, kedalaman muka air tanah dan jarak dari drainase bisa sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain terhadap laju emisi gas CO2. Menurut Agus et al. (2010), suhu bukan merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap laju emisi, karena perbedaan suhu antar titik pengukuran di lapangan tidak terlalu nyata. Hal ini umum terjadi di daerah tropika, dimana kisaran suhu maksimum dan minimum tidak terlalu lebar. Hasil penelitian Moore et al., (1993) di laboratorium dengan menggunakan kolom menunjukkan bahwa pada kedalaman muka air tanah 0, 10, 20, 40 dan 60 cm, emisi CO2 berkorelasi positif dengan kedalaman muka air tanah. Semakin dalam muka air tanah emisi CO2 makin tinggi, sedangkan untuk methan berlaku sebaliknya. Hasil penelitian Agus et al., (2010) di Kalimantan Tengah juga menunjukkan bahwa tinggi muka air tanah merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap emisi CO2 pada lahan gambut.

Penggunaan pupuk juga bisa memicu terjadinya emisi gas CO2, CH4, dan N2O. Karena hal inilah pertanian dinyatakan sebagai kontributor utama gas rumah kaca (IPCC, 2001). Menurut Green et al., (1995), pemupukan dapat meningkatkan dekomposisi residu tanaman dan karbon tanah. Namun demikian pemupukan diperlukan karena secara inheren tanah gambut sangat miskin mineral sehinga memerlukan input unsur hara yang mencukupi (Subiksa et al,. 2011).

(4)

BAHAN DAN METODE

Deksripsi lokasi penelitian

Lokasi penelitian adalah di dusun Banjarsari, Desa Rasau Jata II, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Secara Geografis lokasi berada di titik koordinat 00° 14’ 27,0” Lintang Utara, dan 109° 24’ 44,7” Bujur Timur. Kabupaten Kubu Raya terdiri dari 9 kecamatan, 101 desa dan 370 dusun dengan luas keseluruhan 6.985,20 km².

Gambar 1. Peta wilayah Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat

Lokasi penelitian mempunyai bentang lahan yang cukup luas, dan merupakan lahan pembukaan hutan dengan kedalaman gambut sekitar 379 cm. Untuk lokasi budidaya nenas, mulai tanam bulan September tahun 2013, dan sebelumnya merupakan bekas tanaman jagung. Luasan lahan untuk usahatani nenas sekitar 1,5 ha dan menyatu dengan lokasi lahan semak untuk penelitian. Sistem drainase di lokasi penelitian cukup bagus dimana di sekeliling lahan telah dikelilingi parit yang akan mengalirkan air keluar masuk lokasi. Lahan semak belukar pengukuran emisi CO2 merupakan bentang lahan dengan tanaman yang memiliki ketinggian antara 30 - 150 cm yang tidak dibudidayakan. Jenis nenas adalah Ratu Raya dengan jarak tanam 120 x 60 cm.

(5)

Perlakuan dan pengukuran emisi gas CO2

Jenis perlakuan pemupukan pada lahan budidaya nenas disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.

Pengukuran gas CO2 dilakukan menggunakan IRGA (Infra Red Gas Analyzer) Li-COR 820 dengan metoda closed chamber. Pengukuran dilakukan setiap selang waktu 2 minggu mulai dari bulan Februari sampai bulan Juli tahun 2014. Pengukuran dilakukan pada pagi hari dimulai sekitar pukul 09.00 WIB. Waktu pengukuran pada kedua lahan semak belukar dan lahan budidaya nenas dilakukan secara bersamaan.

Tabel 1. Perlakuan pemupukan di lahan budidaya nenas Perlakuan Pupuk Spesifik (ton/ha) Urea

(kg/ha) SP-36 (kg/ha) KCl (kg/ha) Kieserit (kg/ha) CuSO4 (kg/ha) A Pugam 0,50 300 - 150 100 15 B Pukan Ayam 2,50 300 125 150 100 15 C Dolomit 0,25 300 125 150 100 15 D Tanpa Amelioran - 300 125 150 100 15 E Pukan Ayam 0,63 50 - - - - Dolomit 0,80 Trichoderma 4 l/ha NPK 150

Titik-titik pengukuran untuk lahan semak belukar dibuat 5 transek, setiap transek ada 5 titik pengukuran dengan jarak antar titik sekitar 12,5 m serta jarak antar transek sekitar 25 m. Sedangkan untuk budidaya nenas pengukuran emisi gas CO2 dilakukan di petakan perlakuan yang mempunyai ukuran 20 x 20 m, dimana setiap perlakuan diukur 5 titik.

