• Tidak ada hasil yang ditemukan

OBAT PADA KELOMPOK KHUSUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OBAT PADA KELOMPOK KHUSUS"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

OBAT PADA KELOMPOK KHUSUS

Kelompok khusus adalah kelompok yang memiliki kemungkinan besar mendapatkan risiko (efek samping) dari pemakaian obat. Kelompok khusus tersebut adalah ibu hamil dan menyusui, neonatus dan anak, serta usia lanjut. Organ-organ pada bayi dan anak yang relatif belum matang memerlukan pemberian obat yang berbeda dengan orang dewasa. Pada ibu hamil terjadi perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik yang diakibatkan oleh perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan. Pemberian obat pada ibu hamil juga harus memperhatikan pengaruh obat pada janin. Pada orang lanjut usia terjadi proses penuaan fisiologis yang terus berjalan yang memerlukan perhatian dalam pemberian obat untuk mencegah risiko terjadinya reaksi yang merugikan.

I. IBU HAMIL DAN MENYUSUI

Efek obat pada wanita hamil dapat berubah karena perubahan endokrin yang disesuaikan dengan tahap kehamilan. Adanya perubahan fisiologis selama kehamilan memerlukan penggunaan obat yang berbeda dengan wanita yang tidak hamil. Dalam memberikan obat pada masa kehamilan, banyak hal harus dipertimbangkan antara manfaat pemberian obat bagi ibu dengan risiko yang dapat ditimbulkan terhadap janin. Penggunaan obat pada masa kehamilan menjadi menarik perhatian sejak terjadinya tragedi talidomid yang diikuti dengan penarikan obat tersebut pada tahun 1961.

A. PERUBAHAN FARMAKOKINETIK PADA IBU HAMIL

1. Kecenderungan pH lambung yang menjadi lebih basis, pH lambung meningkat 30-40%. Hal ini dikarenakan penurunan produksi/sekresi asam lambung, akibatnya obat dengan penyerapan dalam lingkungan yang asam absorbsinya menurun dan obat dengan penyerapan pada lingkungan basa absorbsinya akan meningkat. Aspirin yang diserap dalam lingkungan asam absorbsinya akan menurun.

2. Motilitas usus pada ibu hamil mengalami penurunan, akibatnya absorbsi obat akan meningkat apabila obat tidak dimetabolisme di lumen usus dan langsung diserap, misalnya digitalis. Absorbsi akan menurun apabila obat dimetabolisme di lumen usus dan tidak langsung diserap, contohnya klorpromazin

3. Ibu hamil mengalami peningkatan volume plasma dan cairan sampai 50%, akibatnya obat yang diberikan dalam volume kecil, kadarnya akan rendah dalam tubuh.

4. Ibu hamil mengalami penurunan albumin, sehingga obat yang terikat albumin akan menjadi bebas.

5. Ibu hamil mengalami peningkatan eliminasi renal akibat peningkatan aliran darah sehingga obat yang masuk akan mudah diekskresikan.

B. PENGARUH OBAT SELAMA KEHAMILAN TERHADAP JANIN

Pada dasarnya ibu dan janin dipisahkan/dibatasi oleh suatu barier yaitu plasenta. Plasenta merupakan sebuah sawar lemak antara sirkulasi darah ibu dan janin. Obat melintasi plasenta dengan cara difusi pasif, difusi fasilitas dan transpor aktif. Kebanyakan obat berpindah dengan mekanisme difusi pasif. Apabila obat dapat menembus plasenta, obat akan sampai kepada fetus atau janin. Obat pada janin dapat bersifat toksik, teratogen atau lethal tergantung pada periode perkembangan fetus. Apabila obat memapar janin pada usia kehamilan kurang 3 minggu, fase implantasi akan terganggu akibatnya janin dapat lethal/mati. Apabila obat memapar janin pada usia kehamilan 3-8 minggu akan mengganggu proses embrional/organogenesis sehingga akan terjadi malformasi yang mengakibatkan cacat bawaan. Jika obat memapar janin pada usia kehamilan trimester II-III, janin akan mengalami gangguan pertumbuhan/fungsi. Adapun obat yang dikonsumsi ibu sesaat sebelum kelahiran dapat menyebabkan efek samping pada kelahiran atau pada neonatus setelah kelahirannya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi obat dapat menembus plasenta

1. Sifat fisikokimiawi obat

a. Berat molekul obat mempengaruhi laju transfer obat dan jumlah obat yang ditransfer. Obat dengan berat molekul yang besar cenderung tidak dapat melewati plasenta. Obat dengan BM 250-500 dapat menembus plasenta dengan mudah tergantung pada kelarutan dalam lipid serta derajat ionisasinya. Obat dengan BM 500-1000 lebih sulit menembus plasenta, dan obat dengan BM lebih dari 1000 sangat sedikit dapat menembus plasenta. Heparin tidak dapat menembus plasenta karena memiliki berat molekul sangat besar sehingga dipilih sebagai antikoagulan pada wanita hamil. Warfarin bersifat teratogenik karena dapat menembus plasenta.

(2)

b. Obat lipofilik (mudah larut dalam lemak) cenderung menyebar dengan mudah menembus plasenta dan memasuki sirkulasi janin, misalnya thiopental.

c. Obat terionisasi. Makin mudah obat terionisasi makin lambat difusinya karena dalam bentuk ion obat hanya akan bereaksi dengan ion tertentu saja. Misalnya, obat yang sangat mudah mengion seperti succinylcholine dan tubocurarine menembus plasenta perlahan-lahan dan mencapai konsentrasi yang sangat rendah pada janin.

