Oleh
EFIYANTHI
NIM. 080500008
PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN
JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA
SAMARINDA
Oleh
EFIYANTHI
NIM. 080500008
Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya Pada Program Diploma III
Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN
JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA
SAMARINDA
GAHARU (Aquilaria malaccensis LAMK.)
Nama : Efiyanthi
NIM : 080500008
Program Studi : Manajemen Hutan
Jurusan : Manajemen Pertanian
Penguji II
Elisa Herawati, S.hut. MP NIP. 19710305 199512 2 001
Mengesahkan, Direktur
Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
Ir.Wartomo, MP NIP. 1963028 198803 1 003 Pembimbing Ir. Noorhamsyah, MP NIP. 19640523 199703 1 001 Penguji I
Ir. Dadang Suprapto, MP NIP. 19620101 198803 1 003
pertumbuhan tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis LAMK.) di bawah bimbingan NOORHAMSYAH
.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui media pertumbuhan yang terbaik untuk tanaman A.malaccensis di antara Top Soil (100%), Sedimen (100%), dan Sedimen + Top Soil (50% + 50%).
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat diterapkan oleh para pembudidaya gaharu tentang media yang paling cocok sebagai media pertumbuhan awal, sehingga dapat lebih cepat menumbuhkan tanaman gaharu dan diharapkan dapat memperbaiki kondisi hutan alam yang sudah langka jenis pohon penghasil gaharunya.
Lokasi penelitian dilaksanakan di Persemaian Poltanesa. Media tanam yang digunakan meliputi Top Soil murni (100%), Sedimen murni (100%) dan campuran antara Top Soil dan Sedimen (50% + 50%). Ketiga media tersebut masing-masing dimasukkan ke dalam polibag berukuran 7 cm x 14,5 cm. dan dilanjutkan dengan penanaman tanaman gaharu hasil cabutan di lokasi arboretum Poltanesa masing-masing sebanyak 30 batang, sehingga total keseluruhan sampel sebanyak 90 batang. Seluruh sampel diukur tinggi, diameter dan dihitung jumlah daunnya.
Hasil dari penelitian ini bahwa pertumbuhan diameter per hari terbesar terjadi pada media Top soil + Sedimen yang di ikuti oleh media Sedimen dan Top soil masing-masing sebesar 0,33 cm, 0,29 cm dan 0,23 cm. Pertumbuhan tinggi per hari terbesar terjadi pada media Top soil + Sedimen yang di ikuti oleh media Sedimen dan Top soil masing-masing sebesar 3,56 cm, 3,46 cm dan 3,19 cm. Sedangkan pertambahan jumlah daun per hari terbesar terjadi pada media Top soil yang di ikuti oleh media Top soil + Sedimen dan sedimen masing-masing sebesar 3 lbr, 2,83 lbr dan 2,2 lbr.
Lapang, kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Merupakan
anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Bapak
Andarias Benung dan Ibu Erni Rining.
Pendidikan dimulai di Sekolah Dasar Negeri 010 Tanjung Lapang pada
Tahun 1994 dan Lulus pada Tahun 2001, kemudian melanjutkan ke Sekolah
Menengah Pertama Kristen Tanjung Lapang pada tahun 2001 dan lulus pada
Tahun 2004. Kemudian pada tahun yang sama melanjutkan ke Sekolah
Menengah Kejuruan Sehati (SMKS) dan memperoleh ijasah Tahun 2007 di
Tanjung Lapang, kabupaten Malinau.
Pendidikan Tinggi dimulai pada Tahun 2008 di Politeknik Pertanian Negeri
Samarinda Jurusan Manajemen Pertanian, Program Studi Manajemen Hutan.
Pada tanggal 07 Maret 2011 sampai 07 Mei 2011 mengikuti kegiatan
Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Wana Adiprima Mandiri (WAM) Kecamatan
telah melimpahkan rahmat-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Ilmiah ini.
Keberhasilan dan kesuksesan dalam penyusunan Karya Ilmiah ini juga
tidak lepas pula dari peran serta dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ir. Wartomo, MP selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
2. Ir. Noorhamsyah, MP selaku dosen pembimbing Karya Ilmiah.
3. Ir. Hasanudin, MP selaku Ketua Jurusan Pengelolaan Hutan Politeknik
Pertanian Negeri Samarinda
4. Bapak Ir. M. Fadjeri, MP selaku ketua Program Studi Manajemen Hutan.
5. Ir. Dadang Suprapto, MP dan Elisa Herawati, S.Hut. MP selaku dosen
penguji
6. Serta semua teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan Karya
Ilmiah ini.
Dalam penyusunan Karya Ilmiah ini penulis menyadari bahwa laporan ini
masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak terdapat kekurangan. Maka
dari itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat
membangun demi kesempurnaan laporan ini.
