• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelian yang pernah dilakukan berhubung dengan perilaku seksual “dating couples”: penelitian yang dilakukan oleh Zakiah Sholihah Nusya (2003) melihat adanya beberapa aspek perilaku selingkuh yaitu perselingkuhan fisik dan perselingkuhan emosional. Sedangkan aspek kepuasan perkawinan adalah sebagai berikut : (1) kesesuaian penilaian terhadap perkawinan yang dijalani dengan kriteria yang diidealkan oleh masyarakat; (2) kepuasan terhadap perkawinan secara umur; (3) ungkapan kasih sayang dan pengertian yang diberikan oleh pasangan; (4) kerjasama untuk memecahkan masalah dan kemampuan mencari penyelesaian pada perselisihan; (5) kesediaan dalam menggunakan waktu bersama; (6) kesepakatan dalam mengatur keuangan rumali tangga; (7) aktivitas seksual bersama; (8) persamaan orientasi peran yang dipakai sebagai orang tua; (9) kesamaan dalam cara mendidik anak hasil perkawinan. Subjek pokok pada penelitian ini adalah laki-laki yang sudah menikah dan memiliki anak menunjukan bawa semakin tingginya kepuasan perkawinan, maka semakin rendah intensi selingkuh pada suami, demikian sebaliknya semakin rendah kepuasan perkawinan, akan semakin tinggi intense selingkuh pada suami dikarenakan.

Purdiningsih (2008) melakukan penelitan untuk mengetahui penyebab dan dampak perselingkuhan. Dalam setiap rumah tangga biasanya diwarnai dengan adanya permasalahan permasalahan antara suami dan istri akibat adanya konflik diantara mereka. Konflik dalam rumah tangga ada yang dapat mereka selesaikan dan juga tidak. Dengan adanya konflik yang berlarut-larut dalam keluarga membuat salah satu pihak mencari jalan penyelesaian dengan mencari solusi di luar rumah. Seperti halnya dengan melakukan komunikasi dengan pihak lain di luar rumah hingga sampai pada tindakan perselingkuhan.

(2)

Penelitian ini menunjukan penyebab utama perselingkuhan adalah faktor komunikasi yang kurang, adanya perkawinan yang terpaksa, adanya trauma pengalaman masa lalu, self esteem yang rendah dalam pergaulan sehingga mudah terpengaruh dan juga sifat arogan yang dimiliki subyek atau pasangan.Dan juga kurangnya perhatian pada pasangan serta pemahaman agama yang kurang pada subyek. Disamping juga karena pengaruh kepentingan untuk menuntut karier yang menyebabkan subyek kurang memiliki waktu untuk mengurusi keluarganya. Perselingkuhan itu mengakibatkan dampak yang cukup berarti pada subyek dan keluarganya. Adapun dampak itu adalah adanya ketidakharmonisan keluarga, aib sosial, depresi pada pasangan, ucapan talak dari pasangan dan juga anak anak yang benci pada subyek. Dan dampak pada subyek adalah kehamilan, aborsi, stress karena perasaan cemas dan khawatir serta pernikahan siri tanpa ijin pasangannya.

Dian dan Sri (2010) melihat bagaimana mengukur hubungan skema perselingkuhan dalam pernikahan dengan intensi untuk menikah pada wanita dewasa muda yang orang tuanya selingkuh. Dalam penelitian ini menunjukan bahwa hubungan skema perselingkuhan dalam pernikahan dengan intensi untuk menikah tidak signifikan. Selain itu juga diketahui bahwa meskipun skema perselingkuhan dalam pernikahan yang dimiliki responden adalah negatif tetapi intensi untuk menikah tetap cenderung tinggi.

Dari penelitian yang dilakukan tidak ditemukan adanya hubungan perselingkuhan orang tua terhadap pernikahan pada wanita dewasa muda, hal ini memperlihatkan bahwa kejadian perselingkuhan orang tua yang diketahui oleh anak merupakan dasar untuk mengantisipasi masa depan dan membuat rencana dan tujuan yang lebih matang. Perselingkuhan orang tua menyebabkan seorang anak mengetahui pasangan seperti apakah yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan perselingkuhan, keadaan apa saja yang dapat menyebabkan munculnya perselingkuhan dalam pernikahan, kerugian apa saja yang dirasakan oleh seseorang yang pasangannya selingkuh, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan perselingkuhan dalam pernikahan. Adanya dasar untuk mengantisipasi terjadinya perselingkuhan dalam pernikahan, serta pembuatan rencana dan tujuan dari pernikahan di masa

(3)

depan, menyebabkan anak yang orang tuanya berselingkuh tidak terpengaruh dengan kejadian tersebut.

Hepi (2009) bahwa perselingkuhan itu sendiri tidak hanya didominasi oleh para pria, tetapi juga wanita sehingga dalam perselingkuhan tidak menutup kemungkinan siapa yang berselingkuh, bisa suami ataupun isteri. Jika isteri berselingkuh maka perselingkuhan itu akan membawa dampak moral yang harus ditanggung suami karena masyarakat memang belum dapat mentoleransi keadaan itu, yaitu rasa malu dan harga diri yang rendah dimana kehormatannya sebagai laki-laki dan sebagai suami terancam pihak lain, menahan penghinaan semacam itu dari masyarakat dan keluarga bukan hal yang mudah, maka suami akan merasa terperangkap dalam keadaan yang sangat sulit untuk dilakukan. Namun pada kenyataannya masih ada beberapa suami yang berusaha mempertahankan pernikahannya dengan istri yang berselingkuh.

Penelitian ini menunjukan bahwa faktor yang melatarbelakangi suami mempertahan pernikahannya dengan istri yang berselingkuh adalah karena merasa harapan terhadap perkawinannya telah terpenuhi dan hal itu merupakan rasionalisasi subjek terhadap konflik yang dihadapi. Selain itu, alasan yang lain yaitu keberadaan anak, standar keberhasilan dan kegagalan perkawinan, serta keyakinan subjek bahwa istri tidak berselingkuh dan hal itu merupakan mekanisme pertahanan subjek terhadap perselingkuhan istrinya dalam bentuk prngingkaran, dan karena perasaan takut terabaikan serta rasa cinta. Banyaknya faktor-faktor yang merupakan alasan seorang suami mempertahankan pernikahan karena merasa segala apa yang telah dilalui bersama adalah kewajiban oleh pihak suami maupun isteri dalam menanggungjawabi sebuah keluarga.

Yohan, dkk (2010) menunjukkan hasil penelitiannya untuk mengenal pasti apakah faktor kesepian dan keperluan menjalin hubungan rapat dengan orang lain akan mempengaruhi perilaku curang pada isteri yang suaminya bekerja di luar kota. Dalam penelitian ini menunjukkan wanita yang melakukan perbuata curang berdasarkan pada usia yaitu berusia 26 tahun hingga 30 tahun terdapat 16 orang, wanita yang berumur 31 tahun hingga 35 tahun sebanyak 13 orang. Sedangkan

(4)

wanita yang berumur 20 tahun hingga 25 tahun dan 36 tahun hingga 40 tahun sebanyak tiga orang. Sedangkan dari kuantitas lamanya memiliki hubungan gelap terdapat 30 wanita telah berselingkuh selama lebih enam bulan, dan lima wanita yang berselingkuh selama kurang dari sebulan.

Selain itu, Yohan dkk menemukan perselingkuhan berdasarkan data pekerjaan yang dimiliki oleh suami, dimana sebagian besarnya suami bekerja sebagai wirausaha sebanyak 20 orang. Namun, terdapat juga wanita dengan suami bekerja sebagai pegawai pemerintahan dan pegawai swasta sebanyak 15 orang. Suami yang bekerja di luar kota sebanyak 21 orang dan 14 orang mengatakan bahwa suaminya jarang ke luar kota. Dalam data ini memperlihatkan bahwa isteri yang berselingkuh yang disebabkan oleh suami yang sering berpergian ke luar kota. Berdasarkan data tempat tinggal yang diperoleh dalam penelitian ini sebanyak 19 orang isteri tinggal sendirian di rumah dan sebanyak tiga isteri yang memilih untuk tinggal bersama pembantunya.

Penelitian Yohan dkk juga menunjukkan adanya ras kesepian yang dimiliki seorang suami yang bekerja di luar kota, adanya kebutuhan untuk berhubungan intim, dan adanya kecendrungan untuk berselingkuh. Berdasarkan hasil perhitungan dalam analisis regresi diketahui nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,722, berarti hubungan variabel kesepian dan keperluan untuk berhubungan intim cendrung tinggi karena memiliki nilai 0,722 > 0,5.

Wanita yang melakukan perselingkuhan dikarenakan tidak adanya sosok pasangan yang sebenarnya sangat diharapkan untuk selalu hadir dalam berbagai situasi, sehingga seorang isteri mencari pengganti suami yang membuat mereka ikut terlibat dalam hubungan intim. Wanita yang berselingkuh menunjukkan bahwa lemahnya suatu keimanan seorang bukan dengan alasan kesepian, karena menunjukkan isteri juga tinggal bersama pembantunya.

Widya Asriana (2012) menunjukkan bahwa perselingkuhan berawal dari media yang menimbulkan suatu kecemburuan. Terdapat empat hasil utama dari penelitian ini, pertama adalah terdapat perbedaan yang signifikan pada partisipan perempuan dalam kecemburuan menghadapi tipe perselingkuhan emosional dan

(5)

seksual melalui internet dimana partisipan perempuan lebih merasa cemburu dalam menghadapi perselingkuhan emosional daripada seksual. Kedua adalah terdapat perbedaan yang signifikan pada partisipan laki-laki dalam kecemburuan menghadapi tipe perselingkuhan emosional dan seksual melalui internet, dimana partisipan laki-laki akan lebih merasa cemburu dalam menghadapi perselingkuhan emosiaonal daripada seksual. Ketiga, terdapat perbedaan yang signifikan pada laki-laki dan perempuan dalam kecemburuan menghadapi tipe perselingkuhan emosional melalui internet dimana perempuan akan lebih merasa cemburu daripada laki-laki jika pasangannya melakukan perselingkuhan emosional. Keempat, adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam laki-laki dan perempuan dalam kecemburuan menghadapi tipe perselingkuhan seksual melalui internet, dengan kata lain perempuan maupun laki-laki akan merasakan cemburu jika pasangannya melakukan perselingkuhan seksual.

Hasil penelitian Widya Asriana (2012) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada partisipan perempuan dalam kecemburuan menghadapi tipe perselingkuhan emosional dan seksual melalui internet dimana partisipan perempuan akan lebih merasa cemburu dalam menghadapi perselingkuhan emosional daripada seksual. Mengenai kecendrungan perempuan untuk lebih merasa cemburu pada perselingkuhan emosional jika dibandingkan dengan perselingkuhan seksual. Namun, jika pasangan terlibat secara emosional dengan perempuan tersebut maka perselingkuhan tersebut dapat memberikan resiko pada perempuan bahwa sumber daya yang dimiliki pasangannya seperti energi, komitmen, investasi akan terbagi dengan adanya kehadiran orang ketiga tersebut. Dengan adanya alasan tersbut, perempuan akan lebi merasa cemburu apabila pasangannya melakukan perselingkuhan emosional daripada seksual.

Penelitian ini juga melihat adanya perbedaan yang signifikan pada laki-laki dan perempuan dalam menghadapi tipe perselingkuhan emosional melalui internet dimana perempuan akan mersa lebih cemburu daripada laki-laki jika pasangannya melakukan perselingkuhan emosional melalui media internet. Selain iti penelitian ini memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam menghadapi tipe perselingkuhan seksual melalui internet dimana perempuan tersebut akan merasa lebi

(6)

cemburu daripada laki-laki jika pasangannya melakukan perselingkuhan emosional melalui media internet.

Novika Sari dan Heppy Wahyuni (2006) melakukan penelitian yang menguji apakah ada hubungan negatif antara kepuasan seksual terhadap perselingkuhan yang dilakukan suami ataupun isteri. Dimana pria dan wanita yang menikah diatas lima tahun menjadi subjek dalam penelitian ini. Penelitian ini menunjukkan secara empirik hipotesis dapat dibuktikan dengan rxy = 0,404 hubungan negatif degan hasil korelasi 0,002 (p < 0,01). Semakin rendahnya kepuasan seksual yang terdapat dalam hubungan suami isteri maka akan semakin tinggi perselingkuhan yang terjadi pada sebuah rumah tangga. Penelitian ini menunjukkan bahwa adanya korelasi antara komunikasi dan penyikapan seksual terhadap perselingkuhan yang melibatkan perasaan. Namun, tidak memiliki hubungan antara keseimbangan seksual diantara keduanya.

Hasil penelitian ini melihat bahwa kepuasan seksual dengan mean empirik 63,36 dan mean hepotetik 50. Selain itu presentase subjek tentang kepuasan seksual sebanyak 60 % (30 orang) memperoleh skor tinggi dan 40 % (20 orang) memperoleh skor sedang. Berdasarkan hasil ketegorisasi skor tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar subjek memiliki kepuasan seksual yang tinggi. Selanjutnya hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perselingkuhan dengan mean empirik 47,26 dan mean hipotetok 52,5. Selain itu presentase subjek yang memiliki persepsi sebanyak 12 % (6orang) memperoleh skor rendah. Hal ini berarti perselingkuhan mendapat perhatian kurang banyak dari subjek penelitian meskipun dari presentase yang dihasilkan bervariasi namun dominan skor yang diperoleh subjek adalah sedang dan cenderung sedikit.

Dalam sebuah pernikahan seks merupakan hal yang kecil dalam hubunagan pernikahan, tetapi hal tersebut merupakan suatu hal yang penting untuk mempertahankan suatu keharmonisan di dalam rumah tangga. Banyak keluhan yang terjadi adalah mengenai ketidakpuasan seksual terhadap pasangannya karena adanya kesenjangan komunikasi sehingga menimbulkan suatu kebosanan ataupun kurangnya

(7)

tanggapan atas kebutuhan seksual serta masalah-masalah yang lainnya yang tidak dikomunikasikan dalam berhubungan seksual.

Kartika (2012) melakukan penelitian untuk mengungkapkan bagaimana upaya seorang isteri dalam mengembalikan keutuhan keluarga dan bagaimana usaha yang dilakukan untuk memberikan maaf terhadap perselingkuhan yang dilakukan oleh suami. Adanya ketidakterbukaan oleh penghasilan suami merupakan awal dari masalah yang terdapat dalam penelitian ini dan adanya daya tarik sesaat serta disertai dengan ketertarikan emosional.

Perselingkuhan yang terjadi dikarenakan adanya respon suami yang selalu menyangkal dan menghindar untuk menyelesaikan masalah. Perilaku memaafkan isteri hanya ditunjukkan dalam kegiatan mereka sehari-hari saja, tetapi isteri masih memiliki rasa kecewa kepada suami. Isteri masih melayani kebutuhan suami seperti menyediakan sarapan sampai kepada kegiatan seksual.

Proses bertahannya pernikahan dalam penelitian ini dikarenakan adanya anak dalam keluarga dan ketergantungan ekonomi terhadap suami. Perceraian dan pernikahan yang baru tidak menjanjikan bahwa seorang isteri mendapatkan yang lebih baik lagi dari pada suaminya walaupun suaminya telah mengkhianati kepercayaan dalam suatu perikahan

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Teori Interaksionisme Simbolik

Simbol merupakan esensi dari teori interaksionisme simbolik. Teori ini menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi. Teori interaksionisme simbolik merupakan sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan manusia lainnya, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, dan bagaimana nantinya simbol tersebut membentuk perilaku manusia. Teori ini juga membentuk sebuah jembatan antara teori yang berfokus pada individu-individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial.

(8)

Charon (1998) memaparkan interaksionisme simbolik adalah perspektif teoritis dimana perilaku manusia dijelaskan dengan memahami proses interaksi sosial yang terjadi pada sebuah masyarakat. Doherty menyatakan banyak orang yang belajar tentang perbaikan diri serta bagaimana meningkatkan hubungan keluarga. Perhatian pada kerangka konsep interaksionisme simbolik adalah pada self-concept, komunikasi, dan pentingnya hubungan untuk kesejahteraan individu berhubungan dengan ide-ide yang popular pada masa itu (dalam Bidwell dan Vandel Mey, 2000).

Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning (makna), language (bahasa), dan thought (pemikiran). Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas yang lebih besar.

1. Meaning (makna): Konstruksi Realitas Sosial.

Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah objek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang objek atau orang tersebut.

2. Language (bahasa): Sumber Makna.

Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi social. Makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itu, teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik. Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama yang berguna untuk membedakan suatu objek, sifat atau tindakan dengan objek, sifat atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk nama, adalah tanda yang arbiter. Percakapan adalah sebuah media pencitaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah basis terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.

(9)

Proses pengambilan peran orang lain. Premis ketiga Blumer adalah interpretasi simbol seseorang dimodifikasi oleh proses pemikirannya. Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation, Mead menyebut aktivitas ini sebagai minding. Secara sederhana proses ini menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi tersebut. Untuk bisa berpikir maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik.Bahasa adalah software untuk bisa mengaktifkan mind (dalam Bidwell dan Vandel Mey, 2000).

Pendangan lain dari Mead yaitu bagaimana untuk memahami proses berpikir adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memerankan orang lain (taking the role of the other). Sebagai contoh, pada masa kecilnya, anak-anak sering bermain peran sebagai orang tuanya, berbicara dengan teman imajiner dan secara terus menerus sering menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan meneruskan untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan bertindak sebagaimana orang itu bertindak. Mengambil orang lain sebagai model untuk ia tiru dalam setiap tindak tanduk keseharian.

Setelah memahami konsep meaning, language dan thought, maka kita dapat memperkirakan konsep Mead tentang diri (self). Mead menolak anggapan bahwa seseorang bisa megetahui siapa dirinya melalui introspeksi. Ia menyatakan bahwa untuk mengetahui siapa diri kita maka kita harus melukis potret diri kita melalui sapuan kuas yang datang dari proses pengambilan peran (taking the role of the

other). Proses ini berusaha membayangkan apa yang dipikirkan orang lain tentang

diri kita. Para interaksionis menyebut gambaran mental ini sebagai the looking glass

self dan hal itu dikonstruksi secara sosial.

Interaksi simbolis dapat digunakan dalam berbagai cara untuk menjelaskan dan mengartikan masalah atau persoalan dalam keluarga. Konsep-konsep seperti kelompok primer pada sebuah lingkungan sosial, peran sosial, konsep diri sendiri, situasi atau keadaan keluarga, dan pembicaraan internal, semuanya itu digunakan untuk menentukan dinamika yang terjadi dalam keluarga.

(10)

Interaksionisme simbol menyebutkan beberapa premis yang digunakan untuk merumuskan teori ini yaitu :

1. Manusia adalah makhluk yang unik karena dapat membuat dan memanipulasi simbol. Kemampuan untuk berpikir dalam hal simbol yang abstrak memungkinkan individu untuk mengklasifikasikan pengalaman mereka, mengingat peristiwa masa lalu, dan memprediksi apa yang mungkin terjadi di masa depan.

2. Arti simbol dibuat dalam interaksi sosial. Interaksi simbolis menegaskan bahwa semua orang, benda dan peristiwa sampai batas tertentu mendapatkan makna melalui proses interaksi sosial. Dengan kata lain individu dalam memandang suatu benda, suatu peristiwa yang mempengaruhi perilaku manusia ataupun peristiwa yang melekat pada dirinya permanen. Melainkan dapat berubah dari waktu ke waktu dan dalam situasi yang berbeda-beda

3. Persepsi situasi mempengaruhi perilaku manusia. Dalam Thomas (1928) perilaku manusia sepenuhnya baik dalam keadaan objektif dan penafsiran subjektif dari situasi harus di analisa.

4. Manusia dilahirkan menjadi masyarakat yang sedang berlangsung. Perilaku manusia dipengaruhi oleh norma sosial dan nilai sosial tertentu. Untuk itu seorang individu harus belajar melalui sosialisasi agar memahami norma-norma dan nilai-nilai budaya mereka.

5. Individu tidak dilahirkan dengan rasa tetapi mengembangkan konsep diri melalui interaksi sosial. Looking glass self oleh Cooley (1902) memiliki tiga elemen utama: imajinasi kita tentang bagaimana kita muncul dihadapan orang lain, imajinasi kita tentang bagaimana orang lain menilai penampilan kita, dan perasaan diri seperti kebanggaan atau rasa malu, bahwa hasil dari bagaimana kita membayangkan orang lain telah dievaluasi oleh kita.

6. Diri adalah proses dan objek yang baik. Mead (1934) “I” (sebagai proses) dan“me” (sebagai objek) berargumen bahwa konsep diri terus-menerus diperoleh seperti kita berinteraksi dengan orang lain kemudian kita dapat merefleksikan sendiri, kita berpikir tentang perilaku dan apa yang orang lain mungkin berpikir dari kita.

(11)

7. Manusia harus mempelajari lingkungan alam mereka dan konteks budaya. Manusia adalah makhluk yang unik karena perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan dan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks budaya.

2.2.2 Teori Penyimpangan Sosial

Pandangan terhadap penyimpangan sosial tentu berangkat dari kebudayaan atau pandangan hidup. Oleh sebab itu terdapat perbedaan mengenai penyimpangan sosial antar satu peradaban dengan peradaban lain. Akan tetapi akan ada hal kesamaan apabila penyimpangan sosial dikembalikan kepada standar yang dapat diterima oleh semua manusia. Nilai yang dapat memiliki kesamaan antar peradaban yaitu tentang larang perilaku seks yang menyimpang. Semua agama di dunia pasti melawan perbuatan seks yang berlebihan, akan tetapi nilai tersebut yang seharusnya melekat pada diri semua orang telah bergeser. Hal tersebut menjadi biasa terjadi karena memang pergaulan kumpul kebo atau free sex mendapatkan dukungan dari berbagai media barat dan media-media lain.

Durkheim melihat bahwa penyimpangan sosial bisa terjadi karena penekanan hidup yang sangat besar. Kesibukan pekerjaan dan masalah-masalah sosial yang selalu datang setiap hari membuat masyarakat menjadi stress. Anomi atau teori penyimpangan sosial secara sederhana bisa disebut sebagai perilaku yang jauh dari norma atau perilaku tanpa norma. Anomi adalah bentuk penyimpangan yang murni muncul dari gejala sosial masyarakat.

Hidup tentu akan diukur dengan baik atau buruknya suatu tindakan. Bagi sebagian orang hal yang dapat membahagiakan dirinya dianggap sebagai suatu yang baik. Kesenangan menjadi alat ukur seseorang melakukan perbuatan, tidak perduli norma disekitarnya melarang. Apabila kesenangan yang menjadi acuan, maka masyarakat akan melakukan perbuatan apapun walau perbuatan itu termasuk perbuatan yang menyimpang.

Dalam teori penyimpangan sosial, kesadaran umum merupakan langkah untuk mencegah penyimpangan itu. Kesadaran umum meliputi norma-norma atau nilai-nilai yang mulia, hal tersebut harus dibangun di tengah-tengah masyarakat.

(12)

Membangun kesadaran umum akan nilai-nilai sosial yang mulia membutuhkan keseriusan dari berbagai pihak.

Menurut Merton, dalam setiap masyarakat terdapat tujuan-tujuan tertentu yang ditanamkan kepada seluruh warganya. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat sarana-sarana yang dapat dipergunakan.Tetapi dalam kenyataan tidak setiap orang dapat menggunakan sarana-sarana yang tersedia. Hal ini menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan. Dengan demikian akan timbul penyimpangan-penyimpangan dalam mencapai tujuan. Dalam perkembangan selanjutnya. Merton tidak lagi menekankan pada tidak meratanya sarana-sarana yang tersedia, tetapi lebih menekankan pada perbedaan-perbedaan struktur kesempatan. Dalam setiap masyarakat selalu terdapat struktur sosial. Struktur sosial, yang berbentuk kelas-kelas, menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Keadaan-keadaan tersebut (tidak meratanya sarana-sarana serta perbedaan perbadaan struktur kesempatan) akan menimbulkan frustasi di kalangan para warga yang tidak mempunyai kesempatan dalam mencapai tujuan. Dengan demikian ketidakpuasan, konflik, frustasi dan penyimpangan muncul karena tidak adanya kesempatan bagi mereka dalam mencapai tujuan. Situasi ini akan menimbulkan keadaan di mana para warga tidak lagi mempunyai ikatan yang kuat terhadap tujuan serta sarana-sarana atau kesempatan-kesempatan yang terdapat dalam masyarakat. Hal inilah yang dinamakan anomi. Merton mengemukakan lima cara untuk mengatasi anomi, yaitu:

1. Konformitas (conforming), yaitu suatu keadaan dimana warga masyarakat tetap menerima tujuan-tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat karena adanya tekanan moral;

2. Inovasi (innovation) , yaitu suatu keadaan di mana tujuan yang terdapat dalam masyarakat diakui dan dipelihara tetapi mereka mengubah sarana- sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Misalnya untuk mendapatkan / memiliki uang yang banyak seharusnya mereka menabung. Tetapi untuk mendapatkan banyak uang secara cepat mereka merampok bank;

(13)

3. Ritualisme (ritualism) , adalah suatu keadaan di mana warga masyarakat menolak tujuan yang telah ditetapkan dan memilih sarana-sarana yang telah ditentukan;

4. Penarikan Diri (retreatism) merupakan keadaan di mana para warga menolak tujuan dan sarana-sarana yang telah tersedia dalam masyarakat; 5. Pemberontakan (rebellion) adalah suatu keadaan di mana tujuan dan

sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat ditolak dan berusaha untuk mengganti atau mengubah seluruhnya (dalam Siti Nuraini, 2012).

Terkait dengan hal ini pasangan “dating couple” memperlihatkan bagaimana simbol-simbol yang diberikan dalam berinteraksi dengan perilaku-perilaku menyimpang dalam sebuah pernikahan. Pasangan “dating couple” mempunyai cara-cara tersendiri untuk menutupi kejenuhan dalam diri mereka dari masalah yang terdapat dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini dimulai dengan pemberian penilaian negatif kepada pasangan mereka sendiri dikarenakan adanya suatu ketidakpuasan dan penolakan terhadap kekurangan yang dimiliki oleh pasangan hidupnya baik itu berupa kebutuhan batin maupun materi.

Cara-cara atau simbol-simbol yang diberikan oleh pasangan merupakan perilaku yang menyimpang dalam sebuah pernikahan sehingga semakin menimbulkan jarak antara kedua belah pihak yang melanggar sumpah dalam sebuah pernikahan. Perilaku yang menyimpang tersebut merupakan aktivitas perselingkuhan yang pada awalnya untuk menghilangkan beban dipikiran dengan kesenangan-kesenangan dari pihak ketiga. Namun ternyata, hal perilaku tersebut berkelanjutan dan menyebabkan salah satu pasangan lebih menikmati kehidupan bersama pasangan lain di luar hubungan pernikahan.

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dan kejadian skizofrenia pada usia dewasa muda di Rumah Sakit Jiwa Prof.. Kata Kunci: dewasa muda, pola

dewasa terutama ibu dengan anak dari hubungan tanpa nikah. The Step parent family , keluarga dengan orang tua tiri. Commune family , yaitu lebih satu keluarga tanpa pertalian

Pola asuh orang tua dalam perkembangan anak adalah sebuah cara yang digunakan dalam proses interaksi yang berkelanjutan antara orang tua dan anak untuk membentuk hubungan

Gangguan tidur memiliki kaitan erat dengan kejadian ansietas, stres psikososial, dan gangguan afek. 29 Gangguan tidur anak-anak berbeda dengan orang dewasa.

artinya yaitu dengan adanya panti asuhan upaya dalam pelaksanaan asuhan terhadap anak yang tidak mempunyai orang tua, anak yang di buang oleh orang tua akibat

Unmarriedteenege mather (keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama ibu) dengan anak dari hubungan tanpa nikah), (b) The Stepparent Family (keluarga dengan orang

Tidak terdapat hubungan yang sigfnifikan antara tingkat pengetahuan wanita tentang kanker serviks dengan perilaku menikah lebih dari satu kali, menikah umur muda,

Hubungan Obesitas dengan Kejadian Gangguan Siklus Menstruasi.. pada Wanita