• Tidak ada hasil yang ditemukan

Leonardo Simangunsong

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Leonardo Simangunsong"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608

Volume 2 Nomor 12 (2013)

http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2013

PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM (TINJAUAN PASAL 9 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI

PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM) Leonardo Simangunsong

leosisca@gmail.com

Abstrak

Leonardo Simangunsong, Konsep Keseimbangan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Tinjauan Pasal 9 Ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum) di bawah bimbingan Bapak Dr. La Sina, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Utama dan Ibu Rini Apriani, S.H., M.H selaku Pembimbing Pendamping.

Seperti dituangkan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memerhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Definisi kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah itu tidak secara jelas dan tegas dijelaskan. Yang mana penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan kepentingan umum tersebut dianalogikan untuk kepentingan pembangunan, mestinya diartikan sebagai kepentingan pembangunan untuk penyediaan infrastruktur dalam rangka memenuhi kewajiban pemerintah memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib diselenggarakan oleh pemerintah.

Oleh karena itu, pasal ini menunjukkan pengaturan mengenai pembatasan mengenai kepemilikan tanah, dan tidak hanya untuk orang, tapi juga untuk badan hukum. Dibatasi mengenai luas kepemilikan tanah dan bahkan ada pasal juga yang membatasi mengenai lokasi tanahnya supaya bisa lebih intensif digarap. Hal ini menegaskan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan bersama dari rakyat Indonesia, hak atas tanah dapat dicabut, dan ini merupakan cerminan dari hak penguasaan tanah dapat dicabut, tetapi dengan syarat memberi ganti rugi yang layak, dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang

(2)
(3)

Pendahuluan

Tanah adalah lapisan permukaan atau lapisan bumi dan tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup umat manusia. Kehidupan manusia hampir sebagian besar tergantung pada tanah, baik untuk mata pencaharian, kebutuhan sandang, papan/tempat tinggal, pangan dan kebutuhan lain yang bersifat religius. Kenyataan di masyarakat, orang akan senantiasa berusaha untuk mempertahankan sejengkal tanahnya. Bahkan penguasaan tanah secara tidak sah dapat menimbulkan peperangan. Tanah adalah permukaan bumi, yang dalam penggunaanya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebagian dari ruang yang ada di atasnya, dengan pembatasan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yaitu sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sedalam berapa tubuh bumi dan setinggi berapa ruang yang bersangkutan boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemerintah dalam hal ini perlu mengatur hubungan manusia dengan tanah dan hubungan manusia dengan manusia tentang tanah dan segala perbuatan hukum mengenai tanah dengan berbagai peraturan dan kebijakan tentang pertanahan. Berkaitan dengan perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan kiranya relevan untuk mempertanyakan tentang bagaimana dan sejauh mana serta tujuan yang hendak dicapai dalam kewenangan Negara untuk mengatur peruntukan, penggunaan serta pemeliharaan tanah termasuk mengatur dan menentukan hubungan hukum dan perbuatan hukum mengenai tanah. Sehingga tanah yang mempunyai nilai ekonomis sekaligus fungsi sosial tersebut dapat diperoleh dan dimanfaatkan oleh setiap orang untuk mendukung kegiatan yang diperlukan.

Dalam persoalan tanah untuk pembangunan ini ada berbagai kepentingan yang kelihatannya tidak saling mengimbangi antara satu dengan yang lainnya. Di satu pihak pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana utama, sedangkan di lain pihak sebagian besar warga masyarakat memerlukan juga tanah tersebut sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencahariannya. Dalam rangka melaksanakan proyek-proyek pembangunan, tanah adalah merupakan salah satu sarana yang

(4)

amat penting dan masalah pengadaan tanah untuk kebutuhan tersebut tidaklah mudah untuk dipecahkan, karena dengan semakin meningkatnya pembangunan, kebutuhan akan tanah akan semakin meningkat pula, sedangkan persedian tanah sangat terbatas. Bilamana tanah diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan, maka jelas penulis harus mengorbankan hak asasi warga masyarakat yang seharusnya tidak sampai terjadi dalam Negara yang menganut prinsip rule of law, akan tetapi bilamana hal ini dibiarkan saja, maka usaha pembangunan akan macet.

