• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Dan Pembangunan Di Indonesia (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum Dan Pembangunan Di Indonesia (1)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BUKU AJAR

SOSIOLOGI HUKUM

Kode Mata Kuliah

:

HM.101

Pengajar:

M. CHAIRUL BASRUN UMANAILO

NIPS: 137 030 233

e-mail: chairulbasrun@gmail.com

telp: 085243025000

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS IQRA BURU

(2)

Hukum Dan Pembangunan Di Indonesia

A. Pendahuluan

Pembangunan (development) mulai ramai diper-bincangkan sejak tahun 1949 pasca

Perang Dunia II. Harry S. Truman, Presiden Amerika Serikat (AS) ketika itu mengumumkan

kebijakan luar negeri pemerintahannya untuk menghadapi sosialisme, rival utamanya dalam

era Perang Dingin. Sebagai alternatif pengganti kolonialisme, pembangunan ditawarkan

dalam bentuk program-program pengentasan keterbelakangan dan perbaikan kerusakan

pasca perang. Bak bola salju, ide pembangunan terus menggelinding ke seluruh penjuru

bumi. Gustavo Gutierez mencatat evolusi istilah pembangunan kembali mulai bergulir sejak

Konferensi Asia Afrika (KAA) I tahun 1955 di Bandung. KAA disinyalir menjadi momentum awal

bangkitnya kesadaran negara Selatan-Selatan (underdevelopment).

Pembangunan sebagaimana realita pada umumnya, menjadi Self Projected reality yang

kemudian menjadi acuan dalam proses pembangunan. Pembangunan juga sering menjadi

semacam Ideology og Developmentalism, kesadaran sesuatu bangsa yang terbentuk melalui

pengalamannya baik pengalamannya baik pengalaman sukses maupun kegagalan-kegagalan

yang dialami amat menentukan interprestasi mereka tentang pembangunan.

Namun kerena pengalaman suatu bangsa yang mempengaruhi kesadaran tersebut

tidaklah statis, maka interprestasi mereka tentang pembangunan tidak pula statis. Melalui

mata rantai pemihosan dan demistifikasi paradigma pembangunan terjadilah pergeseran tadi.

Paradigma pembangunan yang pada suatu waktu tertentu menjadi acuan pembangunan

nasional, dapat saja mengalami proses demistifikasi, sementara paradigma-paradigma baru

timbul menggantikannya.

Melalui proses itu timbullah pergeseran paradigma pembangunan yang merentang dari

paradigma pertumbuhan atau paradigma ekonomi murni, paradigma kesejahteraan,

pradigma neo ekonomi, paradigma dependensial sampai paradigma pembangunan manusia.

Kecenderungan negara-negara berkembang untuk meniru negara maju (Demonstration

(3)

Effect) dan ingin mencapai prestasi yang oleh negara maju dicapai berabad-abad, hanya

dalam beberapa dasawarsa (Compression Effect) nampaknya ikut mempercepat tempo

pergeseran paradigma pembangunan.

Akan tetapi, suka atau tidak suka disadari atau tidak disadari, paradigma pertumbuhan

atau paradigma ekonomi murni nampaknya tetap menjadi paradigma yang dominan di

banyak negara, dan mengalami semacam Renaissance pada akhir-akhir ini di negara-negara

Eropa Timur.

Paradigma ini memandang pembangunan nasional sebagai identik dengan

pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan nasional adalah mencapai pertumbuhan

ekonomi yang setinggi-tingginya. Dan pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai fungsi

saving ratio, capital output ratio untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang

setinggi-tingginya. Paradigma ini snagat berorientasi pada produksi, fokus, dan prioritas utamanya

adalah pada growth generating sectors. Mekanisme pasar menjadi tumpuan dalam mencapai

pertumbuhan ekonomi.

