• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Estetika Jepang Secara Umum

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KERAMIK TRADISIONAL

2.3 Dasar-dasar Estetika Jepang

2.3.1 Nilai Estetika Jepang Secara Umum

Melihat pengaruh pemikiran estetika China di Jepang, pengarang-

pengarang Jepang, seperti Ki No Tsurayuki, Fujiwara No Kinto dan pengarang-

pengarang lainnya, semakin berusaha menciptakan karya sastra khas buatan

Jepang asli. Usaha mereka akhirnya membuahkan hasil yang baik, dengan

munculnya karangan dalam bidang puisi dan drama yang dinyatakan bebas dari

pengaruh China. Keberhasilan mereka diikuti oleh pengarang-pengarang wanita,

seperti Murasaki Shikubu dan Sei Shonagon. Mereka juga menciptakan esei,

catatan harian dan prosa fiksi dengan konsep estetika mereka sendiri dan

dinyatakan bebas dari pengaruh China.

Pada zaman Kamakura dan Muromachi, konsep estetika cenderung

dipengaruhi oleh ajaran agama Budha. Hal ini dapat dilihat pada tulisan Fujiwara

No Toshinari dalam puisi, Koma Chikazane dalam musik, Prince Shonen dalam

kaligrafi, Zeami dan Zenchiku dalam drama, Murata Juko dalam upacara minum

teh, dan Ikenobo Seno dalam merangkai bunga. Semua karya seni mereka tersebut

dipengaruhi oleh ajaran Buddha yang menekankan pentingnya pelatihan spiritual.

Pelatihan spiritual ini dilakukan agar makna estetika dalam karya-karya seni

mereka itu dapat lebih dipahami dengan jelas.

Pada tahap berikutnya di zaman Edo, variasi konsep estetika Jepang

dari pengarang dan apresiasi dari penontonnya. Hal ini terbukti dari tulisan Yagyu

Muenori dalam seni berperang. Tosa Mitsuoki dalam seni lukis, dan Basho dalam

Haiku. Dalam seni tersebut dimuat sejumlah ide-ide tradisional Jepang yang tetap

dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Bukti yang lain dapat dilihat

dari munculnya beberapa pemahaman estetika di Jepang.

Pemahaman yang pertama kali muncul di zaman Edo adalah pemahaman

Confusianis dengan teori seninya yang lebih pragmatis. Kemunculan teori seni ini,

ditolak oleh beberapa seniman di Jepang, seperti Motoori Norinaga dan Hirata

Atsutane. Penolakan mereka ditandai dengan munculnya teori seni baru yang

berasal dari paham Shinto klasik. Akibat perkembangan kedua teori seni tersebut

banyak muncul tulisan/karangan seni, terutama tentang Joruri dan Kabuki, yang

menggunakan paham Buddha, Confusian dan Shinto.

Pemahaman yang kedua mengatakan bahwa nilai estetika seni yang utama

terdapat antara alam dan manusia. Agar dapat menikmati estetika seni tersebut,

seorang seniman harus bersatu dengan subjek seninya dan merasakan kehidupan

subjeknya itu dari dalam.

Pemahaman yang ketiga mengatakan bahwa estetika seni hanya terdapat

pada seni yang halus, mewah dan indah, sedangkan pada seni yang kelihatannya

kasar, sederhana dan buruk, estetika seni sulit didapatkan. Estetika seni ini hanya

dapat diperoleh melalui proses penyeleksian unsur-unsur keindaham seni, karena

di dalam proses tersebutlah unsur-unsur kekasaran, kesederhanaan, dan keburukan

tadi akan dikurangi.

Walaupun banyak muncul konsep-konsep estetika pada zaman Edo, tetapi

keagungan ini memiliki makna konotasi yang sama dengan Furyu, Yugen, Iki, dan

Sui. Konsep estetika lain yang juga cukup digemari adalah konsep sementara,

konsep kehalusan, dan konsep kerapuhan/kebinasaan. Konsep ini kemudian

digabung dengan faham Buddha yang akhirnya menghasilkan suatu nilai estetika

ideal (seperti momo no oware, yugen, wabi, dan sabi) yang sangat dihargai oleh

para seniman Jepang selama berabad-abad.

Selain itu, konsep kesederhanaan juga sangat dihargai di Jepang. Konsep

ini menekankan pemakaian simbol-simbol dalam mengungkapkan misteri alam*

*

) Misteri alam di Jepang tidak oernah dideskripsikan dalam bentuk uraian tetapi dalam bentuk

)

dan menolak pemakaian ornament/hiasan yang berlebihan. Intinya, konsep ini

menganjurkan sifat yang sewajarnya atau sealamiah mungkin dan menghindari

banyaknya campur tangan manusia.

