• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resosialisasi Sebagai Upaya Mencapai Keberfungsian Sosial bagi Penyandang Gangguan Jiwa Psikotik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Resosialisasi Sebagai Upaya Mencapai Keberfungsian Sosial bagi Penyandang Gangguan Jiwa Psikotik"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Tujuan Penelitian: Untuk menjelaskan pelaksanaan resosialisasi sebagai upaya mencapai keberfungsian sosial bagi penyandang gangguan jiwa psikotik di Panti Sosial Bina Laras (PSBL) Harapan Sentosa 3 Daan Mogot. Metode Penelitian: Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil Penelitian: Pelaksanaan Resosialisasi di Panti Sosial Bina Laras (PSBL) Harapan Sentosa 3 Daan Mogot terbagi menjadi 5 (lima), yaitu pertama bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat diantaranya bimbingan kesiapan Penerima Layanan Sosial (PLS), bimbingan kesiapan keluarga, dan bimbingan kesiapan masyarakat. Kedua, bimbingan sosial hidup bermasyarakat dilakukan dalam bentuk kegiatan persiapan sosialisasi publik. Ketiga, bimbingan pemanfaatan bantuan/stimulan usaha ekonomi produktif tidak dilakukan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki. Keempat, bimbingan usaha/kerja produktif dilakukan dalam bentuk kegiatan keterampilan membuat keset, pel, sapu, sandal, mote, dan salon. Kelima, penyaluran bagi keluarga yang dapat menerima penyandang, maka akan dilakukan pemulangan. Namun, bagi penyandang yang tidak dapat dipulanglan, maka akan diberikan pemberdayaan usaha/ kerja. Dampak dari pelayanan resosialisasi adalah meningkatnya keberfungsian sosial dalam segi kepuasan berperan dalam kehidupan, relasi positif dengan orang lain, dan perasaan menghargai diri. Adapun hambatan pelaksanaan resosialisasi diantaranya keluarga yang mengabaikan informasi yang diberikan oleh petugas, penolakan dari keluarga, kurangnya SDM, kurangnya anggaran dan masyarakat yang kurang koperatif. Kesimpulan: resosialisasi memberikan dampak positif bagi penyandang gangguan jiwa psikotik sehingga mengalami peningkatan keberfungsian sosial dalam segi kepuasan berperan dalam kehidupan, relasi positif dengan orang lain, dan perasaan menghargai diri.

Research Objectives: To explain the implementation of resocialization as an effort to achieve social functioning for people with psychotic mental disorders at Bina Laras Social Home Harapan Sentosa 3 Daan Mogot. Research Method: The research method used is descriptive research with a qualitative approach. Research Results: The Implementation of Resocialization in the Social Care Center for Bina Laras Harapan Sentosa 3 Daan Mogot is divided into 5 (five), namely firstly the readiness guidance and participation of the community including social service recipient guidance (PLS), family readiness guidance, and readiness guidance Public. Second, social guidance for community life is carried out in the form of preparations for public outreach. Third, guidance on the use of aid / stimulants for productive economic businesses is not carried out due to budget constraints. Fourth, business guidance / productive work is carried out in the form of skills activities to make doormats, mops, brooms, sandals, mote, and salons. Fifth, distribution for families who

Nadia Elfirda

1

, Sugeng Astanto

2

1&2 Alamat: IISIP Jakarta, Jl. Raya Lenteng Agung No. 32, Jakarta Selatan, Telepon 021-7806223/24

Abstrak

Resosialisasi Sebagai Upaya

Mencapai Keberfungsian Sosial bagi

Penyandang Gangguan Jiwa Psikotik

(2)

1. Pendahuluan

Pembangunan di bidang kesejahteraan sosial merupakan bagian dari usaha yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Sudah menjadi keharusan bagi suatu negara untuk merespon berbagai macam permasalahan yang muncul. Salah satu masalah sosial diantaranya adalah masalah kesehatan jiwa, terlihat dari tingginya penyandang gangguan jiwa di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia.

Maka dari itu, Pemerintah mempunyai peran penting untuk menangani permasalahan ODGJ yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, bahwa upaya kesehatan jiwa dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Tujuannya mencegah atau mengendalikan disabilitas mental, memulihkan fungsi sosial dan okupasional serta mempersiapkan dan memberi kemampuan orang dengan gangguan jiwa agar mandiri di masyarakat, diperlukan upaya rehabilitatif kesehatan jiwa.

Tujuan rehabilitasi sosial ini berkaitan erat dengan tercapainya keberfungsian sosial dari individu, keluarga, maupun masyarakat. Skidmore mengemukakan, keberfungsian sosial adalah fokus utama dari pekerjaan sosial menurut intervensi di level individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat (Huda, 2009, h.26). Salah satu bentuk pelayanan rehabilitasi sosial sebagai upaya mengembalikan keberfungsian sosial ODGJ adalah melalui pelayanan resosialisasi. Resosialisasi adalah kegiatan bimbingan pasca rehabilitasi dan yang melibatkan keluarga, masyarakat, dan Panti Sosial dalam rangka

mempersiapkan penerimaan kembali ODGJ untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya (Pedoman Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan Mental dalam Panti, 2010).Dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial, Panti Sosial Bina Laras (PSBL) Harapan Sentosa 3 Daan Mogot merupakan salah satu unit pelaksanaan teknis Dinas Sosial Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang berfokus pada pelaksanaan kegiatan rehabilitasi sosial. Penerima Layanan Sosial (PLS) di PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot berlatar belakang kelas sosial ekonomi di bawah yang sebagian besar dari mereka terlantar.

