KELIMPAHAN POPULASI DAN JENIS KUMBANG COCCINELLID PADA TANAMAN CABAI BESAR
Sigit Rahmansah, Retno Dyah Puspitarini dan Rina Rachmawati
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawaijaya Jl. Veteran, Malang 65145, Indonesia
ABSTRACT
There are several factors that can decrease the yield production at chili cultivation, such as pest attack. In Dau Malang, East Java, according to information from the farmers, there is an attack of pest coccinellid beetle that causes great damage to chili plants. This research was carried out at chili cultivation which was divided into two ways of cultivation, namely IPM and conventional techniques. The treatments given at IPM field were application of bio-fertilizer, bio-pesticide and utilization of microba decomposer, whereas at conventional field were chemical fertilizer and chemical pesticide. The cultivation techniques carried out at IPM field and conventional field was generally the same, the difference were in the application of fertilizer, pestice, distance cropping, cleansing weeds and utilization of microba decomposer. Observations made in the research include leaf damage intensity, the amount of coccinellid beetle type and population. From the result of this research, there were two types of coccinellid beetle found in the field, identified as Menochilus sexmachulatus and Epilachna sumbana. The larva population of M. sexmaculatus at IPM and conventional treatment were 188 insects and 213 insects respectively. The population of M. sexmachulatus adult on IPM and conventional treatment were 241 insects and 216 insects respectively. The adult population of E. sumbana at conventional treatment was higher than that of IPM treatment, 290 insects at conventional and 228 insects at IPM. The damage intensity in IPM and conventional field were 8,2 % and 9,2 % respectively. At IPM and conventional field, population of larva and adult of M. sexmaculatus were not significantly different. The population of E. sumbana adult was significantly higher in conventional field than that of IPM field. At IPM and conventional field the damage intensity were not significantly different.
Keywords: Menochilus sexmaculatus, Epilachna sumbana, integrated pest management ABSTRAK
Pada budidaya tanaman cabai besar terdapat beberapa faktor yang dapat menurunkan hasil produksi, salah satunya adalah serangan hama. Di daerah Dau Kabupaten Malang, Jawa Timur, serangan kumbang coccinellid menyebabkan kerusakan pada tanaman cabai besar. Sebagai upaya pengendalian hama dilakukan pengendalian hama terpadu (PHT). Penelitian ini dilaksanakan pada lahan budidaya cabai besar dengan dua cara budidaya, yaitu PHT dan konvensional. Pada lahan PHT digunakan pupuk kandang, pestisida nabati dan pemanfaatan mikroba dekomposer, sedangkan lahan konvensional digunakan pupuk dan pestisida kimia. Cara budidaya yang dilakukan pada lahan PHT dan konvensional secara umum sama, perbedaan terletak pada penggunaan pupuk, pestisida, jarak tanam, pembersihan gulma dan pemanfaatan mikroba dekomposer. Pengamatan yang dilakukan adalah intensitas kerusakan daun, jumlah populasi dan jenis kumbang coccinellid. Dari hasil penelitian ditemukan dua jenis kumbang coccinellid yaitu predator Menochilus sexmaculatus dan
83
hama Epilachna sumbana. Pada perlakuan PHT dan konvensional populasi larva predator M. sexmaculatus masing-masing adalah 188 ekor dan 213 ekor, populasi imago predator M. sexmaculatus masing-masing adalah 241 ekor dan 216 ekor. Populasi imago hama E. sumbana pada perlakuan konvensional lebih tinggi (290 ekor) secara nyata dibandingkan dengan lahan PHT (228 ekor). Intensitas kerusakan pada lahan PHT sebesar 8,2% dan konvensional 9,2%. Pada lahan PHT dan konvensional populasi larva dan imago predator M. sexmaculatus adalah sama. Populasi imago hama E. sumbana lebih tinggi secara nyata pada lahan konvensional dari pada lahan PHT. Pada lahan PHT dan konvensional intensitas kerusakan daun akibat serangan hama E. sumbana adalah sama.
Kata kunci: Menochilus sexmaculatus, Epilachna sumbana, pengendalian hama terpadu
PENDAHULUAN
Tanaman cabai merupakan salah satu komoditas sayuran buah yang tidak dapat ditinggalkan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Cabai dapat
dimanfaatkan untuk banyak keperluan, baik yang berhubungan dengan kegiatan memasak maupun untuk keperluan yang lain seperti untuk bahan ramuan obat tradisional. Cabai dapat bermanfaat untuk membantu kerja pencernaan dalam tubuh manusia. Berdasarkan asal usulnya, cabai berasal dari negara Peru, Amerika (Setiadi, 1986).
