• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian adalah tahap persiapan bahan utama yang digunakan dalam pembuatan cookies jagung yaitu tepung jagung. Kondisi bahan baku akan sangat berpengaruh pada mutu produk akhir yang dihasilkan, termasuk saat penyimpanannya (Hariyadi 2006). Tahap persiapan tersebut yaitu analisis jagung pipil, pembuatan tepung jagung, dan analisis tepung jagung yang dihasilkan.

1. Analisis jagung pipil

Jagung yang digunakan dalam penelitian adalah varietas BPPT-IPB 1. Jagung pipil perlu dianalisis untuk melihat karakteristiknya karena dapat berpengaruh terhadap produk akhir. Analisis yang dilakukan adalah analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat by difference) yang dapat dilihat pada Tabel 20. Kadar air jagung pipil yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu tipe III SNI 01-3920-1995 yaitu memiliki kadar air maksimal 15%.

Tabel 20 Komposisi kimia proksimat jagung pipil

Parameter b/b (%) b/k(%) Kisaran b/k(%)* Kadar air 15,2 17,9 7 – 23 Kadar abu 1,5 1,8 1,1 – 3,9 Kadar lemak 4,8 5,6 3,1 – 5,7 Kadar protein 7,5 8,8 6 – 12 Kadar karbohidrat 71,0 83.8 – *) Haryadi et al. (1991)

2. Pembuatan tepung jagung

Jagung yang digunakan dalam pembuatan cookies jagung dibuat dalam bentuk tepung. Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (Zea mays LINN.) yang bersih dan

(2)

baik. Pada penelitian ini, proses pembuatan tepung jagung dilakukan dengan metode kering. Gambar 11 menunjukkan tepung jagung yang telah dihasilkan dari tahapan pembuatan tepung jagung.

Gambar 11 Jagung (kiri) dan tepung jagung (kanan)

Pembuatan tepung jagung dimulai dari proses pemipilan jagung secara manual dengan menggunakan sendok. Rendemen pemipilan jagung pipil dari jagung tongkol dapat dilihat pada Tabel 21. Jagung pipil yang dihasilkan kemudian direndam selama 20 menit dengan tujuan untuk membuat jagung pipil tersebut tidak terlalu keras sehingga mempermudah proses pelepasan kulit ari dan juga proses penggilingan kasar. Selain itu, perendaman bertujuan untuk membersihkan jagung pipil dari kotoran yang mengontaminasi. Setelah perendaman, dilakukan pelepasan kulit ari dan tip cap dengan menggunakan alat polisher selama 25 menit.

Tabel 21 Rendemen pemipilan jagung pipil dari jagung tongkol Bahan Berat rata-rata (kg)

Jagung tongkol 13.040

Jagung pipil 10.280

Tongkol jagung 2.310

Penyosohan bertujuan untuk memisahkan kulit (sekam) dari butir biji dengan tingkat kerusakan minimum atau biji pecah kulit yang maksimum (Nashirudin 2009). Kulit ari harus dilepaskan dari jagung pipil karena memiliki

(3)

kandungan serat yang tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar. Pelepasan tip cap dilakukan karena dapat menimbulkan butir-butir hitam pada tepung. Jagung yang telah dimasukkan ke dalam polisher disebut jagung sosoh. Proses ini menghasilkan rendemen jagung sosoh sebesar 75.2% dan kulit ari sebesar 26.6%.

Jagung sosoh kemudian dimasukkan ke dalam disc mill tanpa saringan untuk pengecilan ukuran. Proses ini disebut penggilingan pertama. Pada penggilingan pertama ini dihasilkan beras jagung dimana bagian lembaga, kulit, dan tip cap terpisah dari bagian endosperm. Rendemen beras jagung yang dihasilkan dari penggilingan kasar ini sebesar 72.6%. Pada penggilingan kasar ini terdapat loss sebesar 0.26% karena tertinggal di alat. Gambar 12 menunjukkan disc mill yang digunakan dalam pembuatan tepung jagung dan beras jagung yang dihasilkan.

Gambar 12 Disc mill tanpa saringan (kiri) dan beras jagung

Beras jagung yang dihasilkan dari penggilingan pertama masih bercampur dengan kotoran, kulit, tepung kasar, dan komponen lain yang tidak diinginkan. Proses yang dilakukan untuk memisahkan beras dari semua campuran tersebut yaitu dengan mencuci dan merendam di dalam air selama 1 jam. Proses ini juga bertujuan untuk memperlunak jaringan jagung yang masih keras sehingga ketika digiling dengan disc mill akan lebih mudah. Pada proses ini, rendemen perikarp dan germ sebesar 10.2%.

Beras jagung yang telah dipisahkan dari perikarp dan germ kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pengering pada suhu 600C selama 2 jam.

(4)

beras jagung kering yang dihasilkan dari proses ini sebesar 58.2%. Beras jagung kering kemudian dimasukkan ke dalam disc mill dengan menggunakan saringan untuk dilakukan penggilingan kedua.

Hasil dari penggilingan kedua adalah tepung jagung, tetapi masih terdapat tepung kasar yang belum terpisahkan berdasarkan ukurannya. Rendemen tepung jagung yang dihasilkan sebesar 53.4%. Pada penepungan ini terdapat loss sebesar 4.8% karena masih ada tepung jagung yang tertinggal pada alat. Tepung jagung ini kemudian dikeringkan dengan oven pengering 600C selama 3 jam untuk mengurangi kandungan air yang dapat menyebabkan kerusakan. Lopulalan (2008) menyatakan bahwa pengeringan kedua bertujuan untuk memastikan bahwa tepung jagung benar-benar telah kering untuk mencegah tepung menjadi asam. Loss sebesar 1.3% pada proses pengeringan tepung jagung.

Tepung kasar dipisahkan dengan tepung halus melalui proses pengayakan. Fungsi dari pengayakan yaitu untuk menghomogenkan ukuran dari tepung jagung yang diinginkan. Proses pengayakan dilakukan selama 1 jam dan menghasilkan rendemen sebesar 30.8% dari keseluruhan jagung pipil atau sekitar 3.08 kg. Sisanya yaitu berupa tepung kasar (tidak lolos ayakan 120 mesh) sebesar 20.7%. Gambar 13 menunjukkan alat pengayak yang digunakan dalam pembuatan tepung.

Gambar 13 Alat pengayak tepung

Prinsip kerja dari pengayak yang berdasarkan pada ukuran didasarkan pada penjatuhan bahan padat di atas permukaannya dan menyebabkan bahan yang

(5)

berukuran kecil lolos melewati lubang dan bahan yang berukuran besar tetap tinggal pada permukaan ayakan. Pengayak yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengayak bergetar. Pengayak bergetar ini digunakan untuk pemisahan bahan dalam jumlah besar.

Pergerakan alat ini didasarkan pada getaran yang dihasilkan oleh tenaga listrik. Pengayak yang digunakan bergerak secara otomatis ketika tombol penghidup alat mulai dinyalakan. Pergerakan mesin pengayak yaitu berupa gerakan rotasi atau gerakan yang tetap dalam satu tempat. Di bagian bawah mesin terdapat beberapa pegas yang dapat berfungsi sebagai penahan antara mesin dengan tempat hasil filter dan pengayak, sehingga dengan adanya pegas ini, keseluruhan mesin dapat bergerak rotasi. Gerak rotasi yang bergetar ini akan menyebabkan tumpukan tepung jagung membuat lingkaran kosong yang berfungsi sebagai tempat untuk menyeleksi tepung jagung berdasarkan ukuran yang diinginkan. Ukuran tepung jagung yang lolos dari ukuran saringan akan turun ke tempat penampung yang selanjutnya akan masuk ke dalam sebuah wadah sebagai tempat terakhir penampungan.

Tepung jagung yang dihasilkan berwarna kuning sesuai dengan warna biji jagung yang digiling. Hal ini disebabkan adanya karoten pada biji jagung. Tepung jagung memiliki kandungan lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan terigu, tetapi tepung jagung memiliki kandungan serat yang lebih besar. Rendahnya lemak pada tepung jagung dapat menyebabkan tepung menjadi lebih awet karena tidak mudah tengik oleh oksidasi lemak.

Banyaknya serat pada tepung jagung menyebabkan tepung jagung memiliki tekstur yang lebih kasar dibandingkan dengan terigu. Untuk memperoleh tepung jagung dengan ukuran yang sehalus terigu, maka diperlukan pengayakan dengan mesh yang lebih besar tetapi rendemen tepung jagung yang dihasilkan akan menjadi semakin berkurang (Lopulalan 2008). Neraca massa dapat dilihat pada Lampiran 6 dan hasil pembuatan tepung jagung pada Lampiran 7.

3. Analisis tepung jagung

Tepung jagung yang diperoleh dari tahap pembuatan tepung jagung perlu dianalisis. Hal ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik tepung jagung

(6)

tersebut. Karakteristik tepung jagung dapat mempengaruhi cookies jagung yang dihasilkan. Analisis dilakukan terhadap karakteristik kimia dan fisik tepung jagung.

3.1 Analisis kimia

Untuk mengetahui kandungan zat gizi dalam tepung jagung yang dihasilkan, maka dilakukan analisis proksimat. Analisis proksimat tersebut meliputi kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat (by difference). Selain itu, analisis kimia lain yang dilakukan adalah analisis total pati, amilosa, dan serat kasar. Komposisi kimia proksimat tepung jagung dapat dilihat Tabel 22.

