• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. HIBRIDITAS DALAM PERJUMPAAN NIAS DAN MINANGKABAU DI PADANG 3.1. Pendahuluan. ini diawali dengan kalimat kampung saya adalah di Padang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III. HIBRIDITAS DALAM PERJUMPAAN NIAS DAN MINANGKABAU DI PADANG 3.1. Pendahuluan. ini diawali dengan kalimat kampung saya adalah di Padang."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HIBRIDITAS DALAM PERJUMPAAN NIAS DAN MINANGKABAU DI PADANG

3.1. Pendahuluan

Sebuah pertanyaan klasik yang selalu ditanyakan ketika bertemu dengan seseorang yang baru dikenal adalah tentang asal daerah atau kampung halaman. Pertanyaan ini seringkali menjadi suatu hal dilematis ketika harus dijawab oleh seorang Nias Padang. Hal ini disebabkan karena penjelasan soal kampung halaman bukanlah sesuatu hal yang sederhana untuk dipaparkan. Seorang Nias Padang pasti akan menjawab pertanyaan ini diawali dengan kalimat “kampung saya adalah di Padang”. Lalu pertanyaan akan dapat berlanjut jika yang bersangkutan juga ternyata adalah orang Padang, maka mereka akan menanyakan lokasi kampungnya dimana dan suku ibunya dikarenakan Minang menganut sistem matrilineal. Dari pertanyaan lanjutan inilah orang Nias Padang akan menjelaskan sesuatu hal yang rumit dari identitas mereka. Seorang Nias Padang akan menjelaskan bahwa dirinya menyebut sebagai orang Padang dikarenakan dia lahir dan berkembang di Padang sedangkan jikalau dirunut dari garis keturunan nenek moyang maka dia adalah seorang Nias.

Kata “Nias Padang” tidak hanya sekadar menujukkan lokasi kelahiran dan tempat tinggal. Kata ini justru memiliki makna yang lebih besar hingga mencakup adat istiadat, kehidupan sosial, dan kekristenan mereka. Dalam mengalami perjumpaan dengan Minangkabau memicu terjadinya perubahan-perubahan dalam identitas masyarakat Nias Padang.

(2)

Hal ini ditunjukkan melalui pola-pola hibriditas yang mereka gunakan dalam kehidupan bermasyarakat.

3.2. Selayang Pandang Hubungan Minangkabau dengan Agama Islam Minangkabau adalah suku terbesar di daratan pulau Sumatera. Minangkabau lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan daripada sebagai

bentuk negara atau kerajaan yang pernah ada dalam sejarah.1 Daerah

geografis Minangkabau dalam administratif Indonesia terletak pada

Provinsi Sumatera Barat.2 Hal ini menunjukkan bahwa kota Padang sebagai

ibukota Provinsi Sumatera Barat merupakan bagian dari Minangkabau. Minangkabau dikenal secara umum sebagai suku yang memiliki hubungan yang erat dengan agama Islam. Salah satu pepatah Minangkabau yang terkenal dan mencerminkan hubungan itu adalah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah yang artinya adat berdasarkan pada syariat,

syariat berdasarkan pada Al-Quran.3 Keeratan hubungan ini bahkan

membangun suatu label dimana jika seseorang disebut sebagai orang Minangkabau maka dapat dipastikan bahwa dia adalah seorang muslim.

Dalam sejarahnya, Islam bukanlah agama pertama yang berjumpa dengan Minangkabau. Sebelumnya Minangkabau sudah diwarnai oleh berbagai kepercayaan seperti agama Hindu-Brahma (abad ke-5); Budha Hinaya (abad ke-7); dan Budha-Mahayana (abad ke-7 dan ke-10) dari

1 A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, (Jakarta: Grafiti Pers, 1984), 1. 2 M.D Mansoer, Amrin Imran, Mardanas Safwan, Asmaniar Z, Idris, dan Sidi I.

Buchari, Sedjarah Minangkabau, (Jakarta: Brahtara, 1970), 1.

3 Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail, Kegalauan Identitas: Agama,

Etnisitas dan Kewarganegaraan Pasca-Orde Baru, (Jakarta : Kompas Gramedia. 2011), 17.