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN ……… i
RIWAYAT HIDUP ……….. ii
KATA PENGANTAR ………. iii
DAFTAR ISI ………. iv
DAFTAR TABEL ……… v
DAFTAR GAMBAR ……….. vi
ABSTRAK ………... vii
I. PENDAHULUAN ……… 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 4
A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ……… 4
B. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman……… 5
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan……… 6
D. Sedimen………. 7
E. Jenis tanaman Aquilaria malaccensis ……… 8
F. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ………. 12
G. Ekosistem DAS……… 13
H. Geologi DAS Karang Mumus……… 14
I. Iklim DAS Karang Mumus……….. 15
J. Kondisi lingkungan sungai Karang Mumus………. 16
III. METODE PENELITIAN ……… 18
A. Tempat dan waktu……… 18
B. Bahan dan peralatan……… 18
C. Prosedur penelitian……… 19
D. Analisa data……… 20
IV. HASIL DAN PEMBAHHASAN .………. 21
A. Hasil ………..……… 21 B. Pembahasan ……… 22 V. KESIMPULAN ……… 24 A. Kesimpulan……… 24 B. Saran ………. 25 DAFTAR PUSTAKA ………. 26 LAMPIRAN ………. 28
1. Kecepatan rata-rata Tumbuh diameter, tinggi dan jumlah daun tanaman anakan gaharu selama 90 hari ……… 21
Lampiran
1. Hasil pengukuran diameter tanaman gaharu (A. malaccensis) pada
perlakuan media Top Soil ……… 29
2. Hasil pengukuran diameter tanaman gaharu (A. malaccensis) pada
perlakuan media Sedimen ………. 30
3. Hasil pengukuran diameter tanaman gaharu (A. malaccensis) pada
perlakuan media Top Soil + Sedimen ……….. 31
4. Hasil pengukuran tinggi tanaman gaharu (A. malaccensis) pada
perlakuan media Top Soil ……….……… 32
5. Hasil pengukuran tinggi tanaman gaharu (A. malaccensis) pada
perlakuan media Sedimen ………..………. 33
6. Hasil pengukuran tinggi tanaman gaharu (A. malaccensis) pada
perlakuan media Top Soil + Sedimen ……… 34
7. Hasil penghitungan jumlah daun tanaman gaharu (A. malaccensis )
pada perlakuan media Top Soil ……….. 35
8. Hasil penghitungan jumlah daun tanaman gaharu (A. malaccensis )
pada perlakuan media Top Soil ……….……. 36
9. Hasil penghitungan jumlah daun tanaman gaharu (A. malaccensis )
1. Anakan gaharu (A. malaccensis Lamk.) di lokasi Arboretum….. 38
2. Melakukan pencampuran Top soil dan Sedimen ………..……… 38
3. Anakan gaharu (A. malaccensis Lamk.) dari cabutan yang berasal
dari Arboretum Poltanesa………. 39
4. Penanaman anakan gaharu dalam polybag di Persemaian
poltanesa... 39
5. Pengukuran diameter batang anakan gaharu (A. malaccensis
Lamk.) dengan micro caliper………. 40
6. Pengukuran tinggi anakan gaharu (A. malaccensis Lamk.) dengan
I.
PENDAHULUAN
Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan
mengoptimalkan aneka fungsi hutan. Paradigma pembangunan kehutanan yang
semula berorientasi pada timber management selanjutnya diarahkan pada
resources based management yang memandang hutan secara utuh dalam satu
kesatuan. Perubahan paradigma lain yang mendasari pembangunan usaha
skala besar diubah menjadi usaha berbasis masyarakat (Anonim, 2002).
Selanjutnya dinyatakan, bahwa untuk mencapai misi tersebut telah dirancang
suatu program antara lain pembangunan aneka usaha kehutanan berupa
pengembangan hasil hutan bukan kayu seperti tanaman obat, tanaman pangan
alternatif, gaharu, getah-getahan/resin, biji-bijian dan bahan ekstrak lainnya.
Masyarakat Indonesia mengenal gaharu sejak tahun 1200an. Sebagian
besar produksi hingga saat ini masih merupakan produksi hutan secara alami,
sejak akhir 2002 produksi gaharu semakin menurun. Hingga saat ini produksi
gaharu Indonesia baru terpenuhi sekitar 10-20% atau sekitar 25-40 ton/tahun,
sehingga masih jauh dari kuota ekspor (Sumarna, 2002).
Di Indonesia gaharu dikelompokkan dalam komoditas kehutanan golongan
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Pada saat ini terjadi kelangkaan beberapa
jenis pohon penghasil gaharu, termasuk Aquilaria malaccensis Lamk. Oleh
karena itu segala upaya kearah pengembangan budidaya tanaman penghasil
gaharu, mutlak segera dilakukan. Seperti halnya pada masyarakat tanah Grogot
dan sekitarnya yang telah bekerja sama dengan balai penelitian dan
Persoalan yang perlu mendapatkan perhatian seiring dengan animo
masyarakat yang tinggi terhadap usaha gaharu adalah kesiapan teknologi yang
dapat menopang pertumbuhan gaharu, yaitu diantaranya adalah metode
inokulasi. Seiring dengan harapan kemajuan metode inokulasi di satu sisi, maka
pada sisi lain yaitu budidaya tanaman gaharunya perlu juga dikembangkan.
Media tanam yang biasa digunakan oleh segenap pelaksana di persemaian
salah satunya adalah Top soil. Sedangkan sedimen sampai saat ini belum
umum digunakan sebagai media tumbuh tanaman, tetapi baru dipandang setara
dengan tanah uruk.
