• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme Dalam Masyarakat

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KERAMIK TRADISIONAL

2.2 Zen Buddhisme di Jepang

2.2.2 Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme Dalam Masyarakat

Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, Zen diajarkan dari hati ke hati,

tidak bergantung pada buku-buku, dokumen-dokumen ataupun teori-teori.

Bodhidharma menekankan bahwa dalam pembinaan spiritual, intinya adalah pada

pengalaman langsung, bukan melalui belajar dari buku (Wong Kiew Kit,

2004:262). Pengajaran Zen tidak dapat dipahami sepenuhnya jika diungkapkan

melalui kata atau bahasa, tetapi Zen harus dialami secara pribadi. Meskipun

demikian, belajar melalui buku tidak dapat disalahkan, karena melalui buku

seseorang dapat dipersiapkan untuk memperoleh pencerahan.

Sasaran Zen seperti yang diungkapkan Suzuki (2004:212), Zen pada

dasarnya adalah seni melihat hakekat kebenaran seseorang dan menunjukkan jalan

dari perbudakan ke kebebasan. Zen dapat membebaskan semua energi yang

tersimpan secara alamiah untuk beraktivitas. Berarti Zen adalah seni untuk

melihat kodrat diri dan mempergunakan secara maksimal kekuatan-kekuatan yang

terdapat dalam diri manusia tersebut.

Ajaran Zen tidak hanya terfokus pada kerohanian saja, melainkan juga

mencakup penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Para rahib Zen dikatakan

selalu berdoa untuk orang lain dan makhluk hidup lainnya, dan tidak pernah

perbuatannya dan bukan meminta pertolongan. Mereka tidak hanya mengajarka

tentang kasih sayang dan kebijaksanaan, tetapi juga menjalankannya dalam

kehidupan sehari-hari. Para pengikut Zen berusaha untuk hidup dalam disiplin

yang ketat untuk membina dan menumbuhkan keutamaan, ketaatan, kesahajaan

serta kerandahan hati.

Pengikut Zen bukan hanya dituntut untuk hidup sederhana, disiplin, saling

mengasihi dan saling membantu sesama manusia, tetapi juga harus bekerja keras

untuk hidup tidak bergantung pada belaskasihan orang lain seperti yang sering

dilakukan oleh par pendeta Buddha.

Dalam Sutrisno (2002:51) disebutkan bahwa Shidarta Gautama yang telah

menjadi Budha (orang yang diterangi) menunda masuk nirvana (kehidupan tanpa

batas) guna membantu sesama untuk mencapai penerangan, sebuah usaha untuk

menyelamatkan sebanyak mungkin orang. Para pengikut Zen juga diwajibkan

untuk berbuat demikian (menolong sesama) untuk menjadi Budha. Jadi dapat

disimpulkan bahwa Zen mengajarkan untuk tidak mementingkan diri sendiri saja,

melainkan juga peduli terhadap kesusahan dan penderitaan sesama manusia.

Agar dapat memahami ajaran Zen beserta nilai-nilai yang tercermin di

dalamnya, penulis akan membaginya ke dalam beberapa poin, yaitu: pencerahan

(satori), koan dan mondo, meditasi dan diri.

1. Pencerahan (Satori)

Satori atau pencerahan adalah esensi Zen. Tanpa satori, seseorang tidak

akan tahu sepenuhnya apa yang dimaksud dengan Zen. Satori adalah pengalaman

utama dalam Zen sebagai seni melihat inti atau kodrat diri sehingga menjadi

“Satori adalah melihat inti kodrat diri seseorang. Kodrat ini bukan suatu entitas (kenyataan) yang dimiliki seseorang sebagaimana dibedakan dari yang lain; dan dalam melihat inti diri itu sesungguhnya tidak istilah penonton. Satori berarti ‘mengatasi akal’, ‘satu pikiran mutlak’, ‘kekinian mutlak’, ‘kemurnian yang benar-benar’, ‘kekosongan’, ‘apa adanya’, dan banyak lain lagi”.

Pengertian di atas merupakan pengalaman pribadi Suzuki dalam hal satori.

Bagaimanapun juga, rumusan tentang satori tersebut sangat terbatas jika

diungkapkan dengan kata-kata. Seseorang harus mengalami satori itu sendiri

secara langsung untuk memahaminya dengan utuh. Bedasarkan pernyataan Suzuki

di atas, ajaran Zen menolak pemisahan dan pembagian antara subjek dan objek.

