54
Novita Andayani
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Unsyiah Email: novi@unsyiah.ac.id
Abstrak. Banyak penelitian prospektif telah menunjukkan bahwa obesitas memiliki
hubungan positif antara peningkatan Body Mass Index (BMI) dengan perkembangan asma.. Obesitas menyebabkan terjadinya banyak mekanisme terhadap fisiologi paru yaitu. Peningkatan kadar adipokines seperti interleukin (IL)-6, eotaxin, tumor necrosis factor (TNF)-α, transforming growth factor(TGF)-β1, leptin, dan adiponektin. Terdapatnya polimorfisme genetik, pengaruh hormon seks tertentu, dan pola diet pada penderita obesitas dibuktikan memiliki pengaruh terhadap asma. Terhadap mekanisme paru obesitas dapat menurunkan sistem komplians paru, volume paru, dan diameter saluran nafas perifer. Berbagai adipokines memicu respon inflamasi sistemik yang berimplikasi terhadap inflamasi saluran napas, polimorfisme genetik menyebabkan beberapa gen menghubungkan antara obesitas dan asma serta sebaliknya. Pola diet pada pasien obesitas cenderung tinggi lemak dan rendah antioksidan dan kadar vitamin yang dapat menyebabkan peningkatan gejala asma, penurunan fungsi imunitas dan fungsi paru. Sehingga, penting untuk digarisbawahi bahwa edukasi terhadap diet harus diberikan kepada pasien obesitas yang memiliki asma. (JKS 2017; 1: 54-59)
Kata Kunci: Obesitas, Asma
Abstract. Prospective research has proven a positive relation between high body mass
index associated obesity and asthma improvement. Obesity lead to changing lung physiologic. Increase of adipokines such (IL)-6, eotaxin, tumor necrosis factor (TNF)-α, transforming growth factor(TGF)-β1, leptin, dan adiponectin. Genetic Polymorfism, seks hormonal influence, and dietetic play another rule linked obesity and asthma. In changing lung physiologic, obesity decrease lung compliance system, lung volume, and pheryfer airway diameter. Adipokines lead to systemic inflammatory response in which implicate to airway inflammatory. Genetic polymorphism cause genes interact obesity and asthmaDietary of obesity person show imbalance antioxidants and multivitamin level compared to fat comsuption. Deficiency of these nutrient directly increase the asthma symptoms, deacrease of lung function and immunity function. It is clear that dietary should be well educated to the asthma patients with obesity.(JKS 2017; 1: 51-59)
Keywords:Obesity, Asthma Pendahuluan
Obesitas didefinisikan dengan indeks masa tubuh (BMI) > 30 kg/m2.
Menurut World Health Organization (WHO) prevalensi obesitas di seluruh dunia hampir mencapai dua kali lipat sejak tahun 1980 hingga 2008, dan dilaporkan juga telah terjadi peningkatan prevalensi asma secara dramatis selama beberapa dekade terakhir3,4
Asma5-11
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik
menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari.
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya
asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi), hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras.
55
Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
Inflamasi Akut
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan newly
generated mediator seperti leukotrin,
prostaglandin dan PAF yang menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus. Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi
saluran napas dengan mengeluarkan
sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Tabel 2.2 Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Derajat asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
Intermiten Bulanan
Gejala <1x/minggu
Tanpa gejala di luar serangan
Serangan singkat
< 2 kali sebulan APE > 80%
VEP > 80% prediksi
APE > 80% nilai terbaik
Variabiliti APE < 20%
Persisten ringan Mingguan
Gejala >1x/minggu, tapi < 1x/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
> 2 kali sebulan APE > 80%
VEP > 80% prediksi
APE > 80% nilai terbaik
Variabiliti APE 20-30%
Persisten sedang Harian
Gejala setiap hari
Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
Membutuhkan bronkodilator setiap hari
> 1x/minggu APE 60-80%
VEP 60-80% prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
Variabiliti APE >30%
Persisten berat Kontinyu
Gejala terus-menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik terbatas
Sering APE <60%
VEP <60% prediksi
APE <60% nilai terbaik
Variabiliti APE >30%
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untuk
menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan fisik dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Pemeriksaan fisik pada asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran
objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai
56
kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasimenutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise, kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja
singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan), variasi harian APE kurang dari 20%, nilai APE normal atau mendekati normal, efek samping obat minimal (tidak ada), dan tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat.