Kenyataan di waduk Benanga, ketersediaan sedimen cukup melimpah dan
mengganggu fungsi waduk sebagai penyimpan air.
Berdasarkan gambaran di atas, penelitian ini mencoba memanfaatkan
sedimen yang berasal dari waduk Benanga dan top soil dari hutan sekunder
Poltanesa, serta kombinasinya sebagai media pertumbuhan tanaman Gaharu
(Aquilaria malaccensis).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui:
1. Pertumbuhan tanaman A.malaccensis yaitu diameter, tinggi tanaman dan
jumlah daun.
2. Media pertumbuhan yang terbaik untuk tanaman A.malaccensis diantara
Top Soil (100%), Sedimen (100%), dan Sedimen + Top Soil (50% + 50%).
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan oleh para
pembudidaya gaharu tentang media yang paling cocok sebagai media
pertumbuhan awal, sehingga dapat lebih cepat menghasilkan tanaman gaharu
dan diharapkan dapat memperbaiki kondisi hutan alam yang sudah langka jenis
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Areal persemaian Politeknik Pertanian Negeri Samarinda berdasarkan
administrasi pemerintahan umum terletak di Kelurahan Sungai Keledang,
Kotamadya Samarinda, Propinsi Kalimantan Timur.
Areal penelitian tersebut berbatasan dengan kampus Politeknik
Pertanian Negeri Samarinda, Perkampungan, kebun penduduk, semak
belukar dan hutan sekunder bekas ladang. Terletak pada ketinggian 0-700
m di atas permukaan laut, kelas kelerengan bertopografi landai dari 5
sampai 10 %. Jenis tanahnya seperti halnya tanah lainnya di Samarinda dan
sekitarnya pada umumnya berdasarkan monografi Samarinda adalah: (a)
bekas hutan mengandung organosol/gley humus (bahan alluvial), (b) pada
bukit-bukit merupakan tanah Podsolik Merah Kuning, (c) dataran rendah
sepanjang sungai Mahakam merupakan tanah alluvial (bahan alluvial)
(Noorhamsyah, 2010).
Menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson, untuk cakupan wilayah
Kotamadya Samarinda termasuk tipe iklim A, dengan curah hujan rata-rata
sekitar 2000 mm per tahun (Noorhamsyah, 2010).
Tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) di lokasi penelitian
yang menjadi induk tanaman sampel telah ditanam sejak tahun 1995 atau
lebih kurang 16 tahun yang lalu (Suwarto dan Yusri, 2003).
B. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan proses yang
penting dalam kehidupan dan perkembangbiakan suatu spesies.
sepanjang daur hidup, bergantung pada tersedianya meristem, hasil
asimilasi, hormon substansi pertumbuhan lainnya, serta lingkungan yang
mendukung (Gardner, dkk, 1991).
Berdasarkan pengalaman di lapangan, pertumbuhan tanaman dapat
dinyatakan sebagai fungsi dari genotipe x lingkungan = f (faktor
pertumbuhan internal x faktor pertumbuhan eksternal). Ciri-ciri tertentu
suatu tumbuhan terutama dipengaruhi oleh genotipe, sedangkan ciri-ciri
lainnya oleh lingkungan, tingkat pengaruh masing-masing bergantung dari
ciri tertentu tersebut (Gardner dkk.,1991). Selanjutnya dijelaskan bahwa
dalam produksi tanaman budidaya modern tujuannya adalah
memaksimalkan laju pertumbuhan dan hasil panen melalui manipulasi
genetik dan lingkungan. Genotipe dapat diubah melalui pemuliaan dan
seleksi tanaman, seringkali dengan akibat yang dramatik. Iklim micro
(lingkungan di sekitar permukaan tanaman), dapat diubah dengan banyak
cara, seperti pemilihan tempat, irigasi, drainase, pemupukan, pengendalian
hama dan macam -macam strategi budidaya lainnya.
Pertumbuhan itu lebih mudah digambarkan dari pada didefinisikan.
Dalam arti yang sempit, pertumbuhan berarti pembelahan sel (peningkatan
jumlah) dan pembesaran sel (peningkatan ukuran). Kedua proses ini
memerlukan sintesis protein dan merupakan proses yang tidak dapat
berbalik (Gardner, dkk, 1991).
Beberapa ahli mendefinisikan pertumbuhan tanaman sebagai proses
pembelahan dan pemanjangan sel. Ahli tanah umumnya mendefinisikan
pertumbuhan sebagai peningkatan bahan kering. Penimbunan berat kering
karena biasanya mempunyai kepentingan ekonomi yang paling besar.
Sejumlah petunjuk lain yang berhubungan dengan itu seperti tinggi, volume
dan luas daun juga dapat digunakan. Berat basah kurang bermanfaat
karena angkanya berfluktuasi, bergantung pada keadaan tanaman.
Walaupun demikian, produsen sayur-sayuran, bunga, dan buah lebih tertarik
pada berat basah (digabung dengan faktor kualitas) daripada berat kering.
(Gardner, dkk.1991).