(3)

Hindustan dan Majapahit.4 Minangkabau baru berjumpa dengan Islam sejak permulaan abad ke-8 melalui perdagangan. Namun, belum banyak orang Minangkabau memeluk agama Islam pada saat itu. Hanya beberapa raja di

Minangkabau Timur yang sudah memeluk agama Islam.5 Bahkan pada abad

ke-15 pun kerajaan Minangkabau yang dikenal dengan Pagaruyung masih memeluk agama Buddha dan sebagian dari daerah kekuasaan Minangkabau

sudah memeluk agama Islam.6

Perjumpaan Minangkabau dengan Islam dapat dilihat dari dua versi sumber yakni sejarah dan tambo. Tambo adalah kisah yang diceritakan secara turun temurun secara lisan oleh orang Minangkabau. Pada umumnya tambo memiliki banyak versi tergantung keperluan atau kehendak dari

pendengarnya.7 Menurut tambo, Minangkabau berjumpa dengan Islam

ketika Aceh mulai menguasai Minangkabau sekitar abad ke-15. Demikian bunyi tambo :

Pada abad kelima belas orang Aceh menduduki Pesisir Nan Panjang itu dan diajarkannya pula agama Islam di sana. Melihat pengajaran-pengajaran Islam itu ada kebaikannya, maka banyaklah orang yang mempelajari ilmu itu. Kemudian hingga ada orang-orang dari Pesisir Nan Panjang yang pergi belajar ilmu agama ke tanah Aceh. Mana-mana yang pulang dari tanah Aceh berusahalah ia mengembangkan pengajaran agama Islam itu dengan kebijaksanaanya. Walaupun pada mulanya banyak penghulu-penghulu dan orang-orang yang tiada menyukainya, tetapi dengan sabar guru-guru agama itu menjalankan usahanya dengan menimbang-nimbang jangan sampai terjadi perselisihan dan rusuh dalam negeri. Maka karena itu usahanya makin lama makin maju juga. Makin baik guru-guru agama itu menjaga ketertiban dan kesopanannya makin dimuliakan dan ditakuti oranglah mereka. Hingga akhirnya mereka dipandang

4 Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat

dan Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 97-98.

5 Mansoer, Sedjarah Minangkabau..., 80. 6 Mansoer, Sedjarah Minangkabau…, 63. 7 Navis, Alam Terkembang…, 1.

(4)

sebagai orang “keramat”. Kemana-mana mereka pergi berpuluh-puluh orang pengiringnya dan beribu orang yang menyongsongnya karena hendak mengambil berkahnya. Orang tak berani melanggar

petuahnya takut akan ketulahan dan dapat bahala.8

Dibandingkan dengan versi tambo, menurut sejarah ada pengaruh kekuasaan Aceh di bidang politik dan ekonomi terhadap penyebaran agama Islam di Minangkabau. Hal itu dibuktikan ketika agama Islam baru dianut oleh seluruh anggota kerajaan dan orang Minangkabau pada pertengahan abad ke-16 saat kerajaan Aceh mendominasi politik dan

ekonomi Minangkabau.9 Sejak saat itulah Minangkabau memiliki ikatan

dengan agama Islam.

Sejak perjumpaan dengan Islam maka menurut tambo orang-orang Minangkabau mulai memperbaharui adat mereka. Perlahan-lahan mereka meninggalkan peraturan-peraturan adat yang bertentangan dengan agama Islam. Peraturan-peraturan yang dijalankan oleh pemelihara negeri dinamakan “hukum adat” sedangkan yang secara agama dinamakan “hukum

syariat”.10 Dari sinilah tampak alasan lahirnya pepatah Adat basandi syarak,

Syarak basandi Kitabullah yang menjadi pedoman hidup orang Minangkabau baik dalam beradat maupun beragama hingga saat ini.

8 Ahmad Datuak Batuah dan Datuak Madjoindo, Tambo Minangkabau dan

Adatnya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1956), 43.

9 Mansoer,Sedjarah Minangkabau...,63. 10 Batuah, Tambo Minangkabau…, 43.

(5)

3.3. Sejarah Kedatangan Suku Nias di Padang

Kota Padang secara geografis terletak pada koordinat 100o11’ BT

dan 0o56’ LS dengan luas daerah administrasi seluruhnya 629,63 km2.11

Pada tahun 1799, Padang sudah menjadi pelabuhan terpenting di pantai Barat pulau Sumatera. Sebelumnya yang menjadi pelabuhan penting di Pantai Barat Sumatera khusus daerah Minangkabau adalah Pariaman. Sebagaimana kutipan di bawah ini :

