• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perolehan Suara Partai Golkar Pada Pemilu 1999 di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Perolehan Suara Partai Golkar Pada Pemilu 1999 di Indonesia"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

Analisis Perolehan Suara Partai Golkar

Pada Pemilu 1999 di Indonesia

YUNDA PRATWI

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email: punch_milkshake@yahoo.com

Diterima tanggal 28 Agustus 2012/Disetujui tanggal 29 September 2012

This study is a study of the decline of Acquisition of Golkar Party Vote in Election 1999 in

Indonesia. The focus discusses what caused the decline in the number of votes of the

Golkar Party in the 1999 general election in Indonesia. The findings of this study, among

others, there are four important things behind the decline in the number of votes of the

Golkar Party in the 1999 election. First, the monetary crisis, and second, changes in

national politics; Third, removal monoloyalitas civil / military; fourth, political pressure

and the rift within Golkar. The method used is descriptive-qualitative method that is

intended to describe an event in more detail.

Keywords: Golkar, Elections, Post-Reformation

.

Pendahuluan

Partai Golkar merupakan partai yang tumbuh dan besar pada masa Orde Baru. Di bawah kendali Presiden Soeharto, Golkar berhasil menempati urutan pertama perolehan suara terbanyak pada setiap diadakannya pemilu pada masa Orde Baru. Awal munculnya Golkar adalah ketika dibentuknya Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar) yang didirikan pada tanggal 20 Oktober 1961 di Jakarta. Pemilu 1971 merupakan pemilu pertama yang diikuti Golkar dan ia langsung meraup suara terbanyak yakni mencapai 62,79 persen. Nemun sesuai dengan ketentuan dan ketetapan MPRS tentang perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971

Musyawarah Sekber Golkar mengubah dirinya menjadi Golkar1.

Golkar kemudian selalu tampil sebagai pemenang terbanyak dalam setiap pemilihan umum, ia pun keluar sebagai partai penguasa (The Rulling Party). Perolehan suara yang ia raih dalam setiap pemilu selalu melebihi angka 50 persen, dilihat dari hasil pemilu 1977 Golkar meraih 62,1 persen, pada Pemilu 1982 naik menjadi 63,9 persen, kemudian pada Pemilu 1987 meningkat lagi menjadi 73,1 persen, pada Pemilu 1992 ia meraih 68,1 persen. Namun angka yang paling tertinggi yang diraih Golkar ada pada Pemilu 1997, ia berhasil meraup 74,5 persen suara. Bahkan pada Pemilu 1997 tersebut perolehan suara di

1

Bambang Setiawan, Dkk. Partai-Partai Politik

Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009. (Jakarta:

(2)

2

beberapa provinsi di luar Pulau Jawa mencapai lebih dari 90 persen. Golkar sebelumnya selalu dipimpin oleh pejabat di kalangan militer, namun untuk kali pertama Golkar dipimpin oleh seorang tokoh sipil, yakni Harmoko. Di masa kepemimpinan Harmoko inilah Golkar berhasil memperoleh suara tertinggi.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada bulan Mei 1997 yang dilanjutkan dengan Gerakan Reformasi oleh mahasiswa, menyebabkan perpolitikan Indonesia mengalami guncangan dan perubahan. Presiden Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar mundur dari jabatannya dan kemudian digantikan oleh BJ Habibie. Keadaan saat itu juga memaksa terjadinya Reformasi Politik, yang diantaranya adalah diterapkannya Undang-Undang baru tentang Partai Politik, Pemilihan Umum, serta susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Dengan lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kepemimpinannya, ternyata menyebabkan kondisi yang serius bagi Golkar di kemudian hari. Di tubuh internal Golkar muncul berbagai desakan, salah satunya dari Kosgoro, untuk melakukan reformasi dan menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Selain itu muncul juga desakan yang meminta Harmoko mundur dari jabatan Ketum DPP Golkar. Sebagai Ketua DPR/MPR ia dituding tidak tanggap terhadap aspirasi masyarakat dan ia harus bertanggung jawab atas jatuhnya. Presiden Soeharto dari kepemimpinannya.

