11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Hak Atas Tanah
1. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah
.Tanah dipahami sebagai unsur paling penting untuk setiap kegiatan pembangunan. Semua kebutuhan manusia juga dapat terpenuhi dengan adanya tanah, dengan kata lain bahwa tanah merupakan faktor pokok dalam kelangsungan hidup manusia. “Dalam kerangka berfikir yang didasarkan pada sifat komunalistik yang terkandung dalam Hukum Tanah Nasional, maka hak-hak perseorangan tas tanah tidak bersifat mutlak, tetapi selalu ada batasnya yakni kepentingan orang lain, masyarakat atau negara”.
“Hal Ini dikarenakan ada pertanggungjawaban individu terhadap masyarakat melalui terpenuhinya kepentingan bersama, karena manusia tidak dapat berkembang sepenuhnya apabila berada di luar keanggotaan masyarakat. Konsep hubungan seperti hal di atas sebetulnya telah juga diterjemahkan di dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria, yang menyebutkan bahwa”:. “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
.Dalam konsep fungsi sosial terkandung makna yang mendalam, bahwa dalam setiap hak seseorang terkandung hak orang lain. Oleh karena itu hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan bahwa tanahnya dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya..Didalam “ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa”:. “Bumi, air, dan termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”.
“Ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945” “merupakan landasan adanya hubungan antara tanah dan subyek tanah, dimana Negara dalam hal ini bertindak sebagai subyek yang mempunyai kewenangan tertinggi terhadap segala kepentingan atas tanah yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat”. Sehingga pada tingkatan tertinggi, tanah dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat. Untuk mencapai hal tersebut, maka telah dijabarkan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa:.
“Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
12
alam yang terkandung didalamya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat”.
“Kemudian sudah disebutkan didalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria sebagai berikut”:.
“Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk:
b. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
d. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa”.
“Hal tersebut bertujuan agar segala sesuatu yang telah diatur tersebut dapat mencapai kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Adapun Kekuasaan Negara yang dimaksudkan tersebut mengenai seluruh bumi,air, dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah di haki oleh seseorang maupun tidak”.
“Kekuasaan oleh Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai beberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunankan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan Negara tersebut”.
1“Di dalam pasal 4 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa” :.
“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama- sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”
.Kemudian didalam pasal 4 pada pasal (1) bisa ditarik kesimpulan bahwa:
“negara mempunyai wewenang memberikan hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum. Pada dasarnya setiap Hak Atas Tanah baik secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, dimana Hak Bangsa tersebut merupakan hak
1 Boedi Harsono, Op.Cit, Hal.578
13
bersama seluruh rakyat dan dipergunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Hal tersebut mengandung arti bahwa tanah mempunyai fungsi sosial”..
2. Hak Atas Tanah
Hak atas tanah adalah memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum yang lebih tinggi.
Macam-macam hak atas tanah 1. “Hak milik
2. Hak guna usaha 3. Hak guna bangunan 4. Hak pakai
5. Hak sewa
6. Hak membuka tanah 7. Hak memungut hasil hutan
Disamping tersebut di atas ada juga hak-hak yang sifatnya sementara, antara lain:
1. Hak gadai
2. Hak usaha bagi hasil 3. Hak menumpang
4. Hak sewa tanah pertanian
Sedang hak atas air dan ruang angkasa antara lain:
1. Hak guna air
2. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan
14
3. Hak guna ruang angkasa”.
3. Hak Dasar Kepemilikan Tanah
Hak dasar dari setiap orang adalah kepemilikan atas tanah. Jaminan mengenai tanah ini, dipertegas dengan diterbitkan “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, tentang Pengesahan Internasional Convenant on Economic, Sosial and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)”
2. Tanah pada dasarnya memiliki 2 arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Tanah sebagai social asset adalah sebagai sarana pengikat kesatuan di kalangan lingkungan social untuk kehidupan dan hidup, sedangkan tanah sebagai capital asset adalah sebagi modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai bendaekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.
3Tanah adalah sumber daya alam yang paling penting bagi rakyat, negara, dan bangsa sehingga dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945 Menerangkan bahwa “segala kekayaan alam dikuasai oleh negara. Kewenangan negara ini diatur kembali dalam pasal 2 UUPA yang mencakup, antara lain:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persedian dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa”.
“Saat ini, kebutuhan tanah sebagai capital asset semakin meningkat, sebab banyaknya pembangunan dibidang fisik baik di kota maupun di desa. Dan pembangunan seperti itu membutuhkan banyak tanah. Kebutuhan akan tersedianya tanah untuk keperluan pembagunan tersebut memberi peluang terjadinya pengambilalihan tanah bagi proyek, baik untuk kepentingan negara/kepentingan umum maupun untuk kepentinagan bisnis”.
2 “Maria S.W. Sumarjono, Tanah Dalam Prefektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Buku Kompas, Jakarta, 2008, hal. VII”
3 “Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang, 2007,Hal.1”
15
“Keterbatasan tanah dan banyaknya pembangunan menyebabkan pergesekan. Manakala disuatu sisi pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya, sedangkan di sisi lain sebagian besar dari warga masyarakat juga memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencahariannya”.
4“Untuk itu pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan agar pembangunan tetap terpelihara, khusunya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum. Dan untuk memperoleh tanah-tanah tersebut terlaksana melalui pengadaan tanah”.
5Yang paling utama untuk berpedoman dalam peraturan pembebasan tanah ada didalam
“pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria Untuk Kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti rugi kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur Undang-Undang”. Sifat Individu ataupun pribadi hak atas tanah yang sekaligus mengandung unsur kebersamaan dipertegas dalam “Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria, dan didalam semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”
B. Tinjauan Umum Tentang Pengadaan Tanah 1. Pengertian Pengadaan Tanah
Pengertian pengadaan tanah menurut Pasal 1 Angka 3 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, disebutkan bahwa “pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.”