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
Gardner dkk.(1991), menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan secara luas, dapat dikategorikan sebagai faktor
eksternal (lingkungan) dan faktor internal (genetik). Selanjutnya dijelaskan
bahwa, yang termasuk faktor eksternal yaitu iklim (cahaya, temperatur, air,
panjang hari, angin dan gas); edafik/tanah (tekstur, struktur, bahan organik,
kapasitas tukar kation, pH, kejenuhan basa dan ketersediaan nutrien secara
keseluruhan); biologis (gulma, serangga, organisme penyebab penyakit,
nematoda, dan mikroorganisme). Sedangkan faktor internal meliputi:
ketahanan terhadap tekanan iklim, tanah dan biologis, laju fotosintetik,
respirasi, klorofil, tipe dan letak meristem, aktivitas enzim, pengaruh
langsung gen. Selanjutnya dijelaskan bahwa, respons tanaman terhadap
keterbatasan tanaman terhadap nutrien merupakan bahan ilmiah penelitian
tanaman yang paling awal diselidiki. Respon tanaman dan berbagai
interaksi yang mungkin terjadi sangatlah luas dan kompleks untuk dapat
D. Sedimen
Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi
parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di
bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai
dan waduk (Asdak, 2007). Selanjutnya dijelaskan bahwa hasil sedimen
adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah
tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Hasil
sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai
atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk. Bentuk hubungan
antara erosi yang berlangsung di daerah tangkapan dan besarnya sedimen
yang terukur di daerah hilir mempunyai mekanisme kasualitas yang rumit
dan belum banyak dimengerti.
Sedimen yang sering kita jumpai di dalam sungai, baik terlarut atau
tidak terlarut, adalah merupakan produk dari pelapukan batuan induk yang
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. (Asdak, 2007)
Berdasarkan pada jenis sedimen dan ukuran partikel-partikel tanah
serta komposisi mineral dari bahan induk yang menyusunnya, dikenal
bermacam jenis sedimen seperti pasir, liat, dan lain sebagainya. Tergantung
dari ukuran partikelnya, sedimen ditemukan terlarut dalam sungai atau
disebut muatan sedimen (suspended sediment) dan merayap di dasar
sungai atau dikenal sebagai sedimen merayap (bed load). Dengan
demikian, tampak bahwa perbedaan antara muatan sedimen dan sedimen
merayap adalah terletak pada cara partikel-partikel sedimen tersebut
bergerak yang ditentukan oleh besar kecilnya ukuran partikel. Lebih rinci
tanah yang karna kecil ukurannya dapat terlarut dalam air. Sementara jenis
partikel yang lebih besar, tidak dapat larut dalam aliran air, dan oleh
karenanya mengendap di atas permukaan tanah untuk kemudian bergerak
merayap apabila tenaga pendorong dari luar (energi kinetis yang bekerja
pada partikel tanah berukuran besar tersebut lebih besar daripada tenaga
resisten yang bekerja pada benda tersebut). (Asdak, 2007)
Hardwinarto (2000) telah melakukan penelitian tentang prediksi debit
limpasan air sungai dan sedimen pada Daerah Tangkapan Air (DTA)
sebelah Hulu bendungan Benanga di sub DAS Karang Mumus Samarinda.
Hasilnya telah diketahui bahwa total sedimen yang masuk ketampungan
bendungan Benanga sebesar 405.858 m3/tahun yang berasal dari sub-sub
DAS yang berada di sebelah Hulu bendungan tersebut.
E. Jenis tanaman Aquilaria malaccensis
Jenis tanaman A.malaccensis pada daerah potensial dapat mencapai
tinggi 40 meter dengan diameter batang 80 cm. Daerah tumbuh tanaman ini
adalah di hutan dataran rendah dan pegunungan dengan ketinggian 0-750
meter dari permukaan laut. Iklim daerah tumbuh tersebut panas dengan
suhu rata-rata 320 C dan kelembaban berkisar 70%. Curah hujannya kurang
dari 2000 mm/tahun. Spesies ini memiliki beberapa nama daerah seperti
Karas, Garu, Halim, Kere, Mengkaras dan Seringak (Sumarna, 2002).
Percobaan penanaman pohon gaharu dari kelompok genus/marga
Aquilaria di Kalimantan Timur yang dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan
dan Balai Penelitian Kehutanan Samarinda berhasil baik, tetapi bagaimana
menularkan penyakit pada pohon agar terjadi bahan gaharu masih menjadi
A. malaccensis adalah salah satu jenis pohon penghasil gaharu yang
mulai langka, sementara masyarakat masih sedikit yang
membudidayakannya. Ada dua permasalahan utama, mengapa masyarakat
masih enggan membudidayakan A. malaccensis. Pertama, teknik budidaya
tanaman tersebut belum dikuasai dan kedua, proses terbentuknya gaharu di
dalam pohon A. malaccensis belum diketahui secara pasti sehingga teknik
secara stimulasi agar terbentuk gaharu belum berhasil dikembangkan dalam
skala bisnis (Purwanto, 1999).