Pemilu 1999 adalah salah satu tonggak sejarah politik Indonesia. Terselenggaranya pemilu 1999 adalah sebuah bukti yang paling nyata penolakan bangsa ini terhadap berlakunya sistem lama di bawah kendali Soeharto. Sebab, dengan adanya pemilu 1999 berarti semua hasil dari proses politik pada tahun 1997, yang seharusnya baru akan berakhir tahun 2002, sama sekali tidak diakui keabsahannya. Baik secara legal formal maupun substansi demokrasi. Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan

pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti.

Di tengah-tengah tekanan politik yang keras menghantam, Golkar ternyata berhasil lolos sebagai peserta pada Pemilu 1999. Demikian pula pada pelaksanaan pemilu meski prosesnya cukup menegangkan dan mencekam, akibat berbagai hujatan dan terror. Partai Golkar diyakini pada Pemilu 1999 akan kehilangan banyak pendukung akibat kegagalan masa lalu yang telah mencoreng nama Partai Golkar. Golkar duduk di posisi kedua perolehan suara terbanyak yakni memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 19972.

Posisi Golkar yang selama masa pemerintahan Orde Baru selalu duduk di tempat teratas, kini pada Pemilu 1999 digantikan oleh PDI-P yang berhasil meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Di tempat ketiga ditempati PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. Berikutnya PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Studi ini membahas apa yang menjadi penyebab merosotnya perolehan suara Partai Golkar pada Pemilu 1999 di Indonesia.

Metode

Penelitian ini bersifat diskriptif-kualitatif. Pengumpulan data dengan teknik penelitian lapangan. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.

2

Fadillah Putra. Partai Politik dan Kebijakan Publik. (Jakarta: Pustaka Pelajar. 2003), Hal. 128.

(3)

3

Penyebab Merosotnya Dukungan Suara Partai Golkar

Reformasi yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998 membawa perubahan besar-besaran bagi struktur politik dan pemerintahan. Kekuasaan yang berada di kendali Soeharto selama kurang lebih 32 tahun runtuh beserta rezim Orde Baru yang menjadi wadah kekuasaannya. Tidak hanya itu, tetapi reformasi 1998 ini juga berdampak serius bagi kelangsungan hidup Partai Golkar sebagai salah satu icon politik penopang jayanya rezim Orde Baru. Setidaknya ada empat faktor yang melatarbelakangi merosotnya perolehan suara Partai Golkar pada Pemilu 1999.

Pertama, terjadinya krisis moneter. Pada awal tahun 90an perekonomian Indonesia dihadapkan pada munculnya krisis moneter yang juga melanda beberapa negara di Asia Tenggara. Anjloknya nilai tukar rupiah serta melonjaknya harga bahan kebutuhan pokok menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Masyarakat semakin mendesak Soeharto untuk segera mengatasi krisis yang sangat mengkhawatirkan ini. Pada 15 Januari 1998 Presiden Soeharto menandatangani program bantuan keuangan yang memuat tujuh program perbaikan ekonomi. Kesepakatan ini dikenal dengan nama Letter of Intent (LoI) dari pemerintah Indonesia bagi IMF.

Penandatanganan perjanjian ini menimbulkan amarah masyarakat, pasalnya Indonesia dinilai telah tunduk kepada IMF. Disamping itu Soeharto juga mendapat usulan dari menerima usulan dari Steve H. Hanke seorang Guru Besar John Hopkins University Baltimore, AS, untuk mematok mata uang rupiah dengan sistem Dewa Mata Uang (Currency Board System). Usulan penerapan sistem CBS itu mendapat tentangan dari IMF. Michel Camdessus mengirim surat kepada Presiden Soeharto mengisyaratkan akan dilakukannya pembekuan dana pinjaman IMF jika Indonesia menerapkan sistem CBS. Pembatalan penerapan sistem CBS telah mengejutkan DPR, pasalnya tidak pernah

didiskusikan sebelumnya. Soeharto semakin bingung di tengah-tengah tekanan dari IMF dan Amerika Serikat. Terlebih ketika IMF ternyata gagal memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia, dan menimbulkan dugaan bahwa adanya konspirasi internasional untuk menjatuhkan Soeharto. Karena Soeharto dianggap mustahil bisa dijatuhkan dari jalur politik3.

