• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Nasional

Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung besarnya pendapatan nasional atau produksi nasional setiap tahunnya, yang disebut dengan PDB (Product Domestic Brutto). Product Domestic Brutto diartikan sebagai nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan di dalam negara selama satu tahun tertentu (Mankiew, 2006). Perhitungan besarnya pendapatan nasional dapat dilakukan dengan 3 pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran.

Pendekatan produksi, perhitungan pendapatan nasional dengan menjumlahkan nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor dalam perekonomian (sektor pertanian; pertambangan; industri, listrik, gas dan air minum; bangunan; pengangkutan, perdagangan, keuangan, sewa rumah; pemerintah dan pertahanan; jasa-jasa lain).

Pendekatan pendapatan, perhitungan pendapatan nasional dengan menjumlahkan pendapatan yang diterima oleh para pemilik faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa ke dalam perekonomian.

Pendekatan pengeluaran, Perhitungan pendapatan nasional dengan menjumlahkan seluruh pengeluaran para pelaku ekonomi atas barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan dalam perekonomian.

2.2. Model IS-LM Sederhana

(2)

Model IS-LM dirancang untuk menjelaskan perekonomian dalam jangka pendek ketika tingkat harga adalah tetap dan melihat bagaimana perubahan tingkat harga mempengaruhi keseimbangan dalam model IS-LM. Model IS-LM juga menjelaskan perekonomian dalam jangka panjang ketika tingkat disesuaikan untuk menjamin bahwa perekonomian berproduksi pada tingkat alamiah.

2.2.1. Model IS

(Mankiw, 2006) Pendapatan nasional mengalami kenaikan atau penurunan menurut Teori Keynes tergantung kepada total permintaan agregat. Model permintaan agregat dibentuk dari variabel-variabel C, I, G, X – M dengan bentuk perekonomian terbuka sebagai berikut:

Y = AD = C + I + G + NX (2.1)

dimana C = C(Y - T). Fungsi konsumsi dinyatakan dalam bentuk C = C (Y-T), yang berarti C merupakan variabel endogen yang dipengaruhi oleh besar kecilnya pendapatan nasional dan pajak yang dikeluarkan (dispossible income). Semakin besar pendapatan yang diterima maka pengeluaran konsumsi akan semakin tinggi, sehingga hubungannya positif terhadap pertumbuhan pendapatan nasional. Sedangkan pajak yang dibayarkan memiliki hubungan

negative terhadap pengeluaran konsumsi. Jika pajak yang dibayarkan semakin tinggi maka

pengeluaran konsumsi akan semakin menurun dan akhirnya akan menurunkan pendapatan nasional.

I = I(r,Y) (2.2) Pengertian investasi dalam teori ekonomi makro lebih banyak kepada investasi fisik,

(3)

barang (inventory). Investasi berarti pembelian (dan berarti juga produksi) dari

capital/modal barang–barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi yang

akan datang (barang produksi). Agar tidak terjadi kerancuan dengan kenyataan sehari-hari, perhitungan investasi harus konsisten dengan perhitungan pendapatan nasional. Yang dimasukkan dalam perhitungan investasi adalah barang modal, bangunan/konstruksi, maupun persediaan barang jadi yang masih baru.

Fungsi investasi dinyatakan dalam bentuk I = I(r,Y), yang berarti besar kecil investasi dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat bunga yang berlaku (r) dan juga pendapatan nasional (Y). Jika tingkat bunga mengalami kenaikan maka investasi akan menurun dan sebaliknya, sehingga hubungannya dinyatakan bersifat negatif, sedangkan terhadap pendapatan nasional, apabila pendapatan nasional mengalami kenaikan maka permintaan investasi juga akan meningkat dan sebaliknya, sehingga hubungannya dinyatakan positif.

NX = NX(e, r , Y) (2.3)

Selisih dari kegiatan ekspor terhadap impor menghasilkan net ekspor, yang berarti neraca perdagangan bersifat surplus. Bagi perekonomian negara yang terbuka adanya arus

       Tingkat Bunga (r)                      Investasi (I) 

(4)

modal dan barang internasional, maka pengeluaran domestic tidak harus sama dengan

output barang dan jasa yang dihasilkan. Karena jika terdapat selisih pendapatan atas

pengeluaran konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah akan menghasilkan net ekspor positif ( Y > C + I + G ), karena:

Y = C + I + G + NX Y – C – G = I + NX Y – C – G = S S = I + NX

S – I = NX (2.4) dimana S = tabungan. Jika S – I positif dan S > I, maka negara meminjamkan kelebihan

dananya pada pihak asing, tetapi bila S – I negative dan S < I negara memiliki kekurangan dana dan untuk mendanai investasi dilakukan dengan meminjam dana dari luar negeri.