Peraturan perundang-undangan dibidang agraria, memberi kekuasaan yang besar kepada negara untuk menguasai semua tanah yang ada diwilayah Indonesia, sehingga berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas tanah. Pengadaan tanah sebagai suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan tanah untuk kepentingan tertentu dengan cara memberikan ganti kerugian kepada pemilik tanah baik perorangan atau badan hukum menurut tata cara dan besaran nominal tertentu. Pemerintah atas nama negara memerlukan tanah untuk pembangunan namun karena ketersediaan tanah yang dikuasai negara terbatas maka dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 6 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria mengenai fungsi sosial tanah, maka pemerintah mengambil tanah-tanah hak yang dikuasai oleh perorangan atau badan hukum dengan memberikan penggantian yang layak. Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan prosedur yang menyangkut persoalan esensial dalam upaya penegakkan hukum yang berujung pada tercapainya keadilan. Dalam konteks sosial sesungguhnya prosedur atau mekanisme merupakan sebuah kontrak sosial yang merupakan kesepahaman antara regulator dengan rakyat mengenai urut-urutan kegiatan yang harus ditempuh dalam suatu kegiatan. Dalam penyusunan prosedur menurut Nonet dan Selznick harus bersifat jelas (tidak multitafsir), sederhana dan mudah dilaksanakan (tidak birokratik), bertujuan jelas, mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentingan regulator.

Serta dalam pasal 9 ayat (1) Undang-undang Pengadaan Tanah tersebut juga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum karena pemerintah sebagai pelaksana Undang-undang bisa dengan sepihak menyatakan pengadaan tanah sudah seimbang antara kepentingan pembangunan dengan kepentingan masyarakat sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (1) Undang- undang Dasar 1945. Terhadap anggapan tersebut Pemerintah dapat memberikan pejelasan sebagai berikut. Bahwa Pasal 9 menyatakan, ayat (1), Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk

(5)

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah (Leonardo Simangunsong)

3

kepentingan umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Berdasarkan rumusan tersebut, Pemerintah sebagai pelaksana Undang-undang bisa dengan sepihak menyatakan pengadaan tanah sudah seimbang antara kepentingan pembangunan dengan kepentingan masyarakat adalah tidak berdasar karena Undang-undang Pengadaan Tanah telah mengatur pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak pihak yang berhak pada setiap tahap penyelengaraan pengadaan tanah yaitu melalui pemberitahuan, konsultasi publik, konsultasi publik ulang, hak untuk mengajukan keberatan baik kepada pemerintah maupun melalui PTUN, musyawarah, hak untuk mengajukan keberatan terhadap hasil inventarisasi dan identifikasi, penujukan tim independent untuk menentukan penilai, dan hak untuk mengajukan keberatan ke pengadilan mengenai ganti kerugian.

Penelitian ini fokus pada konsep keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat dalam penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 serta kewenangan pemerintah dalam mengatur pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012.

Pembahasan

1.1 Konsep Keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat dalam penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 tahun 2012.

Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Sebelumnya, di Indonesia pengadaan tanah khususnya bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 1 Angka 3. Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan perubahan dari Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005, maka pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan

(6)

umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Pengertian Pengadaan Tanah dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan umum sebagaimana terdapat pada Pasal 1 angka 2 tertulis “Pengadaan tanah ada kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.”1 Berdasarkan definisi tersebut dapat dilihat bahwa definisi pengadaan tanah pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan umum lebih dititikberatkan kepada ganti kerugian yang layak dan adil, dari pada obyek ganti kerugiannya.

Selain Pengadaan tanah, perlu juga diketahui pengertian tentang kepentingan umum, mengingat pengadaan tanah di Indonesia senantiasa ditujukan untuk kepentingan umum. Memberikan pengertian tentang kepentingan umum bukanlah hal yang mudah. Selain sangat rentan karena penilaiannya sangat subektif juga terlalu abstrak untuk memahaminya. Sehingga apabila tidak diatur secara tegas akan melahirkan multi tafsir yang pasti akan berimbas pada ketidakpastian hukum dan rawan akan tindakan sewenang- wenang dari pejabat terkait. Permasalahan dalam pengadaan tanah dapat terkait secara langsung dengan proses pengadaan tanahnya sejak perencanaan hingga penyerahan, maupun dampak tidak langsung dari kesejajaran nilai tanah yang telah digantikan dengan uang atau lainnya. Dibanding harta lainnya yang dapat dimiliki manusia, secara umum kepemilikan tanah memiliki keterikatan lebih luas dan menyangkut banyak pihak dibanding dengan kepemilikan harta benda lainnya.