Kegagalan Soeharto menangani krisis moneter menimbulkan berbagai kerusuhan yang terjadi hampir serentak di seluruh wilayah Indonesia. Demonstrasi dan tekanan dari masyarakat semakin hari semakin agresif. Jumlah aksi kriminalitas dan gerakan-gerakan anti-Soeharto pun semakin hari semakin bertambah jumlahnya di kampus-kampus maupun di jalanan. Kondisi ini pun akhirnya tidak dapat dikendalikan, dan pada 12 Mei 1998 terjadilah peristiwa penembakan oleh aparat keamanan kepada empat mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta yang sedang melakukan demonstrasi. Insiden ini menewaskan empat mahasiswa dan banyak korban luka-luka. Peristiwa tersebut memicu kerusuhan yang lebih luas hampur di seluruh wilayah Indonesia yang disertai oleh pembakaran dan penjarahan pada 13-14 Mei 1998. Ratusan orang meninggal dalam peristiwa tersebut dan kerugian harta benda pun sangat besar.

Kedua, perubahan politik nasional. Pergantian kekuasaan dari Soeharto kepada Habibie merupakan sebuah peluang sekaligus tantangan. Peluang karena hal ini dianggap akan menguntungkan Golkar untuk menjadi organisasi politik yang mandiri, karena seperti diketahui bersama jatuhnya rezim Soeharto mengakibatkan banyaknya tuntutan untuk mengubah Gokar menjadi partai politik dan tidak lagi diberikan privilege untuk bisa duduk sejajar dengan partai politik lainnya. Dan yang menjadi tantangan adalah Golkar harus pintar membawakan dirinya untuk berhati-hati dan mampu mengelola dengan

3

Akbar Tandjung. The Golkar Way. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2007), Hal. 61.

(4)

4

baik, jangan sampai perubahan yang terjadi malah membawa bencana bagi Golkar yang selama 32 tahun lamanya berlindung di bawah kekuasaan pemerintah tersebut. Salah satu tuntutan yang ramai disuarakan pada awal reformasi adalah dicabutnya paket undang-undang politik. Selain itu juga Habibie dituntut untuk mempercepat dilangsungkannya pemilu. Habibie kemudian merspons tuntutan masyarakat tersebut dengan mengagendakan perubahan undang-undang politik. Ini dimungkinkan melihat ramainya masyarakat yang masih meragukan kepemimpinan Habibie yang dinilai sebagai kelanjutan rezim Soeharto. Untuk itu langkah ini paling tidak menghilangkan anggapan masyarakat tentang hal itu.

Habibie kemudian menyerahkan penyusunan konsep RUU Politik pemerintah kepada beberapa intelektual yang dikenal dengan nama “tim tujuh” yang dipimpin oleh Ryaas Rasyid. Tim ini bertugas menyusun seperangkat rancangan undang-undang untuk dibahas di DPR. Beberapa isu penting dalam rumusan RUU tersebut antara lain menyangkut jumlah perwakilan militer di parlemen, sistem pemilihan umum dan netralitas PNS dalam politik. Salah satu poin penting dari isi RUU tentang Partai Politik yang secara resmi diajukan pemerintah kepada DPR pada tanggal 16 September 1998 adalah poin yang menyangkut posisi PNS untuk bersikap netral dalam politik. Persoalan perwakilan milter dalam parlemen juga menjadi poin penting yang menjadi pembahasan. Berbagai kalangan prodemokrasi menyuarakan dengan keras untuk penghapusan perwakilan militer dalam politik.

Selain persoalan penting di atas, ada masalah penting lainnya yang menjadi agenda penting, yakni penentuan sistem pemilihan umum dan daerah pemilihan. Pemerintah mengusulkan diberlakukannya sistem distrik proporsional. Usulan tersebut ditanggapi partai-partai politik dengan beragam. Pemilu pada periode masa transisi ini jauh berbeda dengan pemilu masa Orde Baru, karena pada masa transisi

ini diterapkan sistem multipartai. Penerapan sistem multipartai ini disambut antusias oleh berbagai kalangan, karena memberikan kesempatan lahirnya berbagai partai-partai politik baru dengan latar belakang yang berbeda-beda. Sebanyak 141 partai politik mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman, namun hanya 48 partai yang dinyatakan sah menjadi peserta Pemilu 1999.

