• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Atas Penerimaan Uang Ganti Rugi Dari Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Sedang Terikat Hak Tanggungan Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Atas Penerimaan Uang Ganti Rugi Dari Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Sedang Terikat Hak Tanggungan Chapter III V"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

atau pernyataan tertulis dari kreditur bahwa hak tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin dengan hak tanggungan telah lunas atau kreditur melepaskan hak tanggungan yang bersangkutan.68

Atas dasar Kepala Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan hak tanggungan menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan pencoretan hak tanggungan tersebut.69

BAB III

GANTI KERUGIAN ATAS PEMBEBASAN HAK ATAS TANAH

A. Pengertian Pembebasan Hak Atas Tanah dan Dasar Hukum

Pembebasan Tanah adalah onteigening

68

Salim HS, Op.Cit, hal 191

69

Adrian Sutedi, Op.Cit, hal 85

(2)

rugi kepada orang atau pihak yang mempunyai hak atas tanah dan benda tersebut sebelumnya, dengan cara yang diatur berdasarkan undang-undang.70

Pembebasan tanah juga disebutkan pelepasan hak atas tanah. Pelepasan hak atas oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah kepada pihak atau Panitia pembebasan tanah yang memerlukan atau yang melakukan pembebasan tanah.

71

Pembebasan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk melepaskan hubungan antara pemilik atau pemegang hak atas tanah dengan pembayaran hrga atau dengan ganti kerugian.72 Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang terdapat di antara pemegang hak/pemilik/ penguasaan hak atas tanah dengan cara pemberian ganti rugi atas tanah berdasarkan hasil musyawarah dengan pihak yang bersangkutan.73

Pengertian tersebut mengandung arti bahwa pembebasan tanah merupakan tindakan sepihak dari pemerintah melalui panitia pengadaan tanah kepada hak atas tanah. Selain itu perbuatan hukum “melepaskan hubungan hukum” mempunyai arti bahwa yang dimaksud melepaskan hak atas tanah adalah pemilik/pemegang hak atas tanah, bukan kehendak pemerintah atau panitia dan seolah-olah pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah melepaskan tanahnya dengan sukarela tidak ada unsur pemaksaan atau keterpaksaan.74

70

http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/pembebasan_tanah.aspx

71

Umar Said Sugiharto, Suratman dan Noorhudha Muchsin, Hukum Pengadaan Tanah : Pengadaan Hak atas Tanah untuk Kepentingan Umum Pra dan Pasca Reformasi, Malang : Penerbit Setara Press, 2015, hal 86

72

Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Bandung : Penerbit Citra Aditya Bakti, 1993, hal 27

73

Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Bandung : Penerbit Alumni, 1993, hal 41

74

Umar Said Sugiharto, Suratman dan Noorhudha Muchsin, Op.Cit, hal 86

(3)

Pembebasan tanah ialah setiap perbuatan yang bermaksud langsung atau tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada di antara pemegang hak, penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak /penguasa atas tanah itu.75 Menurut hukum yang berlaku di Indonesia ada dua cara yang di tempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang dimiliki oleh warga masyarakat, yaitu cara pembebasan/pelepasan hak atas tanah (prijsgeving) dan cara pencabutan hak atas tanah (onteigening).76

Dalam rangka pembebasan tanah ini, bila telah tercapai kata sepakat mengenai bentuk/besarnya ganti rugi, maka pembayaran harus dilaksanakan secara langsung oleh instansi yang bersangkutan dengan penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya empat orang anggota panitia pembebasan tanah, diantaranya kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan.

Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi kewajiban hukumnya.

77

75

Sudaryo Soimin, Op.Cit, hal 79

76

Sf marbun dan Mahfud Md, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Penerbit liberty, Yogyakarta, 2013, hal 164

77

Sudaryo Soimin, Op.Cit, hal 80

(4)

1. Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 tahun 1975 (tanggal 13 Desember 1975) tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah.

Pasal 1 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6) Panitia Pembebasan Tanah adalah suatu Panitia yang bertugas melakukan pemeriksaan/ penelitian dan penetapan ganti rugi dalam rangka pembebasan sesuatu hak atas tanah dengan atau tanpa bangunan/tanam tumbuk di atasnya, yang pembentukannya ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah untuk masing-masing Kabupaten/Kotamadya dalam suatu wilayah Propinsi yang bersangkutan. Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Pembebasan Tanah berpedoman kepada peraturan-peraturan yang berlaku berdasarkan azas musyawarah dan harga umum setempat. Harga umum setempat adalah harga dasar yang ditetapkan secara berkala oleh suatu Panitia untuk sesuatu daerah menurut jenis penggunaannya. Tanah-tanah yang dibebaskan dengan mendapatkan ganti rugi dapat berupa tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 dan tanah-tanah dari masyarakat hukum adat. Dalam penetapan ganti rugi di atas termasuk pula tanaman-tanaman dan bangunan-bangunan yang berada di atas tanah tersebut.

(5)

yang dibebaskan itu terletak di wilayah beberapa Kabupaten/Kotamadya atau jika menyangkut proyek-proyek khusus.

Pasal 4 ayat (1), (2) dan (3) menyebutkan bahwa Panita Pembebasan Tanah bekerja atas permintaan instansi yang memerlukan tanah. Instansi yang memerlukan tanah harus mengajukan permohonan pembebasan hak atas tanah kepada Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya, dengan mengemukakan maksud dan tujuan penggunaan tanahnya. Permohonan tersebut harus disertai dengan keterangan-keterangan tentang status tanahnya (jenis/macam haknya, luas dan letaknya), gambar situasi tanah, maksud dan tujuan pembebasan tanah dan penggunaan selanjutnya dan kesediaan untuk memberikan ganti rugi atau fasilitas-fasilitas lain kepada yang berhak atas tanah. Pasal 5 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa setelah menerima permohonan dari instansi yang bersangkutan, maka Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk segera meneruskan permohonan tersebut kepada Panitia Pembebasan Tanah untuk mengadakan penelitian terhadap data dan keterangan-keterangan. Jika dianggap perlu, Panitia Pembebasan Tanah dapat memanggil pihak-pihak yang bersangkutan untuk melengkapi data/ keterangan.

(6)

perbedaan taksiran ganti rugi di antara para anggota Panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari taksiran masing-masing anggota. Pelaksanaan pembebasan tanah harus dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Keputusan Panitia Pembebasan Tanah mengenai besar/bentuknya ganti rugi tersebut disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah, para pemegang hak atas tanah dan para anggota Panitia yang turut mengambil keputusan.

Pasal 8 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa Panitia Pembebasan Tanah setelah menerima dan mempertimbangkan alasan penolakan tersebut dapat, mengambil sikap yaitu tetap kepada keputusan semula dan meneruskan surat penolakan dimaksud dengan disertai pertimbanganpertimbangannya kepada Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diputuskan. Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan setelah mempertimbangkan dari segala segi, dapat mengambil keputusan yang bersifat mengukuhkan putusan Panitia Pembebasan Tanah atau menentukan lain yang ujudnya mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Kemudian Pasal 10 ayat (1) menegaskan bahwa apabila pembebasan tanah beserta pemberian ganti rugi telah selesai dilaksanakan, maka instansi yang memerlukan tanah tersebut diharuskan mengajukan permohonan sesuatu hak atas tanah kepada Pejabat yang berwenang.

(7)

secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman kepada azas musyawarah.

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976 tentang penggunaan acara pembebasan tanah untuk swasta.

Pasal 1 disebutkan bahwa Pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum dan fasilitas sosial dapat dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah. Pasal 4 menegaskan bahwa dalam surat ijin pembebasan tanah oleh pihak swasta menurut acara yang berlaku bagi pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah, harus dicantumkan alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang dipergunakan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk pemberian ijin tersebut. Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa Gubernur Kepala Daerah Tingkat I berkewajiban untuk mengadakan pengawasan agar pelaksanaan pembebasan tanah menurut tatacara yang diatur dalam Peraturan ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Surat Edaran Nomor : Ba. 12/10812/75 tentang Pelaksanaan pembebasan tanah

(8)

yang bersangkutan dan atau atas kuasa Gubernur Kepala Daerah Tk. I oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II untuk masing-masing Kabupaten/Kotamadya.

Pelaksanaan pembebasan tanah harus berpedoman pada peraturan yang berlaku dan dalam penentuan besarnya ganti rugi harus diusahakan dengan asas musyawarah antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan mempertimbangkan/memperhatikan harga dasar setempat yang ditetapkan secara berkala oleh suatu Panitia sebagai dimaksud dalam PMDN 1/1975 serta dengan memperhatikan kemampuan anggaran keuangan Pemerintah. Keputusan Panitia Pembebasan tanah mengenai besarnya/bentuk ganti rugi disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan dan para anggota Panitia.

