BAB V
KONSEP PERANCANGAN
Pada proses perancangan bangunan Pusat Kebudayaan Jepang ini dilakukan beberapa telaah mengenai prinsip-prinsip kebudayaan Jepang yang dapat diaplikasikan secara arsitektural. Prinsip-prinsip tersebut digunakan untuk menjadi garis haluan perancangan.
Selain telaah mengenai prinsip-prinsip kebudayaan Jepang, telaah juga dilakukan terhadap tema Origami. Sifat origami dianalisis sehingga didapat inti dari origami itu sendiri.
Gabungan atau sintesis dari kedua telaah tersebut diharapkan dapat membentuk suatu konsep yang digunakan sebagai acuan perancangan.
V.1 KONSEP ARSITEKTUR JEPANG
Pada dasarnya arsitektur Jepang dibagi dalam beberapa periode. Di antaranya periode neolitik (periode prasejarah, zaman Yayoi dan zaman Jomon), periode masuknya agama Buddha, periode kerajaan, periode restorasi, dan periode modern. Setiap periode memiliki ciri khasnya sendiri tetapi umumnya arsitektur Jepang terbagi atas beberapa tipologi yaitu istana, bangunan keagamaan, rumah tinggal, dan taman.
Menurut Yoshinobu Ashihara dalam bukunya The Hidden Order, Jepang memiliki karakter yang sangat khas. Beberapa di antaranya adalah interaksi yang intim antara interior dan eksterior, ruang dengan kualitas mengalir, baur antara interior dan eksterior, dan ambiguitas dalam pemanfaatan ruang-ruang.
Sedangkan Kazuo Nishi dalam buku What is Japanese Architecture berpendapat bahwa hal paling mendasar dari arsitektur Jepang adalah
borrowing scene yang harmonis dan fokus pada kesehatan jiwa melalui
Literatur lain yang membahas arsitektur Jepang yaitu The
Japanese Spatial Conception memberi penekanan pada interior sebagai
hal yang paling penting dalam perancangan arsitektur Jepang.
Berdasarkan literatur-literatur di atas ditarik kesimpulan mengenai konsepsi arsitektur Jepang yaitu ambiguitas, asimetri,
borrowing scene, ruang mengalir, fleksibilitas, dan baur antara interior
dan eksterior.
Gambar 5.1 Istana Katsura Gambar 5.2 Istana Katsura Sumber : Katsura Sumber : Katsura V.2 KONSEP BENTUK
Perancangan bangunan Pusat Kebudayaan Jepang ini dilakukan melalui pendekatan bentuk berdasarkan tema yang telah disepakati. Tema origami diterjemahkan melalui konsep lipat, grid, dan modul. Secara naif konsep lipat diterjemahkan melalui folding architecture tetapi lebih jauh daripada itu bentuk yang diciptakan harus dapat menampilkan wujud sebuah origami.
Grid dan modul diambil dari perbandingan dimensi tatami yaitu 90 cm : 180 cm atau 1 : 2. Bentuk dasar grid adalah segitiga, sesuai dengan
crease pattern yang terbentuk apabila kita membuka ulang lipatan dari
sebuah bentuk origami.
Dari beberapa bentuk origami yang telah dicoba, bentuk origami yang mudah untuk dijadikan modul adalah bentuk dasar Turu (layang-layang) dan bentuk origami flying butterfly. Bentuk dasar ini dapat diulang sampai mendapatkan bentuk baru –misalnya segitiga atau bujursangkar, tepat sesuai dengan grid yang diinginkan-- dan dapat pula dibuka kembali lipatannya untuk mendapatkan bentuk yang sama sekali berbeda.s
Beberapa alternatif bentuk awal yang dibuat merupakan perulangan moduler dari bentuk dasar Turu dan eksplorasi turunannya. Alternatif pertama membentuk deretan Turu yang ditarik sehingga menjadi bentuk 3 dimensi. Sementara alternatif bentuk kedua merupakan eksplorasi ekstrem terhadap bidang muka Turu yang dilubangi. Modul baru ini diulang kearah satu sumbu kemudian diputar pada poros torsinya untuk mendapatkan bentuk yang lebih ‘mengalir’.
Gambar 5.5 Bentuk Dasar The Flying Butterfly Sumber: dok. pribadi
Gambar 5.6 Bentuk Dasar Turu Gambar 5.7 Turu yang Dilubangi
Sumber: dok. Pribadi Sumber: dok. pribadi
Gambar 5.8 Eksplorasi Turu 1 Gambar 5.9 Eksplorasi Turu 2 Sumber: dok.pribadi Sumber: dok.pribadi
Pada perkembangan perancangan, bentuk yang dikembangkan berasal dari eksplorasi lipatan bentuk dasar origami kupu-kupu. Lipatan pada bentuk origami kupu-kupu dijadikan bentuk dasar modul untuk bangunan utama. Modul lipatan kemudian diulang dan diputar pada titik sumbu yang ditentukan untuk mewujudkan konsep asimetri. Kesan mengalir ditunjukkan dengan penurunan ketinggian puncak lipatan dari setiap modul. Konsep kesederhanaan diwujudkan dalam penggunaan material beton yang polos dan datar.
