NILAI-NILAI AJARAN ZEN BUDDHISME DALAM
ESTETIKA KERAMIK TRADISIONAL JEPANG
NIHON NO DENTOUTEKINA YAKIMONO NO BIGAKU NO ZEN NO BUKKYOU NO KYOUKUN NO KACHI
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera
Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu
Sastra Jepang
OLEH:
Eva Nurintan Silalahi
NIM: 050708026
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat,
rahmat, anugrah dan perllindungan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi yang berjudul “Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme
dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang” ini diajukan untuk memenuhi
persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program
Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
Dalam pelaksanaan penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima
bantuan dan bimbingan moril dan materiil dari berbagai pihak. Untuk itu, pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta
penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu
penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:
1. Bapak Prof. Drs. Syaifuddin M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas
Sastra Univeritas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S, Ph.D, selaku Ketua
Program Studi S-1 Sastra Jepang Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I,
yang dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan
banyak waktu, pikiran dan tenaga dalam membimbing,
mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini.
4. Ibu Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II,
yang dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan
5. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk
membaca dan menguji skripsi ini. Terima kasih juga penulis
ucapkan Kepada semua Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra
Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak
ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
perkuliahan dengan baik. Terima kasih juga penulis ucapkan untuk
Bang Amran yang juga telah banyak membantu penulis.
6. Keluarga penulis, Alm. S. Silalahi dan T. Br. Purba, atas segala
cinta, kasih, doa dan semangat yang diberikan tiada henti.
Kakak-kakakku tersayang, Kak Uun, Bunda Adit, Embot, dan Nenca, serta
adikku Deddy Kurniawan Silalahi yang selalu memberi semangat
dan dukungan.
7. Buat teman-teman penulis: Debby, Dewi, Mae, Ocha, Rani, Ira,
Vika, Nurul, Ellys, Gunawan, Tano-six Gurupu, dann
teman-teman ’05 yang lain, yang selalu semangat juga menguatkan satu
sama lain dalam menyelesaikan studi serta telah membagi begitu
banyak hal selama menjalani proses belajar di Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.
8. Kepada Bobby Hard Satria Zalukhu yang tiada bosannya
memberikan semangat dan perhatian kepada penulis.
9. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan Skripsi ini, yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini,
kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara
maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha
merampungkan skripsi penulis tersebut.
Medan, Oktober 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………...1
1.2 Perumusan Masalah………...………..6
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan………7
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……….8
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian………..15
1.6 Metode Penelitian……….………..16
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KERAMIK TRADISIONAL JEPANG DAN ESTETIKA ZEN BUDDHISME DI JEPANG 2.1Sejarah dan Perkembangan Keramik di Jepang……….17
2.1.1 Sejarah Keramik Tradisional Jepang………18
2.1.2 Pengertian Keramik Tradisional Jepang………...19
2.1.2.1 Proses Pembuatan Keramik Tradisional Jepang…...20
2.1.2.2 Jenis-jenis Keramik Tradisional Jepang………28
2.2 Zen Buddhisme di Jepang………..31
2.2.1 Masuknya Ajaran Zen Buddhisme di Jepang………33
2.2.2 Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme Dalam Masyarakat Jepang………...36
2.3 Dasar-dasar Estetika Jepang………...42
2.3.2 Nilai Estetika Jepang Berdasarkan Ajaran Zen
Buddhisme………....48
BAB III NILAI-NILAI ZEN BUDDHISME DALAM ESTETIKA KERAMIK TRADISIONAL JEPANG 3.1 Nilai Ketidaksimetrisan………..54
3.2 Nilai Kealamian…………...………..57
3.3 Nilai Kesederhanaan………..62
3.4 Nilai Kedalaman Rasa………67
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1Kesimpulan...……….73
4.2 Saran………...……75
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seni merupakan salah satu hasil kebudayaan yang diciptakan manusia
untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan. Menurut Baumgarten
dalam Simbolon (1996:5) seni adalah keindahan. Keindahan merupakan wujud
bahkan tujuan seni. Dalam kehidupan, manusia tidak dapat dipisahkan dengan
seni. Seni adalah bagian dari kehidupan manusia sejak zaman purba sampai masa
kini dan nanti. Seni merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sama
mendesaknya dengan kebutuhan primer lainnya seperti sandang, pangan dan
papan. Manusia memerlukan seni sebagai sarana pemuasan ekspresi dalam semua
bentuknya (Dharmawan, 1987:1)
Seni dibuat untuk menghadirkan estetika di tengah-tengah masyarakatnya.
Menurut Batteaux dalam Dharmawan (1987:1) “Seni Murni” atau “Pure Art”
adalah seni yang terutama menghasilkan karya-karya dengan kepentingan estetis
seperti seni lukis, seni pahat, seni kriya (termasuk seni keramik), seni musik, dsb.
Jika berbicara mengenai estetika berarti berbicara mengenai nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya. Dalam seni, nilai adalah kualitas yang
membangkitkan apresiasi. Nilai berbeda dengan fakta, sering semata-mata bersifat
khayali. Nilai diungkapkan dalam seni dengan tujuan untuk menghadirkan
estetika.
Estetika secara sederhana adalah ilmu yang membahas keindahan,
Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang
mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap
sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi
seni.
Dapat disimpulkan bahwa nilai estetika merupakan hal-hal abstrak yang
dapat membangkitkan apresiasi terhadap karya seni. Keindahan merupakan hal
abstrak yang terkandung di dalam karya seni tersebut. Dengan kata lain,
keindahan merupakan salah satu dari nilai estetika yang terkandung dalam suatu
karya seni.
Pandangan mengenai nilai estetika oleh suatu masyarakat berbeda dengan
masyarakat yang lain. Perbedaan ini pada umumnya dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain : faktor agama, struktur sosial, perekonomian dan budaya.
Faktor-faktor tersebut juga mendukung terbentuknya nilai estetika yang bersifat
khas pada suatu masyarakat. Salah satu nilai estetika yang bersifat khas dapat
dilihat pada masyarakat Jepang.
Jepang adalah suatu bangsa dengan budaya yang mempunyai pandangan
estetika yang intim antara seni, kehidupan dan alam. Orang-orang Jepang hidup
akrab dengan alam agar seni mereka tetap intim dengan alam. Orang Jepang
senang mengamati pergantian alam dan berharap untuk menikmatinya dalam
media seni (Sutrisno, 1993:111). Dengan demikian, yang menjadi titik estetika di
Jepang adalah alam, karena alamlah yang mengisi hampir semua objek seni
budaya Jepang. Alam pulalah yang saling memperdalam antara religiositas
estetikanya, hanya ada satu fenomena Jepang yang terus mengalir menembus alur
kemajuan zaman yaitu alam (Sutrisno, 1993:118).
Bangsa Jepang memiliki pandang yang berbeda tentang estetika jika
dilihat dari sudut pandang dunia Barat mengenai kehampaan. Salah satu dasar
pemikiran Barat adalah bahwa apa yang kosong (hampa) dianggap tidak menarik.
Hanya yang “berisi” atau penuh lah yang menarik. Namun, bangsa Jepang
menganggap bahwa kehampaan itu mempunyai arti, memiliki sesuatu yang
menarik untuk diperhatikan. Kekosongan itu dianggap “menampilkan” sesuatu.
Kehampaan dapat menjadi positif dan selalu bersifat dinamis (Sutrisno,
1993:116-117).
Disamping itu, terdapat faktor khas yang membentuk estetika Jepang.
Faktor yang membentuk nilai estetika yang khas pada masyarakat Jepang adalah
faktor agama, yaitu Zen Buddhisme. Dalam ajaran Zen ditekankan nilai-nilai
kesederhanaan dan juga kealamian yang mengikuti garis alam serta tidak adanya
unsur buatan. Pengaruh Zen dalam kehidupan bangsa Jepang sangat kuat karena
kesederhanaan ajarannya. Pandangan Zen dalam memandang keindahan pun
demikian, yaitu setiap orang harus masuk ke “objek” itu sendiri, ke inti realitas
dan kemudian melihat dan merasakan estetika itu sendiri dari dalam. Pendekatan
ini menunjukkan bahwa Zen Buddhisme memberikan pengaruh spiritual yang
sangat besar dalam memahami estetika. Salah satu seni di Jepang yang sangat
dipengaruhi oleh ajaran Zen Buddhisme adalah seni keramik.
Seni Keramik adalah cabang seni rupa yang mengolah material keramik
untuk membuat karya seni dari yang bersifat tradisional sampai modern atau
fungsionalitas dan produksinya. Pada dasarnya keramik di kategorikan dalam dua
kategori, yaitu keramik tradisional dan keramik modern atau keramik canggih.
Keramik tradisional dibentuk dari tanah liat, seperti gerabah, porselen, tembikar
dan sebagainya. Fungsi keramik tradisional biasanya adalah sebagai peralatan
makan dan minum serta benda dekor, sedangkan keramik modern berfungsi untuk
bidang teknis seperti pada industri elektronika, informatika, konstruksi bahkan
pada bidang kedokteran (Astuti, 1997:1-6).