Kebutuhan cabai nasional terhitung
pada bulan September 2011 yaitu
mencapai 808.237 ton/tahun dengan luas lahan 183.347 ha. Dari jumlah tersebut,
65% kebutuhan cabai nasional
didistribusikan untuk pulau Jawa. Dengan produktivitas 4,28 ton/ha maka masih dibutuhkan 32.511,84 ton/tahunnya untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi
masyarakat Indonesia (Anonymous,
2012). Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang salah satunya disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT). Di daerah Dau Kabupaten Malang, Jawa Timur, menurut informasi dari petani terdapat serangan kumbang coccinellid hama yang menyebabkan kerusakan tanaman cabai besar yang dibudidayakan pada lahan konvensional. Daun menjadi berlubang akibat adanya
bekas gigitan. Disekitar bagian daun yang berlubang terdapat warna coklat seperti hawar daun, hal ini disebabakan karena rusaknya jaringan tanaman. Bila serangan parah dapat merusak semua jaringan daun hingga menyisakan tulang daun (Sakri,
2012). Kerusakan tersebut dapat
menghambat pertumbuhan tanaman cabai
besar sehingga menurunkan hasil
produksi. Melihat kerusakan yang terjadi pada tanaman cabai besar akibat serangan kumbang coccinellid hama. Selain sebagai hama, ada beberapa jenis kumbang predator, salah satunya adalah kumbang coccinellid M. sexmaculatus. Serangga ini dikenal sebagai sahabat
petani karena beberapa anggotanya
memangsa serangga-serangga hama
seperti kutu daun (Anonymous, 2012). Di Desa Dau, Kabupaten Malang, cara budidaya cabai besar dilakukan
secara konvensional. Budidaya tanaman
secara konvensional mengutamakan penggunaan pestisida kimia. Cara
budidaya tersebut menurut petani
merupakan langkah yang tepat untuk mengendalikan OPT. Pada kenyataannya praktik budidaya tersebut menimbulkan ketahanan hama dan mengakibatkan terus berkurangnya populasi musuh alami, sehingga masalah tentang OPT yang dihadapi petani belum terselesaikan. Penerapan PHT pada lahan cabai besar bertujuan untuk mengurangi penggunaan
pestisida kimia yang mempunyai dampak buruk bagi lingkungan.
Penerapan PHT perlu dilakukan pada budidaya tanaman cabai besar akibat adanya dampak negatif yang ditimbulkan oleh pestisida kimia. Informasi tentang penerapan PHT untuk menekan populasi
kumbang coccinellid hama dan
pemanfaatan kumbang coccinellid predator masih sedikit, maka penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh PHT terhadap populasi kumbang coccinellid hama dan predator. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam penerapan PHT untuk mengendalikan hama dan memanfaatkan musuh alami yang ada sebagai upaya pengendalian yang ramah lingkungan pada tanaman cabai besar.
METODE
Bahan tanaman yang digunakan adalah benih cabai varietas Profit, benih jagung varietas Pertiwi, alkohol, tisyu, mulsa, kompos, pupuk kandang, tanah jenis Inceptisol yang mempunyai struktur berpasir, serta menggunakan mikroba
dekomposer (Midec) yang dikembangkan
oleh Jurusan HPT FP UB, yang merupakan campuran dari jamur Tricoderma sp., Aspergillus nigervan Tieghem (Ascomycota: Eurotiales), Saccharomyces sp (Saccharomycetaceae:
Saccharomycetaceae), dan bakteri P. flourescent, B. subtilis., pestisida kimia
dengan bahan aktif profenofos 500 g, pestisida nabati yang terbuat dari ekstrak
daun mimba dan pupuk kimia NPK
15:15:15, pupuk KNO3, pupuk kandang dari kotoran ayam.
