• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Perbedaan bentuk F. hepatica (A) dan F. gigantica (B) (http//

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Perbedaan bentuk F. hepatica (A) dan F. gigantica (B) (http//"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Fasciola gigantica

Fasciola spp lebih dikenal dengan cacing hati (liver fluke), dua spesies

penting diantaranya yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Berdasarkan taxonomi F. gigantica dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Soulsby 1982) :

Phylum : Platyhelminthes

Class : Trematoda (Rudolphi 1808) Ordo : Digenea (Van Beneden 1858) Family : Fasciolidae (Railliet 1895) Genus : Fasciola (Linnaeus 1758)

Species : Fasciola gigantica (Cobbold 1885)

Fasciola spp secara anatomi berbentuk pipih dorsoventral. Cacing ini

memiliki dua batil hisap berukuran hampir sama besar, yaitu batil isap ventral

(asetabulum) sejajar dengan bahu, dan batil isap oral (oral sucker) juga berfungsi

sebagai mulut. Ukuran dan bentuk tubuh F. gigantica dengan F. hepatica berbeda, Cacing F. hepatica dewasa lebih pendek, kerucut kepala lebih panjang, alat reproduksi terletak lebih posterior, batil isap perut lebih kecil (Soulsby 1982). Lebih jelasnya perbedaan kedua spesies Fasciola ini, dapat dilihat seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Perbedaan bentuk F. hepatica (A) dan F. gigantica (B)

(http//www.dpd.cdc.gov/dpdx)

F. gigantica mempunyai ukuran panjang tubuh berkisar 31,73-52,29 mm,

berwarna merah muda pucat, pundaknya tidak begitu nyata, telurnya berukuran 156-197 X 90-104 µm. Ukuran panjang tubuh F. hepatica yaitu 12,22-29,00 mm, berwarna coklat keabuan, pundak lebar, telurnya berukuran 130-160 X 63-90 µm, warna keemasan dengan operkulum (Periago 2006).

(2)

Siklus hidup Fasciola gigantica

F. gigantica memiliki siklus hidup tidak langsung dengan menggunakan siput

sebagai inang antara. Inang antara dari Fasciola, umumnya adalah siput genus

Lymnaea. Di Indonesia diketahui inang antara F. gigantica adalah Lymnaea rubiginosa (Mas-Coma et al. 2009; Sripa et al. 2010). Infeksi fasciolosis berpeluang

terjadi di daerah yang basah atau lembab dimana banyak terdapat siput. Penularan fasciolosis pada manusia sama dengan penularan pada hewan. Manusia terinfeksi karena memakan tanaman air yang tidak dimasak dan mengandung metaserkaria. Skema penularan pada manusia dan ternak secara rinci diuraikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Siklus hidup Fasciola giganca

(http//www.dpd.cdc.gov/dpdx)

Telur-telur akan terbawa oleh cairan empedu, masuk kedalam lumen usus dan keluar ke alam bebas bersama feses. Telur di air dapat bertahan hidup selama 10-15 hari pada suhu 23-25°C dan dapat mati pada suhu -4°C. Telur-telur Fasciola berwarna kuning kecoklatan, dan memiliki operkulum pada ujungnya. Pada kondisi lingkungan yang mendukung, embrio dalam telur akan berkembang menjadi mirasidium dalam waktu 1-2 minggu. Selanjutnya mirasidium keluar dari telur untuk menginfeksi inang antara siput yang cocok, termasuk genus lymnaea (Lymnaea

(3)

perkembangan (sporokista, redia, dan serkaria). Serkaria yang keluar dari siput akan berenang. Bila serkaria tidak termakan oleh inang defenitif, maka akan menempel pada tumbuhan air atau permukaan lain dan terjadi enkistasi membentuk kista. Kista ini menjadi metaserkaria (fase infektif), yang akan termakan oleh hewan atau manusia sebagai inang definitif. Mamalia dan manusia terinfeksi karena memakan tanaman air tawar yang mengandung metaserkaria, terutama selada air. Setelah konsumsi, metaserkaria ekskistasi di duodenum dan bermigrasi melalui dinding usus, rongga peritoneal, dan parenkim hati ke dalam saluran empedu, di mana mereka berkembang menjadi dewasa. Larva masuk ke dalam hati dengan menembus kapsula hati (kapsul glissoni) dan mengembara ke seluruh parenkim hati selama sembilan minggu (2-3 bulan), larva masuk kedalam saluran empedu, mereka menjadi dewasa dan menghasilkan telur. Pada manusia, pematangan metaserkaria menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu sekitar 3-4 bulan (Garsia et al. 2009).