Logika sederhana dapat menunjukkan bahwa kepemilikan tanah biasanya merekam historis dan asal usul atau bahkan sejarah suatu keluarga / kelompok masyarakat, menyangkut pula unsur garis pewarisan, batas kepemilikan tanah dengan pihak-pihak lain, dan kualitas / harga tanah yang sangat variatif sesuai persepsi pribadi pemilik tanah maupun taksiran harga umum sesuai kondisi setempat. Sehingga sebenarnya menangani pelepasan tanah jika bukan atas kesadaran dan kemauan secara suka rela pemiliknya, namun lebih karena diminta untuk kepentingan umum dalam pembangunan, maka menjadi hal yang sangat kompleks, rumit dan perlu hati-hati diselesaikan

1 Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

(7)

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah (Leonardo Simangunsong)

5

meski telah ada skema bermacam bentuk pemberian ganti rugi sekalipun, hingga mekanisme musyawarah, keberatan, dan tuntutan melalui pengadilan.

Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat Pembukaan UUD 45, dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk terus bertambah, dan sejalan dengan semakin meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya, maka semakin meningkat dan beragam pula kebutuhan penduduk itu.

Masyarakat adalah sejumlah manusia yang merupakan satu kesatuan golongan yang

berhubungan tetap dan mempunyai kepentingan yang sama seperti; sekolah,

keluarga,perkumpulan, Negara semua adalah masyarakat. Unsur-unsur suatu masyarakat yakni, Harus ada perkumpulan manusia dan harus banyak, telah bertempat tinggal dalam waktu lama disuatu daerah tertentu, adanya aturan atau undang-undang yang mengatur masyarakat untuk menuju kepada kepentingan dan tujuan bersama.

Keberadaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang disahkan 14 Januari 2012, tenggelam oleh kasus-kasus sengketa / konflik pertanahan yang begitu pasif dan kompleks. Pengaturan pengadaan tanah dalam Undang-undang memang tepat. Namun, dari segi substansi, Undang-undang yang strategis dan berdampak luas ini menyisakan beberapa catatan. Undang-undang dibentuk untuk suatu tujuan. Kendala utama pembangunan untuk kepentingan umum, khususnya infrastruktur lebih khusus lagi jalan tol adalah pembebasan tanah, yang tidak dapat ditanggulangi melalui Perpres Nomor 36 Tahun 2005 jo Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Oleh karena itu, Undang-undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dimaksudkan disusun untuk menjamin kelancaran proses pengadaan tanah.

Namun, dalam perjalanan waktu penetapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini tidak lepas dari pro dan kontra dari beberapa elemen masyarakat. Sudah terdapat upaya judicial review

dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah Rakyat (Karam Tanah) yang beranggotakan Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Walhi, Aliansi Petani Indonesia (API), Sawit Watch, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KruHA), Perserikatan

(8)

Solidaritas Perempuan, Yayasan Pusaka, Elsam, Indonesia for Global Justice, dan Serikat Nelayan

Indonesia (SNI), yang menilai Undang-Undang tersebut tidak berpihak kepada masyarakat.2

1.2 Kewenangan Pemerintah dalam mengatur Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dalam dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012.

1. Kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan

1.1.Kewenangan Pemerintah Pusat di bidang pertanahan

Adapun yang menjadi kewenangan dari Pemerintah Pusat dalam bidang pertanahan, bagaimana yang termuat dalam Pasal 1 Kepres No. 34 Tahun 2003 meliputi:

1. Penyusunan basis data tanah-tanah asset Negara Pemerintah/Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia;

2. Penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan dan pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan, yang dihubungkan dalam e-government, e-commerce, dan e-paymen;

3. Pemetaan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah

4. Pembangunan dan pengembangan, pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan melalui

tanah melalui system informasi geografis, dengan mengutamakan penetapan sawah beririgasi, dalam rangkan memelihara ketahanan pangan nasional.

1.2.Kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertanahan

Adapun kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimanan termuat dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan menyebutkan tentang bagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan tersebut antara lain:

2

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=707,diakses hari jumat , tanggal 7 september 2012 pukul 22.00 WIB

(9)

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah (Leonardo Simangunsong)

7

1. Pemberian izin lokasi.yang meliputi: (a). izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modal; (b). perusahaan adalah perseorangan atau badan hokum yang telah memperoleh izin untuk melakukan penanaman modal di Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku; dan (c). penanaman modal adalah yang menggunakan maupun tidak menggunakan fasilitas penanaman asing maupun penanaman modal dalam negeri.

2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk pembangunan.Pengadaan tanah adalah

kegiatan untuk memperoleh tanah baik dengan cara memberikan ganti kerugian maupun tanpa memberikan ganti kerugian (secara sukarela).

3. Penyelesain sengketa tanah garapan. Sengketa tanah garapan adalah pertikaian

ataupun perbedaan kepentingan dari dua pihak atau lebih atas tanah garapan. Tanah garapan yaitu tanah/sebidang tanah yang sudah atau yang belum dilekati dengan sesuatu hak yang dikerjakan atau dimanfaatkan oleh pihak lain, baik dengan persetujuan atau tanpa persetujuan dengan atau tanpa jangka waktu tertentu.