Neraca perdagangan suatu negara dipengaruhi oleh nilai kurs (e), tingkat bunga (r) dan juga pendapatan nasional (Y). Pengaruh nilai tukar mata uang diantara negara yang menjalin hubungan ekonomi luar negeri (e) adalah Jika harga barang dan jasa di luar negeri lebih murah (nilai kurs riil tinggi ) dibanding dalam negeri maka neraca perdagangan akan bersifat negatif, karena mendorong impor yang lebih besar, dan itu artinya pendapatan nasional akan menurun dan mendorong terjadinya depresiasi nilai tukar mata uang terhadap mata uang negara yang berhubungan. Sebaliknya bila nilai kurs riil rendah maka harga barang di dalam negeri akan lebih murah dibanding luar negeri dan akan mendorong meningkatnya net ekspor dan berkurang impor, sehingga pendapatan nasional mengalami

(5)

peningkatan. Sehingga dapat dikatakan hubungan antara nilai kurs riil terhadap neraca perdagangan bersifat negatif.

Arus barang dan modal internasional menggambarkan bahwa neraca perdagangan adalah sama dengan arus modal keluar netto, atau tabungan sama dengan investasi. Dalam perekonomian terbuka, meminjam dan memberi pinjaman dipengaruhi tingkat bunga (r). Apabila tingkat bunga dunia (r*) di atas tingkat bunga domestik (r), maka investasi keluar netto akan naik sehingga tabungan domestik menurun dan akibatnya neraca perdagangan akan negatif (defisit) sehingga pendapatan nasional menurun.

Sehingga:

Y = C(Y-T) + I(r,Y) + G + NX (e, r , Y) (2.5) Dari persamaan (2.5) ditunjukkan variabel yang mempengarhi Y yaitu, T, G, r dan e

sehingga model IS dinyatakan dengan fungsi sebagai berikut

Y = Y(G, T , r, e) (2.6) dimana Y = pendapatan nasional, C = pengeluaran konsumsi ,I = pengeluaran investasi, T

= penerimaan pajak, r = tingkat bunga, G = pengeluaran pemerintah, NX = X – M = net export, jika X > M (surplus neraca perdagangan), X = pengeluaran export dan M = import. Apabila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah (∆G) maka permintaan output (pendapatan nasional) mengalami peningkatan sebesar multiplier effect atas komponen pengeluaran pemerintah tersebut.

Peningkatan pajak berefek negatif terhadap perekonomian, karena menurunnya

dispossible income akan mengurangi konsumsi, sehingga permintaan output mengalami

(6)

Semakin tinggi tingkat bunga ke dalam perekonomian berarti akan mengganggu investasi, sehingga investasi berefek negatif atas tingkat bunga. Jika investasi turun maka

output juga akan menurun atau berkurang.

Perubahan nilai kurs terhadap pertumbuhan output terlihat besar pengaruhnya bagi perekonomian yang bersifat terbuka. Apabila kurs mata uang negara tersebut cenderung menguat maka efek negatifnya terhadap kegiatan export, sehingga sangat mungkin terjadi penurunan pada pendapatan nasional. Dan sebaliknya jika kurs melemah maka sangat dimungkinkan neraca perdagangan akan menigkat, sehingga terjadi pertumbuhan pendapatan nasional karena didorong bertambahnya permintaan output dari pasar luar negeri.

2.2.2. Model LM

Model LM menjelaskan hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang muncul di pasar uang, dan untuk memahami pemahaman model LM adalah dengan melihat teori tingkat bunga atau teori preferensi likuiditas (theory of liquidity preference). Teori ini menyatakan bahwa tingkat bunga disesuaikan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan uang. Permintaan terhadap keseimbangan uang riil yang ditegaskan oleh teori preferensi menegaskan bahwa tingkat bunga adalah salah satu determinant dari berapa banyak uang yang ingin dipegang, karena tingkat bunga merupakan opportunity cost dari memegang uang. Ketika tingkat bunga naik, orang hanya ingin memegang uang lebih sedikit.

Perubahan pendapatan nasional (Y) terhadap keseimbangan uang riil adalah positif terhadap permintaan uang dalam perekonomian, yaitu ketika pendapatan tinggi,

(7)

pengeluaran tinggi sehingga permintaan uang lebih besar. Karenanya pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan tingkat bunga juga lebih tinggi.

Sehingga dapat ditulis bahwa fungsi dari jumlah uang yang diminta (M/P) ditentukan tingkat bunga dan pendapatan, yaitu:

M / P = L (r , Y) (2.7) ) , (r Y L M P =                (2.8)    r = r(M/P, Y)              (2.9)        Apabila jumlah uang beredar mengalami peningkatan akibat tingginya permintaan

barang dan jasa yang diikuti dengan permintaan uang, menurut teori kuantitas uang Fisher, maka akan terjadi penurunan tingkat bunga nominal karena terbukanya peluang inflasi. 

Hubungan antara tingkat harga terhadap tingkat bunga adalah bersifat positif, artinya apabila terjadi inflasi ke dalam perekonomian maka kebijakan moneter yang dilakukan adalah dengan menaikkan tingkat bunga.

Kenaikan pendapatan nasional yang diikuti dengan meningkatnya permintaan

output harus dicegah pengaruhnya terhadap kenaikan jumlah uang beredar, karena

kenaikan permintaan menimbulkan ancaman inflasi dengan cara menaikkan tingkat bunga agar perekonomian stabil.

2.3. Kebijakan Fiskal

Kebijakan ekonomi makro akan selalu diperlukan untuk mencegah dan menghilangkan gejala ekonomi makro yang tidak diinginkan seperti tingkat inflasi yang tinggi, pengangguran, neraca pembayaran yang defisit. Kebijakan fiskal merupakan

(8)

kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian dengan menggunakan instrument variabel pajak (tax), transfer pemerintah atau dengan pengeluaran pemerintah. (Reksoprayitno: 2000). Kedua kebijakan ekonomi makro tersebut dapat bersifat ekspansi maupun kontraksi. Ketika perekonomian menghadapi peningkatan pengangguran dan kapasitas produksi nasional bersifat unemployment dilakukan kebijakan yang bersifat ekspansi (mis: defisit neraca pembayaran), sedangkan kebijakan kontraksi digunakan apabila perekonomian dalam keadaan over employment yaitu permintaan agregatif melebihi kapasitas produksi nasional (mis: inflasi yang tinggi). Tujuan dari kedua kebijakan ekonomi makro tersebut baik ekspansi maupun kontraksi adalah untuk meningkatkan pendapatan nasional dan menurunkan tingkat pengangguran serta tingkat inflasi dan memperkecil defisit neraca pembayaran luar negeri.

Perubahan dalam belanja pemerintah akan mempengaruhi perekonomian. Jika belanja pemerintah naik sebesar G (Government expenditure) akan mendorong adanya kenaikan pendapatan nasional sebesar = KG x G (Direct Stimulus). Bertambahnya pendapatan, akibat kebijakan fiskal yang ekspansif menyebabkan permintaan uang juga meningkat, sehingga mendorong kenaikan tingkat bunga (r). Sebaliknya kebijakan fiskal yang bersifat kontraksi dengan menaikkan pajak akan menurunkan pendapatan nasional, karena pajak (tax) bersifat indirect stimulus. Dengan menurunnnya pendapatan nasional (Y) maka terjadi penurunan permintaan uang, akibatnya tingkat bunga (r) turun. Dalam kebijakan fiskal ini lebih efektif menurunkan pengeluaran (G) dibandingkan dengan menaikkan pajak (Tax).

(9)

Kebijakan moneter merupakan kebijakan pemerintah yang dilakukan otoritas moneter (Bank Sentral) untuk mempengaruhi perekonomian dengan cara penambahan atau pengurangan jumlah uang beredar (M1) yang biasa disebut dengan penawaran uang (Reksoprayitno: 2000). Kebijakan moneter yang bersifat ekspansi dengan cara menambah jumlah uang beredar (M), bertujuan untuk menambah jumlah pendapatan nasional (Y), pada tingkat yang diharapkan. Kenaikan pendapatan pada tingkat keseimbangan penawaran riil akan diikuti dengan adanya peningkatan permintaan uang dan mendorong terjadinya kenaikan tingkat bunga. Sehingga hubungan antara peningkatan pertambahan jumlah uang beredar terhadap tingkat bunga adalah positif. Sebailiknya kebijakan moneter yang bersifat kontraksi dengan mengurangi jumlah uang beredar pada tingkat harga yang fleksibel akan menurunkan pendapatan nasional sehingga inflasi dan tingkat bunga juga akan menurun.