Keramik menggunakan materi tanah liat yang berbeda-beda serta
menggunakan teknik pembuatan dan pembakaran yang berbeda pula. Namun,
sebagai aplikasi dari nilai Zen tentang kesederhanaan dan kealamian, proses
pembakaran cenderung tanpa teknik atau apa adanya. Dengan kata lain,
memberikan kesempatan pada alam untuk memberikan bentuk dan warna pada
keramik.
Pada awalnya perkembangan seni keramik di Jepang dipengaruhi oleh
upacara minum teh yang berkembang pada abad ke-16. Upacara minum teh
sebenarnya merupakan sebuah wujud dari seni keindahan dalam kesederhanaan
yang dianut dari ajaran Zen Buddhisme. Menurut Katayagani dalam Ishikawa
(2005:6), upacara minum teh mengandung nilai-nilai yang disebut dengan estetika
wabi-sabi yang merupakan salah satu ajaran Zen Buddhisme.
Para ahli minum teh ingin agar peralatan makan dan minum mereka
mengekspresikan semangat estetika wabi-sabi sehingga kemudian menggunakan
pengaruh mereka dengan memerintahkan para pengrajin untuk membuat mangkuk
Karya-karya keramik di Jepang pun terimbas dengan falsafah ajaran Zen
Buddhisme tersebut. Bentuk keramik yang dihasilkan sangatlah sederhana, alami,
dan bahkan asimetris, yaitu bagian kiri dan kanan tidak seimbang atau sama. Hal
ini menunjukkan bahwasanya di dalam karya keramik tradisional Jepang terdapat
nilai-nlai Zen Budhhisme sehinga menghasilkan nilai estetika yang khas.
Estetika wabi-sabi tersebut mengekspresikan beberapa nilai ajaran Zen
yang tidak terlepas dari kewajaran atau bersifat alami. Diantaranya adalah fukinsei
(asimetris atau ketidakteraturan), kanso (kesederhanaan yang rapi dan segar), koko
(esensi), shizen (kewajaran atau kealamian), yugen (bermakna atau rasa yang
mendalam), datsuzoku (kebebasan yang tidak terikat), shibui (kesederhanaan dan
keindahan seadanya), wabi (kekayaan dalam kesederhanaan), sabi (kesendirian
dan ketidakberaturan), dan seijaku (hening atau tenang) (Iswidayati, 1995:141).
Berdasarkan estetika wabi-sabi tersebut, keramik tradisional Jepang
mengandung nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme, yaitu nilai ketidaksimetrisan, nilai
kealamian, nilai kesederhanaan serta nilai kedalaman rasa. Nilai-nilai tersebut
merupakan estetika yang khas pada karya-karya keramik tradisional Jepang.
Berdasarkan uraian di atas, seni keramik ternyata mendapat pengaruh yang
besar dari Zen Buddhismen. Dalam ajaran Zen Buddhisme, terdapat suatu konsep
estetika yang dipedomani di Jepang, yaitu estetika wabi-sabi. Berdasarkan
estetika wabi-sabi tersebut keramik tradisional Jepang pun mengandung nilai-nilai
ajaran Zen Buddhisme. Hal tersebutlah yang mendorong rasa ingin tahu penulis
untuk meneliti lebih lanjut mengenai nilai estetika keramik Jepang dan memilih
judu l skripsi “Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme pada Estetika Keramik
1.2 Perumusan Masalah
Seni keramik merupakan salah satu bentuk tradisi kebudayaan Jepang
yang masih populer sampai sekarang. Seni keramik di Jepang memiliki
keistimewaan., baik dari segi bentuknya maupun dari segi nilai estetika yang
melekat padanya.
Keramik tradisional Jepang sebagai sebuah karya seni memiliki nilai
estetika yang khas. Dalam hal ini, nilai estetika pada keramik Jepang tidak
terpisahkan dari pandangan hidup masyarakat Jepang yang dipengaruhi oleh
ajaran Zen Buddhisme. Karena pandangan tentang nilai estetika di dalam ajaran
Zen Buddhisme menampilkan keindahan dari seni keramik Jepang yang
sederhana dan alami.
Pandangan tentang nilai estetika dalam Zen Buddhisme yaitu estetika
wabi-sabi, sangat jelas terlihat pada keramik Jepang. Karena dipengaruhi oleh
nilai estetika tersebut, bentuk keramik Jepang sangatlah sederhana, alami dan
bahkan asimetris (bagian kanan dan kiri tidak seimbang atau sama) sehingga
bentuknya terlihat tidak sempurna. Namun, inti dari estetika wabi-sabi dalam
keramik Jepang adalah mencari keindahan dalam ketidaksempurnaan tersebut.
Berdasarkan estetika wabi-sabi, terdapat nilai-nilai yang menjadi
karakteristik estetika Jepang, yaitu nilai fukinsei (asimetris atau ketidakteraturan),
kanso (kesederhanaan yang rapi dan segar), koko (esensi), shizen (kewajaran atau
kealamian), yugen (bermakna atau rasa yang mendalam), datsuzoku (kebebasan
yang tidak terikat), shibui (kesederhanaan dan keindahan seadanya), wabi
(kekayaan dalam kesederhanaan), sabi (kesendirian dan ketidakberaturan), dan
Berdasarkan estetika wabi-sabi, terdapat beberapa nilai ajaran Zen
Buddhisme yang terkandung dalam estetika keramik Jepang. Nilai-nilai tersebut
adalah nilai ketidaksimetrisan, nilai kealamian, nilai kesederhanaan dan nilai
kedalaman rasa. Nilai-nilai tersebutlah yang membangun keramik Jepang menjadi
satu kesatuan karya seni yang memiliki estetika yang khas dan menarik untuk
diteliti.
Berangkat dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka penulis membuat
permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan keramik tradisional
Jepang?
2. Bagaimana nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme di Jepang?
3. Bagaimana nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme pada estetika
keramik tradisional Jepang?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Sesuai dengan judul skripsi, yaitu “Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme pada
Estetika Keramik Tradisional Jepang” maka penulis akan membahas lebih lanjut
mengenai keramik tradisional Jepang beserta nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme
yang terkandung dalam estetikanya. Untuk mengetahui lebih dalam tentang
hubungan tersebut, penulis akan membahas sejarah dan perkembangan keramik
tradisional Jepang serta ajaran Zen Buddhisme di Jepang. Penulis juga akan
mengarahkan pembahasan kepada nilai estetika yang dipercayai oleh masyarakat
Jepang secara umum. Kemudian, penulis akan mengarahkan pembahasan kepada
Bedasarkan nilai-nilai estetika tersebut, penulis akan mengarahkan pembahasan
kepada nilai ketidaksimetrisan, nilai kealamian, nilai kesederhanaan, dan nilai
kedalaman rasa yang tecermin dalam keramik tradisional Jepang. Penulis tidak
membahas mengenai keramik modern karena penulis tidak melihat adanya
pengaruh ajaran Zen Buddhisme yang terkandung dalam nilai estetika keramik
modern Jepang.
Berdasarkan fakta-fakta tersebutlah nantinya akan ditinjau bagaimana
nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme yang terkandung dalam estetika keramik
tradisional Jepang dengan cara menunjukkan nilai-nilai estetika wabi-sabi tentang
keindahan, kesederhanaan, ketidaksimetrisan, dan kedalaman rasa yang tercermin
dalam keramik tradisional Jepang.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1. Tinjauan Pustaka
Keramik merupakan salah satu dari karya seni. Setiap karya seni pastilah
mempunyai nilai estetika tersendiri sesuai dengan masyarakatnya. Disini penulis
telah mengutip pandangan dari beberapa tokoh tentang seni dan nilai estetika yang
berguna untuk mempermudah dalam memahami nilai estetika yang terkandung
pada keramik Jepang.
Menurut Baumgarten dalam Simbolon (1996:5) seni adalah keindahan.
Seni merupakan wujud bahkan tujuan seni. Oleh karena itu, segala manifestasi
yang sempat dilahirkan sebagai hasil-hasil pengolahannya haruslah menjadikan
orang lain senang. Sedangkan menurut Tolstoy dalam Simbolon (1996:6) seni
mengungkapkan keindahan baik dengan perantaraan bentuk, garis dan warna
sehingga orang lain dapat merasakan dan menikmati keindahan tersebut.
Menurut Hegel dalam Wiryomartono (2001:39) seni adalah manifestasi
dari manusia untuk membawa keindahan alam raya ke dalam ranah budaya. Seni
bukanlah produk alam. Seni adalah buah karya yang diciptakan secara mendasar
untuk manusia kurang atau lebih melalui medium indrawi dan dialatkan pada
tangkapan indrawinya. Seni senantiasa mengandung tujuan yang mengikatnya
dengan manusia.