Dalam peta kuno, terbitan berbahasa Portugis tahun 1619 kota-kota pelabuhan penting di pantai Barat Sumatra adalah Baros, Batahan dan Pariaman. Tiga kota pelabuhan ini besar kemungkinan sebagai simpul perdagangan dari pedalaman di Angkola (Baros), di Mandailing (Batahan) dan di Minangkabau (Pariaman). Di era perdagangan Eropa pelabuhan-pelabuhan untuk pedalaman ini bergeser ke pelabuhan yang lebih besar yang terbentuk kemudian di Sibolga (pengganti Baros), Natal (pengganti Batahan) dan Padang (pengganti Pariaman). Peta kuno ini tidak berbeda jauh dengan sketsa pulau Sumatera hasil ekspedisi Cornelis de Houtman (1595-1597) yang diterbitkan dalam jurnal ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent,…’ Jurnal ini sepenuhnya berisi catatan hari demi hari tentang ekspedisi yang dilakukan Cornelis de

Houtman yang dimulai pada tanggal 2 April 1959.12

Padang mulai menjadi tempat pemusatan penduduk yang berdatangan dari daerah-daerah di sekitarnya dan mencari hidup dari kegiatan perdagangan Belanda. Selain Belanda, pedagang-pedagang bangsa Barat lainnya pun juga singgah di Padang, diantaranya bangsa Inggris,

11 Safwan, Mardanas, Ishaq Taher, Gusti Asnan, Syafrizal, Sejarah Kota Padang,

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisisonal Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1987), 62.

12 poestahadepok.blogspot.com/2017

(6)

Perancis, dan Portugis. Kemudian diikuti oleh bangsa Cina. Hingga

akhirnya Padang menjadi pelabuhan dagang Internasional.13

Status Padang menjadi pelabuhan dagang Internasional sangat mendukung catatan sejarah tentang kedatangan suku Nias di daerah

Padang.14 Catatan sejarah mengatakan bahwa awal abad ke-16 suku Nias

sudah memasuki daerah Padang dibawa oleh para pedagang Tionghoa untuk

bekerja sebagai buruh atau pembantu di pelabuhan bagi bangsa Portugis.15

Hal ini dapat dibenarkan dengan dukungan catatan sejarah lainnya yang mengatakan bahwa selama beberapa abad, Nias telah memiliki jalur

perdagangan dengan orang Aceh, Barus, Melayu dan Tionghoa.16

Perdagangan ini diawali dengan tukar-menukar barang seperti emas, kuningan, bauskit, nikel, pelbagai jenis sutra dan wol, dan pelbagai hasil

bumi dari Nias, seperti kelapa, hasil perternakan unggas dan lain-lain.17

Namun, sekitar abad ke-11 perdagangan budak dimulai di Nias. Perdagangan budak ini membuat suku Nias banyak berdiam di Sumatera,

khususnya di Padang, bahkan sampai ke Penang.18 Penyebaran orang Nias

di Padang dimulai dari daerah Batang Arau yang adalah pelabuhan di kota

Padang pada abad ke-16.19

13 Safwan, Sejarah Kota ...,2.

14 Indrayuda, Tari Balanse Madam pada Masyarakat Nias Padang Sebuah

Perspektif Etnologi, (Universitas Negeri Padang Press:Padang, 2008), 2.

15 Nofirman Harefa, Musik Pengiring Balanse Madam: Suatu Tinjauan Bentuk

Penyajian dan Musikologis, (Padang: PFBS IKIP Padang, 1998), 22.

16 F. Zebua, Kota Gunungsitoli: Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya,

(Gunungsitoli: 1996), 10-11.

17 Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, Salib dan Adu “Studi Sejarah dan

Sosial Budaya tentang Perjumpaan Kekristenan dan Kebudayaan Asli di Nias dan Pulau-Pulau Batu, Indonesia (1865-1965),(Jakarta: BPK-GM, 2015), 15.

18 Hämmerle, Ritus Patung Harimau, (Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, 1996),

46.

(7)

Migrasi yang dilakukan oleh suku Nias tidak hanya berhenti di awal abad ke-16 saja. Pergantian kekuasaan di Minangkabau pun turut mempengaruhi kedatangan mereka. Sejarah Minangkabau diliputi kabut tebal selama seabad sampai muncul nama Sultan Ahmadsyah yang

memerintah pada tahun 1650-1670.20 Ketika perang saudara mulai muncul

di tengah-tengah kerajaan Pagaruyung, maka Belanda mulai merebut monopoli perdagangan dari tangan Aceh. Belanda mencoba mendekati Sultan Ahmadhsyah dengan berpihak kepadanya dan mengakui Sultan sebagai maharaja yang berkuasa mulai dari Barus di utara sampai ke Muko-Muko di selatan pesisir barat, terus ke wilayah dari muara Batangkampar sampai ke muara Batanghari di bagian timur. Sebagai imbalannya maka Belanda memperoleh konsesi, seperti hak monopoli perdagangan dan hak

mendirikan loji atau gudang di beberapa tempat bagian pesisir barat.21

Kesempatan ini digunakan dengan baik oleh Belanda. Seiring dengan keberuntungan yang didapatkan dari kerajaan Pagaruyung, Belanda pun melakukan perjanjian di Nias. Pada tahun 1669, VOC (Vereenigde Oostindiche Compagnie) membuat perjanjian dengan para pimpinan adat di Nias Utara, Nias Selatan dan pulau Hinako. Perjanjian tersebut membuka kesempatan kepada VOC untuk membeli hasil produksi Nias. Namun dikarenakan keterbatasan hasil produksi membuat VOC tidak mendapat keuntungan yang banyak. VOC pun mengambil keputusan untuk terlibat

dalam perdangangan budak. VOC membeli orang Nias sebagai budak.22

20 Mansoer, Sedjarah Minangkabau…, 63. 21 Navis, Alam Terkembang …, 18. 22 Telaumbanua, Salib dan Adu..., 51.

(8)

Pada tahun 1693 VOC menukar emas dengan para budak, yang kemudian dibawa ke Pulau Sumatera untuk bekerja di perkebunan VOC. Praktik ini

berlanjut hingga sekitar tahun 1740.23

Hal inilah yang memicu kedatangan suku Nias secara besar-besaran ke Padang pada abad ke-19. Di abad ke-19 inilah jumlah suku Nias tercatat sebagai pendatang terbanyak di kota Padang berada di bawah jumlah suku

Minangkabau.24 Mereka dibawa oleh Belanda ke Padang untuk bekerja di

perkebunan atau membuka lahan baru.25 Hal ini mendukung kisah yang

biasa diceritakan turun temurun tentang asal mula kedatangan suku Nias ke Padang. Menurut cerita ini kedatangan suku Nias ke Padang dibawa oleh Belanda dikarenakan pada masa itu sedang terjadi perang di Nias. Orang-orang yang melakukan perang itu dihukum dan dipenjarakan oleh Belanda. Namun, Belanda mengalami kesulitan karena para tahanan itu dapat melarikan diri dari penjara yang diduga karena memiliki ilmu gaib yang mana hal itu terus menerus terjadi. Kemudian Belanda memindahkan mereka ke penjara yang ada di Sibolga tetapi hal yang sama juga terjadi. Akhirnya mereka dibawa jauh dari Nias yakni ke Padang. Ketika berada di Padang mereka dipekerjakan di perkebunan kelapa yang terletak sepanjang pantai Pariaman sampai ke Padang. Para tahanan ini bekerja memanjat pohon kelapa yang ada. Pada saat itu orang Nias yang menjadi pekerja lebih terampil dalam memanjat pohon kelapa dibanding orang pribumi lain yang

23 Telaumbanua, Salib dan Adu..., 61.

24 Anatona Gulö, “Aspek-Aspek Historis dalam Sistem Adat Nias di Kota Padang”

(Tulisan ini disajikan dalam Seminar Sejarah dan Adat Nias di Sumatera Barat yang diselenggarakan oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Universitas Andalas, Padang, 19 Agustus 2008).

(9)

ada di Padang yaitu orang daerah Darek. Orang Darek adalah orang suku Minangkabau yang berasal dari daerah dataran tinggi. Kehebatan orang Nias pada waktu itu adalah mereka dapat memetik buah kelapa dengan sangat cepat karena hanya perlu memanjat satu pohon lalu melompat dari satu pohon ke pohon yang lain tanpa harus turun ke bawah terlebih dahulu. Pada

saat itu orang Nias dikenal kuat, rajin, dan ulet.26

Populasi orang Nias semakin banyak di Padang. Mereka menjadi pekerja bagi Belanda dalam membuka wilayah-wilayah baru di kota Padang. Peran orang Nias menjadi pekerja ini tampak dari beberapa tempat atau lokasi di Padang yang memiliki nama dalam bahasa Nias seperti jalan Hiligoo (artinya bukit ilalang), jalan Banuaran (artinya wilayah mereka), jalan Siteba (berasal dari kata Sitebai yang artinya dilarang atau tidak bisa

dijamah) dan lain-lain.27 Nama-nama ini diberi oleh orang Nias berdasarkan

kondisi dari daerah tersebut.

