KONDISI UMUM LOKASI
Letak dan Luas
Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng secara administratif berada di Kabupaten Manggarai Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis berada pada koordinat antara 8°30’ - 8°42’ LS dan 120°15’ - 120°50’ BT. Memiliki luas 32.245,6 hektar atau 0,45% dari luas Kabupaten Manggarai yang luasnya 7.136,40 km2, membujur dari arah timur ke barat yang berjarak sekitar 15 km dari pantai selatan dan 35 km dari pantai utara.
Gambar 1 Peta Wilayah Taman Wisata Alam Ruteng.
Topografi
Kawasan TWA Ruteng merupakan daerah jajaran pegunungan yang dikenal sebagai pegunungan Ruteng. Terdiri dari tujuh puncak gunung, yaitu: Ranamese dengan ketinggian 1.790 m dpl, Poco Nembu 2.030 m dpl, Poco Mandosawu 2.350 m dpl, Poco Ranaka 2.140 m dpl, Poco Leda 1.990 m dpl, Ponte Nao 1.920
m dpl, Golocurunumbeng 1.800 m dpl. Sebagian besar kawasan TWA Ruteng merupakan daerah dengan ketinggian di atas 1.000 m dpl dengan keadaan
topografi bergelombang, terjal dan tidak rata, dan me miliki kecuraman lebih dari 40% (LIPI 1994).
U Laut Flores Selat Sumba TN Komodo TW A Ruten g PULAU FLORES 120 120 121 121 -9 -9 -8 -8
Iklim
TWA Ruteng dan sekitarnya termasuk dalam tipe iklim B atau tergolong dalam iklim basah menurut klasifikasi schmit dan ferguson. Curah hujan rata-rata 3.339,8 mm/tahun dengan hari hujan sebanyak 174. Bulan kering selama 3 bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm/bulan dan bulan basah selama 9 bulan dengan curah hujan diatas 100 mm/bulan. Bulan-bulan basah yaitu bulan September sampai dengan Mei dan bulan kering dari Juni sampai dengan Agustus. Suhu rata-rata minimum 18,4°C pada bulan Juli dan tertinggi 20,9°C pada bulan Desember. Data mengenai curah hujan, hari hujan dan suhu harian di wilayah Ruteng dan sekitarnya selengkapnya seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Rata-rata curah hujan, hari hujan dan suhu harian di wilayah Ruteng dan sekitarnya mulai tahun 1994 sampai dengan Maret 2007
Bulan Curah Hujan
(mm) Hari Hujan (hari/bulan) Suhu Harian (°C) Januari 460,6 21 20,3 Februari 460,6 21 20 Maret 450,8 21 20,1 April 394,5 20 20,2 Mei 132,8 10 19,6 Juni 78,8 6 19,1 Juli 46,8 4 18,4 Agustus 59,8 4 18,6 September 101 7 19,8 Oktober 262,9 14 21,2 Nopember 468,7 22 21,2 Desember 422,6 22 20,9 Jumlah Total 3.339,8 174 20
Sumber: BMG Kabupaten Manggarai, 2007
Tanah
Tanah di kawasan TWA Ruteng merupakan tanah vulkanik yang tergolong subur dan dapat diklasifikasikan dalam 4 (empat) golongan, yaitu:
a. Andisol, pembentukannya mudah dijumpai di lereng atau pegunungan dan bukit yang dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik.
b. Entisol, merupakan tanah yang belum memperlihatkan perkembangan sehingga masih terlihat adanya bahan induk pembentukan tanah.
c. Inseptisol, merupakan tanah yang sudah mengalami perkembangan tetapi tidak intensif sehingga tidak terlihat adanya bahan induk pembentukan tanah.
d. Ultisol, merupakan tanah yang sudah mengalami perkembangan lanjut sebagai akibat dari agresivitas klimatik yang intensif sehingga mineral-mineral liat terakumulasi di lapisan bawah.