Hagel juga mengatakan bahwa karya seni adalah untuk membawa
kejelasan mana yang alami dan mana yang kultural. Sejauh prinsip-prinsip alami
dipenuhi oleh sebuah karya seni, sejauh itu pula yang harus dikenali oleh manusia
sebagai artisnya, sebagai penggugah rasa dan perasaan. Karya seni secara hakiki
akan membuat manusia baik sebagai seniman maupun sebagai pengamatnya
merasa kerasan. Karya seni disajikan untuk pemahan indrawi yang melibatkan
rasa dan perasaan manusia.
Menurut Sedyawati (2006:364) istilah “estetika” pada dasarnya mengacu
pada wacana yang otonom mengenai “baik” dan “indah” dalam kesenian.
Uraian-uraian mengenai hal tersebut dapat dilihat pada operasi karya-karya seni itu
sendiri, baik ketika diciptakan maupun ketika diserap dan dinikmati.
Menurut Agustinus dalam Sutrisno (1993:32) keindahan adalah
pandangan-pandangan tentang keselarasan, keseimbangan, keteraturan, dan
lain-lain, sebagai ciri-ciri khas keindahan.
Menurut Clive Bell dalam Sutrisno (1993:82) keindahan hanya dapat
mengenali wujud bermakna dalam suatu benda atau karya seni tertentu dengan
getaran atau rangsangan keindahan.
Dalam seni keramik di Jepang terdapat nilai estetika yang khas yaitu
berdasarkan ajaran Zen Buddhisme. Menurut Sutrisno (1993:130-132) pada
dasarnya Zen adalah seni untuk melihat kodrat diri sendiri dan dengan demikian
menjadi Buddha. Zen mampu meleluasakan kekuatan-kekuatan alami manusia,
mencegah kelesuan dan menyemangati manusia menuju kebahagiaan. Pengaruh
spiritual Zen juga mampu mewarnai ciri umum dalam karya seni, yaitu gaya
sudut-tunggal, wabi-sabi, serta ketidaksimetrisan (bagian yang satu dengan yang
lainnya tidak sama atau seimbang).
Wabi-sabi sebagai sistem estetika yang komprehensif, telah mempunyai
jangkauan ruang lingkup yang luas antara lain ; ajaran moral, spiritual, metaphisik,
ekspresi dan kualitas benda. Prinsip-prinsip ajaran Zen telah digunakan sebagai
acuan dalam menentukan kaidah-kaidah estetis termasuk unsur-unsur dan prinsip
seni Jepang. Karakteristik estetika Jepang tersebut adalah fukinsei (asimetris atau
ketidakteraturan), kanso (kesederhanaan yang rapi dan segar), koko (esensi),
shizen (kewajaran atau kealamian), yugen (bermakna atau rasa yang mendalam), datsuzoku (kebebasan yang tidak terikat), shibui (kesederhanaan dan keindahan
seadanya), wabi (kekayaan dalam kesederhanaan), sabi (kesendirian dan
ketidakberaturan), dan seijaku (hening atau tenang).
Wabi secara harfiah berarti kesederhaan. Wabi adalah kekayaan rohaniah
(bathin) dalam kemelaratan (fisik). Dalam pemakaian sehari-hari , kata ini berarti
hidup di dalam pondok kecil, kekurangan biaya hidup, bagaikan tanaman hampir
spiritual yang dipakai dalam menghargai benda dan seni. Prinsip Zen tentang wabi
adalah gabungan prinsip Konfucius, Tao, Budha dan Shinto yang berfokus pada
pandangan petapa dan mengapa petapa mengejar hidup terang dalam kesendirian.
Prinsip filosofinya adalah mengurangi ego dan dunia materi yang memberikan
penderitaan, ketakutan akan kematian, penghargaan terhadap hidup dan
menyelaraskan hidup dengan alam.
Sedangkan sabi berarti suatu bentuk kesendirian, keterasingan dan
ketidakberaturan. Sabi mengarah kepada objek individual dan keadaan lingkungan
secara umum.
Penulis sendiri berpendapat bahwa suatu karya seni haruslah memiliki
nilai estetika. Nilai estetika tersebut haruslah memiliki unsur keindahan yang
merupakan perpaduan antara unsur-unsur yang harmonis serta dapat memberikan
arti bagi setiap penikmatnya. Dalam estetika keramik tradisional Jepang nilai-nilai
ajaran Zen sangat berpengaruh besar. Estetika wabi-sabi dan nilai-nilai ajaran Zen
di dalamnya membangun nilai estetika keramik tradisioanal Jepang.
2. Kerangka Teori
Penulis menggunakan konsep religi yang bertujuan untuk menganalisa
dengan lebih baik terhadap keterkaitan ajaran Zen Buddhisme terhadap seni
keramik Jepang. Konsep religi menurut Koentjaraningrat dalam Barus (2008:9),
yaitu sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari
hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk halus yang
mendiami alam gaib.
Konsep historis atau sejarah juga digunakan penulis dalam penelitian ini,
Zen Buddhisme di Jepang. Menurut Kaelan (2005:61), sejarah adalah
pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sedangkan menurut
Nevin dalam Kaelan (2005:61), sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari
keadaan-keadaan, kejadian-kejadian atau fakta-fakta yang terjadi pada masa
lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari
kebenaran.
Pengaruh terbesar dari seluruh aliran Buddhis dalam sejarah Jepang adalah
Zen, yang masuk melalui daratan Korea dan Cina, dari asalnya India. Selanjutnya
Zen masuk ke Jepang pada masa Kamakura (1185-1236) yang berpengaruh secara
mendalam pada kehidupan militer dan karya seni bahkan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Jepang.
Pada bidang kesenian, Zen memiliki pengaruh yang amat besar bagi
masyarakat Jepang dalam berkarya cipta dan dalam cara mereka memandang
estetika. Estetika seni keramik Jepang juga mendapat pengaruh yang besar dari
ajaran Zen. Karena itulah dalam pembahasan ini penulis akan melakukan
pendekatan terhadap nilai estetika menurut ajaran Zen.
Zen, pada dasarnya adalah seni untuk melihat kodrat diri sendiri dan
dengan demikian menjadi Buddha. Zen mampu meleluasakan kekuatan-kekuatan
alami manusia, mencegah kelesuan dan menyemangati manusia menuju
kebahagiaan. Pengaruh spiritual Zen juga mampu mewarnai ciri umum dalam
karya seni, yaitu gaya sudut-tunggal (ditemukan pada seni lukis), wabi dan sabi,
serta ketidaksimetrisan (bagian yang satu dengan yang lainnya tidak sama atau
Pendekatan Zen terhadap realitas yang juga mempengaruhi ekspresi seni
mereka dapat dirunut lewat pendekatannya yang berlawanan dengan pendekatan
ilmiah. Zen masuk ke dalam obyek itu sendiri, ke inti realitas. Maka pengamatan
terhadap realitas selalu didahului dengan pemerenungan dalam keheningan untuk
melihat apakah semuanya itu memang ada sebagaimana adanya. Tidak justru
keluar, mengambil jarak agar bisa menalari obyek secara logis sebagaimana
terjadi dalam pemikiran barat (Sutrisno, 1993:129).
Menurut Sen no Rikyu, wabi adalah suatu bentuk kekayaan dalam
kemiskinan dan keindahan dalam kesederhanaan, sedangkan sabi berarti suatu
bentuk kesendirian, keterasingan dan ketidakberaturan. Penggunaan nilai wabi
dan sabi terdapat dalam seni keramik di Jepang yang menonjolkan ciri kealamian
dan sederhananya (Hulu, 2007: 54).
Menurut penulis secara pribadi, estetika keramik tradisional Jepang sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme. Nilai-nilai ajaran Zen tersebut
terdapat dalam konsep estetika wabi-sabi. Nilai-nilai tersebut membangun nilai
estetika yang khas pada keramik tradidional Jepang.
Selain itu, dalam pembahasan skripsi ini, penulis juga melakukan
pendekatan dengan teori semiotika, karena teori semiotika dapat digunakan
sebagai metode dalam memaparkan nilai-nilai estetika dan sesuatu yang bersifat
tekstual (Marx Bense dalam Sachari, 2002:61).
Menurut Paul Cobley dan Litza Janz dalam Ratna (2004:97) semiotika
berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion/seme yang berarti tanda/penafsir tanda.
Semiotika adalah studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda,
Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotik dapat diterapkan pada
semua bidang kehidupan asalkan persyaratannya dipenuhi, yaitu ada arti yang
diberikan, ada pemaknaan dan ada interpretasi (van Zoest dalam Christomy,
2004:79).
Menurut Pradopo (2002:271) semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda.
Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu
merupakan tanda-tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Tanda mempunyai dua sapek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified).
Petanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda,
sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu, yaitu artinya.
Menurut Hoed dalam Nurgiyantoro (1995:40) tanda adalah sesuatu yang
mewakili sesuatu yang lain, yang dapat berupa pengalaman, perasaan, pikiran atau
gagasan dan lain-lain. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan
sempurna. Namun yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja,
melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini misalnya warna, baju,
bendera, karya seni dan sebagainya.