A. malaccensis adalah salah satu jenis pohon penghasil gaharu yang
mulai langka. Salah satu penyebab kelangkaan pohon penghasil gaharu
tersebut adalah akibat penebangan pohon gaharu yang tidak dibekali
dengan pengetahuan ciri-ciri pohon yang mengandung gaharu oleh pencari
gaharu (Purwanto dkk, 1995). Selanjutnya dinyatakan, bahwa disamping
akibat adanya penebangan pohon yang dilakukan HPH dan juga akibat
konversi areal hutan dataran rendah yang merupakan habitat jenis-jenis
pohon penghasil gaharu menjadi lahan perkebunan, pertanian dan
pemukiman.
Menurut Purwanto dan Suparta (1999) dalam Purwanto (1999),
bahwa hama yang menyerang bibit A. malaccensis antara lain kutu putih.
Hama ini sering diikuti oleh serangan jamur Fusaruim sp, sehingga dapat
menimbulkan kematian yang serius.
1. Nama botani dan nama daerah
Tanaman jenis gaharu dengan nama botanis A. malaccensis Lamk
termasuk dalam famili Thymeleaceae. Di Sumatera dikenal dengan nama
lagi dengan di Kalimantan dikenal dengan nama daerah Garu, Gumbil,
Singsigi, dan Garo (Sidiyasa, 1986 dalam Suwarto dan Yusri, 2003).
2. Taksonomi
Kedudukan tanaman gaharu dalam sistematika (taksonomi)
tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dycotiledonae
Ordo : Thymeleales
Famili : Thymeleaceae
Genus : Aquilaria
Spesies : Aquilaria malaccensis Lamk
3. Habitus
Gaharu termasuk kelompok tumbuhan yang umurnya panjang.
Tingginya pohon antara 15-18 m, dapat pula mencapai lebih dari 40 m
dengan diameter 50-60 cm, permukaan licin berwarna keputih-putihan,
kulit dalam berwarna putih, abu-abu atau coklat muda dan berserat.
Kayunya berwarna putih dan lunak. Bentuk batang biasanya lurus atau
kadang-kadang beralur dan berbanir dengan tebal banir mencapai 10 cm
dan tinggi banir mencapai 2 m (Sidiyasa dan Suharti, 1987; Heyne,
1987; Whitmore, 1972; Kesler dan Sidiyasa, 1994 dalam Suwarto dan Yusri, 2003).
4. Bagian vegetatif
Daunnya berbentuk elips agak memanjang, panjangnya 6-8 cm dan
berbentuk baji, ujung daun meruncing, daun kering berwarna abu-abu
kehijauan dan tepi daun agak bergelombang, melengkung, kedua
permukaan licin dan mengkilap, tulang daun sekunder 12-16 pasang
(Sidiyasa, 1986 dalam Suwarto dan Yusri, 2003). 5. Bagian generatif bunga
Bunga terletak pada ujung ranting, ketiak daun, kadang-kadang di
bawah ketiak daun (ruas ranting). Bentuk bunganya seperti lonceng,
panjangnya mencapai 5 mm, berwarna hijau kekuningan atau putih dan
berbau harum. Kelopak bunga 1 mm dan buahnya berbentuk bulat telur
atau agak lonjong (seperti buah melinjo) warna kulit buah hijau keputihan
waktu muda dan berwarna oranye setelah tua. Panjangnya 4 cm dan
lebarnya 2,5 cm. Jumlah biji 1-3 yang berrbentuk telur dan kulit biji
berwarna hitam (Sidiyasa, 1986; Duryatmo, 2002 dalam Suwarto dan
Yusri 2003). 6. Kegunaan
Kayu gaharu ringan, lunak dan mudah melapuk oleh karena itu
jarang digunakan, walaupun demikian dapat digunakan sebagai bahan
mebel. Gumpalan-gumpalan padat yang disebut gaharu dan sering
ditemukan pada batang pohon gaharu mempunyai nilai ekonomi tinggi
yang digunakan untuk bahan kosmetik, obat-obatan dan parfum. Kulit
batang digunakan sebagai bahan anyaman seperti tas, topi, keranjang
F. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Pengelolaaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu proses
formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manupulasi
sumber daya alam dan manusia yang terdapat didaerah aliran sungai untuk
memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya
kerusakan sumber daya air dan tanah (Asdak, 2007). Selanjutnya
dijelaskan bahwa pengelolaan DAS termasuk didalamnya pencegahan banjir
dan erosi serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumber
daya alam. Pengelolaan DAS meliputi identifikasi keterkaitan antara tata
guna lahan, tanah dan air dan keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu
DAS. Pengelolaan DAS perlu mempertimbangkan aspek-aspek sosial,
ekonomi, budaya dan kelembagaan yang beroperasi didalam dan diluar DAS
yang bersangkutan.
Proses-proses hidrologi menjadi penting dalam perencanaan
konservasi tanah dan air (kegiatan utama dalam pengelolaan DAS) (Asdak,
2007). Selanjutnya Arsyad (2006), mengemukakan bahwa konservasi tanah
dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak
terjadi kerusakan tanah. Dalam arti yang sempit konservasi tanah diartikan
sebagai upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan
memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi. Sifat-sifat fisik, kimia dan biologi
tanah menentukan kemampuan tanah (soil capability) untuk suatu
penggunaan dan perlakuan yang diperlukan agar tanah tidak rusak dan
tersebut juga menentuka kepekaan tanah untuk tererosi. Sistem penilaian
tanah untuk maksud menetukan kemampuan tanah, dirumuskan didalam
sistem klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Clasification).