Keberadaan orang Nias di Padang didukung catatan-catatan yang terdapat dalam sejumlah dokumen arsip bangsa Eropa yang pernah menjajah Padang:

sebuah dokumen miliki Kompeni Belanda (VOC) abad ke-18 melaporkan bahwa pada tahun 1701 sudah ada orang Nias yang sampai di salah satu bandar niaga terkemuka di Pesisir Pantai Sumatera, yaitu Padang (General Missien der VOC IV, 1698 – 1713). Kompeni Inggris (EIC) yang kala itu berkedudukan di Fort Malborough, Bengkulu, mencatat bahwa pada tahun 1781, orang Nias di kota Padang terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok orang merdeka dan yang tidak merdeka. Untuk kategori orang yang tidak merdeka oleh Colombijn disebut sebagai pandelingen atau credit bondsmen, yaitu seseorang yang berada di bawah penguasaan orang lain atau tergadai karena

26 Yuswar Harefa, Padang, 21 Agustus 2017. 27 Indrayuda, Tari Balanse..., 35.

(10)

berhutang. (Colombijn, 1994). Jumlah kelompok orang Nias merdeka, yaitu sebanyak 15 jiwa. Komunitas di Padang pada saat itu telah dipimpin oleh seorang kepala suku bangsa Nias dengan gelar kapitan.28

Selain dijual sebagai budak, orang-orang Nias juga ada yang datang ke Padang sebagai status orang merdeka seperti catatan sejarah kota Padang yang mengatakan:

Jaringan perdagangan pantai dan interinsuler, Bandar Padang sampai ke Pulau Tello, Kepulauan Nias, maka suku Nias mulai datang sebagai buruh, pengrajin atau pembuat atap rumbia. Kedatangan mereka ke Padang semakin banyak setelah VOC dan pemerintah Belanda menjadikan Padang sebagai pusat kegiatan

ekonomi dan pemerintahannya.29

Perkembangan jumlah orang Nias di Padang dapat diketahui melalui beberapa data yang diperoleh, seperti pada tahun 1819, ketika Inggris menyerahkan Padang kepada Belanda tercatat penduduk kota Padang sebagai berikut: 150 orang Eropa, 7.000 orang Melayu, 200 orang Cina, 200 orang India, 1.000 orang Arab dan Asia lainnya, dan 1.500 orang Nias. Jumlah orang Nias hampir mencapai 15 persen dari penduduk Padang saat itu yang berjumlah 10.500 jiwa. Jumlah ini terhitung cukup besar karena

berada pada urutan kedua di bawah suku Minangkabau.30 Proses imigrasi

berlanjut hingga pada tahun 1883 jumlah orang Nias di Padang mencapai 2.500 hingga 3.000 jiwa. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, data statistik jumlah orang Nias yang bermukim di Padang agak sukar diperoleh disebabkan beberapa faktor diantaranya laporan sensus penduduk tidak lagi

28 Gulö, Aspek – Aspek Historis ..., 2-3. 29 Safwan, Sejarah Kota..., 13.

(11)

mencantumkan latar belakang suku bangsa, banyaknya orang Nias yang tidak lagi melaporkan diri kepada organisasi baik adat maupun keagamaan, dan banyaknya terjadi pernikahan antarsuku. Pada tahun 1980-1990 berdasarkan data dari Ikatan Masyarakat Nias Padang (IKMNP) diperkirakan terdapat lebih 1.000 kepala keluarga orang Nias di Padang dengan total lebih 6.000 jiwa. Namun, memasuki kurun waktu pergantian dari abad ke-19 ke abad ke-20 jumlah orang Nias tercatat menurun drastis

hingga hanya mencapai di bawah 1 persen.31 Menurunnya persentase suku

Nias ini dipengaruhi akibat terjadinya pernikahan campuran baik antara suku Nias dengan suku Minangkabau maupun dengan orang Eropa dan

Tionghoa.32

Tabel 1. Jumlah Penduduk Kota Padang dari tahun 1990-2000 Berdasarkan Komposisi Etnis

NO Nama Etnis Jumlah angka Jumlah %

1 Minangkabau 623.328 87,53% 2 Jawa 23.432 3,29% 3 Tionghoa 13.538 1,90% 4 Batak 9.699 1,36% 5 Melayu 6.839 0,96% 6 Nias 4.354 0,64% 7 Sunda 2.561 0,36% 8 Lain-lain 7.904 1,11% Jumlah 712.119 100%

31 Gulö, Aspek – Aspek Historis ..., 3.

(12)

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Padang tahun 2000

Data dalam Tabel 1 merupakan data jumlah penduduk berdasarkan kelompok etnis di tahun 2000. Pada tahun 2018-2019 tidak ada lagi data berdasarkan kelompok etnis, yang ada hanyalah berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, dan agama. Hal ini menyulitkan untuk menemukan data jumlah orang Nias di Padang saat ini.