4. Penyelesaian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. Ganti kerugian disini yang dimaksud adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dalam bentuk uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian tersebut atau bentuk lain.

5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee yang menjadi tanah obyek lendreform.

6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hokum adat tertentu.

7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. Tanah kosong adalah tanah yang di kuasai hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai tanah, hak pengelolaan, atau tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang

(10)

berlaku atau sebagainya, yang belum dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya atau Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku.

8. Pemberian izin membuka tanah.Diartikan sebagai izin yang diberikan kepada seseorang

untuk mengambil manfaat dan mempergunakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota. Hal ini diartikan merupakan pelaksanaan dan penetapan letak tepat rencana kegiatan yang telah jelas anggarannya baik dari pemerintah, swasta maupun perorangan yang akan membutuhkan tanah di wilayah Kabupaten/Kota tersebut berdasarkan data informasi pola penatagunaan tanah yang sesuai dengan kawasan rencana tata ruang wilayah. Adapun pola penatagunaan tanah adalah informasi mengenai keadaan penguasaan, pemilikan, pengguanaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan kawasan yang disiapkan oleh kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.3 Sedangkan untuk kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota

dalam satu provinsi, dilaksanakan oleh pemerintah provinsi yang bersangkutan.

Dengan adanya dua kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan akibat dikeluarkannya Kepres No. 34 Tahun 2003, berarti terdapat dualisme hokum di bidang pertanahan yakni kewenangan Pemerintah Pusat dan kewenangan Pemerintah Daerah. Pada satu sisi Pemerintah Pusat berwenang pada inventarisasi dan pengelolaan tanah di seluruh Indonesia, termasuk system kepemilikan dan penguasaan tanah bagi para individu melalui pemetaan kadasteral dan pendaftaran tanah juga pelaksanaan lendreform yang diatur langsung oleh pemerintah pusat serta dipertahankannya Negara Indonesia sebagai Negara agraris dengan pengembangan pengelolaan pertanian melalui sawah irigasi.4 Adapun kewenangan pemerintah daerah menyangkut semua bidang pertanahan di daerah yang terkait dengan pengembangan, pengelolaan tanah dan penyelesaian permasalahan di bidang pertanahan di daerah.5

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti dari UU No. 22 tahun 1999, menyebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi

3

Widyarini I.W., Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dalam Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat Vol. 4 No. 2 April 2007, (Semarang: Fakultas Hukum UNTAG, 2007),hal 142

4 Ibid 5 Ibid

(11)

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah (Leonardo Simangunsong)

9

kewenangan pemerintah daerah yang antara lain pelayanan pertanahan.6 Pelaksanaan yang

dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA bahwa: hak menguasai dari negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara

atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind (pembantuan).7

Berkaitan dengan pembagaian urausan pemerintah, dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian urusan Pemerintahan, di sana dicantumkan bahwa pembagian urusan Pemerintah (baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota), meliputi:

1. Izin Lokasi

2. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum

3. Penyelesaian sengketa tanah garapan

4. Penyelesaian Masalah Ganti Rugi dan santunan tanah untuk pembangunan

5. Penetapan tanah ulayat.

6. Penetapan Subyek dan obyek Redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong

8. Izin membuka tanah

9. Perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota

Apabila diperhatikan dari 9 (sembilan) jenis tugas antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten di atas, maka tergambar bahwa ekspresi sentralisasi masih terlalu dominan, karena pemerintah pusat masih menjadi pionir, yang kurang memberi ruang gerak yang dapat menumbuhkan kemandirian dan kreatifitas daerah sebagai daerah otonom. 8 Hal ini dapat dilihat dari kenyataan yang dinyatakan dalam PP No. 38 tahun 2007 tersebut, dimana pemerintah pusat masih berkeinginan mengeluarkan izin-lokasi, hak ulayat dan masih menganut pola ganti rugi belum berorientasi “ganti untung” yang dapat mengantispasi konflik dan sengketa tanah. Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi. Izin Lokasi adalah kewenangan Pemerintah daerah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) berbunyi: Surat Keputusan pemberian Izin Lokasi ditandatangani oleh Bupati/Walikota atau,

6

Lebih lanjut jika dilihat, bahwa dalam Pasal UU No. 34 Tahun 2004 Pasal 13, di sana dibunyikan berkaitan dengan beberapa kewenanga wajib dan pilihan dari pemerintah Provinsi, salah satunya masalah pelayanan pertanahan termasuk lintas Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam pasal 14 berkaitan dengan kewenangan wajib dan pilihan dari Pemerintah Kabupaten/Kota, yang salah satu dari kewenangan tersebut adalah masalah pelayanan pertanahan.