Fasciolosis

Fasciolosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh cacing hati

(Fasciola spp), yang hidup didalam hati dan saluran empedu pada hewan mamalia

maupun manusia. F. hepatica dan F. gigantica merupakan dua spesies utama penyebab fasciolosis. Penyakit ini juga dikenal dengan berbagai nama lain, misalnya Distomatosis hepatik, Cattle liver fluke, Giant liver fluke (Akoso 1991). Fasciola spp sebagai penyebab kerugian ekonomi pada ternak ruminansia terutama domba dan sapi diseluruh dunia bahkan pada manusia (Swai 2009; Mas-Coma et al. 2009).

Hewan yang rentan adalah sapi dan kerbau, hewan yang kurang rentan adalah domba, kambing dan ruminan lain, serta dapat juga menyerang babi, anjing, kucing, kuda, kelinci dan manusia (Soulsby 1982). Pada ternak, fase migrasi larva menyebabkan kerusakan parenkim hati yang luas, penyakit ini dikenal dengan Liver

rot (Lim et al. 2008). Bentuk akut, berupa mati mendadak disertai darah yang merembes atau keluar dari hidung dan anus. Bentuk kronik tahap pertama anemia, kelemahan otot, penurunan nafsu makan, serta bulu menjadi kering dan rontok, akhirnya terjadi kebotakan dan hewan menjadi lemah dan kurus. Ternak domba penderita fasciolosis kadang, mendapat infeksi sekunder oleh bakteri Clostridium

(4)

Fasciola adalah cacing penghisap darah yang dapat menghabiskan 0,2 ml

per hari (Jennings et al. 1956). Kerusakan utama ternak adalah serosis hati akibat munculnya tenunan pengikat yang mengisi luka, bekas migrasi Trematoda sehingga akhirnya hati menjadi keras. Dinding saluran empedu menebal, sering kali disertai pengapuran yang mengandung cacing, telur cacing serta darah, warna empedu hijau kehitaman. Pengapuran sering kali sangat tebal sehingga sulit dikerat dengan pisau seperti pada Gambar 3.

Gambar 3 Hypertrophia hati dari saluran empedu disebabkan

Fasciola hepatica pada kambing (http//www.dpd.cdc.gov/dpdx) Di Indonesia fascioliasis pertama kali dilaporkan oleh Van Velzen di Tangerang pada tahun 1890. Saat ini diketahui cacing ini tersebar pada ternak di seluruh Indonesia sesuai dengan penyebaran siput Lymnaea yang menjadi inang antara. F. gigantica, merupakan parasit asli dari Indonesia sedangkan F. hepatica datang ke Indonesia mungkin bersama dengan di bawanya sapi perah FH dari Belanda (Kusumamihardja 1992). Menurut Suweta (1982), ternak kerbau di Indonesia diperkirakan dari 25-48 ternak rata-rata 36-38 ternak terinfeksi oleh

F. gigantica. Ternak yang rentan biasanya diperlukan lebih dari 1000 metaserkaria

untuk menimbulkan fasciolosis klinis, dan kematian terjadi setelah terinfeksi oleh 10.000 metaserkaria (Nasser 2008).

