GUGATAN CLASS ACTION KAITANNYA DENGAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Heru Guntoro * ABSTRAK
Apabila beberapa orang dirugikan akibat dari perbuatan orang lain atau badan hukum, dapat mengajukan gugatan untuk mendapatkan ganti kerugian baik secara materiil maupun immaterial. Gugatan Class Action merupakan gugatan dimana satu orang atau lebih mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri sendiri atau mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak memiliki kesamaan fakta dan dasar hukum. Fakta menunjukkan adanya putusan judex factie kaitannya dengan perbuatan melawan hukum dimana pihak yang dirugikan, dalam hal ini pihak penggugat dikalahkan dan tidak mendapatkan ganti kerugian. Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2710 K/Pdt/2008/Tanggal 3 April 2009 dalil-dalil yang disampaikan oleh pihak penggugat ditolak dan pihak yang dikalahkan harus membayar biaya perkara, ini berarti gugatan class action kaitannya dengan perbuatan melawan hukum tidak mendapatkan ganti kerugian.
Kata Kunci : Gugatan ; Class Action ; Perbuatan Melawan Hukum.
P E N D A H U L U A N Latar Belakang
Kesadaran hukum merupakan sesuatu hal yang penting bagi pembangunan dengan membawa konsekwensi terhadap hukum itu sendiri yang sekaligus harus menjadi sesuatu subyek dan obyek pembangunan.Selain itu ikut sertanya pemerintah dalam lalu lintas hukum juga dapat menimbulkan suatu kerugian pada seseorang, badan hukum atau masyarakat. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, dapat menimbulkan benturan antara kepentingan umum dengan kepentingan individu. Disatu pihak pemerintah beranggapan mempunyai suatu kewajiban untuk menggunakan kekuasaan yang ada padanya demi kepentingan umum, disatu sisi kepentingan individu yang
mempertahankan hak milik, integritas, martabat, dan kebebasannya sangatlah perlu mendapatkan perlindungan hukum.
Dalam gugatan di pengadilan yang melibatkan jumlah penggugat yang sifatnya massal, maka gugatan class
action sangat relevan untuk
diterapkan, sebagaimana yang dilakukan oleh warga Kabupaten Sidoarjo dalam studi khusus yang penulis angkat. Sebagaimana yang ada dalam Putrusan Mahkamah Agung No. 2710 K/Pdt/2008/Tanggal 3 April 2009
Terdapat paling sedikit tiga manfaat atas keberadaan gugatan
class action tersebut, yaitu sebagai
berikut :
Pertama, yaitu proses berperkara
yang bersifat ekonomis (judical economy). Dengan gugatan class action berarti mencegah pengulangan (repetition) gugatan-gugatan serupa
secara individual. Tidaklah ekonomis bagi pengadilan apabila harus melayani gugatan-gugatan sejenis secara individual (satu persatu). Manfaat ekonomis juga ada pada diri tergugat, sebab dengan class action tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan masyarakat korban.
Kedua, akses pada pengadilan (acces to justice). Apabila diajukan
secara individual maka hal tersebut mengakibatkan beban bagi calon penggugat. Seringkali beban semacam itu yang menjadi hambatan bagi seseorang untuk memperjuangkan haknya di pengadilan. Terlebih lagi apabila biaya gugatan yang telah bahkan dikeluarkan tidak sebanding dengan tuntutan yang akan diajukan. Melalui prosedur class action, kendala yang bersifat ekonomis ini dapat teratasi dengan cara para korban menggabungkan bersama dengan
class members lainnya dalam satu
gugatan.
Ketiga, perubahan sikap pelaku
pelanggaran (behavior modification). Dengan diterapkannya prosedur class
acion berarti memberikan akses yang
lebih luas pada pencari keadilan untuk mengajukan gugatan dengan cara
cost efficiency. Akses class action ini
dengan demikian berpeluang mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas. Peluang semacam ini yang kita sebut peluang menumbuhkan detterent effect (efek penjara).
Apabila dilihat dari manfaat diatas maka penerapan prosedur class action sesungguhnya sejalan dengan
prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagai suatu prinsip peradilan yang dijamin oleh pasal 4
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Penegakan hukum khususnya hakim diharapkan dapat mengkonkritkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Karena itu, korban lumpur Lapindo mempunyai alasan hak, dasar dan alasan hukum menuntut dan meminta pertanggungjawaban secara perdata terhadap pihak-pihak karena perbuatan melawan hukum, dan kesalahannya mengakibatkan timbulnya lumpur Lapindo dengan mengajukan gugatan perdata tentang perbuatan melawan hukum dengan menuntut ganti kerugian. Tak perlu diperhatikan apakah penyebabnya karena disengaja atau karena kelalaian.