Perubahan politik nasional ini merupakan sebuah tantangan bagi Golkar. Golkar harus mampu bersaing dengan ke 48 partai politik lainnya yang kini ikut bergabung dalam kompetisi Pemilu 1999, karena dengan majemuknya peserta pemilu kali ini masyarakat semakin disajikan kepada banyak pilihan dan alternatif. Golkar harus bisa menetapkan pilihan apakah tetap konsisten dengan nilai-nilai dasar yang telah ia bangun, atau akan merencanakan perubahan. Golkar juga harus menerapkan berbagai strategi yang tepat untuk bisa mempertahankan suara para pemilih.

Ketiga, penghapusan monoloyalitas PNS/tentara. Bisa dikatakan bahwa kebijakan penghapusan monoloyalitas pegawai negeri sipil dan keluarga tentara menjadi salah satu penyebab utama Partai Golkar kehilangan hampir separuh penyumbang suara terbesarnya. Sekadar menyegarkan ingatan, pasca terjadinya reformasi Mei 1998, pada pelaksanaan Pemilu 1999 Partai Golkar berada di posisi kedua di bawah PDIP dengan perolehan suara nasional sebanyak 22 persen. Puncak anjloknya pendulangan suara terjadi pada tahun 1999 tersebut dengan hanya memperoleh 14,5 persen. Membaca kembali catatan sejarah, praktis sejak Pemilu 1971 sampai Pemilu 1997 Golkar selalu berhasil keluar sebagai pemenang. Bahkan orang awam sekalipun sudah bisa meramalkan kemenangan Golkar dalam setiap pemilu, jauh sebelum pemilu itu sendiri dilangsungkan.

Selain dukungan pemerintah Orde Baru dan tentara, kemenangan Golkar pada era Orde Baru banyak dibantu oleh adanya kebijakan

(5)

5

monoloyalitas yang mewajibkan seluruh korps pegawai negeri dan keluarga tentara menyalurkan aspirasinya kepada Golkar. Dampak kebijakan itu terlihat dari perolehan suara yang spektakuler. Pada 1971 Golkar meraih 62 persen suara, dan mencapai puncaknya pada Pemilu 1987 ketika berhasil mendapatkan 73 persen suara. Pada Pemilu 1997, di tengah ketidakpastian masa depan Orde Baru, Golkar meraup 70 persen suara. Setahun kemudian, alih-alih bubar sebagai tanggung renteng kebangkrutan Orde Baru, Golkar kemudian merubah dirinya menjadi Partai Golkar dengan mengusung semangat baru. Faktanya Partai Golkar tetap eksis walaupun perolehan suaranya tak lagi sefantastis dulu.

Keempat, tekanan politik dan keretakan di dalam Golkar. Selama era reformasi, dalam kurun waktu 1998-2004 merupakan masa yang paling berat dalam sejarah kehidupan Partai Golkar. Partai Golkar mendapat tekanan terus menerus dari berbagai pihak berupa pembentukan opini negatif yang merugikan. Di berbagai tempat terjadi aksi dan demonstrasi anti Partai Golkar yang disertai ancaman fisik dan teror terhadap kader, pengurus, dan pimpinan partai. Bahkan Partai Golkar mengalami pula pengrusakan sarana fisik seperti fasilitas kantor partai, hingga ancaman pembubaran melalui pengadilan dan Dekrit Presiden. Partai Golkar juga diminta untuk tidak ikut dalam pemilihan umum sebagai hukuman atas tindakan tindakannya di masa lalu.

Pembentukan citra atau image merupakan sesuatu yang fundamental di dalam suatu partai politik. Ini merupakan tantangan berat bagi Golkar di era reformasi untuk bisa menghilangkan atau paling tidak mengurangi asumsi negatif yang beredar di masyarakat. Tekanan-tekanan tersebut akan terus berlangsung apabila Golkar belum juga menunjukkan tanda-tanda perubahan seperti yang diharapkan oleh masyarakat.

