• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN SEDIMEN WADUK BENANGA SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN TANAMAN GAHARU (Aquilaria. Oleh EFIYANTHI NIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN SEDIMEN WADUK BENANGA SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN TANAMAN GAHARU (Aquilaria. Oleh EFIYANTHI NIM"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh

EFIYANTHI

NIM. 080500008

PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN

JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA

SAMARINDA

(2)

Oleh

EFIYANTHI

NIM. 080500008

Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya Pada Program Diploma III

Politeknik Pertanian Negeri Samarinda

PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN

JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA

SAMARINDA

(3)

GAHARU (Aquilaria malaccensis LAMK.)

Nama : Efiyanthi

NIM : 080500008

Program Studi : Manajemen Hutan

Jurusan : Manajemen Pertanian

Penguji II

Elisa Herawati, S.hut. MP NIP. 19710305 199512 2 001

Mengesahkan, Direktur

Politeknik Pertanian Negeri Samarinda

Ir.Wartomo, MP NIP. 1963028 198803 1 003 Pembimbing Ir. Noorhamsyah, MP NIP. 19640523 199703 1 001 Penguji I

Ir. Dadang Suprapto, MP NIP. 19620101 198803 1 003

(4)

pertumbuhan tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis LAMK.) di bawah bimbingan NOORHAMSYAH

.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui media pertumbuhan yang terbaik untuk tanaman A.malaccensis di antara Top Soil (100%), Sedimen (100%), dan Sedimen + Top Soil (50% + 50%).

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat diterapkan oleh para pembudidaya gaharu tentang media yang paling cocok sebagai media pertumbuhan awal, sehingga dapat lebih cepat menumbuhkan tanaman gaharu dan diharapkan dapat memperbaiki kondisi hutan alam yang sudah langka jenis pohon penghasil gaharunya.

Lokasi penelitian dilaksanakan di Persemaian Poltanesa. Media tanam yang digunakan meliputi Top Soil murni (100%), Sedimen murni (100%) dan campuran antara Top Soil dan Sedimen (50% + 50%). Ketiga media tersebut masing-masing dimasukkan ke dalam polibag berukuran 7 cm x 14,5 cm. dan dilanjutkan dengan penanaman tanaman gaharu hasil cabutan di lokasi arboretum Poltanesa masing-masing sebanyak 30 batang, sehingga total keseluruhan sampel sebanyak 90 batang. Seluruh sampel diukur tinggi, diameter dan dihitung jumlah daunnya.

Hasil dari penelitian ini bahwa pertumbuhan diameter per hari terbesar terjadi pada media Top soil + Sedimen yang di ikuti oleh media Sedimen dan Top soil masing-masing sebesar 0,33 cm, 0,29 cm dan 0,23 cm. Pertumbuhan tinggi per hari terbesar terjadi pada media Top soil + Sedimen yang di ikuti oleh media Sedimen dan Top soil masing-masing sebesar 3,56 cm, 3,46 cm dan 3,19 cm. Sedangkan pertambahan jumlah daun per hari terbesar terjadi pada media Top soil yang di ikuti oleh media Top soil + Sedimen dan sedimen masing-masing sebesar 3 lbr, 2,83 lbr dan 2,2 lbr.

(5)

Lapang, kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Merupakan

anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Bapak

Andarias Benung dan Ibu Erni Rining.

Pendidikan dimulai di Sekolah Dasar Negeri 010 Tanjung Lapang pada

Tahun 1994 dan Lulus pada Tahun 2001, kemudian melanjutkan ke Sekolah

Menengah Pertama Kristen Tanjung Lapang pada tahun 2001 dan lulus pada

Tahun 2004. Kemudian pada tahun yang sama melanjutkan ke Sekolah

Menengah Kejuruan Sehati (SMKS) dan memperoleh ijasah Tahun 2007 di

Tanjung Lapang, kabupaten Malinau.

Pendidikan Tinggi dimulai pada Tahun 2008 di Politeknik Pertanian Negeri

Samarinda Jurusan Manajemen Pertanian, Program Studi Manajemen Hutan.

Pada tanggal 07 Maret 2011 sampai 07 Mei 2011 mengikuti kegiatan

Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Wana Adiprima Mandiri (WAM) Kecamatan

(6)

telah melimpahkan rahmat-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya

Ilmiah ini.

Keberhasilan dan kesuksesan dalam penyusunan Karya Ilmiah ini juga

tidak lepas pula dari peran serta dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena

itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ir. Wartomo, MP selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Samarinda

2. Ir. Noorhamsyah, MP selaku dosen pembimbing Karya Ilmiah.

3. Ir. Hasanudin, MP selaku Ketua Jurusan Pengelolaan Hutan Politeknik

Pertanian Negeri Samarinda

4. Bapak Ir. M. Fadjeri, MP selaku ketua Program Studi Manajemen Hutan.

5. Ir. Dadang Suprapto, MP dan Elisa Herawati, S.Hut. MP selaku dosen

penguji

6. Serta semua teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan Karya

Ilmiah ini.

Dalam penyusunan Karya Ilmiah ini penulis menyadari bahwa laporan ini

masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak terdapat kekurangan. Maka

dari itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat

membangun demi kesempurnaan laporan ini.

Penulis

(7)

LEMBAR PENGESAHAN ……… i

RIWAYAT HIDUP ……….. ii

KATA PENGANTAR ………. iii

DAFTAR ISI ………. iv

DAFTAR TABEL ……… v

DAFTAR GAMBAR ……….. vi

ABSTRAK ………... vii

I. PENDAHULUAN ……… 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 4

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ……… 4

B. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman……… 5

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan……… 6

D. Sedimen………. 7

E. Jenis tanaman Aquilaria malaccensis ……… 8

F. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ………. 12

G. Ekosistem DAS……… 13

H. Geologi DAS Karang Mumus……… 14

I. Iklim DAS Karang Mumus……….. 15

J. Kondisi lingkungan sungai Karang Mumus………. 16

III. METODE PENELITIAN ……… 18

A. Tempat dan waktu……… 18

B. Bahan dan peralatan……… 18

C. Prosedur penelitian……… 19

D. Analisa data……… 20

IV. HASIL DAN PEMBAHHASAN .………. 21

A. Hasil ………..……… 21 B. Pembahasan ……… 22 V. KESIMPULAN ……… 24 A. Kesimpulan……… 24 B. Saran ………. 25 DAFTAR PUSTAKA ………. 26 LAMPIRAN ………. 28

(8)

1. Kecepatan rata-rata Tumbuh diameter, tinggi dan jumlah daun tanaman anakan gaharu selama 90 hari ……… 21

Lampiran

1. Hasil pengukuran diameter tanaman gaharu (A. malaccensis) pada

perlakuan media Top Soil ……… 29

2. Hasil pengukuran diameter tanaman gaharu (A. malaccensis) pada

perlakuan media Sedimen ………. 30

3. Hasil pengukuran diameter tanaman gaharu (A. malaccensis) pada

perlakuan media Top Soil + Sedimen ……….. 31

4. Hasil pengukuran tinggi tanaman gaharu (A. malaccensis) pada

perlakuan media Top Soil ……….……… 32

5. Hasil pengukuran tinggi tanaman gaharu (A. malaccensis) pada

perlakuan media Sedimen ………..………. 33

6. Hasil pengukuran tinggi tanaman gaharu (A. malaccensis) pada

perlakuan media Top Soil + Sedimen ……… 34

7. Hasil penghitungan jumlah daun tanaman gaharu (A. malaccensis )

pada perlakuan media Top Soil ……….. 35

8. Hasil penghitungan jumlah daun tanaman gaharu (A. malaccensis )

pada perlakuan media Top Soil ……….……. 36

9. Hasil penghitungan jumlah daun tanaman gaharu (A. malaccensis )

(9)

1. Anakan gaharu (A. malaccensis Lamk.) di lokasi Arboretum….. 38

2. Melakukan pencampuran Top soil dan Sedimen ………..……… 38

3. Anakan gaharu (A. malaccensis Lamk.) dari cabutan yang berasal

dari Arboretum Poltanesa………. 39

4. Penanaman anakan gaharu dalam polybag di Persemaian

poltanesa... 39

5. Pengukuran diameter batang anakan gaharu (A. malaccensis

Lamk.) dengan micro caliper………. 40

6. Pengukuran tinggi anakan gaharu (A. malaccensis Lamk.) dengan

(10)

I.

PENDAHULUAN

Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan

mengoptimalkan aneka fungsi hutan. Paradigma pembangunan kehutanan yang

semula berorientasi pada timber management selanjutnya diarahkan pada

resources based management yang memandang hutan secara utuh dalam satu

kesatuan. Perubahan paradigma lain yang mendasari pembangunan usaha

skala besar diubah menjadi usaha berbasis masyarakat (Anonim, 2002).

Selanjutnya dinyatakan, bahwa untuk mencapai misi tersebut telah dirancang

suatu program antara lain pembangunan aneka usaha kehutanan berupa

pengembangan hasil hutan bukan kayu seperti tanaman obat, tanaman pangan

alternatif, gaharu, getah-getahan/resin, biji-bijian dan bahan ekstrak lainnya.

Masyarakat Indonesia mengenal gaharu sejak tahun 1200an. Sebagian

besar produksi hingga saat ini masih merupakan produksi hutan secara alami,

sejak akhir 2002 produksi gaharu semakin menurun. Hingga saat ini produksi

gaharu Indonesia baru terpenuhi sekitar 10-20% atau sekitar 25-40 ton/tahun,

sehingga masih jauh dari kuota ekspor (Sumarna, 2002).

Di Indonesia gaharu dikelompokkan dalam komoditas kehutanan golongan

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Pada saat ini terjadi kelangkaan beberapa

jenis pohon penghasil gaharu, termasuk Aquilaria malaccensis Lamk. Oleh

karena itu segala upaya kearah pengembangan budidaya tanaman penghasil

gaharu, mutlak segera dilakukan. Seperti halnya pada masyarakat tanah Grogot

dan sekitarnya yang telah bekerja sama dengan balai penelitian dan

(11)

Persoalan yang perlu mendapatkan perhatian seiring dengan animo

masyarakat yang tinggi terhadap usaha gaharu adalah kesiapan teknologi yang

dapat menopang pertumbuhan gaharu, yaitu diantaranya adalah metode

inokulasi. Seiring dengan harapan kemajuan metode inokulasi di satu sisi, maka

pada sisi lain yaitu budidaya tanaman gaharunya perlu juga dikembangkan.

Media tanam yang biasa digunakan oleh segenap pelaksana di persemaian

salah satunya adalah Top soil. Sedangkan sedimen sampai saat ini belum

umum digunakan sebagai media tumbuh tanaman, tetapi baru dipandang setara

dengan tanah uruk.

Kenyataan di waduk Benanga, ketersediaan sedimen cukup melimpah dan

mengganggu fungsi waduk sebagai penyimpan air.