Obesitas dan Fungsi Paru7
Obesitas mempunyai banyak mekanisme penting dalam hal perubahan fisiologi paru berkaitan dengan terjadinya asma. Obesitas dapat menyebabkan penurunan sistem komplians paru, volume paru, dan diameter saluran nafas perifer.Akibatnya terjadi peningkatan hiperreaktivitas saluran napas, perubahan volume darah pulmoner dan gangguan fungsi ventilasi perfusi.
Penurunan sistem komplians paru pada penderita obesitas disebabkan oleh penekanan dan infiltrasi jaringan lemak di dinding dada, serta peningkatan volume darah paru.Dispneu merupakan gejala akibat terganggunya sistem ini.Selain itu, pada penderita obesitas aliran udara di saluran napas terbatas, ditandai dengan menurunnya nilai FEV1 dan FVC yang umumnya terjadi sebanding. Penurunan
volume paru berhubungan dengan
berkurangnya diameter saluran napas perifer menimbulkan gangguan fungsi otot polos saluran napas. Hal ini menyebabkan perubahan siklus jembatan aktin-miosin
yang berdampak pada peningkatan
hiperreaktivitas dan obstruksi saluran napas.
Obesitas dan Mediator Inflamasi4,7,12,13
Peningkatan fungsi normal jaringan
adiposa pada pasien obesitas merujuk pada suatu keadaan proinflamasi sistemik. Maka, akan terjadi peningkatan konsentrasi sejumlah sitokin, dan fraksi terlarut dari reseptor dan kemokin. Sejumlah mediator ini disintesis dan disekresikan oleh sel-sel makrofag yang terdapat di dalam jaringan
adiposa dan dikelompokkan sebagai
adipokin. Adipokin terdiri dari sejumlah
molekul pro-inflamasi yang berperan dalam sistem imun seperti interleukin (IL)-6, eotaxin, tumor necrosis factor (TNF)-α,
transforming growth factor(TGF)-β1,
leptin, dan adiponektin. Berikut informasi mengenai molekul-molekul yang berperan pada patogenesis asma :
a. IL-6
Sel adiposit yang banyak pada pasien obesitas akanmenghasilkan kadar IL-6 yang juga tinggi. Penelitian menunjukkan
bahwa kadar IL-6 yang meningkat
berhubungan dengan stimulasi terhadap histamin, IL-4, TNF-α, dan IL-1. Stimulasi terhadap IL-4 akan meningkatkan produksi IgE yang berperan penting pada asma. IL-6 juga berperan untuk terjadinya fibrosis subepitelial saluran napas, yang merupakan kunci terjadinya remodeling saluran napas pada asma.
b. Eotaxin
Eotaxin merupakan hormon kemokin yang berperan dalam migrasi eosinofil dari
darah ke saluran napas sehingga
menimbulkan respon inflamasi pada
penderita asma.Eotaxin pada manusia disekresikan oleh sel endotel, fibroblas, makrofag, sel epitel bronkus bersilia dan yang tidak bersilia, sel otot polos, kondrosit, dan eosinofil.Ditemukan juga
57
bahwa jaringan adiposit juga
mensekresikan eotaxin dan kadarnya meningkat baik pada tikus percobaan maupun manusia yang obesitas. Selain itu percobaan penurunan berat badan pada manusia menyebabkan menurunnya kadar eotaxin plasma. Hal ini membuktikan bahwa kadar eotaxin yang meningkat pada penderita obesitas akan meningkatkan risiko seseorang menderita asma.
c. TNF-α
TNF-α juga dihasilkan oleh sel adiposit
dan kadarnya berhubungan langsung
dengan massa lemak tubuh. Selain itu, diketahui bahwa pada asma terjadi
peningkatan kadar TNF-α yang
meningkatkan produksi sitokin T helper (Th)-2 yaitu IL-4 dan Il-6 di epitel bronkus.
d. TGF-β1
Pada asma, TGF-β1 dihasilkan oleh eosinofil dan makrofag.Sitokin ini menyebabkan terjadinya transformasi fibroblast menjadi miofibroblas dan berdampak terhadap remodeling saluran napas.