Dalam pada itu tidak mustahil akan terjadi penolakan mengenai menetapan besarnya uang ganti rugi yang telah ditetapkan oleh Panitia Pembebasan Tanah. Dalam keadaan yang demikian maka penolakan itu harus disampaikan kepada Panitia disertai alasan-alasan menjadi dasar penolakan.

(9)

hak atas tanah oleh instansi yang bersangkutan, maka pembayaran ganti rugi serta pernyataan pelepasan hak tersebut harus dibuat dalam bentuk Berita Acara dengan dilampiri suatu daftar secara kolektif dari pihak-pihak yang telah menerima pembayaran ganti rugi tersebut sekurang-kurangnya dalam 8 (delapan) ganda. Untuk mewujudkan tertib penguasaan dan penggunaan tanah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, setiap pembebasan hak atas tanah yang sudah selesai harus diikuti dengan pengajuan permohonan sesuatu hak atas tanah kepada pejabat yang berwenang. Kepentingan swasta pada asasnya adalah sejajar dengan kepentingan anggota-anggoa masyarakat, maka pembebasan tanah untuk kepentingan swasta pada asasnya harus dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi yang besarnya ditentukan secara musyawarah. Dalam pada itu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan maupun garis-garis kebijaksanaan Pemerintah mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah, maka diwajibkan kepada Pemerintah Daerah untuk mengawasi pelaksanaan pembebasan dan pembayaran ganti rugi yang dilakukan oleh pihak swasta.

(10)

keresahan masyarakat karena untuk adanya pembebasan itu diharuskan ada musyawarah sehingga ada kata sepakat.78

Pembebasan tanah untuk kepentingan umum adalah salah satu bagian dalam pengaturan pertanahan di Indonesia. Didalamnya memiliki beberapa unsur strategis yang sangat penting untuk dicermati lebih jauh, daripada ‘proses pembebasan tanah’ semata, yaitu:

79

1. Pembebasan tanah untuk kepentingan umum sangat berkaitan dengan kemajuan atau peningkatan pembangunan, dalam hal ini pembangunan sarana infrastruktur dan proyek-proyek yang bertujuan memberikan manfaat yang besar pada publik dan secara finansial bernilai tinggi. Setiap kesulitan dalam pengadaan tanah, baik itu pada regulasi maupun praktek penerapannya, akan berimbas pada terhambatnya proyek-proyek pembangunan infrastruktur, dan pada akhirnya mengakibatkan manfaat dari sarana infrastruktur dimaksud tidak bisa segera dirasakan oleh masyarakat umum. Hal ini tentunya akan menghambat tujuan pembangunan untuk kepentingan masyarakat.

2. Proses pembebasan tanah untuk kepentingan umum berkaitan dengan masalah pelepasan dan pemutusan hak atas tanah dan objek di atas tanah dari pemiliknya. Hal ini akan berkaitan juga dengan perikehidupan pemilik hak atas tanah dan benda di atasnya yang pada dasarnya merupakan hak asasi manusia. Unsur pelepasan tanah demi pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemilik hak, tentunya akan berbeda dengan pelepasan hak atas tanah

78

http://refhie.blogspot.co.id/2012/11/pembebasan-dan-pencabutan-hak-atas-tanah.html

79

(11)

yang memang menjadi kehendak pemilik hak apabila ia memang bermaksud melepaskan haknya- pada transaksi bebas. Hal di atas menyebabkan kebijakan dan pengaturan proses pembebasan tanah untuk kepentingan umum (pembangunan) harus selalu dihubungkan dengan usaha perlindungan hak atas properti dari pemilik hak. Posisi pemerintah dalam melakukan pembebasan tanah hendaknya tetap memiliki batasan dan kontrol untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

3. Meskipun konsep dan pengaturan pembebasan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia tidak membuka peluang keterlibatan pihak swasta terlibat didalamnya, saat ini terlihat adanya upaya untuk membuka peluang melalui peraturan perundangundangan kepada pihak swasta sebagai bentuk legitimasi untuk terlibat dalam proses pembebasan tanah atas nama kepentingan umum.80

4. Keempat, lebih jauh, apabila ditinjau dari sudut pandang ekonomi dan politik, latar belakang pembebasan tanah untuk kepentingan umum dapat dirunut hingga ke persoalan pengaruh dan tekanan pihak internasional dalam penyusunan dan penentuan kebijakan.

Proses pembebasan tanah untuk pembangunan untuk kepentingan, hal pokok yang jelas terlihat adalah posisi pemerintah yang dominan, karena dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum, pemerintah memiliki kuasa melakukan pembebasan tanah. Untuk membatasi kuasa

80

(12)

pemerintah dan posisinya yang dominan supaya tidak terjadi penyalahgunaan, khususnya dalam peraturan perundang-undangan, mekanisme pencabutan hak yang sudah sepatutnya dihindari dan mengutamakan pada mekanisme lain. Solusi melalui mekanisme ‘membangun tanpa menggusur’ yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum ini.

Berpijak pada batasan pembebasan tanah tersebut, dapat ditemukan dua hal pokok dalam pembebasan tanah, yakni pelepasan hak seseorang atas tanah demi kepentingan lain (kepentingan pembangunan untuk umum) dan pemberian ganti kerugian atau kompensasi atas pelepasan hak tersebut. Mengingat kedua hal tersebut begitu fundamental, maka pembebasan tanah harus dilakukan dengan cara yang seimbang. Pelaksanaan pembebasan tanah dilakukan dengan bantuan panitia pembebasan tanah. Panitia pembebasan tanah ini bekerja atas permintaan instansi yang memerlukan tanah. Membebaskan tanah adalah pihak pemerintah sediri, proyek-proyek yang dikerjakan adalah proyek pemerintah, direncanakan, dilaksanakan dan dibiayai oleh pemerintah. Artinya, pembebasan tanah tidak boleh dilakukan untuk proyek yang mengakomodasi kepentingan swasta atau proyek pemerintah tidak boleh dilaksanakan ole pihak swasta.81

Dalam rangka pembebasan tanah ini, bila telah tercapai kata sepakat mengenai bentuk/bearnya ganti rugi, maka pembayaran harus dilaksanakan secara langsung oleh instansi yang bersangkutan dengan penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-kurangya empat orang anggota panitia pembebasan tanah, diantaranya Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan. Masalah pembebasan tanah sangat rawan dalam hajat hidup orang banyak. Kalau

81

(13)

dilihat daripada kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan berbagai macam pembangunan, dapat dimengerti bahwa tanah Negara yang tersedia sangatlah terbatas sekali. Maka satu-satunya jalan yang dapa ditempuh, membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hokum adat ataupun hak-hak lainnya yang melekat di atasnya.82

B. Aspek Ganti Rugi

Ganti rugi adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pengertian ganti rugi yang dimaksud adalah mengenai dasar perhitungan dalam melakukan pembayaran ganri rugi atas hak atas tanah yang akan diambil untuk pembangunan demi kepentingan umum.83

Ganti rugi yang layak, dapat saja panitia penaksir melihat perkembangan akan harga tanah, sehingga pembayaran ganri rugi akan diterima oleh semua pihak dengan tanpa paksaan. Milihat kenyataannya bahwa panitia penaksiran ganti rugi tanah ini akan mewujudkan kemauan para pihak dengan adil serta bijaksana. Pemberian ganti rugi haruslah dilihat hak atas tanah yang melekat diatasnya.84

Ganti rugi adalah pemberian ganti atas kerugian yang diderita oleh pemegang hak atas tanah atas beralihnya hak tersebut. Masalah ganti kerugian menjadi komponen yang paling sensitif dalam proses pengadaan tanah. Pembebasan bentuk dan besarnya ganti kerugian sering kali menjadi proses yang

82

Sudaryo Soimin, Op.Cit, hal 81

83

Supriadi, Op.Cit, hal 80

84

(14)

panjang, dan berlarut-larut akibat tidak adanya kesepakatan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.85

Istilah ganti rugi tersebut dimaksud adalah pemberian ganti atas kerugian yang diderita oleh pemegang hak atas tanah atas beralihnya haknya tersebut. Masalah ganti kerugian menjadi komponen yang paling sensitif dalam proses pengadaan tanah. Pembebasan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian seringkali menjadi proses yang panjang dan berlarut-larut (time consuming) akibat tidak adanya kesapakatan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Sementara itu, dalam bidang keperdataan, ganti rugi ditandai sebagai pemberian prestasi yang setimpal akibat dari satu perbuatan yang menyebabkan kerugian diderita oleh salah satu pihak yang melakukan kesepakatan/consensus.

Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 1 angka 10 menyebutkan bahwa ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Arti ganti rugi menurut Perpres Nomor 71 Tahun 2012 Pasal 1 angka 10 bahwa Ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Sedangkan bentuk ganti ruginya berupa uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

85

(15)

Singkatnya, ganti rugi adalah pengenaan ganti sebagai akibat adanya penggunaan hak dari satu pihak untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan dari lain.86

Pemberian ganti rugi hanya atas bidang tanahnya saja, seharusnya ditentukan juja, pemberian tanah dan ganti rugi atas bidang tanahnya beserta benda-benda yang ada diatasnya. Karena tidak ditentukan demikian, ketentuan PMDN tersebut bisa ditafsirkan bahwa yang diberi ganti rugi hanya tanah saja, sedang tanaman, bangunan dan benda-benda lain di atas tanah tidak diberikan ganti rugi.87 Dalam melakukan pembayaran ganti kerugian dalam hal pelepasan hak atas tanah, pemerintah perlu memerhatikan aspek-aspek berikut yakni :88

1. Aspek kesebandingan

Ukuran untuk kesebandingan antara hak yang hilang dengan penggantinya harus adil menurut hukum dan menurut kebiasaan masyarakat yang berlaku umum.

2. Aspek layak

Selain sebanding ganti rugi harus layak jika penggantian dengan hal lain yang tidak memiliki kesamaan dengan hak yang telah hilang.

3. Aspel perhitungan cermat

Perhitungan harus cermat, termasuk di dalamnya penggunaan waktu, nilai dan derajat.

C. Bentuk dan Penetapan Ganti Rugi

Bentuk ganti kerugian yang ditawarkan seharusnya tidak hanya ganti kerugian fisik yang hilang, tetapi juga harus menghitung ganti kerugian non fisik seperti pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dipindahkan kelokasi yang baru. Sepatutnya pemberian ganti kerugian tersebut harus tidak membawa

86

Ibid, hal 172

87

Umar Said Sugiharto, Suratman dan Noorhudha Muchsin, Op.Cit, hal 87

88

(16)

dampak kerugian kepada pemegang hak atas tanah yang kehilangan haknya tersebut melainkan membawa dampak pada tingkat kehidupan yang lebih baik atau minimal sama pada waktu sebelum terjadinya kegiatan pembangunan.89

Pada peraturan sekarang hanya ditentukan penggantian kerugian terbatas bagi masyarakat pemilik tanah ataupun menggarap tanah, berarti ahli warisnya. Ketentuan ini tanpa memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat yang bukan pemilik, seperti penyewa atau orang yang mengerjakan tanah, yang menguasai dan menempati serta untuk kepentingan umum, masyarakat kontribusi dari pembangunan itu, serta rekognisi sebagai ganti pendapatan, pemanfaatan dan penguasaan hak ulayat mereka yang telah digunakan untuk kepentingan.

Ganti rugi yang diberikan oleh instansi pemerintah hanya diberikan kepada factor fisik semata. Seharusnya patut pula dipertimbangkan tentang adanya ganti rugi faktor-faktor non fisik (immaterial). Dalam hal ini ganti kerugian hanya diberikan kepada orang-orang yang hak aas tanahnya terkena proyek pembangunan. Pada kenyataannya, masyarakat disekitar proyek tersebut juga terkena dampak, baik yang positif maupun negatif, seperti kehilangan akses hutan, sungai dan sumber mata pencaharian lainnya. Bentuk ganti kerugian komunal harus diperhatikan berdasarkan hukum adat komunitas setempat. Perlu juga dikembangkan bentuk ganti kerugian dalam pola kemitraan jangka panjang yang saling menguntungkan antara pemilik modal (swasta) atau pemerintah dengan masyarakat pemilik hak atas tanah.

90

89

Maria S.W. Sormardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Kompas, Jakarta, 2008, hal 200

90

(17)

Pasal 33 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menyebutkan bahwa Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai.

Pasal 34 ayat (1), (2) dan (3) menyebutkan bahwa nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum. Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan dengan berita acara. Nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti Kerugian. Pasal 35 bahwa dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.

(18)

Penjelasan Pasal 36 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum disebutkan bahwa Permukiman kembali adalah proses kegiatan penyediaan tanah pengganti kepada Pihak yang Berhak ke lokasi lain sesuai dengan kesepakatan dalam proses Pengadaan Tanah. Bentuk ganti kerugian melalui kepemilikan saham” adalah penyertaan saham dalam kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum terkait dan/atau pengelolaannya yang didasari kesepakatan antar pihak. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak misalnya gabungan dari 2 (dua) atau lebih bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali dan kepemilikan saham.

(19)

Pasal 39 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum bahwa dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu karena hukum Pihak yang Berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian. Pasal 40 bahwa pemberian Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah diberikan langsung kepada Pihak yang Berhak.

Penjelasan Pasal 40 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum bahwa Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada Pihak yang Berhak atas Ganti Kerugian. Apabila berhalangan, Pihak yang Berhak karena hukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang berhak atas Ganti Kerugian. Yang berhak antara lain pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan, nadzir, untuk tanah wakaf, pemilik tanah bekas milik adat, masyarakat hukum adat,pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik, pemegang dasar penguasaan atas tanah dan/atau pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

(20)

Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pihak yang menguasai tanah negara yang dapat diberikan Ganti Kerugian adalah pemakai tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “pemegang dasar penguasaan atas tanah” adalah pihak yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang membukt ikan adanya penguasaan yang bersangkutan atas tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang akta jual beli atas Hak atas Tanah yang belum dibalik nama, pemegang akta jual beli atas hak milik adat yang belum diterbitkan sertifikat, dan pemegang surat izin menghuni. Bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang belum atau tidak dipunyai dengan Hak atas Tanah, Ganti Kerugian diberikan kepada pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

(21)

melalui Lembaga Pertanahan. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian bertanggung jawab atas kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang diserahkan. Tuntutan pihak lain atas Objek Pengadaan Tanah yang telah diserahkan kepada Instansi yang memerlukan tanah menjadi tanggung jawab Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian.

Pasal 42 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.Penitipan Ganti Kerugian selain juga dilakukan terhadap Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya atau Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian sedang menjadi objek perkara di pengadilan, masih dipersengketakan kepemilikannya, diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang atau menjadi jaminan di bank.

(22)

mengenai insentif perpajakan diatur oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 46 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dinyatakan bahwa Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah diberikan dalam bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi. Ganti Kerugian atas objek Pengadaan Tanah dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Pasal 48 ayat (1) menyatakan bahwa lembaga pertanahan menyerahkan hasil Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah setelah pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak dan Pelepasan Hak telah dilaksanakan dan/atau pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri.

Ganti kerugian tersebut bisa berdiri sendiri tiap unsur ataupun gabungan dari beberapa unsur yang diberikan sesuai dengan nilai komulatif ganti kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang ditetapkan oleh penilai (appraisal). Bentuk dan jenis ganti rugi lain yang disepakati bersama bisa dilaksanakan sebagaimana disebutkan dalam ketentuan di atas, dan untuk menentukan jenis ganti rugi yang akan dipilih sepeuhnya diserahkan kesepakatan bersama antara panitia pengadaan tanah dengan para pemilik. Bentuk ganti rugi untuk didaerah perkotaan pada umumnya akan lebih dominan berbentuk uang, karena pada umumnya pemilik tanah cari yang simple.91

D. Asas-asas Ganti Rugi

91

(23)

Dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan terkait lainnya mengenai ganti rugi tersirat beberapa asas hukum demi terciptanya perlindungan hukum bagi korban pembebasan tanah. Oleh karena itu, pemerintah seyogjanya memerhatikan aas-asas hukum tersebut ketika memberikan ganti rugi kepada para warganya yang menjadi korban pembebasan lahan. Asas-asas tersebut antara lain :

1. Asas itikad baik (principle of good attention)

Adapun maksud dari asas ini adalah bahwa pengadaan dan pembebasan tanah untuk kepentingan umum maupun swasta harus dilandasi adanya itikad baik dan keterbukaan serta kejujuran dari segi peruntukan, bentuk maupun besarnya nilai ganti rugi yang diberikan. Sehingga, di antara kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan atau menjadi korban dalam proses pelaksanaannya.92

2. Asas keseimbangan (principle of equilibrium)

Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban pengusahaan tanah dalam setiap pemberian ganti rugi, baik bentuk maupun besarnya. Pemberian ganti rugi diharapkan akan mendatangkan kesejahteraan bersama dan disesuaikan dengan keadaan yang nyata. Dalam arti bahwa ganti rugi tanah tersebut dilakukan sesuai dengan alas hak yang dimiliki oleh pemilik tanah. Pembayaran ganti rugi itu tidak boleh disamaratakan antara yang sudah mempunyai alas hak dengan yang tidak mempunyai alas hak meskipun terletak di lokasi yang sama. Di samping itu, hukuman atau sanksi