Sementara Pernyataan Pimpinan DPR agar Soeharto mengundurkan diri dari jabatan

presiden mengundang reaksi keras dari dalam tubuh Golkar. Rapat pleno yang diadakan pada 18 Mei 1998 terselenggara atas permintaan Harmoko dan dihadiri oleh semua pengurus kecuali Ketua DPP Golkar Siti Hardiyanti Indra Rukmana, dan Bendahara Umum Golkar Bambang Trihatmodjo. Permintaan Harmoko kepada Presiden Soeharto untuk mundur dari kekuasaan tersebut bisa dikatakan tindakan pahlawan bagi sebagian kalangan, namun ini juga sekaligus sebagai tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh Harmoko kepada seluruh elemen yang ada di dalam tubuh Golkar. Harmoko menolak anggapan bahwa permintaan pengunduran Soeharto tersebut ia lakukan atas dasar aspirasi dari rakyat, ia hanya ingin menjalankan tugasnya dengan baik sebagai Ketua DPR pada saat itu. Ia juga mengelak tudingan bahwa tindakannya tersebut telah menjerumuskan Soeharto kepada posisi yang sangat sulit sebagai orang yang seharusnya ia lindungi dan bela.

Akibat dari tindakan Harmoko tersebut, ia harus mendapatkan berbagai perlawanan dari dalam tubuh Golkar sendiri. Berbagai usulan untuk dipercepatnya untuk penyelenggaraan Munas, serta banyaknya instruksi yang disampaikan dari beberapa tokoh untuk diberhentikannya Harmoko dari jabatan Ketua DPP Golkar. Salah satunya desakan yang diberikan oleh mantan Sekjen Golkar yang saat itu telah duduk sebagai Duta Besar di Rusia, Rachmat Witoelar. Rachmat meminta Harmoko dan Abdul Gafur mundur dari jabatannya karena dinilai telah menjerumuskan bangsa dan negara. Rachmat meminta pimpinan Golkar meminta maaf kepada masyarakat. Tekanan pada Harmoko untuk mundur dari jabatannya juga terlihat dari Bambang Warih. Tetapi Harmoko menanggapi hal itu sebagai sesuatu yang wajar adanya perbedaan serta pro dan kontra di dalam tubuh partai.

Di lain hal, Harmoko menepis anggapan bahwa adanya permasalahan antara dirinya dengan Tutut dan Bambang Trihatmodjo,

(6)

6

anak-anak Soeharto yang kala itu berada di dalam struktur DPP Golkar yang dipimpinnya. Walaupun bisa dilihat bahwa anak-anak Soeharto telah mulai memasuki kancah perpolitikan, setelah sukses dalam menapaki kancah ekonomi. Bahkan Tutut sempat diisukan menjadi proyeksi Soeharto untuk menggantikan Harmoko sebagai Pimpinan DPP Golkar dan menjadi salah satu calon presiden untuk masa depan. Tidak bisa dipungkiri cara-cara Soeharto yang dinilai nepotisme ini mengundang ketidaksenangan dan kekecewaan dari dalam tubuh Golkar sendiri. Soeharto dinilai tidak melakukan perekrutan secara transparan, dan menerapkan cara yang instan untuk mendudukkan keluarganya di kursi kepengurusan. Sedangkan banyak orang bersusah payah untuk mencapai kursi kepengurusan tersebut.

Hubungan Harmoko dengan Soeharto juga disinyalir tidak balik. Sebelumnya Harmoko sempat digeser dari Menteri Penerangan menjadi Menteri Urusan Khusus. Jabatan Menteri Penerangan tersebut selanjutnya diberikan kepada Hartono, orang yang dinilai royal dengan Presiden Soeharto dan keluarga Cendana, khususnya Tutut. Tidak lama kemudian Hartono digeser posisinya menjadi Menteri Dalam Negeri, sedangkan posisi Menteri Penerangan selanjutnya ditempati oleh Alwi Dahlan. Bisa dikatakan Harmoko disingkirkan dari kekuasaan, sebab tugas utama dari Menteri Urusan Khusus tersebut adalah memberikan penerangan kepada calon anggota DPR. Tetapi menurut Harmoko sebagai kader yang baik ia menerima apa yang diputuskan oleh Soeharto atas dirinya.