Tanggung jawab perdata dan ganti kerugian yang wajib dipenuhi oleh pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum hanya sebatas kerugian langsung dari perbuatan melawan hukum. Akibat perbuatan melawan hukum, orang lain jadi rugi. Jadi, pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh orang lain
Berkaitan dengan hal tersebut diatas gugatan class action ini dikaitkan dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1) Apa saja bentuk gugatan class action kaitannya dengan perbuatan melawan hukum ? 2) Bagaimanakah penyelesaian
gugatan class action kaitannya perbuatan melawan hukum
sesuai putusan Mahkamah Agung.
Tujuan Penulisan
1) Guna mengetahui bentuk gugatan class action kaitannya dengan peerbuatan melawan hukum.
2) Guna mengetahui tentang penyelesaian gugatan class action kaitannya perbuatan melawan hukum sesuai putusan Mahkamah Agung.
3) Guna menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu Hukum Perdata dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action).
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan dimana hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan menambah referensi dalam bidang hukum, bagi yang memerlukan khususnya yang terkait dengan perbuatan melawan hukum. Sedangkan manfaat praktis adalah sebagai sumbangsih pemeikiran untuk masyarakat, akademisi, praktisi hukum, dan bagi pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini dipergunakan metode yuridis normatif yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan Hukum Primer terdiri dari Undang-Undang dan Putusan Makamah
Agung Nomor 2710 K/Pdt/2008, bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku, literature, majalah hukum, hasil penelitian sedangkan bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari kamus bahasa hukum, kamus bahasa belanda, kamus bahasa latin.
Selanjutnya bahan hukum diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif yaitu suatu metode untuk memperoleh gambaran mengenai suatu permasalahan yang tidak berdasarkan pada angka-angka bilangan statistic (non statistic) melainkan didasarkan pada analisa yang diuji dengan norma-norma dan kaidah-kaidah hokum yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dikaitkan dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2710 K/Pdt/2008 April 2009 yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
Memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara :
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), berkedudukan di Jalan Diponegoro 74 Jakarta Pusat, Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/Pembanding m e l a w a n
Negara Cq. Pemerintah R.I Cq. Presiden R.I Cq. Menteri Energi Sumber Daya Mineral R.I Cq. Menteri Negara Lingkungan Hidup R.I Cq. Badan Pelaksana Migas R.I Cq. Gubernur Jawa Timur Cq. Bupati Sidoarjo, dan PT. Lapindo Brantas berkedudukan di Wisma Mulia Lt. 28,
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 42, Jakarta, Turut Termohon Kasasi
Bahwa sejak 29 Mei 2006 hingga saat gugatan ini didaftarkan telah terjadi semburan lumpur panas yang meluas di sekitar kecamatan Porong Sidoarjo yang bersumber di areal ladang eksplorasi sumur pengeboran Banjar Panji di Kabupaten Sidoarjo yang dilaksanakan oleh perusahaan PT. Lapindo Brantas yang merupakan Turut Tergugat;
Bahwa kegiatan usaha minyak dan gas di areal ladang eksplorasi sumur pengeboran Banjar Panji dilakukan Turut Tergugat berdasarkan Kontrak Pembagian Produksi antara Turut Tergugat dengan Tergugat IV;
Bahwa tragedi semburan lumpur panas ini telah mengakibatkan dampak yang besar dan penting bagi lingkungan serta menimbulkan jumlah kerugian amat besar bagi lingkungan hidup dan masyarakat sekitar. Dampak dan kerugian ini telah dikategorikan sebagai dampak dan kerugian yang luar biasa karena telah memporak-porandakan kelangsungan lingkungan hidup dan sumber-sumber penghidupan warga sekitarnya ;
Bahwa lumpur panas telah mengakibatkan dampak yang besar hak-hak kehidupan masyarakat termasuk hak-hak asasinya. Dampak ini telah secara nyata mengakibatkan terganggunya hak untuk mendapatkan pendidikan, lenyapnya rasa aman (dihinggapi rasa takut dan cemas) tercabutnya orang dari akar budaya dan kehidupan sosial, munculnya konflik horizontal, serta ketiadaan informasi yang menyebabkan kebingungan, ketakutan dan ketidak pastian ;
Bahwa dampak dan kerugian yang terjadi setiap harinya semakin bertambah besar seiring dengan