Berdasarkan gambaran di atas, penelitian ini mencoba memanfaatkan

sedimen yang berasal dari waduk Benanga dan top soil dari hutan sekunder

Poltanesa, serta kombinasinya sebagai media pertumbuhan tanaman Gaharu

(Aquilaria malaccensis).

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui:

1. Pertumbuhan tanaman A.malaccensis yaitu diameter, tinggi tanaman dan

jumlah daun.

2. Media pertumbuhan yang terbaik untuk tanaman A.malaccensis diantara

Top Soil (100%), Sedimen (100%), dan Sedimen + Top Soil (50% + 50%).

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan oleh para

pembudidaya gaharu tentang media yang paling cocok sebagai media

pertumbuhan awal, sehingga dapat lebih cepat menghasilkan tanaman gaharu

dan diharapkan dapat memperbaiki kondisi hutan alam yang sudah langka jenis

(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Areal persemaian Politeknik Pertanian Negeri Samarinda berdasarkan

administrasi pemerintahan umum terletak di Kelurahan Sungai Keledang,

Kotamadya Samarinda, Propinsi Kalimantan Timur.

Areal penelitian tersebut berbatasan dengan kampus Politeknik

Pertanian Negeri Samarinda, Perkampungan, kebun penduduk, semak

belukar dan hutan sekunder bekas ladang. Terletak pada ketinggian 0-700

m di atas permukaan laut, kelas kelerengan bertopografi landai dari 5

sampai 10 %. Jenis tanahnya seperti halnya tanah lainnya di Samarinda dan

sekitarnya pada umumnya berdasarkan monografi Samarinda adalah: (a)

bekas hutan mengandung organosol/gley humus (bahan alluvial), (b) pada

bukit-bukit merupakan tanah Podsolik Merah Kuning, (c) dataran rendah

sepanjang sungai Mahakam merupakan tanah alluvial (bahan alluvial)

(Noorhamsyah, 2010).

Menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson, untuk cakupan wilayah

Kotamadya Samarinda termasuk tipe iklim A, dengan curah hujan rata-rata

sekitar 2000 mm per tahun (Noorhamsyah, 2010).

Tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) di lokasi penelitian

yang menjadi induk tanaman sampel telah ditanam sejak tahun 1995 atau

lebih kurang 16 tahun yang lalu (Suwarto dan Yusri, 2003).

B. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan proses yang

penting dalam kehidupan dan perkembangbiakan suatu spesies.

(13)

sepanjang daur hidup, bergantung pada tersedianya meristem, hasil

asimilasi, hormon substansi pertumbuhan lainnya, serta lingkungan yang

mendukung (Gardner, dkk, 1991).

Berdasarkan pengalaman di lapangan, pertumbuhan tanaman dapat

dinyatakan sebagai fungsi dari genotipe x lingkungan = f (faktor

pertumbuhan internal x faktor pertumbuhan eksternal). Ciri-ciri tertentu

suatu tumbuhan terutama dipengaruhi oleh genotipe, sedangkan ciri-ciri

lainnya oleh lingkungan, tingkat pengaruh masing-masing bergantung dari

ciri tertentu tersebut (Gardner dkk.,1991). Selanjutnya dijelaskan bahwa

dalam produksi tanaman budidaya modern tujuannya adalah

memaksimalkan laju pertumbuhan dan hasil panen melalui manipulasi

genetik dan lingkungan. Genotipe dapat diubah melalui pemuliaan dan

seleksi tanaman, seringkali dengan akibat yang dramatik. Iklim micro

(lingkungan di sekitar permukaan tanaman), dapat diubah dengan banyak

cara, seperti pemilihan tempat, irigasi, drainase, pemupukan, pengendalian

hama dan macam -macam strategi budidaya lainnya.

Pertumbuhan itu lebih mudah digambarkan dari pada didefinisikan.

Dalam arti yang sempit, pertumbuhan berarti pembelahan sel (peningkatan

jumlah) dan pembesaran sel (peningkatan ukuran). Kedua proses ini

memerlukan sintesis protein dan merupakan proses yang tidak dapat

berbalik (Gardner, dkk, 1991).

Beberapa ahli mendefinisikan pertumbuhan tanaman sebagai proses

pembelahan dan pemanjangan sel. Ahli tanah umumnya mendefinisikan

pertumbuhan sebagai peningkatan bahan kering. Penimbunan berat kering

(14)

karena biasanya mempunyai kepentingan ekonomi yang paling besar.

Sejumlah petunjuk lain yang berhubungan dengan itu seperti tinggi, volume

dan luas daun juga dapat digunakan. Berat basah kurang bermanfaat

karena angkanya berfluktuasi, bergantung pada keadaan tanaman.

Walaupun demikian, produsen sayur-sayuran, bunga, dan buah lebih tertarik

pada berat basah (digabung dengan faktor kualitas) daripada berat kering.

(Gardner, dkk.1991).