Jenis-jenis tanah tersebut diatas mempunyai reaksi masam sampai sangat masam (pH 4 – 6,4) dengan kandungan bahan organik yang bervariasi mulai dari rendah sampai tinggi. Dengan karakteristik tanah yang demikian menyebabkan ion-ion basa (Na, K, Ca, dan Mg) dalam tanah umumnya rendah. Kondisi yang sama dijumpai pada unsur hara utama (N, P dan K) yang berguna bagi pertumbuhan tanaman. Secara fisik tanah tersebut umumnya mempunyai kelas butir dari sedang sampai halus (tekstur lempung – liat) di lapisan atas dan agak halus di permukaan bawah (tekstur lempung halus – liat) (LIPI 1994).
Potensi Flora dan Fauna
Koleksi tumbuhan di wilayah pegunungan Ruteng telah dilakukan selama periode 25 tahun sejak tahun 1967-1992 oleh Verheijen. Semua spesimen dikoleksi dan disimpan di Museum Leiden Belanda. Sebanyak 252 spesies tumbuh-tumbuhan berbunga dan tidak berbunga ditemukan yang meliputi 94 famili dan 119 genera. Tanaman yang umum dijumpai adalah dari famili Euphorbiaceae dan Lauraceae (Verheijen 1982).
Tipe habitat utama hutan yang ada adalah hutan campuran sub tropis dengan ketinggian antara 500 – 2.350 m dpl. Tipe hutan tersebut dapat dibedakan ke dalam empat kelompok utama, yang pertama adalah hutan sekunder ditumbuhi oleh tanaman reboisasi yaitu Eucalyptus urophylla dan Calliandra calothyrsus. Kedua adalah hutan alam dataran rendah di wilayah selatan TWA Ruteng yang secara umum didominasi oleh Artocarpus. Ketiga adalah hutan alam sub pegunungan merupakan sebagian besar wilayah TWA Ruteng yang dapat ditemui pada ketinggian 900 sampai dengan1.800 m dpl. Vegetasi primer pada hutan ini didominasi oleh Syzygium, Prunus dan Elaeocarpus. Dan yang terakhir adalah
hutan alam pegunungan yang berada pada ketinggian 1.900 sampai 2.100 m dpl yang didominasi oleh spesies Podocarpus imbricatus dan Prunus arborea.
TWA Ruteng memiliki 65 spesies burung yang dapat dikelomp okkan ke dalam 35 famili. Beberapa spesies diantaranya merupakan spesies dilindungi seperti: elang putih (Accipiter novahollandiae), elang bondol (Haliastur indus), elang hitam (Spizaetus cirhatus), elang tikus (Elanus caeruleus), elang menara (Falco molluccensis), raja udang ekor panjang (Tansiptera galatea), kokak (Philemon buceroides) dan burung isap madu (Nectarina jugularis).
Mamalia besar yang dapat ditemui di wilayah ini adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), landak (Hystrix brachyura), babi hutan (Sus sucrofa vitatus), musang (Paradoxurus hermaphroditus). Rusa timor (Cervus timorensis florensis) telah lama punah di TWA Ruteng. Spesies mamalia endemik yang ada di TWA Ruteng adalah tikus besar betu (Papagomys armandvillei) yang merupakan spesies terbesar di dunia, tikus poco ranaka (Rattus hainaldi), dan kelelawar flores (Cynopterus nusatenggara) (Departemen Kehutanan 1995).