Menurut Tutut, jauh sebelum peristiwa permintaan Harmoko agar Soeharto mundur, pihak keluarga Soeharto sendiri juga telah meminta Pak Harto untuk mengundurkan diri dari jabatan presiden dengan alasan usia Pak Harto yang sudah tua dan Pak Harto sudah cukup lama mengabdi pada bangsa dan negara, sudah saatnya Pak Harto beristirahat di rumah dan berkumpul bersama keluarga.

Harmoko sendiri menanggapi bahwa tidak pernah pihak keluarga Pak Harto menyampaikan tentang keinginan tersebut kepada DPP Golkar, meskipun Tutut sendiri merupakan anggota FKP dan DPP Golkar. Permintaan sebagian masyarakat agar Pak Harto mengundurkan diri sebenarnya sudah lama didengungkan. Pada Maret 1997, pada kesempatan peresmian Asrama Haji Donohudan dan RSUD Dr.Moewardi Soerakarta, Soeharto mencoba merespons tuntutan masyarakat untuk pengunduran dirinya dari jabatan presiden. Ia mengatakan bahwa ia tidak keberatan jika posisinya harus diganti dan ia tidak akan mempertahankan kekuasaannya kalau memang rakyat tidak menghendaki lagi ia duduk menjabat sebagai presiden. Namun itu semua harus dilakukan secara konstitusional.

Penutup

Pemilu 1999 merupakan sejarah besar bagi Partai Golkar. Pada pemilu kali ini Golkar mengalami penurunan jumlah dukungan suara yang cukup signifikan. Sangat jauh berbeda dengan perolehan suara Golkar seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya pada masa Orde Baru. Ada empat faktor utama yang melatarbelakanginya, antara lain, pertama, terjadinya krisis moneter; kedua, perubahan politik nasional; ketiga, penghapusan monoloyalitas PNS/tentara; keempat, tekanan politik dan keretakan di dalam Golkar.

Daftar Pustaka

Setiawan, Bambang dkk. 2004. Partai-Partai

Politik Indonesia: Ideologi dan

Program 2004-2009. Jakarta:

Kompas.

Putra, Fadillah. 2003. Partai Politik dan

Kebijakan Publik. Jakarta: Pustaka

Pelajar.

Tandjung, Akbar. 2007. The Golkar Way. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Referensi

Dokumen terkait

Pembahasan dapat dilaksanakan apabila temuan dari penelitian sudah dirumuskan, pembahasan penelitian ini berkaitan dengan “ Pengelolaan Bengkel Teknik Mekatronika SMK Negeri

Faktor kondisi ikan gabus pada penelitian ini 0,884 di rawa lebak Mariana dan 0,839 di rawa lebak Sekayu yang menunjukkan bahwa kondisi lingkungan rawa lebak Mariana lebih

Begitu pula halnya dengan prasarana wilayah yang kurang mendukung berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hudaya (2009) mengenai identifikasi peranan

Penelitian mengenai pengaruh berbagai jenis pupuk dan penggunaan dekomposer pada pertumbuhan dan produksi padi organik dilakukan karena keingintahuan penulis terhadap

Yang dimaksud kajian dalam penelitian ini adalah telaah, bahasan dan uraian tentang nilai karakter yang terdapat dalam cerita rakyat dari Kecamatan Darmaraja

Kepemimpinan visioner kepala sekolah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepemimpinan kepala sekolah yang futuristik, artinya kepala sekolah tersebut

Observasi yang akan dilakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek selama wawancara, interaksi subjek dengan peneliti dan hal-hal yang dianggap

Tämän tutkielman tavoitteena on ollut tuottaa tuoretta tietoa suomalaisten ja ruotsalaisten verkkokauppakulutuksesta. Erityisen kiinnostuneita oltiin siitä, vaihteleeko