92

(24)

yang diberikan harus seimbang dengan kesalahan yang dilakukan tanpa membedakan, tempat, waktu dan status sosial.93

3. Asas kepatutan (prinsiple of approrateness)

Nilai ganti kerugian harusla layak dan patut berdasarkan nilai nyata/sebenarnya dari tanah dan/atau segala yang menjadi turutannya. Harga yang didasarkan atas nilai nyata/sebenarnya itu tidak harus sama dengan harga umum mengingat harga umum bisa saja merurpakan harga catut. Sebaliknya, harga atas tanah tersebutjuga dapat menjadi harga yang lebih tinggi. Tujuannya adalah ganti kerugian yang diberikan itu tidak hanya untuk orang yang berhak atas tanah atau yang haknya dibebaskan itu, tetapijuga orang-orang yang menempati dan menggarap atau orang yang menggunakan tanah sebagai tempat usaha.94

4. Asas kepastian hukum (principle of certainly of law)

Perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat merupakan sesuatu yang urgen. Sebisa mungkin seluruh masyarakat bebas dari praktik-praktik penyalahgunaan wewenang dalam ganti rugi tanah. Karenanya, ketentuan mengenai ganti rugi tanah tidak cukup diatur dalam Keppres, tetapi harus ada undang-undang khusus yang mengaturnya. UU tersebut harus memuat sanksi-sanksi hukumnya, baik yang bersifat penal dan non penal sehingga keputusan yang diambil selalu berpegang pada kewajaran dan keadilan.95

5. Asas kesejahteraan (prinsiple of welfare)

93

Antji M. Ma’moen, Pendaftaran tanah sebagai Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria untuk mencapai Kepastian Hukum Hak-hak atas Tanah, Penerbit Universitas Padjajaran Press, Bandung, 1996, hal 74

94

Ediwarman dalam Berhard Limbong, Op.Cit, hal 183

95

(25)

Aas ini menghendaki perlindungan hukum terhadappihak yang melepaskan tanah dari sisi ekonomisnya. Bisa saja, tanah yang diserahkan itu banyak membantu pihak yang menyerahkan tanah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Perlindungan hukum yang diharapkan itu harus bersifat konkret, dengan menerarapkan sanksi yang bersifat penal dan nonpenal. Sanksi yang bersifat penal terhadap pelaku yang teah melakukan penyalahgunaan wewenang harus dihukum dan sanksi yang bersifat nonpenal dapat diberikan yang bernilai ekonomis guna kesejahteraan korban.96

Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum pemilik atau pemegang hak atas tanah harus mendapatkan apa yang menjadi haknya yaitu ganti rugi yang adil tatkala mereka telah melepaskan hak atas tanahnya. Ganti rugi dapat disebut adil apabila keadaan setelah pengambilalihan tanah paling tidak kondisi sosial ekonominya setara dengan keadaan sebelumnya, disamping itu ada jaminan terhadap kelangsungan hidup mereka yang tergusur.97 Dengan kata lain, asas keadilan harus dikonkritkan dalam pemberian ganti rugi, artinya dapat memulihkan kondisi sosial ekonomi mereka minimal setara atau setidaknya masyarakat tidak menjadi miskin dari sebelumnya.98

Kegiatan pengadaan tanah tersangkut kepentingan dua pihak, yaitu instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan dimaksud. Oleh karena itu pengadaan tanah

96

Antji M. Ma’moen, Op.Cit, hal 333

97

Maria S.W. Soemardjono, Op.Cit, hal 89

98

(26)

dimaksud haruslah dilakukan melalui proses yang menjamin tidak adanya pemaksaan kehendak dari satu pihak terhadap pihak yang lain, pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan tersebut harus dilakukan dengan mengindahkan asas keadilan.99 Asas keadilan yang dimaksud bahwa kepada masyarakat yang terkena dampak diberikan ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya, minimal setara dengan keadaan semula dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun non fisik.100

BAB IV

PELAKSANAAN PENERIMAAN UANG GANTI RUGI DARI

PEMBEBASAN HAK ATAS TANAH YANG SEDANG TERIKAT HAK

TANGGUNGAN

A. Prosedur pembebasan hak Atas tanah

Hak atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang untuk memakai tanah yang diberikan kepada orang atau badan hukum.101

99

Maria S.W. Soemardjono, Op.Cit, hal 122

100

Ibid.,

101

Arie Sukanti Hutagalung & Markus Gunawan, Op.Cit, hal 29

(27)

memberi wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan atau juga merupakan sekelompok orang secara bersama-sama, badan hukum).102

Soal menggunakan istilah pembebasan tanah sama halnya dengan pengertian “pengambilan tanah” yang diatur oleh pencabutan hak atas tanah dan semakna juga dengan “pengadaan tanah” yang diatur ole hukum pengadaan tanah. Kata pembebasan tanah sama artinya dengan pengadaan tanah (lahan), akuisisi tanah (lahan), perolehan tanah (lahan), pengambilalihan tanah (lahan).103 Pembebasan Tanah (Prijsgeving) merupakan melepaskan hubungan hukum semula yang terdapat diantara pemegang hak atas tanah dengan cara pemberian ganti rugi atas dasar musyawarah dengan pihak yang bersangkutan.104

Masyarakat awam mengartikan pembebasan hak atas tanah untuk kepentingan umum merupakan sebagai suatu yang seharusnya bersifat kontraktual, karena masyarakat menganggap pembebasan hak-hak atas tanah seseorang secara konkret, lebih menguntungkan pihak-pihak luar/pihak lain, sekalipun dari sudut pandangan pemerintah diartikan sebagai kepentingan nasional. Pemerintah sering memaksakan kehendak agar warga masyarakat bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya dengan dalih untuk kepentingan umum, yang berarti juga untuk kepentingan komunitas masyarakat lokal. Namun di lain pihak pemerintah dengan segenap aparatnya justru mengupayakan kesediaan masyarakat untuk melepaskan hak-haknya dengan proses pembebasan

102

Suhanan Yosua, Op.Cit, hal 22

103

Gunanegara, Hukum Administrasi Negara Jual Beli dan Pembebasan Tanah, PT Tatanusa, Jakarta, 2016, hal 9

104

Servie M. Tumengkol, Prosedur Pencabutan Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah, Karya Ilmiah Ilmu Sosial dan Politik, Manado, 2012, hal 6

(28)

hak atas tanah untuk kepentingan umum, dalam arti masyarakat itu wajib melespaskan hak atas tanahnya.105

1. Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan pembebasan hak atas tanah kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk disertai keterangan mengenai status tanahnya, gambar situasi, maksud dan tujuan dan penggunaan selanjutnya serta kesediaan untuk membayar ganti rugi. Bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah dan/atau fasilitas lain.

Prosedur pembebasan hak atas tanah berupa:

2. Gubernur akan meneruskan permohonan tersebut kepada Panitian Pembebasan Tanah dan panitia akan mengadakan penelitian, penaksiran penetapan atas besarnya ganti rugi dengan mengadakan musyawarah dengan pemilik/ pemegang hak atas tanah/bangunan/tanaman yang ada di atasnya berdasarkan harga umum setempat.

3. Panitian dalam menentukan besarnya ganti rugi diharapkan agar terdapat ata sepakat dengan seluruh anggota panitia dan jika tedapat perbedaan taksiran maka dipergunakan harga rata-rata taksiran masing-masing anggota panitia. Selanjutnya panitia menyampaikan kesimpulan tersebut kepada instansi yang memerlukan tanah dan pemilik/pemegang hak atas tanah.

4. Pemilik atau pemegang hak atas tanah memberitahukan persetujuan atau penolakannya atas besarnya ganti rugi disertai dengan alasan. Jika terjadi penolakan oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah, maka Panitia dapat bertahan pada keputusannya atau meneruskan kepada Gubernur dengan pertimbangan yang akan mengukuhkan keputusan panitia atau mencari jalan tengah, dan Gubernur akan menyampaikan keputusannya kepada Panitia dan pihak yang bersangkutan.