Memasuki zaman Meiji, estetika Barat mulai diperkenalkan di Jepang oleh

Nishi Amame, Nori Ogai dan seniman lainnya. Seiring dengan itu, didirikanlah

sebuah pusat pelatihan estetika oleh Universitas Tokyo, dengan mempekerjakan

pengajar dari Barat untuk pertama kalinya. Akibatnya, orang-orang yang pertama

kali ahli dalam estetika Jepang adalah orang Barat.

Namun kondisi tersebut tidak bertahan lama, konsep estetika di zaman

Meiji mulai mengalami perubahan ketika Kuki Shizo dan Omishi Yoshinori,

kembali merintis studi filsafat estetika yang sebelumnya pernah berkembang di

zaman Edo. Tindakan perintisan studi filsafat estetika ini, akhirnya memunculkan

konsep-konsep estetika yang terus berkembang sampai sekarang di Jepang.

Penjelasan mengenai nilai-nilai estetika tresebut dapat dilihat dalam uraian

1. Iki ( )

Iki berarti “semangat” atau “hati”. Suatu bentuk semangat yang tinggi dan

hati yang bersih. Iki menunjukkan orang yang bersemangat tinggi dalam berbicara,

bertingkah laku, dan berpakaian. Orang yang memiliki konsep Iki biasanya

bersifat ceria, tenang, dan berpikiran terbuka. Iki juga menunjukkan keindahan

yang penuh warna, tidak sempurna, artistik, sederhana, romantis, dan asli. Iki

tidak ditemukan dalam alam tetapi dalam diri manusia itu sendiri yang

menghargai keindahan alam. Penggunaan iki terdapat dalam kepribadian/kelakuan

manusia, arsitektur, desain pakaian dan lain-lain.

2. Sui ( )

Sui berarti “inti yang murni”. Sui menunjukkan orang yang mengerti

dengan baik akan hidup dan penderitaan orang lain. Penggunaan sui terdapat

dalam roman Koshoku Ichidai Otoko karangan Ihara Saikaku. Karangan tersebut

menggambarkan kemajuan seorang manusia yang pada awalnya sama sekali tidak

mengenal pengetahuan, tapi akhirnya mengenal bahkan menguasai pengetahuan

tersebut dengan bantuan teman-temannya.

3. Mujou ( )

Mujou berarti suatu ketidakkekalan. Mujou menunjukkan bahwa setiap

manusia pasti mati (tidak ada yang kekal) dan semua keadaan pasti berubah.

Penggunaan mujou terdapat dalam karya-karya sastra abad pertengahan seperti

Haiku dan esei. Contohnya dalam dongeng “Heike” digambarkan kejatuhan Heike,

seorang samurai kelas atas yang pada awalnya memiliki kemakmuran dan

kekuatan besar, namun akhirya kemakmuran dan kekuatannya itu berakhir

4. Mono no Oware

Mono no Oware berarti kedalaman perasaan manusia dalam kehidupan

alam dan manusia. Mono no Oware berhubungan dengan kesedihan di bawah

keadaan tertentu yang diikuti penghargaan dan kegembiraan. Jadi dapat dikatakan

bahwa mono no oware menunjukkan perasaan manusia yang berhubungan dengan

ketidakkekalan. Penggunaan mono no oware terdapat dalam Heike Monogatari,

Genji Monogatari dan kritik-kritik sastra lainnya.

5. Ma ( )

Ma berarti interval dalam waktu dan tempat, namun bukan berarti kosong

sama sekali. Ma berhubungan dengan ritme dan pernafasan. Penggunaan Ma

terdapat dalam musik, tarian, cerita, lukisan, Kabuki, dan Noh.

6. Furyuu ( )

Furyuu berarti terpelihara dalam tingkah laku. Furyuu menunjukkan rasa

kagum untuk orang yang bekerja dalam seni. Penggunaan furyuu terdapat dalam :

seni sastra dan seni visual. Contohnya, cerpen “furyubutsu” karangan Koda Rohan,

yang menceritakan penyatuan cinta, seni, agama, dan lukisan Yosa Buson.

Nilai-nilai esteika di atas terus mengalami perkembangan hingga saat

ini, sehingga bentuknya sangat beragam dan jumlahnya sangat banyak. Namun,

walaupun bentuknya beragam dan jumlahnya sangat banyak, semuanya tetap

memusatkan konsep utamanya pada alam karena alam tidak bias dipisahkan dari

kehidupan seni di Jepang, dimana alamlah yang mengisi hampir semua objek seni

budaya Jepang. Alam jugalah yang menginspirasikan seseorang untuk

memperoleh makna dalam hidupnya, dan alam pulalah yang saling memperdalam

mendefenisikan estetika sebagai keindahan yang alami, murni, dan sesedikit

mungkin dipengaruhi oleh rekayasa tangan manusia.