Fluks CO2 dihitung dengan mengikuti persamaan berikut (Madsen et al., 2009) :

Dengan:

fc = fluks CO2 (µmol m-2 detik-1)

P = tekanan udara rata-rata yang terukur IRGA (kPa) h = tinggi chamber (cm)

R = konstanta gas ideal (8,314 Pa m3oK-1 mol-1) T = suhu udara chamber (oK)

C/ t = perubahan konsentrasi CO2 setiap perubahan waktu, slope persamaan linier konsentrasi dengan waktu (ppm detik-1)

(6)

Variabel-variabel lain yang diukur adalah suhu udara, suhu tanah, suhu chamber, kedalaman muka air tanah, dan tinggi chamber di keempat sisi chamber (untuk mendapatkan tingi rata-rata chamber).

Analisis statistik

Data pengamatan dianalisis dengan microsoft excel untuk memperoleh persamaan regresi linier fluks CO2. Fluks gas CO2 dihitung dengan persamaan di atas (Madsen et al., 2009) dengan program excel. Selanjutnya perbandingan antara fluks CO2 di lahan semak belukar dengan lahan budidaya nenas dianalisis dengan T-test SPSS 16. Begitu juga hubungan antara suhu udara dan kedalaman muka air tanah dengan fluks CO2 dianalisis dengan SPSS 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran emisi gas CO2 disetiap pengamatan sangat fluktuatif. Tingkat emisi gas CO2 di lahan gambut semak belukar Kalbar berkisar antara 30 - 72 ton ha-1 tahun-1, sedangkan emisi gas CO2 pada lahan budidaya nenas berkisar antara 24 - 64 ton ha-1 tahun-1. Rata-rata emisi gas CO2 pada lahan gambut semak belukar di Kalbar sebesar 50,33±23,09 ton ha-1 tahun-1. Sedangkan rata-rata emisi gas CO2 pada lahan gambut yang diusahakan dengan budidaya nenas sebesar 47,01 ± 32,14 ton ha-1 tahun-1. Emisi gas CO2 lahan semak belukar lebih tinggi 7,06% daripada emisi di lahan budidaya nenas, tetapi tidak berbeda nyata pada uji t-test two sample assuming equal varians pada galat 5%. Tutupan lahan semak belukar relatif lebih lebat daripada lahan budidaya nenas, kondisi ini kemungkinan turut mempengaruhi emisi gas CO2 di lahan semak belukar sehingga lebih tinggi daripada lahan budidaya nenas. Dimana respirasi akar berpengaruh besar pada emisi gas CO2.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas perakaran merupakan tempat yang disukai oleh mikroba dibandingkan dengan bulk soil (Petersonet al., 2003). Dengan meningkatnya populasi mikroba, maka aktivitas mikroba di sekitar perakaran juga akan meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Handayani et al., (2010), pengaruh respirasi akar pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut menunjukkan emisi CO2 pada zona perakaran (rhizosphere) lebih tinggi dibanding di luar zona perakaran, sekitar 38% dari emisi gas CO2 merupakan hasil respirasi akar. Menurut Dannoura et al,. (2005), proses respirasi tanah dan respirasi akar di bawah tanah memainkan peran penting dalam siklus karbon biosfer.

(7)

Gambar 2. Grafik emisi gas CO2 dilahan gambut penelitian di Kalbar

Hubungan antara suhu udara dengan emisi gas CO2 pada lahan gambut belukar mempunyai korelasi yang tidak nyata pada taraf 5% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar -0,111. Hasil penelitian Agus et al., (2010) menunjukkan bahwa suhu bukan merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap laju emisi. Sedangkan korelasi antara kedalaman muka air dengan emisi gas CO2 pada lahan gambut belukar nyata pada taraf 1% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar -0,178 dengan standar deviasi kedalaman muka air 18,66. Semakin dalam muka air, terlihat bahwa emisi gas CO2 semakin rendah dan mengikuti persamaan y = -0,220x + 63,38 dengan nilai R

2 = 0,031 (y = emisi gas CO 2, x = kedalaman muka air). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Moore et al., (1993). Kondisi di lapang bisa dikatakan sangat panas, dan ada kemungkinan tanah gambut menjadi kering. Menurut Dariah et al.,(2011) pada kedalaman air tanah yang lebih dalam, tanahnya terlalu kering, kondisi ini tidak ideal untuk aktivitas mikroba, sehingga proses dekomposisi menjadi terhambat, dan tentunya berdampak paka penurunan emisi gas CO2. Jauhiainen et al., (2008) menyatakan bahwa hubungan antara kedalaman drainase dengan laju emisi tidak selalu linear.