Jumlah Penduduk dan Matapencaharian
Kawasan TWA Ruteng berbatasan dengan 57 desa pada 9 kecamatan di Kabupaten Manggarai. Jumlah penduduk keseluruhan adalah sejumlah 133. 175 jiwa yang terdiri dari 66.790 jiwa laki-laki dan 66.485 jiwa perempuan. (BPS Kabupaten Manggarai 2005)
Rata-rata jumlah anggota rumah tangga pada desa-desa sekitar TWA Ruteng adalah 5,326 orang dengan jumlah anggota rumah tangga tertinggi terdapat di Kecamatan Langke Rembong sebanyak 6,473, sedangkan daerah dengan jumlah anggota rumah tangga terendah adalah yang terdapat di Kecamatan Elar sebanyak 5,1. Wilayah kecamatan yang desanya paling banyak berbatasan dengan TWA Ruteng adalah Satarmese dan Borong masing-masing sebanyak 10 desa. Sedangkan yang terendah adalah Sambi Rampas sebanyak 2 Desa. Namun demikian yang jumlah penduduknya terbanyak berada di sekitar kawasan adalah Kecamatan Langke Rembong sebanyak 32.530 jiwa dan yang terendah adalah Wae Ri’i sebanyak 3.911 jiwa. Data selengkapnya seperti disajikan pada Tabel 2 .
Penduduk yang ada sebagian besar (86%) bekerja di sektor pertanian, sekitar 4% di sektor jasa, 2% di sektor industri, 2% perdagangan dan sisanya adalah petambangan (Galian C), komunikasi dan lainnya.
Tabel 2 Jumlah desa, rumah tangga, penduduk dan rata-rata anggota rumah tangga sekitar TWA Ruteng Tahun 2005
Kecamatan
Jumlah Desa Sekitar
TWAR
RT Penduduk Rata - Rata Anggota RT Satarmese 10 3.054 15.798 5,173 Borong 10 4.212 23.585 5,599 Kotakomba 3 1.505 6.232 4,141 Elar 9 2.312 11.792 5,100 Sambi Rampas 2 873 4.751 5,442 Poco Ranaka 12 5.056 27.230 5,386 Langke Rembong 5 5,024 32.530 6,473 Ruteng 3 1,640 8.768 5,346 Wae Ri’i 3 741 3.911 5,278 Jumlah 57 24.417 134.587 5,326
Sumber: BPS Kabupaten Manggarai 2005.
Sarana dan Prasarana
Fasilitas pendidikan yang ada di sekitar TWA Ruteng cukup memadai. Fasilitas untuk pendidikan Sekolah Dasar telah ada di setiap desa sedangkan Sekolah Menengah Pertama ada di setiap kecamatan sejumlah 37 buah yang tersebar di setiap kecamatan. Pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas terdapat di kota Ruteng, dan untuk sekolah tinggi telah tersedia 2 Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan satu Universitas Jurusan Kehutanan dan Pertanian.
Desa-desa sekitar TWA Ruteng sudah dijangkau fasilitas penerangan listrik PLN mulai tahun 1997. Fasilitas ini membawa banyak perubahan pada pola hidup masyarakat seperti: adanya televisi dan parabola, seterika listrik, penanak nasi listrik, lemari es dan peralatan listrik lainnya. Waktu tidur lebih larut dan bangun tidur lebih awal sehingga waktu sepanjang hari menjadi terasa lebih panjang. Aktivitas harian tidak lagi dibatasi oleh terang sinar matahari.
Terdapat 2 buah rumah sakit yaitu rumah sakit umum daerah yang terdapat di Kecamatan Langke Rembong dan rumah sakit swasta di Kecamatan Ruteng.
Puskesmas dan Puskesmas Pembantu tersebar di setiap kecamatan sedangkan Balai Pengobatan/BKIA terdapat di Kecamatan Langke Rembong dan Kecamatan Elar. Keberadaan Puskesmas/Pustu yang tersebar di setiap kecamatan membantu memperbaiki kesehatan masyarakat. Sebagian besar masyarakat, yakni sebesar 56,62% melakukan pengobatan di Puskesmas terdekat. Data mengenai persentase yang berobat pada berbagai fasilitas kesehatan selama Tahun 2004 selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Persentase yang berobat pada berbagai fasilitas kesehatan Tahun 2004
Uraian Laki-laki Perempuan Total
RS Pemerintah 1,27 0,97 1,11
RS Swasta 1,65 0,6 1,14
Praktek Dokter 9,91 7,56 8,65
Puskesmas/Pustu 52,6 60,3 56,65
Poliklinik 9,49 4,8 6,69
Praktek Petugas Kesehatan 14,2 12,52 13,32
Praktek Tradisional 0,28 0,25 0,26
Lainnya 10,6 13 11,88
Sumber: BPS Kabupaten Manggarai (2005).