meluasnya semburan lumpur dan lambatnya penanganan yang seharusnya dilakukan oleh Para Tergugat dan Turut Tergugat ;
Bahwa keterlambatan penanganan dan ketidakseriusan Tergugat I tampak nyata dalam kebijakan yang diambil oleh Tergugat I. Tergugat I baru mengeluarkan kebijakan yang berskala nasional berupa Keputusan Presiden No. 13 tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo pada tanggal 8 September 2006, yakni setelah semburan Iumpur berlangsung selama 3 (tiga) bulan 12 (dua belas) hari atau total selama 102 (seratus dua) hari. Padahal pada waktu 102 (seratus dua) hari tersebut telah banyak kejadian yang terjadi dan telah tampak jelas begitu berbahayanya dampak yang timbul dan begitu besarnya penderitaan masyarakat. Pada waktu dikeluarkan kebijakan Tergugat I luas lumpur dan dampaknya telah meluas sedemikian besar sehingga kebijakan Tergugat I menjadi sangat terlambat dan tidak efektif lagi;
Bahwa selanjutnya Tergugat II dan Tergugat III selaku pembantu Presiden tidak melakukan langkah-Iangkah nyata, tidak serius dan terlambat dalam mengantisipasi keadaan;
Bahwa sebagai pengawas langsung Tergugat IV juga telah lalai melakukan tugasnya terkait dengan penanganan segera dan seketika saat terjadinya semburan lumpur di Bulan Mei 2006, Seharusnya sesuai dengan kewajibanya Tergugat IV mengawasi segala hal yang dilakukan oleh Turut Tergugat;
Bahwa kemudian, Tergugat V sebagai penanggung jawab pemerintahan Provinsi Jawa Timur
dan Tergugat VI selaku penanggungjawab pemerintahan Kabupaten Sidoarjo telah lalai melaksanakan kewajiban hukumnya;
Bahwa dengan demikian, perbuatan-perbuatan dan kelalaian Para Tergugat I sampai dengan Tergugat VI dan Turut Tergugat, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, telah mengakibatkan semakin parahnya dampak yang terjadi akibat dan semburan Iumpur tersebut.
Sementara itu, Para Tergugat sebagai Pemerintah memiliki kewajiban hukum dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan HAM. Kewajiban dan tanggung jawab ini tidak hanya amanat undang-undang tetapi bahkan merupakan amanat konstitusi.
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 384/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST. tanggal 27 Nopember 2007 yang amarnya :
Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1.274.000,- (satu juta dua ratus tujuh puluh empat ribu rupiah) ;
Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat/Pembanding putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusan No. 136/PDT/2008/PT.DKI. tanggal 13 Juni 2008 ;
Sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada Penggugat/ Pembanding pada tanggal 23 Juli 2008 kemudian terhadapnya oleh Penggugat/Pembanding dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 5 Agustus 2008 diajukan permohonan kasasi
secara lisan pada tanggal 6 Agustus 2008 sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No. 79/SRT.PDT.KAS/2008/PN.JKT.PST.j o. No.384/PDT.G/2006/PN.JKT.PST. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 20 Agustus 2008;
Berdasarkan pertimbangan yang diajukan pemohon kasasi, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka majelis hakim M.A.R.I. memutuskan yang amar putusannya berbunyi: Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Penyelesaian Gugatan Class Action
Secara umum gugatan perdata ada dua macam yaitu gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi, sedangkan gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi. Oleh karena itu, gugatan perdata bisa menjadi dasar diselenggarakannya pengadilan perdata. Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, oleh orang yang
bersangkutan atau ahli warisnya.
Kedua, sekelompok orang yang
mempunyai kepentingan yang sama (class action).
Fungsi-fungsi seperti itu dimak-sudkan untuk dapat mencapai tujuan hukum itu sendiri, yakni mencapai ketertiban, keadilan dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta
bernegara. Dalam pada itu, aparatur pemerintah berkewajiban mengu-sahakan agar setiap kaidah dapat ditaati masyarakat menurut tata cara yang telah ditentukan. Dengan kata lain, dalam proses penegakan hukum, baik pemerintah Indonesia maupun masyarakat berkewajiban bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini sejalan dengan tuntutan reformasi untuk mewujudkan
supremasi hukum dan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).