(8)

Gambar 2. Persamaan regresi antara suhu udara dengan emisi gas CO2dan kedalaman muka air dengan emisi gas CO2 lahan belukar di Kalbar

Korelasi antara suhu udara dengan emisi gas CO2 pada lahan budidaya nenas signifikan pada taraf 1% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar 0,252. Semakin tinggi suhu udara menunjukkan bahwa emisi gas CO2 juga semakin tinggi meskipun dengan R² = 0,063. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Moore et al., (1993) pada skala laboratorium yang menunjukkan emisi CO2 dan gas methan dari tanah gambut yang diletakkan dalam kolom suhu 23oC lebih besar 6,6 kali lipat daripada suhu 10oC.

(9)

Gambar 3. Persamaan regresi antara antara suhu udara dengan emisi gas CO2 dan kedalaman muka air dengan emisi gas CO2 lahan budidaya nenas di Kalbar

Korelasi antara kedalaman muka air dengan emisi gas CO2 pada lahan budidaya nenas signifikan pada taraf 1% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar 0,220. Semakin dalam muka air menunjukkan bahwa emisi gas CO2 juga semakin tinggi dengan R² = 0,048. Hal ini tentunya karena semakin dalam muka air tanah maka kondisi aerob tanah makin tinggi. Emisi CO2 terjadi dalam kondisi aerob dimana mikroorganisme dekomposer akan bekerja secara optimal, serta jumlah dan keragamanya semakin banyak. Hal ini yang akan memicu meningkatnya emisi gas CO (Dariah et al., 2011).

(10)

Emisi gas CO2 pada lahan budidaya dengan perlakuan amelioran yang berbeda memberikan hasil yang berbeda pula. Emisi gas CO2 dari perlakuan kontrol (D) lebih tinggi dan berbeda nyata daripada perlakuan Pugam (A), perlakuan dolomit (C) serta perlakuan pukan ayam petani (E), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan pukan ayam (B) (Gambar 4). Bahan amelioran seperti pugam (pupuk gambut) efektif dalam meningkatkan hasil tanaman jagung serta menurunkan emisi GRK di tanah gambut (Subiksa, 2009).

Gambar 4. Emisi gas CO2 pada perlakuan amelioran di lahan budidaya nenas Kalbar

KESIMPULAN

Emisi gas CO2 lahan semak belukar di Kalbar sebesar 50,33 ± 23,09 ton ha-1 tahun -1 lebih tinggi daripada emisi di lahan budidaya nenas sebesar (47,01 ± 32,18 ton ha-1 tahun-1), tetapi tidak berbeda nyata pada uji t-test two sample assuming equal varians pada galat 5%. Hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi gas CO2 menunjukkan korelasi yang nyata pada taraf 1% korelasi Pearson. Pengelolaan lahan pertanian memberi kontribusi penurunan emisi gas CO2. Budidaya nenas merupakan salah satu pilihan untuk membuka lahan gambut yang memberikan nilai ekonomi tetapi tidak meningkatkan laju emisi gas CO2.

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih yang sebesarnya kepada ICCTF, tim kelompok peneliti Balai Penelitian Tanah dan Tim pengukuran gas rumah kaca di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat atas bantuan dan kerjasamanya dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia.

Agus, F., A. Mulyani, Wahyunto, Herman, A. Dariah, E. Susanti, N.L. Nurida, dan Jubaedah. 2010. Penggunaan lahan gambut: Trade off santara emisi CO2 dan keuntungan ekonomi. Program Kegiatan Pengendalian Perubahan Iklim. Kerjasama antara: Asisten Deputy Iptek Pemerintah, Deputy Bidang Pendayagunaan Iptek, Kementrian Riset dan Teknologi dengan Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, BadanLitbang Pertanian, Kementerian Pertanian.

Dariah, A., E.Susanti, dan F.Agus. 2011.Simpanan Karbon dan Emisi CO2 Lahan Gambut. Balai Penelitian Tanah. http://balittanah.litbang.deptan.go.id /ind/dokumentasi/lainnya/ai%20 dariah.pdf. Diakses 14 Juli 2014.

Dariah, A., Jubaedah, Wahyunto, dan J. Pitono. 2013. Pengaruh Tinggi Muka Air Saluran Drainase, Pupuk, dan Amelioran Terhadap Emisi CO2 Pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Lahan Gambut. Jurnal Littri 19(2), Juni 2013. Hlm 66-71.

Donnoura, M. And M. Jomura. 2005. Measurement of Root Respiration Before and After Forest Fire-evaluation of The Role of Root in the Soil Respiration. http://www.ars.usda.gov/research/publication.htm. Diakses 14 Juli 2014

Handayani, E. Meine, V. Noowidwijk, K. Idris, S. Sabiham. and S. Djuniwati. 2010. The Effctof VariousWater table Depth on CO2Emission at OilPalmPlantation on West Aceh Peat. J. Trop. Soils. 15,3: 255-260.