Berdasarkan data pengguna layanan sosial (PLS) di PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot terdapat 519 orang yang terdiri atas 188 perempuan dan 331 laki-laki, dan ditambah 25 orang yang sedang menjalani rawat inap. Total keseluruhannya menjadi 544 orang.Tingginya jumlah PLS di PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot menunjukkan bahwa terdapat ketidakseimbangan antara ODGJ di jalanan yang dijangkau untuk direhabilitasi ke dalam panti sosial dengan penerima layanan yang keluar dari panti atau dipulangkan ke keluarga maupun masyarakat. Hal itu bukan hanya berdampak bagi panti, melainkan juga pada tingkat layanan serta keberfungsian sosial warga binaan dan tingkat penerimaan kembali warga binaan oleh keluarga dan masyarakat. Hal tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata dan perlu dicegah sehingga jumlahnya dapat ditekan.

Resosialisasi menjadi salah satu layanan di PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot dalam rangkaian rehabilitasi sosial. Menurut Pedoman Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan Mental dalam Panti (2010,h.5), resosialisasi

Key Words: Resocialization, people with psychotic mental disorders

can accept persons will be repatriated. However, for persons who cannot be repatriated, business empowerment will be given. The impact of resocialization services is an increase in social functioning in terms of satisfaction in playing a role in life, positive relationships with others, and feelings of self-respect

(3)

adalah kegiatan pengakhiran rehabilitasi yang melibatkan keluarga, masyarakat, dan panti sosial dalam rangka mempersiapkan penerimaan kembali penyandang gangguan jiwa untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul “Resosialisasi sebagai upaya mencapai keberfungsian sosial Bagi Penyandang Gangguan Jiwa Psikotik”. Dengan demikian rumusan masalah pokoknya adalah “ Bagimana Proses Resosialisasi Sebagai Upaya Mencapai keberfungsian Sosial bagi Penjandang Gangguan Jiwa Psikotik. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah Tujuan Penelitian: Untuk menjelaskan pelaksanaan resosialisasi sebagai upaya mencapai keberfungsian sosial bagi penyandang gangguan jiwa psikotik di Panti Sosial Bina Laras (PSBL) Harapan Sentosa 3 Daan Mogot

2. Tinjauan Pustaka A. Resosialisasi

Menurut Sukoco, Dwi Heru (1993) dalam Haryanto (2009, h.76), resosialisasi adalah segala upaya bertujuan untuk menyiapkan penyandang cacat agar mampu berintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Resosialisasi merupakan penentuan apakah individu penyandang cacat betul-betul sudah siap baik fisik, mental, dan sosial dalam berintegrasi dengan masyarakat, dan dari kegiatan resosialisasi dapat diketahui apakah masyarakat sudah siap menerima kehadiran dari penyandang cacat. Dalam penelitian ini, pelaksanaan resosialisasi di PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot berfokus pada penyiapan fisik, mental, dan sosial untuk Penerima Layanan Sosial (PLS) agar PLS mampu berintegrasi dalam masyarakat serta penyiapan keluarga maupun masyarakat agar siap menerima kehadiran PLS.

Pedoman Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan Mental dalam Panti (2010, h.23-25), menyatakan bahwa resosialisasi terdiri dari berbagai kegiatan, di antaranya: (1) Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat; (2) Bimbingan sosial hidup bermasyarakat; (3) Bimbingan pemanfaatan/bantuan stimulan usaha

ekonomi produktif; (4) Bimbingan usaha/kerja produktif; (5) Penyaluran, yaitu menempatkan penyandang pada lapangan usaha/kerja, keluarga, sesuai dengan keterampilan yang dimiliki serta sesuai dengan potensinya. Dalam penelitian ini, peneliti ingin meneliti pelaksanaan resosialisasi di PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot yang terdiri dari bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat, bimbingan sosial hidup bermasyarakat, bimbingan pemanfaatan bantuan/ stimulan usaha ekonomi produktif, bimbingan usaha/kerja produktif, dan penyaluran. Kegiatan yang melibatkan PLS, keluarga, dan masyarakat inilah yang akan mendukung keberfungsian sosial PLS ketika sudah dipulangkan oleh PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot.

B. Keberfungsian Sosial

Keberfungsian sosial berkaitan dengan hasil interaksi seseorang dengan lingkungannya. Oleh karena itu, Skidmore (1991,h.19) menggambarkan tiga dimensi keberfungsian sosial yang disebut sebagai social functioning triangle, yaitu: (1) Kepuasan berperan dalam kehidupan (satisfaction with roles in life); (2) Relasi positif dengan orang lain (Positive relationships with others), dan (3) Perasaan puas atau menghargai diri (feeling of self worth).