Kemudian dalam “Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang menurut ketentuan Pasal 1 pengertian Pengadaan Tanah adalah pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.” .Terdapat perbedaan dalam kedua peraturan presiden tersebut.
4 “Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm 9”
5 “Bernard Limbong, Op.Cit, hal.127”
16
.Perbedaan terlihat, dimana dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 disebutkan tentang pencabutan ha katas tanah, sedangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tidak ada yang menyinggung mengenai hak atas tanah, sehingga dapat disimpulkan bahwa tanah untuk kepentingan umun adalah suatu kegiatan yang diperbuat untuk mendapatkan tanah melalui pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, bangunan, tanaman, atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah dengan cara memberikan ganti rugi yang layak. Namun setelah dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dalam Pasal 1 butir 2 menjelaskan bahwa pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti rugi yang layak dan adil kepada pihak yang berhak..
2. Hukum Pengadaan Tanah
“Pembebasan tanah atau pengadaan tanah pada hakikatnya dilakukan demi pelaksanaan pembangunan,namun dalam melaksanakanya dibutuhkan tanah, sehingga proses dalam penyediaan tanah dalam rangka pembangunan ini yang disebut proses pengadaan tanah. Dalam menjalani proses pengadaan tanah, terdapat peraturan- peraturan yaitu”:.
“Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Didalam undang-undang ini, pasal yang terkait pengadaan tanah ada di dalam;
a. Pasal 14 ayat (1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:
a.untuk keperluan Negara,
b.untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c.untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d.untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan
serta sejalan dengan itu;
17
e.untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
Selain terkandung didalam Undang-Undang, peraturan mengenai pengadaan tanah juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri, antara lain:
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan Tata Cara Pembebasan Tanah
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta.
d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Cara Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Di wilayah Kecamatan.
Namun, ketiga peraturan menteri diatas, dinyatakan tidak berlaku, lagi dengan dikeluarkannya.
a. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksananan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkanya:
b. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang telah disempurnakan oleh:
c. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo Nomor 36 tahun 2006 hanya mengatur mekanisme pengadaan tanah dan tidak digunakan untuk melakukan pencabutan Hak atas tanah yang pada hakikatnya merupakan substansi undang-undang.
d. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 1 tahun 1994 ini masih digunakan sebagai pedoman pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum karena hingga saat ini belum ada peraturan pelaksanaan dari Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
e. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan
benda-benda yang ada diatasnya. Jika keadaan mengharuskan dilakukannya pencabutan
18
hak atas tanah maka peraturan presiden No. 36 Tahun 2005 jo Nomor 65 tahun 2006 tidak lagi dapat diterapkan dan langkah berikutnya adalah dengan menggunakan instrument Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan peraturan Pelaksanaanya.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda- benda yang ada diatasnya.
g. Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 1973 tentang pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.
h. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
i. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
j. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 2012 tentang petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan tanah”.
Dari beberapa peraturan yang tertera diatas dalam pengadaan tanah, bisa diambil kesimpulan bahwa cara untuk memperoleh tanah dalam pelaksanaan pengadaan tanah, yakni dengan memberi kompensasi kerugian, melepaskan hak atas tanah, dan dengan mencabut hak atas tanah . Secara Normatif, semua hak tanah mempunyai funsi sosial, itu artinya hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, penggunaanya tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlebih lagi apabila hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Pembangunan tanah harus disesuaikan keadaanya dan sifat dari pada haknya sehingga bermanfaat, baik bagi kesejahteraan pemiliknya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.
Hal ini berarti bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah
satu menifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah. Pengadaan tanah untuk pembangunan
hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak atas tanah mengenai dasar
dan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri. Dalam
melakukan kegiatan pengadaan tanah, maka untuk memperoleh tanah yang dibutuhkan,
harus ada ganti kerugian kepada pihak yang melepaskan atau menyerahkan tanah. Maka
sehubungan dengan itu, pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi dimensi yang harus
19
ditempatkan secara seimbang, yaitu “kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah”
Oleh karena itu, masalah utama yang perhatian dalam pelaksanaan pengadaan hak atas tanah adalah “menyangkut hak-hak atas tanah yang status hak atas tanah itu akan dicabut atau dibebaskan”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur yang paling penting dalam pengadaan tanah adalah “pemberian ganti rugi yang layak, diberikan ganti atas hak yang telah dicabut atau dibebaskan”.
6Implementasi pembebasan tanah perlu memperhatikan beberapa prinsip (asas) sebagaimana telah disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Prinsip-prinsip tersebut adalah: Eksistensi pemegang hak atas tanah boleh jadi diterlantarkan demi pembangunan untuk kepentingan umum. Maka dari itu perlu adanya perlindungan hukum secara proposional kepada mereka.
A. “Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya.
B. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa.
C. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah menjadi hak seseorang/badan hukum harus melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan dan dalam keadaan memaksa, artinya jalan lain yang ditempuh agar terlaksana maka presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan hak,tanpa persetujuan subyek hak menurut UU Nomor 20 tahun 1961”.
“Penerapan prinsip-prinsip dalam pengadaan tanah, diatur dalam peraturan perundang- undangan dalam pepres Nomor 71 Tahun 2012, Pasal 3 ayat (1) dan pasal 4 yaitu”:
1. “Setiap Instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum membuat rencana pengadaan tanah yang didasarkan pada:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah.
b. Prioritas Pembangunan yang tercantum dalam 1) Rencana Pembangunan Jangka Menengah;
6 Abdurrahman, Op.Cit. Hal. 23.
20
2) Rencana Strategis; dan
3) Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan
2. Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 huruf a didasarkan atas:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan/atau c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/kota”
“Disamping itu, dalam hukum tanah Nasional dikemukakan mengenai asas-asas yang berlaku dalam penguasaan tanah dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yaitu”:
71. “Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi hak, walaupun pihak penguasa sekalipun”.
