• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM WARIS DAN WASIAT DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM WARIS DAN WASIAT DI INDONESIA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM WARIS DAN WASIAT DI INDONESIA

REVISI MAKALAH

DIBUAT GUNA MEMENUHI UAS

MATA KULIAH : PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI NEAGARA MUSLIM

DISUSUN OLEH: ZERA AGUSTINA

1420310053

DOSEN PENGAMPU: PROF. DR. KHOIRUDDIN, MA

DR. AGUS M. NAJIB, M.Ag

PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM KONSENTRASI HUKUM KELUARGA PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA

(2)

A. Pendahuluan

Sebuah hukum dengan corak keislaman mempunyai keseragaman antara satu daerah dengan daerah lainnya atau antara satu Negara dengan Negara lainnya. Namun ternyata berbagai latar belakang telah memberikan corak hukum Islam yang berbeda antara satu Negara dengan Negara lainnya. Demikian pula dengan hukum waris, meskipun dengan sumber yang sama yaitu al-Quran dan Hadits, tetapi ternyata terjadi perbedaan hukum waris dari suatu Negara dengan Negara lainnya.

Seperti halnya hukum perdata (BW), hukum adat, fiqh dan Kompilasi Hukum Islam yang berkembang dan hidup di Indonesia memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Sistem hukum tersebut memunculkan keadialan dalam persepsinya masing-masing meskipun keadilan pada hakikatnya hanya satu dan bersifat universal. Keadilan yang satu dan universal tersebut tersimpan dalam setiap hati manusia yang suci dan merupakan pancaran dari sinar Ilahi yang melampaui lebih dari sekedar akal budi. Nafsu manusialah yang menjadikan hati manusia tertutupi sehingga keadilan tidak menampakkan bentuknya yang asli.

Salah satu bagian penting dari hukum Islam adalah hukum kekeluargaan dan kebendaan yang di dalamnya mencakup hukum kewarisan Islam. Hukum kewarisan Islam dalam hal ini adalah fokus pada hukum waris Islam di Indonesia. Keberadaan waris dan wasiat yang diakui pada sistem hukum yang berlaku di Indonesia seringkali merupakan jalan keluar bagi seorang pemilik harta untuk berlaku adil dan tidak adil kepada para ahli warisnya, bahkan kepada orang lain. Namun keberadaan aturan mengenai waris dan wasiat pada hakikatnya adalah untuk menjamin keadilan.

(3)

bersamaan dengan orang tua pewaris sama-sama sebagai ahli waris. Dalam kewarisan di luar Islam orang tua baru mungkin dapat warisan kalau pewaris mati tidak mempunyai keturunan. Kedua, Islam juga memberi kemungkinan kepada orang tua (minimal dengan ibu) pewaris yang mati tanpa keturunan sebagai ahli waris. Ketiga, suami istri saling mewarisi. Suatu hal yang bertolak belakang dengan tradisi Arab Jahiliyyah yang menjadikan istri sebagai salah satu bentuk harta warisan. Keempat, adanya perincian bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu.1

Permasalahan mengenai pembagian warisan sering terjadi dengan pembagian yang tidak adil dan ada pihak yang ingin mendapatkan bagian yang lebih banyak, ini tidak sesuai dengan aturan dalam hukum kewarisan Islam yang mana pembagian warisan telah diatur jumlah dan pembagiannya. Oleh karena itu, syari’at Islam dalam pelaksanaan hukum kewarisan dan termasuk juga wasiat sangat mengutamakan pembagian yang seimbang antara hak dan kewajiban sehingga tidak ada hak yang dikurangi maupun dilebihkan. Sehubungan dengan itu, dalam pembinaan hukum kewarisan Islam berdasarkan azas-azas, maka waris dan wasiat perlu dipertimbangkan untuk memberikan kesejahteraan hidup antara laki-laki dan perempuan di dalam keluarga khususnya dan masyarakat pada umumnya.

B. Sejarah Pembaruan Hukum Waris dan Wasiat di Indonesia

Pembahasan mengenai warisan dan wasiat bukanlah suatu hal yang tabu lagi, karena waris dan wasiat sudah dipraktekkan tata cara pembagiannya sejak awal kebangkitan Islam. Mengenai pengertian dari hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal serta akibat hukumnya bagi para ahli warisnya.2 Kosep dari

wasiat juga tidak jauh berbeda dengan waris, yang mana harta yang diwasiatkan

1 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Ekonisia, 2005), hlm. 15

(4)

juga diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia, yang berbeda hanya saja harta yang diwasiatkan tidak lebih dari sepertiga.

Hak waris dan wasiat seseorang tidaklah muncul tiba-tiba, tetapi keberadaanya didasari oleh sebab-sebab tertentu yang berfungsi mengalihkan harta dari hak-hak yang telah meninggal dunia. Perubahan dan pembaharuan hukum waris Islam telah terjadi secara nyata dalam sejarah pemikiran hukum Islam, untuk menyebut contoh apa yang terjadi dalam perumusan hukum waris Islam di Indonesia dengan konsep ahli waris pengganti telah merubah dan memperbarui hukum waris Islam di Indonesia.3

Di Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir telah terjadi reformasi terhadap ketentuan hukum Islam (fiqh) yang telah disesuaikan dengan konteks keindonesiaan. Khusus dalam bidang hukum kewarisan, ide dan pemikiran pembaharuan belum banyak mempengaruhi praktek kewarisan dalam masyarakat akibat masih kuatnya pengaruh hukum adat dan mazhab sayfi’iyyah yang berkembang di kalangan umat Islam di Indonesia.

Hukum waris di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam, hal ini dipengaruhi oleh keaneka-ragaman suku di Indonesia dengan hukum adat yang berbeda-beda dan juga agama yang berbeda. Adapun sistem tata hukum yang berlaku adalah hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan adat, dan hukum kewarisan berdasarkan BW.

C. Latar Belakang Lahirnya Waris dan Wasiat di Indonesia

Sejak berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama.4 Di Jawa dan Madura pada

tauhun 1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan 3 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 116

(5)

sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf.5 Sekalipun

wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas.

Pada tahun 1937, wewenang Pengadilan Agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan Stbl. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.6 Pengadilan Agama

di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957 yang mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah, dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku.

Muhammad Ali Daud mencantumkan penelitian Ny. Habibah telah Daud dalam bukunya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, bahwa Ny Habibah Daud mengadakan penelitian di DKI Jakarta pada tahun 1976, dan hasilnya bahwa dari 1081 orang hanya 47 orang yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Negeri (4,35%), dan 1034 orang (96,65%) mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama. Hal ini terbukti, bahwa umat Islam lebih banyak mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri.7

Pada tahun 1977 - 1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengadakan penelitian di lima

5 Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963, hlm. 10

6 Perhatikan pasal 2a Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 dan pasal 3 Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 yang menetapkan yurisdiksi Pengadilan Agama di Jawa-Madura dan Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan.

7 Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia,

(6)

daerah, yakni Aceh, Jambi, Palembang, DKI, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :

1. Masyarakat Islam di lima daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 91,35%, sedang yang menghendaki berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65%

2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama 77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5%

Kemudian kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada tahun 1978/1979 di sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota Serang, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mataram dan sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :

1. Masyakarat Islam di sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang menghendaki berlakunya hukum waris adat bagi mereka hanya 11,7%

2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri sebanyak 27,7%.

Karena itu apabila sengketa waris yang terjadi antara orang Islam diajukan ke Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20 September 1960, yang menyatakan bagi golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum

faraid (hukum waris Islam) diberlakukan sebagai hukum adat, karena merupakan

the living law dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia.

(7)

Jika dikaji dari aspek sejarah, hukum kewarisan Islam tampaknya sudah berlaku di Indonesia jauh sebelum dijajah Belanda. Ketika Belanda datang dan kemudian menjajah Indonesia, hukum kewarisan Islam telah berjalan dengan semestinya, terutama di wilayah-wilayah Indonesia yang telah berdiri kerajaan-kerajaan Islam, yang mana penguasa dan penduduknya juga menganut agama Islam dan memberlakukan hukum Islam.8 Pendek kata, hukum Islam adalah

hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan ditaati oleh umat Islam di Indonesia. Hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah hukum waris yang bersumber kepada al-Qur’an dan Hadits, hukum yang berlaku universal di bumi manapun di dunia ini. Namun, jika ada beberapa perbedaan paham di kalangan ulama mazhab dengan tidak mengurangi ketaatan umat Islam kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka perbedaan pendapat tersebut dibolehkan dan dapat dipandang sebagai rahmat.

Pada masa pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan aturan baru dalam stbl. No.116-610 tahun 1937. Dalam stbl. ini ditetapkan urusan kewarisan tidak lagi menjadi wewenang Pengadila Agama. Kebijakan seperti ini berlaku pula pada pembentukan peradilan agama di Kalimantan selatan dan timur melalui stbl. no. 638-639 tahun 1937 tentang pembentukan lembaga kerapatan Qadhi dan Qadhi besar di Kalimantan selatan dan timur. Dalam stbl. ini ditetapkan kewarisan bukan mejadi wewenang peradilan.

Setelah Indonesia merdeka pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.45 tahun 1957, tentang pembentukan Pengadilan Agama untuk seluruh provinsi di Indonesia, di luar pulau Jawa, Madura, dan Kalimantan selatan-timur. Dalam peraturan pemerintah itu ditetapkan salah satu wewenang Pengadilan Agama adalah kewarisan.

Keragaman nama dan wewenang Pengadilan Agama itu telah berakhir semenjak tahun 1989 dengan keluarnya UU No.7 tahun1989 tentang Pengadilan Agama. Pasal 49 dari UU ini menetapkan, Pengadilan Agama bertugas dan

(8)

berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:

a. Perkawinan;

b. Kewarisan, Wasiat dan Hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam; c. Wakaf dan Shadaqah.

Dalam pasal 49 UU ini ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam di seluruh Indonesia, penyelesaiannya menjadi wewenang Pengadilan Agama. Tentang hukum yang digunakan dalam menyelesaikan urusan kewarisan itu adalah hukum Islam tentang kewarisan atau yang disebut hukum kewarisan Islam atau faraidh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Kewarisan Islam merupakan hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat Islam.

Pergumulan antara hukum Islam dan hukum adat tampak dalam analisis sejarawan dan ahli hukum. Untuk mendaulat hukum mana yang lebih dahulu lahir di Indonesia, salah satunya dapat dilihat dari pendapat sejumlah pakar hukum. Jika seorang pakar hukum bersikap jujur dan tidak tergolong Islamfobia, maka jawabannya amat jelas, bahwa sewaktu L.W.C van dan Berg melahirkan teori

Receptie In Complexu, hukum adat belum lahir.9

Hukum adat baru muncul setelah Snouck Hurgronje dan van Vollenhoven, yakni memperkenalkan teori receptie untuk menyanggah teori sebelumnya, yakni teori recepti in complex - van den Berg. Menurut mereka teori yang membahayakan kepentingan colonial. Hukum adat diciptakan oleh Snouck Hurgronje dan van Vollenhoven untuk kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda yang berupaya mencabut kewenagan Pengadilan Agama ketuka menangani sengketa kewarisan pada tahun 1937, dengan dalih bahwa hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat masyarakat Indonesia.

Hukum perdata (BW) tidak mengenal waris-mewaris, Pasal 875 mengatur tentang “surat wasiat”. Pemilik harta sebelum meninggal telah mempersiapkan akan diapakan hartanya bila ia meninggal,10 peruntukkan tersebut dimuat di dalam

surat wasiat (testament), bunyi pasal tersebut: ”Adapun yang dinamakan surat 9 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 79.

(9)

wasiat atau testament ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikendakinya akan terjadi seetlah ia meninggal dunia, yang olehnya dapat dicabut kembali lagi”.

Dengan berlakunya sejarah dari zaman kuno sampai zaman modern, terutama dari sudut kewarisan dan wasiat, maka telah nampak suatu kebutuhan oleh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pembagian harta warisan secara adil dengan ilmu pasti baik itu pembagian menurut hukum adat, hukum Islam ataupun BW.

E. Wasiat Dalam Islam

Secara terminologi, para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang disandarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru.

Fuqaha berpendapat bahwa rukun dan syarat wasiat itu meliputi orang yang berwasiat (al-mushi), orang yang menerima wsiat (al-musha lah), barang yang diwasiatkan (al-musha bi) dan redaksi wasiat (sighat). Adapun rukun dan syarat wasiat secara rinci adalah:11

1. Adanya subjek hukum

2. Adanya objek atau benda yang diwasiatkan 3. Tidak mengandung bahaya (mudharat)

Wasiat dalam KHI di atur dalam Buku II pada BAB V Pasal 194-209. Pengertian wasiat dalam KHI disebutkan pada pasal 171 ayat (f) yang berbunyi : “Pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.”

Sementara itu, pada Pasal 195 ayat 3 KHI menyebutkan bahwa wasiat kepada ahli waris masih memungkinkan, dengan syarat telah mendapat persetujuan ahli waris lainnya. Selain itu terdapat pula syarat-syarat lain. Di dalam KHI pasal 195 disebutkan, bahwa :

(10)

1. Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi; atau tertulis dihadapan 2 (dua) orang saksi atau Notaris

2. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya

3. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris 4. Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan

dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau Notaris.

Dalam hukum Perdata (BW), wasiat dikenal dengan subtan testament yang diatur pada Buku II Tentang Kebendaan BAB XIII Tentang Surat Wasiat yang memberikan pengertian “wasiat sebagai suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan olehnya dapat dicabut kembali.”

F. Wasiat Dalam Perdata (BW), Hukum Adat

Secara umum, ada empat macam bentuk wasiat yang diatur dalam KUHPerdata, yaitu:12

1. Wasiat Rahasia (Geheim), yaitu wasiat yang dibuat dengan dihadiri oleh 4 orang saksi. Wasiat ini tidak harus ditulis dengan tangan oleh pewasiat, namun harus ditanda tangani sendiri sebagai bukti/pernyataan bahwa surat tersebut berisi wasiatnya. Wasiat yag bersifat rahasia tersebut kemudian diserahkan kepada Notaris untuk disimpan olehnya. Notaris kemudian membuat Akta Penejlasan (Acta Superscriptie) pada bagian luar wasiat atau sampul wasiat yang tersegel penyerahan wasiat rahasia tersebut. Selanjutnya, wasiat yang dibuat tidak dapat ditarik sendiri. Artinya apabila suatu ketika wasiat rahasia akan dibatalkan, maka harus dibuat Wasiat Umum (Openbaar Testament).

(11)

2. Wasiat Umum (Openbaar Testament), yaitu wasiat yang dibuat di hadapan Notaris dan dua saksi (pasal 938 BW). Dalam wasiat tersebut, pembuat wasiat menyatakan kehendaknya mengenai pembagian harta miliknya. Biasanya, pembuat wasiat membuat suatu perincian mengenai jumlah dan jenis hartanya, kemudian harta tersebut ditujukan bagi siapa saja. Wasiat umum ini bisa diubah berkali-kali, sampai akhirnya pembuat wasiat meninggal dunia. Dalam hal demikian, maka yang berlaku adalah wasiat terakhir. Oleh karena itu, dalam awalan setiap wasiat, Notaris harus mencantumkan kalimat, “Dengan ini saya cabut seluruh wasiat yang pernah saya berikan….”

3. Wasiat ditulis sendiri (Olografis), yaitu wasiat yang seluruhnya ditulis dan ditanda tangani sendiri oleh si pembuat wasiat (Pasal 932 ayat 1 BW). Agar wasiat tersebut dapat diketahui secara umum, pembuat wasiat membuat asli surat wasiat yang dibuat sendiri tersebut ke hadapan notaries untuk disimpan. Berbeda dengan wasiat rahasia yang diserahkan dalam bentuk amplop tertutup, wasiat olografis diserahkan dalam keadaan terbuka, lalu Notaris membuat Akta Penyimpanan (Acta van Depot) di bagian bawah wasiat atau pada kertas lain (Pasal 932 ayat 3 BW). Akta penyimpanan ini diperlukan agar tercatat dalam reportorium Notaris yang bersangkutan dan aslinya (minuta) diletakkan sebagai warkah (dokumen pendamping) dalam minuta Akta Penyimpanan terebut. Wasiat dalam bentuk olografis ini bisa ditarik kembali oleh pembuat wasiat.

4. Wasiat Darurat (Pasal 946, 947 dan 948 BW), yaitu wasiat yang dibuat oleh tentara (dalam keadaan perang), orang yang sedang berlayar atau orang yang sedang dikarantina karena penyakit menular. Wasiat ini dibuat di hadapan atasannya karena si calon pewaris dalam keadaan sakaratul maut atau akan meninggal dunia. Namun demikian, wasiat ini sekarang sudah tidak dipakai lagi.

(12)

setelah orang yang menyatakan wasiat itu meninggal. Wasiat dibuat karena berbagai alasan yang biasanya adalah untuk menghindarkan persengketaan, perwujudan rasa kasih sayang dari orang yang menyatakan wasiat, orang yang menyatakan wasiat akan melaksanakan haji dan orang yang menyatakan wasiat merasa ajalnya sudah dekat tetapi masih ada ganjalan semasa hidupnya yang belum terpenuhi. Orang yang menyatakan wasiat dapat mencabut kembali wasiat yang dinyatakan itu atau telah dikrarkan, tetapi tidak dicabut sampai orang yang menyatakan wasiat itu meninggal dunia, maka para ahli wris harus menghormati wasiat itu. Pelaksanaan wasiat dalam hukum adat tidak perlu dilakukan di hadapan notaris, tetapi cukup diucapkan secara lisan di hadapan keluarga atau ahli waris yang hadir pada waktu pernyatan wasiat dilaksanakan.

G. Konsep Wasiat Wajibah Dalam Kewarisan Islam

Wasiat wajibah adalah wasiat yang diwajibkan atas kerabat-kerabat terdekat yang tidak mendapat bagian pusaka (harta warisan).13 Wasiat wajibah pun secara

eksplisit tercantum dalam KHI Pasal 209 ayat (1) yaitu

“Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 yang tersebut di atas sedangkan terhadapn orang tua yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.

Syarat-syarat orang yang berhak atas wasiat wajibah yaitu:14

1. Seseorang yang mendapatkan wasiat wajibah adalah bukan ahli waris. Jika ia menerima sejumlah harta warisan meskipun sedikit,maka tidak wajib wasiat untuknya.

2. Orang yang meninggal seperti kakek atau nenek belum memberikan wasiat kepada anaknya. Harta tersebut mungkin telah diberikan kepada si anak, namun dengan jalan hibah.

13 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 291

(13)

H. Penutup

Sistem kewarisan Islam di Indonesia sudah berlaku sejak zaman prapenjajahan atau sebelum kemerdekaan yaitu pada masa kesultanan Islam dan memberlakukan hukum waris sesuai dengan hukum Islam, kemudian ketika muncul Snouck Hurgonje dan Van Vollenhoven yang melakukan sanggahan terhadap teori receptive in complex dari Van Den Berg ketentuan hukum waris diberlakukan menurut hukum barat dan adat, pada pemberlakuan hukum tersebut berkembang tiga pola pembagian hukum waris yaitu patrilineal, matrilineal dan bilateral.

Tujuan dari hukum kewarisan dan wasiat dalam Islam sebagaimana hukum Islam pada umumnya, keberadaannya adalah untuk menjamin kemaslahatan umat. kemaslahatan tidak akan tercapai tanpa adanya keadilan. Karena itulah jika melalui waris dan wasiat ini telah tercapai keadilan di antara para ahli waris, maka telah sesuai dengan tujuan hukum Islam yaitu memberikan manfaat bagi umatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia,

(14)

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat Islam, Jakarta:Bulan Bintang, 1967.

Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia, 2005.

---, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.

Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011.

Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia,

Yogyakarta: B.P. Gadjah Mada, 1963

Perangin, Effendi, Hukum Waris, Jakarta: Rajawali Press, 2013.

Purnamasari, Irma Devita, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: Kiat-kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami masalah Hukum Waris, Bandung: Kaifa, 2014.

Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001

T. Jafizham, Kaitan Antara Hukum Perkawinan Dengan Hukum Kewarisan,

Referensi

Dokumen terkait

Menurut peneliti sesudah terapi bermain peran siswa mendapatkan wawasan yang akurat terutama tentang cara pencegahan Demam Berdarah Dengue dengan benar, siswa juga

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh persepsi harga, iklan dan kemasan terhadap niat beli pada produk biscuit sandwich Oreo di Surabaya.. Pada

menunjukkan keragaan komponen hasil bobot biji/ malai terbaik, sedangkan produksi biomassa terbaik ditunjukkan oleh varietas Keller dan Wray; kombinasi penggunaan bahan organik

Hasil penelitian menunjukkan genotip berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman; umur berbunga; umur panen; diameter batang; panjang malai; diameter malai;

• Pelatihan dengan kombinasi e-learning dan tatap muka dalam kelas merupakan metoda yang tepat untuk pelatihan bagi kepala dinas.. • Pelatihan tsb dapat meningkatan

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau Page 76 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI) DINI PADA BAYI DI PUSKESMAS

Masalah dalam penelitian ini adalah siswa kurang memiliki sikap kedisiplinan di Sekolah Tersebut serta kurang kepedulian terhadap Peraturan Tata Tertib di Sekolah