Fasciolosis pada manusia dalam fase laten memiliki gejala utama yang dapat diwaspadai yaitu: Demam 40-42°C, nyeri abdomen, gangguan gastrointestinal (hilang nafsu makan, mual perut kembung, diare), gejala pernapasan (sangat jarang), hepatomegali dan splenomegali, asites, anemia, penyakit kuning. Fase ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan atau tahun. Proporsi asimtomatik pada fase ini tidak diketahui. Survei di beberapa daerah menggambarkan bahwa terdapat wilayah endemik dengan fascioliasis pada manusia, estimasi menunjukkan bahwa

(5)

2,4 juta bahkan sampai 17 juta orang terinfeksi dengan F. hepatica di dunia (Sripa et

al. 2010). Fasciolosis pada manusia, jarang ditemukan cacing dewasa, sehingga

seringkali tidak ditemukan adanya telur cacing dalam feses. Identifikasi spesies bergantung pada ukuran telur yang terdeteksi hanya 3-4 bulan setelah infeksi, dengan dinamika pengeluaran telur berselang. Dengan demikian, mayoritas kasus fasciolosis manusia didiagnosa melalui metode serologis. Metode ini tidak dapat dipercaya karena menghasilkan diferensiasi spesies, meskipun demikian di negara Eropa, dipercaya bahwa fasciolosis manusia disebabkan oleh F. hepatica karena di lapangan F. hepatica adalah spesies dominan dalam ternak Eropa (Mas-coma et al. 2009).

Fasciolosis pada manusia banyak dilaporkan dari negara Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Oceania. Prevalensi penyakit pada manusia berkorelasi dengan penyakit pada hewan. Di Asia kasus dilaporkan di Iran dengan jumlah 10.000 kasus, sedang di Asia tenggara kasus ini bersifat sporadik. Prevalensi tertinggi fasciolosis manusia ditemukan di wilayah Altiplano Bolivia (Mas-Coma et al. 2005). Tiga jenis situasi endemik dapat dibedakan menurut prevalensi populasi diperoleh dari coprologikal diagnosis yaitu Hypoendemik prevalensi <1%, Mesoendemik prevalensi 1 ± 10%, Hiperendemik prevalensi > 10% (Sampaio 1990; Knobloch et al. 1985).

Metode Diagnosis Fasciolosis 1) Pemeriksaan secara klinis

Diagnosis secara klinis yaitu ditegakkan berdasarkan observasi, riwayat sakit penderita yang mengalami pembesaran hati yang melunak, disertai sindrom demam eosinofilik. Migrasi cacing muda dari usus ke hati dapat menimbulkan lesi ektopik di dinding usus, jantung, bola mata, paru dan jaringan dibawah kulit, sehingga menimbulkan keluhan setempat. Bentuk akut dapat keliru dengan penyakit antraks, karena adanya pengeluaran darah dari hidung dan anus. Bentuk kronik pada domba dapat keliru dengan haemonchosis karena adanya bottle jaw, anemia pada fascioliasis dapat keliru dengan anemia oleh penyebab yang lain (Akoso 1991).

2) Pemeriksaan secara laboratorium

Pemeriksaan secara laboratorium dapat dibedakan dalam beberapa metode yaitu antara lain pemeriksaan secara mikroskopis, serologi dan molekuler.

(6)

a Pemeriksaan secara mikroskopis atau konvensional

Fasciolosis kronis dapat didiagnosis melalui pemeriksaan telur dalam feses dibawah mikroskop. Teknik konvensional dengan pulasan sederhana atau metode konsentrasi, dapat dibedakan atas pengendapan (sedimentasi), pengapungan (floating), saringan bertingkat. Metode konsentrasi adalah suatu metode yang dirancang untuk memisahkan organisme protozoa dengan telur cacing dari kotoran feses melalui perbedaan berat jenis (Taylor 1964). Penegakkan diagnosis pasti, dilakukan dengan pemeriksaan feses, cairan duodenum, atau cairan empedu hospes untuk menemukan telur cacing Fasciola dengan penghitungan jumlah telur tiap gram feses. Penemuan metaserkaria pada rumput, membantu menegakkan diagnosis terutama fasciolosis jaringan dan fascioliasis dalam periode prepaten. Diagnosa infeksi secara konvensional didasarkan pada penemuan telur cacing yang dikeluarkan oleh cacing dewasa di dalam feses hewan atau manusia (Garcia et al. 2009).

b Pemeriksaan secara serologi

Pemeriksaan secara serologi didasarkan pada penggunaan antibodi dengan target antigen parasit yang dicari, merupakan metode yang sensitive dan spesifik. (Teledo et al. 2003; Charlier et al. 2008). Alternatif metode yang dapat digunakan yaitu enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) ini umum digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi atau antigen dalam sampel dan relatif sederhana (Jaswir 2010).

c Pemeriksaan secara molekuler

Teknik pemeriksaan secara molekuler umumnya dilakukan dalam penelitian dan seputar dunia laboratorium dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). PCR merupakan teknik untuk memperkuat satu salinan tunggal atau beberapa potong DNA, sebagai primer, di beberapa kali lipat, menghasilkan ribuan sampai jutaan gandaan urutan DNA tertentu. PCR dapat dimodifikasi secara luas untuk berbagai macam manipulasi genetik. teknik PCR dapat digunakan untuk memverifikasi, sertifikasi dan mendeteksi kebanyakan protein hewani (Jaswir 2010).

(7)

Antibodi Poliklonal

Antibodi merupakan protein yang dibuat oleh semua spesies hewan dan merupakan bagian dari sistem tanggap kebal terhadap substansi asing. Respon imun (respon humoral) terjadi akibat antigen yang merupakan substansi asing menggertak sel T sebagai helper sehingga berdiferensiasi menjadi limfokin. Limfokin berinteraksi dengan sel limfosit B, dan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma

.

Sel limfosit T yang terdiri dari sel limfosit T sitotoksik dan sel limfosit T helper. Sel limfosit T sitotoksik berperan dalam menghancurkan antigen intraseluler sedangkan sel limfosit T helper berperan untuk membantu sel limfosit B (Black 2005). Mekanisme kerja antibodi untuk mempercepat penghancuran dan penyingkiran antigen dengan netralisasi, presipitasi, agglutinasi, serta lisis (Guyton dan Hall 2007).

Antibodi poliklonal diperoleh dengan cara melakukan imunisasi secara sengaja terhadap hewan dengan suatu imunogen spesifik (hiperimunisasi). Antibodi poliklonal memiliki campuran kompleks antibodi dengan spesifitas, afinitas, dan isotipe yang berbeda serta keterbatasan produksi karena dibatasi oleh umur hewan yang digunakan (Zola 1987). Antibodi poliklonal memiliki reaktivitas multipel yaitu dapat menangkap sejumlah epitop (antigen determinan) yang berbeda pada antigen. Reaktivitas multipel antibodi poliklonal dapat menimbulkan reaksi silang. Reaksi silang ini dapat terjadi karena epitop yang sama dimiliki oleh antigen yang berbeda atau epitop yang secara struktur mirip atau memiliki keserupaan dengan epitop pembuat peka (priming epitop) yang dikenali oleh antibodi (Smith 1995). Antibodi dapat digunakan sebagai reagensia untuk mengukur, mendeteksi dan memurnikan molekul biologis bahkan untuk pengobatan.

Antibodi terdiri dari unit dasar yang disebut immunoglobulin (Ig). Ig merupakan penyusun antibodi yang memiliki dua karakteristik yaitu kimia dan biologi (Black 2005). Ig secara kimia berupa rantai polipeptida (dua rantai ringan dan dua rantai berat) yang tersusun dengan bentuk khusus (Gambar 4). Produksi Ig secara biologis distimulasi oleh antigen dan memiliki reaksi yang spesifik (Barriga 1981). Ada lima golongan Ig yaitu IgM, IgG, IgA, IgE dan IgD. Diantara lima golongan tersebut, IgG umum digunakan dalam immunodiagnostik. Hal ini disebabkan IgG

(8)

memiliki presentasi terbanyak yaitu 70-75% di dalam serum normal dibandingkan IgM (antibodi pertama yang muncul dalam respon primer), IgA, IgE dan IgD. IgG memiliki struktur monomer dengan berat molekul 146.000 dalton serta merupakan antibodi utama dari respon imun sekunder. Molekul imunoglobulin yang berbeda dapat memiliki sifat mengikat antigen yang berbeda karena VH yang berbeda dan daerah VL (De Buysscher dan Patterson 1995). Secara struktural, IgG memiliki empat rantai polipeptida terbagi atas dua rantai berat identik dengan berat molekul 50.000 dalton serta dua rantai ringan dengan berat molekul 25.000 dalton. Antara rantai berat dan rantai ringan polipeptida dihubungkan oleh ikatan disulfida yang terdapat pada bagian engsel (hinge region). Rantai berat dan ringan dari IgG masing-masing memiliki bagian konstan atau tetap dan bagian yang dapat berubah atau variable, Bagian yang dapat berubah (variable) berfungsi khusus untuk melekat antigen pada struktur IgG. Bagian konstan menentukan sifat biologis IgG seperti penyebaran IgG dalam jaringan, pelekatan IgG pada struktur jaringan spesifik, pelekatan pada kompleks komplemen, serta kemudahan IgG dalam melewati membran (Guyton dan Hall 2007).

Fc: Fragment crystallization, FAB: Fragment antigen binding, CH1 CH2 CH3 : constant regions, HV VL : variable domains, FV : Fragment variable, Warna hijau: Rantai berat, Warna biru: Rantai ringan, bulat biru : Carbohydrate.

Gambar 4 Struktur IgG pada mamalia (Jose 2000).

Pada ayam IgG lebih dikenal sebagai IgY. IgY merupakan antibodi humoral utama pada unggas. Pada ayam IgA dan IgM memiliki kemiripan dengan IgA dan IgM mamalia dalam hal berat molekul, morfologi, dan mobilitas imunoelektroporetik

(9)

(Tarigan 2003). IgY pada ayam tidak memiliki persamaan imunologis dengan IgG mamalia, namun mempunyai struktur yang sama yaitu memiliki dua rantai ringan dan dua rantai berat, urutan DNA IgY menyerupai urutan DNA pada IgE manusia (Carlender 2002). IgY ditemukan oleh Klemperer tahun 1893, yang menggambarkan adanya kekebalan pasif terhadap toksin tetanus yang diturunkan dari induk ke anak ayam. IgY terdapat dalam kuning telur dan serum dalam bentuk molekul immunoglobulin dengan konsentrasi sekitar 10-20 mg/ml (Davalos et al. 2001). IgY lebih tahan terhadap suhu dan perubahan pH dibandingkan IgG, namun sangat sensitive terhadap denaturasi. Aktifitas IgY dapat dipertahankan jika disimpan pada suhu 370C untuk jangka waktu enam bulan, bahkan dapat dipertahankan selama 10 tahun jika disimpan pada suhu 40C (Larsson et al. 1993). Inkubasi pada pH lebih dari 4 masih dapat ditoleransi, namun pada pH 2 suhu 370

Mekanisme pembentukan IgY dalam serum darah dan kuning telur memiliki kemiripan dengan pembentukan IgG pada mamalia. Namun terdapat beberapa perbedaan antara IgY dengan IgG berupa ukuran yang lebih besar, sifat keasaman, kerapatan molekul yang lebih rendah (Higgins 1995; Szabo et al. 1998). IgY dapat mengenali lebih banyak epitop antigenik dibandingkan dengan antibodi yang diproduksi mamalia. IgY juga mampu mengikat antibodi sekunder hingga tiga sampai lima kali lebih kuat dari IgG. IgY tidak mengikat reseptor permukaan sel Fc, tidak mengikat protein A dan G (Schmidt et al. 1993). Perbedaan dalam interaksi molekuler menjadi keuntungan besar untuk mengaplikasikan antibodi IgY dalam berbagai penelitian, diagnostik kedokteran, bioteknologi serta menjadi antibodi alternative unggulan untuk immunoglobulin konvensional (Hodek et al. 2003; Michael et al. 2010).

C aktivasi IgY menurun drastis. Penurunan aktivitas tersebut disebabkan oleh perubahan konformasi (Michael et al. 2010).

Antigen Ekskretori dan Sekretori (ES)

Antigen (antibody generating substances) adalah suatu senyawa atau substansi yang dapat menggertak sistem imunitas dapatan pada inang atau individu. Antigen dapat berupa polisakarida, protein, lemak, asam inti atau lipopolisakarida, maupun lipoprotein. Protein merupakan antigen yang terbaik karena ukuran dan kerumitan strukturnya. Hampir semua protein berat molekulnya lebih besar dari 8000

(10)

dalton bersifat antigenik. Pembentukan sifat antigenik tergantung kepada pengulangan kelompok molekul secara regular, yang disebut epitop (antigenik determinan) pada permukaan molekul besar (Guyton dan Hall 2007).

ES merupakan antigen protektif yang dapat memicu tanggap kebal inang definitif (McKeand et al. 1995). Selain antigen ES, parasit memiliki antigen somatik dan antigen permukaan yang dapat dikenali oleh inangnya. Antigen somatik hanya dapat dikenali oleh inangnya jika cacing tersebut telah mati atau dihancurkan, sedangkan antigen permukaan selalu berubah seiring dengan rangkaian perkembangan cacing yang mengalami moulting sepanjang hidupnya sehingga menyulitkan inang defenitif dalam memberi respon tanggap kebal. Antigen ES mempunyai sifat yang lebih dapat dikenali oleh sistem tanggap kebal daripada antigen somatik dan antigen permukaan, sehingga diduga lebih protektif untuk memicu respon tanggap kebal (Chowdhury 1994).

Antigen ES mengandung glikoprotein yang menutupi kulit cacing, juga mengandung sebagian kecil enzim, yang dilepaskan secara konstan sehingga mempermudah migrasi ke jaringan inang (Bird 1991). Analisis dua dimensi gel eektroforesis mengindikasikan bahwa F. hepatica melepaskan sekitar 60 protein dalam substansi ES. Di antaranya ada 29 protein yang merupakan protein esensial

cathepsin L, superoxide dismuthase, thioredoxin peroxidase, glutathione S transferase, dan protein yang terikat pada asam lemak. Cathepsin L menempati

jumlah yang paling banyak ditemukan dalam ES Fasciola sp (Ridi et al. 2007).

Fasciola sp. menghasilkan berbagai jenis antigen ES yang berbeda-beda

pada setiap stadium hidupnya yang beredar pada sirkulasi inangnya. Antigen tersebut menjadi studi terbaik dan potensial untuk diagnostik dikenal dengan

gut-associated antigen. Molekul tersebut berasal dari usus parasit dan dilepas ke

sirkulasi inang melalui regurgitasi regular dalam pencernaan usus. Kehadiran ES menjadi indikasi infeksi aktif cacing yang masih hidup (Shehab et al. 1999).

Gambar

Gambar 2   Siklus hidup Fasciola giganca  (http//www.dpd.cdc.gov/dpdx)
Gambar 3   Hypertrophia hati dari saluran empedu disebabkan

Referensi

Dokumen terkait

Elektrolit harus memiliki konduktivitas ionik yang baik tetapi tidak menjadi konduktif secara elektrik, karena akan menyebabkan konsleting internal, tidak reaktif dengan

Berdasarkan hal tersebut, khususnya hubungan antara struktur kimia dan aktivitas hayati, maka dirancang strategi untuk mensintesis senyawa- senyawa analog UK-3A dengan cara

Kita perlu menerima dan menghargai orang lain/suku bangsa lain sebagai manusia yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda dalam ras, suku

salah satu sikap yang harus dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika. Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran matematika yaitu

Pada model larutan padat atau matriks homogen, obat terdispersi secara molekuler dalam matriks lemak ketika partikel dihasilkan dengan teknik homogenisasi dingin dan tidak

Siswa sebagai subyek belajar memiliki karakteristik yang berbeda- beda, baik minat, bakat, kebiasaan, motivasi, situasi sosial, lingkungan keluarga dan harapan terhadap

Menurut Ray (2004), bakteri di sinyalir sebagai penyebab utama dari kerusakan pangan dan penyakit yang disebabkan akibat keracunan pangan karena kemampuan mereka

Pada metode ASS, produk disimpan pada kondisi lingkungan penyimpanan yang ekstrim, antara lain produk disimpan pada suhu atau kelembaban yang ekstrim, atau produk dapat