2. “Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal) tidak dibenarkan dan diancam dengan sanksi pidana”.
3. “Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandasan hak yang disediakan oleh hukum nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota Masyarakat maupun oleh pihak penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya”.
4. “Bahwa oleh hukum disediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi gangguan yang ada, yaitu:
a. Gangguan oleh sesama anggota masyarakat: gugatan perdata melalui pengadilan Negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati/Walikotamadya menurut UU No.
51 Prp Tahun 1960.
b. Gangguan oleh Penguasa: Gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara”.
5. “Bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun (juga untuk proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang di haki seseorang, harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalanya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya”.
7 “Arie.S. Hutagulung, Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: LPHI, 2005), hlm.377”
21
6. “Bahwa hubungan dengan apa yang tersebut diatas, dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun dan oleh pihak siapapun kepada pemegang haknya, untuk menyerahkan tanah kepunyaanya dan tau menerima imbalan yang tidak disetujui, termasuk juga penggunaan lembaga penawaran pembayaran diikuti dengan konsinyasi pada pengadilan negeri seperti yang diatur dalam pasal 1404 kitab Undang-Undang Hukum Perdata”.
7. “Bahwa dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum dan tidak mungkin digunakan tanah lain, sedangkan musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan acara pencabutan hak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961”.
8. “Bahwa dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas dasar kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau ganti kerugian yang bukan haknya meliputi tanahnya, bangunan, dan tanaman pemegang hak, melainkan juga kerugian-kerugian lain diderita sebagai penyerahan tanah yang bersangkutan”.
9. “Bahwa bentuk dan jumlah imbalan atau ganti rugi tersebut, diberikan jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya”.
“Proses dalam penentuan ganti rugi dilakukan dengan musyawarah. Setelah memperoleh kesepakatan, maka dimulailah pembayaran ganti kerugian atas pelepasan hak atas tanah yang dimana pemerintah harus memperhatikan beberapa aspek yaitu”:
81. “Kesebandingan adalah ukuran antara hak yang hilang dengan penggantinya harus adil
menurut hukum dan menurut masyarakat yang berlaku umum.
2. Layak adalah keadaan dimana selain sebanding, ganti kerugian jiga layak jika diganti dengan hal lain yang memiliki kesamaan dengan hal yang telah hilang.
8 Tatit Januar Habib, Pelaksanaan penetapan ganti kerugian dan bentuk pengawasan panitia pengadaan tanah pada proyek pembangunan terminal bumiayu (skripsi), Universitas Diponegogo, Semarang, 2007, hlm. 45-46.
22
3. Perhitungan Cermat, yang dimaksud dengan perhitungan cermat adalah penggunaan waktu nilai dan derajat”.
“Didalam UU No. 2 Tahun 2012, terutama dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang ini Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”. “Didalam Pasal 1 angka 10 menegaskan lagi”, “Ganti Kerugian adalah penggantian layak dan adil kepada yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Maka jelas terlihat, bahwa didalam undang-undang yang baru mengenai pengadaan tanah, semakin memberikan peluang keadilan bagi masyarakat yang tanahnya diambil untuk pembangunan demi kepentingan umum”.
C. Tinjauan Umum Tentang Pembebasan Tanah 1. Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Untuk melakukan pembebasan tanah dan pelepasan hak atas tanah demi pembangunan yang dilakukan pemerintah harus berlandaskan dengan fungsi sosial, yang dilakukan dengan beberapa cara. Hukum Tanah Nasional menyediakan cara untuk memperoleh tanah dengan melihat keadaan sebagai berikut:
91. “Status tanah yang tersedia, tanahnya merupakan tanah negara atau tanah hak;
2. Apabila tanah hak, apakah pemegang haknya bersedia atau tidak menyerahkan hak atas tanahnya tersebut;
3. Apabila pemegang hak bersedia menyerahkan atau memindahkan haknya, apakah yang memerlukan syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan atau tidak memenuhi syarat”.
“Pelepasan hak tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Cara memperoleh tanah dengan pelepasan hak atas tanah ini ditempuh apabila yang membutuhkan tanah tidak memenuhi syarat sebagi pemegang hak atas tanah”.
Pelepasan hak tanah yang dilakukan oleh pihak yang tanahnya diambil demi pembangunan harus diimbangi dengan pemberian ganti kerugian atau kompensasi yang
9 “Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), (Jakarta:Djambatan,2003), hal. 310”
23
layak. Hal ini berkaitan dengan bagaimana peran tanah yang dilepas bagi kehidupan pemegang hak dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah.
Kemudian setelah pemberian kompensasi yang layak, maka ketika melakukan musyawarah antara pemegang hak atas tanah dengan pemerintah, kedua belah pihak harus berada dalam posisi yang setara dan seimbang, dimana pemerintah harus memperhatikan beberapa aspek, yaitu:
101. “Kesebandingan adalah ukuran antara hak yang hilang dengan penggantinya harus adil menurut hukum dan menurut kebiasaan masyarakat yang berlaku umum.
2. Layak adalah keadaan yang dimana selain sebanding dengan ganti kerugian juga layak jika penggantian dengan hal lain yang tidak memiliki kesamaan dengan hal yang telah hilang.
3. Perhitungan Cermat, yang dimaksud dengan perhitungan cermat adalah penggunaan waktu nilai dan derajat”.
“Didalam UU No.2 Tahun 2012, terutama dalam pasal 1 angka 2 undang-undang ini Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”. “Pasal 1 angka 10 menegaskan lagi, Ganti kerugian adalah penggantian layak dan adil kepada yang berhak dalam proses pengadaan tanah”. Maka dari itu bisa dilihat, bahwa didalam undang-undang yang baru mengenai pengadaan tanah, bisa memberikan peluang keadilan bagi masyarakat yang tanahnya diambil untuk pembangunan demi kepentingan umum.
