BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah advokat di Indonesia, organisasi advokat di Indonesia bermula pada masa kolonialisme. Pada masa itu, jumlah advokat masih sedikit dan keberadaannya terbatas pada kota-kota besar yang memiliki Landraad dan Raad van Justitie. Mereka bergabung dalam organisasi advokat yang dikenal sebagai Balie van Advocaten. Di awal orde baru para advokat Indonesia memiliki banyak organisasi advokat sebagai warisan dari
banyaknya Balie van Advocaten yang dibentuk pada masa sebelumnya.1
Namun sebenarnya yang paling diakui keberadaannya dalam lingkup nasional adalah Persatuan Advokat Indonesia atau lebih dikenal dengan nama Peradin. Sebab memang Peradin didirikan dengan maksud untuk mentransformasikan beberapa Balie van Advocaten ke dalam sebuah organisasi advokat yang lebih besar. Dengan figur kepemimpinan yang kuat, Peradin berhasil menjalankan peran yang signifikan bagi perbaikan tidak hanya profesi advokat, melainkan juga sistem hukum dan peradilan Indonesia.
1 Binzaid Kadafi, et all, 2004, Pembentukan Organisasi Advokat Indonesia: Keharusan atau
Tantangan?, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia atas kerjasama dengan The Asia Foundation, Jakarta, hlm. 1.
Lambat laun, peran yang dijalankan Peradin tersebut mulai diakui pemerintah. Peradin misalnya, menjadi satu-satunya organisasi advokat yang diakui pemerintah dalam rangka pembelaan para Terdakwa pada proses peradilan tokoh-tokoh G30S/PKI. Namun hubungan harmonis tersebut tidak bertahan lama, sebab banyak pula kritik yang dilancarkan Peradin terhadap kebijakan pemerintah orde baru yang menimbulkan benturan antara pemerintah dengan Peradin, terutama pada dekade 1970-an sampai dengan 1980-an.
Keinginan untuk mengatur segala bidang kehidupan demi kelanggengan kekuasaannya membuat organisasi advokat pada saat itu tidak lepas dari genggaman pengaruh pemerintah orde baru. Peradin dilemahkan dengan berbagai cara, diantaranya dengan melegitimasi pembentukan berbagai organisasi advokat baru seperti Himpunan Penasihat Hukum Indonesia (HPHI), Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum (Pusbadi), serta
Forum Studi dan Komunikasi Advokat (Fosko Advokat), dan lain-lain.2
Setelah beragam organisasi advokat tersebut bermunculan, mereka kemudian dipaksa untuk melebur ke dalam satu organisasi advokat yang direstui pemerintah, dengan nama Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin). Ikadin didirikan di Jakarta pada tanggal 10 November 1985, yang ide pendiriannya
2 Binziad Kadafi, et all, 2001, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Studi tentang Tanggung
Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Pusat Bantuan Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, hlm. 270.
pertama kali ditawarkan oleh wakil pemerintah dalam kongres Peradin 1980
di Surabaya.3
Setelah kelahiran Ikadin tetap saja bermunculan berbagai organisasi advokat baru, baik yang pembentukannya dilatarbelakangi oleh konflik internal, kebutuhan spesialisasi tertentu, maupun alasan lainnya. Banyak organisasi advokat berdiri pada perjalanannya menimbulkan pemborosan sumber daya, sebab yang terjadi bukannya persaingan sehat antar organisasi untuk menyediakan layanan bagi anggotanya maupun menarik simpati masyarakat, melainkan lebih pada pertarungan eksistensi.
Terakhir terbentuklah Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) oleh Ikadin, AAI, IPHI, Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), ditambah dengan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), kedelapan organisasi tersebut diakui sebagai pemegang kewenangan transisi organisasi advokat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Akhirnya pada tanggal 21 Desember 2004, kedelapan organisasi advokat yang tergabung dalam KKAI tersebut membulatkan tekad untuk membentuk organisasi advokat melalui Deklarasi Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia (Indonesian Bar Association), yang disingkat dengan Peradi, pada tanggal 21 Desember 2004.