5. Dalam hal tercapai kesepakatan mengenai ganti rugi, maka dilakukan pembayaran ganti rugi sekaligus penyerahan atau pelepasan hak atas tanahnya yang disaksikan oleh sekurang-kurangnya 4 (empat) orang anggota panitia pembebasan tanah diantaranya adalah Kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan. Pembayaran ganti rugi serta pernyataan pelepasan hak atas tanah dibuat dalam satu daftar secara kolektif dalam rangkap 8 (delapan). 6. Apabila pembebasan tanah beserta ganti rugi telah selesai dilaksanakan, maka

instansi yang memerlukan tanah harus mengajukan permohonan sesuatu hak atas tanah kepada instansi atau pejabat yang berwenang.106

Pasal 1 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah menyatakan bahwa Panitia Pembebasan Tanah adalah suatu

105

Adrian Sutedi, Op.Cit, hal 85

106

(29)

Panitia yang bertugas melakukan pemeriksaan/ penelitian dan penetapan ganti rugi dalam rangka pembebasan sesuatu hak atas tanah dengan atau tanpa bangunan/tanam tumbuk di atasnya, yang pembentukannya ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah untuk masing-masing Kabupaten/Kotamadya dalam suatu wilayah Propinsi yang bersangkutan. Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Pembebasan Tanah berpedoman kepada peraturan-peraturan yang berlaku berdasarkan azas musyawarah dan harga umum setempat. Harga umum setempat adalah harga dasar yang ditetapkan secara berkala oleh suatu Panitia untuk sesuatu daerah menurut jenis penggunaannya. Tanah-tanah yang dibebaskan dengan mendapatkan ganti rugi dapat berupa tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 dan tanah-tanah dari masyarakat hukum adat. Dalam penetapan ganti rugi di atas termasuk pula tanaman-tanaman dan bangunan-bangunan yang berada di atas tanah tersebut.

(30)

dengan mengemukakan maksud dan tujuan penggunaan tanahnya. Permohonan tersebut harus disertai dengan keterangan-keterangan tentang status tanahnya (jenis/macam haknya, luas dan letaknya), gambar situasi tanah, maksud dan tujuan pembebasan tanah dan penggunaan selanjutnya, kesediaan untuk memberikan ganti rugi atau fasilitas-fasilitas lain kepada yang berhak atas tanah. Tanah-tanah yang akan dipergunakan oleh instansi yang bersangkutan harus diberi tanda batas yang jelas. Pada gambar situasi tanah, harus dimuat semua keterangan yang diperlukan, seperti tanda-tanda batas, jalan-jalan, saluran-saluran air, kuburan, bangunan-bangunan dan tanaman-tanaman yang ada.

Menurut Pasal 5 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa Setelah menerima permohonan dari instansi yang bersangkutan, maka Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk segera meneruskan permohonan tersebut kepada Panitia Pembebasan Tanah untuk mengadakan penelitian terhadap data dan keterangan-keterangan. Jika dianggap perlu, Panitia Pembebasan Tanah dapat memanggil pihak-pihak yang bersangkutan untuk melengkapi data/keterangan.

(31)

berupa uang, tanah dan atau fasilitas-fasilitas lain, yang berhak atas ganti rugi itu ialah mereka yang berhak atas tanah/bangunan/tanaman yang ada di atasnya, dengan berpedoman kepad ahukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan kebijaksanaan Pemerintah. Panitia Pembebasan Tanah berusaha agar dalam menentukan besarnya ganti rugi terdapat kata sepakat di antara para anggota Panitia dengan memperhatikan kehendak dari para pemegang hak atas tanah. Jika terdapat perbedaan taksiran ganti rugi di antara para anggota Panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari taksiran masing-masing anggota. Pelaksanaan pembebasan tanah harus dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Keputusan Panitia Pembebasan Tanah mengenai besar/bentuknya ganti rugi tersebut disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah, para pemegang hak atas tanah dan para anggota Panitia yang turut mengambil keputusan.

(32)

Daerah yang bersangkutan setelah mempertimbangkan dari segala segi, dapat mengambil keputusan yang bersifat mengukuhkan putusan Panitia Pembebasan Tanah atau menentukan lain yang ujudnya mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Keputusan Gubernur Kepala Daerah disampaikan kepada masing-masing pihak yang bersangkutan dan Panitia Pembebasan Tanah.

Pasal 9 ayat (1), (2) dan (3) menegaskan bahwa bilamana telah tercapai kata sepakat mengenai besar/bentuknya ganti rugi seperti maka dilakukan pembayaran ganti rugi sejumlah yang telah disetujui bersama. Bersamaan dengan pembayaran ganti rugi itu dilakukan pula penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 4 (empat) orang anggota Panitia Pembebasan Tanah, diantaranya Kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan. Pembayaran ganti rugi harus dilaksanakan secara langsung oleh instansi yang bersangkutan kepada para pemegang hak atas tanah. Pembayaran ganti rugi serta pernyataan pelepasan hak, harus dibuat dalam satu daftar secara kolektif dalam rangka 8 (delapan). Pasal 10 ayat (1), (2) dan 93) menjelaskan bahwa apabila pembebasan tanah beserta pemberian ganti rugi telah selesai dilaksanakan, maka instansi yang memerlukan tanah tersebut diharuskan mengajukan permohonan sesuatu hak atas tanah kepada Pejabat yang berwenang. Permohonan tersebut harus disertai dengan surat-surat bukti pernyataan pelepasan hak dan pembayaran ganti ruginya. Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya harus menyelesaikan permohonan.

(33)

ganti rugi. Pembebasan tanah untuk keperluan swasta pada azasnya harus dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman kepada azas musyawarah.

Pasal 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 dinyaakan bahwa apabila pembebasan tanah oleh yang berkepentingan meliputi areal yang luas, dalam mana pelaksanaan pembebasan tanah tersebut mengakibatkan pemindahan pemukiman penduduk, maka pemberian izin pembebasan tanah disertai pula kewajiban bagi pihak yang memerlukan tanah untuk menyediakan tempat penampungan permukiman baru. Kewajiban untuk menyediakan tempat penampungan dalam rangka pembebasan tanah merupakan keharusan disamping kewajiban pembayaran ganti rugi. Apabila dicermati dari ketentuan prosedur pembebasan hak atas tanah, maka diketahui bahwa yang membebaskan tanah adalah pihak pemerintah melalui Panitia Pembebasan Tanah yang dibentuk oleh pejabat pemerintah, artinya proyek-proyek yang dilaksanakan adalah proyek pemerintah, direncanakan dan di laksanakan serta dibiayai oleh pemerinta. Berarti Peraturan tersebut tidak berlaku untuk proyek pembangunan dilaksanakan oleh pihak swasta atau tidak boleh juga pembebasan tanah untuk kepentingan swasta.107

Pihak yang ingin atau memerlukan tanah dimana tanah-tanah yang diperlukan tersebut masih terdapat suatu hak tertentu harus mengajukan perrnohonan pembebasan hak atas tanah kepada Gubernur kepala daerah atau kepada pejabat yang ditunjuknya dengan mengemukakan maksud dan tujuan penggunaan tanahnya. Hal tersebut berlaku pula apabila yang memerlukan tanah

107

(34)

adalah instansi pemerintah, sedangkan untuk pihak swasta harus memohon ijin dari Gubernur untuk mempergunakan proses sebagaimana yang diatur dalam PMDN No. l5 tahun 1975. Menurut PMDN tahun 1975, permohonan pembebasan tanah tersebut diajukan dengan disertai keterangan-keterangan tentang Status tanahnya, Gambar tanahnya, Maksud dan tujuan pembebasan tanah dan penggunaan selanjutnya dan Kesediaan untuk memberikan ganti rugi atau fasilitas lain kepada yang berhak atas tanah.

(35)

tengah yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Keputusan Gubernur tersebut disampaikan kepada masing-masing pihak serta kepada PPAT.108

B.Pelaksanaan pemberian ganti kerugian

Istilah “ganti kerugian” sudah saatnya digantikan dengan “ganti untung” secara konsisten. Ganti kerugian itu sendiri merupakan kompensasi yang harus dibayarkan terhadap “kerugian” dari pelepasan hak yang dilakukan oleh pemilik suatu obyek. Sehingga konsep penentuan harga dapat dilakukan berdasarkan perhitungan biaya (expected) dari kepemilikan suatu obyek.109

Istilah ganti rugi dimaksud adalah Pemberian ganti atas kerugian yang diderita oleh pemegang hak atas tanah atas beralihnya haknya tersebut. Pemberian ganti kerugian harus tidak membawa dampak kerugian kepada pemegang hak atas kehilangan haknya tersebut melainkan membawa dampak pada tingkat kehidupan yang lebih baik atau minimal sama pada waktu sebelum terjadi kegiatan pembangunan.110

108

Servie M. Tumengkol, Op.Cit, hal 22-25

109

Gunanegara, Op.Cit, hal 37

110

Arie Sukanti Hutagalung & Markus Gunawan, Op.Cit, hal 163

(36)

1. Ganti kerugian nominal, yaitu ganti kerugian berupa pemberian sejumlah uang, meskipun kerugian sebenarnya tidak bisa dihitung dengan uang, bahkan bisa jadi tidak ada kerugian material sama sekali.

2. Ganti kerugian penghukuman (puntive damages) yaitu suatu ganti kerugian dalam jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian sebenarnya, yang dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku.