2. Aspek Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah pada dasarnya merupakan suatu usaha menyediakan tanah dalam rangka pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan. Beberapa pengaturan yang berhubungan dengan aspek kepentingan umum dalam pengadaan tanah yaitu:
1. “Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1990, dalam Pasal 14 ayat 1 dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2), dan (3), pasal 9 ayat (2), pasal
10 “Tatit Januar Habib, Pelaksanaan penetapan ganti kerugian dan bentuk pengawasan panitia pengadaan tanah pada proyek pembangunan terminal bumiayu (skripsi), Universitas Diponegogo, Semarang, 2007, hlm. 45-46”.
24
10 ayat (1) dan (2), pemerintah membuat rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”:
a. “Untuk Keperluan negara;
b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainya sesuai dengan Kebutuhan Yang Maha Esa;
c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, pertenakan, dan perikanan serta sejalan dengan itu;
e. Untuk keperluan memperkembangkan industry, transmigrasi dan pertambangan.
Pasal 18 menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari seluruh rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.
2. Selain UUPA, peraturan yang mengatur mengenai aspek kepentingan umum yaitu
“Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum”.
Kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, dengan memperlihatkan segi-segi sosial, politik, psikologis dan hankamna atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara.
11“Dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Jo Nomor 65 Tahun 2006 menjelaskan mengenai prinsip-prinsip Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, yaitu:
1. Terjaminnya hak-hak masyarakat atas tanah.
2. Terhindarnya masyarakat dari proses spekulasi tanah.
3. Terjaminnya perolehan tanah untuk kepentingan umum”.
Syarat-syarat “kepentingan umum menurut pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 adalah sebagai berikut:
11 Jhon Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1988), hal: 40.
25
2. Dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
3. Dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah”.
Aspek kepentingan umum tentunya harus memenuhi peruntukannya dan harus dirasakan kemanfaatannya, dalam arti dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan atau secara langsung. Manfaat yang diterima masyarakat tentunya menyangkut mengenai fasilitas publik. “Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 menentukan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah meliputi:
1. Jalan umum an jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di atas ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran Pembuangan air dan sanitasi;
2. Waduk, bendungan irigasi, dan bangunan perairan lainnya;
3. Rumah sakit umum, Pusat-pusat kesehatan masyarakat;
4. Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
5. Peribadatan;
6. Pendidikan atau sekolah;
7. Pasar umum;
8. Fasilitas Pemakaman umum;
9. Fasilitas Keselamatan umum;
10. Pos dan Telekomunikasi;
11. Sarana Olahraga;
12. Stasiun Penyiaran Radio, Televisi dan Sarana Pendukungnya;
13. Kantor Pemerintahan, Pemerintahan Daerah, Perwakilan Negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan atau lembaga-lembaga Internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa;
14. Fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokoknya dan fungsinya;
15. Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan;
16. Rumah susun sederhana;
17. Tempat pembuangan sampah;
18. Cagar Alam dan Cagar Budaya;
26
19. Pertamanan;
20. Panti Sosial;
21. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik”.
“Syarat atau ketentuan Pasal 5 diatas diubah dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 sehingga jenis-jenis Kepentingan umum meliputi:
1. Jalan umum an jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di atas ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran Pembuangan air dan sanitasi;
2. Waduk, bendungan irigasi, dan bangunan perairan lainnya;
3. Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
4. Fasilitas Pembuangan sampah;
5. Fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana;
6. Cagar alam dan cagar budaya;
7. Pembangkit, Transmisi, distribusi tenaga listrik”.
Bedasarkan point-point yang telah diuraikan diatas tersebut penulis ingin memaparkan beberapa contoh terkait dengan pembangunan hasil dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah sebagai berikut:
1. Terkait pembangunan jalan tol untuk kepentingan umum, telah diatur dalam ketentuan Pasal 10 huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kegiatan pembangunan jalan tol untuk kepentingan umum dalam hal pengadaan tanah telah dilakukan oleh PT. Jasa Marga (Persero), jalan tol merupakan bagian dari akses utama dalam melancarkan perekonomian masyarakat, yang perwujudannya adalah tanggung jawab dari pemerintah. Dalam hal ini PT.Jasa Marga merupakan bagian dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang berbentuk Persero yang kepemilikan atas sahamnya terdiri dari 51%
(lima puluh satu persen) milik pemerintah dan 49% (empat puluh sembilan persen)
milik publik. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-X/2012 bahwa
pembangunan infrastruktur bukan merupakan proyek yang mengepentingkan untung
rugi bagi pemerintah, tetapi adalah suatu kewajiban pemerintah dalam mengatasi
masalah perekonomian bangsa dan negara serta meliputi kepentingan bersama untuk
27
seluruh rakyat Indonesia, demikian pula dalam hal pembangunan dan pengadaan jalan tol untuk kepentigan umum.
122. Terkait dalam proyek normalisasi waduk Pluit Jakarta Utara mulai dari pengerukan sampai pembongkaran bangunan liar yang telah dikuasai oleh warga dan PT (perusahaan). Dalam kasus normalisasi waduk Pluit ini Pemerintah DKI bermaksud mewujudkan pembebasan tanah milik negara untuk dikembalikan pada fungsinya yang nantinya akan bermanfaat bagi kepentingan umum. Hal ini akan berakibat mengurangi bahkan meniadakan hak atas tanah yang dimiliki oleh warga atau kelompok tertentu dari masyarakat tersebut. Oleh karenanya, hak asasi dan hak keperdataan masyarakat akab terabaikan. Dalam demikian permerintah perlu memperhatikan perlindungan terhadap hak asasi dan hak keperdataan yang dimiliki oleh masyarakat yang terdampak melalui perundang-undangan yang telah diatur mengenai pembebasan hak atas tanah terebut.Dengan adanya ketegasan didalam peraturan Perundang-undangan yang melibatkan masyarakat yang terkena dampak dari proyek normalisasi waduk Pluit dalam tahap pelaksanaan, pengawasan, dan mengakomodasi mengenai perlindungan hak dan kepentingan masyarakat, termasuk dalam hak untuk memperoleh jaminan kesejahteraan agar masyarakat tidak menjadi lebih miskin dari sebelum tanahnya dibebaskan oleh pemerintah.