Dikaji dari aspek teoritis dan praktek unsur-unsur class action : 1. Gugatan Secara Perdata
Gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri. Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hak yang mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah pengugat dan tergugat. Pihak disini dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Umumnya tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang.
2. Wakil Kelompok (Class
Representative)
Untuk ini satu orang atau lebih yang menderita kerugian mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota Kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari wakil Kelompok sebagai penggugat aktif.
3. Anggota Kelompok (Class
members)
Merupakan sekelompok orang dalam jumlah banyak menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat pasif.
4. Adanya kerugian
Untuk dapat mengajukan class
action, baik pihak wakil kelompok
(class repesentatif) maupun anggota kelompok (class members) harus benar-benar atau secara nyata mengalami kerugian atau diistilahkan
concrete injured parties.
5. Kesamaan peristiwa atau fakta dan dasar hukum
Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakili (class representative) dan pihak yang diwakili (class
members). Ada persyaratan–
persyaratan yang harus dipenuhi dalam menggunakan prosedur class
action.
Class Action Sebagai Instrumen Penyelesaian Sengketa
Secara umum terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh apabila mengajukan gugatan menggunakan prosedur class action yaitu:
1. Proses berperkara menjadi sangat ekonomis (Judicial Economy) Bukan rahasia lagi bagi masyarakat bahwa berperkara di pengadilan akan memakan biaya yang tidak sedikit. Bagi pihak penggugat, dengan melalui mekanisme class
action maka biaya perkara dan biaya
untuk pengacara menjadi lebih murah dibandingkan dengan dilakukan
gugatan secara individu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan besarnya ganti kerugian yang akan diterima. Tidak sedikit pihak (individu) yang mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan perkaranya, dengan mengajukan gugatan ke pengadilan disebabkan karena mahalnya biaya perkara dan biaya pengacara.
Manfaat secara ekonomis tidak saja dirasakan oleh penggugat namun juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara class action, pihak tergugat hanya satu kali
mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan dari pihak-pihak yang dirugikan. Sedangkan bagi pengadilan sendiri sangatlah tidak ekonomis jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu persatu dan terus menerus serta dalam jumlah yang cukup besar.
2. Akses terhadap keadilan (Access
to Justice)
Mengajukan gugatan secara class
action akan lebih mudah dibandingkan
dengan mengajukan gugatan secara individu-individu. Menggabungkan diri secara bersama-sama akan mengurangi hambatan-hambatan bagi penggugat individual yang umumnya dalam posisi yang lemah, baik dari segi ekonomi maupun dari segi kemampuan (psikologis) dan pengetahuan tentang hukum.
3. Mendorong bersikap hati-hati Pengajuan gugatan secara class
action dapat “menghukum” pihak yang
terbukti bersalah, bertanggung jawab membayar ganti kerugian dengan jumlah yang diperuntukkan untuk seluruh penderita korban (dengan cara yang lebih ringkas) akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukannya.
Upaya Hukum Yang Dapat
Dilakukan Oleh Korban Lumpur Lapindo
Di Indonesia terminologi class
action diubah menjadi Gugatan
Perwakilan Kelompok. PERMA No. 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
Jadi Class Action merupakan suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan karena adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dengan kelompok yang diwakili.
Ketentuan hukum acara dalam
class action di Indonesia diatur secara
khusus dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok. Namun Sepanjang tidak diatur PERMA No. 1 Tahun 2002, maka untuk hukum acara dalam class action berlaku juga ketentuan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku (HIR/RBg). Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok.
Upaya hukum yang dapat dilakukan guna menuntut ganti rugi dapat melalui dua jalur, yakni : penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan penyelesaian melalui pengadilan.
Dalam ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, tidak ada kewajiban bagi para pihak (baik penggugat maupun tergugat) untuk diwakili oleh orang lain atau pengacara selama pemeriksaan di persidangan. Para pihak dapat secara langsung maju dalam proses pemeriksaan di persidangan. Namun seperti halnya proses persidangan yang lazim dilakukan, para pihak biasanya diwakili atau memberikan kuasa kepada pengacara untuk maju dalam persidangan.
Prosedur dalam class action
dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan :
1. Permohonan pengajuan gugatan secara class action
Selain harus memenuhi persyaratanpersyaratan formal surat gugatan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku seperti mencantumkan identitas dari pada para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan dan tuntutan, surat gugatan perwakilan kelompok harus memenuhi ketentuan Yuridis.
2. Proses sertifikasi
Berdasarkan permohonan pengajuan gugatan secara class
action tersebut, pengadilan
kemudian memeriksa apakah wakil tersebut dijinkan untuk menjadi wakil kelompok, apakah syarat-syarat untuk mengajukan gugatan
class action sudah terpenuhi, dan
apakah class action merupakan prosedur yang tepat dalam melakukan gugatan dengan kepentingan yang sama.
3. Pemberitahuan
Setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah, hakim memerintahkan kepada pihak yang melakukan class action untuk mengajukan usulan. Setelah usulan model disetujui oleh hakim maka penggugat dengan jangka waktu yang ditentukan melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok.
4. Pemeriksaan dan Pembuktian dalam class action
Proses pemeriksaan dan pembuktiaan dalam gugatan class
action adalah sama seperti dalam
perkara perdata pada umumnya. 5. Pelaksanaan Putusan.
Setelah proses pemeriksaan telah selesai selanjutnya hakim menjatuhkan suatu putusan. Sama halnya dengan putusan hakim dalam perkara perdata biasa maka putusan hakim dalam gugatan
class action dapat berupa putusan
yang mengabulkan gugatan penggugat (baik sebagian maupun seluruhnya) atau menolak gugatan penggugat. Dalam hal gugatan ganti kerugian dikabulkan, hakim wajib memutuskan jumlah kerugian secara rinci.
Bahwa Para Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Para Tergugat dan Turut Tergugat melalui pertanggung jawaban perdata Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Jo. Pasal 1366 Jo. Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sejak 29 Mei 2006 hingga saat gugatan ini didaftarkan telah terjadi semburan lumpur panas yang
meluas di sekitar kecamatan Porong Sidoarjo yang bersumber di areal ladang eksplorasi sumur pengeboran yang dilaksanakan oleh perusahaan PT. Lapindo Brantas; Kegiatan usaha minyak dan gas di areal ladang eksplorasi sumur pengeboran Banjar Panji dilakukan Turut Tergugat berdasarkan Kontrak Pembagian Produksi antara Turut Tergugat dengan Tergugat IV;
Lumpur panas mengakibatkan dampak yang besar hak-hak kehidupan masyarakat termasuk hak-hak asasinya. Dampak ini telah secara nyata mengakibatkan terganggunya hak untuk mendapatkan pendidikan, lenyapnya rasa aman, serta ketiadaan informasi yang menyebabkan
kebingungan,ketakutan dan ketidak pastian.
Aspek Teoritis Perbuatan
Melawan Hukum
Jika ditilik dari model pengaturan KUH Perdata Indonesia tentang Perbuatan Melawan Hukum, maka model tanggung jawab hukum :
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata 2. Tanggung jawab dengan unsur
kesalahan, khususnya unsur kelalaian, sebagaimana terdapat dalam pasal 1366 KUH Perdata 3. Tanggung jawab mutlak (tanpa
kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas ditemukan dalam Pasal 1367 KUH Perdata. ( Moegni
Djojodirjo, MA, 1999 : 65 )
Dikaji dari Perspektif Normatif perbuatan melawan hukum, harus
ditafsir yakni mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain termasuk salah satu perbuatan yang dilarang oleh pasal 1365 KUH Perdata. Hak-hak yang dilanggar tersebut adalah hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum
2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri
Juga termasuk kedalam kategori perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya. Dengan istilah “kewajiban hukum” ini, yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
3. Perbuatan yang bertentangan dengan nama baik seseorang Tindakan yang melanggar kehormatan nama baik seseorang yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Karena itu, manakala dengan tindakan melanggar pencemaran nama baik seseorang tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain, maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat menuntut ganti rugi berdasarkan atas perbuatan melawan hukum. 4. Perbuatan yang bertentangan
dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik
Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik ini dianggap
sebagai suatu perbuatan melawan hukum.
PT Lapindo Brantas dapat digolongkan sebagai perusahaan yang penuh tumpukan tanggung jawab yang sudah sangat tinggi dan tentunya akan bertambah banyak lagi seiring dengan derasnya luapan Lumpur dan meningkatnya jumlah korban, baik korban jiwa maupun korban materiil dan immateriil yang telah dan dapat terjadi lagi.
Jika Tergugat dapat mem-buktikan hal-hal tersebut, maka dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Mengenai siapa yang dapat menggugat dan mekanisme gugatan apa yang dapat diajukan, kami berpendapat bahwa masyarakat yang menjadi korban berhak mengajukan gugatan dengan mekanisme gugatan perwakilan kelompok atau Class Action.
Selain masyarakat, organisasi yang bergerak di bidang lingkungan juga memiliki alas hak (legal standing) untuk menggugat dengan mekanisme Hak Gugat Lembaga Swadaya Masyarakat (vide: Pasal 38 ayat (1) UUPLH).
Ganti Rugi Akibat Perbuatan
Melawan Hukum
Pemberian ganti rugi bagi pihak yang haknya dilanggar sangat terkait erat dengan tujuan dari prinsip Onrechmatige Daad yaitu untuk mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya untuk memberikan rasa tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.
Bahwa selanjutnya dalam kepustakaan kontemporer pengertian dari ganti rugi adalah sesuatu yang bisa dituntut oleh pihak yang dirugikan pada pihak yang dianggap melakukan perbuatan tertentu.
Bentuk dari ganti rugi terhadap Onrechmatige Daad yang dikenal oleh hukum adalah sebagai berikut:
1. Ganti Rugi Nominal 2. Ganti Rugi Kompensasi 3. Ganti Rugi Penghukuman
Berikut ini penjelasannya bagi masing-masing kategori tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Ganti Rugi Nominal
Jika adanya perbuatan melawan hukum yang serius, seperti perbuatan yang memandang unsur kesengajaan, tetapi tidak menimbulkan kerugian yang nyata bagi korban, maka kepada korban dapat diberikan sejumlah uang tertentu sesuai dengan rasa keadilan tanpa menghitung berapa sebenarnya kerugian tersebut. Inilah yang disebut dengan ganti rugi nominal.
2. Ganti Rugi Kompensasi
Ganti rugi kompensasi merupakan ganti rugi yang merupakan pembayaran kepada korban atas dan sejumlah kerugian yang benar-benar telah dialami oleh pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum. Karena itu, ganti rugi atas segala biaya yang dikeluarkan oleh korban, kehilangan keuntungan/gaji, sakit dan penderitaan, termasuk penderitaan mental; seperti stres, malu, jatuh nama baik, dan lain-lain.
3. Ganti Rugi Penghukuman
Ganti rugi penghukuman meru-pakan suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya. Besarnya jumlah ganti rugi tersebut dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku. Ganti rugi penghukuman ini
layak diterapkan terhadap kasus-kasus kesengajaan yang berat.
Syarat-syarat materiil yang harus dipenuhi untuk menuntut ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana ditentukan pada Pasal 1365 KUH Perdata seperti berikut:
a. Adanya perbuatan melawan hukum
Pengertian hukum dalam konteks ini dimaksudkan dalam arti luas, sehingga tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan. Hal ini juga dikemukakan oleh Rachmat Setiawan yang berpendapat “perbuatan melawan hukum yaitu tidak hanya jika melawan kewajiban hukum tertulis, tetapi juga jika melanggar itikad baik yang berlaku di masyarakat”.
b. Adanya kesalahan (schuld)
Kesalahan dalam hukum perdata tidaklah mengenal kualitas dan gradasi atau tingkat-tingkatan seperti halnya dalam KUH Pidana. Dengan kata lain, kualitas kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan (dolus) maupun kealfaan (culpa) di dalam hukum perdata diberikan akibat yang sama. Menurut hukum perdata, seseorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan.
c. Adanya kerugian (schade)
Kerugian yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kerugian yang timbul akibat dari perbuatan melawan hukum dan bukan kerugian yang timbul dari wanprestasi atas suatu perjanjian. d. Adanya hubungan sebab akibat
(causaliteit)
Hal ini untuk mengetahui hubungan suatu pihak dengan kerugian yang diderita oleh pihak lain.
Dengan kata lain, perlu ada benang merah antara kerugian yang terjadi sebagai akibat dari suatu perbuatan, sehingga jika tidak ada perbuatan maka tidak ada akibat (kerugian).