3. Ganti kerugian aktual (actual damages) yaitu kerugian yang benar-benar diderita aktual dan dapat dihitung dengan mudah sampai ke nilai rupiah

4. Ganti kerugian camput aduk (remedy medding) yaitu suatu variasi dari berbagai taktik di mana pihak kreditur berusaha untuk memperbesar haknya jika pihak kreditur berusaha untuk memperbesar haknya jika pihak debitur wanprestasi dan mengurangi/menghapuskan kewajibannya jika digugat oleh pihak lain dalam kontrak tersebut.111

Dalam praktek pembebasan tanah sering menimbulkan masalah ganti kerugian yang meliputi dua hal yang merupakan esensi dari ganti kerugian yang semestinya diterima pemegang hak ats tanah aitu penentuan ganti kerugian dan cara pelaksanaan pembayaran ganti kerugian. Pelaksanaan pembebasan tanah masih belum/tidak dilaksanakan sebagaimana yang seharusnya dilakukan menurut Undang-undang yang berlaku. Misalnya untuk proyek-proyek transmigrasi, kegiatan telah mulai dilaksanakan segera setelah ada ijin lokasi dan ijin pembebasan tanah diterbitkan oleh Gubernur, tanpa menunggu pelaksanaan pemenuhan tugas Panitia Pengadaan Tanah dalam rangka inventarisasi dan penetapan jumlah ganti kerugian yang harus diberikan.112

Pembayaran ganti kerugian harus diberikan kepada orang yang berhak atas tanahnya, harus dilakukan secara tunai dan dibayarkan langsung kepada yang berhak.113

111

Gunanegara, Op.Cit, hal 38

112

Arie S. Hutagalung, Op.Cit, hal 185

113

Adrian Sutedi, Op.Cit, hal 86

(37)

kesepakatan juga menjadi hal yang penuh tanda tanya. Proses pencapaian kesepakatan tentang pembebasan lahan dan besaran ganti rugi dibatasi waktunya karena keseluruhan proses pembebasan lahan dibatasi 90 hari harus selesai. Jika masyarakat tetap keberatan, mereka bisa menggugat pemerintah namun hanya besaran ganti rugi, sementara pembebasan lahannya jalan terus.114

1. Bentuk uang

Pemberian ganti kerugian bisa berbagai macam bentuk diantaranya:

Salah satu bentuk ganti rugi adalah berbentuk uang. Jenis bentuk ini yang sering terjadi dalam pemberian ganti rugi dalam pembebasan tanah. Sebelum pembayaran uang ganti rugi yang berbentuk uang harus didahului dengan kesepakatan tentang jenis dan besarnya ganti rugi antara P2T dengan para pihak pemilik tanah.

2. Bentuk tanah pengganti

Pemberian ganti kerugian dalam bentuk tanah pengganti dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah atas permintaan tertulis dari ketua P2T. Untuk menentukan lokasi tanah pengganti harus didasarkan atas kesepakatan dalam musyawarah, yang nilainya sama dengan nilai ganti kerugian apabila diberikan dalam bentuk uang.

3. Bentuk pemukiman kembali

Penggantian berbentuk permukiman kembali (relolasi) atau penyediaan permukiman kembali dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah atas permintaan tertulis dari Ketua (P2T). Didasarkan atas kesepakatan dalam musyawarah penentuan bentuk ganti kerugian yang nilainya permukiman kembali ini sama dengan nilai ganti kerugian bila berbentuk uang. Pelepasan hak oleh pihak yang berhak dilakukan pada saat telah disepakati lokasinya. Dilakukan tanpa menunggu selesainya pembangunan permukiman kembali yang telah disepakati pihak yang berhak yakni instansi yang memerlukan tanah menyerahkan permukiman kembali kepada pihak yang berhak setelah memperoleh validasi dari ketua P2T.

4. Bentuk saham

Pemberian ganti kerugian dalam bentuk kepemilikan saham, diberikan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang berhak dengan Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perusahaan terbuka dan mendapat penugasan

114

(38)

khusus dari pemerintah. Selama proses pemberian ganti kerugian dalam bentuk kepemilikan saham, dan penyediaan kepemilikan saam, dititipkan pada bank oleh instansi yang bersangkutan dan dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan penitipan uang. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian dalam bentuk kepemilikan saham dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah (Badan Usaha Milik Negara) untuk dan atas nama pihak yang berhak setelah memperoleh validasi dari ketua P2T.

5. Bentuk lain

Pemberian ganti kerugian dalam bentuk lain, artinya pemberian ganti rugi gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian yang ada. Jangka waktunya didasarkan jangka waktu yang paling lama dari gabungan bantuk ganti kerugian yang disepakati. Besarnya ganti kerugian dalam bentuk lain, nilainya sama dengan nilai ganti kerugian bila dibayarkan dalam bentuk uang. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian dalam bentuk lain kepada pihak yang berhak dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah setelah memperoleh validasi dari ketua P2T.

6. Bentuk khusus

Pemberan ganti kerugian dalam keadaan khusus dapat diberikan dalam keadaan mendesak, termasuk meliputi bencana alam, biaya pendidikan, menjalankan ibadah, pengobatan, pembayaran hutang dan/atau keadaan mendesak lainnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dari lurah/kepala desa atau nama lain. Pemberian ganti kerugian dalam bentuk keadaan khusus, diberikan setelah ditetapkannya lokasi pembangunan untuk kepentingan umum sampai ditetapkannya nilai ganti kerugian oleh penilai. Untuk pelaksanaan pemberian ganti kerugian dalam bentuk khusus, dilaksankan inventarisasi dan identifikasi terhadap subjek dan objek pengadaan tanah terhadap pihak yang berhak yang berada dalam keadaan mendesak.115

Masalah ganti kerugian merupakan hal prinsip dalam setiap kegiatan pengambilan tanah, baik melalui proses pencabutan hak, pembebasan tanah dan pengadaan tanah.116

115

Mudakir Iskandar Syah, Op.Cit, hal 56

116

Umar said Sugiharto, Suratman dan Noorhudha Muchsin, Op.Cit, hal 181

(39)

kehilangan tempat tinggal karena tidak mampu membeli tanah dengan uang ganti kerugian tersebut. Di sisi lain sering kali ada pihak-pihak yang menuntut ganti kerugian di luar batas kewajaran (spekulasi harga) yang tidak masuk akal. Keengganan untuk menyerahkan tanahnya juga dipengaruhi oleh faktor lain yang berada di luar dasar perhitungan ekonomi.117

Untuk pemberian ganti rugi di kota-kota besar pada umumnya cenderung berupa uang, sedangkan ganti rugi yang berbentuk lain jarang terjadi terlebih ganti rugi itu yang berbentuk tanah pengganti, sedangkan panitia dalam pengadaan tanah itu sendiri kesulitas mencari lahan maka kalau penggantian itu juga berupa tanah juga konsekuensinya P2T harus mencari tanah untuk dibebaskan, untuk pembangunan kepentingan umum, yang kedua mencari lahan untuk penggantian yang terkena pembebasan untuk kepentingan umum.

118

Pemberian ganti rugi ini harus betul-betul mampu mengantisipasi munculnya kemiskinan dalam masyarakat, bukan peyebab timbulnya kemiskinan baru. Artinya, besarnya ganti kerugian yang diberikan kepada pihak yang berhak harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Hal inilah yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pemberian ganti rugi pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia.119

C. Hambatan yang di hadapi ganti rugi dari pembebasan hak Atas tanah

117

Adrian Sutedi, Op.Cit, hal 99

118

Mudakir Iskandar Syah, Op.Cit, hal 61

119

(40)

Ada 2 (dua) kendala yang terdapat dalam pelaksanaan pengadaan tanah : faktor psikologis masyarakat dan faktor dana.120 Yang selama ini sering menjadi masalah dalam pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak lebih dikarenakan oleh faktor dana daripada faktor psikologis masyaraka.121 Ini terbukti bahwa selama ini yang menjadi permasalahan dalam pengadaan tanah bukan mengenai ada-tidaknya kesediaan pemilik tanah untuk menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum, melainkan karena para pemilik tanah menganggap bahwa ganti-rugi yang ditawarkan tidak sesuai dengan harga pasar setempat. Selama ini terhambatnya pelaksanaan pengadaan tanah pada umumnya disebabkan oleh ketidaksesuaian harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga yang dikehendaki oleh masyarakat. Masyarakat selaku pemilik tanah biasanya menolak harga dari pemerintah yang menurut mereka terlalu murah. Mereka akan mematok harga lebih tinggi dari harga pasar atau paling tidak sesuai dengan harga pasar, bahkan ada masyarakat yang menetapkan harga ganti rugi itu didasarkan pada harga sekian tahun kedepan atau setelah tanahnya dibebaskan dan telah dijadikan sarana umum.122