2. Kecepatan menembus plasenta dan jumlah yang mencapai janin

Kecepatan obat untuk menembus plasenta tergantung pada volume dan vaskularisasi pada daerah tersebut. Jika volume/vaskularisasi besar, kemungkinan menembus plasenta juga besar. Pada ibu hamil terjadi peningkatan cairan plasma dan keadaan ini menimbulkan peningkatan volume yang besar untuk distribusi obat. 3. Durasi paparan, makin lama menggunakan obat makin besar kemungkinan obat

menembus plasenta. 4. Distribusi obat di janin

Semakin banyak obat yang diabsorbsi ibu, semakin banyak juga obat yang terdistribusi di janin.

5. Periode perkembangan janin

Makin tua usia kehamilan makin tipis sawar plasenta dan makin besar kemampuan plasenta memetabolisme obat. Pada trimester I, sangat mudah terjadi malformasi. Pada usia kehamilan yang lebih tua, yang akan terganggu adalah fungsi dari organ tersebut. Periode paling kritis dari pertumbuhan embrio dimulai sekitar 17 hari pascakonsepsi (pasca pembuahan) saat sistem organ sedang berkembang, hingga 60-70 hari.

6. Obat kombinasi, obat yang mengandung banyak efek, contohnya obat flu yang mengandung antipiretik, mengatasi batuk, membuat ngantuk.

C. AGEN TERATOGENIK

Agen teratogen adalah bahan apapun yang jika diberikan kepada ibu yang sedang hamil dapat menyebabkan atau berpengaruh terhadap malformasi atau kelainan fungsi fisiologis ataupun perkembangan jiwa janin atau pada anak setelah kelahiran. Tidak semua agen teratogenik adalah obat-obatan. Beberapa kondisi dapat menjadi agen teratogenik, seperti penggunaan alkohol, kokain, paparan merkuri, radiasi, sitomegalovirus, rubella, sifilis, toksoplasmosis, varicella, dan kondisi hipotiroid serta diabetes pada ibu.

Suatu bahan atau obat dapat menimbulkan cacat fungsional atau struktural (pada janin dalam rahim) melalui beberapa mekanisme, yaitu:

1. Efek obat langsung terhadap janin, di mana akses obat ke janin ditentukan oleh beberapa faktor seperti jumlah/kadar obat yang melewati sawar plasenta, struktur biokimiawi (sistem enzimatik) dari plasenta, dan struktur kimiawi dari obat itu sendiri (berat molekul, terionisasi atau tidak, larut dalam lemak atau tidak).

2. Efek obat terhadap fungsi plasenta, di mana fungsi plasenta sebagai paru-paru, ginjal, usus, hati, maupun sistem endokrin janin sebelum terbentuknya organ-organ secara sempurna. Suatu obat/bahan yang dapat mengganggu fungsi plasenta juga mengakibatkan gangguan pada janin.

3. Efek obat terhadap metabolisme atau fungsi tubuh ibu, misalnya terjadinya tekanan darah tinggi pada saat kehamilan.

4. Tahap perkembangan janin dalam rahim. Efek obat berbeda terhadap tahap-tahap perkembangan janin. Misalnya, pada kehamilan yang sangat dini (sebelum tahap diferensiasi), sel-sel embrionik bersifat omnipotent (berkembang menjadi berbagai bentuk organ) dan setiap gangguan pada tahap ini cenderung berefek all or none, artinya terjadi kerusakan sel secara total atau justru tidak ada efek sama sekali karena sifat multipotent dari sel-sel tersebut.

5. Kerentanan genetik atau genetic susceptibility, di mana masing-masing ras atau suku diketahui memiliki kecenderungan yang berbeda terhadap efek suatu obat.

KATEGORI OBAT PADA MASA KEHAMILAN MENURUT FDA

Food and Drug Administration (FDA) telah membuat kategori keamanan penggunaan obat selama kehamilan. Kategorinya adalah kategori A, B, C, D, dan X. 1. Kategori A: penelitian yang memadai dengan menggunakan pembanding pada

wanita hamil tidak menunjukkan peningkatan risiko abnormalitas terhadap janin. Beberapa jenis vitamin dan multivitamin yang diberikan semasa hamil termasuk dalam kategori ini, namun "megavitamins" tidak termasuk kategori ini

2. Kategori B: penelitian pada hewan tidak menunjukkan bukti bahwa obat berbahaya terhadap janin, namun demikian belum ada penelitian yang memadai dengan menggunakan pembanding pada wanita hamil, atau penelitian pada hewan

(3)

menunjukkan efek yang tidak dikehendaki tetapi penelitian yang memadai dengan menggunakan pembanding pada wanita hamil tidak menunjukkan risiko terhadap janin. Beberapa antibiotika seperti penisilin termasuk kategori ini.

3. Kategori C: penelitian pada hewan telah menunjukkan efek yang tidak dikehendaki terhadap janin, namun belum ada penelitian yang memadai dengan menggunakan pembanding pada wanita hamil, atau belum dilakukan penelitian pada hewan dan tidak ada penelitian yang memadai dengan menggunakan pembanding pada wanita hamil.

4. Kategori D: terdapat penelitian yang memadai dengan menggunakan pembanding pada wanita hamil atau pengamatan menunjukkan risiko bagi janin, namun demikian harus dipertimbangkan manfaat pemberian obat dibandingkan resiko yang dapat ditimbulkan. Contohnya Carbamazepine dan Phenytoin (sejenis obat untuk epilepsi) serta beberapa obat antikanker atau kemoterapi.