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

Gardner dkk.(1991), menyatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan secara luas, dapat dikategorikan sebagai faktor

eksternal (lingkungan) dan faktor internal (genetik). Selanjutnya dijelaskan

bahwa, yang termasuk faktor eksternal yaitu iklim (cahaya, temperatur, air,

panjang hari, angin dan gas); edafik/tanah (tekstur, struktur, bahan organik,

kapasitas tukar kation, pH, kejenuhan basa dan ketersediaan nutrien secara

keseluruhan); biologis (gulma, serangga, organisme penyebab penyakit,

nematoda, dan mikroorganisme). Sedangkan faktor internal meliputi:

ketahanan terhadap tekanan iklim, tanah dan biologis, laju fotosintetik,

respirasi, klorofil, tipe dan letak meristem, aktivitas enzim, pengaruh

langsung gen. Selanjutnya dijelaskan bahwa, respons tanaman terhadap

keterbatasan tanaman terhadap nutrien merupakan bahan ilmiah penelitian

tanaman yang paling awal diselidiki. Respon tanaman dan berbagai

interaksi yang mungkin terjadi sangatlah luas dan kompleks untuk dapat

(15)

D. Sedimen

Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi

parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di

bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai

dan waduk (Asdak, 2007). Selanjutnya dijelaskan bahwa hasil sedimen

adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah

tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Hasil

sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai

atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk. Bentuk hubungan

antara erosi yang berlangsung di daerah tangkapan dan besarnya sedimen

yang terukur di daerah hilir mempunyai mekanisme kasualitas yang rumit

dan belum banyak dimengerti.

Sedimen yang sering kita jumpai di dalam sungai, baik terlarut atau

tidak terlarut, adalah merupakan produk dari pelapukan batuan induk yang

dipengaruhi oleh faktor lingkungan. (Asdak, 2007)

Berdasarkan pada jenis sedimen dan ukuran partikel-partikel tanah

serta komposisi mineral dari bahan induk yang menyusunnya, dikenal

bermacam jenis sedimen seperti pasir, liat, dan lain sebagainya. Tergantung

dari ukuran partikelnya, sedimen ditemukan terlarut dalam sungai atau

disebut muatan sedimen (suspended sediment) dan merayap di dasar

sungai atau dikenal sebagai sedimen merayap (bed load). Dengan

demikian, tampak bahwa perbedaan antara muatan sedimen dan sedimen

merayap adalah terletak pada cara partikel-partikel sedimen tersebut

bergerak yang ditentukan oleh besar kecilnya ukuran partikel. Lebih rinci

(16)

tanah yang karna kecil ukurannya dapat terlarut dalam air. Sementara jenis

partikel yang lebih besar, tidak dapat larut dalam aliran air, dan oleh

karenanya mengendap di atas permukaan tanah untuk kemudian bergerak

merayap apabila tenaga pendorong dari luar (energi kinetis yang bekerja

pada partikel tanah berukuran besar tersebut lebih besar daripada tenaga

resisten yang bekerja pada benda tersebut). (Asdak, 2007)

Hardwinarto (2000) telah melakukan penelitian tentang prediksi debit

limpasan air sungai dan sedimen pada Daerah Tangkapan Air (DTA)

sebelah Hulu bendungan Benanga di sub DAS Karang Mumus Samarinda.

Hasilnya telah diketahui bahwa total sedimen yang masuk ketampungan

bendungan Benanga sebesar 405.858 m3/tahun yang berasal dari sub-sub

DAS yang berada di sebelah Hulu bendungan tersebut.

E. Jenis tanaman Aquilaria malaccensis

Jenis tanaman A.malaccensis pada daerah potensial dapat mencapai

tinggi 40 meter dengan diameter batang 80 cm. Daerah tumbuh tanaman ini

adalah di hutan dataran rendah dan pegunungan dengan ketinggian 0-750

meter dari permukaan laut. Iklim daerah tumbuh tersebut panas dengan

suhu rata-rata 320 C dan kelembaban berkisar 70%. Curah hujannya kurang

dari 2000 mm/tahun. Spesies ini memiliki beberapa nama daerah seperti

Karas, Garu, Halim, Kere, Mengkaras dan Seringak (Sumarna, 2002).

Percobaan penanaman pohon gaharu dari kelompok genus/marga

Aquilaria di Kalimantan Timur yang dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan

dan Balai Penelitian Kehutanan Samarinda berhasil baik, tetapi bagaimana

menularkan penyakit pada pohon agar terjadi bahan gaharu masih menjadi

(17)

A. malaccensis adalah salah satu jenis pohon penghasil gaharu yang

mulai langka, sementara masyarakat masih sedikit yang

membudidayakannya. Ada dua permasalahan utama, mengapa masyarakat

masih enggan membudidayakan A. malaccensis. Pertama, teknik budidaya

tanaman tersebut belum dikuasai dan kedua, proses terbentuknya gaharu di

dalam pohon A. malaccensis belum diketahui secara pasti sehingga teknik

secara stimulasi agar terbentuk gaharu belum berhasil dikembangkan dalam

skala bisnis (Purwanto, 1999).

A. malaccensis adalah salah satu jenis pohon penghasil gaharu yang

mulai langka. Salah satu penyebab kelangkaan pohon penghasil gaharu

tersebut adalah akibat penebangan pohon gaharu yang tidak dibekali

dengan pengetahuan ciri-ciri pohon yang mengandung gaharu oleh pencari

gaharu (Purwanto dkk, 1995). Selanjutnya dinyatakan, bahwa disamping

akibat adanya penebangan pohon yang dilakukan HPH dan juga akibat

konversi areal hutan dataran rendah yang merupakan habitat jenis-jenis

pohon penghasil gaharu menjadi lahan perkebunan, pertanian dan

pemukiman.

Menurut Purwanto dan Suparta (1999) dalam Purwanto (1999),

bahwa hama yang menyerang bibit A. malaccensis antara lain kutu putih.

Hama ini sering diikuti oleh serangan jamur Fusaruim sp, sehingga dapat

menimbulkan kematian yang serius.