Begitu juga dengan apa yang terjadi pada pembangunan hukum yang lebih dikenal

dengan pembaruan hukum. Bangsa Indonesia masih terus dengan pembaruan guna

memcapai sebuah keteraturan yang lebih mendukung kehidupan bernegara dan

bermasyarakat. Pembaruan hukum bisa berupa pengembangan hukum maupun penemuan

dan rekayasa dalam bidang hukum seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan ini.

Dalam bidang politik, hukum menata bagaimana aturan untuk mengatasi perselisihan

antara calon konstentan dengan menetapkan lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga

penyelesaian perselisahan. Bukan kemudian lembaga Mahkamah Konstitusinya yang menjadi

perhatian tetapi sebaliknya hukum telah mampu memainkan instrument sebagai penegak

hukum yang belum ada di waktu-waktu sebelumnya.

Dalam pembangunan hukum kiranya kita tidak bisa mempolakan seperti halnya

ekonomi mengidentifikasi dengan pertumbuhan pasar maupun indeks pembangunan

manusia, tetapi huku lebih berfokus pada sebagaimana hukum sebagai instrument mampu

(4)

B. Uraian Bahan Pembelajaran

Defenisi Dan Konsep Pembangunan

Pembangunan adalah proses perubahan keadaan menuju pada kondisi yang lebih baik

(Kartasasmita, 1997). Pembangunan juga diartikan sebagai upaya yang dilakukan secara

terencana untuk menuju pada suatu perubahan sosial (social change) dalam masyarakat,

walau sebenarnya pembangunan tidak sama dengan perubahan sosial.

Sebagai sebuah proses, pembangunan tentu saja dilakukan dengan melihat

kebutuhan-kebutuhan yang ada sekaligus merespon perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan

tuntutan-tuntutan pergeseran waktu akibat berkembangnya peradaban, sistem sosial

k‘masyarakatan, dan t‘knolog” yang l‘b”“ maju. P‘mbangunan adala“ proses yang

multidimensional yang melibatkan proses reorganisasi dan reorientasi dari keseluruhan sistem

ekonomi dan sosial (Todaro, 2003).

Terminologi pembangunan didefinisikan dengan begitu beragam. Tidak ada

kesepakatan yang sama juga tentang definisi pembangunan yang satu dengan yang lain.

Dalam banyak hal, istilah pembangunan seringkali digunakan merujuk dengan konsep tentang

p‘ng‘mbangan. T‘rm”nolog” p‘mbangunan dan p‘ng‘mbangan sendiri pada hakekatnya

juga dapat saling dipertukarkan.

Namun berbagai kalangan di Indonesia cenderung menggunakan secara khusus istilah

pengembangan untuk beberapa hal yang spesifik. Meski demikian, sebenarnya secara umum

kedua istilah tersebut diartikan secara tidak berbeda untuk proses-proses yang selama ini

secara universal dimaksudkan sebagai pembangunan atau development (Rustiadi, 2006).

Pembangunan sendiri memiliki dua pemahaman. Pertama, pembangunan sebagai

fenomena sosial yang mencerminkan kemajuan peradaban manusia. Dengan kata lain,

perubahan dari satu peradaban menuju kepada peradaban yang lebih advanced atau lebih

maju dari kehidupan yang dijalani sebelumnya. Kedua, pembangunan dipahami sebagai

planned societal change atau perubahan sosial yang terencana, yang kemudian diikuti dengan

(5)

Secara teoritis, pembangunan mempunyai tiga inti. Tiga inti pembangunan itu seperti

yang dikemukakan oleh Todaro (2003) adalah pertama, sustenance atau peningkatan standar

hidup, bahwa pembangunan harus mampu meningkatkan kemampuan setiap manusia untuk

memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs), seperti makan, kebutuhan bernaung (shelter),

kesehatan dan perlindungan.