2.5. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter

Ketika menganalisis setiap perubahan dalam kebijakan moneter atau fiskal maka perlu disadari bahwa kebijakan dalam suatu kebijakan akan mempengaruhi kebijakan lainnya. Artinya ada saling ketergantungan atas sebuah kebijakan terhadap dampak kebijakan ekonomi yang dihasilkan. Hasil interaksi atas kebijakan fiskal dan moneter dapat terdiri dari:

(10)

Apabila pemerintah menjalankan kebijakan fiskalnya dengan menaikkan pajak maka ada 3 kemungkinan yang akan berlaku yaitu:

a. Otoritas moneter mempertahankan jumlah uang beredar pada tingkat konstan, maka akan mengakibatkan pendapatan nasional akan turun, karena kenaikan pajak akan mengurangi pengeluaran konsumen, sehingga tingkat bunga juga akan turun karena ada kecenderungan mengurangi permintaan uang (kurva IS bergeser ke kiri dari IS1 ke IS2 sedangkan kurva LM tetap akibatnya Y1 turun menjadi Y21 dan tingkat bunga turun dari r1 ke r2 , Gambar 2.2).

b. Otoritas moneter mempertahankan tingkat bunga konstan dengan mengurangi jumlah uang beredar, sehingga pendapatan nasional akibatnya juga turun lebih besar dibandingkan cara no (a), karena kenaikan pajak (Gambar 2.2).

c. Otoritas moneter mencegah akibat kenaikan pajak pada menurunnnya pendapatan nasional (pendapatan nasional berada pada tingkat tetap) dengan meningkatkan jumlah uang beredar, akibatnya tingkat bunga turun cukup besar. Refleksi dari kebijakan fiskal dan moneter tersebut ke dalam perekonomian dengan tingkat pendapatan nasional yang tetap adalah adanya penurunan konsumsi akibat kenaikan pajak, sedangkan ekspansi moneter dengan tingkat bunga yang turun mendorong investasi (kurva IS bergeser ke kiri dari IS1 ke IS2 dan kurva LM bergeser ke kanan dari LM1 ke LM2, akibatnya Y tetap dan tingkat bunga turun dari r1 ke r2, (Gambar 2.3).

Tingkat bunga (r)

(11)

IS2 LM1

0 Y22 Y21 Y1 Pendapatan (Y) Gambar 2.2. Peningkatan Pajak, Cateris Paribus Tingkat bunga (r) LM1

LM2

IS1

IS2

0 Y Pendapatan (Y)

2. Kebijakan fiskal dengan menaikkan pengeluaran pemerintah

Kebijakan menaikkan pengeluaran akan mendorong meningkatnya output. Nasional atau pendapatan nasional bertambah, dan akan meningkatkan permintaan uang. Jika otoritas moneter mempertahankan jumlah uang beredar pada tingkat konstan maka tingkat bunga akan naik (kurva IS bergeser dari IS2 ke IS1 dan kurva LM tetap LM1 sedangkan Y bertambah dari Y21 ke Y1 tetapi tingkat bunga naik dari r2 ke r1, Gambar 2.2). Kebijakan menaikkan pengeluaran untuk meningkatkan pendapatan

r1 

r2 

r1 

r2 

(12)

nasional pada tingkat bunga yang tetap dapat direspon otoritas moneter dengan menambah jumlah uang beredar, sehingga sebanding dengan permintaan uang akibat peningkatan pendapatan nasional yang bertambah (kurva IS bergeser ke kanan dari IS2 ke IS1, sedangkan kurva LM bergeser ke kanan dari LM2 ke LM1 dengan tingkat bunga sebesar r1, Gambar 2.2).

2.6. Penelitian Terdahulu

Turnovsky (2000), meneliti tentang hubungan antara kebijakan fiskal dan output di Amerika Serikat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah OLS. Penelitiannya menemukan bahwa kebijakan fiskal tidak memiliki dampak terhadap keseimbangan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Tingkat pertumbuhan yang lambat memberikan kenyataan bahwa kebijakan fiskal hanya berpengaruh pada jangka pendek pada masa transisi. Kenaikan variabel instrumen fiskal dalam jumlah yang relatif besar tidak terlalu berpengaruh besar terhadap output. Dalam penelitiannya memperlihatkan, kenaikan investasi pemerintah dari 0.08 ke 0.14 dari output akan menaikkan tingkat pendapatan dalam jangka panjang sebesar 40% saja. Sedangkan kenaikan pajak atas pendapatan modal dari 0,28 ke 0,40 hanya akan menurunkan output dalam jangka panjang sebesar 16%.

Hafer, Haslag dan Jones (2002), meneliti tentang hubungan antara kebijakan moneter, jumlah uang beredar, dan output di Amerika Serikat. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode OLS, dengan menggunakan data tahun 1961-1982 dan 1961-2000. Penelitian ini terdiri dari tiga kajian. Yang pertama yaitu melihat hubungan antara kebijakan moneter dan output dengan mengestimasi persamaan output gap dimana

(13)

tingkat pembiayaan bank sentral menjadi instrument kebijkan moneter. Yang kedua yaitu

Congressional Budget Office (CBO) terhadap output gap, dan yang ketiga mengestimasi

pengaruh jumlah uang beredar (M0,M1,M2) dengan mempengaruhi tingkat bunga terhadap

output. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara tingkat

pembiayaan bank sentral terhadap output kurun waktu tahun 1961-1982. Namun tercatat tidak signifikan pada data tahun 1982 hingga tahun 2000. Penelitian ini juga menemukan hubungan yang signifikan antara lag jumlah uang beredar riil dan output gap pada tahun 1961-1982. Namun juga tidak signifikan pada tahun 1982-2000.

Albatel (2003), meneliti tentang hubungan antara kebijakan pemerintah (kebijakan moneter dan kebijakan fiskal) dan output di Arab Saudi. Metodologi yang digunakan dalam penelitiannya adalah metode Kointegrasi dan Error Correction Model dengan menggunakan data tahun 1964-1998. Hasil penelitian memperlihatkan terdapat hubungan kointegrasi antara kebijakan pemerintah (kebijakan fiskal dan moneter), liberalisasi perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah ternyata memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi di Arab Saudi. Variabel pengeluaran pemerintah (kebijakan fiskal) dan jumlah uang beredar (kebijakan moneter) memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil statistik mendukung adanya pemikiran bahwa aktivitas pemerintah berupa investasi akan meningkatkan pertumbuhan pendapatan perkapita. Termasuk kebijakan fiskal dan moneter memiliki efek permanen terhadap output riil. Semenjak kenaikan harga minyak tahun 1973, Arab Saudi terus meningkatkan pengeluarannya. Namun fluktuasi harga minyak menyebabkan pemerintah harus meningkatkan defisit anggaran dan mengurangi pengeluaran untuk aktivitasnya.

(14)

Hagen dan Mundshenk (2003), meneliti tentang koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di EMU (Economic and Monetary Union di Eropah). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada jangka panjang kebijakan moneter dapat mencapai kestabilan harga tanpa bertentangan dengan kebijakan fiskal. Bank Sentral dapat menetapkan tingkat inflasi tanpa mempengaruhi output terhadap individu dan keseluruhan masyarakat. Namun pada jangka pendek, ada konflik potensial antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Bila Bank Sentral hendak mencapai kestabilan harga, maka kebijakan fiskal pemerintah harus bisa menekan permintaan aggregate, dan meningkatkan output. Dalam jangka pendek, kebijakan tersebut cenderung berbiaya tinggi, sehingga resiko inflasi tinggi sulit ditekan. Keseimbangan diperlukan dengan mempengaruhi permintaan

aggregate oleh Bank Sentral dan Pemerintah mempengaruhi melalui aggregate supply.

Giavazzi (2003), meneliti tentang koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di Brazil. Hasil studinya memperlihatkan bahwa resiko kredit dapat menjadi pusat mekanisme dimana bank sentral yang menargetkan inflasi dapat kehilangan kendali atas inflasi itu sendiri. Dengan kata lain terjadi perpindahan dominasi moneter ke dominasi fiskal. Ketidak teraturan kebijakan fiskal dapat menyebabkan efektivitas kebijakan moneter menjadi berkurang. Misalnya kebijakan peningkatan tingkat bunga malah menyebabkan inflasi tidak menurun. Perekonomian Brazil jatuh pada tingkat keseimbangan yang buruk ketika kebijakan fiskal mengurangi efektivitas kebijakan moneter (terjadi crowding out). Namun dalam jangka panjang, kebijakan fiskal ini dapat mengembalikan kondisi kembali normal, terjadi kestabilan EMBI spread, kestabilan nilai tukar, inflasi, dan hutang pemerintah , dan pertumbuhan ekonomi.