Pemerintah dalam menetapkan besarnya ganti rugi selama ini hanya menghitung pada aspek fisik saja. Besarnya ganti rugi seharusnya juga memperhitungkan aspek non fisik terhadap warga yang terkena dampak dari pembangunan tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006 pasal 1 ayat 11. Kebijakan mengenai pemberian ganti rugi sebenarnya

120

Ahmad Husein Hasibuan, Masalah Perkotaan Berkaitan Dengan Penyediaan Tanah, Makalah, Jakarta, 1986, hal 6-7

121

Oloan Sitorus, Pelepasan atau Penyerahan Hak Sebagai Cara Pengadaan Tanah Jakarta: Dasamedia Utama, 1995, hal. 49

122

(41)

tidaklah terbatas pada penggantian nilai tanah, bangunan, dan tanam-tanaman, tetapi juga seharusnya meliputi penilaian kerugian yang bersifat immaterial dan kerugian yang timbul, seperti kegiatan usahanya, akibat perpindahan ke tempat lain, jumlah pelanggan dan keuntungan yang berkurang.123

1. Kepedulian masyarakat untuk mengorbankan tanah untuk pembangunan kepentingan umum dinilai masih rendah. Masih ada kelompok masyarakat yang beranggapan bahwa kepemilikan tanah sampai saat kini menganut sistem kepemilikan yang bersifat mutlak, artinya kepemilikan hak atas tanah yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun termasuk diganggu gugat oleh pemerintah. Padahal kepemilikan tanah diganggu normatif mengandung fungsi sosial.

Faktor penghambat dalam pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum adalah:

2. Harga tanah semakin melangit, khususnya untuk di daerah kota besar harga tanah yang semakin tinggi akan mempengaruhi terhadap pelaksanaan pengadaan tanah, hal ini akibat tidak berkembangnya lahan pada diperkotaan, dibalik itu pembangunan berkembang terus dan kebutuhan akan tanah semakin meningkatakn hari ke hari.

3. Sulitnya cari lahan pengganti tanah bagi korban, para korban yang berdomisili di kota besar selalu kesulitan mencari tanah pengganti sebagai tenpat tinggal, akibat semakin sempitnya lahan.

4. Sistem pengadaan tanah masih ada celah untuk kelompok tertentu mengadakan penetrasi dengan tujuan mencari keuntungan pribadi atau golongan.124

5. Ekonomi

Keadaan sosial ekonomi dari para pemegang hak atas tanah, yang mana sebagian besar dari merea adalah masyarakat yang tingkat sosial ekonominya adalah menengah ke bawah (ekonomi lemah), maka dengan adanya pengadaan tanah untuk pembangunan, mereka menuntut pemberian ganti rugi dengan nilai yang lebih tinggi dari yang telah ditawarkan oleh Panitia Pengadaan Tanah.125

6. Pendidikan

123

Boedi Harsono, Masalah Kerangka Persoalan dan Pokok-pokok Kebijaksanaan Pertanahan Nasional, dalam BF Sihombing, Pergeseran Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah dan Swasta (Studi Kasus Pengaturan Pemilikan, Penguasaan Tanah di Provinsi DKI Jakarta), Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2004, hal 3

124

Mudakir Iskandar Syah, Op.Cit, hal 76

125

(42)

Kurangnya pemahaman masyarakat akan maksud dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum, arti fungsi sosial hak atas tanah dan kurangnya pemahaman para pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pembangunan proyek tersebut yang sebelumnya telah dilakukan penyuluhan dari Tim Pengadaan tanah maupun Panitia Pengadaan Tanah. Hal ini disebabkan rendahnya kualifikasi pendidikan yang dimiliki oleh rata-rata pemegang hak atas tanah.126

7. Kurangnya kesadaran dari Panitia Pengadaan Tanah dalam menjalankan tugasnya, yang mengakibatkan penurunan tanggung jawab sehingga terkadang terjadi kesalahan dalam melakukan pekerjaan seperti kurang cermat dalam melakukan pengukuran, pendataan, pengisian data dan pemberian ganti kerugian.127

8. Terbatasnya personil / petugas pelaksana pemberian ganti kerugian yang mengakibatkan keterlambatan pelayanan pemberian ganti kerugian.128

9. Keterlambatan pemberian uang muka kerja / honorarium / honor yang kurang memadai yang merupakan suatu hal yang penting untuk meningkatkan kinerja dalam pelaksanaan pemberian ganti kerugian dalam pengadaan tanah.129

Hambatan yang di hadapi ganti rugi dari pembebasan hak Atas tanah sebagai berikut:

1. Persoalan besaran ganti kerugian

Dalam skala persoalan yang lebih sederhana, Panitia mempunyai kecenderungan untuk menggunakan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP) sebagai acuan ganti kerugian. Di lain pihak, pemilik tanah cenderung menggunakan harga pasar, atau harga jual beli, bahkan sangat sering menuntut ganti kerugian 3 atau 4 kali lebih besar dari Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP). Celah diantara kedua kecenderungan ini, terpicu dari perencanaan penganggaran yang menggunakan basis Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP), sedangkan pada spanding pengadaan tanah untuk ganti kerugian melebihi dari apa yang telah direncanakan. Masalah ketidaksepakatan harga tersebut, umumnya terjadi di sekelompok kecil pemilik tanah, tetapi akan berdampak pada ketidakberlanjutan proyek-proyek pembangunan. Kadangkala sulitnya membebaskan tanah masyarakat tidak sulit membebaskan tanah-tanah yang dikuasai negara. Dampaknya pembangunan kontruksi menjadi tertunda dan

(43)

berhenti sebelum persoalan harga tanah tersepakati, dan ternryata dalam perkembangannya nilai ganti kerugian semakin bertambah besar jika ketidaksepakatan tidak diselesaikan, terlebih lagi untuk proyek-proyek pembangunan yang besar, maka harga tanah setempat akan menjadi naik. 2. Persoalan penolakan masyarakat

Masyarakat menolak wilayahnya sebagai lokasi pembangunan, bahkan dibeberapa ruas jalan melakukan unjuk rasa sebagai ekpresi penolakannya. Penyebab dari persoalan tersebut sudah berhasil diidentifikasi akar masalahnya, yang hanya berkarakter ekonomi, hukum, tetapi persoalan psikososial yang lebih mendasar.

Persoalan yang sederhana yang bersifat teknis, namun dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan pengadaaan tanah, seperti para pemilik tanah sudah menyatakan persetujuan seorang atas besaran ganti kerugian, namun menjadi menolak ketika tanah sisa tidak turut dibebaskan. Persoalan yang lahir dari instansi yang memerlukan tanah yakni ketika uang ganti kerugiannya tidaka dapat direalisasikan dengan segera setelah kata sepakat tercapai. Bentuk lain yang mengganggu kesepakatan ganti kerugian yakni setelah pemilik sepakay mengenai besaran ganti kerugian dengan panitia pengadaan tanah, namun tiba-tiba diragukan, dipertanyakan, bahkan ditolak oleh panitia pengadaan tanah internal instansi yang bersangkutan.

3. Persoalan dasar hukum

Kawasan hutan dengan menyelesaikannya harus memerlukan ijin lembaga kehutanan melalui prosedur telah diatur oleh hukum kehutanan. Kebijakan yang mengharuskan penggantian atau pengambian kawasan hutan dengan tanah non kawasan hutan yang luasnya 2 atau 3 kali tanah kawasan hutan yang dikonversi. Ini akan menambah kerumitan tata kelola anggaran negara untuk ganti kerugian pengadaan tanah dan berbelitnya prosedur pelepasan atau penghapusan aset negara mengesankan lebih sulit pembebasan tanah dibandingkan dengan aset rakyat. Ketika pembangunan bersinggungan dengan tanah aset barang milik negara/daerah (BMN/BMD), tanah aset BUMN/BUMD yang menharuskan ijin dari Menteri Keuangan atau Menteri BUMN.

4. Persoalan efektifitas konsinyasi uang ganti kerugian di Pengadilan

(44)

peralihan kepemilikan tanah kepada negara dan mengakibatkan pemilik tanah membebaskan hak atas tanahnya kepada negara, untuk itu tanahnya belum bisa dipergunakan oleh negara.

5. Persoalan administrasi pertanahan

Pada setiap simpul kegiatan pengadaan tanah tidak dapat dilepaskan dari proses administrasi pertanahan, baik tanh yang sudah bersertifikat maupun tanah yang belum bersertifikat. Pengukuran tanah akan bisa dilakukan jika kesepakatan nilai ganti kerugian tanah sudah disepakati. Hal ini petugas ukur BPN bisa melakukan pengukuran ketika sudah mendapat ijin pemilik tanah. Maka lahir persoalan, musyawarah ganti kerugian seringkali didasarkan pada peta inventarisasi tanah yang tidak bersifat mengikat (kadasteral).