7

Penjelasan lebih komplit dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 UUPA.

8 Elita Rahmi, Tarik Menarik antara Desentralisasi dan Sentralisasi Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Urusan Pertanahan, dalam Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, (Jambi: Fakultas Hukum UNJA, 2009),hal 145

(12)

untuk Daerah khusus ibukota Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah setelah diadakan rapat koordinasi antar instansi terkait, yang dipimpin oleh Bupati/Walikota, khusus ibukota Jakarta, oleh pejabat yang ditunjuk secara tetap olehnya.

Penutup

Berdasakan dari hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pengadaan tanah diselenggarakan dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan

pembangunan dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, berbagai ketentuan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 harus dapat menjamin bahwa kegiatan pembangunan itu ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Tolak ukur tercapainya paling tidak harus dapat dilihat dari kemanfaatan pembangunan untuk kepentingan umum itu bagi rakyat dan tingkat pemerataan kemanfaatannya serta penghormatan terhadap hak rakyat. Mengingat pembangunan untuk kepentingan umum itu merupakan bagian dari penyelenggaraan ekonomi nasional, pasal-pasal dalam Undang-undang tersebut harus dapat mencerminkan keseimbangan antara keuntungan pembangunan bagi investor dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Hal ini sesuai dengan prinsip kebersamaan dan prinsip efisiensi berkeadilan menurut Pasal 33 Ayat (4) Undang-undang Dasar 1945.

2. Dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum haruslah diselenggarakan melalui

tahapan-tahapan yakni perencanaan pengadaan tanah, persiapan pengadaan tanah, pelaksanaan pengadaan tanah, penyerahan hasil pengadaan tanah, pemantauan dan evaluasi, yang merupakan kewenangan Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam tujuan kesejahteraan rakyat yang merata.

(13)

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah (Leonardo Simangunsong)

11 Daftar Pustaka

Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Djambatan.

Elita Rahmi, Tarik Menarik antara Desentralisasi dan Sentralisasi Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Urusan Pertanahan, dalam Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, (Jambi: Fakultas Hukum UNJA, 2009)

Maria S.W. Sumardjono, 1994, Antara Kepentingan Pembangunan dan Keadilan, Forum Diskusi Alternatif, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

Mohammad Hatta, 2005, Hukum Tanah Nasional, Media Abadi, Yogyakarta.

Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), (Yogyakarta: Citra Media, 2007).

Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, kencana, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji 2006, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sudargo Gautana, 1990, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, PT. Aditya Bakti, Bandung. Sudarno, 1995, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Sunaryati Hartono, Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah, (Bandung : Alumni,

1978)..

Urip Santoso, 2007, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana cetakan ke-3,Jakarta.

Widyarini I.W., Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dalam Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat Vol. 4 No. 2 April 2007, (Semarang: Fakultas Hukum UNTAG, 2007)

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas atas Tanah

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Republik Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya.

Hasil Penelitian

Risalah_sidang_Perkara No. 50.PUU-X.2012, perihal Pengujian Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Evriansyah, 2006, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Perumahan

Korpri di Kabupaten Berau Tanjung Redeb (Studi Kasus Perum Korpri Singkuang Kelurahan Pulau Panjang).

Gerungan Valentino Januar, 2012, Studi Komparatif Definisi Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah (Studi terhadap Perpres Nomor 36 Tahun 2005 jo. Perpres 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum).

Referensi

Dokumen terkait

Pertama, kajian ini berupaya menjelaskan bagaimana kelompok tani di Desa Giriwinangun dalam pengembangan manajemen dan usaha anggota kelompok tani, meningkatkan

Makanan atau minuman hasil fermentasi yang melibatkan mikroorganisme yang menguntungkan salah satunya adalah nata.Nata merupakan hasil fermentasi air kelapa (nata

Klaten Materi Pecahan Melalui bantuan alat peraga benda konkrit tahun 2010/2011” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas penggunaan media pembelajaran alat

Ringkasan Analisis Variansi Pengaruh Konsentrasi dan Asal Ekstrak Gulma terhadap Persentase Perkecambahan Biji Mimosa pudica .... Ringkasan Analisis Variansi Pengaruh Konsentrasi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada RSUP Persahabatan Jakarta Timur selaku instansi yang terkait mengenai faktor -faktor yang berhubungan

(3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan

Research methodology applied in this research included 1) Descriptive quantitative method 2) Documentation as both data collecting method and research instrument

Namun setelah dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dalam Pasal 1 butir 2 menjelaskan