Kesan lipatan diterapkan pada bangunan lain secara terbatas. Lipatan diaplikasikan pada dinding dan penggunaan elemen tangga.
Gambar 5.10 Proses Membuat Modul Gambar 5.11 Eksplorasi Modul Sumber : dok. Pribadi Sumber: dok. pribadi
Gambar 5.12 Bentuk Akhir Eksplorasi Gambar 5.13 Tampak Bentuk Akhir
Sumber: dok. Pribadi Sumber: dok. pribadi
Gambar 5.14 Preseden Lipatan Folded Rigid Frame Sumber : www.ketchum.org
Lipatan origami diaplikasikan secara penuh—termasuk untuk sistem strukturnya, hanya pada bangunan fungsi utama yaitu balairung/ruang serba guna/ruang pertemuan dan galeri sedangkan bangunan untuk fungsi dari kelompok fasilitas lain menggunakan sistem konvensional. Hal ini dilakukan untuk menjadikan bangunan origami tersebut sebagai point of interest. Dengan demikian, bangunan dengan fasilitas lain harus lebih sederhana daripada bangunan utama.
V.3 KONSEP PERANCANGAN TAPAK
Berdasarkan prinsip-prinsip origami dan arsitektur Jepang, didapat beberapa hal yang penting untuk diterapkan dalam perancangan tapak, diantaranya konsep baur, borrowing scene, ruang mengalir dan pengalaman sekuensial, serta landscape folding.
V.3.1 BAUR ANTARA INTERIOR DAN EKSTERIOR
Penerapan dalam perancangan antara lain dengan memperlebar trotoar dan mengisinya dengan vegetasi yang sesuai. Vegetasi tersebut kemudian dijadikan bagian dari borrowing scene dari ruang dalam yang memperkuat interaksi antara ruang dalam dan ruang luar. Bingkai terhadap pemandangan ini sendiri adalah bukaan yang disediakan hampir di setiap sisi bangunan.
Penggunaan amenity space di sekitar bangunan utama digunakan sebagai area yang memperluas ruang pandang bagi pengguna jalan dari arah Utara.
Bangunan utama origami diperlakukan sebagai bangunan monumental sehingga perlu diberi ’alas’ atau podium yang meninggikan posisinya di dalam tapak. Oleh karena itu, level bangunan utama merupakan level ketinggian tertinggi di dalam tapak ( +4.00 ).
sirkulasi utama Amenity Space
Gambar 5.15 Konsep Amenity Space Sumber: dok. pribadi V.3.2 RUANG MENGALIR, PENGALAMAN SEKUENSIAL, DAN VISTA Konsep lainnya yang diterapkan dalam perancangan tapak yaitu konsep ruang mengalir. Tapak dirancang agar pengguna mendapatkan pengalaman sekuensial, terarahkan oleh elemen-elemen lansekap.
Gambar 5.16 Contoh Elemen Lansekap Sumber : Katsura
Bangunan Utama
Bangunan Pendukung
Gambar 5.17 Titik-titik Ruang Pandang Sumber: dok. pribadi A Titik ruang pandang pertama: pengunjung melihat sosok bangunan utama secara
penuh
B Titik ruang pandang kedua: pengunjung melihat sosok bangunan pendukung tetapi tidak dapat langsung ’menyentuh’ massanya
C Titik ruang pandang ketiga: pengunjung yang menggunakan angkutan umum masuk dari titik ini, melihat sosok bangunan utama dari sisi yang berbeda
D Titik ruang pandang keempat: pengunjung melihat sosok massa pendukung dan dapat merasakan skala massanya
E Titik ruang pandang keempat: pengunjung tidak dapat melihat sosok bangunan utama secara penuh, hanya dapat melihat puncak-puncak lipatan bangunan utama.
sirkulasi utama yang sebenarnya
Gambar 5.18 Double Layered Circulation Sumber: dok. pribadi Kondisi tapak yang miring memungkinkan pengolahan lansekap bersusun seperti modul dan lipatan origami (landscape folding). Penggunaan tangga dan ramp memperkuat kesan tanah yang ’terlipat’.
Pada konsep pengalaman sekuensial ini juga dapat diterapkan konsep vista seperti pada arsitektur Jepang umumnya.