3.4. Perkembangan Suku Nias di Padang 3.4.1. Adat Nias Padang

Ketika suku Nias tiba di Padang mereka bermukim di wilayah pekerjaan mereka. Dalam perjumpaan sehari-hari dengan sesama suku Nias maka terbangunlah suatu perasaan kebersamaan dan kekeluargaan sekalipun mereka berasal dari kampung yang berbeda-beda di Pulau Nias. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sejarah kedatangan mereka ke Padang bahwa salah satu faktor pemicu keberadaan mereka di Padang adalah akibat perang antarkampung yang kerap terjadi di Pulau Nias.

Masalah dimulai ketika mereka hendak melakukan pesta adat. Mereka mengalami kebingungan dalam memutuskan adat daerah yang dipilih dalam pelaksanaan pesta adat. Salah satu contoh, jikalau pihak perempuan dan pihak laki-laki berasal dari daerah yang berbeda maka mereka harus memilih adat yang akan digunakan. Penentuan ini bukanlah suatu hal yang mudah untuk diputuskan. Masing-masing keluarga memiliki aturan adat dan hukumnya sesuai dengan yang kampung mereka. Selain masalah rumitnya mengambil

(13)

keputusan dalam menentukan adat yang dijalankan. Masalah lainnya muncul ketika tiap-tiap orang menggunakan adat daerahnya sendiri dalam melakukan acara kelahiran, perkawinan, dan kematian. Hal ini dapat mengakibatkan perpecahan dalam kelompok mereka. Mereka akan terbagi sesuai dengan kelompok daerahnya masing-masing sedangkan jumlah mereka tidaklah banyak. Pada awalnya mereka bersikeras untuk mempertahankan adat asal mereka. Namun, pada kenyataannya hal tersebut tidak dapat mereka pertahankan. Hal

yang terjadi sebaliknya yaitu adat mereka menjadi mati.33

Kematian adat lama yang mereka pertahankan ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah ketika mereka melaksanakan pernikahan dengan menggunakan adat kampung mereka masing-masing maka tidaklah mumpuni kebutuhan tokoh-tokoh penting yang wajib berperan dalam pesta adat itu seperti paman yakni sibaya, uwu, uwu sagötö, dan makhelo. Penyebab lainnya adalah ketika melaksanakan pesta adat perkawinan mereka tidak memiliki perlengkapan adat perkawinan sebagaimana mestinya dalam adat Nias. Hal yang menghambat perkembangan adat masing-masing itu berkembang ialah adanya perbedaan bahasa yang dimiliki di setiap daerah.

Akibat dari masalah-masalah di atas, maka diadakanlah sebuah pertemuan di antara orang-orang Nias yang bermukim di

(14)

Padang untuk menyepakati dan merumuskan suatu adat baru yang dapat dipakai secara bersama-sama. Adat ini kemudian dinamakan dengan Hada Niha Nono Wada yang artinya adat Nias Padang. Tidak diketahui dengan pasti waktu dan tempat perumusan adat ini dikarenakan tetua adat yang masih hidup hingga kini pun hanya

memiliki informasi asal mula terbentuknya adat ini.34 Kemungkinan

adat ini berumur sudah sangat tua.

Perumusan adat baru ini tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena setiap daerah bagian Nias yakni utara, selatan, timur, dan barat memiliki variasi tertentu. Setiap daerah memiliki tradisi dan

hukum adat mereka untuk mengatur pemerintahannya sendiri.35

Salah satu contoh yaitu Nias bagian utara akan memiliki adat istiadat, rumah adat dan dialek yang berbeda dengan Nias bagian

Selatan.36 Penyatuan elemen-elemen adat istiadat dari tiap-tiap

daerah ini kedengaran tidak masuk akal dikarenakan hal ini menyangkut harga diri kedaerahan masing-masing. Namun demikian, perumusan adat menjadi satu model itu akhirnya terwujud demi kelanggengan budaya dan tradisi suku Nias. Tawanto memberi pengibaratan dalam proses perumusan adat Nias Padang ini, :

Ibarat memasak gulai yang mana memasukkan bermacam-macam bumbu, yang satu mengatakan adat daerahku harus masuk di bagian ini dan yang lain pun begitu pula.

34 Tawanto Lawolo, 19 Mei 2018 35 Telaumbanua, Salib dan Adu ..., 12. 36 Telaumbanua, Salib dan Adu ..., 13.

(15)

Beberapa hal yang menjadi ciri khas adat Nias Padang yang membedakannya dengan adat Nias, diantaranya :

1. Tata Cara Makan Sirih37

Dalam pesta adat di Nias sirih disajikan sebagai bentuk penghormatan kepada tamu. Sirih yang diberikan kepada tamu dimasukkan ke dalam wadah yang disebut dengan bola nafo. Tamu akan dipersilahkan mengambil sirih yang sudah digulung (bidi) menyatu dengan kapur sirih, tembakau, dan pinang ketika tuan rumah menyambut tamu dengan menyodorkan bola nafo. Hal yang berbeda ditemukan dalam adat Nias Padang, dimana sirih yang disuguhkan kepada tamu tidak digulung dan diracik. Sirih, tembakau, pinang, dan kapur sirih akan diletakkan di atas piring dengan posisi masing-masing secara utuh. Tamu dipersilahkan meracik atau menggulung (bidi) sirihnya sendiri. Filosofi dari hal ini menurut Tawanto adalah yang makan biarlah ia yang bekerja.

2. Pernikahan

A. Posisi Pengantin Perempuan

Dalam adat Nias, pengantin perempuan diibaratkan seperti böli ana’a yang artinya ketika ia menikah maka

(16)

hubungannya dengan keluarganya menjadi putus dikarenakan ia telah “dibeli” oleh keluarga pengantin laki-laki dengan mahar yang tinggi. Hal ini menyebabkan pengantin perempuan menjadi milik keluarga pengantin laki-laki seutuhnya. Namun, dalam adat Nias Padang hal ini tidak dilakukan. Pengantin perempuan tetap menjadi bagian dari keluarganya sekalipun sudah menikah. Sehingga ketika suaminya meninggal dunia maka keluarga pihak laki-laki harus mengembalikan istri tersebut kepada saudara-saudaranya. Hal ini berbeda dengan adat Nias dimana ketika suami yang bersangkutan meninggal dunia maka keluarga suamilah yang bertanggungjawab untuk mengawinkan

perempuan itu kembali.38

B. Tata Cara Pengantin Perempuan Ke Rumah Pengantin Laki-laki

Selain itu, dalam pesta adat pernikahan Nias maka pengantin perempuan akan ditandu oleh keluarga dari rumahnya hingga ke rumah pengantin laki-laki. Namun, dalam adat Nias Padang hal tersebut tidak dilakukan mengingat tradisi itu tidak ada dalam budaya Minangkabau. Sehingga ketika pengantin perempuan ditandu maka suku Minangkabau mengejek mereka. Akhirnya diputuskanlah untuk tidak menandu pengantin perempuan melainkan berjalan bersama

(17)

dengan pengantin laki-laki menuju ke rumahnya. Hal ini sama seperti dengan yang dilakukan dalam pesta adat

pernikahan Minangkabau.39

C. Mekanisme Pernikahan

Dalam tradisi Nias maka pesta pernikahan dilakukan dengan proses yakni menikah secara agama (pemberkatan), secara pemerintah (catatan sipil), dan secara adat (pengadaan syukuran atau pemberitahuan kepada masyarakat bahwa telah sah sebagai suami istri). Hal yang berbeda dilakukan dalam adat Nias Padang dimana proses yang dijalani yaitu menikah secara adat (pesta adat), secara agama (pemberkatan) , dan secara pemerintah (catatan sipil). Menurut Tawanto, perubahan ini didasarkan kepada mekanisme adat pernikahan yang dilakukan. Ketika kedua belah pihak telah sepakat untuk melangsungkan pernikahan maka ada mahar (böwö) yang diserahkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Maka sebagai bentuk respon terhadap mahar yang diberikan sudah seharusnya pesta pernikahan secara adat dilaksanakan di awal yang kemudian baru disusul secara agama dan pemerintah.