Dalam perkara in casu bahwa keterlambatan penanganan dan ketidakseriusan Tergugat I tampak nyata dalam kebijakan yang diambil oleh Tergugat I. Tergugat I baru mengeluarkan kebijakan yang berskala nasional berupa Keputusan Presiden No. 13 tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo pada tanggal 8 September 2006, yakni setelah semburan Iumpur berlangsung selama 3 (tiga) bulan 12 (dua belas) hari atau total selama 102 (seratus dua) hari. Padahal pada waktu 102 (seratus dua) hari tersebut telah banyak kejadian yang terjadi dan telah tampak jelas begitu berbahayanya dampak yang timbul dan begitu besarnya penderitaan masyarakat. Pada waktu dikeluarkan kebijakan Tergugat I luas semburan lumpur dan dampaknya telah meluas sedemikian besar sehingga kebijakan Tergugat I menjadi sangat terlambat dan tidak efektif lagi;
Bahwa selanjutnya Tergugat II dan Tergugat III selaku pembantu Presiden tidak melakukan langkah-Iangkah nyata, tidak serius dan terlambat dalam mengantisipasi keadaan;
Tergugat IV telah lalai melakukan tugasnya terkait dengan penanganan segera dan seketika saat terjadinya semburan lumpur di Bulan Mei 2006, Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 384/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST. tanggal 27 Nopember 2007 yang amarnya sebagai berikut :
Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1.274.000,- (satu juta dua ratus tujuh puluh empat ribu rupiah) ;
Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat/Pembanding putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusan No. 136/PDT/2008/PT.DKI. tanggal 13 Juni 2008 ;
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada Penggugat/Pembanding pada tanggal 23 Juli 2008 kemudian
terhadapnya oleh
Penggugat/Pembanding dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 5 Agustus 2008 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 6 Agustus 2008 sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No. 79/SRT.PDT.KAS/2008/PN.JKT.PST. jo. No.384/PDT.G/2006/PN.JKT.PST. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 20 Agustus 2008 ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan yang diajukan pemohon kasasi, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka majelis hakim M.A.R.I. memutuskan yang amar putusannya berbunyi: Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian uraian yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Gugatan class action kaitannya dengan perbuatan melawan hokum dapat dilakukan dengan cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi) dan samping itu dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan secara riil eksekusi (litigasi).
2. Gugatan class action kaitannya dengan perbuatan melawan hukum sesuai dengan putusan Mahkamah Agung ternyata ditolak dan bahkan pihak penggugat harus membayar biaya perkara.
Saran
Dari uraian pembahasan sampai dengan kesimpulan dapat diberikan saran sebagai berikut :
a. Dalam kaitannya dengan gugat Class Action dan ada pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum hendaknya hakim benar-benar mempertimbangkan dan memutus sesuai dengan kerugian yang ditimbulkan.
b. Putusan hakim terutama Mahkamah Agung hendaknya berpegang pada aspek legal justice (keadilan hukum), social justice (keadilan social), dan moral justice (keadilan moral).
DAFTAR PUSTAKA
Apeldoom, van, Dr.LJ., Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2000 Djojodirjo, Moegni, MA. Perbuatan Melawan Hukum Tanggung Gugat Untuk
Kerugian Yang Disebabkan Karena Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999
Dirdjosisworo, Soedjono, DR.,S.H., Pengantar Ilmu Hukum, Djambatan, Jakarta, 1997
Fakrulloh, Prof.,DR. dan Arif, SH.,M.H., Ilmu Lembaga dan Pranata Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009
Fuad, Munir SH.,M.H., Perbuatan Melawan Hukum, Ghalia, Jakarta, 1994 Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2007 Pradjodikoro, Wirjono, Perbuatan Melanggar Hukum, Mandar Maju, 1993
Rangkuti Sundari, Siti, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Studi Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia), Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002
Salim, Peter, Drs., Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Modern English Press, Jakarta, 1991, hal. 1078
Setiawan , Rahmat, Perbuatan Melawan Hukum, Sumur Bandung, Bandung, 1987
Simorangkir, J.C.T., SH., et.Al., Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000 Soeharto, H., SH., Seminar Internasional : Prosedur Class Action dan
Penerapannya di Peradilan Indonesia (Dalam varia Peradilan Majalah Hukum), IKAHI, Jakarta, Tahun XVII No. 1999 April 2002
Soekanto, Soerjono, Prof., Dr., S.H.,M.A., Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1985
Sundari, E.,S.H., M.H., Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Studi Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia), Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002
Suyuthi, Wildan Drs. H. SH.,M.H., Kapita Selekta Hukum Lingkungan Hidup, M.A.R.I., Jakarta 2002