Sosial Budaya Masyarakat
Asal Usul Orang Manggarai
Menurut Hadiwiyono (1985), suku-suku di Nusa Tenggara Timur merupakan bagian dari suku-suku di Indonesia bagian timur. Bagian ini merupakan suatu daerah peralihan dari Indonesia dan Melanesia dan merupakan percampuran dari bermacam-macam unsur budaya dari daerah-daerah dengan berbagai tingkatan di berbagai daerah. Percampuran ini juga termasuk ras yaitu ras Melanesia dan Weddoid. Sedangkan penduduk pulau Flores secara umum dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok suku yaitu:
a) Flores barat yang terdiri dari suku Manggarai dan Riung
b) Flores barat tengah yang terdiri atas suku Ngada atau Nad’a atau Ngadha. c) Flores timur yaitu penduduk Flores selain Flores Barat dan Flores Barat
Pusat Budaya Manggarai
Rumah Raja Manggarai terletak di kampung Todo yang berjarak 32 kilometer sebelah barat daya Kota Ruteng. Rumah ini merupakan bekas kebesaran Kerajaan Manggarai yang dibangun pada abad 17. Orang Manggarai menyebut bangunan ini dengan Niang Mbowang Todo. Rumah tersebut merupakan simbol peradaban suku Manggarai yang masih bertahan saat ini dan tetap difungsikan sebagai tempat upacara adat untuk meminta bantuan gaib dari para leluhur.
Para keturunan raja pada waktu tertentu bertemu di tempat ini untuk membicarakan masalah yang berkaitan dengan kelahiran, perkawinan, sengketa, pelanggaran, pertengkaran, perceraian, perdamaian, pembagian warisan sampai upacara kematian. Di bawah pimpinan kepala suku yang dituakan semua permasalahan secara damai dibicarakan bersama.
Gambar 2 Rumah Raja Manggarai, bagian depan adalah pintu masuk, bangunan kecil sebelah kiri adalah tempat memasak saat upacara adat, batu bulat berbentuk lingkaran adalah compang, tempat mencurahkan darah binatang korban.
Kepimimpinan Adat
Berdasarkan sosial budaya, masyarakat Manggarai memiliki struktur adat tersendiri. Para ketua adat dalam struktur adat Manggarai mulai dari yang tertinggi adalah:
a. Tu’a gendang, pemimpin atas wilayah kekuasaan satu rumah gendang. b. Tu’a golo (kepala beo) berperan dalam kepemimpinan beo dan juga penentu
c. Tu’a teno berperan dalam pembagian tanah dan penentu penyelesaian permasalahan yang utamanya menyangkut masalah konflik batas tanah. d. Tu’a panga atau wa’u, panga artinya suku jadi tu’a panga berarti kepala suku
dalam satu keturunan. (Departemen Kehutanan 1995)
Pembentukan Wilayah Dan Pengelolaan Lahan
Orang Manggarai telah memiliki struktur pemerintahan tersendiri disamping yang memiliki kemiripan dengan sistem administrasi modern saat ini. Kerajaan Manggarai luasnya adalah sama dengan wilayah Manggarai saat ini (Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat). Kecamatan disebut juga dengan kedaluan. Nama-nama kedaluan ini masih dipakai sebagai nama kecamatan saat ini seperti misalnya Kedaluan Ruteng, Satar mese, Poco Leok, Ci’bal. Sedangkan bagian lebih kecil dari kedaluan yang mirip dengan desa adalah gelaran. Gelaran ini juga merupakan pusat kampung orang Manggarai. Sedangkan wilayah dusun atau kampung yang merupakan bagian dari desa disebut juga dengan beo atau golo.