1. Nama botani dan nama daerah

Tanaman jenis gaharu dengan nama botanis A. malaccensis Lamk

termasuk dalam famili Thymeleaceae. Di Sumatera dikenal dengan nama

(18)

lagi dengan di Kalimantan dikenal dengan nama daerah Garu, Gumbil,

Singsigi, dan Garo (Sidiyasa, 1986 dalam Suwarto dan Yusri, 2003).

2. Taksonomi

Kedudukan tanaman gaharu dalam sistematika (taksonomi)

tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dycotiledonae

Ordo : Thymeleales

Famili : Thymeleaceae

Genus : Aquilaria

Spesies : Aquilaria malaccensis Lamk

3. Habitus

Gaharu termasuk kelompok tumbuhan yang umurnya panjang.

Tingginya pohon antara 15-18 m, dapat pula mencapai lebih dari 40 m

dengan diameter 50-60 cm, permukaan licin berwarna keputih-putihan,

kulit dalam berwarna putih, abu-abu atau coklat muda dan berserat.

Kayunya berwarna putih dan lunak. Bentuk batang biasanya lurus atau

kadang-kadang beralur dan berbanir dengan tebal banir mencapai 10 cm

dan tinggi banir mencapai 2 m (Sidiyasa dan Suharti, 1987; Heyne,

1987; Whitmore, 1972; Kesler dan Sidiyasa, 1994 dalam Suwarto dan Yusri, 2003).

(19)

4. Bagian vegetatif

Daunnya berbentuk elips agak memanjang, panjangnya 6-8 cm dan

berbentuk baji, ujung daun meruncing, daun kering berwarna abu-abu

kehijauan dan tepi daun agak bergelombang, melengkung, kedua

permukaan licin dan mengkilap, tulang daun sekunder 12-16 pasang

(Sidiyasa, 1986 dalam Suwarto dan Yusri, 2003). 5. Bagian generatif bunga

Bunga terletak pada ujung ranting, ketiak daun, kadang-kadang di

bawah ketiak daun (ruas ranting). Bentuk bunganya seperti lonceng,

panjangnya mencapai 5 mm, berwarna hijau kekuningan atau putih dan

berbau harum. Kelopak bunga 1 mm dan buahnya berbentuk bulat telur

atau agak lonjong (seperti buah melinjo) warna kulit buah hijau keputihan

waktu muda dan berwarna oranye setelah tua. Panjangnya 4 cm dan

lebarnya 2,5 cm. Jumlah biji 1-3 yang berrbentuk telur dan kulit biji

berwarna hitam (Sidiyasa, 1986; Duryatmo, 2002 dalam Suwarto dan

Yusri 2003). 6. Kegunaan

Kayu gaharu ringan, lunak dan mudah melapuk oleh karena itu

jarang digunakan, walaupun demikian dapat digunakan sebagai bahan

mebel. Gumpalan-gumpalan padat yang disebut gaharu dan sering

ditemukan pada batang pohon gaharu mempunyai nilai ekonomi tinggi

yang digunakan untuk bahan kosmetik, obat-obatan dan parfum. Kulit

batang digunakan sebagai bahan anyaman seperti tas, topi, keranjang

(20)

F. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Pengelolaaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu proses

formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manupulasi

sumber daya alam dan manusia yang terdapat didaerah aliran sungai untuk

memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya

kerusakan sumber daya air dan tanah (Asdak, 2007). Selanjutnya

dijelaskan bahwa pengelolaan DAS termasuk didalamnya pencegahan banjir

dan erosi serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumber

daya alam. Pengelolaan DAS meliputi identifikasi keterkaitan antara tata

guna lahan, tanah dan air dan keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu

DAS. Pengelolaan DAS perlu mempertimbangkan aspek-aspek sosial,

ekonomi, budaya dan kelembagaan yang beroperasi didalam dan diluar DAS

yang bersangkutan.

Proses-proses hidrologi menjadi penting dalam perencanaan

konservasi tanah dan air (kegiatan utama dalam pengelolaan DAS) (Asdak,

2007). Selanjutnya Arsyad (2006), mengemukakan bahwa konservasi tanah

dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara

penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan

memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak

terjadi kerusakan tanah. Dalam arti yang sempit konservasi tanah diartikan

sebagai upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan

memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi. Sifat-sifat fisik, kimia dan biologi

tanah menentukan kemampuan tanah (soil capability) untuk suatu

penggunaan dan perlakuan yang diperlukan agar tanah tidak rusak dan

(21)

tersebut juga menentuka kepekaan tanah untuk tererosi. Sistem penilaian

tanah untuk maksud menetukan kemampuan tanah, dirumuskan didalam

sistem klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Clasification).

G. Ekosistem DAS

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas

komponen-komponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan.

Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis

komponen yang menyusunnya. Besar kecilnya ukuran ekosistem tergantung

pada pandangan dsan batas yang diberikan pada ekosistem tersebut.

Daerah aliran sungai dapatlah dianggap suatu ekosistem (Asdak, 1995).

Selanjutnya dijelaskan bahwa ekosistem terdiri atas komponen biotis dan

abiotis yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur.

Dengan demikian, dalam suatu ekosistem tidak ada satu komponenpun yang

berdiri sendiri, melainkan ia mempunyai keterkaitan dengan komponen lain,

langsung atau tidak langsung, besar atau kecil. Aktivitas suatu komponen

ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain.

Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen

yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya sering kali

mengakibatkan dampak salah satu komponen lingkungan, dan dengan

demikian mempengaruhi ekosistem secar keseluruhan. Selama hubungan

timbal balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu

pula ekosistem berada dalam kondid stabil. Sebaliknya, bila hubungan

timbal balik antar komponen-komponen lingkungan mengalami gangguan,

(22)

gangguan pada arus materi, energi dan informasi antar komponen ekosistem

yang tidak seimbang (Odum, 1972, dalam hardwinarto, 2000).

Ekosistem harus dilihat secara holistik, yaitu dengan cara

mengidentifikasi komponen-komponen kunci penyusun ekosistem serta

menelaah interaksi antar komponen-komponen tersebut. Pendekatan

holistik dilakukan agar pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam

dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Syarat yang diperlukan bagi

terwujudnya pemanfaatan sumber daya alam untuk pembangunan yang

berkelanjutan.

H. Geologi DAS Karang Mumus

Tanah-tanah pada DAS Karang Mumus sebelah hulu bendungan

Benanga merupakan hasil pelapukan batuan yang berasal dari srtuktur

biologi formasi alluvium, Kampung Baru, Pulau Balang dan Balikpapan

(Hartati, 1998 dalam Hazami dkk. 2009). Selanjutnya dijelaskan bahwa

luas masing-masing sub DAS berdasarkan struktur biologinya adalah sub

DAS Pampang, Karang Mumus hulu, Lantung, Siring, Jayamulya, Muang,

Betapus dan Karang Mumus Ilir.

Formasi Kampung Baru tersusun dari batu pasir, batu lempung lensa,

batu gamping dan serpih lapisan batu bara, memiliki fisiografi berupa

dataran dengan kemiringan wilayah ±16% dan kedalaman relatif tanah >120

cm dari bahan induk tanah berupa batu pasir dengan sifat drainase baik.

Kelas struktur tanah meliputi lempung dan lempung berliat.

Formasi Balikpapan tersusun dari batu pasir kwarsa dengan sisispan

(23)

kemiringan ±7% dan kedalaman efektif tanah 80-120 cm dengan drainase

baik.

Formasi Pulau Balang tersusun oleh batu pasir sisipan batu gamping,

batu lempung dan serpih lensa batubara, memiliki fisiografi bergunung

dengan kemeringan ±22% dan kedalaman efektif tanah 80-120 cm dari

bahan induk tanah berupa batu liat dengan drainase agak baik.

Menurut Reprot (1987) dalam Hardwinarto (2000) menyatakan

bahwa, pada kawasan ini dijumpai 5 (lima) sistem lahan atau kelompok

besar tanah yakni sistem Lahan Lawanguang (LWW) yang terdiri atas

Tropoduls yang berasosiasi dengan Tropoquepts, Teweh (TWH) dan

Gunung Baju (TWB) yang merupakan asosiasi antara Tropoduls dengan

Dystropepts, Maput (MPT) serta Mentalat (MTL) yang terdiri dari asosiasi Rendols dengan Entropepts. Tanah-tanah tersebut memiliki tekstur dari

lempung berpasir sampai lempung berliat,struktur umumnya bergumpal,

konsistensi tanah gembur pada lapisan atas dan teguh pada lapisan bawah,

serta mempunyai daya menahan air yang kurang. Dengan demikian jenis

tanah disekitar DAS Karang Mumus peka terhadap erosi dan mudah longsor.

I. Iklim DAS Karang Mumus

DAS Karang Mumus termasuk iklim A menurut Sistem Klasifikasi

Schmidt dan Ferguson, dengan nisbah bulan kering terhadap bulan basah

sebesar 13,4% berdasarkan data tahun 1992-2001 pada Stasiun Pengamat

Cuaca Bandara Temindung. Iklim ini mencirikan daerah sangat basah

dengan vegetasi hutan hujan tropika.

Dari data temperatur udara yang tercatat pada Stasiun Pengamat

(24)

rerata bulanan berkisar antara 26-29°C dengan temperatur tertinggi terjadi

pada bulan April sebesar 28,2°C dan terendah pada bulan Juli sebesar

26,7°C (Anonim, 2002).

J. Kondisi Lingkungan Sungai Karang Mumus

Berdasarkan pengamatan visual sepanjang lingkungan alur sungai

Karang Mumus, beberapa hal dapat diidentifikasi sebagai faktor yang

mempengaruhi kualitas airnya adalah:

? Perubahan tata guna lahan pada DAS Karang Mumus, akan

menyebabkan perubahan koefisien pengaliran (C), sehingga berimplikasi

pada peningkatan debit aliran permukaan (surface run off). Dengan

meningkatnya debit aliran permukaan akan meningkatkan potensi lahan

untuk tererosi. Hal ini akan menyumbang tingginya nilai TSS dan TDS.

? Lingkungan sungai (sempadan, bantaran dan alur sungai) yang ada sangat tidak ideal menurut Keppres 32 Tahun 1990 tentang Kawasan

Lindung. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya rumah masyarakat yang

berada dalam kawasan sempadan bahkan bantaran sungai baik dibagian

hulunya (Jembatan Benanga) sampai bagian hilirnya. Hal ini akan

mempengaruhi kualitas air jika masyarakat membuang limbah MCK dan

lainnya langsung kebadan air sungai tanpa diolah terlebih dahulu.

Implikasinya, beberapa parameter akan meningkat kadarnya seperti fecal

coliform, total coliform, amonia, nitrat, nitrit dan fosfat.