Jadi, pada dasarnya analisis semiotika menganalisis atau meneliti suatu
tanda yang terdapat dalam kajian yang diteliti. Dalam hal ini, proses pembuatan
dan keramik tradisional Jepang itu sendiri akan dijadikan tanda yang akan
menunjukkan adanya nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme yang tercermin dalam
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pembahasan di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai
berikut:
1) Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan keramik di Jepang.
2) Untuk mengetahui nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme di Jepang.
3) Untuk mengetahui nilai ajaran Zen Buddhisme pada estetika
keramik trdisional Jepang
2. Manfaat Penelitian
Dengan dibahasnya pengaruh Zen Buddhisme pada nilai estetika keramik
di Jepang, maka diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi:
a) Penulis sendiri yaitu dapat menambah wawasan dan pengetahuan
penulis tentang keramik Jepang terutama nilai ajaran Zen
Buddhisme pada estetika keramik tradisional Jepang.
b) Peningakatan ilmu pendidikan khususnya di bidang pranata
masyarakat dan kebudayaan Jepang.
1.6 Metode Penelitian
Di dalam melakukan sebuah penelitian dibutuhkan metode sebagai
penunjang untuk mencapai tujuan. Metode adalah cara melaksanakan penelitian.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut
Koentjaraningrat (1976:30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan
kelompok tertentu. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat
deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki
(Nazir,1988:63).
Dalam mengumpulkan data-data penelitian ini, penulis menggunakan
teknik studi kepustakaan (library research), dengan mengambil sumber acuan dari
berbagai buku dan artikel yang berhubungan dengan keramik di Jepang, seni dan
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP KERAMIK TRADISIONAL JEPANG
DAN ESTETIKA ZEN BUDDHISME DI JEPANG
2.1 Sejarah dan Perkembangan Keramik di Jepang
Seni keramik adalah seni yang paling sederhana dan sekaligus paling rumit
dalam proses pembuatannya, karena dalam proses tersebut sangat bergantung
pada alam. Seni keramik dipandang dari segi bentuk merupakan seni murni,
atinya seni yang terbebas dari segala macam peniruan dan mempunyai esensi
paling abstrak.
Selain itu, seni keramik merupakan hasil kebudayaan manusia yang
terwujud dalam bentuk keramik serta memiliki fungsi dan nilai-nilai tertentu.
Keramik diproses melalui beberapa tahapan dan dari berbagai komponen bahan
baku yang diperoleh dari lingkungan alam. Ditinjau dari bahan dasarnya, keramik
mempunyai arti suatu barang atau benda yang berasal dari bahan alam, tanah dan
batu-batuan silikat, anorganis, non logam, yang pembuatannya melalui proses
pembakaran suhu tinggi.
Selain itu, dikatakan pula bahwa yang termasuk keramik bukan hanya
produk-produk yang berupa guci, melainkan termasuk bahan bangunan (semen,
batu bata, kapur tohor, genteng dan lain-lain), bahan refrektori (bata tahan api dan
semen tahan api dan sebagainya), bahan email, bahan gelas, dan porselen (Astuti,
1997:6). Selanjutnya keramik juga diklarifikasikan berdasar struktur bahan dan
temperatur suhu bakarnya, yaitu: gerabah (earthen ware) , tembikar (stone ware),
Kendatipun keanekaragaman jenis keramik yang diuraikan di atas,
penulisan ini difokuskan pada pengertian seni keramik, yaitu hasil karya manusia
yang menggunakan medium tanah liat sebagai wadah apresiasi manusia.
2.1.1 Sejarah Keramik Tradisional Jepang
Keramik pertama kali dibuat di Jepang sekitar 13.000 tahun yang lalu.
Pada saat itu, benda yang dihasilkan secara umum adalah berupa periuk besar
untuk merebus. Dekorasinya dihasilkan dengan cara menggiling atau menekankan
jalinan tali pada permukaannya. Karena pola dekorasi inlah, barang tanah liat
pada zaman ini disebut dengan jomon doki (jo = tali; mon = pola; doki = barang
tanah liat). Sekitar 5.000 tahun yang lalu, selama zaman Jomon, beberapa desain
yang sangat dinamis muncul, termasuk ornament ombak pada bibir periuk dan
pola-pola aneh yang menutupi setiap permukaannya.
Pada zaman Yayoi berikutnya, jenis tembikar baru diperkenalkan dari
semenanjung Korea. Tembikar Yayoi merupakan bagian dari kehidupan
sehari-hari masyarakat Jepang pada saat itu, terutama digunakan sebagai tempat
penyimpanan, memasak dan peralatan makan. Tembikar pada zaman ini tidak
semeriah pada zaman Jomon dan warnanya yang muda menciptakan kesan lembut.
Sekitar abad ke-7, para pengrajin Jepang pergi mempelajari teknik-teknik
pembuatan keramik ke Korea dan Cina. Mereka mempelajari menggunakan glasir
dan pembakaran dengan suhu rendah. Selama berabad-abad masyarakat Jepang
menggunakan teknik seperti yang dilakukan di Cina dan Korea.
Pada sekitar abad ke-11 ajaran Zen Buddhisme masuk ke Jepang dari Cina.
termasuk diantaranya budaya penjamuan teh. Dalam perkembangannya, Zen telah
memiliki pengaruh yang kuat pada kebudayaan Jepang.
Bersamaan dengan itu, berkembang pulalah kebudayaan penjamuan teh
yang kemudian dikenal dengan cha no yu atau cha do. Zen Buddhisme sangat erat
hubungannya dengan upacara minum teh. Berdasarkan Zen Buddhisme, upacara
minum teh merupakan perwujudan dalam mencari keindahan yang mendalam,
serta berperan penting dalam pengembangan kepekaan estetis dan rasa keindahan.
Di lain sisi, upacara minum teh memberikan pengaruh besar terhadap
perkembangan keramik di Jepang. Para ahli atau guru pada upacara minum teh
ingin agar peralatan makan dan minum mereka juga mengekspresikan semangat
Zen khususnya nilai estetikanya (estetika wabi-sabi), sehingga kemudian
menggunakan pengaruh mereka untuk memerintahkan para pengrajin keramik
untuk membuat peralatan yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Karya-karya keramik di Jepang pun terimbas dengan falsafah ajaran Zen
Buddhisme. Bentuk keramik yang dihasilkan sangatlah sederhana, alami dan
bahkan asimetris atau tidak beraturan bentuknya.
2.1.2 Pengertian Keramik Tradisional Jepang
Keramik dapat digolaongkan menjadi dua jenis, yaitu keramik tradisional
dan keramik canggih atau keramik modern. Dalam pembahasan ini hanya akan
membahas mengenai keramik tradisional saja, khususnya keramik tradisional
Jepang. Untuk selanjutnya akan disebut dengan kata “keramik” saja.
Keramik dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu gerabah (earthen
tanah liat yang berbeda-beda. Namun gerabah dan tembikar memiliki persamaan,
yaitu tanah liatnya berwarna merah dan bersifat plastis, sedangkan porselen tanah
liatnya putih dan tidak plastis sehingga tidak dapat diolah dengan tangan.
Dalam perkembangannya, keramik putih atau porselen tidak mendapat
pengaruh berarti dari ajaran Zen Buddhisme, sehingga keramik porselen tidak
digunakan dalam upacara minum teh. Hal ini disebabkan sifat tidak plastis yang
dimiliki oleh porselen yang mengharuskannya menggunakan peralatan khusus dan
bahan tambahan (berupa zat kimiawi) dalam proses pembuatannya. Hal ini
bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme tentang kealamian dan
kesederhanaan.
2.1.2.1 Proses Pembuatan Keramik Tradisional Jepang
Proses pembuatan keramik terdiri dari: pengolahan bahan baku,
pembentukan, dekorasi dan pewarnaan, serta pembakaran. Proses pembuatan
keramik akan diuraikan dalam penjelasan berikut ini:
1. Pengolahan Bahan Baku
Sebelum melakukan pembentukan, harus dilakukan pengolahan bahan
baku (tanah liat mentah) yang diambil dari alam yang kemudian dibersihkan dari
kotorannya dengan cara menghancurkan (funsai). Setelah bersih dan sempurna
(seisei), bila perlu dicampur dengan bahan baku lainnya seperti talk, kwarsa dan
lain-lain, sesuai dengan komposisi yang dikehendaki. Proses tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan metode basah maupun metode kering. Untuk
mendapatkan hasil pencampuran yang maksimal perlu dilakukan penguletan
Penguletan (tsuchineri) dilakukan dalam tiga tahap. Tahap penguletan
pertama (aramomi), yaitu dengan cara mendorong tanah liat kemudian
menariknya kearah belakang yang bertujuan untuk memperoleh homogenitas
tanah liat. Tahap pertama ini dilakukan 10 sampai 15 kali. Tahap kedua
penguletan (kikumomi atau nejimomi) berfungsi untuk menghilangkan gelembung
udara yang terdapat dalam bungkahan tanah liat. Caranya yaitu dengan memutar
tanah liat dengan menggunakan tangan kanan dan tangan kiri digunakan sebagai
tumpuan. Tahap ini dilakukan sampai tanah liat berlipat-lipat melingkar
menyerupai bunga seruni (kiku). Tahap ketiga adalah penguletan terakhir
(momiage). Tahap ini berfungsi untuk menambah keplastisan tanah liat dengan
cara seperti pada tahap kedua, tetapi dibentuk memanjang, kemudian tanah liat
siap dibentuk.