13Dari kedua ketentuan hukum tersebut bahwa dalam “peraturan No. 65 Tahun 2006 bidang-bidang yang termasuk kriteria kepentingan umum lebih sedikit dan menyempit dibandingan dengan yang tercantum dalam peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005”.
Banyaknya kriteria yang dihapuskan dari peraturan dulu ke peraturan saat ini, terjadi akibat orientasi atau tujuan dari dibangun atau diadakannya bidang-bidang tersebut tidak lagi serta merta untuk kepentingan umum atau kesejahteraan rakyat saja melainkan ada unsur mencari keuntungan didalamnya. Berlakunya “UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”, digunakan dalam jenis-jenis pembangunan. Akan tetapi di dalam “Pepres No. 71 tahun 2012 tentang
12 “Irfan Yanuar Baihaqi,2017, Tinjauan Yuridis Tentang .Pengadaan Tanah Untuk Jalan Tol untuk Kepentingan Umum., Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Universitas Jember Fakultas Hukum, Skripsi, hlm. XII- XIII”.
13 “Iwan Irawan,2014, Studi Kasus Pembebasan Tanah Dalam Proyek Normalisasi Waduk Pluit Ditinjau dari Perspektif Hukum Agraria, Character Building Development Center, BINUS University.Hal.1169”
28
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, tidak memuat mengenai jenis-jenis kepentingan umum yang memerlukan pengadaan tanah”.
D. Tinjauan Umum Tentang Pemberian Ganti Rugi Dalam Pembebasan tanah 1. Prinsip-Prinsip Pemberian Ganti Rugi Dan Dasar Perhitungan
Dalam setiap pembebasan tanah untuk kepentingan umum pembangunan hampir selalu muncul rasa tidak puas, disamping tidak berdaya, dikalangan masyarakat yang ha katas tanahnya terkena proyek tersebut. .Masalah ganti rugi merupakan isu sentral yang paling rumit. penangananya dalam upaya pengadaan tanah oleh pemerintah dengan memanfaatkan tanah-tanah hak
14Diberbagai negara berkembang tersedia indeks alternatife yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk menentukan besarnya ganti rugi. Di Brasil, faktor taksiran nilai untuk keperluan pemunguntan pajak, lokasi, keadaan tanah (terpelihara/tidak), nilai pasar selama lima tahun terakhir dari hak atas tanah lain yang sebanding menjadi bahan pertimbagan penentuan besarnya ganti rugi
.
“Tampaknya sering dilupakan bahwa interprestasi asas fungsi sosial hak atas tanah, disamping mengandung makna bahwa hak atas tanah itu harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi si pemegang hak dan bagi masyarakat, juga berarti bahwa harus terdapat keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum, dan bahwa kepentingan perseorangan itu diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan”.
Dalam kaitannya dengan masalah ganti rugi, tampaklah bahwa menentukan keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum itu tidak mudah.
15
14 “Muhammad Bakri, Pembatasan Hak Menguasai Tanah Oleh Negara Dalam Hubunganya dengan hak Ulayat dan Hak Perorangan Atas Tanah (Ringkasan Disertasi), (Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2006), hal.52”
15 “Maria, S.W.Sumardjono,Op.It, Hal.78”.
29
.Ganti rugi sebagai suatu upaya mewujudkan penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum, dapat disebut adil apabila hal tersebut tidak membuat seseorang menjadi lebih kaya, atau sebaliknya, menjadi lebih miskin. dari pada keadaan seperti semula.
Di dalam ketentuan Keppres nomor 55 tahun 1993 menyebutkan bahwa “bentuk ganti rugi dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Bentuk ganti rugi dalam pengadaan tanah dapat berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, dan/atau gabunagn dari 2 atau lebih bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, serta bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 13)”.
Khusus untuk tanah, perhitungan ganti ruginya adalah harga tanah didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak dan Bangunan (NJOP) tahun terakhir (Pasal 15 huruf a). “Merupakan suatu langkah maju dan dapat diterima sebagai sesuatu yang adil, apabila untuk pengenaan pajak dan langkah awal penentuan besarnya ganti rugi digunakan standar yang sama, yakni NJOP Bumi dan Bangunan tahun terakhir, yang akurasi penerapannya merupakan faktor yang sangat menentukan”. Disamping untuk tanah, bangunan, tanaman, dasar perhitungan ganti ruginya .adalah nilai jual bangunan dan tanaman yang ditaksir oleh instansi yang berwenang di bidang tersebut (Pasal 15 Huruf b dan c)..
“Menurut pendapat Maria S.W. Sumardjono, apabila dibandingkan dengan ganti rugi untuk bangunan dan tanaman, maka ganti rugi untuk tanah lebih rumit perhitunganya karena ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi harga tanah. Untuk Indonesia, kiranya faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan ganti rugi, di sampaing NJOP Bumi dan Bangunan tahun terakhir, adalah:
16i. Lokasi/letak tanah (strategis atau kurang strategis);
ii. Status penguasaan tanah (sebagai pemegang hak yang sah/penggarap);
iii. Status hak atas tanah (hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain- lain);
16 Ibid, Hal. 80-81
30
iv. Kelengkapan sarana dan prasarana;
v. Keadaan penggunaan tanahnya (terpelihara/tidak);
vi. Rugi sebagai akibat dipecahnya hak atas tanah seseorang;
vii. Biaya pindah tempat/pekerjaan;
viii. Rugi terhadap akibat turunya penghasilan si pemegang hak”.
Pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia pengadaan tanah dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota sesuai kewenangan disertai dengan penyelesaian mengenai sebab-sebab dan alasan-alasan keberatan tersebut. Bupati/Walikota mengupayakan penyelesaian bentuk dan besarnya ganti rugi dengan mempertimbangkan rugi dari pemegang hak atas tanah atau kuasanya. Isi keputusan dapat berupa mengukuhkan atau mengubah keputusan panitia pengadaan tanah mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi yang akan diberikan.
“Apabila upaya tersebut tetap tidak diterima oleh pemegang hak atas tanah dan lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan, maka Bupati/Walikota sesuai kewenangannya mengajukan usul cara pencabutan hak atas tanah bedasarkan Undang- Undang Nomor 20 tahun 1961”.
Usulan Bupati/Walikota tersebut diajukan kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional dengan tembusan kepada menteri dan instansi yang memerlukan tanah dan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Permintaan pencabutan tersebut oleh Kepala
Badan Pertanahan disampaikan kepada Presiden yang ditentukan oleh Menteri dan Instansi
yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Peraturan
Pemerintahan Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Rugi oleh
Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-
Benda yang ada diatasnya yang merupakan peraturan pelaksanaan ketentuan-ketentuan
dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas
Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya”, menetap bahwa “terhadap keputusan
mengenai jumlah ganti rugi yang tidak dapat diterima karena dianggap kurang layak,
sehubungan dengan pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada
diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya,
31
dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi. Permintaan banding tersebut diajukan kepada Pengadilan Tinggi yang daerah kekuasaanya meliputi tanah dan atau benda-benda yang haknya dicabut, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan terhitung sehjak tanggal Keputusan Presiden dimaksud dalam Pasal 5 dan 6 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 1961 tersebut disampaikan kepada yang bersangkutan.
Penentuan jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan tersebut adalah untuk lebih menjamin kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan lebih mempercepat penyelesaian di Pengadilan Tinggi. Tujuan utama dari penyelesaian perkara dalam ganti rugi adalah agar kedua belah pihak mendapatkan putusan secepat-cepatnya”.
2. Ketentuan Besarnya .Ganti Rugi Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
Menurut Pasal 13 undang-undang nomor 2 tahun 2012, “bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan umum adalah:
a. Uang;
b. Tanah Pengganti;
c. Pemukiman Kembali;
d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Dalam Pasal 6 ayat (5) undang-undang nomor 2 tahun 2012, mengenai Panitia pengadaan tanah, dinyatakan bahwa:
a. “Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.
b. Panitia Pengadaan tanah propinsi daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.
c. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah Kabupaten/Kota atau lebih, dilakukan
dengan bantuan panitia pengadaan tanah propinsi yang dibentuk oleh Gubernur.
32
d. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah propinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh menteri dalam negeri yang terdiri atas unsur pemerintahan dan unsur pemerintahan daerah yang terkait.
e. Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) terdiri atas unsur perangkat daerah terkait dan unsur Badan Pertahanan Nasional.”
Dalam Pasal 7 undang-undang nomor 2 tahun 2012, dinyatakan: “Panitia Pengadaan Tanah bertugas:
a. Mengadakan penelitian dan inventariasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda- benda lain yang ada kaitanya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan.
b. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya.
c. Menetapkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan.
d. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut.
e. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian.
f. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah.
g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
h. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten”.
Dengan berlakunya “undang-undang nomor 2 tahun 2012 maka ada perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Menurut Pasal 10 undang-undang nomor 2 tahun 2012 menyatakan bahwa :
a. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau
penyerahan ha katas tanah.
33
b. Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa menurut undang-undang nomor 2 tahun 2012, “bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, dalam hal ini dilakukan oleh pihak swasta, maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
E. Tinjauan Umum Tentang..Penerapan...Prinsip..Keadilan..Dalam…Pembebasan ..Tanah.
1. .Penerapan..Prinsip..Keadilan..Dalam..Pembebasan..Tanah..Untuk..Kepentingan
.Umum.
Sebelum membahas mengenai bagaimana penerapan prinsip pembebasan tanah untuk kepentingan umum, maka terlebih dahulu melihat prisip-prinsip/asas-asas pembebasan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dalam “Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan umum, dan setelah itu baru membahas mengenai prinsip-prinsip kriteria kepentingan umum.
Prinsip-prinsip/asas pembebasan/pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum telah diuraikan dalam penjelasan Pasal (1) UU No. 2 tahun 2012 adalah”:
1. “Prinsip Kemanusiaan adalah Pengadaan tanah harus memberikan perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
2. Prinsip Keadilan adalah: memberikan jaminan penggantian yang layak kepada yang berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik.
3. Prinsip kemanfaatan adalah: hasil pengadaan tanah mampu memberikan manfaat
secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
34
4. Prinsip kepastian adalah: memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak.
5. Prinsip keterbukaan adalah bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan yang dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah.
6. Prinsip kesepakatan adalah: di dalam proses pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa didasari oleh suatu unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.
7. Prinsip keikutsertaan adalah: dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah melalui partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan pembangunan.
8. Prinsip kesejahteraan adalah: pengadaan tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak yang berhak dan masyarakat secara luas.
9. Prinsip keberlanjutan adalah: kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
10.Prinsip keselarasan adalah: pengadaan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan negara”.
Dari prinsip-prinsip pengadaan tanah untuk kepentingan umum di atas dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Sementara itu jika dilihat dari peruntukannya dari sifat hakekat dan karakteristik dari kepentingan umum dalam pengadaan/ pembebasan tanah adalah untuk kepentingan bangsa dan Negara.