Sedangkan, Dubois dan Miley (dalam Huda, 2009, h.27-28) mengatakan bahwa ada tiga jenis keberfungsian sosial, yaitu: (1) Keberfungsian sosial efektif (effective social functioning), yaitu keberfungsian sosial adaptif. Karena sistem-sistem sumber yang ada relatif mampu memenuhi kebutuhan dari masyarakat. Jadi secara efektif individu, keluarga, kelompok ataupun masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya melalui sistem-sistem sumber yang tersedia. (2) Keberfungsian sosial berisiko (at-risk social functioning), yaitu keberfungsian sosial yang ditunjukkan dengan adanya sekelompok masyarakat yang memiliki risiko untuk tidak dapat memenuhi keberfungsian sosial secara efektif. Risiko gagal untuk dapat berfungsi sosial secara efektif dapat terjadi pada kelompok masyarakat yang rentan (vulnerable). (3) Kesulitan dalam berfungsi sosial (difficulties in social functioning), yaitu keberfungsian sosial

(4)

yang tidak mampu beradaptasi (maladaptives). Dalam kondisi tertentu sistem seperti ini tidak mampu beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan manusia, karena masalah begitu sangat parah (exacerbated). Sistem gagal memenuhi kebutuhan manusia sehingga manusia dapat mengalami depresi dan teralienasi dari sistemnya itu sendiri.

Dalam penelitian ini, keberfungsian sosial yang dilihat melalui tiga dimensi keberfungsian sosial yang diantaranya kepuasan berperan dalam kehidupan, relasi positif dengan orang lain, dan perasaan puas atau menghargai diri. Dari tiga dimensi keberfungsian sosial tersebut, akan dilihat penyandang gangguan jiwa psikotik yang telah melaksanakan resosialisasi masuk ke dalam kategori jenis keberfungsian sosial yang mana, apakah masuk dalam kategori keberfunsgsian sosial efektif, keberfungsian sosial beresiko, atau kesulitan dalam berfungsi sosial.

C. Penyandang Gangguan Jiwa Psikotik Gangguan jiwa menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III) adalah “sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat”(Yusuf, 2015, h.8).

Menurut Sutejo (2018), Gangguan jiwa memiliki berbagai macam penyebab di antaranya: (1) faktor somatik (somatogenik), yakni akibat gangguan pada neuronatomi, neurofisiologi, dan neurokimia, termasuk tingkat kematangan dan perkembangan organik, serta faktor pranatal dan perinatal. (2) Faktor psikologik (psikogenik), yang terkait dengan interaksi ibu dan anak, peranan ayah, persaingan antar saudara kandung, hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permintaan masyarakat. Selain itu, faktor intelegensi, tingkat perkembangan emosi, konsep diri, dan pola adaptasi juga akan mempengaruhi kemampuan untuk menghadapi masalah. Apabila keadaan ini kurang baik, maka dapat mengakibatkan

kecemasan, depresi, rasa malu, dan rasa bersalah yang berlebihan. (3) Faktor sosial budaya, yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola mengasuh anak, tingkat ekonomi, perumahan, dan masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas kesehatan, dan kesejahteraan yang tidak memadai, serta pengaruh rasial dan keagamaan.

Menurut Setiadi (2014, h.8-9), terdapat empat gejala utama psikosis, yaitu: (1) Halusinasi, adalah suatu keadaan dimana seseorang merasakan sesuatu lewat panca inderanya (pendengaran, penglihatan, perabaan, penciuman dan indra pengecap) dimana dalam kenyataannya hal tersebut tidak ada. (2) Waham (delusi), adalah suatu keadaan dimana seseorang percaya atau yakin kepada sesuatu yang tidak masuk akal, sangat aneh, atau jelas-jelas salah. (3) Kekacauan pikiran, suatu keadaan dimana seseorang terganggu, bingung atau kacau pikirannya. (4) Tidak adanya kesadaran diri, penderita gangguan jiwa tidak merasa bahwa ada pikiran atau perilaku yang aneh pada dirinya. Mereka yakin pada halusinasi maupun waham yang dipunyainya. Keadaaan tersebut menyebabkan mereka tidak mempunyai keinginan untuk berobat atau meminta pertolongan.

Dalam penelitian ini, PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot sasaran pelayanannya adalah psikotik terlantar. Oleh karena itu, peneliti berfokus pada penyandang gangguan jiwa psikotik. Selain itu, jumlah penyandang gangguan jiwa psikotik di Indonesia sangat tinggi, sehingga perlu ditekan, salah satu upayanya adalah dengan rehabilitasi sosial khususnya resosialisasi yang dilakukan oleh PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot.

3. Metode Penelitian Pendekatan penelitian.

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Anggito & Setiawan (2018, h.15-16) menyatakan, bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena dari sudut pandang partisipan, konteks sosial, dan institusional dengan tujuan utama menjelaskan suatu masalah tetapi menghasilkan generalisasi.

(5)

Dalam penelitian ini, dilakukan pada obyek secara ilmiah dan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan.