G. Ekosistem DAS
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas
komponen-komponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan.
Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis
komponen yang menyusunnya. Besar kecilnya ukuran ekosistem tergantung
pada pandangan dsan batas yang diberikan pada ekosistem tersebut.
Daerah aliran sungai dapatlah dianggap suatu ekosistem (Asdak, 1995).
Selanjutnya dijelaskan bahwa ekosistem terdiri atas komponen biotis dan
abiotis yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur.
Dengan demikian, dalam suatu ekosistem tidak ada satu komponenpun yang
berdiri sendiri, melainkan ia mempunyai keterkaitan dengan komponen lain,
langsung atau tidak langsung, besar atau kecil. Aktivitas suatu komponen
ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain.
Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen
yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya sering kali
mengakibatkan dampak salah satu komponen lingkungan, dan dengan
demikian mempengaruhi ekosistem secar keseluruhan. Selama hubungan
timbal balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu
pula ekosistem berada dalam kondid stabil. Sebaliknya, bila hubungan
timbal balik antar komponen-komponen lingkungan mengalami gangguan,
gangguan pada arus materi, energi dan informasi antar komponen ekosistem
yang tidak seimbang (Odum, 1972, dalam hardwinarto, 2000).
Ekosistem harus dilihat secara holistik, yaitu dengan cara
mengidentifikasi komponen-komponen kunci penyusun ekosistem serta
menelaah interaksi antar komponen-komponen tersebut. Pendekatan
holistik dilakukan agar pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam
dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Syarat yang diperlukan bagi
terwujudnya pemanfaatan sumber daya alam untuk pembangunan yang
berkelanjutan.
H. Geologi DAS Karang Mumus
Tanah-tanah pada DAS Karang Mumus sebelah hulu bendungan
Benanga merupakan hasil pelapukan batuan yang berasal dari srtuktur
biologi formasi alluvium, Kampung Baru, Pulau Balang dan Balikpapan
(Hartati, 1998 dalam Hazami dkk. 2009). Selanjutnya dijelaskan bahwa
luas masing-masing sub DAS berdasarkan struktur biologinya adalah sub
DAS Pampang, Karang Mumus hulu, Lantung, Siring, Jayamulya, Muang,
Betapus dan Karang Mumus Ilir.
Formasi Kampung Baru tersusun dari batu pasir, batu lempung lensa,
batu gamping dan serpih lapisan batu bara, memiliki fisiografi berupa
dataran dengan kemiringan wilayah ±16% dan kedalaman relatif tanah >120
cm dari bahan induk tanah berupa batu pasir dengan sifat drainase baik.
Kelas struktur tanah meliputi lempung dan lempung berliat.
Formasi Balikpapan tersusun dari batu pasir kwarsa dengan sisispan
kemiringan ±7% dan kedalaman efektif tanah 80-120 cm dengan drainase
baik.
Formasi Pulau Balang tersusun oleh batu pasir sisipan batu gamping,
batu lempung dan serpih lensa batubara, memiliki fisiografi bergunung
dengan kemeringan ±22% dan kedalaman efektif tanah 80-120 cm dari
bahan induk tanah berupa batu liat dengan drainase agak baik.
Menurut Reprot (1987) dalam Hardwinarto (2000) menyatakan
bahwa, pada kawasan ini dijumpai 5 (lima) sistem lahan atau kelompok
besar tanah yakni sistem Lahan Lawanguang (LWW) yang terdiri atas
Tropoduls yang berasosiasi dengan Tropoquepts, Teweh (TWH) dan
Gunung Baju (TWB) yang merupakan asosiasi antara Tropoduls dengan
Dystropepts, Maput (MPT) serta Mentalat (MTL) yang terdiri dari asosiasi Rendols dengan Entropepts. Tanah-tanah tersebut memiliki tekstur dari
lempung berpasir sampai lempung berliat,struktur umumnya bergumpal,
konsistensi tanah gembur pada lapisan atas dan teguh pada lapisan bawah,
serta mempunyai daya menahan air yang kurang. Dengan demikian jenis
tanah disekitar DAS Karang Mumus peka terhadap erosi dan mudah longsor.
I. Iklim DAS Karang Mumus
DAS Karang Mumus termasuk iklim A menurut Sistem Klasifikasi
Schmidt dan Ferguson, dengan nisbah bulan kering terhadap bulan basah
sebesar 13,4% berdasarkan data tahun 1992-2001 pada Stasiun Pengamat
Cuaca Bandara Temindung. Iklim ini mencirikan daerah sangat basah
dengan vegetasi hutan hujan tropika.
Dari data temperatur udara yang tercatat pada Stasiun Pengamat
rerata bulanan berkisar antara 26-29°C dengan temperatur tertinggi terjadi
pada bulan April sebesar 28,2°C dan terendah pada bulan Juli sebesar
26,7°C (Anonim, 2002).