Tabel 1.Perlakuan budidaya tanaman cabai besar
PraktikBudidaya PHT Konvensional
Perlakuan benih Direndam di dalam air yang dicampur dengan Midec selama 8 jam
Tidak diperlakukan Media
tanam persemaian
Kompos dan tanah jenis Inceptisol dengan perbandingan 2 : 1
Kompos dan tanah jenis Inceptisol dengan perbandingan 2 : 1
Bibit F1 varietas Profit F1 varietas Profit
Penyiraman persemaian bibit
Ditambahkan Midec dengan konsentrasi 10 ml/l air tiap tujuh hari pada saat penyiraman
Air
Pengolahan tanah Lahan dicangkul agar gembur, rumput dan batu dihilangkan dan dibuat gulud ukuran 1 m x 5 m dengan tinggi 30 cm, lebar parit 30 cm dan ditambahkan pupuk kandang
Lahan dicangkul agar gembur,
rumput dan batu dihilangkan dan dibuat gulud ukuran 1 m x 5 m dengan tinggi 30 cm, lebar parit 30 cm dan ditambahkan pupuk kandang
Mulsa Plastik hitam perak Plastik hitam perak
Jarak tanam 60 cm x 60 cm 50 cm x 50 cm
Penyulaman Dilakukan 5-30 hari setelah tanam Dilakukan 5-30 hari setelah tanam
Pengairan Disiram dua kali sehari dan
penggenangan dilakukan jika tanah dalam keadaan kering
Disiram dua kali sehari dan
penggenangan dilakukan jikatanah dalam keadaan kering
Pemupukan fase generative Pembersihan gulma
KNO3 dengan konsentrasi 5 g/l air dan Midec dengan konsentrasi 10 ml/l air tiap tujuh hari
Dilakukan secara manual tiap tiga hari
KNO3 dengan konsentrasi 15 g/l air tiap tiga hari
Disemprot menggunakan herbisida sebelum penanaman
Aplikasi pestisida Pestisida nabati dengan konsentrasi 10 ml/l air tiap tujuh hari
Pestisida kimia dengan konsentrasi 2 ml/l air tiap tiga hari
Budidaya tanaman cabai besar
Penelitian ini dilaksanakan di lahan
dengan luas lahan 200 m2. Budidaya
tanaman cabai besar dibedakan menjadi
dua cara budidaya, yaitu PHT
dankonvensional. Tahapan budidaya
tanaman cabai meliputi pratanam, penanaman, dan pemeliharaan tanaman (Tabel 1).
Pengamatan populasi dan jenis kumbang coccinellid
Pengamatan tingkat populasi dan jenis kumbang coccinellid pada tanaman cabai besar adalah pengamatan tetap. Pengamatan tetap merupakan pengamatan yang bertujuan untuk mengetahui perubahan populasi dan jenis kumbang coccinellid pada tanaman contoh tetap (Gambar 1). Populasi kumbang coccinellid yang diamati adalah fase larva
dan imago. Pengamatan dilakukan
sebanyak delapan kali tiap tujuh hari. Pada lahan PHT dan konvensional terdapat 12 gulud. Masing-masing lahan budidaya ditetapkan enam gulud contoh,
yaitu gulud yang terletak pada urutan ke-2, 4, 6, 8, 10, dan 12. Tiap gulud contoh ditetapkan dua kelompok tanaman contoh yaitu tanaman cabai yang terletak pada urutan ke-3 dan 8. Jumlah seluruh tanaman contoh pada lahan PHT dan konvensional adalah 48 tanaman. Dari setiap tanaman contoh diamati empat daun contoh secara acak, sehingga jumlah daun contoh adalah 192 daun.
Pengamatan untuk mengetahui jenis kumbang coccinellid juga dilakukan, yaitu dengan mengambil salah satu daun contoh
yang terdapat populasi kumbang
coccinellid dengan menggunakan gunting, kemudian dimasukkan dalam kantung plastik. Kumbang coccinellid yang ada
pada daun contoh diambil dengan
menggunakan kuas di bawah mikroskop yang selanjutnya diletakkan pada cawan petri. Tanaman contoh yang sudah
ditentukan juga digunakan untuk
mengamati intensitas kerusakan daun. Kerusakan pada daun contoh diamati satu
persatu untuk menentukan tingkat
kerusakannya. Penentuan tingkat
kerusakan pada daun contoh ditentukan dengan nilai sebagai berikut.
Tabel 2.Nilai Tingkat Kerusakan
Nilai Tingkat Kerusakan
0 Tidak ada serangan pada daun
1 Terdapat 1 - 25% kerusakan 2 Terdapat 26 - 50% kerusakan 3 Terdapat 51 - 75% kerusakan 4 Terdapat 76 - 100% kerusakan Tanaman cabai Guludan Gulud ke-1 ke-2 ke-3 ke-4
Tanaman contoh
b. 0,3 mm
Gambar 2. a: Imago predator M. sexmaculatus ; b: Antena predator M. sexmaculatus
a. 2, 4 mm
Intensitas kerusakan daun dihitung dengan menggunakan persamaan yang sebagai berikut.
yang P adalah intensitas kerusakan (%), n adalah jumlah daun yang mempunyai nilai yang sama, V adalah nilai dari tiap tingkat kerusakan, N adalah jumlah tanaman yang diamati, dan Z adalah nilai skala tingkat kerusakan (Abadi, 2003).
Data populasi kumbang coccinellid dan intensitas kerusakan tanaman cabai besar pada lahan PHT dan konvensional dianalisis dengan menggunakan program Microsoft Office Exel 2007 uji t.
HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis kumbang coccinellid
Jumlah jenis kumbang coccinellid yang ditemukan pada lahan PHT dan konvensional sama, yaitu terdapat dua
jenis kubang coccinellid. Kumbang
coccinellid yang ditemukan berbentuk oval mendekati bulat dengan ukuran tubuh sekitar 2,4 mm. Elitra (sayap depan) berwarna oranye dengan bintik berwarna hitam yang mirip huruf M dan mengkilat, dengan kepala berwarna hitam (Gambar 2a). Antena tergolong pendek yang terdiri dari 11 ruas dan agak membesar bagian ujungnya (Gambar 2b).
Kumbang coccinellid yang
ditemukan merupakan predator M.
sexmaculatus. Hasil pengamatan terhadap morfologi kumbang coccinellid sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Slipinski et al. (2007) yaitu panjang tubuh berkisar 3-6,5 mm berbentuk oval, elitra mengkilat berwarna oranye, merah menyala, atau kuning. Pada elitra terdapat enam bintik berwarna hitam, yaitu dua garis berbentuk zig-zag dan satu bintik bulat pada satu sisi elitra. Kepala berwarna hitam. Antena terdiri dari 11 ruas dengan tipe clavate.
Pada lahan penelitian selain
ditemukan imago juga terdapat larva kumbang coccinellid. Panjang tubuh larva sekitar 2,9 mm. Larva berbentuk lonjong, pipih, berwarna hitam kecoklatan dengan sedikit warna oranye pada bagian dorsal (Gambar 3). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Slipinski et al. (2007), larva tersebut merupakan larva dari predator M. sexmaculatus, yaitu berwarna abu-abu kehitaman dengan bintik warna oranye, panjang larva sekitar 2,5-5,7 mm.
Kumbang coccinellid dengan ukuran tubuhnya sekitar 2,8 mm ditemukan pada
lahan penelitian. Kumbang tersebut
mempunyai bintik berbentuk bulat-bulat kecil berwarna hitam yang berjumlah 22
buah dan elitra berwarna oranye
kehitaman serta berbulu (Gambar 4a). Pada bagian kepala terdapat antena yang terdiri dari 11 ruas dan agak membesar bagian ujungnya serta terdapat bulu halus (Gambar 4b). Hasil pengamatan morfologi kumbang coccinellid merupakan hama E. sumbana, hal tersebut sesuai dengan hasil
x 100 % P =
N x Z ∑n x V
penelitian yang dilakukan oleh Slipinski et al. (2007), yaitu tubuh berbentuk oval mendekati bulat dan cembung dengan ukuran 3-6 mm. Elitra berwarna kuning kehitaman serta berbulu dan terdapat bintik berbentuk bulat kecil berwarna hitam dengan jumlah 11 buah pada satu sisi elitra. Antena terdiri dari 11 ruas dan tiga ruas terakhir berukuran lebih besar dengan tipe clavate.
Populasi Kumbang Coccinellid
Larva dan Imago Predator M. sexmaculatus
Berdasarkan analisis uji t, bahwa perlakuan PHT dan konvensional tidak
berpengaruh secara nyata terhadap
populasi larva dan imago predator M.
sexmaculatus (Tabel 3).
Populasi larva dan imago predator M. sexmaculatus pada lahan PHT dan konvensional termasuk rendah (Tabel 3). Populasi yang rendah dikarenakan pada lahan penelitian dipasang mulsa plastik dan dilakukan pembersihan gulma secara teratur, sehingga gulma tidak dapat tumbuh. Tidak adanya gulma sebagai tempat bernaung untuk predator M. sexmaculatus mengakibatkan populasinya rendah. Selain untuk tempat bernaung, gulma menyediakan nektar dan tepung sari sebagai pakan alternatif predator M. sexmaculatus. Menurut Cobb (1992), gulma mempunyai beberapa manfaat
Tabel 3. Rata-rata populasi larva dan imago predator M. sexmaculatus pada lahan cabai besar
Perlakuan Larva (ekor)/ 100 daun Imago (ekor)/ 100 daun
PHT 188 241
Konvensional 213 216
Gambar 3. Larva predator M. sexmaculatus
2,9 mm
b. 0,4 mm
Gambar 4. a: Imago hama E. sumbana ; b: Antena hama E. sumbana
penting yaitu sebagai pencegah erosi tanah, penyubur tanah, dan sumber makanan bagi predator atau parasitoid.
Tingkat populasi larva dan imago predator M. sexmaculatus di lahan PHT dan konvensional pada pengamatan ke-1
sampai pengamatan ke-8 rata-rata
mengalami penurunan (Gambar 6 dan 7). Hal ini tampaknya karena aphid pada lahan penelitian berpindah ke lahan tanaman cabai yang berada di sekitarnya. Berpindahnya aphid disebabkan tanaman cabai yang berada di luar lahan penelitian dalam fase vegetatif, sehingga menarik perhatian aphid. Tanaman dalam fase vegetatif mempunyai kondisi daun yang masih lunak, sehingga memudahkan aphid menusukkan stiletnya untuk mendapatkan
sumber makanan. Berdasarkan penelitian
yang dilaksanakan oleh Ditlinhor (2012), kerusakan karena hama aphid tampak pada tanaman yang masih muda. Tampaknya predator M. sexmaculatus
berpindah ke lahan cabai yang ada di sekitar lahan penelitian dengan mengikuti populasi aphid yang juga berpindah. Menurut Marheni (2004), populasi predator mengikuti populasi hama, ketika populasi hama tinggi maka populasi predator juga ikut meningkat.
Imago Hama E. sumbana
Berdasarkan analisis uji t, bahwa
perlakuan PHT dan konvensional
berpengaruh secara nyata terhadap
populasi imago hama E. sumbana (Tabel 4). Rata-rata jumlah populasi imago hama E. sumbana pada lahan PHT lebih rendah dari pada konvensional. Pada lahan PHT digunakan pestisida nabati dengan bahan
aktif azadirachtin, meliantriol, dan salanin, sedangkan konvensional menggunakan pestisida kimia dengan bahan aktif profenofos. Bahan aktif
meliantriol yang terkandung dalam
ekstrak mimba tampaknya lebih efektif
dalam mengendalikan hama, karena mengakibatkan rasa daun menjadi pahit sehingga hama tidak menyukai. Dengan rasa daun yang pahit mengakibatkan waktu hinggap imago hama E. sumbana
untuk mendapatkan makanan lebih
sebentar, sehingga jumlah populasinya pada lahan PHT lebih sedikit. Menurut
Rukmana dan Yuniarsih (2003),
meliantriol berperan sebagai penghalau (repellent) yang mengakibatkan serangga hama tidak mendekati zat tersebut.
Populasi imago hama E. sumbana di lahan PHT dan konvensional termasuk
rendah. Rendahnya tingkat populasi
imago hama E. sumbana pada lahan PHT
dan konvensional karena adanya
pengendalian dengan pestisida pada kedua lahan tersebut. Hal ini dibuktikan pada pengamatan ke-1 sampai pengamatan ke-8 tingkat populasi imago hama E. sumbana menurun (Gambar 8). Menurut Sudarmo (1991), semua jenis pestisida mempunyai
bahan aktif yang berfungsi untuk
menurunkan populasi hama, dapat
mencegah meluasnya serangan, dan
kehilangan produksi karena hama dapat ditekan.
Intensitas Kerusakan Tanaman Cabai Besar
Dari pengamatan hama E. sumbana lebih banyak menyerang daun tanaman cabai besar yang masih muda, karena daun tersebut masih lunak sehingga memudahkan imago untuk memperoleh makanan. Daun cabai yang terserang hama E. sumbana menunjukkan gejala berlubang. Pada sekitar lubang, warna daun menjadi cokelat yang menandakan matinya jaringan daun tersebut (Gambar
9). Serangan yang parah akan
menghabiskan seluruh bagian daun dan hanya menyisakan bagian tulang daun. Keberadaannya mudah diketahui karena biasanya meninggalkan jejak yang khas pada daun yang terserang. Jejak tersebut berupa daun yang berlubang dengan cir
Gambar 7. Fluktuasi populasi imago predator E. sumbana pada tanaman cabai besar Tabel 4. Rata-rata populasi imago hama E. sumbana pada lahan cabai besar
Perlakuan Imago hama E. sumbana (ekor)/ 100 daun
PHT 228 a
Konvensional 290 b
khusus yaitu hama E. sumbana tidak memakan tulang daun (Anonymous, 2012).