e. Leptin
Leptin merupakan salah satu faktor yang berperan dalam hubungan antara obesitas dan asma.Leptin merupakan hormon yang diproduksi oleh adiposit dan kadarnya meningkat pada penderita obesitas.Melalui pengaturan di hipothalamus, leptin berfungsi sebagai pengatur asupan energi dan metabolisme tubuh.Selain itu, leptin memiliki peran dalam pengaturan respon inflamasi pada penderita obesitas yaitu mengatur proliferasi dan aktivasi sel T, promosi angiogenesis, serta aktivasi sel
monosit dan makrofag.Penelitian
menunjukkan bahwa pada pasien obesitas yang menderita asma makrofag dalam jaringan adiposa lebih banyak mensitesis IL-5, IFN-γ, TNF-a, dan IL-10 sebagai respon terhadap sekresi leptin.
f. Adiponektin
Peranan adiponektin sebagai antiinflamasi termasuk di saluran napas telah banyak diketahui. Pada obesitas terjadi penurunan kadar adiponektin serum atau disebut
hipoadiponektinemia sehingga
meningkatkan risiko stress okstidatif sistemik yang mengakibatkan terjadinya stress oksidatif saluran napas sehingga memudahkan terjadinya respon inflamasi seperti pada asma.
Faktor Genetik7,12
Telah lama diketahui bahwa polimorfisme genetik dapat menyebabkan terdapatnya beberapa efek yang mungkin muncul dari satu gen. Satu gen yang terdapat pada suatu region kromosom manusia dapat menghubungkan satu penyakit terhadap penyakit lainnya. Region spesifik dari kromosom manusia yang menghubungkan asma dan obesitas yaitu 5q, 6p, 11q13, and 12q.
Pada kromosom 5q terdapat kandidat gen
ADRB2, NR3c1 dan GRL yang
berhubungan untuk terjadinya asma dan obesitas. Proses polimorfisme gen ADRB2 menyebabkan peningkatan kadar IgE
serum dan derajat serangan asma,
gangguan respon terapi terhadap
pemberian β agonis, serta menyebabkan obesitas. Gen NR3C1 berperan dalam respon inflamasi baik pada asma maupun
obesitas. Sedangkan gen GRL
berhubungan dengan peningkatan derajat
asma, berkurangnya respon terhadap
steroid pada pengobatan asma, dan terjadinya obesitas.
Kromosom 6 memiliki gen TNF-α yang mempengaruhi sistem imun dan respon antiinflamasi baik pada asma dan obesitas. Kromosom 11q13 mengandung dua gen yaitu UCP2-UCP3 dan gen untuk reseptor IgE. Gen UCP2-UCP3 mempengaruhi
metabolisme basal namun tidak
berpengaruh terhadap asma. Sebaliknya, gen untuk reseptor IgE berperan dalam
respon inflamasi sel-sel Th-2 yang
58
berpengaruh terhadap obesitas. Kromosom 12q mengandung gen untuk sitokin inflamasi yang berhubungan dengan asma (IFN-γ, LTA4H,Nitritoksida sintesa-1) dan dengan obesitas (STAT6, InsulinGrowth Factor Tipe-1 dan CD36L1).
Faktor Hormonal7,12
Banyak penelitian yang telah menunjukkan bahwa pengaruh obesitas terhadap asma
lebih banyak terjadi pada wanita
dibandingkan laki-laki. Hal ini
menggambarkan adanya pengaruh hormon seks pada kedua hal tersebut. Penelitian menemukan bahwa anak perempuan yang
overweight atau obesitas yang mengalami
pubertas lebih awal berisiko lebih tinggi terhadap kejadian asma dibandingkan anak perempuan yang memiliki IMT normal. Ada dua hal yang dapat menjelaskan
pengaruh hormonal dalam hubungan
obesitas dan asma. Pertama, obesitas
mempengaruhi pengaturan hormon
perempuan sehingga mempercepat
pubertas.
Sel adiposit diketahui memproduksi banyak enzim aromatase. Enzim ini akan mengkonversi hormon androgen menjadi hormon estron (salah satu estrogen alami) dan leptin sehingga kadarnya meningkat dalam darah. Kedua hormon ini memiliki peran untuk terjadinya asma.
Hormon estrogen berperan dalam
mempengaruhi respons saluran napas terhadap β2 adrenergik, sedangkan leptin berfungsi untuk mempengaruhi respon inflamasi. Kedua, peningkatan hormon
estrogen pada perempuan obesitas
cenderung menyebabkan atopi. Hal ini karena hormon estrogen menyebabkan sel limfosit mensekresi lebih banyak IL-4 dan
IL-13 sehingga mengakibatkan
peningkatan produksi IgE. Peningkatan produksi IgE ini menjelaskan terjadinya hiperreaktivitas saluran napas yang terjadi pada pasien asma.