3 Ibid.
Terbentuknya Peradi ternyata tidak otomatis membuat advokat berada pada satu naungan organisasi, seiring berjalannya waktu tetap berdiri berbagai organisasi advokat di Indonesia, beberapa organisasi menyatakan diri sebagai organisasi advokat yang sah dan sesuai dengan mandat dari Undang-Undang No. 18 Tahun 2003. Hal ini juga berdampak pada pelaksanaan pengambilan sumpah advokat di Pengadilan Tinggi, yang sejak Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 diundangkan, merupakan salah satu
syarat untuk dapat dikatakan sebagai seorang advokat.4 Sebagai contoh pada
saat pelaksanaan pengambilan sumpah advokat Peradi di Pengadilan Tinggi Banten pada April 2014 lalu. Ketua Pengadilan Tinggi Banten Mas’ud Halim mengaku mendapat tekanan selama seminggu sebelum prosesi pengambilan sumpah advokat dari Peradi dilaksanakan, tekanan tersebut datang dari organisasi advokat lain, hal ini tentu berkaitan erat dengan eksistensi organisasi advokat lain yang juga beranggapan bahwa organisasi advokat
bukan hanya Peradi.5 Namun demikian, hal ini tidak hanya terjadi di
Pengadilan Tinggi Banten, rata-rata di beberapa Pengadilan Tinggi di Indonesia juga mengalami hal serupa, seperti di Pengadilan Tinggi
Yogyakarta.6
4 Khaidir Nasution, 2009, Berita Acara Sumpah Advokat Tidak Sempurna, Varia Advokat - Volume
10, Jakarta, hlm. 33.
5 Ali Salmande, “Sumpah Advokat PERADI, KPT Banten Mengaku Dapat Tekanan”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt534bcb92d00ae/sumpah-advokat-peradi--kpt-banten-mengaku-dapat-tekanan, diakses pada hari Rabu tanggal 28 Januari 2015 pukul 20.22 WIB.
6 Wawancara dengan Dr. Sri Muryanto, S.H., M.H. di Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada hari Senin
Padahal bila mengacu pada ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat, yang kemudian pengangkatan advokat dilakukan oleh organisasi advokat, namun melihat banyaknya organisasi advokat yang secara de facto ada di Indonesia membuat ketentuan tersebut patut diteliti, organisasi mana yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengangkatan yang kemudian berlanjut pada permasalahan berikutnya yakni berkaitan dengan pengambilan sumpah advokat pada pengadilan tinggi. Hal ini yang kemudian membuat Penulis tertarik untuk meneliti, menelaah, dan menganalisis mengenai eksistensi dari organisasi advokat di Indonesia, serta mengkaitkannya dengan salah satu syarat seorang advokat agar dapat berpraktik sesuai dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003, yakni pengambilan sumpah advokat di Pengadilan Tinggi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, Penulis menetapkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana eksistensi organisasi advokat yang ada di Indonesia pasca Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2003?
2. Bagaimana implikasi eksistensi organisasi advokat di Indonesia terhadap pengambilan sumpah advokat pada Pengadilan Tinggi Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Subjektif
Tujuan subjektif dari penulisan hukum ini adalah sebagai prasyarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
2. Tujuan Objektif
Tujuan objektif penulisan hukum ini sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas ialah sebagai berikut:
a) Untuk mengetahui, menelaah, dan menganalisis eksistensi organisasi advokat yang ada di Indonesia pasca Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2003.
b) Untuk mengetahui, menelaah, dan menganalisis implikasi eksistensi organisasi advokat di Indonesia terhadap pengambilan sumpah advokat pada Pengadilan Tinggi, dalam hal ini khususnya pada Pengadilan Tinggi Yogyakarta.
D. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh Penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan media internet, Penulis menemukan penulisan hukum yang membahas mengenai organisasi advokat dan berkaitan dengan sumpah advokat di Pengadilan Tinggi, diantaranya:
1. LEGALITAS ORGANISASI ADVOKAT NON PERADI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 79/PUU-VIII/2010 ATAS PASAL 28 UNDANG-UNDANG ADVOKAT
Merupakan penulisan hukum/skripsi yang ditulis oleh Wahyu Apri Utama, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Yang menjadi permasalahan utama penulisan hukum ini adalah keabsahan mengenai organisasi advokat non Peradi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-VIII/2010 dan terkait dengan beracaranya advokat yang tergabung dalam organisasi advokat non Peradi di Pengadilan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-VIII/2010.
Hal yang membedakan penulisan hukum ini dengan penulisan hukum yang telah dilaksanakan diatas adalah penulisan diatas membahas mengenai keabsahan organisasi advokat non Peradi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-VIII/2010, sedangkan dalam penulisan hukum ini
Penulis membahas lebih kepada eksistensi organisasi advokat, baik Peradi maupun non Peradi dengan mendasarkan pada instrumen-instrumen hukum terkait tidak hanya terpaku pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-VIII/2010, sehingga diharapkan mampu memberikan pandangan mengenai permasalahan organisasi advokat di Indonesia. Kemudian, penulisan hukum ini selain membahas mengenai eksistensi organisasi advokat juga membahas mengenai implikasinya secara langsung terhadap praktik pengambilan sumpah advokat di Pengadilan Tinggi Yogyakarta.
2. KENDALA ADVOKAT DALAM BERACARA TERKAIT
DENGAN PENGANGKATAN SUMPAH PROFESI
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 Merupakan penulisan hukum/skripsi yang ditulis oleh Erna Permata Sari, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Yang menjadi permasalahan utama penulisan hukum ini adalah kendala advokat dalam beracara dan langkah advokat dalam beracara terkait dengan pengangkatan sumpah profesi menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2003.
Hal yang membedakan penulisan hukum ini dengan penulisan hukum yang telah dilaksanakan diatas adalah dalam penulisan hukum diatas yang menjadi pokok bahasan adalah kendala dan langkah yang diambil advokat dalam beracara
dikaitkan dengan pengangkatan sumpah advokat, namun dalam
penulisan hukum ini Penulis membahas hal pokok
dilatarbelakangi oleh permasalahan eksistensi organisasi advokat yang secara de facto ada di Indonesia yang kemudian berpengaruh terhadap pengambilan sumpah advokat di Pengadilan Tinggi. Kemudian, dalam penulisan hukum ini tidak menyoroti hal yang berkaitan dengan kendala maupun langkah advokat terkait pengangkatan sumpah profesi, melainkan lebih kepada pelaksanaan pengambilan sumpah advokat itu sendiri di Pengadilan Tinggi, khususnya Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan tidak mengkaitkan dengan profesi advokat ketika praktik beracara.
Dengan demikian penulisan hukum ini dilakukan dengan dasar iktikad baik, jika terdapat penelitian yang serupa diluar pengetahuan penulis, hal tersebut bukan merupakan suatu kesengajaan, tetapi diharapkan penelitian ini dapat menambah informasi dari penelitian yang telah ada sebelumnya sehingga dapat memperkaya khasanah pengetahuan serta penulisan hukum yang bersifat akademis.
E. Kegunaan Penelitian
Penulis berkeyakinan penelitian ini memiliki manfaat atau kegunaan teoritis dan praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
Penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam menambah pengetahuan Penulis terhadap eksistensi organisasi advokat di Indonesia sejak awal adanya hingga pasca dibentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang kemudian berkaitan dengan pengangkatan advokat dan pengambilan sumpah advokat di Pengadilan Tinggi. Selain itu, penelitian ini juga dapat menumbuhkan jiwa Penulis dalam meningkatkan sikap kritis terhadap perkembangan hukum yang terjadi baik secara teoritis maupun praktis.
2. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah terhadap permasalahan-permasalahan yang akan ditemui khususnya dalam bidang keadvokatan, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan atau
pembenahan terhadap peraturan yang ada, dengan harapan agar dapat lebih memberikan perlindungan hukum bagi seluruh pihak dan menimbulkan kepastian hukum sehingga dapat menanggulangi konflik-konflik yang berpotensi terjadi.
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan memberikan pendapat kepada masyarakat baik yang akan maupun sudah berkecimpung dalam bidang yang
diteliti, serta masyarakat pada umumnya yang juga pada situasi tertentu memerlukan bantuan hukum dari advokat-advokat yang bernaung dalam suatu organisasi advokat.
4. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu hukum, khususnya dalam bidang Hukum Advokatur. Penulisan ini juga diharapkan mampu memberikan penjelasan mengenai eksistensi dari organisasi advokat di Indonesia, serta mengkaitkannya dengan salah satu syarat agar seorang advokat dapat berpraktik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 yakni pengambilan sumpah advokat di Pengadilan Tinggi. Dalam jangka panjang penulisan ini diharapkan dapat memberikan alternatif, solusi, maupun kesepamahan mengenai eksistensi organisasi advokat di Indonesia dan implementasi pengambilan sumpah advokat di Pengadilan Tinggi dikaitkan dengan eksistensi organisasi advokat di Indonesia itu sendiri.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian diartikan sebagai “jalan ke”, namun demikian menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan, yakni: suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, atau suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan, atau cara
tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.7 Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian adalah usaha pencarian fakta menurut metode objektif yang
jelas, untuk menemukan hubungan fakta dan menghasilkan dalil atau hukum.8
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yang menggabungkan antara penelitian normatif dengan penelitian empiris, sehingga dapat disebut dengan penelitian yuridis normatif-empiris. Penelitian normatif-empiris merupakan penelitian yang selain dengan melakukan studi kepustakaan dengan menelaah buku-buku, laporan, penelitian, jurnal, dan peraturan perundang-undangan, juga melakukan penelitian ke lapangan melalui metode interview dan pengamatan langsung terhadap kondisi lokasi yang diteliti dengan seakurat mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode interview tersebut dipergunakan sebagai cara untuk memperoleh data dengan jalan
melakukan wawancara dengan narasumber atau responden.9
2. Bentuk Data
Dalam melakukan penelitian Penulis menggunakan 2 (dua) cara yaitu:
a) Penelitian Kepustakaan
7 Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm. 5. 8 Moh. Nazir, 1998, Metode Penelitian, Ghalia, Jakarta, hlm. 14.
9 M. Hariwijaya dan Bisri M. Djaelani, 2008, Teknik Menulis Skripsi dan Thesis, Hanggar Kreator,
Penelitian kepustakaan merupakan penelitian yang dilakukan dengan mencari data sekunder yang diperoleh dengan studi pustaka yang diperoleh dari berbagai buku, literatur, peraturan perundang-undangan, tesis, skripsi, makalah, jurnal hukum, majalah, surat kepustakaan, serta bahan-bahan lainnya yang terkait dengan penelitian yang dilakukan, setelah itu untuk dipelajari dan dianalisis data
yang diperoleh.10 Bahan pustaka terdiri dari:
1) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer yang dimaksud adalah bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan dimana bahan tersebut ada dengan melalui mekanisme-mekanisme hukum dan bahan hukum tersebut
mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak ditentukan lain. Bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
10 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 201.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
2) Bahan hukum sekunder
Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer serta memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer.11 Bahan hukum sekunder
terdiri dari:
- Buku-buku yang membahas
tentang advokat; dan
- Buku-buku yang membahas
tentang advokat dimana
didalamnya membahas juga hal-hal mengenai organisasi advokat
dan prosedur pengangkatan
advokat.
3) Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder,
yaitu Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, dan Kamus Bahasa Belanda-Indonesia.
b) Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan secara langsung di lokasi penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan berkaitan dengan
masalah yang diteliti.12 Data dalam penelitian lapangan
terdiri dari data yang diperoleh langsung dari narasumber yang dipilih dan dianggap mengetahui masalah yang diteliti dan data yang diperoleh secara tidak langsung berupa Berita Acara Sumpah Advokat dan wawancara terhadap pihak-pihak tertentu.
3. Pengumpulan Data
a) Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, yaitu mengumpulkan data dan informasi dengan cara mengadakan tanya jawab secara langsung dengan narasumber. Tujuan wawancara disini untuk mendapatkan data, informasi, serta pendapat berkaitan dengan eksistensi organisasi advokat dan pelaksanaan pengambilan sumpahnya pada Pengadilan Tinggi, adapun narasumber tersebut
12 Ibid., hlm. 27.
terdiri dari Hakim pada Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan advokat-advokat yang tergabung dalam berbagai organisasi advokat-advokat.
b) Alat Pengumpulan Data
Penelitian Lapangan (Field Research)
Pada penelitian lapangan, penulis menggunakan pedoman wawancara. Pedoman wawancara yang akan dilaksanakan menggunakan daftar pertanyaan yang bersifat terbuka dan hanya memuat garis besar sehingga tidak menutup kemungkinan untuk dijadikan pertanyaan lain yang masih berhubungan dengan masalah yang diteliti.
c) Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penulisan hukum ini dilakukan dengan menggunakan teknik non-random sampling, artinya pengambilan sampel atas sifat populasi yang sudah diketahui terlebih dahulu dan ditentukan dengan tidak semua individu dalam populasi diberi kesempatan yang sama untuk menjadi anggota sampel. Jenis sampel yang digunakan adalah purposive sampling, dimana pengambilan sampel/subjek penelitian sudah ditentukan terlebih dahulu.
4. Jalannya Penelitian a) Tahap Persiapan
Diawali dengan merumuskan permasalahan yang ada dan menyiapkan rancangan penelitian.
b) Tahap Pelaksanaan
Dimulai dengan penelitian kepustakaan untuk mendapatkan kerangka berpikir mengenai masalah yang terkait dengan judul yang diangkat, serta mendapatkan gambaran maupun kondisi pengaturan mengenai organisasi advokat dan pengambilan sumpah advokat. Dengan data sekunder tersebut, kemudian mulai dilakukan wawancara baik secara langsung maupun melalui e-mail dengan advokat-advokat yang ada di Yogyakarta maupun di Jakarta. Selain itu, Penulis melakukan pengurusan izin dan kelengkapan dokumen untuk dapat dilakukan penelitian, yang hingga akhirnya sampai kepada penelitian di Pengadilan Tinggi Yogyakarta.
c) Tahap Penyelesaian
Penyusunan dan penyelarasan serta menganalisis data yang terkumpul. Kemudian menemukan korelasi masalah serta menemukan kesimpulan dan solusi atas masalah tersebut.
5. Analisis Data
Data yang telah terkumpul melalui penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan yang kemudian data tersebut dianalisis secara kualitatif, yaitu mengumpulkan dan menyeleksi data yang diperoleh berdasarkan kualitas kebenarannya dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti, kemudian diolah dengan disusun secara sistematik dan dihubungkan dengan teori dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Advokat.
Hasil penelitian yang didapatkan dipaparkan secara deskriptif, yaitu menjelaskan atau menggambarkan suatu keadaan yang sebenarnya di lapangan, sehingga dari penelitian tersebut dapat memberikan gambaran atau pemahaman yang mampu memberikan kesimpulan dari
permasalahan yang ada.13
13 Nico Ngani, 2012, Metodologi Penelitian Penulisan Hukum, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm.