• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN TUGAS AKHIR ANALISIS ASUHAN KEBIDANAN PADA NY. S G2P1A0 DENGAN DISTOSIA BAHU DAN ASFIKSIA DI BPM CIKAMPEK UTARA TAHUN 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN TUGAS AKHIR ANALISIS ASUHAN KEBIDANAN PADA NY. S G2P1A0 DENGAN DISTOSIA BAHU DAN ASFIKSIA DI BPM CIKAMPEK UTARA TAHUN 2017"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

1

LAPORAN TUGAS AKHIR

ANALISIS ASUHAN KEBIDANAN PADA NY. S G2P1A0

DENGAN DISTOSIA BAHU DAN ASFIKSIA

DI BPM CIKAMPEK UTARA

TAHUN 2017

DISUSUN OLEH :

DESI KOMALASARI

NIM. P17324414019

POLITEKNIK KESEHATAN

KEMENKES REPUBLIK INDONESIA BANDUNG

PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG

(2)

ii

LAPORAN TUGAS AKHIR

ANALISIS ASUHAN KEBIDANAN PADA NY. S G2P1A0

DENGAN DISTOSIA BAHU DAN ASFIKSIA

DI BPM CIKAMPEK UTARA

TAHUN 2017

Laporan Tugas Akhir ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Ujian Akhir Program Pada Program Studi Kebidanan Karawang

Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

DISUSUN OLEH :

DESI KOMALASARI

NIM. P17324414019

POLITEKNIK KESEHATAN

KEMENKES REPUBLIK INDONESIA BANDUNG

PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG

(3)

1

LTA ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : DESI KOMALASARI

Nim : P17324414019

Tanda Tangan :

Tanggal : 10 JULI 2017

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG

(4)

iii

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa : Laporan Tugas Akhir dengan judul

ANALISIS ASUHAN KEBIDANAN PADA NY. S G2P1A0 DENGAN DISTOSIA BAHU DAN ASFIKSIA

DI BPM CIKAMPEK UTARA TAHUN 2017

Disusun oleh : DESI KOMALASARI

NIM. P17324414019 Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan pada sidang akhir

Pembimbing

Mardianti S.SiT, M.Kes NIP. 179803012005012002

Mengetahui

Ketua Program Kebidanan Karawang Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

Dr. Jundra Darwanty, SST, M.Pd NIP. 196906051991012001

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG

(5)

iv

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa: Laporan Tugas Akhir dengan judul

ANALISIS ASUHAN KEBIDANAN PADA NY. S DENGAN DISTOSIA BAHU DAN ASFIKSIA

DI BPM CIKAMPEK UTARA TAHUN 2017

Disusun oleh: DESI KOMALASARI

NIM. P17324414019

Telah Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Karawang, 12 Juli 2017

Susunan Dewan Penguji

Ketua Penguji Ns. Lia Komalasari,S,Kep,MM NIP. 196508201989022001 Anggota Penguji I Mardianti S,SiT,M.Kes NIP. 1978030120050120002 Anggota Penguji II

Ida Farida H, SST,M.Keb NIP.197903302002122002

Mengetahui

Ketua Program Studi Kebidanan Karawang Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

Dr. Jundra Darwanty, SST, M.Pd NIP. 196906051991012001

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG

(6)

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirohmanirrohim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir yang berjudul “ Analisis Asuhan Kebidanan Pada Ny. S G2P1A0 Dengan Distosia Bahu Dan Asfiksia Di BPM Cikampek Utara Tahun 2017”. Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan diploma III Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Bandung Program Studi Kebidanan Karawang.

Berkat bimbingan, pengarahan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini dengan tepat waktu. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Ir.H.Osman Syarief, MKM selaku direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

2. Dr. Jundra Darwanty, SST. M.Pd selaku ketua program studi Kebidanan Karawang Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

3. Mardianti, S.SiT, M.Kes selaku pembimbing dalam penyusunan laporan tugas akhir ini yang selalu memberikan bimbingan, arahan dan dukungan kepada penulis sehingga laporan tugas akhir ini dapat terselesaikan.

4. Ida Farida H,SST,M.Keb selaku dosen Penguji II dalam penyusunan laporan tugas akhir ini selalu memberikan bimbingan, arahan sehingga laporan tugas akhir ini dapat terselesaikan.

(7)

vi

5. Ns. Lia Komalasari, S,Kep, MM selaku Ketua Penguji dalam penyusunan laporan tugas akhir ini selalu memberikan bimbingan, arahan sehingga laporan tugas akhir ini dapat terselesaikan.

6. Segenap Dosen dan seluruh staff karyawan Program D3 Kebidanan Politeknik Kesehatan Bandung Prodi Kebidanan Karawang, yang telah mendukung dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir.

7. Bapak Dedih (Alm) dan Ibu Mintarsih, kalianlah adalah sosok orangtua yang paling sempurna hebat bagiku, terimakasih atas doa, dukungan, materi, cinta dan kasih sayang yang diberikan sehingga Laporan Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.

8. Bibi, th Ira selaku keluargaku yang memberikan dukungan dan motivasi dalam penyelesaian Laporan Tuga Akhir.

9. Ardi Rinaldi selaku teman hidup yang selalu memberikan support dan dukungan sehingga Laporan Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.

10. Rekan-rekan mahasiswi Prodi Kebidanan Karawang Poltekkes Kemenkes Bandung khususnya Mala, Mae, Ralita, Mei, Iis, Nilam dan adik TK2 ku yang senantiasa saling memberikan semangat satu sama lain, dan semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang terlibat dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir.

Atas segala bantuannya, penulis hanya bisa memohon semoga bantuan yang telah diberikan dicatat oleh Allah SWT sebagai amal baik dan dibalas dengan pahala yang setimpal.

(8)

vii

Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki sehingga Laporan Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, maka segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan membantu dalam penyempurnaan Laporan Tugas Akhir ini.

Akhir kata semoga Laporan Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, tenaga kesehatan pada umumnya dan tenaga kebidanan khususnya.

Amin yarobal alamin.

Karawang, 10 Juli 2017

(9)

viii

KEMENT RIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG

PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG LAPORAN TUGAS AKHIR, JULI 2017

Desi Komalasari NIM. P17324414019

“ASUHAN KEBIDANAN PADA NY. S DENGAN DISTOSIA BAHU DAN ASFIKSIA DI BPM CIKAMPEK UTARA TAHUN 2017”

ABSTRAK

Latar Belakang: dinas kesehatan kabupaten karawang pada tahun 2016 Angka Kematian Ibu (AKI) sebanyak 53 kasus per 100.000 kelahiran hidup, penyebab diantaranya yaitu hipertensi dalam kehamilan, perdarahan, infeksi dan lain-lain. Sedangkan Angka Kematian Bayi pada tahun 2016 sebanyak 143 kasus. Penyebab diantaranya BBLR sebanyak 74 kasus (51,8%), asfiksia sebanyak 44 kasus (30,8%), kelainan kongenital sebanyak 10 kasus (7,1%), infeksi atau sepsis sebanyak 3 kasus (2,1%), dan penyebab lainnya sebanyak 12 kasus. Tujuan penulis: Untuk dapat menganalisis asuhan kebidanan komprehensif pada Ny.S G2P1A0 dengan Distosia Bahu dan Asfiksia Sedang . Metode Penelitian: penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriftif, pengambilan data melalui observasi dan wawancara. Simpulan: penatalaksanaan yang dilakukan di BPM Bidan T Sudah sesuai dengan Standar Asuhan Kebidanan dan kewenangan yang diberikan bidan. Saran : diharapkan pemberi asuhan kebidanan lebih meningkatkan mutu pelayanan sesuai dengan standar asuhan kebidanan.

(10)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

LEMBAR PENGESAHAN LTA ... iii

KATA PENGANTAR ... iv ABSTRAK ... v DAFTAR ISI ... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penulisan... 2 1.3 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Distosia Bahu... 5

2.2Persalinan Lama... 21

2.3 Episiotomi ... 38

2.4 Laserasi Jalan Lahir ... 44

2.5 Kelainan Air Ketuban... 48

2.6 Asfiksia ... 49

2.7 Resusitasi Pada Bayi Baru Lahir ... 60

2.8 Kewenangan Bidan Dalam Menjalankan Asuhan Kebidanan... 68

2.9 Asuhan Kebidanan... 75

BAB III KASUS DAN PEMBAHASAN 3.1 Kronologis Kasus ... 86

3.2 Pembahasan ... 95

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 103

4.2 Saran... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105 LAMPIRAN

(11)

1

BAB

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia pada tahun 2015 memiliki angka kematian ibu yaitu 126 per 100.000 kelahiran hidup dengan jumlah 6400 kematian ibu per tahun. Pada tahun 2015 di Indonesia Angka Kematian Neonatal yaitu 14 per 1.000 kelahiran hidup dengan jumlah 74 kematian neonatus per tahun, sedangkan untuk Angka Kematian Bayi adalah 23 per 1.000 kelahiran hidup dengan jumlah 125 kematian bayi per tahun dan Angka Kematian Balita yaitu 27 per 1.000 kelahiran hidup dengan jumlah 147 kematian balita per tahun (WHO, 2015).

Derajat Kesejahteraan suatu bangsa dapat dilihat dari Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Menurut laporan WHO tahun 2015 Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia yaitu 216 jiwa per 100.000 kelahiran hidup. (WHO, 2015)

AKI dan AKB di Jawa Barat pada tahun 2014 hingga 2015 terjadi peningkatan. Pada tahun 2014 terjadi 747 kasus dan pada tahun 2015 naik menjadi 823 kasus. Untuk kematian bayi pada tahun 2014 sebanyak 3.810 kasus dan naik pada tahun 2015 menjadi 4.124 kasus. (AKI dan AKB di Jabar, Dinkes 2015).

(12)

2

Adapun dinas kesehatan Kabupaten Karawang pada tahun 2016 Angka Kematian Ibu (AKI) sebanyak 53 kasus per 100.000 kelahiran hidup, penyebab diantaranya yaitu hipertensi dalam kehamilan, perdarahan, infeksi dan lain-lain. Sedangkan Angka Kematian Bayi pada tahun 2016 sebanyak 143 kasus. Penyebab diantaranya BBLR sebanyak 74 kasus (51,8%), asfiksia sebanyak 44 kasus (30,8%), kelainan kongenital sebanyak 10 kasus (7,1%), infeksi atau sepsis sebanyak 3 kasus (2,1%), dan penyebab lainnya sebanyak 12 kasus (8,3%). (Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang, 2016)

Pada laporan persalinan dengan resiko tinggi di BPM bidan T tahun 2017 dari bulan Januari-April, terdapat penyulit persalinan asfiksia sebanyak 2 (18,18%), distosiabahu sebanyak 3 kasus (27,27%), retensio plasenta 2 kasus (18,18%), sisa plsenta 4 (36,36%), dengan gemeli 1 kasus (9,09%).

Distosia bahu merupakan kelahiran kepala janin dengan bahu anterior macet diatas sacral promontory karena itu tidak bisa lewat masuk ke dalam panggul, atau bahu tersebut bisa lewat promontorium, tetapi mendapat halangan dari tulang sacrum (tulang ekor). Lebih mudahnya distosia bahu merupakan kejadian dimana tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan setelah kepala janin dilahirkan.

Setelah kelahiran kepala, akan terjadi perputaran lagi paksi luar yang menyebabkan kepala berada pada sumbu normal dengan tulang belakang. Bahu pada umumnya akan berada pada sumbu miring (oblique) dibawah rambut pubis. Dorongan saat ibu mengedan akan menyebabkan bahu depan (anterior) berada dibawah pubis. Bila bahu gagal untuk mengadakan putaran menyesuaikan dengan

(13)

3

sumbu miring panggul dan tetap berada pada posisi anterior posterior, pada bayi yang besar akan terjadi benturan bahu depan terhadap simfisis.

Asfiksia merupakan penyebab utama lahir mati dan kematian neonatus. Selain itu asfiksia menyebabkan mortalitas yang tinggi dan sering menimbulkan gejala sisa berupa kelainan neurologi. Asfiksia adalah keadaan hipoksia yang progresif, karena akumulasi CO2 dan asidosis (Hajjah, 2012). Asfiksia paling sering terjadi pada

periode segera setelah lahir dan menimbulkan sebuah kebutuhan resusitasi dan intervensi segera untuk meminimalkan mortalitas dan morbiditas (Maryunani, 2009).

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Untuk menganalisis Asuhan Kebidanan yang diberikan kepada Ny.S G2P1A0 dengan Distosia bahu, Asfiksia di BPM Cikampek Utara.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui factor predisposisi dan penyebab distosia bahu, asfiksia pada Ny. S G2P1A0.

2. Untuk mengetahui penatalaksanaan asuhan kebidanan selama persalinan, nifas, dan bayi baru lahir pada Ny. S G2P1A0.

(14)

4

1.3 Manfaat

1.3.1 Bagi Tenaga Kesehatan

Sebagai masukan kepada tenaga kesehatan dalam upaya deteksi dini, dan upaya penatalaksanaan masalah distosia bahu, asfiksia dalam persalinan yang dapat terjadi secara tiba-tiba serta asuhan komprehensif selanjutnya dalam upaya menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB).

1.3.4 Peneliti

Melalui penelitian ini diharapkan peneliti mendapatkan pengalaman baru dan menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh selama menjalani pendidikan, serta dapat menganalisa kejadian serta penatalaksanaan pada kasus distosia bahu, asfiksia.

(15)

5

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Distosia Bahu

2.1.1 Definisi Distosia Bahu

Distosia bahu ialah kelahiran kepala janin dengan bahu anterior macet diatas sacral promontory karena itu tidak bisa lewat masuk kedalam panggul, atau bahu tersebut bias lewat promontorium, tetapi mendapat halangan dari tulang sacrum (tulang ekor). (Maryunani, 2013).

Distosia bahu atau bahu macet adalah gagalnya bahu melewati pelvis secara spontan setelah pelahiran kepala. Bahu anterior terperangkap dibelakang atau pada simpisis pubis,sementara bahu posterior berada di lubang sacrum atau tinggi diatas promontorium sacrum. (Damayanti, 2014)

Distosia bahu tidak bisa diprediksi secara akurat biasanya terjadi tanpa diduga, posisi lutut dada yang ekstrim (Manuver Mc.Robert) telah terbukti hanya sedikit mengakibat morbiditas pada neonatal dibandingkan maneuver lain. Penekanan fundus dapat mengakibatkan tingginya morbiditas neonatal. (Nurrobikha, 2015)

Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu untuk melipat kedalam panggul (mis. Pada makrosomia) disebakan oleh fase aktif dan persalinan kala II yang pendek pada multipara, sehingga penurunan kepala

(16)

6

yang terlalu cepat akan menyebabkan bahu tidak melipat pada saat melalui jalan lahir atau kepala telah melalui jalan lahir atau kepala telah melalui pintu tengah panggul setelah mengalami pemanjangan kala II sebelum bahu behasil melipat masuk kedalam panggul. (Triana, 2015)

Distosia bahu adalah kegawat daruratan obstetrik. Kegagalan untuk melahirkan bahu secara spontan menenmpatkan ibu dan bayi beresiko untuk terjadinya trauma. Insedens distosia bahu secara keseluruhan berkisar antara 0,3-1%, sedangkan pada berat badan bayi diatas 4000 gram insidens meningkatkan menjadi 5-7% dan pada berat badan bayi lebih dari 4500 gram insidensnya menjadi antara 8-10%. (Triana, 2015)

Pada mekanisme persalinan normal, ketika kepala dilahirkan, maka bahu memasuki panggul dalam kondisi oblik. Bahu posterior memasuki panggul lebih dahulu sebelum bahu anterior. Ketika kepala melakukan putaran paksi luar, bahu posterior berada di cekungan tulang sakrum atau sekitar spina iskhiadika, dan memberikan ruang yang cukup bagi bahu anterior untuk memasuki panggul melalui belakang tulang pubis atau berotasi dari foramen obturator. Apabila bahu berada dalam posisi antero-posterior ketika hendak memasuki pintu atas panggul, maka bahu posterior dapat tertahan promontorium dan bahu anterior tertahan tulang pubis. Dalam keadaan demikian kepala yang sudah dilahirkan akan tidak dapat melakukan putar paksi luar, dan tertahan akibat adanya tarikan yang terjadi antara bahu posterior dengan kepala (disebut dengan turtle sign).

(17)

7

Atas pertimbangan itu, distosia bahu merupakan kegawatdaruratan obstetri yang perlu mendapat perhatian khusus. Persalinan kepala umumnya diikuti oleh persalinan bahu dalam waktu 24 detik, sedangkan jika persalinan bahu lebih dari 60 detik, dianggap distosia bahu. Waktu 60 detik sebagai batas persalinan bahu dipergunakan sebagai dasar diagnosis karena sulit menegakkan diagnosis sebelumnya.

2.1.2 Epidemiologi

Angka kejadian Distosia Bahu tergantung pada kriteria diagnosa yang digunakan. Insidensi distosia bahu sebesar 0,2-0,3% dari seluruh persalinan vaginal presentasi kepala. Apabila distosia bahu didefinisikan sebagai jarak waktu antara lahirnya kepala dengan lahirnya badan bayi lebih dari 60 detik, maka insidensinya menjadi 11%. Gross, dkk (1987) menyatakan bahwa dari 0.9% kejadian distosia bahu yang tercatat direkam medis, hanya 0.2% yang memenuhi kriteria diagnosa. Presentase kejadian distosia bahu diperkirakan 0,2% - 0,6% dari semua persalinan pervaginam (Baskett & Allen, 1995). Insidensi dapat meningkat dengan adanya peningkatan ukuran badan bayi dan hampir mendekati 1 : 100 kelahiran di masyarakat Eropa yang akan berbeda di masyarakat lain. Insiden 2% akan meningkat pada persalinan bayi besar, 3% jika berat lahir >4000 gr (Hansmann dan Hincker). Selain itu wanita yang pernah melahirkan bayi distosia bahu yang mengakibatkan cedera pada janin, memiliki resiko yang lebih besar untuk terjadinya distosia bahu pada kehamilannya yang berikutnya.

(18)

8

2.1.3 Faktor Predisposisi Distosiabahu

Tabel 2.1 Faktor predisposisi distosiabahu

Antepartum Intrapartum

Multiparitas

 Riwayat distosia bahu sebelumnya Makrosomia > 4500 g Diabetess mellitus  IMT >30 kg/m2  Induksi persalinan  Kala I persalinan memanjang Secondary arrest  Kala II persalinan memanjang Kala II pendek Partus Presipitatus Augmentasi oksitosin

 Persalinan pervaginam yang ditolong

Sumber : Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar

2.1.4 Faktor-faktor Penyebab

 Ada riwayat obstetrik/persalinan dengan bayi besar dan riwayat distosia bahu sebelumnya,

 Bayi besar dan selalu ada riwayat bahu besar (namun dalam kebanyakan kasus distosia bahu, berat bayi dapat ditemukan masih dalam batas normal ; dan untuk bayi yang besar juga, distosia bahu kadang-kadang tidak terjadi.

 Tergantung dari faktor meneran ibu, panggul dan kesigapan penolong untuk menolong persalinan),

 Riwayat DM (diabetes melitus) pada ibu hamil dan keluarga : (7% insiden distosia bahu terjadi pada ibu dengan diabetes gestasional),

(19)

9

 Kehamilan posterm, dapat menyebabkan distosia bahu karena janin terus tumbuh setelah usia kehamilan 42 minggu,

 Ibu dengan obesitas,

 Multiparitas,

 Tidak menunggu kepala melakukan putaran paksi luar pada saat menolong kelahiran bahu.

2.1.5 Mekanisme Distosia Bahu

Pada akhir kehamilan, agar dapat melewati jalan lahir kepala harus dapat mengatasi tebalnya segmen bawah Rahim dan servik yang masih belum mengalami dilastasi. Perkembangan otot uterus didaerah fundus uteri dan daya dorongan terhadap bagian terendah janin adalah faktor yang mempengaruhi kemajuan persalinan kala I. Setelah dilatasi serviks lengkap, hubungan mekanisme antara ukuran dan posisi kepala janin serta kapasitas panggul (fetopelvic proportion) dikatakan baik bila sudah terjadi desensus janin.gangguan fungsi otot uterus dapat disebabkan oleh regangan uterus berlebihan dan atau partus macet (obstructed labor). Dengan demikian maka persalinan yang tidak berlangsung secara efektif adalah merupakan tanda akan adanya fetopelvic disproportion.

Membedakan gangguan persalinan menjadi disfungsi uterus dan fetopelvic disproportion secara tegas adalah tindakan yang tidak tepat oleh karena kedua hal tersebut sebenarnya memiliki hubungan yang erat. Kondisi tulang panggul bukan satu-satunya penentu keberhasilan berlangsunya proses persalinan pervaginam.

(20)

10

Bila tidak ada data objektif untuk mendukung adanya disfungsi uterus dan FPD, harus dilakukan TRIAL of LABOR untuk menentukan apakah persalinan pervaginam dapat berhasil pada sebuah persalinan yang diperkirakan akan berlansung tidak efektif. Banyak ahli yang berpendapat bahwa tindakan TRIAL of LABOR adalah merupakan prioritas untuk menurunkan kejadian section Caesar.

Gambar 2.1: Mechanism Of Shoulder Dystocia

2.1.6 Etiologi

Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu untuk “melipat” ke dalam panggul (misal : pada makrosomia) disebabkan oleh fase aktif dan persalinan kala II yang pendek pada multipara sehingga penurunan kepala yang terlalu cepat menyebabkan bahu tidak melipat pada saat melalui jalan lahir atau kepala telah melalui pintu tengah panggul setelah mengalami pemanjangan kala II sebelah bahu berhasil melipat masuk ke dalam panggul.

(21)

11

2.1.7 Patofisiologi

Setelah kelahiran kepala, akan terjadi putaran paksi luar yang menyebabkan kepala berada pada sumbu normal dengan tulang belakang bahu pada umumnya akan berada pada sumbu miring (oblique) di bawah ramus pubis. Dorongan pada saat ibu meneran akan meyebabkan bahu depan (anterior) berada di bawah pubis, bila bahu gagal untuk mengadakan putaran menyesuaikan dengan sumbu miring dan tetap berada pada posisi anteroposterior, pada bayi yang besar akan terjadi benturan bahu depan terhadap simfisis sehingga bahu tidak bisa lahir mengikuti kepala.

2.1.8 Gambaran Klinis Dan Diagnosis

Akibat mekanisme yang sudah dijelaskan diatas, kepala yang sudah dilahirkan akan tidak dapat melakukan putar paksi luar, dan tertahan akibat adanya tarikan yang terjadi antara bahu posterior dengan kepala (disebut dengan turtle sign).

 Biasanya ada perlambatan kemajuan turunnya kepala pada kala II yang ditandai dengan kesulitan dalam melahirkan bahu,

 Biasanya ada kelahiran kepala yang perlahan, dengan ekstensi kepala mengambil waktu lebih lama daripada biasanya, Sekali kepala lahir, kepala masuk lagi ke vagina dan kepala terlihat tidak mampu bergerak,

 Tidak terjadi putaran paksi luar.

Distosia Bahu dapat dikenali apabila didapatkan adanya :

(22)

12

 Kepala bayi sudah lahir, tetapi tetap menekan vulva dengan kencang,

 Dagu tertarik dan menekan perineum,

 Traksi pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang tetap tertahan di cranial simphysis pubis.

Begitu Distosia Bahu dikenali, maka prosedur tindakan untuk menolongnya harus segera dilakukan.

2.1.9 Prognosis

a. Distosia bahu dapat menyebabkan terjadinya kompresi pada tali pusat dan mengakibatkan:

- Penurunan pH arterial pH 0.04 setiap menit - Penurunan pH arterial 0.28 setelah tujuh menit

- pH arterial bawah 7.0 akan menyebabkan tindakan resusitasi menjadi sulit

b. komplikasi karena distosia bahu

- kerusakan pleksus brachialis karena rudapaksa dalam persalinan (10%) - keadaan ini pada umumnya akan mengalami perbaikan pada tahun

pertama, tetapi beberapa diantaranya menjadi kelainan menetap. - Erb-Duchenne Palsy

- Kerusakan terjadi pada nervus servikal setinggi tulang belakang servikal V dan VI

(23)

13

- Parasilis yang terjadi pada nervus kolumna vertebralis setnggi tulang belakang servikal VIII dan thorakal I

- Patah tulang: fraktur klavikula, Fraktur Humerus - Asfiksia janin

- Kematian bayi

2.1.10 Komplikasi

Komplikasi Distosia Bahu pada janin adalah fraktur tulang (klavikula dan humerus), cedera pleksus brachialis, dan hipoksia yang dapat menyebabkan kerusakan permanen di otak. Dislokasi tulang servikalis yang fatal juga dapat terjadi akibat melakukan tarikan dan putaran pada kepala dan leher. Fraktur tulang pada umumnya dapat sembuh sempurna tanpa sekuele, apabila didiagnosis dan di terapi dengan memadai. Cedera pleksus brachialis dapat membaik dengan berjalannya waktu, tetapi sekuele dapat terjadi pada 50% kasus. Pada ibu, komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan akibat laserasi jalan lahir, episiotomy ataupun atonia uteri.

Persalinan Distosia Bahu mempunyai komplikasi yang cukup serius. Terbagi 2, yaitu :

 Komplikasi distosia bahu pada janin

1. Terjadi peningkatan insiden kesakitan dan kematian intrapartum. Pada saat persalinan melahirkan bahu beresiko anoksia sehingga dapat mengakibatkan kerusakan otak.

(24)

14

2. Kerusakan syaraf. Kerusakan atau kelumpuhan pleksus brachial (Erb’s) dan keretakan bahkan sampai fraktur tulang klavikula. (Damayanti, 2014)

Gambar 2.2. Shoulder Dystocia

 Komplikasi distosia bahu pada ibu

1. Laserasi daerah perineum dan vagina yang luas

2. Gangguan psokologis sebagai dampak dari pengalaman persalinan traumatic

3. Depresi jika janin cacat atau meninggal. (Damayanti, 2014)

2.1.11 Penatalaksanaan

Diperlukan seorang asisten untuk membantu, sehingga bersegeralah minta bantuan. Jangan melakukan tarikan atau dorongan sebelum memastikan bahwa bahu posterior sudah masuk ke panggul. Bahu posterior yang belum melewati pintu atas panggul akan semakin sulit dilahirkan bila dilakukan tarikan pada kepala. Untuk mengendorkan ketegangan yang menyulitkan bahu posterior masuk panggul tersebut, dapat dilakukan episiotomy yang luas disertai posisi McRobert

(25)

15

(posisi dada-lutut). Dorongan pada fundus juga tidak diperkenankan karena semakin menyulitkan bahu untuk dilahirkan dan beresiko menimbulkan ruptura uteri. Disamping perlunya asisten dan pemahaman yang baik tentang mekanisme persalinan, keberhasilan pertolongan persalinan dengan distosia bahu juga ditentukan oleh waktu. Setelah kepala lahir akan terjadi penurunan pH Arteria Umbilikalis dengan laju 0,04 unit/menit. Dengan demikian, pada bayi yang sebelumnya tidak mengalami hipoksia tersedia waktu antara 4-5 menit untuk melakukan manuver melahirkan bahu sebelum terjadi cedera hipoksik pada otak.

Makin pendek waktu melahirkan bahu, hasilnya akan makin baik. Karena dugaan distosia bahu sulit ditentukan, setiap ahli obstetri harus dapat mengerjakan. Secara sistematis tindakan pertolongan distosia bahu adalah sebagai berikut :

1. Manuver McRobert

a) Teknik ini ditemukan pertama kali oleh Gonik, dkk tahun 1983 dan selanjutnya William A Mc Robert mempopulerkannya di University of Texas di Houston. Manuver McRobert dimulai dengan memposisikan ibu dalam posisi McRobert, yaitu ibu telentang, memfleksikan kedua paha sehingga lutut menjadi sedekat mungkin ke dada, dan rotasikan kedua kaki ke arah luar (abduksi). Ternyata penarikan paha ke arah badan menyebabkan : sacrum bertambah lurus, memutar simphysis pubis ke arah kepala ibu hamil, mengurangi sudut inklinasi tulang pelvis dan membebaskan bahu depan dari cengkraman simphysis pubis. Kemudian lakukan episiotomy. Gabungan episiotomy dan

(26)

16

posisi McRobert akan mempermudah bahu posterior melewati promontorium dan masuk ke dalam panggul. Pada posisi berbaring terlentang, minta ibu menarik lututnya sejauh mungkin kea rah dadanya dan diupayakan lurus, lakukan penekanan ke bawah dengan mantap diatas simpisis pubis untuk menggerakan bahu anterior diatas simpisis pubis. Tidak diperbolehkan mendorong fundus uteri , beresiko terjadinya rupture uteri. Ganti posisi ibu dengan posisi merangkak dan kepala berada diatas tekan keatas untuk melahirkan bahu depan, tekan kepala janin mantap ke bawah untuk melahirkan bahu belakang.

(27)

17

2. Manuver Rubin

Terdiri dari 2 langkah :

 Mengubah posisi bahu anak dari satu sisi ke sisi lain dengan melakukan tekanan pada abdomen ibu, bila tidak berhasil maka dilakukan langkah berikutnya yaitu : (2). Tangan mencari bahu anak yang paling mudah untuk dijangkau dan kemudian ditekan kedepan kearah dada anak. Tindakan ini untuk melakukan abduksi kedua bahu anak sehingga diameter bahu mengecil dan melepaskan bahu depan dari simphysis pubis.

Gambar 2.4. Manuver Rubin II Diameter bahu terlihat antara kedua tanda panah,bahu anak→yang paling mudah dijangkau didorong kearah dada anak sehingga diameter bahu mengecil dan membebaskan bahu anterior yang terjepit.

(28)

18

3. Manuver Wood

Dengan melakukan rotasi bahu posterior 180 secara “crock screw (Masukkan satu tangan ke dalam vagina dan lakukan penekanan pada bahu anterior ke arah sternum bayi, untuk memutar bahu bayi dan mengurangi diameter bahu)” maka bahu anterior yang terjepit pada simfisis pubis akan terbebas.

Gambar 2.5. Manuver Crock Screw (Wood). 4. Melahirkan bahu belakang

Operator memasukkan tangan kedalam vagina menyusuri humerus posterior janin dan kemudian melakukan fleksi lengan posterior atas didepan dada dengan mempertahankan posisi fleksi siku, tangan janin dicekap dan lengan diluruskan melalui wajah janin, lengan posterior dilahirkan.

(29)

19

Gambar 2.6. Teknik Pelahiran Bahu Belakang 5. Manuver Zavanelli

Mengembalikan kepala kedalam jalan lahir dan anak dilahirkan melalui Seksio Cessaria, memutar kepala anak menjadi occiput anterior atau posterior bila kepala janin sudah berputar dari posisi tersebut, membuat kepala anak menjadi fleksi dan secara perlahan mendorong kepala kedalam vagina dan yang terakhir lakukan Seksio Cessaria darurat dengan anestesi lokal (+ ketamin drip).

(30)

20

6. Simfisiotomi

Hernandez dan Wendell (1990) menyarankan untuk melakukan serangkaian tindakan emergensi berikut ini pada kasus distosia bahu:

a. Minta bantuan asisten, ahli anaesthesi dan ahli anaesthesi b. Kosongkan vesika urinaria bila penuh

c. Lakukan episiotomi mediolateral luas

d. Lakukan tekanan suprapubic bersamaan dengan traksi curam bawah untuk melahirkan kepala

e. Lakukan manuver Mc Robert dengan bantuan 2 asisten

2.2 Persalinan Lama

2.2.1 Definisi

Masalah persalinan lama diantaranya yaitu, fase laten lebih dari 8 jam, persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih dan bayi belum lahir, dan dilatasi serviks dikanan garis waspada pada persalinan fase aktif.

Persalinan lama, disebut juga “distosia”, diidentifikasikan sebagai persalinan yang abnormal/sulit. Sebab-sebabnya dapat dibagi dalam 3 golongan berikut :

1. Kelainan tenaga (kelainan his). His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan kerintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan, tidak dapat diatasi sehingga persalinan mengalami hambatan atau kemacetan.

(31)

21

2. Kelainan janin. Persalinan dapat mengalami gangguan atau kemacetan karena kelainan dalam letak atau dalam bentuk janin.

3. Kelainan jalan lahir. Kelainan dalam ukuran atau bentuk jalan lahir bisa menghalangi kemajuan persalinan atau menyebabkan kemacetan.

Sebelum membicarakan kelainan his, ada baiknya diperhatikan kontraksi uterus pada persalinan biasa. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa his yang normal mulai dari salah satu sudut di fundus uteri kemudian menjalar merata simetris ke seluruh korpus uteri dengan dominasi kekuatan pada fundus uteri dimana lapisan otot uterus paling dominan, kemudian mengadakan relaksasi secara merata dan menyeluruh, hingga tekanan dalam ruang amnion balik ke asalnya ±10 mmHg.

Jenis-jenin kelainnan His a. Insersia uteri

Di sini his bersifat biasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi lebih kuat dan lebih dahulu daripada bagian – bagian lain, peranan fundus tetap menonjol. Kelainannya terletak dalam hal kontraksi uterus lebih aman, singkat, dan jarang daripada biasa. Keadaan umum penderita biasanya baik dan rasa nyeri tidak seberapa. Selama ketuban masih utuh umumnya tidak berbahaya, baik bagi ibu maupun janin, kecuali persalinan berlangsung terlalu lama, dalam hal terakhir ini morbiditas ibu dan mortalitas janin baik. Keadaan ini dinamakan inersia uteri primer atau hypotonic uterine

(32)

22

lama, dan hal itu dinamakan inersia uteri sekuder. Karena dewasa ini persalinan tidak dibiarkan berlangsung demikian lama sehingga dapat menimbulkan kelelahan uterus, maka inersia uteri sekunder jarang ditemukan , kecuali pada ibu yang tidak diberi pengawasan baik pada waktu persalinan. Dalam menghadapi inersia uteri, harus diadakan penilaian yang seksama untuk menentukan sikap yang harus diambil. Jangan dilakukan tindakan yang tergesa-gesa untuk mempercepat lahirnya janin. Tidak dapat diberikan waktu yang pasti, yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk membuat diagnosis inersia uteri atau untuk memulai terapi aktif.

Diagnosis inersia uteri paling sulit ditegakkn pada masa laten. Kontraksi uterus yang disertai dengan rasa nyeri, tidak cukup untuk menjadi dasar utama diagnosis bahwa persalinan sudah dimulai. Untuk sampai pada kesimpulan ini diperlukan kenyataan bahwa sebagai akibat kontraksi itu terjadi perubahan pada serviks yakni pendataran dan/atau pembukaan. Kesalahan yang sering dibuat ialah mengobati seorang penderita untuk inersia uteri padahal persalinan belum mulai (false labour).

b. His terlampau kuat

His terlampau kuat atau sering juga disebut hypertonic uterine

contraction. Walaupun pada golongan coordinate hypertonic uterine contraction bukan merupakan penyebab distosia. Namun hal ini dibicarakan

juga di sini dalam subbab kelainan his. His yang terlalu kuat dan terlalu efisien menyebabkan persalinan selesai dalam waktu yang sangat singkat. Partus yang sudah selesai kurang dari 3 jam dinamakan partus presipitatus

(33)

23

yang ditandai oleh sifat his yang normal, tonus otot diluar his juga biasa. Kelainannya terletak pada kekuatan his. Bahaya partus presipitatus bagi ibu ialah terjadinya perlukaan luas pada jalan lahir, khususnya vagina dan perineum. Bayi bisa mengalami perdarahan dalam tengkorak karena bagian tersebut mengalami tekanan kuat dalam waktu yang singkat.

Batas antara bagian atas dan segmen bawah rahim atau lingkaran retraksi menjadi sangat jelas dan meninggi. Dalam keadaan demikian lingkaran ini dinamakan lingkaran retraksi patologi atau lingkaran bandl. Ligament rotunda menjadi tegang serta lebih jelas teraba, penderita merasa nyeri terus – menerus dan menjadi gelisah. Akhirnya apabila tidak diberi pertolongan, regangan segmen bawah uterus melampaui kekuatan jaringan sehingga dapat menyebabkan terjadinya rupture uteri

c. Incoordinate Uterine Action

Di sini fase his berubah. Tonus otot uterus meningkat, juga di luar his, dan kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena tidak ada sinkronasi kontraksi bagian – bagiannya. Tidak adanya koordinasi antara kontraksi bagian atas, tengah dan bawah menyebabkan his tidak efisien dalam mengadakan pembukaan.

kala I menjadi lama, dan dapat diraba jelas pinggir serviks yang kaku. Kalau keadaan ini dibiarkan, maka tekanan kepala terus – menerus dapat menyebabkan nekrosis jaringan serviks dan dapat mengakibatkan lepasya bagian tengah serviks secara sirkuler. Distosia servikalis sekunder disebabkan oleh kelainan organik pada serviks, misalnya karena jaringan parut atau

(34)

24

karena karsinoma. Dengan his kuat serviks bisa robek dan robekan ini dapat menjalar kebagian bawah uterus. Oleh karena itu, setiap ibu yang pernah operasi pada serviks, selalu harus diawasi persalinannya di rumah sakit.

2.2.2 Etiologi

Kelainan his terutama ditemukan pada primigravida, khususnya primigravida tua. Pada multipara lebih banyak ditemukan kelainan yang bersifat inersia uteri. Faktor herediter mungkin memegang peranan pula dalam kelainan his. Sampai seberapa jauh faktor emosi (kekuatan dan lain – lain) mempengaruhi kelainan his, khususnya inersia uteri, ialah apabila bagian bawah janin tidak berhubungan rapat dengan segmen bawah uterus seperti pada kelainan letak janin atau pada disproporsi sefalopelvik. Peregangan rahim yang berlebihan pada kehamilan ganda ataupun hidramnion juga dapat merupakan penyebab inersia uteri yang murni. Akhirnya, gangguan dalam pembentukkan uterus pada masa embryonal, misalnya uterus biroknis unikolis, dapat pula mengakibatkan kelainan his. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus kurang lebih separuhnya, penyebab inersia uteri tidak diketahui

2.2.3 Penanganan

Dalam menghadapi persalinan lama oleh sebab apapun, keadaan ibu yang bersangkutan harus diawasi dengan seksama. Tekanan darah diukur setiap 4 jam, bahkan pemeriksaan ini perlu dilakukan lebih sering apabila ada gejala preeklamsia. Denyut jantung janin dicatat setiap setengah jam dalam

(35)

25

kala I dan lebih sering dalam kala II. Kemungkinan dehidrasi dan asidosis harus mendapat perhatian sepenuhnya. Karena ada persalinan lama selalu ada kemungkinan untuk melakukan tindakan pembedahan dengan narcosis, hendaknya ibu jangan diberi makan biasa melainkan dalam bentuk cairan. Sebaiknya diberikan infus larutan glukosa 5 % dan larutan NaCl isotonic secara intravena berganti – ganti. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan petidin 50 mg yang dapat diulangi pada permulaan kala I dapat diberikan 10 mg morfin. Pemeriksaan dalam perlu dilakukan, tetapi harus selalu disadari bahwa setiap pemeriksaan dalam mengandung bahaya infeksi. Apabila persalinan berlangsung 24 jam tanpa kemajuan yang berarti, perlu dilakukan penilaian yang seksama tentang keadaan. Selain penilaiaan keadaan umum, perlu ditetapkan apakah persalinan benar – benar sudah mulau atau masih dalam tingkat false labour, apakah ada inersia uteri atau incoordinate

uterine action, dan apakah tidak ada disproporsi sefalopelvik biarpun ringan.

Untuk menetapkan hal yang terakhir ini, jika perlu dilakukan pelvimetri reontgenologik atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). Apabila serviks sudah terbuka untuk sedikit – sedikitnya e cm, dapat diambil kesimpulan bahwa persalinan sudah mulai.

Dalam menentukan sikap lebih lanjut perlu diketahui apakah ketuban sudah atau belum pecah. Apabila ketuban sudah pecah, maka keputusan untuk menyelesaikan persalinan tidak boleh ditunda terlalu lama berhubung dengan bahaya infeksi. Sebaiknya dalam 24 jam setelah ketuban pecah sudah dapat

(36)

26

diambil keputusan apakah perlu dilakukan seksio sesarea dalam waktu singkat atau persalinan dapat dibiarkan berlangsung terus.

Kelainan kala satu memanjang 2.2.4 Fase Laten memanjang

Friedman mengembangkan konsep tiga tahap fungsional pada persalinan untuk menjelaskan tujuan-tujuan fisiologis persalinan. Walaupun pada tahap persiapan (preparatory division) hanya terjadi sedikit pembukaan serviks, cukup banyak perubahan yang berlangsung dikomponen jaringan ikat serviks. Tahap persalinan ini mungkin peka terhadap sedasi dan anastesi regional. Tehap pembukaan/dilatasi (dilatational division), saat pembukaan berlangsung paling cepat, tidak dipengaruhi oleh sedasi atau anastesia regional. Tahap panggul (pelvic division) berawal dari fase deselerasi pembukaan serviks. Mekanisme klasik persalinan yang melibatkan gerakan-gerakan pokok janin pada presentasi kepala, masuknya janin ke panggul (engagement), fleksi, penurunan rotasi internal (putaran paksi dalam), ekstensi dan rotasi eksternal (putaran paksi luar)terutama berlangsung selama tahap panggul. Namun, dalam praktik sebenarnya awitan tahap panggul jarang diketahui dengan jelas.

Pola pembukaan serviks selama tahap persiapan dan pembukaan persalinan normal adalah kurva sigmoid. Dua fase pembukaan serviks adalah fase laten yang sesuai dengan tahap persiapan dan fase aktif yang sesuai

(37)

27

dengan tahap pembukaan. Friedman membagi lagi fase aktif menjadi fase akselerasi, fase lereng (kecuraman) maksimum, dan fase deselerasi.

Persalinan laten disefinisikan menuruut friedman sebagai saat ketika ibu mulai merasakan kontraksi yang teratur. Selama fase ini orientasi kontraksi uterus berlangsung bersama perlunakan dan pendataran serviks. Kriteria minimum friedman untuk fase laten ke fase aktif adalah kecepatan pembukaan serviks 1,2 cm/jam bagi nulipara dan 1,5 cm/jam untuk multipara. Kecepatan pembukaan serviks ini tidak dimulai pada pembukaan tertentu. Sebagai contoh, paisner dan rosen mendapatkan bahwa 30% ibu mencapai pembukaan 5 cm sebelum kecepatan pembukaan mereka setara dengan persalinan fase aktif. Sebaliknya sebagian lain ibu mengalami pembukaan lebih cepat dan telah mencapai kecepatan fase aktif pada pembukaan sebesar 3 cm. dengan demikian fase laten terjadi bersamaan dengan persepsi ibu yang bersangkutan akan adanya his teratur yang disertai oleh pembukaan serviks yang progresif, walaupun lambat, dan berakhir pada pembukaan 3 sampai 5 cm. ambang ini secara klinis mungkin bermanfaat, karena mendefinisikan batas- batas pembukaan serviks yang bila telah terlewati dapat diharapkan terjadi persalinan aktif. Rosen menganjurkan agar semua ibu diklasifikasikan berada dalam “persalinan aktif”. Apabila dilatasi mencapai 5 cm, sehingga apabila tidak terjadi perubahan progresif, perlu dipertimbangkan untuk melakukan intervensi.

(38)

28

Friedman dan Sachtleben mendefinisikan fase laten berkepanjangan apabila lama fase ini lebih dari 20 jam pada nulipara dan 14 jam pada ibu multipara. Kedua patokan ini adalah persentil ke – 95. Dalam laporan sebelumnya, Friedman menyajikan data mengenai durasi fase laten pada nulipara. Durasi rata – ratanya adalah 8,6 jam dan rentangnya dari 1 sampai 44 jam. Dengan demikian, lama fase laten sebesar 20 jam pada ibu nulipara dan 14 jam pada ibu multipara mencerminkan nilai maksimum secara statistik.

Faktor – faktor yang mempengaruhi durasi fase laten antara lain adalah anastesia regional atau sedasi yang berlebihan, keadaan serviks yang buruk (missal tebal, tidak mengalami pendataran, atau tidak membuka), dan persalinan palsu. Friedman mengklaimbahwa istirahat atau stimulasi oksitosin sama efektif dan amannya dalam memperbaiki fase laten yang berkepanjangan. Istirahat lebih disarankan karena persalinan palsu sering tidak disadari. Dengan sedatif kuat 85% dari para ibu ini akan memulai persalinan aktif. Sekitar 10% lainnya berhenti berkontraksi, dan karenanya mengalami persalinan palsu. Akhirnya 5% mengalami rekuensi fase laten abnormal dan memerlukan stimulasi oksitosin. Amniotomi tidak dianjurkan karena adanya insiden persalinan palsu yang 10% tersebut. Sokol dkk4. Melaporkan insiden 3 sampai 4 % fase laten berkepanjangan berapapun paritasnya. Friedman3 melaporkan bahwa memanjangnya fase laten tidak memburuk morbiditas atau mortalitas janin atau ibu, tetapi Chelmow ddk5. Membantah anggapan lama bahwa pemanjangan fase laten tidak berbahaya.

(39)

29

2.2.5 Fase aktif memanjang pada multipara

Fase aktif pada multipara yang berlangsung lebih dari 6 jam Rata- rata (2,5jam) dan laju dilatasi serviks yang kurang dari 1,5cm per jam merupakan keadaan abnormal. Mesikipun pada multipara lebih jarangdijumpai dibandingkan dengan primigravida, namun ketidak acuhan dan perasaan aman yang palsu,keadaan tersebut dapat menyebabkan malapetaka. Kelahiran normal yang terjadi diwaktu lampau tidak berartibahwa kelahiran berikutnya normal kembali. Pengamatan yang cermat upaya menghindari kelahiran pervaginam yang traumatic dan pertimbangan section caesarea merupakan tindakan penting dalam penatalaksanaan permasalahn ini. (oxom,2010)

Kala II memanjang (prolonged expulsive phase)

Tahap ini berawal saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir ketika keluarnya janin. Median durasinya adalah 50 menit untuk nulipara dan 20 menit untuk mulyipara, tetapi angka ini juga sangat bervariasi. Pada ibu yang berparitas tinggi yang vagina dan perineumnya sudah melebar, dua atau tiga kali usaha untuk mengejan setelah pembukaan lengkap mungkin cukup untuk mengeluarkan janin. Sebaliknya pada seorang ibu dengan panggul sempit atau janin besar atau dengan kelainan gaya ekspulsif akibat anastesia regional atau sedasi yang berat, maka kala II akan sangat memanjang. Sebelum pengeluaran janin spontan memanjang sekitar 25 menit oleh anastesia regional. Seperti telah disebutkan tahap panggul atau penurunan janin padapersalinan umumnya berlangsung setelah pembukaan lengkap, selain itu kala II melibatkan banyak gerakan pokok yang penting agar janin dapat melewati

(40)

30

jalan lahir. Selama ini terdapat aturan-aturan yang membatasi durasi kala II. Kala II persalinan pada nulipara dibatasi 2 jam dan diperpanjang 3 jam apabila digunakan analgesia regional. Untuk multipara 1 jam adalah batasnya, diperpanjang menjad 2 jam apabila digunakan analgesia regional. Pemahaman kita tentang durasi normal persalinan manusia mungkin tersamar oleh banyaknya variable klinis yang mempengaruhi pimpinan persalinan. Kilpatrick dan laros melaporkan bahwa rata-rata lama persalinan kala 1 dan II adalah sejitar 9 jam pada nilipara tanpa analgesia regional dan untuk ibu yang multipara adalag sekitar 6 jam. Mereka mendefinisikan persalinan sebagai waktu saat ibu mengalami kontraksi teratur yang nyeri setiap 3 sampai 5 menit menyebabkan pembukaan serviks

2.2.6 Dampak persalinan lama

Persalinan lama dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi salah satu atau keduanya sekaligus. Pada ibunya dapat berakibat yaitu : a. Infeksi Intrapartum

Infeksi adalah bahaya yang serius yang mengancam ibu dan janinnya pada partus lama, terutama bila disertai dengan pecahnya ketuban. Bakteri di dalam amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion sehingga terjadi bacteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Peneumonia pada janin, akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya. Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan bakteri

(41)

31

vagina ke dalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama persalinan, terutama apabila dicurigai terjadi persalinan lama.

b. Ruptur Uteri

Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya serius selama partus lama, terutama pada ibu dengan paritas tinggi dan pada mereka dengan riwayat seksio sesarea. Apabila disproporsi antara kepala janin dan panggul sedemikian besar sehingga kepala janin tidak cakap (engaged) dan tidak terjadi penurunan, segmen bawah uterus menjadi sangat teregang kemudian dapat menyebabkan rupture. Pada kasus ini mungkin terbentuk cincin retraksi patologis yang dapat diraba sebagai sebuah krista transversal atau oblik yang berjalan melintang di uterus antara simpis dan umbilicus. Apabila dijumpai keadaan ini, diindikasikan persalinan perabdominan segera.

c. Cincin Retraksi Patologis

walaupun sangat jarang, dapat timbul kontriksi atau cincin lokal uterus pada persalinan yang berkepanjangan. Tipe yang paling sering adalah cincin retraksi patologis bandl, yaitu pembentukkan cincin retraksi normal yang berlebihan. Cincin ini sering timbul akibat persalinan yang terhambat, disertai dengan peregangan dan penipisan berlebihan segmen bawah uterus. Pada situasi semacam ini cincin dapat terlihat jelas sebagai suatu indentasi abdomen dan menandakan ancaman akan rupturnya segmen bawah uterus. Kontriksi uterus lokal

(42)

32

jarang dijumpai saat ini karena terhambatnya persalinan secara berkepanjangan tidak lagi dibiarkan. Kontriksi lokal ini kadang – kadang masih terjadi sebagi kontriksi jam pasir (bourglass

constriction) uterus setelah lahirnya kembar pertama.

Pada keadaan ini kontriksi tersebut kadang – kadang dapat di lemaskan dengan anesthesia umum yang sesuai dan janin dilahirkan secara normal, tetapi kadang – kadang seksio sesarea yang dilakukan dengan segera menghasilkan prognosis yang lebih baik bagi kembar kedua.

d. Pembentukan Fistula

Apabila bagian terbawah janin menekan kuat ke pintu atas panggul, tetapi tidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, bagian jalan lahir yang terletak diantaranya dan dinding panggul dapat mengalami tekanan yang berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi nekrosis yang akan jelas dalam beberapa hari setelah melahirkan dengan munculnya vistula vesikovaginal, vesikoservikal, atau rectovaginal. Umumnya nekrosis akibat penekanan ini pada persalinan kala II yang berkepanjangan. Dahulu, saat tindakan operasi ditunda selama mungkin, penyulit ini sering dijumpai, tetapi saat ini jarang terjadi kecuali di negara – negara yang belum berkembang.

(43)

33

e. Cedera Otot-otot Dasar Panggul

Suatu anggapan yang telah lama dipegang adalah bahwa cedera otot-otot dasar panggul atau persarafan atau fasia penghubungnya. Merupakan konsekuensi yang tidak terelakkan pada persalinan pervaginam, terutama apabila persalinannya sulit. Saat kelahiran bayi, dasar panggul medapat tekanan langsung dari kepala janin serta tekanan ke bawah akibat upaya ibu mengejan. Gaya – gaya ini meregangkan dan melebarkan dasar panggul sehingga terjadi perubahan fungsional dan anatomi otot, saraf, dan jaringan ikat. Terdapat semakin besar kekhawatiran bahwa efek-efek pada otot dasar panggul selama melahirkan ini akan menyebabkan inkontinensia urine dan alvi serta prolaps organ panggul.

Karena kekhawatiran ini, dalam sebuah jajak pendapat baru – baru ini terhadap ahli kebidanan perempuan di inggris, 30% menyatakan kecenderungan melakukan seksio sesarea daripada persalinan pervaginam dan menyebut alasan pilihan mereka yaitu menghindari cedera dasar panggul.

Sepanjang sejarah obstetri, intervensi yang ditujukan untuk mencegah cedera dasar panggul telah lama dilakukan. Sebagai contoh, pada tahun 1920 Delee menyarankan persalinan dengan forceps profilaktik untuk mengurangi peregangan terhadap otot dan saraf pada persalinan kala II dan untuk melindungi dasar panggul serta fasia di dekatnya dari peregangan berlebihan. Namun, kemajuan dalam bidang

(44)

34

obstetri pada abad ke- 20 umumnya difokuskan untuk memperbaiki prognosis neonatus serta morbiditas dan mortalitas ibu akibat preeklamsia, infeksi dan perdarahan obstetri.

Contoh klasik cedera melahirkan adalah robekan sfingter ani yang terjadi saat persalinan pervaginam. Robekan ini terjadi pada 3 sampai 6 % persalinan dan sekitar separuh dari mereka kemudian mengeluhkan adanya inkontensia alvi atau gas, walaupun proses persalinan jelas berperan penting dalam cedera dasar panggul, insiden, dan jelas cedera yang dilaporkan sangat bervariasi antara beberapa penelitian. Saat ini masih terdapat ketidakjelasan mengenai insiden cedera dasar panggul akibat proses melahirkan dan informasi tentang peran relative proses obtetri yang mendahuluinya masih terbatas.

Partus lama itu sendiri dapat merugikan. Apabila panggul sempit dan juga terjadi ketuban pecah lama serta infeksi intrauterus, risiko janin dan ibu akan muncul. Infeksi intrapartum bukan saja merupakan penyulit yang serius pada ibu, tetapi juga merupakan penyebab penting kematian janin dan neonatus. Hal ini disebabkan bakteri di dalam cairan amnion menembus selaput amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion, sehingga terjadi bakterimia pada ibu dan janin. Pneumonia janin, akibat aspirasi cairan amnion yang teinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya. Efek yang akan terjadi pada janin dari kejaidan partus lama yaitu :

(45)

35

a. Kaput Suksedaneum

Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kaput suksedaneum yang besar di bagian terbawah kepala janin. Kaput ini dapat berukuran cukup besar dan menyebabkan kesalahan diagnostic yang serius. Kaput dapat hampir mencapai dasar panggul sementara kepala sendiri belum cakap. Dokter yang kurang berpengalaman dapat melakukan upaya secara premature dan tidak bijak untuk melakukan ekstraksi forceps. Biasanya caput succedaneum, bahkan yang besar sekalipun, akan menghilang dalam beberapa hari.

b. Molase Kepala Janin

Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang tengkorak saling bertumpang tindih satu sama lain di suttura-sutura besar, suatu proses yang disebut molase (molding, moulage). Biasanya batas median tulang pariental yang berkontak dengan promontorium bertumpang tindih dengan tulang disebelahnya, hal yang sama terjadi pada tulang-tulang frontal. Namun, tulang oksipital terdorong kebawah tulang parietal. Perubahan-perubahan ini sering terjadi tanpa menimbulkan kerugian yang nyata. Di lain pihak, apabila distorsi yang terjadi mencolok, molase dapat menyebabkan robekan tentorium, laserasi pembuluh darah janin, dan perdarahan intrakranial pada janin.

(46)

36

Sorbe dan Dahlgren mengukur diameter kepala janin saat lahir dan membandingkannya dengan pengukuran yang dilakukan 3 hari kemudian. Molase paling besar terjadi pada diameter suboksipito bregmatika dan besarnya rata-rata 0,3 cm dengan kisaran sampai 1,5 cm. diameter biparietal tidak dipengaruhi oleh molase kepala janin. Faktor-faktor yang berkaitan dengan molase adalah nuliparitas, stimulasi persalinan dengan oksitosin, dan pengeluaran janin dengan ekstraksi vakum. Carlan dkk. Melaporkan suatu mekanisme penguncian (locking mechanism) saat tepi-tepi bebas tulang kranium saling terdorong ke arah yang lainnya, mencegah molase lebih lanjut dan mungkin melindungi otak janin. Mereka juga mengamati bahwa molase kepala janin yang parah dapat terjadi sebelum persalinan. Holland melihat bahwa molase yang parah dapat menyebabkan perdarahan subdural fetal akibat robekannya septum durameter, terutama tentorium serebeli. Rebekan semacam ini dijumpai baik pada persalinan dengan komplikasi maupun persalinan normal.

Bersamaan dengan molase, tulang parietal, yang berkontrak dengan promontorium, memperlihatkan tanda-tanda mendapat tekanan besar, kadang-kadang bahkan menjadi datar. Akomodasi lebih mudah terjadi apabila tulang-tulang kepala belum mengalami osofikasi sempurna. Proses penting ini mungkin dapat menjadi salah satu penjelasan adanya perbedaan dalam proses persalinan dari dua kasus yang tampak serupa dengan ukuran-ukuran panggul dan kepala

(47)

37

identic. Pada satu kasus, kepala lebih lunak dan mudah mengalami molase sehingga janin dapat lahir spontan. Pada yang lain, kepala yang mengalami osifikasi tahap lanjut tetap mempertahankan bentuknya shingga terjadi distosia.

Tanda-tanda khas penekanan dapat terbentuk dikulit kepala, pada bagian kepala yang melewati promontorium. Walaupun jarang, tanda-tanda serupa timbul di bagian kepala yang pernah berkontak dengan simpisis pubis. Tanda-tanda ini biasanya lenyap dalam beberapa hari.

Fraktur tengkorak kadanf-kadang dijumpai, biasanya setelah dilakukan upaya paksa pada persalinan. Fraktur ini juga dapat terjadi pada persalinan spontan atau bahkan seksio sesarea. Fraktur mungkin tampak sebagai alur dangkal atau cekungan berbentuk sendok tepat diposterior sutura koronaria. Alur dangkal realtif sering di jumpai, tetapi karena hanya mengenai lempeng tulang eksternal, fraktur ini tidak berbahaya. Namun, yang berbntuk sendok, apabila tidak diperbaiki secara bedah dapat menyebabkan kematian neonatus karena fraktur ini meluas mengenai seluruh ketebalan tengkorak dan membentuk tonjolan-tonjolan permukaan dalam yang melukai otak. Pada kasus ini, bagain tengkorak yang cekung sebaiknya dielevasi atau dihilangkan.

(48)

38

Penilaian Klinik

Pada prinsipnya persalinan lama dapat disebabkan oleh : a. His tidak efisien (adekuat)

b. Faktor janin (malpresentasi, malposisi, janin besar)

c. Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan serviks, vagina, tumor) Faktor – faktor ini sering kali saling berhubungan satu sama lainnya.

2.3 Episiotomi

2.3.1 Pengertian episiotomi

Episiotomi dalah suatu tindakan yang menimbulkan rasa sakit dan menggunakan anastesi local adalah bagian dari asuhan sayang ibu (Sarwono,2014).

Episiotomi adalah pemisahan jaringan perineum yang bertujuan mencegah kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak akibat daya regang yang melebihi kapasitas elastisitas jaringan tersebut. (Manternal Neonatal 2013 : 455)

2.3.2 Prinsip tindakan episiotomi

Pencegahan kerusakan yang lebih hebat pada jaringan lunak akibat daya regang yang melebihi kapasitas adaptasi atau elastisitas jaringan tersebut.

(49)

39

2.3.3 Indikasi episiotomi

Menurut Manuaba (2007) khusus pada primigravida, laserasi jalan lahir terutama perineum sulit dihindari sehingga sehingga untuk keamanan dan memudahkan menjahit laserasi kembali dilakukan episiotomi. Disamping itu, episiotomi dipertimbangkan pada multigravida dengan introitus vagina sempit atau pada wanita dengan perineum yang kaku.

Selain itu menurut Sumarah (2008) indikasi episiotomi dilakukan pada:

a. Gawat janin, untuk menolong keselamatan janin maka persalinan harus segera diakhir

b. Persalinan pervaginam dengan penyulit, misalnya presentasi bokong, distosia bahu, akan dilakukan ekstraksi forcep, ekstraksi vakum.

c. Jaringan parut pada perineum ataupun pada vagina d. Perineum kaku dan pendek

e. Adanya ruptur yang membakat pada perineum

f. Prematur untuk mengurangi tekanan pada kepala janin

2.3.4 Tujuan episiotomi menurut Sumarah (2008) adalah :

1. Mempercepat persalinan dengan melebarkan jalan lahir lunak/mempersingkat kala II

2. Mempercepat tekanan pada kpl anak

3. Mengendalikan robekan perineum untuk memudahkan menjahit 4. Menghidari robekan perineum spontan

(50)

40

6. Untuk mengurangi tekanan pada kepala janin prematur yang masih lunak.

7. Untuk melancarkan pelahiran jika kelahiran tertunda oleh perineum yang kaku.

8. Untuk memberikan ruangan yang adekuat untuk pelahiran dengan bantuan.

2.3.5 Tabel 2.2. Tingkat episotomi Tingkat

episiotomy

Jaringan terkena Keterangan Pertama Fourchette

Kulit perineum Mukosa vagina

- Mungkin tidak perlu dijahit

Menutup sendiri Kedua · Fascia + muskulus

badan perineum

Perlu dijahit Ketiga · Ditambah dengan

sfincter ani

Harus dijahit legeartis sehingga tidak menimbulkan inkontinensia

Keempat · Ditambah dengan mukosa rectum

Teknik menjahit khusus sehingga tidak menimbulkan fistula

2.3.6 Waktu

Saat yang dianggap tepat melakukan episiotomi menurut Manuaba (2007) adalah :

a. Saat kepala crowning sekitar 4-5 cm

b. Saat his dan mengejan sehingga rasa sakit tertutupi

(51)

41

2.3.7 Bentuk episiotomi

Bentuk episiotomi yang lazim dilakukan menurut Sumarah (2008) adalah : 1) Episiotomi Medialis adalah yang dibuat di garis tengah.

2) Episiotomi Mediolateralis dari garis tengah ke samping menjauhi anus.

3) Episiotomi Lateralis 1-2 cm diatas commisuro posterior ke samping. 4) Episiotomi Sekunder adalah ruptur perinii yang spontan atau

episiotomi medialis yang melebar sehingga dimungkinkan menjadi ruptura perinii totalis maka digunting ke samping.

2.3.8 Cara melakukan episiotomi menurut Sarwono (2014) : 1. Persiapan

1) Pertimbangkan indikasi episiotomi dan pastikan bahwa episiotomi penting untuk kesehatan dan kenyamanan ibu/bayi

2) Pastikan perlengkapan dan bahan-bahan yang diperlukan sudah tersedia dan steril (gunting epis)

3) Gunakan teknik aseptik setiap saat, cuci tangan dan gunakan sarung tangan steril

4) Jelaskan kepada ibu alasan dilakukannya episiotomi dan diskusikan prosedurnya dengan ibu, berikan dukungan dan dorongan pada ibu 2. Prosedur utama (persalinan)

Persiapan Alat:

(52)

42

b. Sepasang sarung tangan steril c. Gunting episiotomi

d. Kasa steril e. Spuit 5 ml f. Lidocain 2% g. Aquadest

h. Kapas dalam air DTT 3. Anastesi local

a. Jelaskan pada ibu tentang apa yang dilakukan dan agar ibu merasa tenang.

b. Pasanglah jarum no. 22 pada spuit 10 ml, kemudian isi spuit dengan bahan anastesi (lidokain HCl 1 % atau Xilokain 10mg/ml).

c. Letakkan 2 jari telunjuk dan jari tengah diantara kepala dan perineum. Masuknya bahan anastesi (secara tidak sengaja) dalam sirkulasi bayi, dapat menimbulkan akibat yang fatal, oleh sebab itu gunakan jari – jari penolong sebagai pelindung kepala bayi.

d. Tusukkan jarum tepat dibawah kulit perineum pada daerah komisura posterior (fourchette) yaitu bagian sudut bawah vulva.

e. Arahkan jarum dengan membuat sudut 45 derajat kesebelah kiri (atau kanan) garis tengah perineum. Lakukan aspirasi untuk memastikan bahwa ujung jarum tidak memasuki pembuluh darah (terlihat cairan dalam spuit)

(53)

43

g. Tunggu 1-2 menit agar efek anastesi bekerja maksimal, sebelum episiotomi dilakukan. Jika kepala janin tidak segera lahir, tekan insisi episiotomi diantara his sebagai upaya untuk mengurangi perdarahan. Jika selama melakukan penjahitan robekan vagina dan perineum, ibu masih merasakan nyeri, tambahkan 10 ml Lidokain 1 % pada daerah nyeri. Penyuntikan sampai menarik mundur, bertujuan untuk mencegah akumulasi bahan anastesi hanya pada satu tempat dan mengurangi kemungkinan penyuntikan kedalam pembuluh darah.

4. Tindakan episiotomy

1) Pegang gunting yang tajam dengan satu tangan.

2) Letakkan jari telunjuk dan tengah diantara kepala bayi dan perineum, searah dengan rencana sayatan.

3) Tunggu fase acme (puncak his) kemudian selipkan gunting dalam keadaan terbuka antara jari telunjuk dan tengah.

4) Gunting perineum, dimulai dari fourchat (komissura posterior) 45 derajat ke lateral (kiri atau kanan).

5) Lanjutkan pimpin persalinan. 6) Melahirkan Bayi

7) Melahirkan Plasenta 8) Menjahit luka episiotomi

(54)

44

2.4 Laserasi Jalan Lahir 2.4.1 Definisi

Laserasi perineum adalah robekan jaringan antara mukosa vagina dan rektum. Laserasi terjadi pada semua persalinan pertama dan bahkan pada persalinan berikutnya karena proses desakan kepala janin atau bahu pada saat proses persalinan maupun tindakan episiotomi.

2.4.2 Epidemiologi

Faktor penyebab luka jahitan perineum antara lain lahirnya bayi yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong, bayi besar, posisi kepala yang abnormal, kelahiran bokong, ekstraksi vakum, distosia bahu, cara mengedan yang tidak benar, dorongan fundus yang berlebih, edema pada perineum, arkus pubis sempit dan perluasan episiotomy.

2.4.3 Diagnosis Laserasi Jalan Lahir

Tanda atau gejala robekan perineum : Terjadi setelah plasenta keluar, terdapat perdarahan namun uterus berkontraksi, pada inspeksi plasenta kotiledon plasenta lengkap.

(55)

45

2.4.4 Tingkat atau derajat luka jahitan perineum dibagi menjadi 4:

1. Laserasi dapat diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan : a. Derajat 1 :

- Mukosa vagina - Komisura Posterior - Kulit perineum

Ket: Tidak perlu dijahit jika tidak ada perdarahan dan aposisi luka baik b. Derajat 2 : - Mukosa vagina - Komisura Posterior - Kulit perineum - Otot perineum

Ket : Jahit menggunakan teknik jelujur/satu per satu c. Derajat 3 :

- Mukosa vagina - Komisura Posterior - Kulit perineum - Otot perineum - Otot sfingter ani

(56)

46 d. Derajat 4 : - Mukosa vagina - Komisura Posterior - Kulit perineum - Otot perineum - Otot sfingter ani

- Dinding depan rectum

Ket : Segera rujuk ke fasilitas rujukan (APN:2008,hal 115) - Otot perineum

- Otot sfingter ani

Ket : Segera rujuk ke fasilitas rujukan

2.4.5 Langkah-Langkah Penjahitan Laserasi Pada Perineum(Derajat I&II)

1. Cuci tangan.

2. Pastikan bahwa peralatan dan bahan-bahan yang akan digunakan.

3. untuk anastesia lokal adalah 1% lidokain tanpa efinefrin (silokain). Jika lidokain 1% tidak tersedia, gunakan lidokain 2% yang dilarutkan dengan air steril atau aquabidest dengan perbandingan 1:1

4. Setelah memberikan anastesia lokal dan memastikan bahwa daerah tersebut sudah di anastesi,

(57)

47

5. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan

6. Buat jahitan pertama kurang lebih 1 cm di atas ujung laserasi di bagian dalam vagina.

7. Tutup mukosa vagina dengan jahitan jelujur, jahit ke bawah ke arah cincin himen

8. Tepat sebelum cincin himen, masukkan jarum ke dalam mukosa vagina lalu ke bawah cincin himen sampai jarum ada di bawah laserasi.

9. Teruskan ke arah bawah tapi tetap pada luka, menggunakan jahitan jelujur, hingga mencapai bagian bawah laserasi.

10. Setelah mencapai ujung laserasi, arahkan jarum ke atas dan teruskan penjahitan menggunakan jahitan jelujur untuk menutup lapisan subkutikuler

11. Ikat benang dengan membuat simpul di dalam vagina. Potong ujung benang dan sisakan sekitar 1,5 cm.

12. Ulangi pemeriksaan vagina dengan lembut untuk memastikan bahwa tidak ada kasa atau peralatan yang tertinggal di dalam. Dengan lembut masukkan jari paling kecil ke dalam anus. Raba apakah ada jahitan pada rectum.

Gambar

Gambar  2.1: Mechanism  Of Shoulder  Dystocia
Gambar  2.2. Shoulder  Dystocia
Gambar  2.3. Manuver  Mcrobert
Gambar  2.4.  Manuver  Rubin  II Diameter  bahu  terlihat  antara  kedua tanda  panah,bahu  anak→yang  paling  mudah  dijangkau  didorong  kearah dada anak sehingga  diameter  bahu  mengecil  dan  membebaskan  bahu  anterior  yang  terjepit
+4

Referensi

Dokumen terkait

Instrumen yang digunakan dalam bentuk kusioner, dalam bentuk 40 pernyataan untuk variabel bebas Budaya Sekolah dan 26 pernyataan untuk variable bebas

Pengaruh Opini Audit, Pergantian Manajemen, Ukuran KAP, Ukuran Perusahaan Klien dan Audit Fee terhadap Auditor Switching pada Perusahaan Jasa yang terdaftar di BEI Tahun

bahwa karakteristik perusahaan yang antara lain diukur dari skala usaha. berpengaruh terhadap kapasitas

SEDERHANA MOTOR SINKRON 3 FASA DENGAN 12 STATOR DAN 4 KUTUB ROTOR BERBASIS MIKROKONTROLLER PIC 18F4550 ” yang menjadi tugas studi penulis sebagai mahasiswa

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kurangnya prestasi belajar siswa dalam belajar di sekolah. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kebiasaan belajar

2.3.2 Hubungan BOPO Terhadap Tingkat Bagi Hasil Deposito Mudharabah BOPO merupakan rasio antara biaya operasional atas pendapatan operasional. Biaya operasional merupakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan permainan tradisional dalam pembelajaran SBK oleh guru di sekolah dasar se-kecamatan Adimulyo termasuk pada kategori sedang

In the design of concrete beams, in general, the program calculates and reports the required areas of steel for flexure and shear based on the beam moments, shears, load