Sedangkan bangsa Indonesia yang cenderung menganut paham negara dengan paham sublimasi. Dimana negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang mempunyai wewenang menguasai dan mengatur kepentingan umum ataupun kepentingan individu.
Negara dapat mempunyai berbagai sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak,
namun tidak dapat mempunyai barang atau tanah dengan status hak milik. Menurut paham
ini, Negara hanya memberikan pengakuan terhadap hak-hak atas tanah individu dalam
posisi seimbang dengan kepentingan umum yang dalam artian kedua hal tersebut tidak
saling merugikan. Kalaupun terpaksa kepentingan umum harus didahulukan dari pada
35
kepentingan individu, maka kepentingan individu harus tetap di lindungi dengan tetap memberikan kompensasi berupa ganti rugi yang layak.
17Di sisi yang lain, pengertian kepentingan umum untuk kepentingan masyarakat, pengertian dari kata tersebut cenderung memberikan pengertian yang bias bila ditafsirkan secara “legalistic formalistic”. Oleh karena itu penafsiran tersebut harus dilakukan secara teleologis (sosiologis), yaitu “istilah masyarakat harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia”. Oleh karena itu perlu dipertegas lagi bahwa sifat kepentingan untuk masyarakat luas perlu mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dan dijabarkan lebih rinci ke dalam peraturan di bawah ataupun operasional di lapangan agar arti kepentingan umum tersebut tidak salah sasaran, justru yang terjadi dalam realitanya untuk kepentingan masyarakat sempit. Di dalam UUPA telah menegaskan tentang “perlunya melindungi kepentingan masyarakat agraris, golongan ekonomi lemah dan pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa harus ada pemilihan yang hati-hati antara kepentingan umum pada masyarakat agraris ala Indonesia, yang notabene masih lemah bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan”.
18Terminologi kepentingan umum “ untuk rakyat banyak” terlihat sudah jelas, namun jika dipahami secara lebih mendalam dan melihat realita di lapangan cenderung menimbulkan permasalahan. Penyimpangan penafsiran cenderung dilakukan di dalam praktiknya, sebagai misal kasus Bandara Internasional Lombok, Waduk Kedung Ombo dan lain sebagainya. Fenomena dan kenyataan tersebut menuntut untuk dilakukan penjelasan, paling tidak sosialisasi tentang pembakuan penafsiran arti “rakyat banyak” dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum.
19Dari yang di sebutkan di atas bahwa kepentingan umum bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan kemanfaatan yang lebih pada masyarakat banyak dan tidak bermaksud untuk keuntungan ekonomis belaka. Dengan kata lain kepentingan umum secara lebih luas adalah kepentingan bangsa dan Negara yang termasuk di dalamnya kepentingan pribadi maupun golongan. Kemudian di dalam ketentuan Pasal 3 Undang- Undang nomor 2 Tahun 2012 menyatakan bahwa “tujuan dari pengadaan/pembebasan
17 “Andrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembagunan, Cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.70-71”.
18 “Ibid. hlm 72-73”.
19 “Ibid.hlm. 73”
36
tanah untuk kepentingan umum adalah untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak”. Meskipun kepentingan umum cenderung menegasikan kepentingan individu bukan berarti negara tidak mengakui kepentingan individu sebagai hakekat pribadi manusia, justru dalam kepentingan umum terletak pembatasan terhadap kepentingan individu. Kepentingan individu tidak bertumpu kepada asas “ius suum cueque tribuere”.
Akan tetapi kepentingan individu termasuk dalam kepentingan umum atau kepentingan masyarakat dan bangsa yang berlandaskan “pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
20Di dalam ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 telah menyebutkan bahwa “ciri-ciri dari kegiatan yang termasuk dalam kepentingan umum adalah kegiatan pembangunan yang dimiliki, dan dilakukan oleh pemerintah dan bersifat nonprofit”.
Menurut Anderian Sutedi ada tiga prinsip dalam kegiatan yang benar-benar untuk kepentingan umum, yaitu:
211. “Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah
Batasan dari kalimat tersebut di atas adalah kegiatan untuk kepentingan umum tidak dapat dimiliki oleh orang perorangan atau swasta. Dengan kata lain dimana swasta dan perorangan tidak dapat memiliki jenis-jenis kegiatan kepentingan umum yang membutuhkan pembebasan tanah-tanah hak maupun negara”.
2. “Kegiatan pembangunan yang terkait dilakukan oleh Pemerintah.
Batasan dari kalimat tersebut di atas adalah: proses pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan oleh pemerintah. Karena maksud dari kalimat tersebut belum jelas maka timbul suatu pertanyaan kalau pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan kepentingan umum tersebut ditenderkan kepada pihak swasta”.
3. “Tidak mencari keuntungan
Batasan dari kalimat tersebut adalah: fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta yang bertujuan untuk mencari kentungan
20 “ Notonagoro, Pancasila Falsafah Negara, Airlangga, Surabaya, 1961, hlm. 11”.
21“ Notonagoro, Op.cit. hlm. 75-76”.
37
sehingga terkualifikasi bahwa kegiatan untuk kepentingan umum sama sekali tidak mencari keuntungan”.
“Agar kriteria kepentingan umum dapat berjalan secara efektif di lapangan tentunya harus memenuhi kriteria sifat, bentuk, dan ciri yaitu:
221. Penerapan untuk kriteria sifat suatu kegiatan untuk kepentingan umum agar memiliki kualifikasi untuk kepentingan umum harus memenuhi salah satu sifat
dari beberapa sifat yang telah ditentukan dalam daftar sifat kepentingan umum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 1961.
Penggunaan daftar sifat tersebut bersifat wajib alternatif.