Seluruh alam semesta merupakan satu kesatuan dan tidak ada perbedaan di

dalamnya. Jalam Zen ialah menerima hidup ini sebagaimana hidup tersebut

dijalani, tidak berusaha memotong-motongnya lalu memulihkan kehidupan

tersebut dengan pengintelekan, Zen melestarikan kehidupan sebagai kehidupan.

Satori berarti membangun kesadaran baru yang membuang dan

membinasakan kerangka berpikir lama dan memandang segala sesuatunya dengan

pandangan baru. Kerangka berpikir lama berarti konsep intelektual atau berpikir

secara rasional. Sedangkan Zen tidak dapat dipahami sepenuhnya dengan cara

berpikir rasional, karena cara berpikir tersebut sering kali tidak berhasil

memecahkan masalah pribadi seseorang. Hal ini bernicara mengenai kekosongan

mutlak. Kekosongan di sini bukan berarti tidak terdapat sesuatu apapun,

melainkan suatu kepenuhan mutlak dan bebas dari segala konsep-konsep

intelektual dan rasional. Dalam Sutrisno (1993: 141) dikatakn, prinsip pertama

Buddhisme adalah kekosongan yang berarti situasi kepenuhan tanpa halangan dari

Sedangkan menurut Takuan dalam Suzuki (2004: 40-41) yang terutama

adalah menjaga agar pikiran agar pikiran selalu dalam keadaan “mengalir”. Jika

pikiran terhenti, maka akan terjadi gangguan yang melukai kesejahteraan pikiran.

Hal ini berarti pemikiran sebaiknya tidak dihalangi oleh apapun, tidak dipusatkan

atau ditfokuskan hanya pada satu tempat. Jika hal tersebut terjadi, maka

pertumbuhannya akan terhenti. Maksudnya adalah bahwa pikiran seseorang itu

haruslah dibiarkan mengalir dan bergerak bebas. Jadi, tujuan pokok dari Zen

Buddhisme bukanlah untuk masuk dalam surga, tetapi mencapai pencerahan yang

meliputi kebenaran seseorang dan memahami alam kenyataan.

2. Koan dan Mondo

Salah satu metode untuk mencapai satori (pencerahan) adalah dengan cara

Koan dan Mondo selain dengan cara meditasi. Namun, pada umumnya kedua

metode tersebut dilakukan bersama-sama untuk mencapai pencerahan. Koan atau

kung-an dalam bahasa Cina, merupakan tema meditasi, yaitu berupa persoalan

yang diberikan oleh guru kepada muridnya untuk dipecahkan. Sedangkan mondo

adalah suatu dialog, tanya jawab, yang langsung diadakan untuk mengetahui ada

atau tidaknya pengalaman satori (Sutrisno, 2002:59-60).

Koan dirancang dengan tujuan untuk mengacaukan pikiran seseorang yang

rasional, hubungan logika, dan memaksanya untuk memperoleh pengertian tiba-

tiba dan intuisi kedalaman kenyataan. Persoalan dalam koan yang dierikan guru

kepada muridnya tidak dapat dipecahkan secara logis atau rasional. Antara

pertanyaan dengan jawaban koan kelihatannya tidak ada hubungannya. Berikut

a. Seorang biksu bertanya pada chao-chao (seorang master Zen Cina):

“Adakah kodrat Budha dalam diri seekor anjing?”. Jawaban sang guru

hanyalah “wu”.

b. “Apakah Tao itu?” Jawabannya, “Pikiranmu setiap hari itulah tao”.

c. Koan kegemaran hakuin adalah “Apakah suara yang timbul dengan

bertepuk sebelah tangan?”.

Para murid Zen yang diberikan soal koan tersebut, harus mampu

mempertahankan koan itu dalam pikirannya sehari-hari. Dengan kata lain, murid

tersebut harus bersatu dengan koan tersebut, tidak lagi memandang koan tersebut

sebagai objek yang akan diteliti. Hal ini sesuai dengan prinsip Zen Buddhisme,

yaitu segala sesuatunya adalah satu kesatuan dan tidak ada cara berfikir dualisme.