5. Kategori X: penelitian yang memadai pada wanita hamil dengan menggunakan pembanding pada hewan telah menunjukkan bukti positif terjadinya abnormalitas janin. Penggunaan obat dengan kategori risiko ini dikontraindikasikan pada wanita yang sedang hamil atau akan hamil. Contohnya, obat jerawat yang dikenal sebagai isotretinoin, dapat menyebabkan kelainan multipel pada sistem saraf, wajah, maupun kardiovaskuler. Thalidomide yang diproduksi tahun 1950an yang digunakan untuk mengurangi/menghilangkan mual, muntah, serta kecemasan dapat menyebabkan kelainan yang berat seperti pokomelia dan malformasi-malformasi internal.

Obat yang perlu mendapat perhatian khusus selama kehamilan

a. Anti inflamasi non steroid (AINS) atau non steroid anti inflammatory drug (NSAID). Obat ini kerjanya menghambat sintesa prostaglandin sehingga

kemungkinan akan terjadi gangguan pada trimester III. Akibat yang mungkin muncul yaitu persalinan lama. Jika digunakan pada akhir kehamilan, obat anti peradangan non-steroid bisa menyebabkan berkurangnya jumlah cairan ketuban. Aspirin dosis tinggi bisa menyebabkan perdarahan pada ibu maupun bayinya. Aspirin atau asam salisilat lainnya bisa menyebabkan peningkatan kadar bilirubin dalam darah janin sehingga terjadi jaundice (sakit kuning) dan kadang kerusakan otak.

b. Anti emetik (siclizin, meclizin). Meclizin yang sering digunakan untuk mengatasi

mabok perjalanan, mual dan muntah pada hewan coba dapat menimbulkan abnormalitas janin tetapi pada manusia belum terbukti, meskipun demikian sebaiknya diusahakan terapi non farmakologik.

c. Anti infeksi. Penisillin/-laktam merupakan obat yang relatif paling aman (termasuk

amoksisilin, sefalosporin). Tetracyclin bisa melewati plasenta dan disimpan di dalam tulang serta gigi janin, bercampur dengan kalsium, akibatnya pertumbuhan tulang menjadi lambat, gigi bayi berwarna kuning dan emailnya lunak serta menjadi rentan terhadap karies. Resiko terbesar terjadinya kelainan gigi terjadi jika tetrasiklin diminum pada pertengahan sampai akhir kehamilan. Aminoglikosida (streptomycin dan canamycin) dapat mengenai N VIII sehingga menyebabkan gangguan pendengaran pada telinga bagian tengah janin dan kemungkinan menyebabkan ketulian. Chloramphenicol tidak berbahaya bagi janin tetapi bisa menyebabkan penyakit yang serius pada bayi baru lahir, yaitu sindroma bayi abu-abu. Ciprofloxacin tidak boleh diberikan kepada ibu hamil karena bisa menyebabkan kelainan sendi pada hewan percobaan. Kebanyakan antibiotik golongan sulfa yang diminum di akhir kehamilan bisa menyebabkan jaundice pada bayi baru lahir, yang bisa menyebabkan kerusakan otak.

d. Obat-obat golongan barbiturat dan golongan benzodiazepin dapat

mengakibatkan ketergantungan obat pada janin. Fenitoin dapat menghambat sintesis asam folat dalam tubuh janin, sehingga janin kekurangan asam folat yang penting bagi perkembangan otak dan susunan saraf pusat. Akibatnya terjadi kecacatan pada janin, seperti bibir sumbing, tempurung kepala tidak sempurna, cacat pada jari dan kuku kaki, kelainan jantung, dan lain-lain. Untuk mencegah efek yang tidak diinginkan ini, maka biasanya dokter meresepkan juga asam folat untuk diminum bersama obat fenitoin.

Beberapa obat anti-kejang yang diminum oleh penderita epilepsi yang sedang hamil, bisa menyebabkan terjadinya celah langit-langit mulut, kelainan jantung, wajah, tengkorak, tangan dan organ perut pada bayinya. Bayi yang dilahirkan juga bisa mengalami keterbelakangan mental. Dua obat anti-kejang yang bisa menyebabkan cacat bawaan adalah trimetadion (resiko sebesar 70%) dan asam valproat (resiko sebesar 1%). Carbamazepine diduga menyebabkan sejumlah cacat bawaan yang sifatnya ringan. Bayi baru lahir yang selama dalam kandungan terpapar oleh phenitoin dan phenobarbital, bisa mudah mengalami perdarahan karena obat ini menyebabkan kekurangan vitamin K yang diperlukan dalam proses pembekuan darah. Efek ini bisa

(4)

dicegah bila selama 1 bulan sebelum persalinan, setiap hari ibu mengkonsumsi vitamin K atau jika segera setelah lahir diberikan suntikan vitamin K kepada bayinya. Selama hamil, kepada penderita epilepsi diberikan obat anti-kejang dengan dosis yang paling kecil tetapi efektif dan dipantau secara ketat. Wanita yang menderita epilepsi, meskipun tidak memakai obat anti-kejang selama hamil, memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan cacat bawaan. Resikonya semakin tinggi jika selama hamil sering terjadi kejang yang berat atau jika terjadi komplikasi kehamilan atau jika perawatan kesehatannya tidak memadai.

e. Anti koagulan. Janin sangat rentan terhadap antikoagulan (obat anti pembekuan)

warfarin. Cacat bawaan terjadi pada 25% bayi yang terpapar oleh obat ini selama trimester pertama. Selain itu, bisa terjadi perdarahan abnormal pada ibu maupun janin. Jika seorang wanita hamil memiliki risiko membentuk bekuan darah, lebih baik diberikan heparin, tetapi pemakaian jangka panjang selama kehamilan bisa menyebabkan penurunan jumlah trombosit atau pengeroposan tulang (osteoporosis) pada ibu.

f. Vitamin A dosis tinggi. Vitamin A (retinol) terbukti memiliki daya kerja pengatur

diferensiasi pada jaringan normal.

g. Etil alkohol yang menahun dapat menyebabkan syndrom alkohol janin (termasuk

malformasi kraniofasial). Meminum alkohol selama hamil bisa menyebabkan cacat bawaan. Bayi yang lahir dari ibu yang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar bisa mengalami sindroma alkohol. Bayi ini kecil, seringkali memiliki kepala yang kecil (mikrosefalus), kelainan wajah dan kelainan mental. kadang terjadi kelainan sendi dan kelainan jantung. bayi ini tidak berkembang dan kemungkinan akan meninggal sesaat setelah dilahirkan.

h. Stilbestrol dapat menyebabkan karsinoma vagina setelah usia 15-20 tahun pada

anak perempuan dan penyakit reproduksi pada laki-laki.

i. Anti hipertensi

Obat untuk menurunkan tekanan darah seringkali diberikan kepada wanita hamil yang menderita pre-eklamsi atau eklamsi. Obat ini bisa mempengaruhi fungsi plasenta dan harus digunakan secara hati-hati untuk mencegah kelainan pada janin. Biasanya, kelainan timbul karena penurunan tekanan darah ibu berlangsung terlalu cepat dan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke plasenta.

j. Antagonis Kalsium (verapamil, nifedipin, diltiazem) dapat menyebabkan hipoksia

fetal bila terjadi hipotensi pada ibu hamil tersebut.

k. Diuretik dapat mengurangi volume plasma sehingga akan menurunkan perfusi

uteroplasenta

l. Reserpin, tidak digunakan pada trimester 3 karena akan mengganggu termoregulasi. m. Penyekat Neuroadrenergik dapat menyebabkan hipotensi postural, penurunan

perfusi uteroplasental (contoh : guanetedin)

n. ACE inhibitor, dapat meningkatkan mortalitas janin. ACE inhibitor dan thiazide

biasanya tidak digunakan selama kehamilan karena bisa menyebabkan masalah yang serius pada janin.

D. PEDOMAN PEMBERIAN OBAT PADA WANITA HAMIL

1. Pertimbangkan perawatan tanpa obat

2. Obat hanya diresepkan jika manfaat yang diperoleh ibu lebih besar daripada resiko kepada janin

3. Hindari penggunaan obat pada trimester pertama kehamilan

4. Penggunaan obat trimester 1 dan 2 selalu konsultasikan dengan dokter, termasuk pemakaian beberapa bahan kosmetik

5. Apabila diperlukan, gunakan obat yang keamanannya terhadap ibu hamil telah diketahui dengan pasti

6. Obat harus digunakan pada dosis efektif terkecil dan jangka waktu sesingkat mungkin

7. Hindari polifarmasi

8. Pertimbangkan penyesuaian dosis dan pemantauan pengobatan pada beberapa obat, seperti misalnya fenitoin, litium.

E. PENGGUNAAN OBAT SELAMA MASA MENYUSUI

Terapi obat pada ibu menyusui harus memperhatikan kemungkinan adanya ekskresi obat ke dalam air susu ibu (ASI) yang dapat memberikan efek yang tidak diinginkan terhadap bayi. Obat dapat mencapai ASI melalui mekanisme difusi pasif melewati membran. Jumlah obat yang mencapai ASI tergantung pada gradien konsentrasi antara plasma dan ASI, kelarutan obat di dalam lemak, pKa (konstanta disosiasi asam), kapasitas ikatan protein, dan pH ASI. pH ASI sedikit lebih rendah dari pada pH plasma, sehingga obat basa lemah cenderung memiliki konsentrasi rasio ASI terhadap plasma

(5)

yang lebih tinggi dibandingkan obat asam lemah. Konsentrasi dalam ASI obat-obat basa lemah seperti linkomisin, antihistamin, isoniazid, antipsikotik, antidepresan, litium, kinin, tiourasil, dan metronidazol umumnya sama atau lebih tinggi dari pada konsentrasi plasma. Signifikansi klinik suatu obat pada ASI tergantung pada konsentrasinya dalam ASI, jumlah ASI yang dikonsumsi oleh bayi dalam periode waktu tertentu, absorpsi ASI oleh bayi, dan efek obat terhadap bayi.

Obat yang perlu mendapat perhatian khusus selama masa menyusui

1. Tetrasiklin, konsentrasi dalam ASI sekitar 70% dari konsentrasi obat dalam serum maternal dan menimbulkan resiko terjadinya noda permanen pada gigi bayi. 2. Klorampenikol, konsentrasi kloramphenicol dalam ASI tidak cukup untuk

menimbulkan Grey baby Syndrom tetapi terdapat sedikit kemungkinan menyebabkan penekanan sunsum tulang.

3. Isoniazid, cepat mencapai keseimbangan antara ASI dan darah maternal. Konsentrasi yang dicapai dalam ASI cukup tinggi sehingga tanda defisiensi pyridoxine dapat terjadi pada bayi bila ibu tidak mendapatkan suplemen pyridoxine.

4. Obat sedatif dan hipnotik, mencapai konsentrasi cukup dalam ASI untuk menimbulkan efek farmakologis pada bayi.

5. Barbiturate, dapat mengakibatkan lethargi, sedasi dan reflek hisap yang lemah pada bayi.

6. Chloral hydrate, dapat menyebabkan sedasi bila si bayi disusui pada saat tercapai konsentrasi puncak dalam ASI.

7. Diazepam dapat menimbulkan efek sedatif pada bayi yang menyusu, dan waktu paruh yang panjang dapat menyebabkan akumulasi obat secara bermakna.

8. Opioid, seperti heroin, methadone, dan morphine memasuki ASI dalam jumlah yang cukup potensial memperpanjang kondisi ketergantungan narkotik pada bayi 9. Litium, memasuki ASI dalam konsentrasi yang setara dengan yang terdapat

dalam serum maternal. Wanita yang diberi Lithium dapat memaparkan jumlah obat yang relatif besar pada bayinya.

10. Unsur radioaktif, Albumin 125I yang diiodinasi dan radioiodine dapat menyebabkan supresi tiroid dan meningkatkan resiko kanker tiroid. Pemberian ASI sebaiknya dihindari.

Pedoman pemberian obat selama masa menyusui

1. Pertimbangkan rute pemberian obat yang dapat menurunkan ekskresi obat ke dalam ASI

2. Hindari formulasi obat yang long action, misalnya sustained release 3. Jika memungkinkan hindari penggunaan jangka lama

4. Hindari menyusui selama konsentrasi obat mencapai puncak plasmanya 5. Obat dosis tunggal diminum sesaat sebelum periode tidur bayi paling lama. 6. Jika memungkinkan rencanakan menyusui sebelum pemberian dosis obat

berikutnya

7. Selalu mengamati bayi terhadap tanda-tanda yang tidak biasa, seperti sedasi, iritasi, penurunan nafsu makan, kesulitan menelan

8. Tidak melanjutkan menyusui selama terapi obat jika resiko terhadap bayi lebih berat.

II. NEONATUS DAN ANAK

Pemberian obat pada anak berbeda dengan orang dewasa. Anak dan bayi memiliki organ yang belum matang sehingga dalam pemberian obat perlu diawasi dengan ketat untuk mencegah resiko terjadinya reaksi yang merugikan dari obat dan kemungkinan terjadinya toksisitas obat. Proses fisiologis yang mempengaruhi variabel farmakokinetika pada bayi berubah secara bermakna pada tahun pertama kehidupan, terutama selama beberapa bulan pertama. Oleh sebab itu harus diberikan perhatian khusus pada farmakokinetik usia tersebut. Farmakokinetik pada anak berbeda dengan orang dewasa. Pemilihan dosis obat dan interval dosis didasarkan pada efek absorbsi, distribusi volume darah, pengikatan pada protein, metabolisme obat dan eliminasi.

A. FARMAKOKINETIK PADA ANAK 1. Absorbsi

a. Produksi asam lambung masih rendah, pH lambung lebih tinggi daripada orang dewasa. Obat-obat seperti penisilin diserap lebih cepat, sehingga mungkin dibutuhkan dosis obat yang lebih rendah. Neoanatus (usia < 1 bulan) dan bayi (usia 1 bulan sampai 1 tahun) mempunyai getah lambung yang bersifat basa dan

(6)

fungsi ginjal dan hati yang belum matang sehingga menyebabkan menurunnya metabolisme dan ekskresi obat.

b. Waktu pengosongan lambung yang lambat akibat peristaltik yang lambat atau tidak teratur. Obat-obat yang diberikan per oral biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai kadar puncak dalam plasma. Orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar mempunyai laju absorbsi yang lebih cepat.

c. Eliminasi first-pass oleh hati rendah. Lebih banyak obat tersedia untuk distribusi sehingga dibutuhkan dosis obat yang lebih rendah bagi obat-obat yang menjalani first-pass yang ekstensif pada hati.

d. Obat-obat topikal mungkin diabsorbsi lebih cepat daripada orang dewasa karena bayi secara proporsional memiliki luas permukaan tubuh yang lebih besar. Selain itu kulit bayi tipis dan obat-obat dapat menembus kulit lebih cepat. Absorbsi sistemik yang meningkat dapat mengakibatkan efek yang merugikan. Krim steroid untuk dermatitis harus dipakai dengan hemat.

2. Distribusi

a. Bayi dan anak-anak mempunyai tekanan darah yang lebih rendah yang mempengaruhi aliran darah ke jaringan. Hati dan otak secara proporsional lebih besar dan menerima lebih banyak aliran darah, ginjal menerima lebih sedikit. b. Bayi terdiri dari 65%-75% air, bayi prematur terdiri dari 85% air. Obat yang larut

dalam air diencerkan dalam volume yang besar daripada cairan tubuh mereka. Akibat pengenceran obat dalam volume air yang lebih besar maka diperlukan dosis obat yang lebih tinggi untuk mencapai kadar obat dalam plasma yang diinginkan.

c. Bayi mempunyai tempat pengikatan pada protein yang lebih sedikit maka diperlukan dosis yang lebih rendah. Dengan tersedianya tempat pengikatan yang lebih sedikit maka terdapat obat bebas yang lebih banyak. Dosis obat harus diturunkan pada kebanyakan antibiotik termasuk sefalosporin dan sulfonamid, demikian juga dengan fenobarbital dan teofilin. Semua obat harus diperiksa untuk batas dosis pediatrik yang dianjurkan.

d. Sawar darah-otak belum sepenuhnya berkembang pada bayi sehingga lebih banyak obat yang bisa masuk ke dalam sel-sel otak.