2. Penerapan untuk kriteria bentuk suatu kegiatan untuk kepentingan umum agar mempunyai kualifikasi sebagai kegiatan untuk kepentingan umum harus memenuhi salah satu syarat bentuk kepentingan umum sebagaimana daftar bentuk kegiatan kepentingan umum tersebut tercantum pada Pasal 1 Inpres 1973 dan Pasal 5 Perpres No. 36 Tahun 2005 yang sekarang telah diatur dalam Pasal 10 UU No 2 tahun 2012.
3. Penerapan untuk kriteria ciri suatu kegiatan untuk kepentingan umum agar
memenuhi kualifikasi ciri-ciri kepentingan umum sehingga benar-benar berbeda dengan bukan kepentingan umum, maka harus memasukkan ciri kepentingan umum, yaitu bahwa kegiatan tersebut benar-benar dimiliki pemerintah, dikelola oleh pemerintah dan tidak untuk mencari keuntungan. Ketiga ciri tersebut di atas harus digunakan secara mutlak akumulatif. Ketiga butir tersebut sebagaimana tercantum dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 Pasal 5, yang sekarang telah diganti dengan UU No. 2 Tahun 2012 Pasal 10.
Penerapan kriteria kepentingan umum beserta prosedur tidak dapat berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan apabila tidak didukung oleh Sumber Daya Manusia yang memadai sebagai pelaksana yang memenuhi kualifikasi, baik secara moral maupun professional”.
23“Soetandyo menyatakan ada dua kemungkinan yang dapat di tempuh agar di dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang banyak memerlukan tanah yang dibebaskan dapat memberikan sifat kemanusiawian dan dapat berdimensi kerakyatan yaitu”:
1. “Mengunakan pendekatan sosiologik antropologik yang prosesnya harus
22 Ibid.hlm.76
23 “Ibid. hlm. 76”
38
ditunggui dengan penuh kesabaran”. “Mungkin pula dalam wujud kebijak sanaan untuk membuka peluang yang luas dan bebas kepada masyarakat awam agar bubling up para warga ini dapat memutuskan sendiri secara bertanggung jawab kegunaan lahan-lahan mereka untuk kepentingan orang banyak”.
2. “Menggunakan pendekatan hukum (kalau memang ini yang di pilih), namun dengan memprioritaskan prosedur dan proses yang privaatrechtelijk yang pada hakekatnya adalah juga suatu proses yang demokratis daripada mendahulukan yang publiekrechtelijk, yang dalam masa-masa transioaldi kebanyakan negeri berkembang, umunya terkesan masih amat mewarnai kekuasaan sktralegal”.
24Di dalam pelaksanaan pembebasan tanah untuk kepentingan umum/pembangunan nasional, ternyata dalam realitasnya masih belum bisa dilakukan sebagaimana yang diharapkan seperti yang dikemukakan oleh Soetandyo tersebut, berdasarkan hasil penelitian, pemerintah/penguasa cenderung melakukan pembebasan tanah tersebut dengan cara melakukan suatu perbuatan yang bersifat publiekrechtelijk yang kadangkala menyampingkan hak-hak keperdataan masyarakat. “Pembayaran ganti rugi harus diberikan kepada orang yang berhak atas tanahnya, harus dilakukan secara tunai dan dibayarkan langsung kepada yang berhak, disamping itu bagi mereka yang terkena tanah dicabut harus diupayakan sedemikian rupa agar mereka yang dipindahkan itu tetap menjalankan kegiatan usahanya/mencari nafkah kehidupan yang lebih layak seperti semula”.
25Konsep yang ideal ini dalam praktiknya tidak sesuai dengan kenyataan. Bentuk dan besaran ganti rugi yang diberikan kepada masyarakat masih jauh dari kelayakan, sehingga tidak heran dalam pelaksanaan telah menimbulkan konflik antara masyarakat pemilik tanah dengan pemerintah atau orang yang membutuhkan tanah, karena ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah tidak cukup atau tidak layak, bahkan tidak dapat dipergunakan untuk membeli tanah baru. Disamping itu, penampungan bagi warga masyarakat yang dicabut haknya tidak memenuhi harapan yang sesuai sehingga kegiatan usaha/mencari nafkah untuk memenuhi kehidupannya yang layak jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya. Pencabutan hak atas tanah telah diatur dalam
24 “Soetandyo Wigyosoebroto, Pembebasan Tanah, Suara Pbaharuan, 7 November 1991, hlm. 2”.
25 “Lihat Pasal 6 Intruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973”.
39
pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria, dan lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada Atasnya. Ketentuan dalam Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria telah menggariskan bahwa “untuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak”.
26Pemberian kompensasi kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, jika menggunakan teori “utilitarianisme” (kemanfaatan) yang dipelopori oleh “Jeremy Bentham maka pelaksanaan pembebasan tanah yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak yang terkait terhadap tanah masyarakat hanya melihat dari sisi kemanfaatan untuk orang banyak, ukuran adil dan tidak adil tergantung dari seberapa besar manfaat yang diberikan untuk orang banyak, dengan mengabaikan kepentingan sebagian orang”.
“Berbeda dengan pandangan di atas John Rawls menyatakan bahwa untuk mencapai suatu keadilan disyaratkan adanya suatu unsur keadilan yang bersifat substantive (justice) dan unsur keadilan procedural (fairness)”.
“Keadilan substansial dimaknai sebagai keadilan yang secara nyata diterima dan dirasakan oleh para pihak yang dibebaskan tanahnya, sedangkan keadilan
prosedural lebih berorientasi pada keadilan yang telah di rumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan kewajiban”.
27
26 “Lihat angka (1) dalam Penjelasan Umum dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan BendaBenda yang ada di Atasnya (Tambahan Lembaran Negara Nomor 2324)”.
27 “John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press Cambridge, Massachusetts. Diter- jemahkan U.
Fauzan dan H. Prasetyo, Teori Keadi- lan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 95”.