? Masih banyak terdapat sampah padat yang masuk di dalam alur sungai, hal ini akan menyebabkan peningkatan kadar besi, pengurangan

kapasitas tampung sungai, dan kontaminasi impuritis lainnya bagi badan

(25)
(26)
(27)
(28)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Dalam pengamatan ini, pengambilan data berlangsung selama 3 bulan

(selama 90 hari) dari tanggal 21 Desember 2010 sampai 28 maret 2011.

Pengelolaan data dan penyusunan karya Ilmiah ± 1 bulan. Data-data yang

didapat dalam pengamatan ini adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Kecepatan Rata-rata Tumbuh Diameter, Tinggi dan Jumlah Daun

anakan Gaharu Selama 90 Hari.

Perlakuan Diameter (cm) Tinggi (cm) Jumlah daun (helai)

Top soil 0,23 3,19 3

Sedimen 0,29 3,46 2,2

Top soil + Sedimen 0,33 3,56 2,83

Hasil pengukuran diameter, tinggi dan jumlah daun anakan gaharu

setelah 3 bulan dipelihara dalam polybag di persemaian disajikan pada

lampiran 1 sampai dengan lampiran 9.

Dari data tabel 1 di atas dapat diketahui rata-rata pertambahan

diameter tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) pada media Top

soil adalah 0,23 cm/90 hari. Rata-rata pertambahan diameter pada media

sedimen adalah 0,29 cm/90 hari. Rata-rata pertambahan diameter pada

media Top Soil + Sedimen 0,33 cm/ 90hari

Rata-rata pertambahan tinggi pada media Top soil 3,197 cm/90 hari.

rata pertambahan tinggi pada media sedimen 3,46 cm/90 hari.

Rata-rata pertambahan tinggi pada media Top soil + sedimen 3,56 cm/90 hari.

Rata-rata pertambahan jumlah daun pada media Top soil 3 helai/90

(29)

hari. Pertumbuhan jumlah daun pada media Top soil + sedimen adalah 2,83

helai/ 90hari. Hal tersebut dapat dilihat pada Grafik 1 dibawah ini.

Grafik 1. Diagram Batang Rata-rata Pertumbuhan Anakan Gaharu dengan Perlakuan yang Berbeda Selama 90 hari.

B. Pembahasan

Secara umum, respon pertumbuhan anakan gaharu setelah 3 bulan

dipelihara dalam polybag di persemaian dapat dikatakan, bahwa media

tanam campuran Top Soil + Sedimen lebih baik dibandingkan dengan media

Top Soil murni maupun sedimen murni. Hal ini diduga karena kelemahan

pada sedimen yaitu bertekstur pasir (± 80% pasir) ditutupi oleh kelebihan

Top Soil yang bertekstur liat, disamping kontribusi unsur hara dari kedua

media. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Noorhamsyah (2010) yang

mengemukan bahwa tekstur sedimen waduk Benanga78,99% pasir.

Pada penggunaan media Top soil, pertambahan jumlah daun

menunjukkan angka yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan

media Sedimen dan media campuran Top soil + sedimen. Hal ini sesuai

dengan pendapat Novizan, 2005 yang menyatakan bahwa media yang baik 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

Sedimen Top soil Top soil +

Sedimen

Sum of Diameter (cm/hari) Sum of Tinggi (cm/hari)

Sum of Jumlah daun (helai/hari)

(30)

mempunyai 4 fungsi utama yaitu memberi unsur hara dan sebagai media

perakaran, menyediakan air dan sebagai tempat penampungan air,

menyediakan udara untuk respirasi akar dan sebagai tempat bertumbuhnya

tanaman, hal tersebut terdapat pada Top soil.

Menurut Hartman et al. (1990) dalam Juhardi (1995) media yang baik

harus memiliki persyaratan antara lain mampu menjaga kelembaban,

memiliki aerasi dan drainasi yang baik, tidak memiliki salinitas yang tinggi

serta bebas dari hama dan penyakit. Berdasarkan hasil penelitian nampak

bahwa media Sedimen + Top soil merupakan media yang cocok bagi

pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata

pertumbuhan yang dihasilkan pada semua parameter yang diamati lebih

besar dibanding pada media lainnya (Top soil, sedimen) yaitu dengan nilai

rata-rata pertambahan tinggi sebesar 3,56 cm/90 hari, rata-rata pertambahan

(31)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dimuka, maka beberapa yang

dapat disampaikan adalah sebagai berikut:

1. Rata-rata pertambahan diameter tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis

Lamk.) pada media Top soil selama 90 hari adalah 0,23 cm. Rata-rata

pertambahan diameter pada media sedimen selama 90 hari adalah 0,29

cm. Rata-rata pertambahan diameter pada media Top Soil + Sedimen

selama 90 hari adalah 0,33 cm.

2. Rata-rata pertambahan tinggi pada media Top soil selama 90 hari 3,197

cm. Rata-rata pertambahan tinggi pada media sedimen selama 90 hari

3,46 cm. Rata-rata pertambahan tinggi pada media Top soil + sedimen

selama 90 hari 3,56 cm.

3. Rata-rata pertumbuhan jumlah daun pada media Top soil selama 90 hari

3 helai. Pertumbuhan jumlah daun pada media Sedimen selama 90 hari

adalah 2,2 helai. Pertumbuhan jumlah daun pada media Top soil +

sedimen selama 90 hari adalah 2,83 helai.

4. Media top soil+sedimen (50% + 50%) diduga lebih baik dibandingkan top

soil murni maupun sedimen murni.

5. Pada pertambahan tinggi rataan anakan gaharu, kombinasi antara top soil

+ sedimen (50%+50%) diduga lebih baik dibandingkan top soil murni

maupun sedimen murni.

6. Media top soil diduga lebih baik dibandingkan top soil+sedimen maupun

(32)

7. Media Top Soil + Sedimen (50%+50%) diduga menjadi media yang paling

baik daripada media top soil dan media sedimen saja.

B. Saran

Untuk menghasilkan pertumbuhan anakan Gaharu disarankan

menggunakan media tanam Top Soil + Sedimen (dengan perbandingan

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Kebijakan Pengembangan Usaha Budidaya Gaharu.

Departeman Kehutanan, Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Jakarta.

Arsyad,s. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Bogor.

Asdak, C. 2007. Hidrolagi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta.

Gardner, F.P; R.B. Pearce; and Roger, L.M. 1991. Fisiologi Tanaman

Budidaya Penerbit Univeritas Indonesia (UI- press) h 249 dari 472 h.

Hardiyatmo, H.C. 2006. Penanganan Tanah Longsor Dan Erosi. Gadja Mada

University Press, Yogyakarta.

Hardwinarto, S. 2000. Prediksi debit Limpasan Air Sungai dan Sedimen pada

DTA sebelah Hulu bendungan Benanga di Sub DAS karang mumus. Journal Frontir UNMUL, Samarinda.

Hazami. B; Ernayati dan Nofiarsyah, 2009. Studi Distribusi zat hara pada

sedimen sistem perairan DAS Karang Mumus di Samarinda, Kalimantan Timur.

Juhardi, D. 1995. Studi Pembiakan Vegetatif Stek Pucuk Shorea selanica BL

dengan Menggunakan Zat Pengatur Tumbuh IBA pada Media Campuran Tanah dan Pasir. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan).

Noorhamsyah, 2010. Kajian Hara Makro Sedimen pada Sub DAS Karang

Mumus Sebagai Alternatif Media Pertumbuhan Anakan

Sidiyasa, K. dan M. suharti. 1987. Jenis Tumbuhan Penghasil Gaharu

Prosiding Diskusi Pemanfaatan Kayu Kurang dikenal 13-14 Januari1987. Cisarua Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Depertemen Kehutanan.

Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. Seri Agribisnis. Penerbit Penebar

Swadaya, Jakarta.

Sumadiwangsa, S. 2002. Kayu Gaharu Komoditi Elit di Kalimantan Timur.

Departemen Kehutanan, Direktorat Jendral Rehabilisasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Jakarta

Suwarto dan Yusri. 2003. Pengaruh Cara Pengemasan Dan Lamanya Waktu

Penyimpanan Terhadap Keberhasilan Proses Produksi Bibit Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) dengan sistem cabutan. Politeknik Pertanian Negeri Samrinda.

(34)

Purwanto. 1999. Budidaya Tanaman Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis)

Ekspose hasil penelitian, Balai Penelitian Kehutanan Pematang siantar, Medan.

Purwanto, M.S; R. Harahap dan H.A.F. mas’ud. 1995. Komposisi Vegatasi

Hutan bekas tebangan, kelompok hutan Padang Lawas. Buletin Penelitian Kehutanan.

(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)

Gambar 1. Anakan gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) di lokasi Arboretum

(45)

Gambar 3. Anakan gaharu (A. malaccensis Lamk.) dari cabutan yang berasal dari Arboretum Poltanesa

(46)

Gambar 5. Pengukuran diameter batang anakan gaharu (A. malaccensis Lamk.) dengan micro caliper

Gambar 6. Pengukuran tinggi anakan gaharu (A. malaccensis Lamk.) dengan penggaris

Gambar

Tabel 1.  Kecepatan  Rata-rata  Tumbuh Diameter, Tinggi dan  Jumlah Daun  anakan Gaharu Selama 90 Hari
Gambar 1.  Anakan gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) di lokasi Arboretum
Gambar 3.  Anakan gaharu (A. malaccensis Lamk.) dari cabutan yang                                   berasal dari Arboretum Poltanesa
Gambar 5.  Pengukuran diameter batang anakan gaharu                                            (A

Referensi

Dokumen terkait

Keuntungan pemakaian palet warna adalah kita dapat dengan cepat memanipulasi warna tanpa harus mengubah informasi pada setiap titik dalam citra dan ukuran penyimpanan lebih

Pada uji balok beton bertulang HVFA-SCC dengan kandungan fly ash 60% dan balok beton normal didapatkan keruntuhan balok yang dikarenakan adanya gagal geser, yaitu kapasitas

Sumber: Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 13 Tahun 2015 tentang Rencana. Strategis Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi

Berdasarkan rangkuman latar belakang diatas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : Apakah platelet to lymphocyte ratio (PLR) yang tinggi merupakan prediktor

Data hasil organoleptik mengenai rasa pada dangke peram dengan penambahan bakteri asam laktat ( Lactococcus lactis ) pada suhu pemeraman dan lama pemeraman yang

diatas menunjukkan real earning management mampu memoderasi penerapan IFRS terhadap pengakuan kerugian tepat waktu. 2) Real earning management memperkuat (memoderasi)

kelompok domba tangkas Wanaraja dan domba tangkas Sukawening memiliki nilai terkecil yaitu 1,16, sedangkan nilai matriks jarak genetik yang lebih besar adalah antara kelompok

1925 terjadi gempa bumi tektonik lokal yang bersumber di sebelah barat Gunungapi Lamongan yang mengakibatkan terjadi retakan tanah.. 1978 terjadi gempa bumi