Diet7
Telah banyak diketahui bahwa konsumsi
diet tertentu berhubungan dengan
tingginya prevalensi asma baik pada anak-anak maupun terhadap orang dewasa. Pada
pasien obesitas, konsumsi makanan
cenderung memiliki nilai rendah nutrisi tetapi tinggi lemak.Sehingga, berbagai vitamin A, C, E, karoten, riboflavin, piridoksin, zinc, dan magnesium yang dikonsumsi akan berbanding terbalik dengan kadar lemak tubuh. Rendahnya kadar zat-zat tersebut memiliki pengaruh
terhadap perkembangan asma. Teori
menunjukkan bahwa berbagai antioksidan dan vitamin tersebut dapat meningkatkan sistem imunitas, menurunkan gejala asma
atau eksema, dan menurunkan
hiperreaktivitas saluran napas. Kesimpulan
Peningkatan fungsi normal jaringan
adiposa pada pasien obesitas merujuk pada suatu keadaan proinflamasi sistemik maka
akan terjadi peningkatan konsentrasi
sejumlah sitokin, dan fraksi terlarut dari reseptor dan kemokin. Ada dua hal yang dapat menjelaskan pengaruh hormonal dalam hubungan obesitas dan asma.
Pertama, obesitas mempengaruhi
pengaturan hormon perempuan sehingga
mempercepat pubertas. Kedua,
peningkatan hormon estrogen pada
perempuan obesitas cenderung
menyebabkan atopi. DAFTAR PUSTAKA
1. Olga S, Benjamin TS, Kendall EB, William GT, Richard EP, Patrick F, Oliver D, Charles GI, Anne ED, Obesity and Asthma: An Inflamatory disease of Adipose Tissue Not the Airway. Am J Respir Crit Care Med. 2012. Vol 186, Iss. 7, pp 598-605. 2. Holguin F, Mauricio R, Lou-Anne B, Anne
MF. Airway and Plasma Leptin and Adiponectin in Lean and Obese Asthmatics and Controls. J Asthma. 2011. 48(3): 217-22.
3. Lugogo NL, Diyva B, Monica K. Obesity, Metabolic Dysregulation and Oxydative Stress in Asthma. Biochim Biophys Acta. 2011. Vol. 11 p. 1120-1126.
59 4. Lugogo NL, John WH, Druhan LH, Loretta
GQ, Dave F, Tony DC, Erin NPK, Jennifer LI, Ying W, Sin-Ho J, Monica K. Alveolar Macrophages from Overweight/Obese Subjects with Asthma Demontrate a Proinflamatory Phenotype. Am J Respir Crit Care Med. 2012. Vol 186, Iss. 5, pp 404-411.
5. Juel TBJ, Ulrick CS. Obesity and Asthma: Impacton Severity, Asthma Control, and Response on Therapy. Respiratory Care Paper. 2012.
6. Boulet LP, Edmee F. Influence of Obesity on Response to Fluticasone with or without Salmetarol in Moderate Asthma. Respiratory Medicine Elsevier. 2007. Vol. 101 p.2240-2247.
7. Delgado, Baaranco P, Quirce S. Obesity and Asthma. J Investig Allergol Clin Immunol. 2008 Vol. 18(6): 420-425. 8. Wood LG, Peter GG. Adiponectin: The Link
Between Obesity and Asthma in Women?. American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine. 2012. Vol 186: 1-2. 9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Tanpa Tahun.
10. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. 2009.
11. GINA Assembly. Pocket for Asthma Management ad Prevention. Global Initiative for Asthma. 2011.
12. Tantisira KG, Weiss ST. Complex Interactions In Complex Traits : Obesity and Asthma. Thorax. BMJ. Com. 2001. 13. Sushma K, Sumita K, Joel M, Samira S,
Shireen H, Mauricio R, Lou AB, Gerald WT, Fernando H. Body Mass Index is Associated with Reduced Exhaled Nitric Oxide and Higher Exhaled 8-isoprostanes in Asthmatics. Respiratory Research, BioMed Central Ltd. 2007. 8: 32.