Berdasarkan analisis statistika uji t, bahwa perlakuan PHT dan konvensional tidak berpengaruh secara nyata terhadap intensitas serangan E. sumbana (Tabel 5).
Intensitas kerusakan daun cabai besar pada lahan PHT dan konvensional cukup rendah. Hal ini dikarenakan pada kedua lahan tersebut dilakukan pengendalian hama dengan aplikasi pestisida. Pada lahan PHT menggunakan pestisida nabati sedangkan lahan konvensional menggunakan pestisida kimia. Intensitas kerusakan pada lahan PHT dan konvensional sama-sama rendah, seharusnya pestisida yang diaplikasikan adalah pestisida nabati. Pestisida nabati digunakan karena lebih ramah lingkungan dan mampu mengendalikan hama dengan efektif. Weinzierl (2000) menyatakan bahwa pestisida nabati lebih efektif digunakan sebagai upaya pengendalian serangan hama.
KESIMPULAN
Ditemukan dua jenis kumbang coccinellid pada lahan PHT dan konvensional yaitu predator M. sexmaculatus dan hama E. sumbana.
Elitra predator M. sexmaculatus berwarna oranye kekuning-kuningan dengan corak berwarna hitam yang mirip huruf M. Elitra hama E. sumbana berwarna oranye kehitaman, mempunyai bintik berbentuk bulat-bulat kecil berwarna hitam yang berjumlah 11 buah pada satu sisi elitra. Pada lahan PHT dan konvensional populasi larva dan imago predator M. sexmaculatus adalah sama. Populasi larva predator M. sexmaculatus masing-masing adalah 188 ekor dan 213 ekor, populasi imago predator M. sexmaculatus masing-masing adalah 241 ekor dan 216 ekor. Populasi imago hama E. sumbana pada perlakuan konvensional lebih tinggi (290 ekor) secara nyata dibandingkan dengan lahan PHT (228 ekor). Pada lahan PHT dan konvensional intensitas kerusakan daun akibat serangan hama E. sumbana adalah sama, yaitu masing-masing 8,2% dan konvensional 9,2%.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi AL. 2003. Ilmu Penyakit Tanaman 3. Bayu Media. Malang.
Anonymous. 2012. Cabai Rawit Capsicum frutescens L. Diunduh dari.
http://www.plantamor.com/index.ph Gambar 8. Daun tanaman cabai besar yang terserang hama E. sumbana
Tabel 5. Rata-rata intensitas kerusakan daun akibat serangan hama E. sumbana pada lahan PHT dan konvensional
Perlakuan Intensitas Kerusakan (%)
PHT 8,2
91
p?plant=273. pada tanggal 05 Juni 2012.
Anonymous. 2012. Kumbang Koksi.
Diunduh dari
http://id.wikipedia.org/wiki/
Kumbang koksi pada tanggal 20 November 2012.
Cobb A. 1992. Herbicides and plant Physiologi. London. Chapman and Hall.
Ditlinhor (Direktorat Perlindungan Hortikultura). 2012. Kutu daun.
Diunduh dari
http://ditlin.hortikultura.deptan.go.i d/index.php?option=com_content& view=article&id=284&Itemid=210
pada tanggal 15 Februari 2013.
Marheni. 2004. Kemampuan Beberapa
Predator pada Pengendalian
Wereng Batang Coklat
(Nilaparvata lugens Stal.) J.
Natural Indonesia 6(2):84-86.
Rukmana H, Yuniarsih Y. Nimba
Tanaman Penghasil Pestisida
Alami. 2003. Kanisius. Yogyakarta. Sakri MF. 2012. Meraup Untung Jutaan Rupiah dari Budidaya Terong Putih. Diandra Pustaka Indonesia. Yogyakarta.
Setiadi. 1990. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.
Slipinski A, Hastings A, Boyd B. 2007.
Australian Ladybird Beetle.
Diunduh dari
www.ento.csiro.au/Ladybird of
Australian pada tanggal 23 Maret 2014.
Sudarmo S. 1991. Pestisida. Kanisius. Yogykarta.
Weinzierl RA. 2000. Botanical
Insecticides, Soap and Oils. In: Biological and Biotechnological Control of Insect Pest, Rechcilg JE and Rechcigl NA (eds.) Lewis Publisher, Boca Raton, Florida