2. Pembentukan Keramik (Seikei)
Teknik yang dilakukan untuk pembentukan keramik ada tiga macam, yaitu
pembentukan dengan menggunakan tangan (tezukuri), pembentukan dengan
menggunakan putaran (rokuro seikei), dan pembentukan dengan menggunakan
cetakan (katazukuri).
1) Pembentukan dengan Menggunakan Tangan (Tezukuri)
Pembentukan yang dilakukan dengan menggunakan tangan merupakan
teknik tradisional sebelum teknik menggunakan alat putar dikenal oleh
masyarakat Jepang. Teknik Tezukuri sampai saat ini masih dipertahankan
masyarakat Jepang. Terdapat tiga macam teknik yang termasuk teknik Tezukuri,
a. Teknik Pijit
Teknik pijit yaitu suatu pembentukan yang secara langsung dilakukan
dengan cara memijit-mijit gumpalan tanah liat yang telah melalui proses
pengolahan sehingga membentuk sebuah bentuk sesuai dengan desain yang
dikehendaki. Teknik pijit juga disebut dengan teknik Raku.
b. Teknik Lilitan
Teknik lilitan merupakan suatu pembentukan benda dengan cara
melingkarkan lilitan tanah liat sesuai dengan bentuk yang dikehendaki, kemudian
pada bagian dalamnya deratakan agar lilitan yang melingkar tersebut menyatu.
c. Teknik Lempengan
Teknik lempengan merupakan suatu teknik pembentukan dengan
menggunakan lempengan tanah liat. Pada milanya tanah liat digilas siantara dua
bialah papan dengan menggunakan rol kayu. Setelah merata dan mempunyai
ketebalan tertentu, lempengan tersebut dipotong sesuai dengan bentuk dan ukuran
yang dikehendaki. Untuk merekatkan antara bidang yang sau dengan yang lainnya
digunakan slip atau bubur tanah sebagai perekatnya.
2) Pembentukan dengan Menggunakan Alat Putar (Rokuro Seikei)
Teknik ini digunakan sebagai medium melatih konsentrasi pemusatan
pikiran (mental) dan tubuh dalam meditasi. Jika seseorang tidak melakukan
pemusatan pikiran dan tenaga, maka ia tidak dapat membuat keramik dengan
menggunakan teknik ini. Untuk dapat melakukannya diperlukan kedisiplinan
dalam berlatih.
Pertama sekali yang harus dilakukan dalam teknik ini adalah meletakkan
ditekan dalam keadaan roda berputar untuk mencari pusat lingkaran. Dalam
kondisi seperti ini memerlukan daya konsentrasi yang tinggi. Setelah menemukan
titik pusat tanah liat tersebut segera dibentuk lubang sampai mendekati dasar
(kurang lebih 1 cm dari dasar), kemudian tanah liat dalam posisi berputar ditarik
ke atas, mengikuti gerak tangan. Bila penarikan dilakukan tegak lurus maka akan
membentuk silinder, bila digerakkan kearah dalam akan membentuk cembung,
demikian pula jika ditarik ke arah luar maka akan membentuk cekung.
3) Pembentukan dengan Teknik Cetak (Katazukuri)
Pembentukan dengan teknik cetak dilakukan untuk jenis keramik porselen
karena sifat bahan bakunya tidak plastis. Cetakan yang digunakan terbuat dari
gibs, dilakukan dengan cara menuangkan bubur porselen ke dalam cetakan hingga
penuh. Kemudian setelah beberapa saat massa dalam cetakan tersebut turun
karena kandungan airnya terserap dinding cetakan. Selanjutnya diulang kembali
sampai lapisan dinding cetakan menebal. Waktu penuangan kurang lebih 10
sampai 15 menit, bergantung pada ukurang benda yang akan dibuat. Semakin
besar benda yang akan dibuat maka semakin banyak waktu yang diperlukan untuk
peresapan.
Menurut para ahli teh, porselen tidak dapat secara langsung dibentuk
dengan tangan dan mempunyai komposisi bahan yang sempurna, sehingga ia
tidak dapat digolongkan sebagai keramik teh.
3. Dekorasi dan Pewarnaan
Dekorasi atau hiasan memiliki sentuhan keindahan tersendiri yang
mencerminkan kekhasan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Penataan
dan warna, membentuk suatu motif yang digunakan sebagai dekorasi suatu benda.
Hiasan yang menyertai suatu benda dapat diinterpretasikan sebagai simbol, tidak
terbatas pada bentuk-bentuk yang kongkrit atau realistis. Dalam hal ini
masyarakat Jeapang memiliki beberapa cara atau teknik dekorasi keramik.
a. Dekorasi Engobe
Engobe adalah suatu larutan tanah bewarna yang diperoleh secara alami
ataupun buatan. Pada umumnya engobe alami berwarna krem, coklat, dan coklat
tua dengan temperature bakar 1050 derajat celcius. Penggunaan engobe pada
stone ware lebih memberikan kemungkinan warna lebih muda dan lebih cerah
jika dibandingkan dengan penggunaan pada earthen ware (gerabah). Hal ini
dikarenakan stone ware berwarna dasar krem keputihan atau cenderung berwarna
putih keabu-abuan, sedangkan earthen ware berwarna dasar merah kecoklatan.
Selain sebagai pewarna pada dekorasi keramik, engobe memiliki sifat menutup
permukaan benda dengan baik, padat, serta tidak larut jika diglasir. Teknik
dekorasi pelapisan engobe dilakukan dengan kuas atau dicelupkan.
b. Dekorasi Irisan (Nentori)
Menghiasi permukaan benda keramik dengan membuat garis-garis pada
permukaannya dalam keadaan setengah kering dengan menggunakan pisau kecil
atau kawat pemotong.
c. Dekorasi Cap/ Tekan (Tataki Ita)
Menghiasi permukaan benda dengan motif-motif yang telah dipersiapkan
di atas papan kayu. Kemudian ditekan-tekankan pada permukaan benda sehingga
sebagai dekorasi, juga berfungsi untuk memadatkan permukaan benda sebelum
dibakar.
d. Dekorasi Torehan Sisir (Kushine)
Menghiasi permukaan benda dengan menorehkan sisir sehingga
membentuk guratan-guratan garis atau dilakukan dengan cara menorehkan jarum,
batang ranting atau benda-benda runcing lainnya pada permukaan benda yang
masih dalam keadaan setengah kering.
e. Dekorasi Isi/ Inlay (Zoogan)
Melukis di atas permukaan benda dengan menggunakan benda tajam
kemudian bagian-bagian yang tertireh diisi dengan bubur warna. Selanjutnya,
setelah kering dan sebelum di bakar dicelupkan ke dalam glasir transparan.
f. Dekorasi Lilin Cair (Roonuki)
Melelehkan atau menyapukan lilin cair di atas permukaannya setelah
benda di bakar. Sebelum dibakar, benda tersebut terlebih dahulu di celupkan ke
dalam glasir pewarna. Lilin berfungsi sebagai penutup permukaan agar tidak
terkena warna.
g. Dekorasi Lelehan (nagashigake)
Bermula dari negri Cina, lelehan-lelehan warna dibuat dengan cara
menuangkan glasir berwarna atau dengan engobe cair pada bagian punggung
tempayang atau bagian lengkungan piring, sehingga secara alami warna-warna
tersebut turun, tampak seperti meleleh menghiasi permukaan benda.
h. Dekorasi Tobiganna atau Kusuri Mon
Istilah Tobiganna ini sulit diartikan ke dalam bahasa Indonesia karena
negara-negara lain. Tobi berasal dari kata Tobu (terbang), dan ganna adalah pisau
panjang semacam sabit rumput. Dalam teknik ini, sesuai dengan namanya, berupa
cukilan-cukilan pisau. Cukilan-cukilan tersebut dibuat dengan cara membuat
ketukan-ketukan pisau di atas permukaan benda setengah kering yang dilumuri
bubur warna (engobe), pada saat benda keramik berada dalam posisi memutar di
atas pemutar. Pada umumnya, warna yang dilumurkan berbeda dengan warna
dasar stone ware.
i. Dekorasi Glasir(Yuuyaku)
Pengglasiran mempunyai pengertian pengaplikasian glasir atau pelapisan
pada permukaan benda yang masih dalam keadaan mentah (belum dibakar)
maupun pada keramik, selagi dalam proses pembakaran pertama. Beberapa cara
yang dilakukan orang Jepang, yaitu dengancara pencelupan, penyemprotan, dan
pengolesan. Hakeme adalah termasuk salah satu dari dekorasi glasir dengan cara
mengoreskan kuas besar pada permukaan keramik. Guratan-guratan sapuan kuas
tampak melingkar mengikuti arah pemutar.
Sebelum mengenal glasir berwarna, orang Jepang menggunakan glasir
transparan dengan memakai garam dapur sebagai pelapis permukaan keramik.
Pewarnaan dilakukan sebelum pengglasiran dengan menggunakan engobe atau
oksida pewarna. Selain garam dapur, juga digunakan abu kayu pohon cemara
sebagai glasir dof (tidak mengkilat).
Masih berkaitan dengan pewarnaan keramik selain dengan menggunakan
pelapisan atau pengglasiran pada permukaan benda keramik, mereka juga
melakukan pengasapan (pembakaran reduksi) yang disebut dengan istilah
ke dalam perapian tungku pembakarn. Asap tersebut menjadikan pembakaran
reduksi dan mengakibatkan benda keramik yang berada dalam tungku
pembakaran menjadi hitam. Pewarnaan alami semacam ini ditemukan pertama
kali saat ajaran Zen Buddhisme mulai diterapkan dalam prinsip kesenian di
Jepang, khususnya seni keramik.
4. Pembakaran Keramik
Pembakaran merupakan proses terpenting dalam membuat keramik,
karena suatu benda yang terbuat dari tanah liat tidak akan disebut keramik jika
tidak melalui proses pembakaran. Pada mulanya, proses pembakaran tidak
dilakukan di dalam tungku pembakaran yang terbuat dari batu tahan api, tetapi
dilakukan di dalam lubang-lubang tanah yang ditutup dengan dahan-dahan kering
atau jerami yang sekaligus berfungsi sebagai bahan bakar. Pembakaran semacam
ini dapat dilakukan di mana-mana sehingga disebut dengan tungku ladang (Bon
firing).
Proses pembakaran dapat menentukan kualitas keramik yang dibakar.
Untuk itu, perlu diperhatikan konstruksi tungku, suhu bakar (dihasilkan dari listrik,
gas, minyak, kayu), sirkulasi api atau jalannya api (api naik, api terbalik), dan
yang terakhir dari jenis pembakaran (pembakaran oksidasi, pembakaran netral
atau pembakaran reduksi). Pada umumnya tungku pembakaran yang ada di
Jepang adalah tungku untuk pembakaran suhu tinggi karena bahan baku keramik
adalah jenis stone ware dan prselen. Bahan bakar tungku sebagian besar
menggunakan kayu untuk tungku tradisional, dan gas atau listrik untuk tungku
Sebagai sumber panas, listrik dan gas menciptakan temperatur yang stabil
sehingga hasil pemakaran sangat sempurna. Sedangkan panas yang dikeluarkan
oleh minyak dan kayu tidaklah stabil karena pengaturan api melalui cerobong
asap, sehingga mengakibatkan terjadinya pembakaran reduksi. Namun
pembakaran tersebut bagi orang Jepang dirasakan lebih alami dan lebih digemari.
Di Jepang,melakukan pembakaran keramik mempunyai makna tersendiri,
yaitu mengharapkan sesuatu dengan berhati-hati agar konsentrasi yang ada tidak
hilang. Dalam situsi seperti itu, biasanya mereka melakukan upacara dengan
minum sake bersama pada saat pembakaran berlangsung dan setelah pembakaran
selesai.
2.1.2.2 Jenis-jenis Keramik Tradisional Jepang
Di Jepang, seni keramik sangat berkembang, tidak hanya menjadi rumah
bagi seniman atau pengrajin keramik, namun juga merupakan bangsa dengan
populasi penikmat dengan apresiasi yang sangat tinggi terhadap seni keramik.
Variasi keramik Jepang sangatlah mengagumkan. Karya-karya seniman keramik
di Jepang belakangan ini semakin menarik perhatian. Berikut merupakan
jenis-jenis keramik tradisional Jepang berdasarkan daerah asal atau tempat
pembuatanya:
1. Arita dan Karatsu
Tembikar Arita dipercaya sudah ada sejak abad 16 (periode Momoyama),
ketika seorang pembuat keramik keturunan Korea, Ri Sampei, menemukan tanah
liat di Arita, Kyushu dan memproduksi porselen. Inilah awal dari pembuatan
merupakan pusat porselen di Jepang dengan gaya Sometsuke, yaitu dekoarasi
kebiruan dengan lapisan glasir bawah. Disamping itu juga dikembangkan porselen
bergaya Aka-e yang menggunakan glasir enamel dan polychrome.
Tembikar Karatsu juga berasal dari sekelompok orang keturunan Korea.
Kebanyakan produksinya adalah untuk keperluan sehari-hari dan untuk peralatan
upacara minum teh (cha no yu). Daerah ini memproduksi beberapa jenis tembikar
dengan corak hias berupa glasir besi, dekorasi kuas, bulir, berbintik dan lain-lain.
2. Hagi
Keramik Hagi pada umumnya memproduksi keramik berupa mangkuk
untuk upacara minum teh (cha no yu). Keramiknya minim dengan ekspresi pribadi
dan pengglasirannya sedikit buram.
3. Bizen
Keramik Bizen tampil sebagai keramik utama dalam upacara minum teh
(cha no yu). Tanah liatnya kaya akan besi dan dibuat tanpa glasir sama sekali
untuk menampilkan keindahan alami tanah liat. Selain itu proses pembakaran
yang sederhana memunculkan tekstur “benang apai” dan “biji wijen” yang
muncul secara alami yang kemudian menjadi ciri khas keramik dari daerah ini.
4. Kyoto dan Tanba
Kyoto terkenal sebagai pusat budaya dan politik serta maju secara kultural
juga menjadi pusat kesenian dan kerajinan. Sehingga tidak mengherankan sebagai
pusat seni, Kyoto juga mengalami perkembangan pada kerajinan keramiknya.
Tidak hanya keramik tradisional, tetapi keramik avant-garde pun berkembang di
Di daerah Tanba, umumnya keramik digunakan untuk peralatan rumah
tangga dan sebagai peralatan upacara minum teh (cha no yu).
5. Kutani dan Kanazawa
Kutani terletak di prefektur Ishikawa dengan ibukotanya Kanazawa. Kota
ini juga merupakan pusat porselen di Jepang. Keramik Kutani dan Kanazawa
yang diturunkan dari generasi ke generasi memiliki ciri khas pada penggunaan
warna dan bentuk yang berani.
6. Seto dan Mino
Daerah ini berkembang sebagai lokasi utama tungku pembakaran keramik
sejak zaman kuno hingga sekarang. Teknik pembuatan keramiknya diadopsi dari
Arita, Kyushu. Seiring dengan perkembangan zaman, kini pengrajin keramik di
daerah ini mulai menggunakan material dan teknik dari Eropa.
7. Tokyo dan Mashiko
Walaupun telah menjadi pusat budaya dan politik sejak abad 17, Tokyo
bukanlah tempat terdapatnya sumber tanah liat dan bukan pula pusat tradisi
pembuatan keramik. Tokyo hanyalah kota pendukung bagi mereka yang ingin
menjadi pengrajin keramik. Dikatakan demikian karena Tokyo sangat mendukung
dengan banyaknya institusi seni, seperti universitas seni yang dapat mendukung
bagi pembelajaran mengenai seni keramik.
Mashiko terletak di utara Kanto, termasuk prefektur Tokyo, merupakan
pusat produksi tembikar rakyat Jepang untuk keperluan sehari-hari sejak zaman
dahulu. Daerah ini menjadi pusat tembikar, berkat kepiawaian pengrajin tembikar
Shoji Hamada yang memproduksi dan mengerjakan peralatan sehari-hari dari
2.2 Zen Buddhisme di Jepang
Banyak orang berfikir bahwa Zen merupakan suatu yang sulit. Padahal
huruf Cina yang digunakan untuk kata Zen berarti “menunjukkan kesederhanaan”.
Seperti yang tercermin dalam huruf atau karakter tersebut, Zen adalah ajaran yang
sangat jelas dan singkat ( Harada, 2003:15).
Zen memiliki setidaknya tiga arti yang berbeda, namun saling berkaitan.
Seperti yang diungkapkan oleh Chrismas Humpreys dalam Kiew Kit (2004:3)
bahwa:
Pertama, Zen berarti meditasi. Zen adalah istilah Jepang untuk
mengungkapkan “Chan” dalam bahasa Cina, yang bila ditelusuri berasal dari
Bahasa Sansekerta Dhyana. Dalam Bahasa Pali disebut. Ini adalah arti yang
paling umum dari istlah tersebut Jhana
Kedua, dalam arti khusus, Zen adalah nama dari kekuatan absolut atau
realitas tinggi, yang tidak dapat disebut dengan kata-kata. Ketiga, dalam arti agak
khusus adalah bahwa pengalaman mistis akan keabsolutan kekuatan tersebut,
suatu kesadaran, tiba-tiba dan di luar batasan. Kesadaran seseorang yang darinya
dunia yang kita kenal ini berasal. Pengalaman mistis ini biasanya disebut
kesadaran atau Wu dalam Bahasa Cina dan Satori atau Kensho dalam Bahasa
Jepang.
Ketiga arti Zen tersebut berkaitan satu sama lain. Meditasi, secara umum
adalah cara utama untuk mendapatkan pengalaman langsung dengan realitas
tertinggi. Selain proses meditasi untuk mencapai realitas tertinggi, si pelaksana
mungkin akan mengalami pemahaman realitas kosmis ini dalam situasi yang
Zen Buddhisme merupakan salah satu aliran utama dalam Buddhisme
Mahayana. Sedangkan agama Budha sendiri memiliki tiga aliran utama, yaitu:
Mahayana, Hinayana, dan Vajrana. Mahayana sendiri memiliki dua pandangan
mengenai bagaimana mencapai keselamatan, yaitu Jiriki (upaya sendiri) dan
Tariki (upaya dari yang lain). Zen menganut pandangan pertama, yaitu Jiriki,
bahwa keselamatan hanyalah dapat diperoleh dengan usaha dan upaya sendiri.
Zen Buddhisme yang berkembang di Jepang tidak terjadi begitu saja,
tetapi mempunyai hubungan yang erat denagn Zen yang ada di Cina. Orang yang
paling berjasa memperkenalkan ajaran Zen di Cina adalah Bodhidharma
(440-528), seorang biarawan India yang nantinya disebut Patriaki Pertama dalam
penyebaran ajaran Zen di Cina. Disebutkan bahwa ketika Bodhidharma tiba di
Cina, saat itulah lahir aliran Zen. Bodhidharma tiba di Cina tahun 520 kemudian
diundang kaisar yang berkuasa di Cina saat itu, mereka terlibat dialog tentang
ajaran Zen. Pengajaran Bodhidharma tetntang Zen adalah bahwa perbuatan baik
saja tiaklah cukup tetapi melalui perbuatan baik akan mendorong kemurnian
moral, suatu syarat mutlak bagi pencerahan. Pada tingkatan pencerahan tertinggi,
tidak ada pemikiran dualistis (Wong Kiew Kit, 2004:103-104). Kaisar Liang Wu
Di tidak siap menerima ajaran Bodhidharma karena itu dia melewatkan
kesempatan untuk memperoleh pencerahan atau kesadaran.
Bodhidharma pergi ke kuil Shaolin dan tiba pada tahun 527 untuk
mengajarkan Zen. Di kuil tersebut Bodhidharma mengajarkan kepada para rahib
tentang pentingnya menjaga kebugaran tubuh, emosi dan mental untuk
pengembangan spiritual. Oleh karena itu, dia mengajarkan dua bentuk latihan,
berkembang menjadi Kungfu Shaolin dan Chi Kung Shaolin. Bodhidharma
menemukan penggantinya sebagai Patriarki Kedua di kuil tersebut. Orang tersebut
bernama Ji Guang (487-583). Bodhidharma mengajarkan kepadanya tentang
pentingnya arti meditasi. Ia sendiri pernah menjalani meditasi selama sembilan
tahun di sebuah gua yang disebut Gua Bodhidharma.
Ajaran Zen tidak bergantung pada kitab-kitab dokumen-dokumen ataupun
teori-teori keagamaan dalam penyebarannya, tetapi disampaikan dari hati ke hati.
Demikian juga yang dilakukan Ji Guang untuk mencari penerusnya sebagai
Patriarki Ketiga. Sen can yang diangkat sebagai penerusnya juga berasal dari kuil
Shaolin dan mendapat pencerahan setaelah berdialog dengannya.
Seng Can kemudian membimbing muridnya Dao Xin (580-651) di kuil
Shaolin selama sembilan tahun, dan kemudian menggantikannya senagai Patriarki
Keempat. Dao Xin kemudian digantikan oleh muridnya Hong Jen sebagai
Patriarki Kelima. Namun dalam mencari Ptriarki Keenam, tejadi perpecahan
anatara murid Dao Xin. Seorang muridnya yang buta huruf, Hui Neng, dianggap
lebih layak menggantikannya, tetapi murid seniornya tidak mengakuinya. Sejak
saat itu, pengajaran Zen di Cina terpecah menjadi dua, yaitu aliran Utara (Shen
Xiu) dan aliran Selatan (Hui Neng). Dalam perkembanganya, aliran Utara tidak
dapat bertahan lama dan akhirnya lenyap.
2.2.1 Masuknya Ajaran Zen Buddhisme di Jepang
Aliran Zen telah memasuki Jepang dari Cina sebelum zaman Kamakura.
Pendeta Jepang telah pergi ke Cina untuk mempelajari Zen Buddhisme di tahun
tepatnya di daerah Nara. Beberapa guru Zen dari Cina tersebut telah mamasuki
Jepang dan menyebarkan ajaran Zen, tetapi Zen baru benar-benar mengakar
dalam masyarakat Jepang setelah ajarannya disebarkan dua orang guru asli Jepang
yaitu, Eisai (1141-1215) yang mendirikan sekte Rinzai dan Dogen yang
mendirikan sekte Soto.
Eisai pertama kali mengajarkan Zen di Kamakura. Ia didukung oleh
Shogun dan membuat Zen sangat popular diantara para samurai. Ia juga
membangun banyak kuil Zen di Jepang yang disebut sistem Gozan. Diantaranya
adalah Kuil Rinjai di Shofukuji Hakata pada tahun 1195 (sekarang prefektur
Fukuoka), kemudian ia menjadi kepala biara pertama di Kuil Jufukuji Kamakura,
kemudian di Kuil Kenninji Kyoto. Para pendeta Zen dari sistem Gozan tersebut
sering kali bertindak sebagai penasehat politik Keshogunan Muromachi. Peran
para pendeta Zen tersebut bukan hanya dalam bidang politik, urusan luar negri
dan perdagangan saja, tetapi juga memainkan peran utama di bidang seni dan ilmu
pengetahuan juga kesusastraan.
Dogen sebagai pendiri sekte Soto berbeda sama sekali dengan Eisai.
Dogen berasal dari keluarga bangsawan, belajar Zen ke Cina tahun 1223 dan
kemudian mendirikan sekte Soto di Jepang. Dogen tidak seperti Eisai yang sangat
dekat dengan penguasa militer, sebaliknya ia berusaha menghindari pengaruh
penguasa dalam ajaran Zen yang dianutnya. Karena itu ia memilih tinggal di
propinsi Echizen tempat ia membangun kuil Eiheiji daripada tinggal di Kyoto.
Dogen hanya ingin mengajarkan Zen secara murni, meninggalkan nafsu duniawi
dan menjalankan meditasi. Menurut Wong Kiew Kit (2004:197) perbedaan yang
mereka mengenai pencerahan. Ajaran Eisai, yang berkarakteristik Rinzai Zen,
menekankan penggunaan Koan (cerita) sementara ajaran Dogan yang
berkarakteristik Soto Zen, menekankan pada Zazen atau meditasi duduk.
Meskipun demikian ajaran Soto tidak menolak Koan dalam pencapaian
pencerahan, demikian juga sebaliknya.
Pengaruh Zen mencapai level tertinggi terjadi selama periode Muromachi
(1333-1568). Pada masa itu Zen memperlihatkan kekuatannya yang luar biasa dan
menyebarluas terutama di kalangan Bushi yang merupakan penguasa Jepang pada
saat itu. Ajaran Zen turut memberikan sumbangan bagi pengembangan
kebudayaan perajurit menjadi dasar moral dan filosofi utama bagi banyak prajurit
Jepang hingga masuk zaman modern. Bahkan sebelum berperang, banyak anggota
militer memasuki kuil Zen untuk mendisiplinkan diri untuk menghadapi musuh.
Mikiso Hane (1991:80) mengatakan “Tendai untuk keluarga kerajaan, Shingon
untuk bangsawan, Zen untuk kelas prajurit dan Jodo untuk masyarakat”.
Sepanjang periode Muromachi, Zen menggunakan pengaruhnya yang berkembang
pada lukisan tinta, drama No, upacara minum teh, merangkai bunga, seni
pertamanan, dan seni lukisan dan sebagainya. Jadi ajaran Zen bukan hanya
sekedar teori keagamaan saja, tetapi juga turut mengembangkan seni dan budaya
Jepang hingga sekarang.
Periode Edo (1600-1868) menghasilkan perdamaian dan mendukung
berkembangnya ajaran Zen. Para biarawan yang terkenal pada zaman Edo adalah
Takuan Soho (1573-1745), Bankei Yotaku (1622-1693), dan Hakuin (1686-1769)
meraka berasal dari Rinzai Zen, Takuan mengajar afinitas antara Zen dan manusia
pemain pedang legendaries Jepang). Bankei bertanggung jawab untuk membuat
Zen dapat diperoleh kedalam bentuk tidak tertulis yang paling sederhana.
Memasuki zaman Meiji (1868), pemerintah lebih mendukung Shinto dari
pada agama Buddha. Meskipun demikian Zen tetap berkembang .
2.2.2 Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Masyarakat Jepang
Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, Zen diajarkan dari hati ke hati,
tidak bergantung pada buku-buku, dokumen-dokumen ataupun teori-teori.
Bodhidharma menekankan bahwa dalam pembinaan spiritual, intinya adalah pada
pengalaman langsung, bukan melalui belajar dari buku (Wong Kiew Kit,
2004:262). Pengajaran Zen tidak dapat dipahami sepenuhnya jika diungkapkan
melalui kata atau bahasa, tetapi Zen harus dialami secara pribadi. Meskipun
demikian, belajar melalui buku tidak dapat disalahkan, karena melalui buku
seseorang dapat dipersiapkan untuk memperoleh pencerahan.
Sasaran Zen seperti yang diungkapkan Suzuki (2004:212), Zen pada
dasarnya adalah seni melihat hakekat kebenaran seseorang dan menunjukkan jalan
dari perbudakan ke kebebasan. Zen dapat membebaskan semua energi yang
tersimpan secara alamiah untuk beraktivitas. Berarti Zen adalah seni untuk
melihat kodrat diri dan mempergunakan secara maksimal kekuatan-kekuatan yang
terdapat dalam diri manusia tersebut.
Ajaran Zen tidak hanya terfokus pada kerohanian saja, melainkan juga
mencakup penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Para rahib Zen dikatakan
selalu berdoa untuk orang lain dan makhluk hidup lainnya, dan tidak pernah
perbuatannya dan bukan meminta pertolongan. Mereka tidak hanya mengajarka
tentang kasih sayang dan kebijaksanaan, tetapi juga menjalankannya dalam
kehidupan sehari-hari. Para pengikut Zen berusaha untuk hidup dalam disiplin
yang ketat untuk membina dan menumbuhkan keutamaan, ketaatan, kesahajaan
serta kerandahan hati.
Pengikut Zen bukan hanya dituntut untuk hidup sederhana, disiplin, saling
mengasihi dan saling membantu sesama manusia, tetapi juga harus bekerja keras
untuk hidup tidak bergantung pada belaskasihan orang lain seperti yang sering
dilakukan oleh par pendeta Buddha.
Dalam Sutrisno (2002:51) disebutkan bahwa Shidarta Gautama yang telah
menjadi Budha (orang yang diterangi) menunda masuk nirvana (kehidupan tanpa
batas) guna membantu sesama untuk mencapai penerangan, sebuah usaha untuk
menyelamatkan sebanyak mungkin orang. Para pengikut Zen juga diwajibkan
untuk berbuat demikian (menolong sesama) untuk menjadi Budha. Jadi dapat
disimpulkan bahwa Zen mengajarkan untuk tidak mementingkan diri sendiri saja,
melainkan juga peduli terhadap kesusahan dan penderitaan sesama manusia.
Agar dapat memahami ajaran Zen beserta nilai-nilai yang tercermin di
dalamnya, penulis akan membaginya ke dalam beberapa poin, yaitu: pencerahan
(satori), koan dan mondo, meditasi dan diri.
1. Pencerahan (Satori)
Satori atau pencerahan adalah esensi Zen. Tanpa satori, seseorang tidak
akan tahu sepenuhnya apa yang dimaksud dengan Zen. Satori adalah pengalaman
utama dalam Zen sebagai seni melihat inti atau kodrat diri sehingga menjadi
“Satori adalah melihat inti kodrat diri seseorang. Kodrat ini bukan suatu entitas (kenyataan) yang dimiliki seseorang sebagaimana dibedakan dari yang lain; dan dalam melihat inti diri itu sesungguhnya tidak istilah penonton. Satori berarti ‘mengatasi akal’, ‘satu pikiran mutlak’, ‘kekinian mutlak’, ‘kemurnian yang benar-benar’, ‘kekosongan’, ‘apa adanya’, dan banyak lain lagi”.
Pengertian di atas merupakan pengalaman pribadi Suzuki dalam hal satori.
Bagaimanapun juga, rumusan tentang satori tersebut sangat terbatas jika
diungkapkan dengan kata-kata. Seseorang harus mengalami satori itu sendiri
secara langsung untuk memahaminya dengan utuh. Bedasarkan pernyataan Suzuki
di atas, ajaran Zen menolak pemisahan dan pembagian antara subjek dan objek.
Seluruh alam semesta merupakan satu kesatuan dan tidak ada perbedaan di
dalamnya. Jalam Zen ialah menerima hidup ini sebagaimana hidup tersebut
dijalani, tidak berusaha memotong-motongnya lalu memulihkan kehidupan
tersebut dengan pengintelekan, Zen melestarikan kehidupan sebagai kehidupan.
Satori berarti membangun kesadaran baru yang membuang dan
membinasakan kerangka berpikir lama dan memandang segala sesuatunya dengan
pandangan baru. Kerangka berpikir lama berarti konsep intelektual atau berpikir
secara rasional. Sedangkan Zen tidak dapat dipahami sepenuhnya dengan cara
berpikir rasional, karena cara berpikir tersebut sering kali tidak berhasil
memecahkan masalah pribadi seseorang. Hal ini bernicara mengenai kekosongan
mutlak. Kekosongan di sini bukan berarti tidak terdapat sesuatu apapun,
melainkan suatu kepenuhan mutlak dan bebas dari segala konsep-konsep
intelektual dan rasional. Dalam Sutrisno (1993: 141) dikatakn, prinsip pertama
Buddhisme adalah kekosongan yang berarti situasi kepenuhan tanpa halangan dari
Sedangkan menurut Takuan dalam Suzuki (2004: 40-41) yang terutama
adalah menjaga agar pikiran agar pikiran selalu dalam keadaan “mengalir”. Jika
pikiran terhenti, maka akan terjadi gangguan yang melukai kesejahteraan pikiran.
Hal ini berarti pemikiran sebaiknya tidak dihalangi oleh apapun, tidak dipusatkan
atau ditfokuskan hanya pada satu tempat. Jika hal tersebut terjadi, maka
pertumbuhannya akan terhenti. Maksudnya adalah bahwa pikiran seseorang itu
haruslah dibiarkan mengalir dan bergerak bebas. Jadi, tujuan pokok dari Zen
Buddhisme bukanlah untuk masuk dalam surga, tetapi mencapai pencerahan yang
meliputi kebenaran seseorang dan memahami alam kenyataan.
2. Koan dan Mondo
Salah satu metode untuk mencapai satori (pencerahan) adalah dengan cara
Koan dan Mondo selain dengan cara meditasi. Namun, pada umumnya kedua
metode tersebut dilakukan bersama-sama untuk mencapai pencerahan. Koan atau
kung-an dalam bahasa Cina, merupakan tema meditasi, yaitu berupa persoalan
yang diberikan oleh guru kepada muridnya untuk dipecahkan. Sedangkan mondo
adalah suatu dialog, tanya jawab, yang langsung diadakan untuk mengetahui ada
atau tidaknya pengalaman satori (Sutrisno, 2002:59-60).
Koan dirancang dengan tujuan untuk mengacaukan pikiran seseorang yang
rasional, hubungan logika, dan memaksanya untuk memperoleh pengertian
tiba-tiba dan intuisi kedalaman kenyataan. Persoalan dalam koan yang dierikan guru
kepada muridnya tidak dapat dipecahkan secara logis atau rasional. Antara
pertanyaan dengan jawaban koan kelihatannya tidak ada hubungannya. Berikut
a. Seorang biksu bertanya pada chao-chao (seorang master Zen Cina):
“Adakah kodrat Budha dalam diri seekor anjing?”. Jawaban sang guru
hanyalah “wu”.
b. “Apakah Tao itu?” Jawabannya, “Pikiranmu setiap hari itulah tao”.
c. Koan kegemaran hakuin adalah “Apakah suara yang timbul dengan
bertepuk sebelah tangan?”.
Para murid Zen yang diberikan soal koan tersebut, harus mampu
mempertahankan koan itu dalam pikirannya sehari-hari. Dengan kata lain, murid
tersebut harus bersatu dengan koan tersebut, tidak lagi memandang koan tersebut
sebagai objek yang akan diteliti. Hal ini sesuai dengan prinsip Zen Buddhisme,
yaitu segala sesuatunya adalah satu kesatuan dan tidak ada cara berfikir dualisme.
3. Meditasi (Zazen)
Meditasi juga merupakan cara untuk mencapai satori (pencerahan). Kata
zazen (dalam bahasa Jepang) berasal dari kata “za” yang berarti duduk bersila dan
“zen” berarti meditasi (Sutrisno, 2002:63). Dengan kata lain zazen berarti meditasi
duduk.
Zazen sebenarnya berasal dari tradisi India yaitu yoga. Tetapi zazen bukan
seperti yoga yang berpikir dan berkonsentrasi pada sesuatu, melainkan tidak
berpikir. Para pelaksana zazen duduk dengan kaki disilang dan menariknya ke
dalam, dan punggung harus benar-benar tegak lurus atau disebut juga denagn
sikap badan teratai. Sikap badan seperti ini adalah tanda luar dari pencerahan.
Dalam meditasi, dengan menutup seluruh pengaruh perasaan dan
kesadaran berpikir, para pelaksana Zen mencoba untuk memcapai situasi