Sifat Penelitian

Menurut Anggito & Setiawan, (2018, h.11) penelitian kualitatif bersifat deskriptif yaitu peneliti harus mendeskripsikan suatu obyek, fenomena, atau setting sosial yang akan dituangkan dalam tulisan yang bersifat naratif. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh, dianalisis, dan disajikan dalam bentuk deskriptif untuk menggambarkan proses pelaksanaan resosialiasi sebagai upaya mencapai keberfungsian sosial bagi penyandang gangguan jiwa psikotik di Panti Sosial Bina Laras (PSBL) Harapan Sentosa 3 Daan Mogot secara sistematis, rinci, dan objektif, disertai dengan kutipan hasil wawancara dari informan.

Definisi Konsep

1) Resosialisasi adalah pengakhiran rehabilitasi yang melibatkan keluarga, masyarakat, dan panti sosial dalam rangka mempersiapkan penerimaan kembali penyandang gangguan jiwa melalui kegiatan yang diantaranya bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat, bimbingan sosial hidup bermasyarakat, bimbingan pemanfaatan bantuan/stimulan usaha ekonomi produktif, bimbingan usaha/kerja produktif, dan penyaluran.

2) Keberfungsian sosia adalah kemampuan seseorang ketika ia merasa puas berperan dalam kehidupan, mempunyai relasi positif dengan orang lain, dan merasa puas atau menghargai diri sendiri.

3) Penyandang gangguan jiwa psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan halusinasi, waham, kekacauan pikiran, dan tidak adanya kesadaran diri yang dikarenakan faktor biologis, psikologis, dan atau sosial budaya.

Teknik Pemilihan Informan.

Dalam penelitian ini, informan yang dipilih peneliti, sebagai berikut:

1. Informan Internal, yaitu informan yang mengetahui informasi pokok yang diperlukan terkait pelaksanaan resosialisasi di PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot. Informan Internal dalam penelitian ini berjumlah 2 (dua) orang terdiri dari Kepala Satuan Pelaksana Pelayanan dan Pembinaan sosial dan Pekerja Sosial.

2. Informan Eksternal, yaitu informan yang terlibat/sasaran langsung dalam interaksi sosial terkait pelaksanaan resosialisasi. Dalam penelitian ini, informan eksternal berjumlah 4 (empat) orang yang terdiri dari 2 (dua) PLS penyandang gangguan jiwa psikotik dan 2 (dua) perwakilan keluarga PLS.

3. Informan Ahli, yaitu informan yang tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan resosialisasi di PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot, namun dianggap ahli atau menguasai informasi terkait penelitian ini. Dalam penelitian ini, informan ahli berjumlah 1 (satu) orang yaitu Kepala Seksi Rehabilitasi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Kementerian Sosial.

Teknik pengumpulan data.

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain:

1) Wawancara,merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi. Dalam proses ini, hasil wawancara ditentukan oleh beberapa faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi arus informasi (Singarimbun & Effendi, 1989, h. 192).

2) Observasi, merupakan deskripsi secara sistematis tentang kejadian dan tingkah laku setting sosial yang dipilih untuk diteliti (Suyanto & Sutinah, 2007, h. 172).

3) Studi kepustakaan, merupakan suatu kegiatan pengumpulan data dan informasi dari berbagai sumber, seperti buku yang memuat berbagai ragam kajian teori yang sangat dibutuhkan peneliti, majalah, naskah, kisah sejarah, dan dokumen. Termasuk di dalamnya adalah rekaman berita dari radio, televisi, dan media elektronik lainnya (Maryati &

(6)

Suryawati, 2007, h.129).

Ketiga teknik pengumpulan data tersebut digunakan oleh penulis, untuk memperoleh data yang akurat. Dalam wawancara agar diperoleh data yang mendalam dari informan yang terpilih. Penulis juga memerlukan observasi, karena untuk mengetahui fenomena yang terjadi agar dapat ditentukan masalah penelitian. Sementara studi pustaka untuk memberikan dasar teori dan menjelaskan fenomena dari masalaha yang akan diteliti.

Teknik Analisis Data.

Dalam penelitian ini, untuk analisis data menggunakan metode Sarantokos yang membagi proses analisis data kualitatif ke dalam tiga tahap, yaitu: (1) Reduksi data (data reduction),dimana data yang berasal dari hasil wawancara dengan informan dan observasi lapangan dipilih yang sesuai tema dari penelitian ini. (2) Menggabungkan data (data organization), data dari hasil wawancara tersebut dikelompokkan berdasarkan kategori atau tema yang sama, yang ingin didalami dan dikaitkan dengan teori. Penyusunan ini akan mempermudah tahap selanjutnya. (3) Menjelaskan data (data interpretation), yaitu membuat kesimpulan dari data yang diberikan informan terkait dengan tema.

4. Hasil Penelitian

A. Penyandang Gangguan Jiwa Psikotik Proses penerimaan PLS di PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot diawali dari penertiban di jalanan Ibu Kota yang dilakukan oleh Satpol PP. Kemudian, ditempatkandi penitipan sementara Panti Sosial Bina Insan (PSBI) Bangun Daya. Lalu, dirujuk ke PSBL Harapan Sentosa 1 Cengkareng dimana panti tersebut diperuntukkan bagi PLS yang gangguannya berat. Jika sudah lebih pulih, dirujuk kembali ke PSBL Harapan Sentosa 2 Cipayung dimana panti tersebut diperuntukkan bagi PLS yang gangguannya sedang. Kemudian jika sudah lebih pulih lagi, terakhir dirujuk ke PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot dimana panti tersebut diperuntukkan bagi PLS yang gangguannya sudah ringan.