Pembangunan rumah adat juga melalui prosesi upacara adat. Setelah dilakukan pemilihan pohon yang akan ditebang untuk siri bongkok (tiang induk), dilakukan acara adat dengan membawa satu ekor babi yang dimaksudkan untuk meminang pohon menjadi siri bongkok. Bila terjadi kerusakan rumah adat maka untuk merehabnya juga diadakan acara adat yang dimaksudkan untuk memberitahu leluhur yang dahulunya membangun rumah tersebut. Setelah pembangunan rumah adat dan pembagian lahan diadakan acara syukuran adat yang disebut penti. Acara penti ini diperingati oleh masyarakat Manggarai setiap tahun setiap bulan Juli atau Agustusmenunggu setelah musim panen.
Pembagian lahan garapan tergolong cukup unik, yaitu dengan membentuk jaring laba-laba. Pembagian lahan pertanian dimulai dengan penancapan batang kayu pohon teno (Melochia umbellata) di pusat lingko (lahan garapan). Kemudian lingko dibagi me njadi beberapa bagian oleh tokoh adat yang bertugas membagi tanah yang disebut tu’a teno.
Gambar 3 Sistem pembagian lahan pertanian di Manggarai (lingko) yang menyerupai sarang laba-laba.
Bagian pertama adalah untuk tu’a golo dan tu’a teno yang luasnya diperoleh dari besarnya dua ibu jari tu’a teno di pusat tanah, ditarik garis lurus membentuk segi tiga dari pusat tanah. Bagian ibu jari ini disebut dengan moso rembo. Bagian yang kedua adalah untuk keluarga tu’a panga yang luasnya diperoleh dari besarnya jari telunjuk tu’a teno di pusat tanah, ditarik garis lurus membentuk segi tiga dari pusat tanah. Bagian jari telunjuk ini disebut dengan moso koe. Bagian ketiga adalah bagian kecil-kecil yang diperoleh dari jari tengah yang dimiringkan untuk anak-anak tu’a golo dan tu’a teno. Bagian ini disebut moso iret. Iret artinya membelah karena jari tengah dimiringkan seperti membelah sesuatu. Bagian paling akhir yang juga disebut moso iret adalah jari manis yang dimiringkan yang diperuntukkan bagi keturunan para pendatang.
Satu bagian tanah seperti irisan kue pisa ini disebut dengan lodok. Sehingga besarnya lodok ditentukan oleh garis keturunan. Untuk tanda batas lodok biasanya ditanami nao (Cordyline terminalis).
Mata pencaharian pokok masyarakat sekitar TWA Ruteng adalah bercocok tanam di ladang pada tanah pertanian yang diwariskan oleh leluhur yang dikenal dengan nama lingko yaitu tanah pertanian yang dari waktu ke waktu terpecah ke dalam bagian-bagian yang semakin kecil menjadi hak milik atau untuk dimiliki
keluarga-keluarga baru yang jumlahnya terus bertambah dari waktu ke waktu. Karena itu lingko disebut pula tanah adat milik keluarga.
Dalam bentuk penguasaan yang lebih luas tanah-tanah di Manggarai secara tradisional dikuasai keluarga-keluarga besar di dalam klan/suku. Dalam sistem penguasaan tanah yang semakin luas itu dikenal tanah milik atau lingko milik klan/suku. Lingko adalah tanah pertanian yang sudah diakui hak miliknya secara komunal maupun perorangan yang merupakan bentuk ikatan garis keturunan yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Manggarai hingga saat ini. Tempat tinggal yang sudah lama ditinggalkan dikenal dengan nama bangka (Kampung lama). Kampung ini dtinggalkan karena alasan bencana seperti tanah longsor, wilayah datar yang terlalu sempit atau karena terpencil sehingga sulit berkomunikasi dengan masyarakat luar. Tempat-tempat yang ditinggal pergi ini kemudian menghutan dan menurut masyarakat termasuk dalam kawasan-kawasan lindung dan menjadi sumber konflik antara pengelola TWA Ruteng dan masyarakat adat.