(15)

Arestis dan Sawyer (2002), melihat bagaimana tingkat bunga sebagai instrumen utama kebijakan moneter mempengaruhi sektor riil. Penelitian ini menggunakan metode VAR dan OLS dengan menggunakan data tahun 2001-2005, dengan studi kasus di Angeloni salah satu wilayah dalam zona Euro. Sektor riil disini diukur dengan GDP. permintaan aggregate, nilai tukar, dan investasi. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa tingkat bunga berpengaruh signifikan terhadap sekto riil. Kenaikan 1% tingkat bunga akan menurunkan 0,2-0,35 % GDP dan menurunkan 0,2-0,4 % tingkat inflasi.

Nasir,Muhammad,dkk (2010), meneliti tentang koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di Pakistan. Penelitian ini menggunakan metode VAR, dengan variabel Pajak, Pengeluaran pemerintah, tingkat bunga. Inflasi dan jumlah uang beredar dari thn 1975-2006 (31 thn). Lemahnya koordinasi dalam kebijakan fiskal dan moneter menimbulkan “shock” gangguan pada kebijakan lainnya dalam jangka panjang, berupa tingginya pengangguran akibat rendahnya permintaan output, dan tingginya angka inflasi akibat respon kebijakan moneter pada fiskal.

2.7. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian

Penerimaan pajak, konsumsi pemerintah dan kurs secara langsung mempengaruhi PDB, sebaliknya indeks harga konsumen dan jumlah uang beredar dalam arti sempit secara langsung mempengaruhi suku bunga pasar uang. Sedangkan suku bunga pasar uang dan PDB saling mempengaruhi. Kerangka pemikiran ini ditunjukkan pada Gambar 2.4.

(16)

(Penerimaan Pajak-Konsumsi Pemerintah) Kurs/Nilai Tukar Jumlah Uang Beredar Dalam Arti Sempit (M1) PDB

 

Suku Bunga Pasar Uang 

 

Indeks Harga Konsumen (IHK)

(17)

Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan dari beberapa kajian empiris yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Selisih antara penerimaan pajak dengan konsumsi pemerintah berpengaruh positif

terhadap PDB.

2. Kurs atau nilai tukar berpengaruh positif terhadap PDB.

3. Indeks harga konsumen berpengaruh positif terhadap suku bunga pasar uang.

4. Jumlah uang beredar dalam arti sempit berpengaruh negatif terhadap suku bunga pasar uang.

5. Suku bunga pasar uang berpengaruh negatif terhadap PDB, sebaliknya PDB berpengaruh positif terhadap suku bunga pasar uang.

                     

Gambar

Gambar 2.1 Fungsi Investasi
Gambar 2.3. Peningkatan Jumlah Uang Beredar, Cateris Paribus

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk tubuh juga menjadi pertimbangan, jika kamu gemuk jangan pakai celana ketat sampai lututmu tidak terlihat, maka kenakan pakaian bergaris vertikal atau memanjang agar

- Merupakan wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari pemodal untuk diinvestasikan dalam portofolio efek oleh Manajer Investasi, yang pelaksanaan dan pengelolaannya

PNPM Mandiri digagas untuk menjadi payung (koordinasi) dari puluhan program penanggulangan kemiskinan dari berbagai departemen yang ada pada saat itu, khususnya

Besi (pipa) akan aman terlindungi selama logam pelindungnya masih ada/belum habis. Untuk perlindungan katoda pada sistem jaringan pipa bawah tanah lazim

Kunci Ide : Kita dapat membangun 95% selang kepercayaan dari nilai yang masuk akal unutk suatu parameter dengan menyertakan semua nilai yang jatuh pada kedua standar deviasi dari

Definisi mengenai perjanjian internasional tersebut dapat diartikan sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum

Pura Barutama melakukan pemasaran dengan sistem semi-job order, yang artinya perusahaan ini melakukan produksi apabila ada permintaan dari konsumen untuk produk- produk

Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau hukum- hukum, rumus,