B. Resosialisasi

Menurut Sukoco, Dwi Heru (1993) dalam Haryanto (2009, h.76), resosialisasi adalah segala upaya bertujuan untuk menyiapkan penyandang disabilitas agar mampu berintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Resosialisasi merupakan penentuan apakah individu betul-betul sudah siap baik fisik, mental, dan sosial dalam berintegrasi dengan masyarakat, dan dari kegiatan resosialisasi dapat diketahui apakah masyarakat sudah siap menerima kehadiran dari penyandang disabilitas. Prinsip layanan resosialisasi di PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot, adalah berkelanjutan, tidak memaksa, dan partisipatif. Syarat bagi penyandang gangguan jiwa psikotik untuk dapat mengikuti resosialisasi adalah kepulihan, ketenangan, mampu mengikuti kegiatan di panti dengan baik, kemandirian, interaksi, dan sudah menemukan keluarga. Waktu yang dibutuhkan untuk resosialisasi adalah 2 minggu sampai 1 bulan. Namun, dalam proses resosialisasi pada dasarnya fleksibel waktunya tergantung kondisi kesiapan PLS dan kondisi penerimaan keluarga. Menurut Pedoman Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan Mental dalam Panti (2010, h.23-25), menyatakan bahwa resosialisasi terdiri dari berbagai kegiatan, diantaranya bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat, bimbingan sosial hidup bermasyarakat, bimbingan pemanfaatan bantuan/stimulan usaha ekonomi produktif, bimbingan usaha/kerja produktif, dan penyaluran.

Berikut adalah temuan lapangan terkait pelaksanaan resosialisasi yang dilaksanakan PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot:

1) Bimbingan Kesiapan dan Peran Serta Masyarakat

Kegiatan bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat diberikan untuk (1) PLS, (2) keluarga, dan (3) masyarakat.

Bimbingan kesiapan PLS. Menurut Silabi Penanganan ODMK/ODGJ WBS PSBL Harapan Sentosa Dinas Sosial DKI Jakarta (2016, h. 55) disebutkan bahwa, kegiatan di Klaster 3 lebih difokuskan pada berbagai persiapan untuk kembali ke lingkungan semula. Namun, bimbingan yang difokuskan dalam

(7)

pelaksanaan resosialisasi untuk PLS terbagi menjadi bimbingan yang diberi Pendamping, Pekerja Sosial, dan Psikolog.

Bimbingan yang diberikan oleh pendamping merupakan kegiatan harian yang beracuan pada silabi yang dilaksanakan setiap hari. Bimbingan yang diberi Pekerja Sosial, dimana Pekerja Sosial melihat observasi dari pendamping dan dilakukan skrining dengan ISPDS (Instrumen Skrining Psikotik Dinas Sosial) untuk menilai tingkat kepulihan. Pekerja Sosial juga melakukan bimbingan penguatan keberfungsian sosial yang memfokuskan kepada kesadaran PLS untuk minum obat, kesadaran PLS untuk berkomunikasi atau bercerita jika ada masalah, membimbing sikap dan interaksi PLS, memotivasi penguatan hubungan PLS dengan keluarga. Bimbingan dari Psikolog yang diberikan dapat berupa konseling. Bimbingan lebih menfokuskan pada perubahan perilaku serta intervensinya.

Bimbingan kesiapan keluarga, diawali dengan pengiriman surat ke alamat keluarga, agar keluarga menjemput PLS ke panti, alamat didapatkan dari keterangan yang diberikan oleh PLS. Setelah alamat ditemukan, maka dilakukan home visit yang dilakukan oleh Pramu Sosial yang mendatangi keluarga dengan memperkenalkan panti serta menjelaskan kondisi PLS bahwa sudah pulih dan sudah harus berada di tengah-tengah keluarga, kemudian di assesmen latar belakang keluarganya, psikososialnya, pendidikannya, perekenomiannya, dan penerimaan keluarganya. Dari hasil assesmen, Pekerja Sosial akan menghubungi keluarga kembali untuk menginformasi, memotivasi dan mengedukasi keluarga.

Bimbingan kesiapan masyarakat, bimbingan ini belum sepenuhnya dapat dilakukan, hal ini dikarenakan terdapat beberapa hambatan yang dirasakan panti, yaitu kurangnya SDM, kondisi masyarakat Jakarta yang semakin kurang peduli terhadap tetangganya yang lain dan atau RT/RW yang kurang mempunyai waktu untuk terlibat. Sehingga upaya alternatif lain yang dilakukan panti adalah dengan memberi saran kepada keluarga untuk membantu mengenalkan PLS kembali di masyarakat sekitar. Hal ini dinilai

kurang efektif, karena upaya tidak maksimal dan masih menimbulkan stigma negatif masyarakat terhadap ODGJ. Sehingga, sangat diperlukan terlaksananya bimbingan kesiapan untuk masyarakat agar mampu menerima PLS dengan baik.

2) Bimbingan sosial hidup bermasyarakat Bimbingan ini terlihat dalam kegiatan silabi yaitu kegiatan persiapan sosialisasi publik. Tujuannya adalah untuk mengenalkan PLS akan situasi di luar panti dengan cara mengajak PLS berjalan-jalan sekeliling panti. Kegiatan ini berbentuk kelompok dan dilakukan setiap seminggu sekali.Diawali dengan pendamping mengumpulkan PLS per kelompok, kemudian pendamping mengajak PLS berjalan keliling panti dan mengamati hal-hal yang ada di luar panti, termasuk bertegur sapa dengan orang yang dijumpai dalam perjalanan. Setelah selesai kegiatan, PLS diminta untuk berkumpul melingkar dan menceritakan apa yang mereka temukan di dalam perjalanan. Kegiatan ini menjadi latihan dan mampu meningkatkan kemampuan PLS dalam berinteraksi dengan masyarakat, sehingga menjadi bekal sosialisasi bagi PLS agar ketika dipulangkan kepada keluarga maupun masyarakat dapat berinteraksi dengan baik.

3) Bimbingan pemanfaatan bantuan/stimulan usaha ekonomi produktif

Bimbingan ini belum dilakukan, hal ini dikarenakan keterbatasan anggaran yang ada sehingga tidak memungkinkan untuk melaksanakan bimbingan ini. Selain itu, jenis keterampilan yang diajarkan di panti seperti keterampilan membuat sapu, pel, sandal, keset, mote, dan salon ini jenis peralatan pembuatannya cukup mahal, sehingga menurut Informan sangat tidak memungkinkan untuk memberikan bantuan stimulan usaha ekonomi produktif untuk PLS yang jumlahnya ratusan.

4) Bimbingan usaha kerja produktif

Bimbingan usaha/kerja produktif di PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot berupa pemberian keterampilan membuat keset, pel, sapu, sandal,

(8)

mote, dan salon. Kegiatan keterampilan ini dilakukan pada Senin sampai Kamis dan Sabtu yang dipandu oleh Instruktur dan Pendamping, sebelum memulai kegiatan juga dilakukan senam otak.

5) Penyaluran

Bagi keluarga yang sudah siap menerima PLS berada ditengah keluarga, maka dilakukan proses penyaluran atau pemulangan. Dalam pemulangan juga disertakan berkas, obat sampai jadwal rawat jalan selanjutnya dan BPJS. Jika PLS dan keluarga dekat dengan Unit Informasi Layanan Sosial (UILS) maka petugas akan memperkenalkan lembaga rujukan yaitu UILS agar PLS bisa ikut kegiatan yang sifatnya pulang pergi. Jika keluarga berasal dari Jakarta dan sekitarnya yang masih dekat dengan wilayah panti, maka keluarga yang menjemput PLS. Namun, jika keluarga berasal dari area pinggir Jakarta yang relatif jauh dari wilayah panti, maka pihak panti akan mengantarkan PLS kepada keluarga.

Hambatan dalam proses penyaluran ke keluarga diantaranya penolakan dari keluarga dan keluarga yang mengabaikan informasi yang diberikan oleh petugas terkait.

Jika keluarga tidak dapat menerima PLS yang dikarenakan kondisi latar belakang ekonomi, sosial, atau psikologi yang sangat berat dan tidak terdapat sistem sumber lain, pihak panti tidak memaksakan pemulangan tersebut. Solusi lain yang bisa dilakukan panti adalah memberikan pemberdayaan berbentuk kerja/ usaha di sektor-sektor informal seperti asisten rumah tangga, tukang ojek atau buruh industri rumahan. Sehingga PLS bisa mandiri meskipun tidak kembali kepada keluarga.

C. Keberfungsian Sosial

Menurut Skidmore (1991, h.19) menyatakan bahwa keberfungsian sosial dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu: (1) Kepuasan berperan dalam kehidupan (satisfaction with roles in life); (2) Relasi positif dengan orang lain (Positive relationships with others); dan (3) Perasaan menghargai diri (feeling of self worth).

Kepuasan berperan dalam kehidupan.

Berdasarkan hasil penelitian penyandang gangguan jiwa psikotik berperan sebagai anak dan sebagai adik dalam keluarga, menjalankan perannya di rumah dengan membantu bersih-bersih rumah dengan inisiatif sendiri dan sudah mandiri dalam aktivitas kebersihan diri. Untuk standar penyandang gangguan jiwa, hal ini merupakan sebuah peningkatan yang baik. Penyandang juga berperan sebagai Penerima Manfaat yang aktif mengikuti kegiatan di UILS Koja dari Senin sampai Jumat, keaktifan dalam beraktivitas juga sebuah peningkatan dalam keberfungsian sosial. Namun, dalam hal berperan bekerja di lingkungan masyarakat, penyandang mengalami kesulitan memperoleh pekerjaan. Sehingga, pasca keluar dari panti belum mendapat pekerjaan tetap. Namun, terdapat usaha yang dilakukan oleh salah satu informan eksternal bahwasanya ia berusaha bekerja menjadi buruh lepas di hari Sabtu dan Minggu. Penyandang mempunyai keinginan untuk bekerja. Adanya keinginan ini menunjukan bahwa pada dasarnya PLS menginginkan aktif menajalankan perannya dengan baik.

Relasi positif dengan orang lain. Berdasarkan hasil penelitian,penyandang mempunyai relasi positif dengan keluarga, petugas panti, dan teman-temannya. Namun, dalam kehidupan tidak jarang penyandang kesulitan dalam menjalin relasi yang positif, seperti adanya beberapa masalah yang munculnya dari salah satu anggota keluarga, baik itu masalah internal keluarga yang mempengaruhi penyandang ataupun respon keluarga yang tidak menerima dengan baik penyandang berada ditengah keluarga. Dalam aspek ini, juga dilihat dari cara penyandang dalam menjalin relasi dengan orang lain. Salah satu Informan Eksternal mempunyai karakter yang sangat pasif dan pendiam, tentunya hal ini menjadi kesulitan dalam melakukan interaksi dengan orang lain. Sedangkan, salah satu Informan Eksternal yang lain mempunyai karakter cukup aktif dan komunikatif, hal ini mempermudah ia dalam melakukan interaksi sosial.

Perasaan menghargai diri. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perbedaan dari kedua

(9)

Informan Eksternal. Informan D, memiliki kepercayaan diri yang kurang, saat menjawab pertanyaan cenderung pasif, lebih banyak menundukkan kepala dan gesture badan serta tatapan mata tidak ke arah peneliti. Hal ini juga terlihat dalam kegiatan di UILS Koja. Serta didukung oleh pernyataan teman sesama Penerima Manfaat dan petugas bahwa kepercayaan diri Informan D masih kurang. Namun, motivasi untuk pulih tetap ada, hal ini diungkapkannya karena ingin bersosialisasi kembali dengan teman-temannya. Informan mempunyai harapan untuk bekerja seperti dahulu.Sedangkan Informan AS, terlihat kepercayaan diri yang dimiliki cukup baik pada saat wawancara gesture tubuh percaya diri dan lugas dalam menjawab. Dalam kegiatan di UILS Koja juga menunjukan kepercayaan diri yang baik. Terlihat juga dari interaksi dengan petugas dan teman sesama Penerima Manfaat yang cukup baik dan dipercaya untuk bantu-bantu mengurus kebersihan UILS Koja. Serta mempunyai harapan ingin bekerja.

Sedangkan, berdasarkan hasil penelitian dengan Informan Internal dan Ahli, indikator keberfungsian sosial bagi penyandang psikotik adalah adanya perubahan perilaku yang positif, dapat melakukan perannya sebagai anggota keluarga. Perkembangan perilaku yang dilakukan oleh penyandang psikotik dari hal-hal sederhana seperti membantu disiplin minum obat, bantu-bantu di rumah, sudah dapat dikategorikan sangat baik.

Dubois dan Miley (dalam Huda, 2009, h.27-28) mengatakan bahwa ada tiga jenis keberfungsian sosial, antara lain: (1) Keberfungsian sosial efektif ; (2) Keberfungsian sosial beresiko; (3)Kesulitan dalam berfungsi sosial.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa keberfungsian sosial yang dialami Informan Eksternal Penyandang gangguan jiwa psikotik sebelum mendapatkan rehabilitasi sosial khususnya pada resosialisasi di PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot dikategorikan pada jenis kesulitan dalam berfungsi sosial, karenakondisi ini tidak mampu beradaptasi untuk memenuhi kebutuhannya sebagai manusia, karena masalah

kejiwaan yang dialami begitu parah.

Namun, setelah mendapatkan rehabilitasi sosial khususnya pada resosialisasi di PSBL Harapan Sentosa 3 Daan Mogot dikategorikan pada jenis keberfungsian sosial beresik, yaitu keberfungsian sosial yang ditunjukkan dengan adanya resiko untuk tidak dapat memenuhi keberfungsian sosial secara efektif dan masih terdapat resiko gagal untuk dapat berfungsi sosial secara efektif.Meskipun keberfungsian sosial belum dapat dikategorikan ke dalam keberfungsian sosial efektif, setidaknya penyandang mengalami peningkatan keberfungsian sosial dari kondisi sebelumnya. Maka dari itu, jika semua aspek yang mendukung keberfungsian sosial dapat terpenuhi dengan baik, bukan hal yang mustahil jika penyandang dapat meningkatkan keberfungsian sosialnya menjadi efektif.

5. Penutup A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

Pelaksanaan resosialisasi dalam bentuk bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat, dibagi menjadi 3 (tiga) diantaranya bimbingan kesiapan PLS melalui kegiatan harian oleh Pendamping, kegiatan penguatan keberfungsian sosial oleh Pekerja Sosial, dan kegiatan konseling oleh Psikolog; bimbingan kesiapan keluarga melalui kegiatan home visit; dan bimbingan kesiapan masyarakat melalui kegiatan sosialisasi edukasi masyarakat, namun pelaksanaannya belum efektif.

Pelaksanaan resosialisasi dalam bentuk bimbingan sosial hidup bermasyarakat dilakukan dalam bentuk kegiatan persiapan sosialisasi publik.

Pelaksanaan resosialisasi dalam bentuk bimbingan pemanfaatan bantuan/stimulan usaha ekonomi produktif tidak dilakukan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki.

Pelaksanaan resosialisasi dalam bentuk bimbingan usaha/kerja produktif dilakukan dalam bentuk kegiatan keterampilan membuat

(10)

keset, pel, sapu, sandal, mote, dan salon.

Pelaksanaan resosialisasi dalam bentuk penyaluran, bagi keluarga yang dapat menerima penyandang, maka akan dilakukan pemulangan. Namun, bagi penyandang yang tidak dapat dipulanglan, maka akan diberikan pemberdayaan usaha/kerja.

Berdasarkan 3 (tiga) dimensi keberfungsian sosial yang diantaranya kepuasan berperan dalam kehidupan, relasi positif dengan orang lain dan perasaan menghargai diri, penyandang gangguan jiwa psikotik hanya memenuhi satu dimensi yang paling unggul yaitu relasi positif dengan orang lain, namun untuk dimensi kepuasan bereran dalam kehidupan dan perasaan menghargai diri tingkat capaiannya masih relatif rendah. Hal ini dikarenakan penyandang gangguan jiwa mempunyai tantangan dan hambatan yang cukup tinggi.

Penyandang gangguan jiwa psikotik mengalami peningkatan keberfungsian sosial dari kondisi sebelumnya. Sebelum mendapatkan rehabilitasi sosial dikategorikan pada jenis kesulitan dalam berfungsi sosial. Namun, setelah mendapatkan rehabilitasi sosial dikategorikan pada jenis keberfungsian sosial beresiko. B. Saran

Agar setiap kegiatan dapat berjalan lebih efektif, diharapkan mempertimbangkan penambahan SDM. Adapun terkait dengan kegiatan bimbingan pemanfaatan/bantuan stimulan usaha ekonomi produktif, diharapkan mempertimbangkan untuk melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga permodalan terkait.

Mengingat adanya stigma negatif mengenai gangguan jiwa masih banyak terjadi di masyarakat, diharapkan agar bimbingan kesiapan untuk masyarakat dilakukan lebih efektif dengan cara sosialisasi edukasi masyarakat pada lingkup RT/RW.

Untuk masyarakat,kegiatan sosialisasi edukasi masyarakat pada lingkup RT/ RW, diharapkan dapat lebih aware dengan pengetahuan seputar kesehatan mental maupun gangguan jiwa, agar menjadi langkah preventif bagi masyarakat dalam pemeliharaan kesehatan

mental serta mampu bersikap secara tepat dan siap menerima penyandang gangguan jiwa yang pulih di lingkungan masyarakat tanpa diskriminasi.

Sementara itu,agar peningkatan keberfungsian sosial penyandang gangguan jiwa psikotik dapat lebih baik, diharapkan keluarga lebih koperatif dan aktif dalam menerima penyandang gangguan jiwa psikotik kembali dalam lingkungan keluarga, serta melakukan perawatan lanjutan baik untuk kepulihan mental maupun peningkatan keberfungsian sosial. Daftar Pustaka

A. Buku

Alston, Margareth, & Wendy, Bowles. (1998). Research for Social Workers: an Introduction to methods. St, Leonards: Allen and Unwin

Anggito, Albi, & Setiawan, Johan. (2018). Metode Penelitian Kualitatif. Sukabumi: CV Jejak

Haryanto. (2010). Rehabilitasi dan Pekerjaan Sosial. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta

Huda, Miftachul. (2009). Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Maryati, Kun, & Suryawati, Juju, (2006), Sosiologi. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama

Moleong, Lexy J. (2005). Metode Penelitian Kualitatif: Bandung: Remaja Rosdakarya Skidmore, Rex. A, Farley, O. William, &

Thackeray, Milton G. (1994). Introduction to Social Work. Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall

Singarimbun, Masri & Sofian Effendi, 1989, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES Sutejo, NS. (2018). Keperawatan Kesehatan Jiwa

Prinsip dan Praktik Asuhan keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Baru Press Suyanto, Bagong, & Sutinah, (2005),

Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group

(11)

Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika B. Sumber Lain

Kementerian Sosial RI. (2010). Pedoman Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan Mental dalam Panti. Jakarta: Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan

Silabi Penanganan ODMK dan ODGJ Terlantar

Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta C. Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang

Kesehatan Jiwa

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, dosis optimum untuk pengolahan 500 mL air limbah dengan proses koagulasi – flokulasi adalah: (i) 2 g untuk dosis optimum kaporit; (ii) 0.3 g untuk dosis

Tugas akhir selain menjadi mata kuliah wajib juga sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahlimadya di Program Studi D3 Teknik Kimia, Fakultas Teknik

Pada sub bab ini menyajikan capaian kinerja Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Provinsi Jawa Tengah untuk setiap pernyataan kinerja sasaran

Dengan adanya pengaruh karakteristik VAK dan kondisi kebisingan lingkungan perlu diketahui karakteristik VAK mana yang memiliki tingkat konsistensi hasil pengukuran yang baik,

(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dapat diberhentikan sementara

Jadi, untuk dapat dikatakan suatu keadaan memaksa, yaitu selain keadaan itu memaksa dan di luar kekuasaannya, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa keadaan