Tabel 22 Data hasil analisis kimia tepung jagung

Parameter b/b (%) b/k (%) Kadar air 7.45 8.06 Kadar abu 0.13 0.14 Kadar lemak 2.38 2.57 Kadar protein 6.67 7.21 Kadar karbohidrat 83.37 90.08

Kadar serat serat (%) 0.88 0.95

Kadar amilosa (%) 27.90

-Total pati (%) 59.40

-Keterangan: b/b = berat basah b/k = berat kering

a. Kadar air

Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa tepung jagung memiliki kadar air sebesar 7.45 (% b/b). Nilai kadar air tersebut berbeda jauh dengan kadar air jagung pipil. Perbedaan kadar air jagung pipil dengan tepung jagung tersebut disebabkan oleh proses pembuatan tepung jagung yang dilakukan, yaitu pada tahap pengeringan dengan menggunakan oven pengering. Selama pengeringan, terjadi pelepasan air yang menyebabkan kadar air tepung jagung mengalami penurunan.

(7)

Jenis oven pengering yang digunakan termasuk ke dalam tray dryer dengan udara panas kering keluar dari lubang yang terdapat pada sisi kanan dan kiri oven. Kecepatan proses pengeringan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal adalah sifat kimia, struktur fisik serta ukuran bahan, sedangkan faktor ekternal adalah suhu udara dan kecepatan udara (Fellows dan Hamptonnes 1992 diacu dalam Lopulalan 2008).

Kadar air sangat dipengaruhi oleh cara penyimpanan atau lama waktu dari pemanenan sampai bahan diolah menjadi suatu produk (Lopulalan 2008). Penentuan kadar air diperlukan sebab berpengaruh pada daya simpan tepung jagung. Makin tinggi kadar air suatu bahan maka makin tinggi kemungkinan bahan tersebut rusak. Kadar air tepung jagung yang dihasilkan memenuhi syarat mutu kadar air tepung jagung yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dalam SNI 01-3727-1995 yang menetapkan kadar air maksimum sebesar 10 (% b/b).

b. Kadar abu

Kadar abu dari suatu bahan perlu diketahui agar dapat digunakan untuk menentukan kadar mineral yang terkandung dalam bahan tersebut yang berupa abu sisa pembakaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar abu tepung jagung sebesar 0.13 (% b/b), sedangkan kadar abu jagung pipil sebesar 1.5 (% b/b). Rendahnya kadar abu tepung jagung disebabkan oleh tahapan pada pembuatan tepung jagung yaitu pemisahan beras jagung dengan lembaga yang mengandung 75% dari total mineral (Lopulalan 2008). Kadar abu juga dipengaruhi oleh jenis bahan, umur bahan, dan lain-lain. Kadar abu tepung jagung yang dihasilkan masih memenuhi syarat mutu SNI yaitu maksimal 1.5 (% b/b).

c. Kadar lemak

Data kadar lemak tepung jagung adalah 2.38 (% b/b). Kadar lemak bukan merupakan salah satu syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI 01-3727-1995. Pengetahuan kadar lemak tepung jagung terkait dengan proses gelatinisasi. Kadar lemak yang tinggi akan dapat mengganggu proses gelatinisasi, sebab lemak dapat membuat kompleks dengan amilosa sehingga amilosa tidak keluar dari granula

(8)

pati (Lopulalan 2008). Dengan mengetahui kadar lemak tepung, maka akan memudahkan untuk menentukan tujuan pembuatan suatu produk (Riyani 2007).

Daftar komposisi bahan makanan (Depkes 1998) menunjukkan bahwa kadar lemak tepung jagung kuning sebesar 3.9%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar lemak tepung jagung masih di bawah acuan DKBM. Nilai kadar lemak yang diperoleh relatif kecil apabila dibandingkan dengan kadar lemak tepung jagung varietas nasional yaitu 7-8% (Riyani 2007). Rendahnya kadar lemak pada tepung jagung karena pada proses pembuatan tepung telah dilakukan pemisahan antara beras jagung dengan lembaga dan perikarp dimana terdapat kandungan lemak yang tinggi pada kedua bagian tersebut.

d. Kadar protein

Kadar protein tepung jagung bukan merupakan salah satu syarat mutu tepung jagung. Kadar protein tepung sangat penting untuk melengkapi gizinya. Kadar protein tepung jagung adalah 6.67 (% b/b) dan 7.21 (% b/k). Faktor konversi yang digunakan dalam perhitungan adalah faktor konversi untuk jagung yaitu 6.25 karena faktor konversi tepung jagung belum ditetapkan.

Data kadar protein menunjukkan terjadi penurunan kadar protein tepung jagung dibandingkan dengan jagung pipil. Hal ini disebabkan oleh pengeringan pada proses pembuatan tepung jagung dari jagung pipil. Pengeringan menyebabkan kerusakan protein seperti denaturasi, struktur agregasi dan berkurangnya aktivitas enzim rehidrasi, dimana kerusakan protein ditandai dengan perubahan seluruh struktur sekunder protein.

e. Kadar karbohidrat

Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi utama bagi tubuh. Karbohidrat dalam tepung terdiri dari karbohidrat dalam bentuk gula-gula sederhana, pentosa, dekstrin, selulosa dan pati (Ahza 1983 diacu dalam Lopulalan 2008). Semakin manis rasa tepung, maka kandungan karbohidrat dalam bentuk gula-gula sederhana juga semakin tinggi dan kandungan patinya akan semakin

(9)

rendah. Berdasarkan hasil analisis, nilai kadar karbohidrat tepung jagung sebesar 83.37 (% b/b).

f. Kadar serat kasar

Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan manusia. Serat jagung banyak terdapat pada bagian perikarp. Pada proses penepungan perikarp dibuang sehingga menurunkan serat tepung.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kadar serat kasar tepung jagung adalah 0.88 (% b/b) dan 0.95 (% b/k). SNI 01-3727-1995 mencantumkan maksimum kandungan serat kasar tepung jagung adalah 1.5% (% b/b). Jika nilai hasil perhitungan dibandingkan dengan SNI persyaratan mutu tepung jagung maka kadar serat kasar tepung jagung yang dihasilkan memenuhi syarat.

Walaupun berpengaruh pada tekstur tepung (menjadi lebih kasar), serat kasar berperan penting dalam penilaian kualitas bahan makanan karena angka ini merupakan indeks dan menentukan nilai gizi bahan makanan tersebut. Hal ini berarti kandungan serat pangan yang tinggi bermanfaat untuk kesehatan, tetapi dari segi kualitas fisik berpengaruh terhadap tingkat kehalusan tepung (Suarni 2009).

g. Kadar amilosa

Kadar amilosa dari pati diperoleh dengan reaksi antara amilosa dengan iodin untuk membentuk kompleks yang stabil, yang diukur dengan spektrofotometri atau titrasi potensiometri (Breslauler 2003). Pengetahuan tentang kadar keduanya penting karena rasio amilosa dan amilopektin mempengaruhi gelatinisasi dan karakteristik pengkristalan (Karlsson et al. 2007).

Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan intramolekulnya. Semakin banyak amilosa pada pati akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Kadar amilosa tepung jagung hasil analisis yaitu sebesar 27.90%. Jagung memiliki kandungan amilosa sebanyak 25-30% berat pati (Lopulalan 2008).

(10)

h. Kadar total pati

Pati merupakan komponen utama yang terdapat pada jagung yaitu sekitar 72-73%. Pati sebagian besar terdapat pada endosperm yaitu sebesar 98% (Haryadi et al. 1991). Hasil analisis tepung jagung diperoleh total pati sebesar 59.40%. Hasil penelitian Juniawati (2003) menunjukkan bahwa kandungan pati yang terdapat pada tepung jagung yaitu sebesar 68.20%. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kadar total pati tepung jagung yang digunakan belum cukup tinggi sehingga belum dapat digunakan sebagai produk pangan berkarbohidrat tinggi. Jika dibandingkan dengan kadar total pati pada ekstrak pati jagung, nilai total pati pada tepung jagung tidaklah tinggi. Hal ini disebabkan tepung jagung tidak melewati tahap ekstraksi pati sehingga banyak komponen-komponen seperti serat atau lignin (Riyani 2007).

3.2 Analisis fisik

a. Rendemen tepung jagung

Rendemen merupakan persentase antara produk akhir (tepung jagung) yang dihasikan dengan produk awal. Rendemen sangat penting diketahui untuk mendapat gambaran seberapa besar suatu produk dapat dimanfaatkan dengan baik dan nilai ekonomis produk tersebut. Semakin tinggi rendemen suatu produk dapat dikatakan produk tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi pula (Lopulalan 2008).

Rendemen yang dihasilkan pada pembuatan tepung jagung yang lolos ayakan 120 mesh adalah 30.80% dari keseluruhan jagung pipil atau sekitar 3.08 kg dari 15 kg jagung pipil. Rendemen yang cukup kecil tersebut disebabkan oleh material yang tertinggal pada alat-alat yang digunakan selama proses pembuatan tepung jagung seperti polisher, oven, disc mill, pengayak. Selain itu, penyebab rendemen yang dihasilkan kecil yaitu cukup tingginya kadar air bahan baku jagung yang digunakan. Rendemen tepung yang dihasilkan tergantung pada kandungan air dan bahan kering dari bahan baku segarnya (Sunandar 2004). Kadar air jagung pipil yang digunakan adalah 15.20 % (b/b) dan 17.9% b/k. Kandungan air yang cukup tinggi dalam bahan pangan akan menghasilkan rendemen yang kecil ketika ditepungkan.

(11)

Mesh tepung yang tinggi pun menjadi penyebab rendahnya rendemen tepung jagung yang dihasilkan. Ukuran ayakan yang umum digunakan untuk penepungan adalah 80 mesh (Herodian et al. 2008). Rendemen hasil pengayakan relatif rendah karena ukuran mesh ayakan yang digunakan tinggi yaitu 120 mesh sehingga hancuran tepung jagung yang lolos ayakan relatif rendah. Lopulalan (2008) menambahkan, untuk memperoleh tepung sehalus terigu maka dibutuhkan pengayakan dengan mesh yang lebih besar namun rendemen yang dihasilkan semakin berkurang (Lopulalan 2008).

Riyani (2007) melaporkan bahwa rendemen tepung jagung 6 varietas nasional hampir mencapai 100% yaitu 96.25-99.89% baik metode kering maupun metode alkali cooked milling. Nilai tersebut masih lebih tinggi dibandingkan rendemen tepung jagung yang diperoleh. Hal yang membedakan keduanya adalah mesh ayakan yang digunakan oleh Riyani (2007) lebih kecil dan proses pembuatan tepung jagung dilakukan tanpa pemisahan lembaga, perikarp, dan endosperm.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rendemen tepung jagung adalah dengan melakukan penggilingan berulang. Tepung yang tidak lolos ayakan 120 mesh digunakan kembali untuk penepungan kembali sehingga diperoleh tepung yang lebih halus lagi dan lolos ayakan 120 mesh. Selain itu, perlu dilakukan pembuatan tepung jagung yang lebih baik lagi sehingga loss yang dihasilkan pada setiap tahapan dapat seminimal mungkin.

Rendemen tepung jagung yang rendah berpengaruh terhadap biaya produksi cookies jagung. Semakin rendah rendemen maka biaya produksi yang diperlukan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan oleh pengeluaran biaya yang semakin tinggi dalam rangka memenuhi jumlah tepung jagung yang diperlukan setiap kali berproduksi. Cookies jagung yang dihasilkan pun akan memiliki harga yang semakin tinggi pula. Hal ini dapat mengakibatkan harga cookies jagung sulit bersaing dengan harga cookies komersil.

b. Densitas kamba

Densitas kamba merupakan karakteristik fisik yang penting dari tepung serealia karena berperan dalam penyimpanan, pengankutan, dan pemasaran.

(12)

Densitas kamba tepung diartikan sebagai banyaknya partikel yang dapat memenuhi suatu kontainer (Breslauer 2003). Nilai densitas kamba yang besar menunjukkan produk yang lebih ringkas. Tingkat keringkasan yang tinggi menunjukkan porositas yang dimiliki tepung jagung kecil, yaitu rongga-rongga yang terdapat di antara partikel adalah kecil. Berdasarkan hasil pengukuran, densitas kamba tepung jagung sebesar 0.7 g/ml. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada volume 1 ml, berat tepung jagung sebesar 0.7 g. Nilai tersebut sesuai dengan data densitas kamba tepung jagung yang dilaporkan oleh Breslauer (2003) yaitu sekitar 0.5-0.7 g/ml.

c. Profil gelatinisasi pati

Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Apabila granula pati dipanaskan di dalam air, maka energi panas akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin (Nopianto 2009).

Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya gelatinisasi disebut dengan suhu gelatinisasi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu awal dan suhu puncak gelatinisasi berturut-turut adalah 26 dan 42.50 menit dengan suhu awal gelatinisasi sebesar 69°C dan suhu puncak gelatinisasi sebesar 93.75°C.

Proses gelatinisasi pati menyebabkan perubahan viskositas larutan pati. Brabender amilograf menunjukkan bahwa larutan pati sebelum dipanaskan memiliki viskositas 0 unit. Pemanasan menyebabkan granula pati sedikit demi sedikit mengalami pembengkakan sampai titik tertentu. Pembengkakan pati diikuti dengan peningkatan viskositas hingga viskositas maksimum. Nilai viskositas maksimum yang dihasilkan pada pengukuran ini dinyatakan dalam

(13)

Brabender Unit (BU). Viskositas maksimum yang diperoleh adalah 725 BU. Semakin besar pembengkakan granula, viskositas semakin besar. Sifat amilografi tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 23. Semakin tinggi viskositas maksimum, berarti kemampuan pati dalam menyerap air semakin besar dan daya lengket semakin besar.

Tabel 23 Sifat amilografi tepung jagung Sifat amilograf Tepung jagung Suhu awal gelatinisasi (ºC) 69

Suhu puncak (ºC) 93.75

Viskositas puncak (BU) 725

Viskositas 95 (BU) 720

Viskositas 95/20 (BU) 600

Viskositas 50 (BU) 1000

Viskositas 50/20 (BU) 1170

Setback (BU) 275

Stabilitas pasta dingin (BU) 170

Breakdown (BU) 120

Stabilitas pasta panas diukur berdasarkan selisih dari viskositas maksimum setelah pemanasan pada suhu konstan (95ºC) selama 20 menit (Pratiwi 2008). Stabilitas panas juga disebut dengan breakdown. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai breakdown tepung jagung sebesar 120 BU. Nilai breakdown menunjukkan kemampuan tepung atau pati dalam mempertahankan viskositasnya selama pemanasan. Nilai breakdown yang besar selama pemasakan menunjukkan bahwa granula pati yang telah membengkak secara keseluruhan memiliki sifat yang rapuh.

Viskositas balik (setback) merupakan selisih antara viskositas pada akhir pendinginan (50ºC) dengan viskositas pada akhir pemasakan pada suhu konstan (95ºC). Nilai setback ini menunjukkan kecerendungan pati dalam beretrogradasi. Semakin tinggi viskositas setback berarti semakin tinggi pula kemampuan pati dalam beretrogradasi (Li dan Yeh 2001 diacu dalam Pratiwi 2008). Semakin besar

(14)

kecenderungan untuk beretrogradasi, kekerasan produk setelah didinginkan semakin meningkat. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tepung jagung memiliki setback sebesar 275 BU dan menandakan bahwa tepung jagung yang digunakan mudah untuk beretrogradasi. Dalam pembuatan produk, retrogradasi merupakan hal yang tidak diinginkan (Pratiwi 2008). Hasil amilografi tepung jagung dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Kurva hasil amilografi tepung jagung

d. Derajat warna

Warna merupakan salah satu atribut penting untuk produk pangan. Metode yang digunakan dalam analisis derajat warna ini adalah Hunter. Pada sistem ini terdapat 3 parameter yaitu a, b, dan L.

Hasil pengukuran dengan alat chromameter menunjukkan bahwa nilai a tepung jagung sebesar +0.12. Nilai a yang positif menandakan bahwa warna tepung jagung cenderung berwarna merah daripada hijau, namun warna merah tersebut tidak pekat karena nilai a sangat jauh dari maksimal nilai merah yaitu 100.

Tepung jagung memiliki nilai b sebesar +39.45. Angka positif tersebut menandakan bahwa warna tepung jagung adalah kuning, tetapi angka yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut cukup jauh di bawah nilai 70 yang berarti bahwa warna kuning tepung jagung tidak terlalu pekat.

95 95 50 50

(15)

Nilai L yang diperoleh dari pengukuran adalah 82.51. Hasil tersebut menandakan bahwa warna tepung jagung sangat cerah. Hal ini diperkuat dengan nilai L yang hampir mendekati maksimal nilai yaitu 100.

Selain itu, diperoleh data ºHue sebesar 89.90. Data ºHue dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik warna suatu produk pangan. Warna tepung jagung tergolong ke dalam kisaran warna 54-90, yaitu Yellow-Red atau merah kekuningan. Diagram warna Lab metode Hunter dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Diagram warna Lab metode Hunter

B. Tahap Penelitian Utama

Setelah tahap persiapan penelitian maka dilakukan tahap penelitian utama. Tahap penelitian utama menjadi topik penelitian yang dilakukan. Tahap penelitian utama meliputi formulasi cookies jagung, analisis cookies jagung, dan pendugaan umur simpan produk dengan pendekatan kadar air kritis.

1. Formulasi cookies jagung

Formulasi cookies jagung terbagi atas 3 tahap yaitu formulasi kesatu, kedua, dan ketiga. Formulasi memegang peranan penting dalam perencanaan pembuatan suatu produk pangan. Formulasi cookies jagung diawali dengan penentuan parameter waktu pengadukan dilakukan pada saat pembentukan krim antara lemak dengan gula dan antara krim lemak-gula dengan telur. Pencampuran merupakan tahap yang penting dalam pembuatan cookies. Kemampuan (mutu) pengkriman lemak merupakan hal yang penting karena saat pengkriman, lemak

(16)

Pengujian dilakukan pada 0.5 menit, 1 menit, 1.5 menit, dan 2 menit. Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh waktu pembentukan krim selama 2 menit dan pencampuran dengan telur selama 1 menit. Hasil trial dan error penentuan waktu pengadukan dapat dilihat pada Tabel 24. Hasil pengamatan sesuai dengan pernyataan Wahyuni (2006) yaitu gula dan margarin sebaiknya hanya sekedar dicampur dan tidak dikocok terlalu lama. Cookies yang dicetak setelah dipanggang sering mengalami pelebaran motif dan bentuk karena pengocokan margarin dan gula terlalu lama atau jumlah tepung terigunya kurang (Wahyuni 2006).

Tabel 24 Hasil trial and error waktu pengadukan

Waktu Pembentukan krim Pencampuran krim dengan telur 0.5 menit Tidak terbentuk krim Tidak merata

1 menit Krim tidak merata Merata

1.5 menit Krim tidak merata Merata

2 menit Merata Merata

Waktu pengadukan yang dilakukan berbeda dengan penelitian Lopulalan (2008) pada pembuatan biskuit jagung. Pembentukan krim antara margarin, gula halus, dan garam dilakukan selama 10 menit. Pengocokan yang berlebihan akan merusak susunan gluten dan akan membuat adonan menjadi panas sehingga merusak tekstur biskuit serta menyebabkan retak pada permukaan biskuit pada saat pemanggangan (Inayati 1991). Pengocokan margarin dan gula yang terlalu lama pun dapat menyebabkan penyusutan ukuran kristal gula sehingga cookies yang dihasilkan menjadi lebih kecil dan padat.

1.1 Formulasi kesatu cookies jagung

Penentuan formula kesatu bertujuan untuk mendapat substitusi tepung jagung optimal terhadap terigu yang masih memungkinkan dalam pembuatan cookies. Formulasi cookies jagung dilakukan dengan menggunakan trial and error untuk menentukan formulasi cookies secara organoleptik yang disukai oleh

(17)

konsumen. Jumlah bahan baku yang digunakan dalam formulasi cookies disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 Formulasi kesatu cookies jagung

Bahan Komposisi (g) % Gula 30 30 Margarin 30 30 Mentega 7 7 Vanili 0.2 0.2 Putih telur 25 25 Kuning telur 7 7 Cream of tartar 0.4 0.4 Susu skim 14 14 Garam 0.8 0.8 Soda kue 0.2 0.2

Perbandingan tepung jagung dan terigu yang digunakan dalam formulasi awal cookies jagung terdiri dari beberapa tingkat yaitu 100:0, 90:10, 80:20, 70:30, 60:40, dan 50:50. Perbandingan antara tepung jagung dan terigu dengan basis total tepung yang digunakan. Pengujian dilakukan terhadap karakteristik kalis adonan yang terbentuk. Karakteristik adonan dengan berbagai tingkat perbandingan tepung dapat dilihat pada Tabel 26. Pengujian adonan dilakukan dengan melihat penampakan adonan yang dihasilkan (Gambar 16).

Tabel 26 Karakteristik adonan pada beberapa tingkat substitusi tepung Perbandingan tepung (%)

Karakteristik adonan Tepung jagung Terigu

100 0 Kurang kalis, adonan tidak menyatu

90 10 Kalis

80 20 Kalis

70 30 Agak lembek

60 40 Agak lembek, berminyak

(18)

100 : 0 90:10 80:20

70:30 60:40 50:50 Gambar 16 Penampakan adonan formulasi kesatu

Hasil yang diperoleh adalah adonan (60:40) dan (50:50) sulit untuk dicetak. Hal tersebut disebabkan adonan yang dihasilkan tidak kalis dan berminyak. Jika perbandingan tepung jagung lebih banyak daripada terigu maka membutuhkan bahan pengikat yang banyak untuk membuat adonan menjadi kalis. Jika penambahan bahan pengikat terlalu sedikit maka adonan sulit dicetak.

Apabila rasio tepung jagung (mendekati) seimbang dengan terigu maka tidak membutuhkan penambahan bahan pengikat yang banyak. Penambahan bahan pengikat (misalnya air) yang banyak akan membuat tekstur menjadi liat dan tidak renyah. Hal tersebut disebabkan oleh interaksi yang terjadi antara protein, polisakarida, dan air mempunyai peran terhadap kerenyahan produk (Roudaut et al. 2002).

Berdasarkan Tabel 26 dan Gambar 16, maka dapat dilihat bahwa karakteristik adonan kalis dimiliki oleh formula dengan rasio tepung jagung-terigu sebesar 90:10 dan 80:20. Karakteristik fisik adonan berasal dari komposisi penyusun adonan, jumlah air yang ditambahkan, kondisi pencampuran bahan-bahan, dan suhu adonan (Manley 2001).

Keenam formula dalam formulasi kesatu selanjutnya diuji secara organoleptik. Uji organoleptik bertujuan untuk menentukan rasio tepung jagung dengan terigu yang dipilih untuk formulasi kedua. Keenam formula dicobakan secara subjektif ke 25 orang panelis semi terlatih. Atribut sensori yang diuji yaitu warna, rasa, dan tekstur (sandiness). Hasil uji organoleptik tersebut kemudian diolah dengan analisis ragam ANOVA untuk melihat apakah ada perbedaan yang

(19)

nyata diantara keenam produk baik dari segi warna, rasa, maupun tekstur (sandiness). Hasil uji organoleptik formulasi kesatu cookies jagung dapat dilihat pada Gambar 17.

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%).

Gambar 17 Hasil penilaian uji organoleptik formulasi kesatu cookies jagung

Hasil uji ANOVA formulasi kesatu dapat dilihat pada Lampiran 8 dan Lampiran 9. Sebelum faktor-faktor lain yang dipertimbangkan, atribut warna memegang peranan yang sangat penting karena kesan pertama yang didapatkan dari bahan pangan adalah warna. Hasil tests of between-subjects effects terhadap atribut warna adalah nilai signifikansi sebesar 0.000 dan nilai tersebut lebih kecil daripada 5%. Hal tersebut menandakan bahwa warna keenam formula yaitu cookies jagung yang terbuat dari 100: 0 sampai dengan formula 50:50 berbeda nyata. Hasil uji ANOVA dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa warna formula 80:20, 70:30, dan 60:40 merupakan cookies yang lebih disukai dibandingkan dengan formula lainnya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi warna produk cookies adalah tepung jagung yang

(20)

digunakan, lemak, telur, dan proses pemanggangan. Semakin banyak tepung jagung yang digunakan warna produk akhir menjadi semakin kuning. Cookies jagung dengan formula 50:50 bewarna lebih cerah dibandingkan dengan formula lain karena jumlah tepung jagung yang digunakan setara dengan terigu.

Rasa merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis, asam, dan pahit yang diakibatkan oleh bahan yang terlarut dalam mulut (Meilgaard et al. 1999). Hasil ANOVA atribut rasa menunjukkan signifikansi 0.022 yang lebih kecil dibandingkan taraf signifikansi 5%. Hal ini menandakan bahwa rasa keenam formula berbeda nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa cookies jagung yang lebih disukai adalah cookies jagung dengan perbandingan tepung jagung dan terigu sebesar 80:20, 60:40, dan 50:50.

Penambahan tepung jagung yang semakin besar memberikan pengaruh yang nyata terhadap tekstur (sandiness) cookies yang dihasilkan. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi tekstur sebesar 0.000 yang lebih kecil dari 5%. Tekstur (sandiness) yang diujikan lebih diarahkan pada sifat berpasir cookies jagung. Sandiness adalah rasa berpasir pada akhir rasa di mulut. Tekstur cookies yang dihasilkan semakin masir dengan semakin meningkatnya penggunaan tepung jagung. Hal ini disebabkan oleh tepung jagung yang bersifat kasar (Suarni 2009). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tesktur formula 80:20, 70:30, 60:40, dan 50:50 lebih disukai dibandingkan formula 100:0 dan 90:10. Cookies jagung yang dihasilkan pun menjadi lebih padat yang disebabkan oleh kandungan gluten kecil yang tidak kuat dan elastis sehingga cookies tidak mengembang dan mengakibatkan tekstur cookies menjadi padat.

Semakin tinggi penambahan tepung jagung maka akan menurunkan kadar gluten pada total tepung (Sibuea 2001). Tepung jagung mempunyai andil dalam penyerapan air dalam adonan tetapi tidak menguatkan adonan yang menyebabkan produk mempunyai tekstur yang lebih keras dibandingkan dengan terigu. Kandungan tepung terigu yang semakin menurun menyebabkan tekstur semakin padat. Peningkatan kadar gluten meningkatkan kualitas kue dengan menciptakan viskositas yang sesuai saat pencampuran dan pada awal pemanggangan. Gluten juga memiliki daya serap sehingga adonan dapat menahan udara yang mengembang dan kemampuan untuk menyeragamkan dispersi dari bahan-bahan.

(21)

Gluten meningkatkan volume kue dan pada saat yang sama menekan dinding sel ketahanan terhadap keruntuhan (Wilderjans et al. 2008).

Produk cookies jagung yang lebih disukai baik warna, rasa, maupun tekstur adalah cookies yang terbuat dari perbandingan 80:20 dan 60:40. Jika dilihat dari segi biaya produksi maka formula 80:20 lebih menguntungkan dibandingkan 60:40 karena lebih banyak mengandung tepung jagung dibandingkan terigu. Hasil uji organoleptik tersebut dihubungkan dengan konsistensi adonan secara visual. Adonan kalis terbentuk pada formula 90:10 dan 80:20 dan skor kesukaan yang lebih tinggi adalah formula 80:20. Oleh karena itu, formula terbaik pada tahap formulasi kesatu adalah 80:20 yang terbuat dari 80% tepung jagung dan 20 % terigu.

Hasil formulasi kesatu menunjukkan bahwa cookies dapat dibuat dari tepung jagung lebih dari 50%. Hal ini sesuai dengan Suarni (2009) yang menyatakan tepung jagung dapat mensubstitusi terigu dalam pembuatan kue kering hingga 50-80%. Permasalahannya adalah cookies jagung yang dihasilkan menimbulkan kesan masir ketika dikunyah. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dilakukan trial and error dengan mengubah jumlah telur yang ditambahkan. Permasalah yang sama yaitu berpasir pun dijumpai pada penelitian biskuit jagung oleh Lopulalan (2008) dengan formula biskuit jagung 80:20.

1.2 Formulasi kedua cookies jagung

Tepung jagung memiliki tekstur agak kasar, kandungan gluten relatif rendah (< 1%) (Suarni 2009). Hal tersebut menyebabkan cookies jagung yang dihasilkan menjadi berpasir. Rasa berpasir (sandiness) tersebut dapat disebabkan oleh adonan tepung yang tidak menyatu. Oleh karena itu, emulsifier perlu ditambahkan sehingga dapat mengikat tepung jagung dengan bahan lainnya. Pemgemulasi digunakan untuk menghilangkan sandiness (Anonimb 2010). Asam lemak dan emulsifier dapat mengontrol kerenyahan melalui pembentukan kompleks dengan pati (Desrumaux et al. 1999 yang diacu dalam Roudaut et al. 2002). Emulsifier yang digunakan adalah telur. Fungsi telur yaitu mengikat bahan-bahan lain dalam adonan, membantu mengembangkan susunan kue kering dan

(22)

memberi rasa lezat (Wahyuni 2006). Telur mengandung lesitin yang berperan sebagai pengemulsi.

Telur berfungsi untuk memperbaiki tekstur bakery sebagai hasil dari fungsi emulsifikasi, pelembut tekstur, dan daya pengikat. Penggunaan kuning telur memberikan tekstur lembut, tetapi struktur dalam biskuit (termasuk cookies) tidak sebaik jika digunakan keseluruhan bagian telur. Penggunaan telur dalam formulasi kedua adalah pencampuran bersama kuning telur dan putih telur. Trial and error dilakukan untuk menentukan penggunaan persentase telur yang terbaik. Peran margarin (lemak) dalam adonan salah satunya dipengaruhi oleh adanya emulsifier dalam formula (Ghotra 2002). Oleh sebab itu, telur sebagai emulsifier mempunyai peran yang penting. Tabel 27 menunjukkan formulasi kedua cookies jagung.

Tabel 27 Formulasi kedua cookies jagung

Bahan Komposisi (%)* Gula 50 Telur 63, 42, 21, dan 18 Margarin 50 Susu skim 14 Kayu manis 0.4 Soda kue 0.2 Tepung jagung 80 Terigu 20 *) per 100 g tepung

Tabel 27 menunjukkan penambahan telur dalam bentuk persentase dengan basis tepung yang digunakan. Keenam formulasi pada formulasi kesatu cookies jagung menghasilkan produk dengan rasa berpasir, berasa tepung, kurang manis, dan terlalu asin. Hal ini sesuai dengan komentar ketika uji organoleptik yang dilakukan. Ada tiga hal yang berubah untuk menghilangkan rasa tepung pada cookies yaitu peningkatan jumlah gula dan margarin, serta perubahan flavor yang digunakan.

(23)

Menurut Drewnowski et al. (1998) rasa manis merupakan kunci atribut sensori yang menentukan penerimaan cookies. Oleh sebab itu, dilakukan peningkatan persentase penggunaan gula dari 30% hingga 50%. Parameter lain yang dipengaruhi oleh formula gula yaitu kekerasan cookies, kerenyahan, warna, dan volume (Pareyt et al. 2009). Hal ini, dimaksudkan agar cookies yang dihasilkan tidak lagi berpasir atau hanya berasa tepung.

Flavor yang digunakan berubah. Semula digunakan flavor vanili dan diubah dengan flavor kayu manis. Flavor vanili yang ditambahkan ke dalam adonan tidak menimbulkan atau meningkatkan rasa cookies jagung. Hal ini diperoleh dari masukan yang diterima saat uji organoleptik. Alasan pemilihan flavor kayu manis adalah mudah ditemukan dan cukup banyak cookies pasaran yang ditambahkan flavor kayu manis.

Jumlah margarin pun ditingkatkan untuk mengurangi kesan masir yang dihasilkan. Lemak memberi kualitas kunyahan yang diinginkan dan berkontribusi dalam tekstur dan flavor produk (Jacob dan Leelavathi 2007). Pembuatan produk bakery tanpa penambahan lemak dapat mengakibatkan gluten dan pati saling berikatan sehingga menyebabkan produk menjadi keras ketika digigit (Ghotra et al. 2002). Penggunaan mentega dihilangkan. Hal ini dikarenakan oleh rasa mentega yang bercampur susu skim tidak disukai oleh konsumen. Selain itu, penghilangan mentega dapat mengurangi biaya produksi karena mentega memiliki harya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan margarin.

Formula yang baru tidak menggunakan bahan garam karena peningkatan jumlah margarin yang digunakan telah meningkatkan kadar garam adonan. Penggunaan mentega yang dihilangkan menurunkan kadar garam cookies yang dihasilkan. Margarin pada umumnya mengandung garam sebesar 3%. Mentega mengandung garam sebesar 1.5-3% (Adji 2005). Hal ini dilakukan untuk mengurangi rasa cookies jagung yang terlalu asin pada formula yang lama. Keempat formula menghasilkan karakteristik adonan yang dapat dilihat pada Tabel 28.

(24)

Tabel 28 Karakteristik adonan cookies jagung formulasi kedua. Jumlah telur

(%)* Karakteristik adonan

63 Lembek sekali, sulit untuk dicetak sehingga pencetakan dengan cara disemprot 42 Kurang kalis, agak sulit dicetak

21 Kalis, mudah dicetak 18 Kalis, mudah dicetak *) per 100g tepung

Formula 80:20 dengan penggunaan 63% dan 21% telur menghasilkan adonan yang kurang kalis (lembek) yang diakibatkan oleh kelebihan cairan. Formula 63% telur sangat susah untuk dicetak. Jika adonan dicetak sembarang kemudian dipanggang, tekstur dari cookies formula ini terlihat sudah baik karena rasa berpasir sudah berkurang. Karakteristik adonan yang tidak kalis menyebabkan cookies jagung dengan 63% telur tidak dapat dipilih sebagai produk terbaik. Penampang adonan yang dihasilkan pada formulasi kedua disajikan pada Gambar 18.

63% 42% 21% 18%

Gambar 18 Penampakan cookies jagung formulasi kedua hasil pencetakan

Gambar 18 menunjukkan bahwa formula 63% telur dicetak dengan bentuk yang berbeda dengan dengan formula yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh adonan formula 63% telur sulit dicetak dengan menggunakan cetakan yang digunakan sehingga formula 63% telur dicetak dengan cara disemprot dengan menggunakan plastik segitiga. Hasil pencetakan formula 42% telur seperti yang

(25)

dilihat pada Gambar 18 yaitu sedikit berminyak. Hal tersebut yang menyebabkan cookies jagung agak sulit untuk dicetak. Adonan formula 21% telur dan 18% yang kalis menyebabkan kedua adonan mudah untuk dicetak.

Hasil formulasi kedua menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan telur maka adonan yang terbentuk akan semakin lembek dan semakin sulit pula untuk dicetak. Telur turut berperan dalam membentuk struktur cookies. Telur berfungsi untuk memperbaiki tekstur cookies sebagai hasil dari fungsi emulsifikasi, pelembut tekstur dan daya pengikat. Bagian kuning telur berperan dalam mengempukkan cookies karena adanya protein (lesitin) telur dan kandungan lemak yang ada di dalamnya (Setiadi 2009). Selain itu telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavor dan warna.

Keempat formula kemudian diujikan secara organoleptik dengan uji rating hedonik. Hasil organoleptik dari atribut warna, rasa, dan tekstur formulasi kedua diolah secara statistik dengan uji ANOVA. Hasil uji statistik dari uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 10 dan Lampiran 11. Uji ANOVA menunjukkan nilai signifikan warna, rasa, dan tekstur (sandiness) keempat sampel pada tests of between-subjects effects berturut-turut adalah 0.001, 0.003, dan 0.002. Hasil penilaian uji organoleptik formulasi kedua dapat dilihat pada Gambar 19.

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%).

(26)

Penambahan telur memberi pengaruh yang nyata terhadap warna keempat formula. Nilai signifikansi 0.001 lebih kecil dibandingkan dengan taraf signifikansi yaitu 0.05. Hal ini menandakan bahwa warna formula 63% telur, formula 42% telur, formula 21% telur, dan formula 18% telur berbeda nyata pada taraf signifikan 5%. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa warna formula 18% telur lebih disukai oleh panelis dibandingkan dengan ketiga formula yang lain.

Nilai signifikansi atribut rasa hasil uji ANOVA yaitu 0.003 dan nilai tersebut lebih rendah dibandingkan nilai signifikansi 5%. Hal ini menandakan bahwa penambahan telur berpengaruh nyata terhadap rasa cookies jagung yang dihasilkan sehingga rasa keempat formula berbeda nyata. Cookies jagung dengan penggunaan 18% telur memiliki skor kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan formula lainnya. Semakin banyak telur yang digunakan dalam formula maka skor kesukaan semakin turun. Telur turut berperan terhadap citarasa (Sitanggang 2008) tetapi telur yang terlalu banyak digunakan justru tidak disukai.

Hasil ANOVA menunjukkan bahwa penambahan telur pada berbagai taraf berbeda nyata terhadap skor kesukaan tekstur cookies jagung. Hal ini dapat dilihat pada nilai signifikansi 0.002 yang lebih kecil dari 5%. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tekstur formula cookies jagung dengan penggunaan telur 18% lebih disukai oleh panelis dibandingkan formula dengan penggunaan telur 63%, 42%, dan 21%. Semakin meningkatnya telur yang digunakan menyebabkan tekstur (sandiness) cookies jagung semakin berkurang akibat semakin lembutnya cookies jagung yang dihasilkan, tetapi terlalu banyak penggunaan telur justru mengakibatkan tekstur semakin rapuh dan berpasir. Telur mempunyai suatu reaksi yang mengikat dan jika telur digunakan dalam jumlah besar, maka diperoleh cookies yang terlalu mengembang sehingga akan menjadi rapuh.

Hasil uji organoleptik dari atribut warna, rasa, dan tekstur (sandiness) menunjukkan bahwa cookies jagung dengan penggunaan telur 18% lebih disukai oleh panelis. Karakteristik adonan yang dihasilkan oleh formula tersebut pun kalis dan mudah dicetak. Oleh karena itu, produk terpilih formulasi kedua adalah formula 18% telur. Hasil produk yang diperoleh dari formula tersebut sudah sangat baik, tetapi dari segi kelembutan, cookies jagung tersebut masih dirasakan sedikit berpasir walaupun perlu disadari bahwa tepung yang digunakan bukanlah

(27)

100% terigu yang memiliki gluten namun tepung jagung. Penampakan cookies jagung keempat formulasi kedua disajikan pada Gambar 20. Sifat berpasir disebabkan oleh kandungan serat yang tinggi pada tepung sehingga mengakibatkan tepung yang dihasilkan menjadi kasar (Pratiwi 2008). Tepung jagung memiliki kadar serat yang cukup tinggi yaitu 0.88%.

63% 42% 21% 18% Gambar 20 Cookies jagung hasil formulasi kedua

1.3 Formulasi ketiga cookies jagung

Upaya yang dilakukan untuk mengurangi sandiness (berpasir) yang masih terasa pada produk cookies jagung adalah penambahan air ke dalam formula. Tabel 29 menunjukkan persentase penambahan air yang digunakan yaitu 0, 2.5, 5%, 7.5%, dan 10% dengan basis 100 g tepung.

Tabel 29 Formulasi ketiga cookies jagung

Bahan Komposisi (%) Gula 50 Telur 18 Margarin 50 Susu skim 14 Kayu manis 0.4 Soda kue 0.2 Air 0, 2.5, 5, 7.5, dan 10 Tepung jagung 80 Terigu 20

(28)

Semakin besar penambahan komponen cair ke dalam adonan maka semakin lembut adonannya (Manley 2001). Oleh sebab itu, pada penentuan jumlah air yang ditambahkan saat pembuatan adonan perlu dilakukan pengamatan konsistensi adonan secara visual. Karakteristik adonan secara visual dapat dilihat pada Tabel 30.

Tabel 30 Karakteristik adonan cookies jagung formulasi ketiga.

Air (%) Karakteristik adonan

0 Kalis, mudah untuk dicetak 2.5 Kalis, mudah dicetak 5.0 Sangat kalis, mudah dicetak 7.5 Kurang kalis, agak sulit dicetak

10 Tidak kalis, sulit dicetak, pinggiran (bergelombang)

Tabel 30 menunjukkan bahwa adonan yang kalis diperoleh dari adonan 0%, 2.5%, dan 5% air. Hal ini disebabkan bahwa adonan yang dihasilkan telah mengandung jumlah air yang cukup yang berasal dari telur dan margarin. Telur mengandung 74% air dalam 100g berat telur dan margarin mengandung air sekitar 20% (Hardinsyah dan Briawan 2002; Adji 2005).

Formula 7.5% dan 10% tidak menghasilkan adonan yang kalis tetapi agak lembek sehingga adonan dari formulasi tersebut sulit untuk dicetak. Hal tersebut disebabkan oleh air yang ditambahkan terlalu berlebih. Rianti (2008) mengatakan bahwa jumlah air yang dibutuhkan berbanding terbalik dengan jumlah margarin. Jumlah margarin dalam formula adalah sama yaitu 50% basis tepung. Hal ini menyebabkan semakin banyak air yang ditambahkan maka adonan menjadi semakin lembek. Semakin banyak air yang ditambahkan maka semakin lembek cookies jagung yang dihasilkan (Faridi 1994)

Kekerasan adonan cookies (tidak lembeknya adonan) berkaitan dengan pengembangan gluten dan interaksi antara gula dan air. Gula kristal larut selama pembentukan adonan dan sifat higroskopisnya menghambat pengembangan jaringan gluten dengan membatasi air untuk pengembangannya. Kekerasan adonan dapat dianggap sebagai fungsi dari kelarutan gula (Zoulias et al. 2000).

(29)

Gula mempunyai kelarutan tertinggi dalam adonan lunak. Hal inilah yang menyebabkan semakin banyak air yang ditambahkan maka adonan menjadi semakin lembek. Penampakan adonan dapat dilihat pada Gambar 21.

0% 2.5% 5%

7.5% 10%

Gambar 21 Penampakan adonan formulasi ketiga cookies jagung

Kelima formula pada formulasi ketiga ini pun diuji secara organoleptik untuk melihat daya terima terhadap beberapa atribut sensori cookies sehingga dapat diambil 1 formula terbaik. Atribut yang digunakan dalam formulasi ketiga sama dengan tahap-tahap sebelumnya yaitu warna, rasa, dan tekstur. Selain itu, uji statistik pun dilakukan terhadap hasil penilaian uji organoleptik. Uji statistik yang digunakan adalah ANOVA yang dapat dilihat di Lampiran 12 dan Lampiran 13. Hasil penilaian uji organoleptik dapat dilihat pada Gambar 22. Signifikansi atribut warna, rasa, dan tekstur yang diperoleh dari tests of between-subjects effects berturut-turut adalah 0.003, 0.005, dan 0.5.

(30)

Gambar 22 Hasil penilaian uji organoleptik formulasi ketiga

Nilai signifikansi atribut warna kelima formula yaitu 0.003 lebih kecil daripada 5%. Hal ini menandakan bahwa warna cookies jagung pada taraf penambahan air sebesar 0%, 2.5%, 5%, 7.5%, dan 10% berbeda nyata. Uji ANOVA dilanjutkan dengan Duncan dan hasilnya menunjukkan bahwa warna cookies tanpa penambahan air (0%), 5%, dan 10% lebih disukai oleh konsumen dibandingan dengan formula dengan penambahan 2.5% dan 7.5%.

Perlakuan penambahan air pada berbagai taraf memberi perlakuan yang nyata pada skor kesukaan konsumen terhadap rasa cookies jagung pada selang kepercayaan 95%. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi uji ANOVA yaitu 0.005 yang lebih kecil dari% dan menandakan bahwa rasa kelima formula berbeda nyata pada berbagai tingkat penambahan air. Uji Duncan menunjukkan bahwa formula 0% (tanpa penambahan air), 7.5%, dan 10% air merupakan cookies jagung yang lebih disukai dibandingkan dengan formula 2.5 dan 5% air.

Atribut tekstur (sandiness) memiliki nilai signifikansi 0.5 dan nilai tersebut lebih besar dari 5% (taraf signifikansi yang digunakan). Hal tersebut menandakan bahwa penambahan air pada berbagai persentase tidak berpengaruh nyata pada tesktur (sandiness) cookies jagung yang dihasilkan. Hal ini disebabkan pada saat pemanggangan, air yang terkandung dalam cookies akan menguap

(31)

secara seragam sehingga cookies yang dihasilkan memiliki tekstur yang tidak berbeda nyata. Sandiness produk tidak berbeda nyata.

Hasil organoleptik formulasi ketiga menunjukkan bahwa cookies jagung yang lebih disukai panelis adalah cookies formula tanpa penambahan air. Jika dihubungkan dengan karakteristik adonan yang dihasilkan (adonan kalis terbentuk pada persentase air yang ditambahkan sebesar 0%, 2.5, dan 5% air) maka formula terbaik formulasi ketiga adalah formula 0% air. Alasan air tidak digunakan pada proses ini karena penambahan air akan membuat adonan sangat lembek dan akan sulit untuk dicetak (Lopulalan 2008). Hal ini disebabkan bahwa adonan yang dihasilkan telah mengandung jumlah air yang cukup yang berasal dari telur dan margarin. Telur mengandung 74% air dalam 100g berat telur dan margarin mengandung air sekitar 20% (Hardinsyah dan Briawan 2002; Adji 2005).

Cookies jagung terpilih dari tahap formulasi adalah cookies dari formula 80:20 (tepung jagung terhadap terigu), 18% telur, dan tanpa penambahan. Produk yang dihasilkan masih memiliki kesan berpasir di akhir rasa, namun konsumen masih dapat menerimanya. Cookies jagung yang dihasilkan menggunakan formula yang sederhana, sehingga rasa yang sedikit berpasir dapat diatasi dengan menambahkan bahan lain sebagai isi cookies seperti kacang, keju, coklat, almon, atau bahan lainnya. Produk yang dihasilkan akan menjadi cruncy (garing) sehingga rasa sedikit berpasir tidak menjadi masalah dan meningkatkan kesukaan konsumen.