IPPC-Intergovernmental Panel on Climate Change (2001) Climate Change 2001. The Scientific basis. Contribution of Working Group 1 to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Houghton, J.T., Ding, Y., Griggs, D.J., Noguer, M., van der linden, P.J., Xiaosu, D. Cambridge University Press Cambridge..

Jauhiainen, J., S. Limin, H. Silvennoinen, and H. Vasander. 2008. Carbon Dioxide and Methane Fluxes in Drained Tropical Peat Before and After Hydrological Restoration. Ecology. 89(12): 3503-3514.

(12)

Madsen, R., Xu L, and Claassen B. 2009. Surface Monitoring Method for Carbon Capture and Storage Project. Energy Procedia. 1 :2161-2168.

Marwanto, S. and F. Agu. 2013. Is CO2Flux From Oil Palm Plantations on Peatland Controlled by Soil Moisture and/or Soil ang Air Temperarure? Mitig Adapt Strateg Gilob Change. DOI 10.1007/s11027-013-9518-3.

Moore, T. M. and M. Dalva. 1993. The Influence The Temperature and Water-Table Position On Carbon-Dioxode and Methane Emissions From Laboratory Columns Of Peatland Soil. J. Soil Sci. 44, 651-664.

Peterson, E. 2003. Importance of Rhizodeposition in The Coupling Of Plant and Microbial Productivity. European Journal of Soil Science., 54: 741-750.

Pirkko, S. and T. Nyronen. 1990. The Carbon Dioxide Emissions and Peat Production. International Conference On Peat Production and Use. Jivaskyla. Finland. 1:150-157.

Radjagukguk, B. 1997. Peat Soil of Indonesia: Location, Classification, and Problems for Sustainability. In: Rieley and Page (Eds.). pp. 45-54. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peat and Peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan UK.

Rieley, J.O., R.A.J. Wüst, J. Jauhiainen, S.E. Page, H. Wösten, A.Hoijer, F. Siegert, S. Limin, H. Vasander, and M. Stahlhut. 2008. Tropical Peatlands: Carbon Store, Carbon Gas Emissions and Contribution to Climate Change Processes. Dalam: M. Strack (ed.), Peatlands and Climate Change. Publisher International Peat Society, Vapaudenkatu,

Soil Survey staff. 1996. Key to Soil Taxonomy. 7th edition. USDA. Washington DC. Subiksa, IG Made. 2009. Pengembangan formula amelioran dan pupuk “pugam spesifik

lahan gambut diperkaya bahan pengkelat untuk meningkatkan serapan hara dan produksi tanaman > 50% dan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK)> 30%. Subiksa, I. G. M., W. Hartatik, dan F. Agus. 2011. Pengelolaan Gambut Berkelanjutan:

Pengelolaan Lahan Gambut Secara Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah, Bogor.

http://balittanah.litbang.deptan.go.id/ind/dokumentasi/lainnya/subiksa2.pdf. Diakses tanggal 16 Juli 2014.

Verwer, C., P. Van Der Meer, and G-J. Nabuurs. 2008. Review of Carbon Flux Estimates and Other Greenhouse Gas Emissions from Oil Palm Cultivation on Tropical Peatlands-Identifying the Gaps in Knowledge. Alterra-rapport 1731. Alterra, Wageningen. 44.

Gambar

Gambar 1. Peta wilayah Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat
Tabel 1. Perlakuan pemupukan di lahan budidaya nenas
Gambar 2. Grafik emisi gas CO 2  dilahan gambut penelitian di Kalbar
Gambar 2.  Persamaan regresi antara suhu udara dengan emisi gas CO 2 dan kedalaman  muka air dengan emisi gas CO 2  lahan belukar di Kalbar
+3

Referensi

Dokumen terkait

5ada bayi dan anak usia dibaah  atau 6 tahun, jenis pernapasan adalah pernapasan diagragma atau pernapasan abdomen.3olume oksigen yang di ekspirasi oleh bayi dan anak 4

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan

rawat inap kelas II terhadap pelayanan keperawatan di RSUD Sanjiwani Gianyar dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut dari 86 responden secara umum sebagian besar

Bila saudara telah menyelesaikan Catatan Siswa ini, periksalah kem- bali untuk memastikan bahwa saudara telah menjawab semua per- tanyaan. Kemudian kembalikan kepada kantor LKTI

Concept Selection adalah suatu metode untuk memutuskan konsep mana yang akan terus dikembangkan hingga akhirnya menjadi produk jadi dari beberapa konsep yang telah

Concept Selection adalah suatu metode untuk memutuskan konsep mana yang akan terus dikembangkan hingga akhirnya menjadi produk jadi dari beberapa konsep yang telah

setelah mendapatkan penjelasan mengenai penelitian tentang “Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi