• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

A.Tinjauan Teori

1. Keluarga Berencana (KB)

a. Definisi Keluarga Berencana (KB)

Menurut World Health Organisation (WHO) expert committee 1997: keluarga berencana adalah tindakan yang membantu pasangan suami istri untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang memang sangat diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami istri serta menentukan jumlah anak dalam keluarga (Hartanto, 2008).

Keluarga berencana menurut Undang-Undang no. 10 tahun 1992 (tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera) adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera (Handayani, 2010).

Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti ‘mencegah’ atau ‘melawan’ dan konsepsi yang berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma. Ada dua

(2)

pembagian cara kontrasepsi, yaitu cara kontrasepsi sederhana dan cara kontrasepsi modern (metode efektif) (Wiknjosastro, 2009)

Secara umum keluarga berencana dapat diartikan sebagai suatu usaha yang mengatur banyaknya kehamilan sedemikian rupa sehingga berdampak positif bagi ibu, bayi, ayah serta keluarganya yang bersangkutan tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kehamilan tersebut. Diharapkan dengan adanya perencanaan keluarga yang matang kehamilan merupakan suatu hal yang memang sangat diharapkan sehingga akan terhindar dari perbuatan untuk mengakhiri kehamilan dengan aborsi (Hartanto, 2008).

b. Tujuan Keluarga Berencana

Menurut Suratun (2008), tujuan keluarga berencana antara lain adalah:

1) Tujuan demografi yaitu mencegah terjadinya ledakan penduduk dengan menekan laju pertumbuhan penduduk (LLP) dan hal ini tentunya akan diikuti dengan menurunnya angka kelahiran atau TFR (Total Fertility Rate) dari 2,87 menjadi 2,69 per wanita (Hanafi, 2002). Pertambahan penduduk yang tidak terkendalikan akan mengakibatkan kesengsaraan dan menurunkan sumber daya alam serta banyaknya kerusakan yang ditimbulkan dan kesenjangan penyediaan bahan pangan dibandingkan jumlah penduduk. Hal ini diperkuat dengan teori Malthus (1766-1834) yang menyatakan bahwa

(3)

pertumbuhan manusia cenderung mengikuti deret ukur, sedangkan pertumbuhan bahan pangan mengikuti deret hitung.

2) Mengatur kehamilan dengan menunda perkawinan, menunda kehamilan anak pertama dan menjarangkan kehamilan setelah kelahiran anak pertama serta menghentikan kehamilan bila dirasakan anak telah cukup.

3) Mengobati kemandulan atau infertilitas bagi pasangan yang telah menikah lebih dari satu tahun tetapi belum juga mempunyai keturunan, hal ini memungkinkan untuk tercapainya keluarga bahagia.

4) Married Conseling atau nasehat perkawinan bagi remaja atau

pasangan yang akan menikah dengan harapan bahwa pasangan akan mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang cukup tinggi dalam membentuk keluarga yang bahagia dan berkualitas.

5) Tujuan akhir Keluarga Berencana adalah tercapainya NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera) dan membentuk keluarga berkualitas, keluarga berkualitas artinya suatu keluarga yang harmonis, sehat, tercukupi sandang, pangan, papan, pendidikan dan produktif dari segi ekonomi.

Tujuan Keluarga Berencana adalah meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pengendalian pertumbuhan penduduk Indonesia. Sedangkan dalam era otonomi daerah saat ini

(4)

pelaksanaan program Keluarga Berencana Nasional bertujuan untuk mewujudkan keluarga berkualitas memiliki visi, sejahtera, maju, bertanggung jawab, bertakwa dan mempunyai anak ideal, dengan demikian diharapkan terkendalinya tingkat kelahiran dan pertambahan penduduk, meningkatkan jumlah peserta KB atas kesadaran, sukarela dengan dasar pertimbangan moral dan agama dan berkembangnya usaha-usaha yang membantu peningkatan kesejahteraan ibu dan anak, serta kematian ibu pada masa kehamilan dan persalinan (Hartanto, 2008). c. Sasaran Program KB

1) Sasaran Langsung

Pasangan usia subur yaitu pasangan yang wanitanya berusia antara 15 - 49 tahun, Karena kelompok ini merupakan pasangan yang aktif melakukan hubungan seksual dan setiap kegiatan seksual dapat mengakibatkan kehamilan. PUS diharapkan secara bertahap menjadi peserta KB yang aktif lestari sehingga memberi efek langsung penurunan fertilisasi (Suratun, 2008).

2) Sasaran Tidak Langsung

a) Kelompok remaja usia 15 - 19 tahun, remaja ini memang bukan merupakan target untuk menggunakan alat kontrasepsi secara langsung tetapi merupakan kelompok yang beresiko untuk melakukan hubungan seksual akibat telah berfungsinya alat-alat reproduksinya. Sehingga program KB disini lebih berupaya

(5)

promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan serta kejadian aborsi.

b) Organisasi-organisasi, lembaga-lembaga kemasyarakatan, instansi-instansi pemerintah maupun swasta, tokoh-tokoh masyarakat (alim ulama, wanita, dan pemuda), yang diharapkan dapat memberikan dukungannya dalam pelembagaan NKKBS (Hartanto, 2008). c) Sasaran wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi

(Prawirohardjo, 2009). d. Pelayanan KB

Pelayanan kontrasepsi saat ini dirasakan masyarakat, khususnya pasangan suami-istri, sebagai salah satu kebutuhannya. Pelayanan kontrasepsi yang semula menjadi program pemerintah dengan orientasi pemenuhan target melalui subsidi penuh dari pemerintah, berangsur-angsur bergeser menjadi suatu gerakan masyarakat yang sadar akan kebutuhannya hingga bersedia membayar untuk memenuhinya. Peran pelayanan Keluarga Berencana diarahkan untuk menunjang tercapainya kesehatan ibu dan bayi, karena kehamilan yang diinginkan dan berlangsung pada keadaan dan saat yang tepat, akan lebih menjamin keselamtan ibu dan bayi yang dikandungnya. Pelayanan KB bertujuan menunda, menjarangkan, atau membatasi kehamilan bila jumlah anak sudah cukup. Dengan demikian pelayanan KB sangat berguna dalam mengaturan kehamilan dan pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan

(6)

tau tidak tepat waktu (Depkes, 2012). Ada lima hal penting dalam pelayanan Keluarga Berencana yang perlu diperhatikan (Depkes, 2012): 1) Prioritas pelayanan KB diberikan terutama kepada Pasangan Usia

Subur yang isterinya mempunyai keadaan 4 terlalu yaitu terlalu muda (usia kurang dari 20 tahun), terlalu banyak anak (lebih dari 3 orang), terlalu dekat jarak kehamilan (kurang dari 2 tahun), dan terlalu tua (lebih dari 35 tahun).

2) Menekankan bahwa KB merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan isteri. Suami juga perlu berpartisipasi aktif dalam ber KB dengan menggunakan alat/metode kontrasepsi untuk pria.

3) Memberi informasi lengkap dan adil tentang keuntungan dan kelemahan masing-masing metode kontrasepsi. Setiap klien berhak untuk mendapat informasi mengenai hal ini, sehingga dapat mempertimbangkan metode yang paling cocok bagi dirinya.

4) Memberi nasehat tentang metoda yang paling cocok sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik sebelum pelayanan KB diberikan kepada klien, untuk memudahkan klien menentukan pilihan.

5) Memberi informasi tentang kontraindikasi pemakaian berbagai metode kontrasepsi. Pelaksanaan pelayanan KB perlu melakukan skrining atau penyaringan melalui pemeriksaa fisik terhadap klien untuk memastikan bahwa tidak terdapat kontraindikasi bagi pemakaian metoda kontrasepsi yang akan dipilih. Khusus untuk

(7)

tindakan operatif diperlukan surat pernyataan setuju (informed consent) dari klien.

2. Pasangan Usia Subur

Pasangan usia subur yaitu pasangan yang wanitanya berusia antara 15-49 tahun, Karena kelompok ini merupakan pasangan yang aktif melakukan hubungan seksual dan setiap kegiatan seksual dapat mengakibatkan kehamilan. PUS diharapkan secara bertahap menjadi peserta KB yang aktif lestari sehingga memberi efek langsung penurunan fertilisasi (Suratun, 2008).

Pasangan usia subur yaitu pasangan yang istrinya berumur 15-49 tahun atau pasangan suami-istri berumur kurang dari 15 tahun dan sudah haid atau istri berumur lebih dari 50 tahun tetapi masih haid (datang bulan) (BKKBN, 2009).

3. Unmet Need KB (Bukan Peserta KB)

a. Definisi

Unmet Need KB merupakan Wanita kawin usia subur dan tidak hamil, menyatakan tidak ingin punya anak lagi dan tidak memakai alat kontrasepsi seperti IUD, PIL, suntik, Implant, Obat Vaginal, dan kontrasepsi mantap untuk dirinya atau untuk suaminya atau wanita yang sedang hamil dan terjadinya kehamilan tersebut tidak sesuai dengan waktu yang dikehendaki dan sebelum hamil tidak menggunakan alat kontrasepsi (Hamid, 2012).

(8)

Unmet Need adalah perempuan yang berstatus menikah yang tidak menggunakan kontrasepsi, yang subur dan keinginan untuk berhenti melahirkan anak atau menunda kelahiran yang tidak diinginkan atau tidak tepat waktu, wanita pasca pastum amenore yang tidak menggunakan kontrasepsi dan ingin menunda atau mencegah kehamilan (WHO, 2010).

Menurut BKKBN (2009) unmet need merupakan Pasangan Usia Subur (PUS) yang tidak menginginkan anak, menginginkan anak dengan jarak 2 tahun atau lebih tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Unmet Need KB

Menurut Hartanto (2008), faktor yang mempengaruhi terjadinya unmet need antara lain:

1) Umur

Penelitian mengenai hubungan antara umur dan kejadian Unmet Need KB sudah sering dilakukan karena variabel umur merupakan salah satu variabel latar belakang demografis dari responden yang paling mudah diketahui. Variabel umur ditemukan signifikan pada penelitian yang dilakukan oleh Prihastuti (2004) yang menemukan bahwa kemungkinan terjadinya Unmet Need KB cenderung menurun seiring meningkatnya umur responden wanita. Pasangan usia subur yaitu pasangan yang istrinya berumur 15-49 tahun atau pasangan suami-istri berumur kurang dari 15 tahun dan sudah haid atau istri

(9)

berumur lebih dari 50 tahun tetapi masih haid (datang bulan) (BKKBN, 2009).

Variabel umur ditemukan signifikan pada penelitian yang dilakukan oleh Prihastuti (2004) yang menemukan bahwa kemungkinan terjadinya unmet need cenderung menurun seiring meningkatnya umur responden wanita. Hasil penelitian Westoff dan Bankole (2006) menunjukkan adanya penurunan kebutuhan terhadap KB untuk menjarangkan kelahiran setelah mencapai usia 30 tahun dan kebutuhan KB untuk membatasi kelahiran mencapai puncaknya pada usia 35-44 tahun. Dengan demikian hubungan antara umur dan kebutuhan KB berbentuk seperti huruf U terbalik, yaitu kebutuhan KB rendah pada umur muda dan tua, namun kebutuhan ini tinggi pada kelompok umur paling produktif (Isa, 2009)

Variabel umur ditemukan signifikan pada penelitian yang dilakukan oleh Kaushik (2003) di India, Ahmadi dan Iranmahboob (2005) di Iran, dan juga di Indonesia oleh Prihastuti dan Djutaharta (2004) yang menemukan bahwa kemungkinan terjadinya Unmet Need KB cenderung menurun seiring meningkatnya umur responden wanita. Weinstein (2006) pada penelitian terhadap data Survei Demografi dan Kesehatan di Kyrgistan menemukan bahwa umur berhubungan dengan terjadinya Unmet Need KB untuk pembatasan

(10)

kelahiran, tetapi tidak berhubungan untuk penjarangan atau penundaan kelahiran

2) Pendidikan

Pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat. Tingkat pendidikan menunjukan korelasi positif yang meningkat. Tingkat pendidikan menunjukan korelasi positif dengan terjadinya perubahan perilaku positif yang meningkat dan dengan demikian pengetahuan juga meningkat. Pembagian pendidikan menurut pengetahuan juga meningkat. Pembagian pendidikan menurut Depdiknas yaitu pendidikan dasar (SD,SMP), menengah (SMK, MA, MAK) tinggi (Akademi, PT) (Pro-Health, 2009).

Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri (Notoatmodjo, 2010). Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseoarang makin baik pula pengetahuannya (Hary, 2006).

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap pentingnya sesuatu hal, termasuk pentingnya keikutsertaan dalam KB. Ini

(11)

disebabkan seseorang yang berpendidikan tinggi akan lebih luas pandangannya dan lebih mudah menerima ide dan tata cara kehidupan baru. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi pemilih jenis kontrasepsi. Hasil penelitian Matahari (2011) tentang hubungan tingkat pendidikan akseptor KB terhadap pemilihan alat kontrasepsi di rumah bersalin Endang Widayat Waru Sidoarjo, didapatkan hasil bahwa p= 0,025 < α (0,05). Jadi Ho ditolak dan H1 diterima, yang berarti ada hubungan antara tingkat pendidikan akseptor KB terhadap pemilihan alat kontrasepsi. Hasil ini diperkuat dengan hasil penelitian (Isa, 2009).

Variabel latar belakang pendidikan responden merupakan variabel yang sejak lama diteliti dan dianggap berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya unmet need. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa variabel latar belakang pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian unmet need, seperti yang dilakukan oleh Westoff dan Bankole (2006) yang menemukan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka semakin rendah persentase terjadinya unmet need. Pendidikan bisa mempengaruhi kondisi unmet need karena orang berpendidikan akan memiliki pengetahuan yang lebih tentang permasalahan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi, sehingga mereka bisa lebih mengerti mengenai alat atau cara KB tertentu beserta pengaruhnya pada kesehatan.

(12)

Dengan demikian, mereka bisa menentukan alat atau cara yang ingin digunakan dalam ber-KB, sehingga dapat lebih menghindari kemungkinan terjadinya unmet need. Orang yang memiliki pendidikan juga cenderung lebih mengerti tentang urgensi pembatasan kelahiran dan pembentukan keluarga yang berkualitas, serta manfaatnya bagi pembangunan, sehingga akan mempengaruhi preferensi fertilitas mereka pada tingkat yang lebih rendah dan secara otomatis menciptakan permintaaan terhadap alat atau cara KB tertentu. Jadi, pendidikan memberikan pemahaman yang lebih baik bagi wanita secara psikologis dan fisiologis dalam menggunakan alat atau cara KB tertentu dan akan mengurangi kemungkinan terjadinya unmet need (Isa, 2009).

Penelitian oleh Aryal, et.al (2006) terhadap data survei demografi dan kesehatan di Nepal menemukan bahwa kejadian unmet need justru ditemukan pada responden wanita yang memiliki pendidikan tinggi karena wanita yang berpendidikan akan lebih mengerti dan menyatakan kebutuhannya terhadap alat kontrasepsi untuk memenuhi preferensi fertilitasnya, sementara wanita yang tidak berpendidikan cenderung tidak memiliki motivasi untuk membatasi fertilitasnya. Sehingga apabila akses terhadap alat KB di tempat tersebut masih buruk, peluang wanita yang berpendidikan untuk mengalami status unmet need KB akan lebih besar (Isa, 2009).

(13)

3) Riwayat KB

Pada penelitian yang dilakukan oleh Prihastuti (2004) terhadap data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2002-2003 ditemukan secara signifikan bahwa kejadian Unmet Need KB lebih cenderung terjadi pada wanita yang belum pernah menggunakan KB sama sekali daripada wanita yang sudah pernah atau masih menggunakan KB. Pengalaman menggunakan KB akan membuat wanita lebih mengerti dan dapat menentukan tindakan yang tepat bagi dirinya dalam mengatasi permasalahan kesehatan reproduksi dan untuk memenuhi keinginanya dalam preferensi fertilitas, sehingga hal ini akan semakin mengurangi peluang terjadinya Unmet Need KB. Westoff (2006) juga menentukan besarnya angka persentase kejadian Unmet Need KB pada orang yang belum pernah menggunakan KB dan orang yang tidak berniat untuk menggunakan KB di masa depan 4) Aktivitas Ekonomi (Pekerjaan)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Prihastuti (2004), ditemukan hubungan yang signifikan antara Unmet Need KB dan status bekerja dari wanita, dimana di daerah perkotaan wanita yang bekerja memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami kejadian Unmet Need KB. Hal ini terjadi karena wanita yang bekerja akan lebih memiliki kepentingan untuk membatasi dan mengatur kehamilan atau kelahiran yang dia inginkan karena hal ini akan mempengaruhi karier dan pekerjaan mereka, sehingga menyebabkan

(14)

mereka memberi perhatian lebih terhadap pemakaian alat/cara KB tertentu yang selanjutnya dapat memperkecil kemungkinan kejadian Unmet Need KB.

5) Indeks Kesejahteraan Hidup (Penghasilan)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahmadi dan Iranmahboob di Iran tahun 2005 terlihat bahwa variabel kesejahteraan keluarga responden berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan mengalami kejadian Unmet Need KB. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prihastuti dan Djutaharta di Indonesia tahun 2004 juga diperoleh kesimpulan bahwa responden yang berada ditingkat kesejahteraan menengah hingga teratas memiliki kemungkinan lebih kecil mengalami kejadian Unmet Need KB dibandingkan mereka yang hidup pada tingkat menengah kebawah dan terbawah (Isa, 2009).

Menurut Notoatmodjo (2007) yang mengutip pendapat Andersen, menyatakan bahwa penghasilan memiliki pengaruh terhadap keikutsertaan seseorang dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Penghasilan sesorang tidak dapat diukur sepenuhnya dari pekerjaannya. Bila dihubungkan dengan tingkat keikutsertaan pada program KB, orang pada tingkat penghasilan tinggi akan lebih mudah menerima dan mengikuti program ini. Sebaliknya orang dengan penghasilan rendah akan sangat sulit ikut dalam program KB. Hal ini

(15)

dikarenakan pada program KB, akseptor menanggung sendiri biaya yang dikenakan bila dia menggunakan salah satu alat kontras.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prihastuti dan Djutaharta di Indonesia tahun 2004 juga diperoleh kesimpulan bahwa responden yang berada ditingkat kesejahteraan menengah hingga teratas memiliki kemungkinan lebih kecil mengalami kejadian Unmet Need KB dibandingkan mereka yang hidup pada tingkat menengah kebawah dan terbawah.

Klizjing (2008) juga menyatakan bahwa kejadian Unmet Need KB berhubungan dengan faktor ekonomi karena di Negara-Negara yang mengalami transisi dan pergolakan ekonomi, seperti Latvia, Lithuania dan Bulgaria, terjadi peningkatan kejadian Unmet Need KB, sehingga tingkat Unmet Need KB yang terjadi di Negara tersebut lebih tinggi dibandingkan Negara-Negara Eropa lainnya yang tidak mengalami pergolakan ekonomi. Variabel yang sejenis dan lebih sering digunakan untuk melihat hubungannya dengan kejadian Unmet Need KB adalah variabel pendapatan atau penghasilan yang memiliki fungsi sama, yaitu untuk melihat kesejahteraan dan daya beli yang dimiliki oleh responden. Ketika pendapatan seseorang naik, maka daya belinya juga akan naik dan kesejahteraannya secara otomatis juga akan naik.

(16)

Hamid (2012) menemukan bahwa pendapatan akan berbanding terbalik dengan peluang status Unmet Need KB. Dalam sebuah rumah tangga, pendapatan yang mereka miliki akan diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan yang paling primer yaitu makanan, sehingga pendapatan yang mereka miliki tidak terlalu besar, rumah tangga akan menjadi kebutuhan sekunder dan tersier, terutama barang bukan makanan, sebagai prioritas terakhir. Termasuk di dalamnya adalah kebutuhan terhadap alat KB yang membutuhkan biaya atau ongkos untuk memperolehnya, juga tidak akan dijadikan prioritas yang penting dalam pola konsumsi yang dijalankannya. Sehingga bagi rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan, pendapatan, dan daya beli yang rendah akan lebih mungkin bagi mereka mengalami kejadian Unmet Need KB karena mereka hanya akan menjadikan kebutuhan mereka terhadap alat Kontrasepsi sebagai prioritas kesekian untuk dipenuhi dengan keterbatasan anggaran konsumsi yang dimiliki (Isa, 2009).

Menurut Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Banyumas tahun 2011, kabupaten banyumas menetapkan upah minimum regional sebesar Rp 1.350.000,00, jika kurang dari Rp 1.350.000,00 maka dianggap berpenghasilan rendah, antara Rp 1.350.000,00 dianggap berpenghasilan menengah dan lebih dari Rp 1.350.000,00 dianggap berpenghasilan atas

(17)

6) Dukungan suami

Pada masa sekarang seorang wanita berkarier sudah merupakan suatu hal yang biasa, sesuai dengan tuntutan jaman. Wanita berkarier tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga untuk aktualisasi diri. Seorang wanita ingin lebih maju, sehingga ruang geraknya tidak lagi terbatas pada urusan rumah tangga, tetapi mulai masuk kewilayah yang lebih luas (Isa, 2009).

Persetujuan suami merupakan salah satu variabel sosial budaya yang sangat berpengaruh terhadap pemakaian alat kontrasepsi bagi kaum wanita sebagai istri secara khusus, dan di dalam keluarga secara umum. Budaya patrilineal yang menjadikan pria sebagai kepala keluarga yang masih banyak dianut sebagian besar pola keluarga di dunia menjadikan preferensi suami terhadap fertilitas dan pandangan serta pengetahuannya terhadap program KB akan sangat berpengaruh terhadap keputusan di dalam keluarga untuk menggunakan alat atau cara KB tertentu (Isa, 2009).

Dalam beberapa penelitian, variabel penolakan atau persetujuan dari suami terbukti berpengaruh terhadap kejadian unmet need dalam rumah tangga. Kejadian unmet need seringkali terjadi ketika suami tidak setuju terhadap penggunaan alat atau cara KB tertentu yang diakibatkan adanya perbedaan preferensi fertilitas, kurangnya pemahaman terhadap alat/cara KB, takut akan efek samping, masalah

(18)

sosial budaya, dan berbagai faktor lainnya. Kaushik (1999) dalam penelitiannya di India menunjukkan bahwa penerimaan suami terhadap KB berpengaruh signifikan terhadap kejadian unmet need, begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Litbang BKKBN di Indonesia pada tahun 2004. Casterline dan koleganya pada penelitian yang dilakukan di Filipina juga menemukan kesimpulan yang sama mengenai hubungan antara penerimaan suami terhadap KB dan kejadian unmet need (Isa, 2009).

Menurut Gottlieb (1983) dalam Handayani (2009) bahwa dukungan sosial adalah informasi verbal dan non verbal, saran bantuan yang nyata yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek atau berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dukungan sosial dapat berasal dari keluarga, teman dan atasan. Menurut Kuntjoro (2002) dalam Handayani (2009) bahwa bentuk-bentuk dukungan sosial adalah informasi verbal dan non verbal, saran yang dapat terlibat dalam suatu kelompok yang memungkinkannya untuk berbagai minat, perhatian, suami menghargai atas kemampuan dan keahlian istri, suami dapat diandalkan ketika istri membutuhkan bantuan, dan suami merupakan tempat bergantung untuk menyelesaikan masalah istri. Dengan adanya dukungan suami, tugas yang tadinya terasa berat menjadi lebih ringan

(19)

dan membahagiakan, sebaliknya juga suami istri dalam sebuah perkawinan tidak mampu menjalin kerjasama, maka hal ini akan menyebabkan kesulitan dalam mengatasi permasalahan hidup lebih kompleks dikemudian hari (Handayani, 2009).

7) Jumlah Anak

Jumlah anak adalah jumlah anak yang dimiliki oleh pasangan usia subur (PUS), dengan tidak memperhitungkan berapa kali wanita tersebut melahirkan anak. Jumlah anak sangat berpengaruh terhadap kejadian Unmet Need KB (Boer, 2005).

Deklarasi Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan deklarasi teheran, mencantumkan dua hal pokok yang berkaitan dengan hak reproduksi (Boer, 2005) :

a) Hak menentukan jumlah dan jarak anak.

b) Hak mendapatkan pendidikan dasar dan informasi mengenai hal tersebut.

Selanjutnya dalam Undang-Undang No.10 tahun 1992 dicantumkan tentang pengembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, juga menjamin hak dalam kedudukan yang sederajat setiappasangan untuk mengatur jumlah dan jarak kelahiran mereka. Keputusan tentang jumlah anak adalah hak orang tua, tetapi harus diimbangi dengan kesanggupan untuk memenuhi kewajibannya. Dua orang anak adalah jumlah anak yang ideal bagi keluarga

(20)

berencana. Namun masih banyak keluarga yang menganggap bahwa anak merupakan investasi yang sangat berharga. Semakin banyak anak, semakin banyak pula rezeki. Mereka cenderung memilih banyak anak. Dari segi ekonomi anak berguna bagi keluarga sebagai tenaga yang dapat diperbantukan untuk menambah penghasilan orang tua. Dalam kebijakan pembanguan keluarga kecil bahagia sejahtera, dianjurkan kepada pasangan usia subur yang telah mempunyai anak kurang dari dua orang, untuk mengikuti cara-cara pencegahan kehamilan dengan mengikuti program Keluarga Berencana yaitu maksud menjarangkan kehamilannya. Sedangkan yang telah mempunyai jumlah anak lebih dari dua, dianjurkan untuk mengakhiri kehamilannya dengan metode yang efektif dengan efek samping yang ringan (Boer 2005).

Syam (2008) dalam penelitiannya di Bukit Tinggi Sumatera Barat, menemukan adanya hubungan antara jumlah anak hidup dengan kejadian Unmet Need KB dan begitu juga Klizjing (2008) yang menemukan adanya hubungan yang sama. Penelitian yang dilakukan oleh Westoff dan Bankole (2006), dan Prihastuti da Djutaharta (2004) terhadap data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia di Indonesia juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah anak hidup dengan kejadian Unmet Need KB. Hubungan antara Unmet Need KB dan jumlah anak hidup sangat dipengaruhi oleh preferensi fertilitas dari pasangan. Dengan demikian,

(21)

disini perlu dilihat dua kemungkinan situasi yang dapat mengakibatkan terjadinya Unmet Need KB yaitu apakah kebutuhan Keluarga Berencana untuk menjarangkan kelahiran ataukah kebutuhan Keluarga Berencan untuk membatasi kelahiran (tidak menginginkan anak lagi). Kedua kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh pertimbangan antara jumlah anak yang sudah dimiliki dengan preferensi fertilitas yang diinginkan oleh pasangan tersebut. Semakin besar jumlah anak masih hidup yang sudah dimiliki, maka akan semakin besar kemungkinan preferensi fertilitas yang diinginkan sudah terpenuhi, sehingga semakin besar peluang munculnya keinginan untuk menjarangkan kelahiran atau membatasi kelahiran dan begitu pula peluang terjadinya Unmet Need KB bagi wanita tersebut

8) Dukungan Keluarga

Keluarga adalah unit/satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini dalam hubungannya dengan perkembangan individu, sering dikenal dengan sebuatn primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja. Banyak hal mengenai kepribadian yang diaunut dari keluarga yang pada saat-saat ini sering dilupakan orang. Keluarga sudah