6. Persoalan administratif Land Freezing

Kenyataan pengadaan tanah yang tidak lancar, yang diakibatkan spekulan melahirkan ketentuan land freezing (pemberlakuan status quo) atas tanah-tanah yang akan dibebaskan untuk pembangunan. Dengan land freezing, semua transaksi pertanahan baik yang sudah bersertifikat maupun yang belum bersertifikat akan dihentikan proses administrasinya. Jika land freezing efektif, maka pengadaan tanah akan lancar karena gerak spekulator tereduksi. Tetapi pelaksanaan land freezing tidak sepenuhnya efektif, karena disikapi dengan melakukan peralihan tanah di bawah tangan, sehingga tidak melibatkan pejabat yang diperintahkan untuk melakukan pejabat yang diperintahkan untuk melakukan pembekuan administrasi pertanahan di lokasi pembangunan.

7. Persoalan Lembaga Penilai harga tanah

Lembaga penilai harga tanah merupakan lembaga penilai independen yang perannya sangat dibutuhkan dalam mempercepat proses pengadaan tanah. Namun saat ini jumlah yang ada masih terbatas. Hal ini disebabkan karena lisensi diberikan pada provinsi tertentu dan terdapat beberapa provinsi yang hanya memiliki satu lembaga penilai sehingga menyulitkan proses pelelangan, hal ini yang membuat kegamangan pelaksana pengadaan jasa appraisal. Belum ada kejelasan mengenai pengadaan lembaga penilai harga tanah.130

D. Peran Pemerintah dalam Pemberian Ganti Rugi dari Pembebasan Hak

Atas Tanah yang Sedang Terikat Hak Tanggungan

130

(45)

Pemerintah melalui instansi terkait, melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana infrastuktur suatu daerah guna mendukung pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Kegiatan pembangunan tersebut, mengakibatkan kebutuhan akan tanah akan semakin meningkat. Hal ini dikarenakan usaha-usaha pembangunan memerlukan penyediaan tanah, karena hampir tidak ada kegiatan pembangunan yang tidak memerlukan tanah. Penyediaan tanah, terkadang menemui beberapa kendala seperti sangat terbatasnya tanah negara bahkan dapat dikatakan tanah negara hampir tidak tersedia lagi, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa tanah yang bersangkutan telah dimiliki oleh seseorang. Kebutuhan lahan untuk pembangunan agar dapat terpenuhi tanpa adanya pihak lain yang dirugikan, maka perlu diatur secara tegas mengenai pelaksanaan pembebasan tanah dalam rangka pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum.

Pemerintah sebagai salah satu unsur keberadaan Negara memiliki peran dan kedudukan penting untuk pelaksanaan hak menguasai negara tersebut. Pemerintah tidak dibenarkan bertindak sendiri dan mengatasnamakan kepentingan seluruh rakyat. Pemerintah, dalam hal ini dapat bertindak bersama rakyat, atau mendelegasikan wewenangnya kepada pemerintah daerah atau masyarakat hukum adat.131

131

Sudjito, et.all, Restorasi Kebijakan Pengadaan, Perolehan, Pelepasan dan Pendayagunaan Tanah, serta Kepastian Hukum di Bidang Investasi, Tugu Jogja Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm 6

(46)

pula bagi kepentingan dirinya, masyarakat dan Negara. Namun hal ini tidak berarti bahwa kepentingan perorangan akan terdesak oleh kepentingan umum. Kepentingan umum dan kepentingan perorangan harus saling mengimbangi, hingga dapat tercapai ketertiban dan kesejahteraan seluruh rakyat.

Penciptakan masyarakat adil dan makmur merupakan tujuan negara Republik Indonesia dan pembangunan yang merupakan dasar program pemerintah untuk seluruh wilayah Indonsia. Dalam melaksanakan pembangunan ini faktor utama yang paling penting adalah tanah.Seperti pembuatan jalan raya , pelabuhan-pelabuhan, bangunan-bangunan untuk industri, pertambangan, perumahan dan kesehatan dan lain-lain demi kepentingan masyarakat. Untuk memperoleh tanah ini peranan pemerintah sangat diperlukan karena terkadang tanah yang akan didirikan atau bangunan tersebut adalah milik rakyat, sehingga untuk - memperolehnya harus melalui pemerintahan yaitu dengan cara pencabutan hak atas tanah dan pembebasan hak atas tanah. Peranan pemerintah atas tanah dalam rangka mewujudkan catur tertib pertanahan sangat penting sekali sehingga dalam hal ini pemerintah harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Catur tertib pertanahan ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan saja harus mengindahkan prinsip-prinsip hukum akan tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan agar masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu stabilitas masyarakat.

(47)

diperlukan adanya pengaturan yang tegas dan landasan hukum yang kuat dibidang pertanahan. Sehubungan dengan pemberian hak milik atas tanah negara maka ditetapkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Sedangkan dalam pelimpahan kewenangannya diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara. Dengan adanya aturan tersebut diharapkan agar lebih mengarah pada catur tertib dibidang pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib pemeliharaan pertanahan dan tertib penggunaan pertanahan. Serta untuk mempermudah masyarakat mendapatkan status hak tanahnya di Kantor Pertanahan.

Pemerintah mempermudah masyarakat untuk memilih ganti rugi karena lahannya diambil untuk proyek pembangunan pemerintah. Pilihan ganti rugi yang ditawarkan pemerintah adalah ganti rugi berupa uang, tanah, saham dan kombinasi keseluruhannya. aturan ganti rugi proyek pembangunan dalam Perpres 71 Tahun 2012 dibuat karena pemerintah sulit mendapatkan tanah bagi pembangunan infrastruktur dan industri.132

Peranan pemerintah atas tanah dalam rangka pembangunan sangat penting sekali sehingga dalam hal ini pemerintah harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Pembangunan ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah,

132

(48)
(49)

yang seimbang yaitu kepentingan pemegang hak atas tanahnya tentu menginginkan sejumlah ganti rugi dari kepentingan pemerintah dilain pihak yaitu melaksanakan pembangunan Dengan alasannya dua kepentingan yang berbeda, maka. Persoalan akan tanah semakin rumit dalam hal ini tentu memerlukan pemecahan permasalahan kepentingan yang berbeda tadi, sehingga disamping terlaksananya pembangunan yang diprogramkan tetap terpelihara serta hubungan yang harmonis antara pemerintah dan rakyat untuk meningkatkan pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.133

Dalam hal Objek Pengadaan Tanah menjadi jaminan di bank, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri.134 Dalam hal tanah belum bersertipikat dijadikan jaminan di bank, Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyampaikan pemberitahuan kepada lurah/kepala desa atau nama lain atau camat tentang putusnya hubungan hukum dan alat bukti kepemilikan.135 Dalam hal Objek Pengadaan Tanah menjadi jaminan di bank Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah membuat berita acara Pelepasan hak Objek Pengadaan Tanah yang dijadikan jaminan di bank atau pemegang Hak Tanggungan lainnya dan pemberitahuan tentang hapusnya hak yang disampaikan kepada pimpinan bank atau pimpinan pemegang Hak Tanggungan lainnya dan yang bersangkutan.136

133

Suwito, Peranan Pemerintah Terhadap Masalah Tanah Di Indonesia, Makalah Hukum Agraria, Universitas Kutai Kartanegara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Tenggarong, melalui

Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 105 ayat (2)

136

Referensi

Dokumen terkait

Penyebaran industri mutiara ini semakin meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia, tidak hanya terbatas pada daerah yang merupakan habitat asli kerang mutiara tersebut, tetapi

Menjelaskan kepada ibu penyebab nyeri abdomen yaitu pada saat hamil, Rahim membesar sesuai ukuran janin yang di kandung, saat bayi lahir perlahan-lahan Rahim

Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat populasi satwa primata cenderung lebih tinggi pada kawasan non-ekowisata. Walaupun jalur ekowisata menyediakan sumber pakan yang

Pupuk yang terlambat masuk ke blok dapat berpengaruh pada tidak efektifnya penggunaan tenaga kerja, karena harus dialihkan ke pekerjaan lain selama menunggu

Anggaran ini sifatnya statis dari periode bulan yang satu ke periode bulan yang lain, dan dalam anggaran yang dibuat tidak dilaku­ kan pemisahan antara unsur biaya tetap dan

adsorpsi fluorida, nitrat dan sulfat dengan resin AMX pada temperatur yang berbeda menunjukkan.. model yang cocok digunkan yaitu

Satuan ini merupakan perangkat pemerintah daerah yang bertugas membantu kepala daerah dalam pelaksanaan jalannya pemerintahan dan sebagai garda atau barisan terdepan

Pelayanan dasar sendiri merupakan pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara yang meliputi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan tata ruang, perumahan