Formula biskuit jagung terpilih dalam penelitian Lopulalan (2008) adalah 80:20 (tepung jagung terhadap terigu), kuning telur 10% serta air 10%. Biskuit jagung yang dihasilkan memiliki warna kecoklatan, rasa yang cukup disukai, dan renyah walaupun sedikit keras. Lopulalan menyatakan bahwa semakin tinggi penambahan telur, margarin, dan gula semakin disukai oleh panelis dalam hal warna, rasa, tekstur. Hal terjadi diduga akibat penambahan telur, margarin dan gula yang mempengaruhi daya terima produk oleh panelis. Di lain pihak, cookies jagung terbuat dari telur utuh yang mengandung kuning dan putih telur, yaitu sebesar 18%. Telur penting dalam menentukan kualitas organoleptik semua jenis cookies. seluruh telur (putih dan kuning telur) dapat menghasilkan tekstur yang baik. Pemakaian kuning telur untuk menggantikan sebagian atau seluruh telur

(32)

akan menghasilkan cookies yang lembut, tetapi struktur di dalamnya tidak sebaik menggunakan seluruh telur (Matz 1978 diacu dalam Sitanggang 2008). Dengan kata lain, seharusnya cookies jagung memiliki warna, rasa, dan tekstur (sandiness) yang lebih baik dibandingkan dengan biskuit jagung.

Alasan penggunaan telur utuh yang digunakan dalam formula dilihat juga dari pertimbangan segi ekonomi. Penggunaan kuning telur (tanpa putih telur) tidak aplikatif karena memisahkan telur putih akan menambah waktu dan energi dalam industri pangan. Jika dibandingkan dengan pembuatan biskuit jagung yang menggunakan CMC dan air yang meningkatkan biaya produksi maka cookies jagung dinilai lebih ekonomis karena dibuat tanpa penambahan air dan CMC. CMC (carboxymethyl cellulose) digunakan dalam produk pangan sebagai pengatur viskositas atau kekentalan dan penstabil emulsi khususnya dalam industi es krim (Wikipedia 2010). Penstabil emulsi yang digunakan dalam pembuatan cookies jagung adalah telur. Penggunaan telur menekan penggunaan CMC sehingga dapat menurunkan biaya produksi.

1.4 Perbandingan cookies jagung dengan produk reference

Formula cookies jagung yang telah terpilih selanjutnya diuji secara organoleptik dengan produk reference yang terbuat dari terigu 100%. Hal tersebut bertujuan untuk melihat daya terima konsumen terhadap masing-masing produk. Formula yang digunakan pada cookies reference adalah sama dengan cookies jagung kecuali pada tepung yang digunakan. Cookies reference terbuat dari 100% terigu. Penampakan cookies reference dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23 Penampakan cookies reference (kiri) dan cookies jagung (kanan)

(33)

Hasil analisis cookies reference dapat dilihat pada Tabel 31. Kedua produk memiliki tekstur yang cukup berbeda. Hal ini terlihat dari nilai kerenyahan yang berbeda ketika diukur dengan instrumen texture analyzer. Cookies jagung memiliki nilai kerenyahan sebesar 2239.39 gf, sedangkan cookies reference memiliki nilai kerenyahan yang lebih kecil yaitu 1525.69 gf. Hal ini menandakan bahwa cookies reference memiliki kerenyahan yang lebih tinggi dan kekerasan yang lebih rendah. Cookies jagung yang memiliki tesktur yang cukup berbeda dengan cookies reference, ternyata menghasilkan skor kesukaan yang tidak berbeda nyata dengan cookies reference. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengolahan uji T yang diperoleh. Hasil statistik uji T kedua produk dapat dilihat pada Lampiran 14.

Tabel 31 Hasil analisis cookies reference

Parameter Nilai Satuan

Kerenyahan 1525.69 gf

Kekerasan 1968.14 gf

Pengembangan 172.03 %

Densitas kamba 0.86 g/ml

Uji yang digunakan adalah rating hedonik. Hasil uji organoleptik rating hedonik dapat dilihat pada Gambar 24. Gambar 24 menunjukkan bahwa cookies yang terbuat dari terigu dengan formula yang sama memperoleh nilai kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan cookies jagung.

(34)

Gambar 24 Hasil uji organoleptik cookies jagung dan produk reference

Pengolahan data uji rating hedonik dilakukan dengan menggunakan uji t yang terdapat pada Microsoft Excel. Hasil uji t menunjukkan P (T<=t) two-tail sebesar 0.1513 lebih besar dari taraf signifikan yang digunakan (0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa kesukaan panelis terhadap kedua sampel tidak berbeda secara nyata pada taraf signifikan 5%. Uji T dilakukan untuk melihat perbedaan untuk dua sampel.

Skor kesukaan cookies terigu lebih tinggi akibat sifatnya yang lebih lembut yang disebabkan oleh kandungan gluten yang lebih tinggi. Kadar gluten tepung jagung yang <1% menunjukkan tepung tersebut lebih sesuai untuk membuat kue kering dan sejenisnya. Kadar gluten terigu pada umumnya di atas 10% sehingga mempunyai sifat mengembang yang diperlukan dalam pembuatan dan pembakaran adonan rerotian, cake dan sejenisnya (Suarni dan Patong 2002; Suarni dan Zakir 2002). Sifat mengembang menghasilkan produk yang lembut dan renyah.

2 Analisis cookies jagung 2.1 Analisis kimia cookies jagung

Karakteristik kimia yang dianalisis yaitu proksimat (meliputi kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat by difference), serat kasar, total pati, amilosa, dan nilai energi. Analisis dilakukan terhadap cookies jagung pilihan dari formulasi

(35)

ketiga. Hasil analisis karakteristik kimia disajikan pada Tabel 32. Data analisis cookies jagung dapat dilihat pada Lampiran 15.

Tabel 32 Hasil analisis kimia cookies jagung per 100 g cookies Komposisi Cookies jagung (%) Standar mutu cookies

SII-0177-78 (%)

(b/b) (b/k)

Kadar air 4.09 4.26 Maks 5.0

Kadar abu 1.06 1.10 Maks 2.0

Kadar lemak 19.76 20.60

-Kadar protein 6.19 6.47 Maks 6.0

Kadar karbohidrat 68.91 71.83

-Kadar amilosa (%) 16.24 -

-Total pati (%) 54.31 -

-Kadar serat kasar (%) 1.57 1.64

-Nilai energi (Kal) 487.76 -

-a. Kadar air

Mutu utama produk cookies seperti cookies adalah kerenyahannya (Manley 2001). Cookies memiliki kadar air 1- 5% dan awyang rendah (Pareyt et al. 2009) sehingga teksturnya dapat menjadi renyah. Kerenyahan merupakan fungsi dari jumlah air yang terikat pada matriks karbohidrat. Kandungan air yang tinggi membuat cookies tidak renyah dan tekstur kurang disukai (Pratiwi 2008).

Pengujian kadar air cookies jagung menunjukkan bahwa kadar air yang dimiliki cookies tersebut sebesar 4.09 (% b/b). Menurut SII-0177-78 cookies terigu memiliki persyaratan mutu kadar air maksimal 5%. Jika dibandingkan dengan syarat tersebut, maka cookies jagung memiliki kadar air yang lebih rendah daripada kadar air yang ditetapkan. Dengan kata lain, kadar air cookies jagung masih memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan.

b. Kadar abu

Kadar abu merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas karbon. Kadar abu juga dapat diartikan sebagai

(36)

komponen yang tidak mudah menguap, tetap tertinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Syarat mutu kadar abu cookies SII-0177-78 adalah maksimal 2%. Hasil pengujian kadar abu cookies jagung yaitu 1.06 (% b/b) dan 1.10 (% b/b). Berdasarkan SII, maka kadar abu cookies jagung masih di bawah syarat maksimal yang ditetapkan sehingga masih memenuhi persyaratan.

c. Kadar lemak

Pengujian kadar lemak cookies jagung dilakukan dengan metode ekstraksi soxhlet. Kadar lemak cookies yang dihasilkan adalah 19.76 (% b/b) dan 20.60 (% b/k). Kadar lemak bukan merupakan syarat mutu cookies, tetapi merupakan syarat mutu biskuit yaitu minimal 9.5%. Cookies merupakan salah satu jenis biskuit dengan ciri mengandung lemak yang tinggi. Oleh karena itu, nilai kadar lemak cookies jagung cukup jauh di atas syarat kadar lemak biskuit.

Kadar lemak cookies jagung yang cukup besar menandakan penambahan lemak ke dalam formulasi cookies cukup banyak. Lemak yang digunakan dalam formula berupa margarin sebesar 50% dan telur 18%. Kadar lemak pada cookies berpengaruh terhadap tekstur yang dihasilkan terutama dalam hal kekerasan. Makin tinggi lemak yang ditambahkan maka makin rendah tingkat kekerasannya atau semakin tinggi pula tingkat kelembutannya (Rianti 2008). Lemak yang ada pada cookies jagung dapat memberikan energi yang tinggi pula.

d. Kadar protein

Protein merupakan suatu zat gizi yang penting bagi tubuh karena berperan sebagai zat pembangun dan pengatur. Selain itu, protein menyumbang energi sebesar 4 kkal/g. Syarat mutu cookies berdasarkan SII-0177-78 maksimal mempunyai kadar protein 6.00%. Pengujian protein cookies jagung menunjukkan bahwa kadar protein cookies jagung sebesar 6.19 (% b/b) dan 6.47 (% b/k).

Kandungan protein cookies jagung berasal dari tepung yang digunakan (tepung jagung dan terigu), susu skim, dan sebagian kecil berasal dari telur dan margarin. Komposisi protein terbesar cookies jagung berasal dari tepung jagung sehingga perhitungan kadar protein cookies jagung menurut faktor konversi jagung yaitu 6.25.

(37)

Terigu lemah memiliki kadar protein sekitar 8-9% dan kandungan protein tepung jagung adalah 6.67 (% b/b) dan 7.24 (% b/k). Syarat mutu kadar protein cookies lebih rendah daripada biskuit secara umum (minimal 9.5%) karena cookies terbuat dari tepung dengan protein rendah.

e. Kadar karbohidrat

Karbohidrat adalah sumber energi utama bagi manusia. Di negara-negara sedang berkembang, kurang lebih 80% energi makanan berasal dari karbohidrat (Almatsier 2002). Komponen karbohidrat yang banyak pada produk pangan adalah pati, gula, pektin, dan selulosa. Karbohidrat juga berperan dalam pembentukan karakteristik produk pangan.

Penentuan karbohidrat menggunakan perhitungan kasar yaitu, carbohydrate by difference. Menurut Winarno (1992), perhitungan carbohydrate by difference adalah penentuan karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar dan hasilnya biasanya dicantumkan dalam komposisi bahan makanan. Perubahan komposisi formula, seperti penggunaan tepung-tepungan ataupun bahan makanan lain yang kaya karbohidrat diharapkan dapat meningkatkan kadar karbohidrat cookies.

Kadar karbohidrat cookies jagung adalah 68.91 (% b/b) dan 71.83 (% b/k). Kadar karbohidrat bukan merupakan salah satu syarat mutu cookies, tetapi syarat mutu karbohidrat biskuit adalah minimal 70 %. Data tersebut menunjukkan bahwa karbohidrat cookies jagung tidak memenuhi syarat mutu SNI biskuit (01-2973-1992) secara umum. Hal ini disebabkan oleh besarnya kandungan kadar lemak cookies jagung. Lemak pun merupakan sumber energi sehingga cookies jagung masih mampu menjadi sumber energi yang baik.

f. Kadar total pati

Pati merupakan polisakarida yang banyak ditemukan di alam selain selulosa. Pati banyak ditemukan dalam daun tanaman hijau dan dalam biji-bijian, buah-buahan, batang, akar, dan umbi. Pati secara khusus berperan terhadap pengembangan, peningkatan kerenyahan, penurun kadar minyak, dan penambah kualitas makanan (Singhal dan Sajilata 2004).

(38)

Hasil pengujian menunjukkan bahwa cookies jagung memiliki total pati sebesar 54.31%. Total pati bukan merupakan salah satu syarat mutu yang ditetapkan oleh SII dan SNI biskuit, tetapi total pati dianggap penting untuk mengetahui produk dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat tinggi. Nilai total pati cookies jagung tidak tinggi sehingga cookies jagung belum dapat digunakan sebagai pangan sumber karbohidrat tinggi.

g. Kadar amilosa

Pati terdiri atas amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah rantai lurus esensial yang terbentuk dari unit α (1→4) - D-glukosa dengan beberapa cabang. Kadar amilosa cookies jagung berdasarkan hasil pengujian adalah 16.24 %. SII dan SNI tidak menetapkan kadar amilosa sebagai salah satu syarat mutu, tetapi pengetahuan tentang kadar amilosa penting untuk mengetahui retrogradasi dan presipitasi yang mempengaruhi penyimpanan (Singhal dan Sajilata 2004). Selain itu, perbandingan rasio amilosa dan amilopektin suatu bahan berpengaruh pada produk akhir makanan olahan (Winarno 2002 diacu dalam Suarni 2009).

h. Serat kasar

Serat adalah karbohidrat kompleks dalam bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia, sehingga dapat mencapai usus besar dan dicerna oleh bakteri probiotik. Serat kasar ditentukan dari residu setelah sampel produk dilakukan dengan asam dan basa kuat (Faridah et al. 2008). Sumber serat kasar pada cookies jagung berasal dari tepung yang digunakan. Kadar serat kasar pada produk pangan lebih rendah dibandingkan dengan kadar serat pangannya.

Hasil pengujian serat kasar cookies jagung menunjukkan bahwa kadar serat kasar cookies jagung sebesar 1.57 (% b/b) dan 1.64 (% b/k). Menurut SNI persyaratan mutu, kadar serat kasar biskuit terigu adalah maksimum 0.50% b/b. Jika dibandingkan dengan SNI biskuit, maka cookies jagung memiliki kadar serat yang sangat tinggi. Penyebab tingginya kadar serat kasar cookies jagung adalah substitusi tepung jagung terhadap terigu yang tinggi. Kadar serat makanan meningkat sesuai dengan persentase substitusi tepung jagung terhadap terigu

(39)

(Suarni 2009). Di sisi lain, tingginya kadar serat pada cookies jagung dapat menjadikan cookies tersebut sebagai alternatif pangan sumber serat.

i. Nilai energi

Nilai energi diperoleh dari konversi protein, lemak, dan karbohidrat menjadi energi. Satuan energi dinyatakan dalam unit panas atau kilokalori (kkal). Sumber energi terbesar adalah lemak yang menghasilkan 9 kkal energi/g, sedangkan protein dan karbohidrat menyumbang 4 kkal energi/g (Pratiwi 2008).

Ukuran sajilah yang mempengaruhi nilai energi yang tercantum pada label informasi gizi. Nilai energi per saji produk dapat lebih kecil jika ukuran per sajinya lebih rendah. Berdasarkan SNI biskuit, nilai minimum energi cookies secara umum adalah 400 kkal per 100 g. Nilai energi cookies jagung berdasarkan hasil perhitungan adalah 487.76 kkal. Komposisi zat gizi cookies jagung per takaran saji dapat dilihat pada Tabel 33. Nilai energi cookies jagung berada di atas syarat minimum yang ditetapkan oleh SNI (01-2973-1992) sehingga dapat dikatakan cookies jagung telah memenuhi syarat mutu biskuit.

Tabel 33 Komposisi zat gizi cookies jagung per takaran saji (12 keping = ± 102 gram)

Komposisi Zat gizi cookies jagung per takaran saji (12 keping = ± 102 gram)

Kadar abu (gram) 1.08

Kadar protein (gram) 6.31

Kadar lemak (gram) 20.15

Kadar karbohidrat (gram) 70.29

Kadar serat kasar (gram) 1.60

Energi (kkal) 487.76

2.2 Analisis fisik cookies jagung

Selain diuji karakteristik kimianya, cookies jagung pun diuji karakteristik fisiknya. Karakteristik fisik cookies yang diuji yaitu rendemen cookies, derajat pengembangan, densitas kamba, warna, aktivitas air, dan kerenyahan serta

(40)

kekerasan. Rekapitulasi data karakteristik fisik cookies jagung dapat dilihat pada Tabel 34. Data analisis cookies jagung dapat dilihat pada Lampiran 16.

Tabel 34 Hasil analisis fisik cookies jagung

Analisis fisik Nilai

Rendemen (%) 88.98 Derajat pengembangan (%) 159.42 Warna (chromameter) L 68.82 a 10.96 b 48.13 ºHue 77.20 Kerenyahan (gf) 2239.39 Kekerasan (gf) 3054.05 Densitas kamba (g/ml) 1.20 Aktivitas air 0.41 a. Rendemen cookies

Pengujian rendemen dilakukan dengan membandingkan berat produk cookies jagung yang dihasilkan dengan berat adonan awal. Data menunjukkan bahwa nilai rendemen cookies jagung sebesar 88.98% dari berat adonan awal. Menurunnya berat produk bila dibandingkan dengan adonan awal disebabkan adanya sebagian adonan yang tidak tercetak sehingga adonan tersebut tidak ikut dipanggang. Selain itu, penguapan air saat pemanggangan menyebabkan penurunan bobot cookies jagung.

b. Derajat pengembangan produk

Nilai pengembangan produk diperoleh dengan membandingkan ketebalan dan lebar produk cookies jagung dengan ketebalan dan lebar adonan awalnya dengan menggunakan jangka sorong. Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata derajat pengembangan produk cookies jagung sebesar 159.42%. Pengembangan cookies jagung tergolong cukup besar. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan

Gambar

Gambar 11 Jagung (kiri) dan tepung jagung (kanan)
Tabel 23 Sifat amilografi tepung jagung Sifat amilograf Tepung jagung Suhu awal gelatinisasi (ºC) 69
Gambar 14 Kurva hasil amilografi tepung jagung
Gambar 15 Diagram warna Lab metode Hunter
+7

Referensi

Dokumen terkait

Static Zone adalah daerah tanpa pergerakan Dokter Gigi Maupun Perawat Gigi serta tidak terlihat oleh pasien, zona ini untuk menempatkan Meja Instrumen Bergerak

Secara keseluruhan ideologi serta penampilan maupun aksesoris yang digunakan punkers merupakan salah satu cara para punkers mengexpresikan dirinya terhadap dunia

Dalam rangka menjamin pasien memperoleh pelayanan asuhan keperawatan berkualitas, maka perawat sebagai pemberi pelayanan harus bermutu, kompeten, etis

(2004), dengan menggunakan data kuartalan, 1986:III sampai 2000:III, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara harga minyak riil,

Model tersebut telah dianalisa pada penelitian selanjutnya dengan hasil analisa uji hasil pengujian keeratan kesepakatan antara model backward chaining dengan pakar

CALON NASABAH WAJIB MEMBACA DAN MEMAHAMI PROPOSAL SEBELUM MEMUTUSKAN UNTUK BERINVESTASI MELALUI UNIT LINK FUND ATAU PRODUK YANG DIKAITKAN DENGAN INVESTASI. NAV:

Resiko merupakan besarnya penyimpangan antara tingkat pengembalian yang diharapkan (expected return) dengan tingkat pengembalian actual (Actual Return) (Halim,

- Dalam SEFT anda bisa menambahkan faktor Tuhan (Allah) sehingga menjadi &#34;Ya Tuhan (Allah), meskipun - Dalam SEFT anda bisa menambahkan faktor Tuhan (Allah) sehingga menjadi