(22)

seringkali kehilangan peranannya. Oleh karena itu adalah kebijaksanaan kalau dilihat dan dikembalikan peranan keluarga dan proporsi yang sebenarnya dengan skala prioritas yang pas (Isa, 2009). 9) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Lebih jauh, mengemukakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang over behavior (Notoatmodjo, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian Hamid (2012) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan terjadinya unmet need KB. Ditemukan responden dengan pengetahuan kurang, berpeluang 4,33 kali menjadi unmet need KB di banding responden yang berpengetahuan baik

10)Sikap

Sikap (attitude), merupakan suatu reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007). Sikap adalah suatu predisposisi umum untuk beberapa atau bertindak secara positif atau negatif terhadap suatu objek atau orang disertai emosi positif atau negatif (Maramis, 2006).

(23)

Menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Newcomb, menyatakan sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu, sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah merupakan predisposisi tindakan suatu prilaku. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang ada dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Menurut Alport (1954) dalam Notoatmodjo (2007), sikap itu mempunyai tiga komponen pokok yaitu : kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek dan kecendrungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude).

(24)

B. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Hartanto (2008), Prihastuti (2004), Isa (2009), Handayani (2009), Hamid (2012) Umur Kejadian Unmet Need Pendidikan Riwayat KB Pekerjaan Jumlah Anak Pengetahuan Penghasilan Dukungan Suami Sikap Dukungan Keluarga

Faktor-faktor yang mempengaruhi :

Keluarga Berencana

(25)

C.Kerangka Konsep

Kerangka konsep/kerangka berfikir merupakan dasar pemikiran pada penelitian yang dirumuskan dari fakta-fakta, observasi dan tinjauan pustaka atau uraian dalam kerangka konsep menjelaskan hubungan dan keterkaitan antar variabel peneliti (Saryono, 2010).

Variabel Independent Variabel Dependent

Keterangan :

: variabel yang diteliti : arah penelitian

Gambar 2.2 Kerangka Konsep D.Hipotesis

Hipotesis dalam suatu penelitian berarti jawaban sementara penelitian, patokan duga, atau dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut. Setelah melalui pembuktian, maka hipotesis dapat benar atau salah, bisa diterima bisa ditolak (Notoatmodjo, 2010). Adapun hipotesa dalam penelitian ini adalah ada hubungan faktor umur, pendidikan, riwayat KB, pekerjaan, penghasilan, dukungan suami dengan kejadian unmet need Faktor-faktor yang mempengaruhi Unmet Need:

a. Umur b. Pendidikan c. Riwayat KB d. Pekerjaan e. Penghasilan f. Dukungan Suami Kejadian Unmet Need

(26)

pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Wilayah Kerja Puskesmas Sokaraja II Tahun 2016.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat ini kebutuhan masyarakat akan informasi sangat meningkat, untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan sarana – sarana yang memadai dalam rangka pengiriman

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penghitungan, Penganggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Tertib

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui Perbandingan Pendapatan Petani Padi Sistem Senam Dupa Dengan Petani Padi Sistem

Sistem evaluasi ditekankan pada proses pembelajaran sehingga setiap tahapan proses mahasiswa akan dinilai baikoleh dosen maupunasistende ngan aturan penilaian dan

Sifat penata yang senang menyendiri, tidak percaya diri dan suka memendam perasaan merupakaan watak yang terdapat pada watak melankolis yang sempurna dan

Dengan tujuan utamanya, yakni untuk memperjelas sistem Khilafah yang diusung oleh kelompok ISIS dengan berbagai macam gerakan dan kekerasan yang dilakukan di berbagai

Metode ini memanfaatkan arus listrik bervoltase kecil yang dihubungkan ke benda yang akan dites, dengan memindahkan secara elektrolisis sejumlah kecil sampel ke kertas

(1) Laporan Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) disampaikan kepada atasan masing-masing secara berjenjang dan sesuai dengan format dan jadwal yang telah