Semakin sempitnya lahan garapan memaksa masyarakat untuk kembali mengerjakan Tobok. Tobok adalah tanah kosong yang kritis dan biasanya terletak di punggung bukit diantara dua sungai kecil yang sempit. Tobok merupakan tanah yang tidak ada pemiliknya, yang tidak terpakai karena tidak subur dan tidak diatur oleh tu’a teno.
Di dalam sistem budaya Manggarai tidak ada istilah hutan. Hanya ada istilah lingko dan di dalam hutan tidak ada lingko. Hutan adalah kawasan yang tidak bertuan yang sejak turun temurun bebas untuk dirambah.
Kepemilikan Tanah Adat
Tanah Adat (ulayat) di wilayah Manggarai dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: lingko rame, lingko bon dan neol. Lingko rame adalah tanah adat yang berbentuk sarang laba-laba yang memiliki tempat pemujaan atau persembahan sesaji pada bagian tengahnya. Lingko Bon bentuknya sama dengan lingko rame hanya tidak memiliki tempat pemujaan dan lingko neol tidak berbentuk sarang laba-laba.
Di dalam hukum tradisional wanita tidak dibenarkan mewarisi tanah lingko. Petak tanah (moso) di dalam lingko rame hanya untuk diwariskan kepada anak lakinya dan jika tidak punya anak laki diberikan kepada kakak laki-laki dan anak laki-laki-laki-laki dari saudara laki-laki-laki-laki.
Di satu beo terdapat satu rumah adat yang disebut rumah gendang. Dinamakan rumah gendang karena di tiang utamanya digantungkan 8 buah gendang sebagai pertanda arah angin yang dibunyikan saat upacara adat atau pengumpulan massa. Pusat tanah (teno) berada di pusat rumah gendang dan pusat lingko yang merupakan simbol persatuan dari suku dan kampung tradisional.
Upacara adat dan Ikatan Perkawinan
Walaupun pengetahuan tentang kepercayaan setempat sudah berkurang, namun keterikatan dengan nenek moyang masih kuat. Dalam kepercayaan setempat nenek moyang dianggap sebagai kekuatan yang membuat subur tanah pertanian. Perkawinan mengikuti aturan adat dan disahkan oleh gereja. Biasanya ada mahar berupa kerbau, kuda dan juga uang tunai.
Pembagian Pekerjaan Dalam Rumah Tangga
Pria mempunyai tugas bekerja di kebun, mengumpulkan kayu bakar, membuat pagar, membangun rumah, memelihara kuda dan kerbau, menjadi buruh bangunan pada proyek pembangunan jalan, membawa hasil pertanian ke pasar atau melakukan transaksi dengan pembeli dan mengump ulkan kayu api dari hutan. Wanita mempunyai tugas memasak, mengurus anak, memberi makan ternak, mengambil air, mencuci pakaian dan bekerja di ladang, dan mencari kayu api dari ladang setiap hari. Anak-anak mempunyai tugas membantu mengambil air, kayu api dan memberi makan ternak.
Sikap dan Penilaian Terhadap Hutan
Secara tradisional kepercayaan adat selaras dengan aturan konservasi. Hutan dianggap sebagai tempat keramat yang juga merupakan sumber
penghidupan. Tanpa hutan tidak akan ada air dan hujan. Sumb er mata air yang terletak di dalam hutan selalu dilindungi oleh sistem adat.
Penebangan pohon di sekitar mata air dilarang. Di desa-desa ada hutan adat atau yang disebut juga dengan pong sebagai tempat penjaga hutan (poti), sehingga tidak boleh dimasuki secara sembarangan. Memasuki pong secara sembarangan berarti bisa terkena bala apalagi menebang pohon khususnya pohon sejenis beringin (Ficus spp). Pong di wilayah Mano (sekitar TWA Ruteng) dan Iteng (hutan lindung Inem Mbele) masih terjaga hingga saat ini.
Sistem Permukiman dan Budidaya
Sistem permukiman sekitar TWA Ruteng seperti layaknya masyarakat tradisional Manggarai adalah berkelompok dan melingkar dan biasanya memilih puncak sebuah bukit sebagai pusat kampungnya. Di pusat kampung ditanam pohon beringin (Ficus benjamina) dan merupakan tempat melaksanakan berbagai prosesi adat yang dilaksanakan di rumah gendang.
Sistem permukiman ini masih ada dan dilakukan bagi tiap-tiap suku keturunan di Manggarai walaupun sebagian besar penduduk tidak berada di wilayah pemukiman ini, hanya para tokoh adat dan sebagian keturunannya. Sebagian besar penduduknya tinggal di rumah-rumah modern yang dibangun di sepanjang jalan dengan kebun di bagian samping atau belakang rumahnya.
Masyarakat umumnya hidup dari hasil kopi dan hasil kebun di belakang rumah. Sebagian dari mereka hidup dengan bertani sawah bertanam padi, tadah hujan dan juga irigasi semi teknis. Cara hidup subsisten masih terlihat dari jenis-jenis tanaman ynag ditanam terutama makanan pokok tidak untuk dijual tetapi hanya cukup untuk kebutuhan makanan keluarga. Sedangkan untuk kebutuhan uang didapatkan dari hasil tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, vanili, kemiri, coklat, jambu mete dan merica (Wawo 1998).
Pengelolaan Taman Wisata Alam Ruteng
Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng pada awalnya berstatus hutan lindung seluas 17.876 hektar dan hutan produksi terbatas seluas 14.388 hektar. Kedua
kelompok hutan tersebut kemudian ditetapkan sebagai satu kawasan hutan Taman Wisata Alam dengan surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 456/Kpts-II/93 tanggal 24 Agustus 1993.
Sejak tahun 1993 kawasan ini dikelola Departemen Kehutanan melalui Proyek Konservasi Alam Terpadu (PKAT) dengan sistem pendekatan Integrated Protected Area Systems (IPAS) yang merupakan salah satu dari dua bagian proyek yaitu: Taman Wisata Alam Ruteng dan Taman Nasional Siberut di Sumatera Barat (Departemen Kehutanan 1995).
Pada tahun 1998 TWA Ruteng ditetapkan menjadi bagian dari pengelolaan Unit Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur II yang berkedudukan di Ruteng Kabupaten Manggarai dan merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kehutanan yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kahutanan dan Perkebunan Nomor: 204/Kpts-II/1998, tanggal 27 Pebruari 1998. Dengan demikian sejak tahun itu TWA Ruteng bukan lagi satu pengelolaan tersendiri tetapi merupakan bagian dari UPT yang juga menangani 15 kawasan seluas 133.203,64 ha. Pada tahun 2002 status UPT ditingkatkan dari Eselon IV menjadi Eselon III menjadi Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur II.
Dan sejak April 2007 status pengelola kawasan berubah kembali dan saat ini merupakan bagian pengelolaan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur yang secara eselon pengelolaan meningkat menjadi Eselon II tetapi sebenarnya menjadi semakin jauh dari pusat pengelolaan yang saat ini berada di Kupang, wilayah ibu kota propinsi yang letaknya di Pulau Timor, berseberangan dengan Pulau Flores wilayah TWA Ruteng berada.