3. Metabolisme atau Biotransformasi

a. Terdapat penurunan aktivitas enzim-enzim hati akibat belum matangnya hati bayi. Waktu paruh dari obat mungkin lebih panjang daripada anak yang lebih besar atau orang dewasa, oleh karena itu dapat terjadi akumulasi obat.

b. Waktu paruh obat pada anak yang lebih besar dapat lebih singkat akibat meningkatnya laju metabolisme. Dosis yang lebih tinggi untuk anak yang lebih besar mungkin diperlukan untuk mengimbangi laju metabolisme yang meningkat.

4. Ekskresi

a. Eliminasi obat melalui ginjal masih rendah sampai usia satu tahun. Volume aliran darah melalui ginjal lebih sedikit daripada orang dewasa. Penurunan dalam ekskresi obat menyebabkan waktu paruh yang lebih panjang dan ada kemungkinan terjadinya toksisitas obat. Banyak dari antibiotik dan analgetik diekskresi dengan lambat. Anak-anak mempunyai kemampuan yang lebih rendah dalam memekatkan urin. Ekskresi obat melalui ginjal merupakan hasil akhir dari filtrasi glomerolus, sekresi tubulus secara aktif dan reabsorbsi secara pasif. Jika terdapat penyakit ginjal, seorang anak mungkin tidak dapat mengekskresi obat sehingga terjadi akumulasi obat dan mungkin terjadi toksisitas.

B. FARMAKODINAMIK PADA ANAK

1. Belum matangnya organ-organ pada neonatus dan bayi mempengaruhi kerja obat, sehingga dosis obat perlu disesuaikan. Kepekaan tempat reseptor berbeda-beda pada neonatus, bayi dan anak kecil sehingga dosis obat mungkin perlu diturunkan atau dinaikan. Contohnya beberapa obat seperti aspirin, morfin, dan fenobarbital lebih toksik pada anak-anak daripada orang dewasa.

2. Jaringan yang sedang tumbuh dengan cepat pada bayi dan anak-anak kecil dapat lebih peka terhadap obat-obatan tertentu. Contohnya terapi kortikosteroid yang diberikan pada anak-anak kecil dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan. Tinggi badan anak harus diukur dan beratnya harus dipantau.

(7)

C. PERHITUNGAN DOSIS PADA ANAK

Dosis obat pada anak berbeda dengan dosis untuk orang dewasa. Dosis anak-anak ditentukan berdasarkan tingkat usia, berat badan dan luas permukaan badan. Perhitungan dosis dianjurkan berdasarkan luas permukaan tubuh karena dikhawatirkan umur tidak sesuai dengan berat badan yang seharusnya.

D. PEDOMAN PEMBERIAN OBAT PADA ANAK DAN NEONATUS 1. Neonatus

a. Pemberian obat melalui oral sebaiknya dihindari karena sangat beresiko terjadi aspirasi

b. Injeksi intra muskular sebaiknya dilakukan di paha depan, jangan di pantat karena pada anak otot gluteusnya masih kecil dan di pantat terdapat syaraf yang menginervasi estremitas bawah yang dapat terjadi kelumpuhan jika terjadi salah suntik.

c. Pemberian obat pada periode ini dapat mendesak bilirubin dan albumin sehingga dapat terjadi ikterus.

d. Jangan memberikan cloramphenicol karena dapat menimbulkan Grey baby syndrom.

2. Anak

a. Waspadai obat-obat yang proses metabolismenya dengan oksidasi dan hidrolisa karena waktu paruh pendek sehingga lebih cepat dimetabolisme bila dibandingkan dengan orang dewasa, contoh: fenitoin, barbital, teofilin.

b. Dosis, cara pemberian, jadwal praktis dan efektif c. Hindarkan obat dari jangkauan anak

d. Antibiotik harus tepat dosis dan durasinya

e. Untuk penyakit kronis, perlu dipantau farmasetik, farmakokinetik dan farmakodinamik serta tumbuh kembang anak

III. USIA LANJUT

Reaksi obat yang merugikan dan interaksi obat yang terjadi pada orang lanjut usia adalah tiga sampai tujuh kali lebih banyak daripada mereka yang berusia pertengahan dan dewasa muda. Orang lanjut usia menggunakan obat karena penyakit-penyakit kronik dan banyaknya penyakit mereka, oleh karena itu mereka mudah mengalami reaksi dan interaksi yang merugikan. Masalah tambahan yang juga mengakibatkan reaksi yang merugikan dari obat-obat adalah pengobatan diri sendiri dengan obat-obat bebas, memakai obat-obat yang diresepkan untuk masalah kesehatan yang lain, menggunakan obat-obat yang diberikan oleh beberapa dokter, dosis yang berlebihan jika gejala tidak mereda, menggunakan obat yang diresepkan untuk orang lain, dan proses penuaan fisiologis yang terus berjalan. Perubahan-perubahan fisiologis yang berkaitan dengan proses penuaan mempunyai efek utama dalam terapi obat.

A. PERUBAHAN-PERUBAHAN FISIOLOGIS PADA ORANG LANJUT USIA

1. Gastrointestinal

a. Peningkatan pH (basa) sekresi asam lambung.

b. Penurunan peristaltik dengan menghambat waktu pengosongan usus halus 2. Jantung dan sirkulasi

a. Penurunan curah jantung b. Penurunan aliran darah 3. Hati

a. Penurunan fungsi enzim b. Penurunan aliran darah 4. Ginjal

a. Penurunan aliran darah

b. Penurunan fungsi nefron ginjal c. Penurunan laju filtrasi glomerulus

B. FARMAKOKINETIK PADA ORANG LANJUT USIA 1. Absorbsi

a. Berkurangnya keasaman lambung mengubah absorbsi obat-obat yang bersifat asam lemah, seperti aspirin.

b. Berkurangnya aliran darah ke saluran gastrointestinal (berkurang 40-50%) adalah akibat dari curah jantung yang menurun. Karena adanya aliran darah yang berkurang, maka absorbsi diperlambat tetapi tidak berkurang.

(8)

c. Berkurangnya laju motilitas gastrointestinal (peristaltik) akan mengakibatkan tertundanya kerja.

2. Distribusi

a. Berkurangnya air tubuh menyebabkan obat-obat yang larut dalam air akan lebih terkonsentrasi (pekat).

b. Terdapat peningkatan dalam rasio lemak terhadap air pada orang lanjut usia. Obat-obat yang larut dalam lemak disimpan dan cenderung mengalami akumulasi c. Serum protein dan kadar albumin berkurang sehingga terdapat lebih sedikit tempat pengikatan protein, akibatnya terdapat lebih banyak obat bebas. Obat-obat dengan afinitas yang tinggi terhadap protein bersaing untuk mendapatkan tempat pengikatan pada protein dengan obat-obat yang lain. Interaksi obat mengakibatkan berkurangnya tempat pengikatan pada protein dan bertambahnya obat bebas.

3. Metabolisme

a. Terdapat penurunan produksi enzim hati, aliran darah, dan fungsi hati total yang mengakibatkan berkurangnya metabolisme obat.

b. Berkurangnya laju metabolisme obat, sehingga waktu paroh (t ½) meningkat dan dapat terjadi akumulasi obat. Metabolisme suatu obat menginaktivasi obat dan merupakan persiapan untuk eliminasi ginjal. Toksisitas obat mungkin terjadi jka waktu paruh diperpanjang.

4. Ekskresi

a. Terdapat penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerolus sebanyak 40-50%. Dengan penurunan fungsi ginjal terdapat penurunan ekskresi obat dan terjadi akumulasi obat. Toksisitas obat harus dinilai secara terus menerus selama klien menerima pengobatan.

C. FARMAKODINAMIK PADA ORANG LANJUT USIA

Farmakodinamik menerangkan bagaimana suatu obat mengalami interaksi pada tempat reseptor atau pada organ sasaran. Karena terdapat berkurangnya afinitas terhadap tempat reseptor di seluruh tubuh pada orang lanjut usia maka respon farmakodinamik mungkin berubah. Orang lanjut usia dapat lebih atau kurang peka terhadap kerja obat karena perubahan-perubahan yang berkaitan dengan usia pada susunan saraf pusat, perubahan dalam jumlah reseptor obat, dan perubahan dalam afinitas reseptor terhadap obat. Seringkali dosis obat perlu dikurangi.

Pada orang lanjut usia respon kompensasi terhadap perubahan fisiologis juga berkurang. Jika suatu obat dengan efek dilatasi diberikan dan umpan balik simpatis tidak terjadi secara cepat maka hipotensi ortostatik (menurunnya tekanan darah secara cepat jika bangun dengan mendadak) dapat terjadi. Pada orang dewasa muda, respon simpatis vasokontriksi segera terjadi untuk mengatasi efek hipotensi yang berat.

D. KETIDAKPATUHAN TERHADAP PENGOBATAN PADA ORANG LANJUT USIA

Ketidakpatuhan terhadap pengobatan merupakan masalah yang khusus pada orang lanjut usia. Penyebab ketidakpatuhan terhadap aturan obat pada lansia yaitu:

1. Memakai terlalu banyak pengobatan pada waktu yang berbeda-beda. Perlu dibuat diagram yang menunjukan waktu pemakaian obat. Sediakan ruang kosong untuk memberi tanda setiap kali obat dipakai.

2. Tidak mengerti tujuan atau alasan pemakaian obat. Perlu diberikan penjelasan tujuan, kerja obat, dan pentingnya pengobatan. Sediakan waktu untuk bertanya dan menugaskan kembali.

3. Menurunnya daya ingat. Anggota keluarga atau teman didorong untuk memantau aturan pengobatan

4. Berkurangnya mobilitas dan keluwesan gerak. Lansia dapat mengalami kesulitan dalam membuka penutup botol obat. Keluarga atau teman perlu membantu untuk menyediakan obat dan air sesuai kebutuhan klien.

5. Gangguan penglihatan dan pendengaran. Perlu disarankan untuk melakukan pemeriksaan mata dan telinga (kacamata dan alat bantu dengar)

6. Keuangan yang berkurang

7. Efek samping dan reaksi yang merugikan dari obat tersebut. Orang lanjut usia lebih cenderung untuk mengalami efek samping dari pemberian obat dibandingkan orang muda. Jika suatu obat seperti ibuprofen (Motrin) mengiritasi saluran gastrointestinal, seringkali lansia tidak akan memakai obat tersebut. Tetapi obat lain seperti magnesium hidroksida (maalox) dapat diberikan sebelum pemberian Motrin untuk mengurangi efek samping.