2.3.2 Nilai Estetika Jepang Berdasarkan Ajaran Zen Buddhisme

Pengaruh estetika Jepang tentulah tidak hanya ditemukan dalam wujud-

wujud alami saja, tetapi juga dalam wujud religiolitas (dalam keagamaannya).

Berikut akan kita lihat bagaimana sebenarnya estetika Jepang dalam kehidupan

religiolitasnya, khususnya religiolitas yang dipengaruhi oleh ajaran Zen, karena

ajaran Zenlah yang sebagian besar mempengaruhi konsep estetika seni keramik

Jepang.

Istilah Zen sebenarnya berasal dari bahasa China “C’han” yang secara

harfiah bebarti “meditasi”. Istilah ini mulai masuk dalam kebudayaan Jepang

sejak abad 13. Secara lebih luas, istilah Zen sering juga digambarkan sebagai

berikut:

Sebuah transmisi khusus di luar kata-kata,

Tidak ditemuka n di atas kata-kata dan surat-surat,

Secara langsung menunjuk kepada pemikiran manusia,

Memahamim ke dalam alam seseorang dan mencapai alam Buddha.

Gambaran klasik Zen yang terdiri dari 4 baris tersebut, menjelaskan bahwa

Zen adalah sebuah seni untuk melihat kodrat diri sendiri dan demikian menjadi

Buddha. Selain itu, Zen juga dijelaskan sebagai sebuah seni yang mampu

meleluasakan kekuatan-kekuatan alami, mencegah kelesuan manusia dan

Zen sendiri, memiliki pendekatan yang unik dalam memandang realitas.

Menurut Zen, setiap orang harus telebih dahulu berhenti dan merenung dalam

keheningan untuk melihat apakah semua memang ada sebagai mana adanya (as

they are). Pendekatan Zen dalam memandang keindahan pun demikian. Setiap

orang harus masuk ke “objek” itu sendiri, ke inti realitas dan kemudian melihat

dan merasakan estetika itu sendiri dari dalam.

Berdasarkan pemikiran Zen Buddhisme, untuk dapat memahami

keindahan harus dapat memisahkan antara keindahan alami dengan faktor-faktor

lain yang menyebabkan terjadinya keindahan. Di lain pihak Zen Buddhisme tidak

dapat memberi arti sepenuhnya terhadap makna yang terkandung dalam

keindahan. Menurut pemikian Zen Buddhisme, rasa keindahan lahir ketika terjadi

proses perlawanan antara subjek dan objek yang tidak terselesaikan. Selanjutnya,

anatara subjek dan objek tersebut telah larut dalam kenyataan dan secara

keseluruhan tidak saling mempertentangkan. Misalnya, tidak mempertentangkan

antara keindahan dan kecacatan, karena sesuatu yang sempurna belum tentu indah,

sebaliknya sesuatu yang indah bukan berarti yang sempurna. Dengan demikian

pengertian Zen Buddhisme mengenai nilai estetika merupakan keindahan yang

alami.

Berkaitan dengan itu, Zen Buddhisme menggunakan istilah kensho (ken =

melihat; sho = hakikat, inti). Penggabungan kedua kata tersebut secara harfiah

mempunyai arti “melihat dalam keadaan yang sesungguhnya”. Dalam pemikiran

Zen Buddhisme tersebut, untuk memahami suatu karya seni haruslah mampu

menghilangkan sujektifitasnya, sehingga mampu menerima kehadiran objek

menujukkan bahwa Zen Buddhisme memberikan pengaruh spiritual yang sangat

besar dalam memahami estetika.

Pengaruh pandangan Zen Buddhisme tentang keindahan itu sendiri tampak

jelas pada kebudayaan khususnya kesenian dalam masyarakat Jepang. Pandangan

Zen Buddhisme tentang estetika terkonsep dalam estetika wabi-sabi yang

mengekspresikan nilai-nilai ajarannya yang tidak terlepas dari kewajaran dan

kealamian. Adapun nilai-nilai estetika tersebut adalah sebagai berikut:

1. Fukinsei ( )

Fukinsei berarti suatu bentuk yang tidak teratur (asimetris), tidak

sempurna, dan tidak terorganisir. Penggunaan fukinsei terdapat pada seni

pertamanan, seni lukis, ikebana, seni keramik, dan seni bonsai.

2. Kanso ( )

Kanso berarti suatu bentuk yang sederhana, rapi (tidak berantakan), dan

segar. Sederhana di sini berarti sederhana yang alami. Penggunaan Kanso terdapat

dalam seni pertamanan, seni lukis, seni bonsai, dan seni keramik.

3. Kouko ( )

Kouko berarti suatu kedewasaan (berdasarkan umur dan penampilan), dan

mampu melihat dari berbagai sisi. Kouko berhubungan dengan rasa menikmati

keindahan alam dengan seutuhnya. Penggunaan Kouko terdapat dalam kayu lapuk,

batu taman, pohon antik, batu keramat, lingkungan, dan cuaca.

4. Shizen ( )

Shizen berarti suatu bentuk kealamian, spontan, dan melibatkan

5. Yuugen ( )

Yuugen berarti suatu bentuk kemisteriusan, ketidakberaturan alam, dan

rasa yang mendalam. Keindahan yugen muncul melalui sedikit kata-kata atau

sapuan kuas yang dapat menunjukkan sesuatu yang tidak terlihat dan tidak

terkatakan. Penggunaan yuugen antara lain terdapat dalam seni pertamanan, seni

keramik, dan ikebana.

6. Datsuzoku ( )

Datsuzoku berarti suatu kejutan, fantasi, dan kreativitas yang

mengakibatkan aturan. Penggunaan datsuzoku terdapat dalam penggunaan pasir

dan batu pada seni pertamanan yang menggambarkan kejutan tersendiri bagi

orang yang melihatnya, serta dalam seni keramik.

7. Shibui ( )

Shibui berarti suatu bentuk kesederhanaan, kemudahan, dan keindahan

yang seadanya. Penggunaan shibui terdapat dalam arsitektur, desain interior, seni

keramik, dan lain-lain. Contohnya, dalam seni keramik desain dan dekorasi yang

dihasilkan sangat sederhana, sehingga para pengrajin keramik sering disebut

“shibui”, karena keahlian mereka adalah membuat keramik indah namun tanpa

terlihat berlebihan.

8. Wabi ( )

Wabi berasal dari kata wabu yang berarti memisahkan diri, dan wabishi

yang berarti sendirian, yang menunjukkan bagaimana menderitanya orang yang

jatuh dalam kondisi tidak menguntungkan. Jadi dapat dikatakan bahwa arti asli

dari wabi adalah suatu bentuk kesendirian atau mengasingkan diri dari kehidupan

berarti kesedihan dan kemiskinan. Kemiskinan di sini bukan berarti tidak

memiliki apapun, tetapi tidak bergantung pada harta materi. Wabi adalah

membebaskan diri dari harta, kegemaran, keangkuhan, dan menyatukan diri

dengan alam dan kenyataan. Wabi merupakan kesenangan akan hal sederhana.

Dapat disimpulkan bahwa wabi adalah jalan kehidupan spiritual yang

dipakai dalam menghargai benda dan seni. Prinsip Zen Buddisme tentang wabi

adalah gabungan prinsip Confucius, Tao, Budha dan Shinto yang terfokus pada

pandangan pertapa dan mengapa pertapa mengejar hidup terang dalam

kesendirian. Prinsip filosofinya adalah mengurangi ego dan dunia materi yang

memberikan penderitaan, ketakutan akan kematian, penghargaan terhadap hidup

dan menyelaraskan hidup dengan alam. Menurut Sen No Rikyu, wabi adalah

suatu bentuk kekayaan dalam kemiskinan dan keindahan dalam kesederhanaan.

Penggunaan wabi terdapat dalam upacara minum teh, seni pertamanan, waka,

haiku, renga, seni keramik, dan lain-lain.

9. Sabi ( )

Sabi berarti suatu bentuk kesendirian, keterasingan, dan ketidakberaturan. Sabi mengarah kepada objek individual dan keadaan lingkungan secara umum.

Penggunaan sabi terdapat dalam puisi, upacara minum teh, seni keramik, ikebana,

dan lain-lain.

10.Seijaku ( )

Seijaku berarti suatu bentuk ketenangan dari kekuatan spiritual, kestabilan

dan ketentraman ke arah pencerahan. Seijaku berhubungan dengan suatu keadaan

aktif yang tenang (tanpa ada gangguan). Penggunaan seijaku terdapat dalam

Dengan melihat penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa nilai-niai

estetika Zen Buddhisme memusatkan titik estetikanya pada alam. Jadi, jelas

bahwa konsep estetika Zen Buddhisme memiliki kesamaan dengan konsep

estetika yang diakui masyarakat Jepang secara umum. Persamaannya terletak pada

alam sebagai pusat estetika, karena alam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

manusia, dimana manusia adalah bagian dari alam. Alam tidak untuk ditaklukkan,

tetapi untuk dihormati dan dihargai. Penghormatan dan penghargaan terhadap

alam tampak dalam berbagai aspek budaya Jepang, salah satunya tampak pada

nilai-nilai estetika yang berkembang dalam masyarakat Jepang baik secara umum

maupun berdasarkan ajaran Zen Buddhisme. Nilai-nilai ajaran Zen Budhisme

mengenai estetitka sangat mempengaruhi esteika keramik Jepang. Penjelasan

mengenai nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme yang sangat mempengaruhi estetika

Dokumen terkait