3. Meditasi (Zazen)

Meditasi juga merupakan cara untuk mencapai satori (pencerahan). Kata

zazen (dalam bahasa Jepang) berasal dari kata “za” yang berarti duduk bersila dan

“zen” berarti meditasi (Sutrisno, 2002:63). Dengan kata lain zazen berarti meditasi

duduk.

Zazen sebenarnya berasal dari tradisi India yaitu yoga. Tetapi zazen bukan

seperti yoga yang berpikir dan berkonsentrasi pada sesuatu, melainkan tidak

berpikir. Para pelaksana zazen duduk dengan kaki disilang dan menariknya ke

dalam, dan punggung harus benar-benar tegak lurus atau disebut juga denagn

sikap badan teratai. Sikap badan seperti ini adalah tanda luar dari pencerahan.

Dalam meditasi, dengan menutup seluruh pengaruh perasaan dan

kesadaran berpikir, para pelaksana Zen mencoba untuk memcapai situasi

pemikiran itu sendiri yang mengalami pencerahan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Mikiso Hane (1991: 80):

“Zazen memerlukan posisi tubuh yang telah ditentukan, peraturan pernafasan, konsentrasi khusus untuk menetapkan pikiran agar mengontrol emosi dan memperkuat kehendak. Kemudian seseorang melihat kedalam ‘hati dan pikiran’ untuk menemukan alam kehidupan senebarnya”.

Akhirnya, dengan zazen (meditasi) tidak hanya satori (kesadaran), tetapi

juga perkembangan spiritual dan moral serta sifat baik dari manusia akan timbul

pada diri pelaksananya.

4. Diri

Zen, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada dasarnya adalah

melihat kodrat diri manusia sebagaimana adanya. Suzuki (2004:49) mengatakan:

“Mereka takut sekali menjadi ‘sujektif’. Tetapi kita haruslah ingat bahwa selama kita berada di luar, maka kita adalah orang luar, bahwa justru karena itu kita tidak pernah mampu memahami benda tersebut (atau diri kita) sendiri, bahwa yang bisa kita ketahui adalah Cuma tentang (benda atau diri kita sendiri) yang berarti bahwa kita tiada pernah bisa memahami apakah diri-sejati kita”.

Hal ini berarti bahwa diri harus mengenal dirinya tanpa keluar dari dirinya

sendiri. Dalam Zen, akan sia-sia belaka jika seseorang melakukan pendekatan

logis untuk menerangkan apa arti “diri” (the self) dalam sistem filsafat ataupun

sisitem berpikir lainnya.

Menurut Suzuki (2004:50), diri dapat dibandingkan dengan sebuah

lingkaran tak bertepi (tidak ada garis lingkarannya), denagn kata lain adalah

kekosongan. Diri tersebutlah yang menjadi pusat semesta, asal dari segala sesuatu

dan tempat bernaung bagi semua termasuk manusia.

Zen juga berpengaruh dalam konsep estetika (keindahan). Konsep estetika

Konsep yang berkaitan dengan tema pembahasan ini adalah wabi-sabi. Wabi

artinya mencari kesempurnaan dalam kemiskinan dan kecantikan dalam

kesederhanaan dan juga menikmati hidup bebas yang tenang. Wabi juga

merupakan konsep keindahan dalam upacara minum teh. Sedangkan sabi adalah

kesepian, pasrah, ketenangan, namun masih bersemangat. Konsep sabi ini juga

digunakan dalam upacara minum teh yang kemudian mempengaruhi

perkembangan keramik tradisional di Jepang.

Estetika wabi-sabi tersebut mengekspresikan beberapa nilai ajaran Zen

yang tidak terlepas dari kewajaran atau bersifat alami. Diantaranya adalah fukinsei

(asimetris atau ketidakteraturan), kanso (kesederhanaan yang rapi dan segar), koko

(esensi), shizen (kewajaran atau kealamian), yugen (bermakna atau rasa yang

mendalam), datsuzoku (kebebasan yang tidak terikat), shibui (kesederhanaan dan

keindahan seadanya), wabi (kekayaan dalam kesederhanaan), sabi (kesendirian

dan ketidakberaturan), dan seijaku (hening atau tenang). Nilai-nilai tersebutlah

yang nantinya akan ditunjukkan dalam estetika keramik tradisional Jepang.

Dokumen terkait