J. Kondisi Lingkungan Sungai Karang Mumus
Berdasarkan pengamatan visual sepanjang lingkungan alur sungai
Karang Mumus, beberapa hal dapat diidentifikasi sebagai faktor yang
mempengaruhi kualitas airnya adalah:
? Perubahan tata guna lahan pada DAS Karang Mumus, akan
menyebabkan perubahan koefisien pengaliran (C), sehingga berimplikasi
pada peningkatan debit aliran permukaan (surface run off). Dengan
meningkatnya debit aliran permukaan akan meningkatkan potensi lahan
untuk tererosi. Hal ini akan menyumbang tingginya nilai TSS dan TDS.
? Lingkungan sungai (sempadan, bantaran dan alur sungai) yang ada sangat tidak ideal menurut Keppres 32 Tahun 1990 tentang Kawasan
Lindung. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya rumah masyarakat yang
berada dalam kawasan sempadan bahkan bantaran sungai baik dibagian
hulunya (Jembatan Benanga) sampai bagian hilirnya. Hal ini akan
mempengaruhi kualitas air jika masyarakat membuang limbah MCK dan
lainnya langsung kebadan air sungai tanpa diolah terlebih dahulu.
Implikasinya, beberapa parameter akan meningkat kadarnya seperti fecal
coliform, total coliform, amonia, nitrat, nitrit dan fosfat.
? Masih banyak terdapat sampah padat yang masuk di dalam alur sungai, hal ini akan menyebabkan peningkatan kadar besi, pengurangan
kapasitas tampung sungai, dan kontaminasi impuritis lainnya bagi badan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Dalam pengamatan ini, pengambilan data berlangsung selama 3 bulan
(selama 90 hari) dari tanggal 21 Desember 2010 sampai 28 maret 2011.
Pengelolaan data dan penyusunan karya Ilmiah ± 1 bulan. Data-data yang
didapat dalam pengamatan ini adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Kecepatan Rata-rata Tumbuh Diameter, Tinggi dan Jumlah Daun
anakan Gaharu Selama 90 Hari.
Perlakuan Diameter (cm) Tinggi (cm) Jumlah daun (helai)
Top soil 0,23 3,19 3
Sedimen 0,29 3,46 2,2
Top soil + Sedimen 0,33 3,56 2,83
Hasil pengukuran diameter, tinggi dan jumlah daun anakan gaharu
setelah 3 bulan dipelihara dalam polybag di persemaian disajikan pada
lampiran 1 sampai dengan lampiran 9.
Dari data tabel 1 di atas dapat diketahui rata-rata pertambahan
diameter tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) pada media Top
soil adalah 0,23 cm/90 hari. Rata-rata pertambahan diameter pada media
sedimen adalah 0,29 cm/90 hari. Rata-rata pertambahan diameter pada
media Top Soil + Sedimen 0,33 cm/ 90hari
Rata-rata pertambahan tinggi pada media Top soil 3,197 cm/90 hari.
rata pertambahan tinggi pada media sedimen 3,46 cm/90 hari.
Rata-rata pertambahan tinggi pada media Top soil + sedimen 3,56 cm/90 hari.
Rata-rata pertambahan jumlah daun pada media Top soil 3 helai/90
hari. Pertumbuhan jumlah daun pada media Top soil + sedimen adalah 2,83
helai/ 90hari. Hal tersebut dapat dilihat pada Grafik 1 dibawah ini.
Grafik 1. Diagram Batang Rata-rata Pertumbuhan Anakan Gaharu dengan Perlakuan yang Berbeda Selama 90 hari.
B. Pembahasan
Secara umum, respon pertumbuhan anakan gaharu setelah 3 bulan
dipelihara dalam polybag di persemaian dapat dikatakan, bahwa media
tanam campuran Top Soil + Sedimen lebih baik dibandingkan dengan media
Top Soil murni maupun sedimen murni. Hal ini diduga karena kelemahan
pada sedimen yaitu bertekstur pasir (± 80% pasir) ditutupi oleh kelebihan
Top Soil yang bertekstur liat, disamping kontribusi unsur hara dari kedua
media. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Noorhamsyah (2010) yang
mengemukan bahwa tekstur sedimen waduk Benanga78,99% pasir.
Pada penggunaan media Top soil, pertambahan jumlah daun
menunjukkan angka yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan
media Sedimen dan media campuran Top soil + sedimen. Hal ini sesuai
dengan pendapat Novizan, 2005 yang menyatakan bahwa media yang baik 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4
Sedimen Top soil Top soil +
Sedimen
Sum of Diameter (cm/hari) Sum of Tinggi (cm/hari)
Sum of Jumlah daun (helai/hari)
mempunyai 4 fungsi utama yaitu memberi unsur hara dan sebagai media
perakaran, menyediakan air dan sebagai tempat penampungan air,
menyediakan udara untuk respirasi akar dan sebagai tempat bertumbuhnya
tanaman, hal tersebut terdapat pada Top soil.
Menurut Hartman et al. (1990) dalam Juhardi (1995) media yang baik
harus memiliki persyaratan antara lain mampu menjaga kelembaban,
memiliki aerasi dan drainasi yang baik, tidak memiliki salinitas yang tinggi
serta bebas dari hama dan penyakit. Berdasarkan hasil penelitian nampak
bahwa media Sedimen + Top soil merupakan media yang cocok bagi
pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata
pertumbuhan yang dihasilkan pada semua parameter yang diamati lebih
besar dibanding pada media lainnya (Top soil, sedimen) yaitu dengan nilai
rata-rata pertambahan tinggi sebesar 3,56 cm/90 hari, rata-rata pertambahan
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dimuka, maka beberapa yang
dapat disampaikan adalah sebagai berikut:
1. Rata-rata pertambahan diameter tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis
Lamk.) pada media Top soil selama 90 hari adalah 0,23 cm. Rata-rata
pertambahan diameter pada media sedimen selama 90 hari adalah 0,29
cm. Rata-rata pertambahan diameter pada media Top Soil + Sedimen
selama 90 hari adalah 0,33 cm.
2. Rata-rata pertambahan tinggi pada media Top soil selama 90 hari 3,197
cm. Rata-rata pertambahan tinggi pada media sedimen selama 90 hari
3,46 cm. Rata-rata pertambahan tinggi pada media Top soil + sedimen
selama 90 hari 3,56 cm.
3. Rata-rata pertumbuhan jumlah daun pada media Top soil selama 90 hari
3 helai. Pertumbuhan jumlah daun pada media Sedimen selama 90 hari
adalah 2,2 helai. Pertumbuhan jumlah daun pada media Top soil +
sedimen selama 90 hari adalah 2,83 helai.
4. Media top soil+sedimen (50% + 50%) diduga lebih baik dibandingkan top
soil murni maupun sedimen murni.
5. Pada pertambahan tinggi rataan anakan gaharu, kombinasi antara top soil
+ sedimen (50%+50%) diduga lebih baik dibandingkan top soil murni
maupun sedimen murni.
6. Media top soil diduga lebih baik dibandingkan top soil+sedimen maupun
7. Media Top Soil + Sedimen (50%+50%) diduga menjadi media yang paling
baik daripada media top soil dan media sedimen saja.
B. Saran
Untuk menghasilkan pertumbuhan anakan Gaharu disarankan
menggunakan media tanam Top Soil + Sedimen (dengan perbandingan
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Kebijakan Pengembangan Usaha Budidaya Gaharu.
Departeman Kehutanan, Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Jakarta.
Arsyad,s. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Bogor.
Asdak, C. 2007. Hidrolagi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Gardner, F.P; R.B. Pearce; and Roger, L.M. 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya Penerbit Univeritas Indonesia (UI- press) h 249 dari 472 h.
Hardiyatmo, H.C. 2006. Penanganan Tanah Longsor Dan Erosi. Gadja Mada
University Press, Yogyakarta.
Hardwinarto, S. 2000. Prediksi debit Limpasan Air Sungai dan Sedimen pada
DTA sebelah Hulu bendungan Benanga di Sub DAS karang mumus. Journal Frontir UNMUL, Samarinda.
Hazami. B; Ernayati dan Nofiarsyah, 2009. Studi Distribusi zat hara pada
sedimen sistem perairan DAS Karang Mumus di Samarinda, Kalimantan Timur.
Juhardi, D. 1995. Studi Pembiakan Vegetatif Stek Pucuk Shorea selanica BL
dengan Menggunakan Zat Pengatur Tumbuh IBA pada Media Campuran Tanah dan Pasir. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Noorhamsyah, 2010. Kajian Hara Makro Sedimen pada Sub DAS Karang
Mumus Sebagai Alternatif Media Pertumbuhan Anakan
Sidiyasa, K. dan M. suharti. 1987. Jenis Tumbuhan Penghasil Gaharu
Prosiding Diskusi Pemanfaatan Kayu Kurang dikenal 13-14 Januari1987. Cisarua Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Depertemen Kehutanan.
Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. Seri Agribisnis. Penerbit Penebar
Swadaya, Jakarta.
Sumadiwangsa, S. 2002. Kayu Gaharu Komoditi Elit di Kalimantan Timur.
Departemen Kehutanan, Direktorat Jendral Rehabilisasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Jakarta
Suwarto dan Yusri. 2003. Pengaruh Cara Pengemasan Dan Lamanya Waktu
Penyimpanan Terhadap Keberhasilan Proses Produksi Bibit Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) dengan sistem cabutan. Politeknik Pertanian Negeri Samrinda.
Purwanto. 1999. Budidaya Tanaman Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis)
Ekspose hasil penelitian, Balai Penelitian Kehutanan Pematang siantar, Medan.
Purwanto, M.S; R. Harahap dan H.A.F. mas’ud. 1995. Komposisi Vegatasi
Hutan bekas tebangan, kelompok hutan Padang Lawas. Buletin Penelitian Kehutanan.
Gambar 1. Anakan gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) di lokasi Arboretum
Gambar 3. Anakan gaharu (A. malaccensis Lamk.) dari cabutan yang berasal dari Arboretum Poltanesa
Gambar 5. Pengukuran diameter batang anakan gaharu (A. malaccensis Lamk.) dengan micro caliper
Gambar 6. Pengukuran tinggi anakan gaharu (A. malaccensis Lamk.) dengan penggaris