• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi Hukum di Indonesia and Implika (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Reformasi Hukum di Indonesia and Implika (1)"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Rabu, 02 September 2015

Reformasi Hukum di Indonesia & Implikasinya

Terhadap Peradilan Agama (Analisis Terhadap

Eksistensi Peradilan Agama di Era Reformasi)

Disertasi | Jaenal Aripin | 2008

-

Temuan penting dalam disertasi ini adalah “rekayasa politik dan juga reformasi struktur hukum yang terjadi setelah tahun 1998, tidak memberikan pengaruh serius terhadap keberadaan Peradilan Agama. Meskipun ada rekayasa politik dari pihak struktural, akan tetapi faktor struktur masyarakat muslim ternyata ebih kuat pengaruhnya bagi keberadaan Peradilan Agama.

-

Disertasi ini melahirkan satu teori baru yang disebut Cultural Existence Theory yaitu “kokohnya keberadaan (eksistensi) Peradilan Agama lebih disebabkan karena dorongan sosial dan budaya (kultur), ia ada (eksis) karena terkait dan/atau dipengaruhi oleh kultur/budaya masyarakat muslim Indonesia. Sepanjang masyarakat muslim ada dan tunduk menjalankan ajaran agamanya, sepanjang itu pula Peradilan Agama akan tetap ada (eksis), meskipun pihak penguasa berusaha menghapuskan Peradilan Agama baik secara politis maupun hukum, namun Peradilan Agama akan tetap ada (eksis) yakni dalam bentuk quasi peradilan.

-

Teori Cultural Existence Theory didasarkan pada beberapa argument pendukung yaitu:

Pertama, sebelum dan sampai pada masa kemerdekaan, eksistensi Peradilan Agama sering mengalami abuse of authority dari penguasa; baik status dan kedudukan maupun kewenangannya. Puncaknya adalah pada tahun 1948, ketika Peradilan Agama dihilangkan secara konstitusional melalui UU No. 19 tahun 1948 dimana yang diakui hanya Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Ketentaraan. Karena mendapatkan protes keras dari umat Islam Indonesia—mengingat UU tersebut tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat muslim Indonesia sebagai entitas yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia secara keseluruhan— akhirnya UU tersebut mati sebelum diberlakukan. Kenyataan ini membuktikan bahwa, upaya penghapusan Peradilan Agama oleh struktur penguasa secara politis dan konstitusional tidak berhasil, mengingat dorongan sosiologis dari masyarakat muslim Indonesia adar Peradilan Agama tetap eksis, jauh lebih kuat.

Kedua, pada awal proses pengalihan Peradilan Agama dari Departemen Agama berada satu atap dibawah Mahkamah Agung atas perintah UU No. 35 tahun 1999, terjadi reaksi keras dalam bentuk penolakan dari umat Islam Indonesia. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Peradilan Agama tidak akan disatu atapkan samai kiamat.

!

(2)

Rabu, 02 September 2015 Penolakan tersebut dikhawatirkan fungsi Peradilan Agama sebagai pranata sosial hukum Islam akan hilang, mengingat proses pembinaannya secara langsung tidak akan melibatkan umat Islam, serta akan hilang hubungan akar historis dengan umat Islam secara keseluruhan-yang direpresentasekan melalui Departemen Agama. Makna sebaliknya dari kenyataan ini adalah, dialihkan saja pembinaannya dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung sudah mendapat protes keras, apalagi kalau sampai Peradilan Agama dihapuskan. Padahal pengalihan tersebut merupakan perintah UU dan sesuai dengan teori-teori hukum dan ketatanegaraan modern yang ada. Termasuk begitu kuatnya faktor sosiologis, menjadi kan Peradilan Agama tetap melibatkan MUI dan Departemen Agama—representase umat Islam Indonesia— dalam proses embinaannya, dan in isecara konstitusional diakui dalam UU No. 4 tahun 2004, walaupun secara teoritis bertentangan dengan teori separation of power.

Ketiga, adanya kewenangan Peradilan Agama baik lama maupun baru seiring diundangkannya UU No. 3 tahun 2006 yakni: ekonomi syariah, zakat, infaq, dan pengakuan anak serta penetapan hasil istbat/ru`yah hilal. Munculnya kewenangan tersebut prakarsa awalnya bukan dilahirkan dari kebijakan penguasa terkait, melainkan lebih disebabkan karena bidang-bidang hukum tersebut secara sosiologis sudah menjadi praktek keseharian umat Islam, yang penyelesaian sengketanya memerlukan mekanisme peradilan. Inilah yang menjadi alasan utama ketika DPR memasukkan kewenangan penyelesainan sengketa ekonomi bidang ekonomi syariah ke Peradilan Agama sebagaimana disebut paada UU No. 3 tahun 2006. bahkan sesungguhnya, Peradilan Agama seharusnya berwenang menyelesaikan seluruh permasalahan yang menyangkut umat Islam, tidak hanya terbatas pada kewenangan tersebut, termasuk juga menyelesaikan perkara pidana.