Dengan kata lain, pembangunan dilakukan sebagai upaya atau proses untuk memenuhi

kebutuhan dasar dari manusia yang hidup di dalamnya. Kedua, self-esteem, pembangunan

harus mampu memberikan penghargaan diri sebagai manusia, dan tidak digunakan sebagai

alat dari orang lain. Artinya, pembangunan harus mampu mengangkat derajat manusia dan

menciptakan kondisi untuk tumbuhnya self-esteem. Ketiga, freedom from servitude,

pembangunan harus membebaskan atau memerdekakan manusia dari penghambaan dan

ketergantungan akan alam, kebodohan dan kemelaratan. Pembangunan dilakukan untuk

tujuan peningkatan kebebasan setiap orang dari kungkungan atau tekanan-tekanan

kepentingan yang ada.

Sebagai sebuah proses, pembangunan dilakukan untuk mencapai kemajuan. Proses

pembangunan membutuhkan masukan sumber daya untuk ditransformasikan menjadi hasil

atau keluaran. Keluaran atau output akan dihasilkan secara optimal, apabila input atau

masukan sumber dayanya berkualitas. Siagian, menyatakan bahwa sesungguhnya

pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan

berencana dan dilakukan secara sadar oleh bangsa, negara dan pemerintah menuju

modernisasi dalam rangka terciptanya nation building. Siagian juga menambahkan bahwa

secara umum, pembangunan dapat diartikan pula sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk

menciptakan alternatif yang lebih banyak kepada warga negara yang menjadi stakeholder

untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai aspirasi yang lebih manusiawi.

Realitas Pembangunan Di Indonesia

Pembangunan di negara-negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia,

(6)

bekas jajahan, saat itu mulai bangkit melakukan perlawanan terhadap penjajah. Selanjutnya

mereka menetapkan diri dan mendapatkan pengakuan dunia internasional sebagai negara

merdeka (independent nations), meskipun beberapa diantaranya, seperti beberapa negara di

Asia Tenggara dan Selatan, posisinya adalah sebagai negara commonwealth , yakni Malaysia,

Singapura dan India. Realitas kebangkitan itu tidak sama antara satu dengan yang lain

walaupun semuanya disponsori oleh hutang-hutang luar negeri dalam periode

pembangunannya.

Di Asia Tenggara, Singapura lebih dulu diakui oleh dunia internasional sebagai salah

satu dari the Newly Industrializing Countries. Namun sebagian besar dari negara berkembang

di Asia, hingga kini belum ada yang menyamai kemajuan negara-negara Barat yang

mengklaim diri sebagai negara modern, kecuali empat negara yang disebut sebagai the

Newly Industrializing Countrie, yakni Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura.

Tentu ada berbagai penjelasan. Selain penjelasan sosial budaya juga penjelasan politik,

yang berkaitan dengan strategi politik Barat saat menghadapi perang dingin. Sesungguhnya

hal ini perlu uraian tersendiri, yang dalam tulisan ini tidak akan diulas. Tulisan ini hendak

memahami secara khusus konteks pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia selama

berlangsungnya periode pembangunan bangsa.

Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara

Hukum (Rechtsstaat/ The Rule of Law). UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa N‘gara Indon‘s”a adala“ N‘gara Hukum . Namun, bagaimana cetak biru dan desain makro

penjabaran ide negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif.

Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral. Oleh karena itu, hukum

hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara

hendak dipahami sebagai suatu konsep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum. Dalam hukum

sebagai suatu kesatuan sistem terdapat

(1) Elemen kelembagaan (elemen institusional),

(7)

(3) Elemen perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang

ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural).

Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup

(a) Kegiatan pembuatan hukum (law making),

(b) Kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating), dan

(c) Kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Biasanya, kegiatan

terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan penegakan hukum dalam arti yang

sempit (law enforcement) yang di bidang pidana melibatkan peran kepolisian,

kejaksaan, advokat, dan kehakiman atau di bidang perdata melibatkan peran

advokat (pengacara) dan kehakiman. Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering

dilupakan orang, yaitu:

(d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education)

dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan

(e) pengelolaan informasi hukum (law information management) sebagai kegiatan

penunjang.