(9)

IV. IMPLIKASI KEPERAWATAN

1. Penggunaan obat pada ibu hamil dan menyusui

a. Perawat perlu memiliki pengetahuan yang memadai dan terbaru tentang obat-obatan yang boleh dan tidak boleh diberikan kepada ibu hamil dan menyusui. b. Perawat harus memahami pemakaian dan pemberian obat pada ibu selama masa

hamil dan menyusui.

c. Perawat perlu memberi penjelasan pada ibu hamil untuk menghindari penggunaan obat selama kehamilan, terutama trimester I. Apabila diperlukan, disarankan menggunakan obat yang keamanannya terhadap ibu hamil telah diketahui dengan pasti.

d. Perawat perlu memberi penjelasan kepada ibu menyusui kapan waktu yang tepat minum obat untuk meminimalkan perpindahan obat ke ASI

2. Penggunaan obat pada anak dan neonatus

a. Perawat harus memantau secara ketat terhadap efek samping obat-obat pada bayi karena fungsi organ yang belum matang.

b. Bayi dan anak kecil mempunyai kemampuan berkomunikasi yang sangat terbatas maka perubahan-perubahan dalam perilaku mungkin menunjukan adanya efek samping, perawat perlu memperhatikan hal tersebut.

c. Perawat perlu berkolaborasi dengan tim kesehatan yang lain (terutama dokter) mengenai dosis obat untuk bayi yang meragukan karena memanjangnya waktu paruh akibat berkurangnya ekskresi obat.

d. Perawat harus menghitung dosis berdasarkan berat badan atau luas permukaan tubuh untuk menentukan dosis yang tepat.

3. Penggunaan obat pada lanjut usia

a. Perawat perlu mengkaji indera atau status mental pada orang lanjut usia, apakah mengalami gangguan mental atau disorientasi dan apakah sifatnya sementara atau permanen.

b. Pada lansia perlu dikaji adanya gangguan penglihatan. Pantau pemakaian kacamata pada lansia dan tanggal terakhir dari pemeriksaan mata

c. Tentukan jika lansia memakai obat bebas, seberapa sering dan dalam jangka waktu berapa lama. Secara khusus tanyakan pemakaian laksatif dan antasid yang dapat mempengaruhi pH lambung, keseimbangan elektrolit dan motilitas gastrointestinal

d. Kenali perubahan dari perilaku yang biasa atau bertambahnya kebingungan yang berkaitan dengan aturan obat. Pada orang lansia dengan kemungkinan berkurangnya kemampuan kognitif maka reaksi dan efek samping obat mungkin sulit dideteksi. Kemampuan berkomunikasi pada lansia mungkin juga berkurang e. Jelaskan pada lansia atau keluarganya mengenai pentingnya regimen obat.

Tekankan untuk memakai obat sesuai dengan perintah dalam resep, buang obat yang tidak terpakai atau obat yang sudah lama dan buat catatan obat untuk referensi.

f. Berikan penjelasan termasuk alasan pengobatan, cara pemakaian, frekuensi pemberian, efek samping dan kapan memberitahu kepada petugas kesehatan jika muncul suatu gejala.

g. Perawat perlu mengkaji riwayat gangguan ginjal, hati, gastrointestinal. Menurunnya fungsi hati dan ginjal meyebabkan waktu paruh memanjang.

h. Pantau klien untuk reaksi yang tidak diinginkan jika beberapa macam obat diberikan. Seorang yang lanjut usia dengan hipertensi dan gagal jantung mungkin memakai diuretik dan digoksin. Diuretik mungkin menyebabkan kehilangan kalium dan penggantian kalium diperlukan karena dapat terjadi toksisitas digitalis. Hipokalemia menambah kerja digoksin menyebabkan toksisitas.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Katzung, B. G. 2004. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika

Lee, J. L & Hayes, E. R. 1996. Farmakologi : Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC

Referensi

Dokumen terkait

Hardware (perangkat keras) komputer, tidak akan dapat digunakan tanpa kita beri perintah dengan suatu kode atau bahasa pemrograman tertentu, atau

Bentuk lambung kapal dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kriteria kapal ikan, antara lain ruang muat luas, mudah loading-unloading ikan, olah gerak

Disini hanya ada satu keturunan yaitu tubuh yang diploid, dengan demikian tidak mempunyai pergantian keturuanan.. Meiosis terjadi sebelum gametogenesis, jadi yang bersifat haploid

Hasil penelitian adalah kemampuan praktik peserta didik pada kelompok Eksperimen (E) yang menggunakan pendekatan kontekstual lebih tinggi daripada kelompok Kontrol (K) yang

Hasil penelitian pada aliran satu fase horizontal menunjukkan bahwa pada pipa dengan groove berjumlah 2, 8 dan 32 aliran fluida mengalami pengurangan gesekan karena ukuran

(s) jika anda membenarkan atau memberikan kuasa kepada mana-mana orang lain untuk menggunakan, meminjamkan, membuat pembayaran, menyumbang atau selainnya

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa Bakso sapi terpilih dari segi organoleptik dengan menggunakan uji deskripsi yaitu bakso sapi dengan

Data yang terkait dengan penelitian “Adab Al-„ilmi Menurut al-Mawardi (Analisis Etika Keilmuan)”, yaitu data mengenai kondisi pendidikan, sosial kultural, dan