Keempat, masih banyak hukum materiil yang dipergunakan sebagai pedoman oleh hakim dalam menyelesaikan perkaranya tidak dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainnya, termasuk Kompilasi Hukum Islam. Akibatnya hakim di Peradilan Agama harus berujtihad untuk mengambil hukum-hukum yang hidup di masyarakat (living law) termasuk juga dari kitab-kitab fiqih. Akan tetapi sejauh ini, masyarakat pencari keadilan yang berperkara di Peradilan Agama tidak banyak melakukan protes atau mempertanyakan keabsahannya, bahkan umumnya ereka menerima dan merasa telah mendapatkan rasa keadilan sesuai yang diinginkannya. Padahal bagi negara dengan sistem hukum eropa kontinental, hukum positif dalam bentuk undang-undang atau bentuk peraturan lainnya merupakan sebuah keniscayaan. Mengingat ada atau tidaknya hukum tergantung pada ada atau tidaknya undang-undang (legistik), melanggar hukum atau tidak, indikatornya adalah melanggar atau tidak atas undang-undang.

!

(3)

Rabu, 02 September 2015

Kelima, dalam perspektif normatif, eksistensi Peradilan Agama bila diurut akar tunggangnya sampai pada preseden peradilan (qadha) yang dipraktekkan sejak masa Rasulullah SAW. Karena itu kehadiran Peradilan (Agama) dalam sebuah komunitas masyarakat muslim merupakan norma dan ajaran agama (sunnatullah). Dia ada paralel dan berbanding lurus dengan adanya komunitas masyarakat muslim. Eksistensi dalam bentuk formal atau in-formal bukan menjadi halangan bagi peradilan (Agama) untuk tetap ada (eksis) di tengah-tengah masyarakat.

-

Disertasi ini menguatkan teori tiga elemen sistem hukum (three elements law system)

Lawrence Meier Friedman yang menyatakan bahwa efektif tidaknya penegakan

hukum tergantung pada ketiga elemen sistem hukum “legal structure, legal substance, dan legal culture”. Namun dalam kasus Peradilan Agama, tidak berlaku sepenuhnya (dari ketiga elemen tersebut) mengingat hanya legal culture yang berpengaruh terhadap perubahan Peradilan Agama dan beberapa aspeknya di era reformasi. Juga menguatkan studi yang dilakukan John Bown tentang aplikasi Hukum Islam dan hak-hak perempuan, melalui penelitian antropologi hukumnya ia menyatakan “eksistensi Peradilan Agama bersifat sangat kultural, oleh karenanya ia memiliki kedekatan psikologi dengan pencari keadilan dari kalangan masyarakat muslim.

-

DIsertasi ini berbeda dengan kesimpulan Daniel S. Lev yang menyatakan bahwa “eksistensi Peradilan Agama sesungguhnya sangat bergantung dengan kemauan politik pemerintah yang berkuasa”. Begitu juga kesimpulan disertasi Nur Ahmad Fadhil Lubis di Universitas California tahun 1994 dengan judul Islamic Justice in Transition, A Social Legal Study in the Agama Court Judges in Indonesia dan Muhammad Farid di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008 dengan judul Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia (Periode tahun 1970 sampai tahun 2006) yang menyatakan bahwa “…maju mundurnya keberadaan dan peran Peradilan Agama dalam episode perkembangannya amat ditentukan oleh faktor politik yakni oleh pemerintah yang berkuasa”.

-

Aspek akses masyarakat dan keadilan yang dirasakan oleh para pihak, sudah diteliti tahun 2008 oleh Legal Development Fasilities kerjasama Family Court Australia dengan Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI termasuk juga tentang performance Peradilan Agama dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya, juga diteiti oleh The Asia Foundation kerjasama dengan A.C Nielson tahun 2004, yang menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga hukum yang memiliki indeks performance tertinggi yakni 8 bila dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya.

!

(4)

Rabu, 02 September 2015 Beberapa masalah yang muncul:

-

Independensi badan peradilan agama saat hakim agung masih dipilih oleh Presiden & DPR.

-

Pengaruh dan intensitas hakim dalam menggunakan hukum non-positif (living law) dalam setiap putusan. Kajian ini bisa ditelusuri menggunakan putusan-putusan yang dikeluargakan oleh Peradilan Agama.

-

Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah harus ditingkankan kedudukan sebagai Undang-undang hukum terapan. Mengingat sifat dari kompilasi tersebut masih debatable legal formalnya.

!

Referensi

Dokumen terkait

Masih rendahnya beban kerja petugas keamanan kampus dan sangat jarangnya proses pemeriksaan surat kendaraan sebagai proses seleksi pengamanan obyek yang keluar dari kampus

Menjelaskan dan membedakan perusahaan perorangan, firma, komanditer, koperasi & PT Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa

Bagian selanjutnya berupa saluran yang agak sempit, yaitu sinus urogenitalis bagian panggul, yang pada pria membentuk uretra pars prostatika dan pars membranosa.. Bagian terakhir

 Memperoleh bukti tambahan yang cukup untuk menentukan apakah saldo akhir dan catatan kaki dalam laporan keuangan dinyatakan wajar.  Sifat dan tingkat pekerjaan sangat

Untuk pertanian masa panen sekitar empat bulan antara bulan agustus sampai november, sedangkan masa tanam antara bulan januari sampai maret, jadi masyarakat muara

Hasil indek seritrosit sebanyak 1 orang (4%) berjenis kelamin laki-laki mengalami anemia mikrositikhipokrom yang bias disebabkan oleh defisiensi besi, dan 1 orang

Karena lama pengeringan bahan dapat mempengaruhi komponen minyak nilam yang memiliki titik didih rendah sebagian telah menguap pada saat pengeringan, sehingga yang

Digunakannya asam sulfat sebagai katalis, asam benzoate sebagai asam karboksilat dan methanol sebagai alcohol, katalis, asam benzoate sebagai asam karboksilat dan