Kelima kegiatan itu biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan negara,

yaitu

(i) Fungsi legislasi dan regulasi,

(ii) Fungsi eksekutif dan administratif, serta

(iii) Fungsi yudikatif atau judisial. Organ legislatif adalah lembaga parlemen, organ

eksekutif adalah birokrasi pemerintahan, sedangkan organ judikatif adalah

birokrasi aparatur penegakan hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan

pengadilan Kesemua itu harus pula dihubungkan dengan hirarkinya

masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai terendah, yaitu yang terkait dengan

aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur tingkat

kabupaten/kota. (Asshiddiqie, 2006).

Dalam keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik

(8)

dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945. Jika

dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek, elemen, hirarki dan komponen tersebut

tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, maka hukum sebagai satu kesatuan sistem juga

tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana mestinya.

Sebagai contoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law),

kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum

(law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan

penegakan hukum (law enforcing). Bahkan, kitapun dengan begitu saja menganut paradigma

dan doktrin berpikir yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang

beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang

dianggap tahu hukum.

Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari

tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga diakui universal,

yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Orang kaya di Jakarta harus

diperlakukan sama oleh hukum dengan orang miskin di daerah terpencil di Mentawai

(Sumbar), di Lembah Baliem (Papua), suku Kubu di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan,

ataupun suku terpencil di pulau-pulau kecil di seluruh wilayah Nusantara (Asshiddiqie, 2006).

Teori fiktie di atas memang fiktie sifatnya atau hayalan saja, karena tidak mencerminkan

realitas yang sebenarnya. Untuk lingkungan negara-negara maju dan apalagi kecil seperti

Belanda dengan tingkat kesejahteraan dan pengetahuan masyarakatnya yang merata, tentu

tidak ada persoalan dengan teori fiktie itu. Dalam masyarakat homogen seperti itu informasi

hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris.

Tetapi di negara yang demikian besar wilayahnya, begitu banyak pula jumlah

penduduknya, serta miskin dan terbelakang pula kondisi kesejahteraan dan pendidikannya

seperti Indonesia, sudah tentu sistem informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat tidak

bersifat simetris.

Tidaklah adil untuk memaksakan berlaku sesuatu norma hukum kepada mereka yang

(9)

norma aturan yang diberlakukan itu kepadanya. Jika dalam norma aturan itu terjadi proses

kriminalisasi, sudah tentu orang yang bersangkutan terancam menjadi kriminal tanpa ia sendiri

menyadarinya. Oleh karena itu, di samping adanya dan di antara kegiatan pembuatan hukum

(law making) dan penegakan hukum (law enforcing), diperlukan kegiatan, yaitu

pemasya-rakatan hukum (law socialization) yang cenderung diabaikan dan dianggap tidak penting

selama ini. Padahal, inilah kunci tegaknya hukum. Tanpa basis sosial yang menyadari hak dan

kewajibannya secara hukum, maka hukum apapun yang dibuat tidak akan efektif, tidak akan

tegak, dan tidak akan ditaati dengan sungguh-sungguh.

Oleh karena itu, memahami hukum secara komprehensif sebagai suatu sistem yang

terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun

pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The

Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja, ataupun

hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan sistem hukum

tersebut di atas.

Itulah sebabnya, saya sering mengemukakan penting kita sebagai bangsa menyusun

dan merumuskan mengenai apa yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia

yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, terutama sekarang telah ditegaskan

dalam rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Semua lembaga atau

institusi hukum yang ada hendaklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum

yang perlu dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia

perlu menyusun suatu blue-print, suatu desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem

Hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan (Asshiddiqie, 2006).

Hukum Dan Perannya Dalam Pembangunan Kehidupan Berbangsa Dan

Bernegara

Memahami hukum secara komprehensif sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi

sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan

(10)

tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja, ataupun hanya dengan melihat

salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan sistem hukum tersebut di atas.

Itulah sebabnya, saya sering mengemukakan penting kita sebagai bangsa menyusun

dan merumuskan mengenai apa yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia

yang diamanatkan dalam UUD 1945, terutama sekarang telah ditegaskan dalam rumusan

ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Semua lembaga atau institusi hukum yang ada

hen-daklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam

kerangka Negara Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu blue-print,

suatu desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Indonesia yang hendak kita

bangun dan tegakkan di masa depan.

Dalam kajian diagnostik tentang perkembangan hukum di Indonesia yang dilakukan

ta“un 1996, Pro’. Dr. Moc“tar Kusumaatmadja m‘n”la” k‘adaan “ukum s‘baga” desperate but

not hopeless . Surva” yang disponsori oleh Bank dunia dan Bappenas ini, telah mendeteksi

berbagai kelemahan dalam sistem hukum Indonesia, yaitu di bidang Sumber Daya Manusia,

Lembaga-lembaga Hukum dan Sistem Peradilan kita. Laporan Kajian yang disampaikan

kepada Bank Dunia dan Bappenar pada awal tahun 1997 disertai 9 (sembilan) rekomendasi

umum dan 47 (empat puluh tujuh) rekomendasi khusus yang menyangkut kebijakan serta

hal-hal teknis.

Disponsori oleh para mahasiswa Indonesia dan generasi muda, arus reformasi melanda

negara kita dalam tahun 1998 dan menjatuhkan pemerintahan Orde Baru yang telah lebih dari

30 tahun berkuasa. Gerakan reformasi melihat kelemahan pemerintahan Orde Baru a.l. adalah

bahwa pemerintah yang berkuasan selama 30 tahun ini telah berubah menjadi rejim yang

otoriter dengan dukungan militer, serta korupsi telah menjadi sangat endemik dikalangan

birokrat (sipil dan militer) dan disertai dengan kolusi (persekongkolan antara pemegang kuasa

politik dan pemegang kuasa ekonomi untuk melakukan perbuatan melawan hukum) dan

nepotisme (mendahulukan sanak-saudara secara curang). Keadaan ini menjadi lebih parah

(11)

yang tidak atau kurang memberi tempat pada aneka ragam sistem hukum yang telah ada di

berbagai daerah di Indonesia.

Dalam keadaan sebagaimana disarikan di atas, maka tidaklah mengherankan bahwa

sala“ satu slogan utama r‘’ormas”, yang m‘rupakan ”d‘olog” g‘rakan r‘’ormas” , adala“

pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (p‘mb‘rantasan KKN). Dalam acuan untuk

kajian substansi reformasi oleh Badan Kerjasama Ikatan Alumni Perguruan Tinggi Seluruh

Indonesia (BKS-IKAPTISI) dikatakan (September, 1999):

D” b”dang hukum, pemberantasan KKN korupsi, kolusi dan nepotisme telah menjadi

salah satu tuntutan utama sejak awal Gerakan Reformasi muncul. Tuntutan itu berada

dalam sebuah bingkai besar, yakni keinginan untuk menegakkan supremasi hukum di

Bumi Indonesia yang dalam konstitusinya secara tegas telah menyatakan diri sebagai

negara hukum. Reformasi bidang hukum dengan sendirinya mutlak dilakukan, sebab

hukum itulah yang pada dasarnya mengatur seluruh perilaku masyarakat bangsa dalam

kehidupan bernegara. Hukum harus benar-benar mandiri, dan bukan lagi menjadi alat

legitimasi kekuasaan (Reksodiputro, 2009).

Ada 3 hal penting ketika kita berbicara pembangunan hukum maupun pembaharuan

hukum yaitu;

1. Supremasi hukum

adanya tuntutan terhadap surpremasi hukum adalah karena dalam masa

pembangunan 1967-1997 bangsa Indonesia mengalami keadaan dimana kepastian

hukum dan perlindungan hukum sangat lemah. Meskipun Konstitusi (UUD 1945)

m‘n‘tapkan ba“wa n‘gara “ukum dan k‘daulatan rakyat m‘rupakan

asas-asas kehidupan bernegara kita, tetapi penafsirannya (oleh pemerintah maupun

akademisi) pada masa Orde Baru tidak menghasilkan demokrasi (malahan suatu

pemerintah otoriter). Seharusnya kekuasaan presiden yang begitu besar menurut

konstitusi kita harus tunduk pada hukum, sehingga jabatan presiden tidak

memungkinkannya menjadi diktator. Presiden harus tunduk pada hukum dengan

(12)

(dengan Mahkamah Agung dipuncak sistem ini). Makalah ini akan

m‘mp‘rgunakan p‘ng‘rt”an m‘n‘gakkan (k‘mbal”) supr‘mas” “ukum

2. Reformasi sistem hukum

Sebenarnya sistem hukum Indonesia, sebagaimana bentuk dasarnya

(batasan-batasannya) ada dalam konstitusi, sudah mengandung sistem (bentuk)

pemerintahan yang demokratis. Sistem hukum tersebut telah menetapkan siapa

yang berwenang membuat undang-undang (yaitu Dewan Perwakilan Rakyat),

siapa yang bertugas menafsirkan undang-undang (yaitu Sistem Peradilan) dan

siapa yang harus melaksnaakan undang-undang (yaitu Pemerintah). Sistem hukum

ini harus dianggap telah menyatakan bahwa sistem pemerintahan Indonesia

seharusnya (wajib) adala“ d‘mokrat”s, kar‘na k‘daulatan b‘rada pada rakyat

dan n‘gara ”n” adala“ n‘gara “ukum (dan bukan n‘gara berdasarkan

k‘kuasaan). Kalau k‘nyatan dalam ± 30 ta“un (d”tamba“ ± 8 ta“un s‘t‘la“ d‘kr”t

Presiden Sukarno) terakhir ini berlainan, hal itu bukanlah kekeliruan konstitusi,

tetapi kekeliruan penafsir-penafsirnya (termasuk para Manggala P-4).

Karena negara ini harus mempunyai bentuk pemerintahan demokratis (demokrasi

melalui perwakilan; representative democracy), maka ada dua asas utama yang

mutlak d”p‘r“at”kan, ya”tu asas k‘b‘basa dan asas p‘rsamaan . K‘k‘l”ruan

dalam masa Orde Baru adalah bahwa kedua asas ini tidak mendapat perlindungan

hukum yang cukup. Malahan penafsiran kedua asas inipun sering keliru (baik oleh

pemerintah maupun oleh kalangan akademisi).

Kebebasan, mencakup kebebasan menyatakan pemikiran dan pendapat

(kebebasan menyampaikan kritik dalam bentuk yang tidak mengurangi kebebasan

orang lain), kebebasan berkelompok dengan orang-orang yang sepaham

(kebebasan berserikat, berkumpul atau bertemu) dan kebebasan warganegara

mengatur hidupnya sesuai dengan keyakinannya (misalnya kebebasan beragama).

Persamaan, mencakup persamaan di muka hukum (tidak ada privilege untuk

(13)

dan b‘rart” pula “arus ada usa“a m‘ngurang” k‘s‘njangan sos”al-eknomi-politik

yang selalu akan ada dalam masyarakat.

Reformasi Sistem Hukum harus berarti lebih menampilkan sistem pemerintahan

yang demokratis dalam Sistem Hukum Indonesia dan memberdayakan kedua asas

utama t‘rs‘but, yakn” k‘b‘basan dan p‘rsamaan , d‘ngan m‘ngacu pada

norma-norma universal tentang konsep demokrasi (jangan mempergunakan

kons‘p d‘mokras” t‘rp”mp”n , d‘mokras” pancas”la , dan s‘baga”nya).

3. Restrukturisasi kekuasaan peradilan

Dalam n‘gara d‘ngan p‘m‘”rnta“an d‘mokrat”s, d”mana akan ada sharing of

powers dan checks and balances , maka d”samp”ng adanya k‘kuasaan mand”r”

(pada DPR, Pemerintah dan Sistem Peradilan), ada pula kewenangan

masing-mas”ng l‘mbaga ”tu untuk m‘m‘r”ksa (check) kewenangan lembaga lainnya,

agar t‘rjad” “armon”sas” (k‘s‘”mbangan) k‘kuasaan (b‘rada dalam balances ).

Kons‘pnya d”s”n” adala“ ba“wa p‘m‘r”ksaan ”tu p‘rlu untuk k‘s‘”mbangan

k‘kuasaan agar t”dak akan t‘rjad” t”ran” (tyranny) k‘kuasaan ol‘“ sala“ satu l‘mbaga

pemegang kekuasaan (legislatif, eksekutif atau yudikatif). Jadi konsepnya ada mixing of

powers yang b‘rman’aat untuk m‘njalankan b‘ntuk p‘m‘r”nta“an yang d‘mokrat”s

Tetapi dalam masa Orde Baru tidak dibangun suatu sistem peradilan untuk

melindungi warganegara terhadap dikresi sewenang-wenang yang dilakukan

eksekutif. Malahan dalam banyak kasus, yudikatif bersedia dipengaruhi oleh

eksekutif. Apabila ekesekutif kalah dalam berperkara di pengadilan, maka tidak

segan-segan lembaga ini mempengaruhi Mahkamah agung untuk tetap

memenangkan perkaranya. Terlihat pada waktu itu bahwa sistem peradilan tidak

berkuasa (powerless) terhadap intervensi aparat birokrasi. Etika pemerintahan

(good governance) telah diabaikan secara sangat menyolok (termasuk oleh para

teknokrat).

Dengan restrukturisasi kekuasaan peradilan, maka dalam negara demokrasi yang

(14)

dapat melawan setiap kesewenang-wenangan (juga dari aparat birokrasi) melalui

suatu sistem peradilan yang independen (bebas dari pengaruh eksekutif), netral

(bebas dari korupsi) dan adil serta berwibawa (putusan pengadilan wajib

dilaksanakan) (Reksodiputro, 2009).

Fungsi Hukum Sebagai Pengawasan Dan Penginspirasian Pelaksanaan

Pembangunan

Republik Indonesia sejak berdirinya telah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum.

Untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi warga negara, prinsip negara hukum

ditegaskan dalam UndangUndang Dasar. Julius Stahl menjelaskan bahwa unsur suatu negara

hukum (rechtstaat) adalah:

(1) perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia,

(2) Pemisahan dan pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu

(3) pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan

(4) adanya peradilan administrasi dalam perselisihan.

Sebagai negara berdasarkan hukum, negara dan pemerintah Indonesia didirikan untuk

melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan

umum, dan mewujudkan masyarakat yang adil makmur, merata baik materiil dan spiritual

(Marbun, 2004).

Prinsip-prinsip hukum berupa kepastian dan keadilan hukum dimaksudkan sebagai

nilai-nilai dasar mengenai apa yang dikehendaki manusia dari keberadaan dan keberlakuan hukum.

Hukum dengan nilainilainya hendak mewujudkan bahwa kehadirannya dimaksudkan untuk

melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dalam konteks

tersebut, nilai-nilai dasar dari hukum dimaksudkan sebagai nilai instrumental, yaitu hukum

tersebut bernilai sebagai sarana untuk mencapai tujuan kebahagiaan dan keadilan dalam

masyarakat (Zaini, 2012).

Hukum merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat, namun

(15)

tetapi tidak jarang pula bertentangan. Nilai-nilai tersebut, misalnya : ketertiban dan

ketentraman, kepastian hukum dan kesebandingan, kepentingan umum dan kepentingan

individu (Rahardjo, 1998:69). Dengan demikian, tidak adanya keserasian dan harmonisasi

diantara nilai-nilai tersebut yang terdeskripsikan dalam masyarakat akan mengganggu tujuan

dan jalannya proses penegakkan hukum.

Pada era global pembangunan hukum ditandai dengan kecenderungan tuntutan

kebutuhan pasar yang dewasa ini semakin mengglobal. Dalam kondisi semacam itu,

produk-produk hukum yang dibentuk lebih banyak bertumpu pada keinginan pemerintah, karena

tuntutan pasar. Tuntutan kebutuhan ekonomi telah mampu menimbulkan

perubahan-perubahan yang amat fundamental baik dalam hal fisik maupun sosial politik dan budaya

yang mapu melampaui pranata-pranata hukum yang ada. Produk hukum yang ada lebih

meangarah pada upaya untuk memberi arahan dalam rangka menyelesaikan konflik yang

berkembang dalam kehidupan ekonomi (Mahfud, 2001).

Pembangunan hukum yang tertuju pada kehidupan perekonomian saat ini harus

mampu mengarah dan memfokuskan pada aturan-aturan hukum yang diharapkan mampu

memperlancar roda dinamika ekonomi dan pembangunan yang tidak melepaskan diri dari

sistem demokrasi ekonomi dengan mengindahkan akses rakyat untuk mencapai efisiensi dan

(16)

C. Penutup

Bahwa Hukum merupakan pilar utama yang memiliki peran sangat penting dalam

pembangunan nasional. Hal ini tentunya pada tataran kondusif tidaknya hukum yang berlaku.

Indikator yang menentukan hukum itu kondusif adalah manakala memenuhi lima kulalitas

yakni stability, predictability, fairness, education, dan kemampuan meramalkan adalah

prasyarat untuk berfungsinya sistem ekonomi.

Perlunya predictability sangat besar di negara-negara dimana masyarakatnya untuk

pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan social

tradisionil mereka. Stabilitas juga berarti hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan

mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Aspek keadilan (fairness)

seperti persamaan di depan hukum, standar sikap pemerintah, adalah perlu untuk memelihara

mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berkelebihan

Pembangunan yang komprehensif bukan hanya memperhatikan hanya dari aspek

ekonominya saja melainkan juga harus memperhatikan hak-hak azasi manusia, keduanya

tidak dalam posisi yang berlawanan, dan dengan demikian pembangunan akan mampu

menarik partisipasi masyarakat. Hal ini menjadi bertambah penting karena bangsa kita berada

dalam era globalisasi, artinya harus bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

Hukum yang kondusif bagi pembangunan sedikitnya mengandung lima kwalitas :

stability, predictability, fairness, education, dan kemampuan meramalkan adalah prasyarat

untuk berfungsinya sistim ekonomi. Perlunya predictability sangat besar di negara-negara

dimana masyarakatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi

melampaui lingkungan social tradisionil mereka.

Stabilitas juga berarti hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi

kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Aspek keadilan (fairness) seperti persamaan di

depan hukum, standar sikap pemerintah, adalah perlu untuk memelihara mekanisme pasar dan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang didapatkan bahwa kepemimpinan transformasional leadership dapat menjadi solusi meningkatkan perilaku edukatif perawat dalam pelayanan melalui kepemimpinan

Kedua, Continuous Professional Development (CPD) pada Sekolah Dasar Negeri di Kota Tasikmalaya pada dimensi Karya Inovatif mendapat skor rata-rata paling rendah. Apabila hal

Daftar Riwayat Hidup Cecep Jamaludin

pendampingan IKM dan ( recovery) ekonomi Masyarakat Terdampak Covid – 19 mampu menyelesaikan permasalahan yang berkenaan dengan desain produk dan dapat memasarkan

3.1.4 Memperagakan bunyi kata, frasa dan kalimat ahasa Arab yang diperdengarkan 3.1.5 Menunjukkan gambar sesuai bunyi kata,E. frasa dan kalimat bahasa Arab

Pembuatan website dengan judul Perancangan Website Sebagai Media Promosi dan Penjualan pada CV Simba Jaya Magelang diharapkan bisa meningkatkan promosi, penjualan serta

Namun pada kenyataan pembelajaran di SMP Negeri 3 Pule masih terpusat di guru.Pembelajaran matematika selama ini adalah guru menerangkan materi, memberi contoh soal