D. Mahar (böwö)

Sehubungan dengan böwö maka pesta pernikahan adat Nias Padang terbagi atas tiga model yakni halöwö sebua (pesta

(18)

besar), halöwö tefatalu (pesta sedang), halöwö side’ide (pesta kecil). Tingkatan pesta ini mempengaruhi böwö yang diberikan. Hal ini tidak ada di adat Nias yang hanya memiliki satu model pesta adat saja. Dalam persoalan böwö, adat Nias Padang cenderung lebih ringan dibandingkan dengan adat Nias. Adat Nias menuntut böwö yang cukup tinggi yang seringkali menjadi pemicu masalah ekonomi dalam masyarakat Nias. Adat Nias Padang pada awalnya masih menggunakan sistem adat Nias dalam menentukan böwö. Namun, ketika masa penjajahan Jepang mereka menemui masalah untuk menyelamatkan anak-anak mereka dari rampasan Jepang. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan mereka adalah dengan menikahkan mereka. Sebab Jepang hanya menginginkan gadis saja. Untuk menanggapi hal ini maka adat Nias Padang memutuskan untuk membentuk halöwö side’ide dengan tidak lagi mempersoalakan besar kecilnya böwö melainkan justru mengutamakan pelaksanaan pesta agar anak-anak perempuan mereka tidak diambil

Jepang.40

E. Pakaian Pengantin

Dalam adat Nias pakaian pengantin menggunakan pakaian adat Nias. Sedangkan dalam adat Nias Padang, pengantin mendapat kesempatan untuk memilih menggunakan pakaian

(19)

adat Nias atau pakaian adat Minangkabau. Hal ini sehubungan dengan izin yang telah diberikan oleh suku

Minangkabau membuat adat Nias Padang dapat

melaksanakan adatnya dengan menggunakan seperangkat hiasan pesta pernikahan adat Minangkabau.

Gambar 1. Pengantin Nias Padang 3. Sumange (Penghormatan)

Sumange adalah bentuk penghormatan yang dilakukan dalam adat Nias maupun Nias Padang. Penghormatan ini biasanya diberikan kepada paman ataupun tamu. Di dalam adat Nias sumange ini dibuat menjadi simbi dengan menggunakan bahan baku yaitu babi. Namun, dalam adat Nias Padang hal ini diganti menjadi ayam bulek mengingat ketidakcukupan jumlah babi di Padang dan situasi dengan orang-orang yang beragama Islam. Ayam bulek adalah ayam yang isi perutnya dikosongkan dan kemudian bagian sayapnya diikat ke depan, kepala ke atas dan kaki diikat bersimpuh. Ayam ini kemudian dimasak dengan

(20)

bumbu kunyit sehingga berwarna kuning seperti gambar di bawah ini.

Gambar 2. Ayam bulek 4. Tata Krama Pelaksanaan Adat

Perbedaan lainnya dalam tata krama pelaksanaan adat. Dalam adat Minangkabau ada cara duduk yang mutlak harus dilakukan yang yaitu duduk baselo dan basimpuah. Laki-laki harus duduk baselo dalam acara adat sedangkan perempuan harus duduk basimpuah dalam acara adat. Hal ini tidak ada dalam adat Nias. Namun dalam adat Nias Padang hal ini digunakan dalam pelaksanaan adat mereka. Mereka menggunakan tata krama duduk baselo dan basimpuah. Selain itu mereka juga menggunakan ritual makan dengan menggunakan tangan tanpa sendok, piring-piring kecil seperti yang dilakukan oleh orang Minangkabau. Penghormatan kepada kepala kampung dalam hal melakukan penyucian tangan setelah makan yang didahulukan oleh kepala kampung. Jika kepala kampung belum menyuci

(21)

tangan maka anggota yang lain membiarkan tangan mereka kering dengan sisa makanan sambil menunggu kepala kampung selesai. Selain itu, dalam acara adat, laki-laki diwajibkan menggunakan kopiah hitam bagi laki-laki dan baju kurung bagi perempuan. Beberapa hal ini tidak ditemukan dalam adat Nias. 3.4.2. Penerimaan Suku Nias oleh Suku Minangkabau

Dalam proses penggunaan adat baru yakni adat Nias Padang. Mereka masih mengalami kesulitan dalam pengadaan alat-alat yang mendukung terlaksananya pesta adat seperti alat musik, baju pengantin, dan simbol-simbol adat mereka. Kesulitan ini membuat mereka harus mencari jalan keluar dengan mengajukan permintaan izin kepada suku Minangkabau untuk dapat menggunakan peralatan

adat yang mereka miliki.41 Sebagaimana suku lainnya, tentu

permintaan ini bukanlah sebuah permintaan yang mudah untuk dikabulkan. Hal ini dibuktikan dengan diadakannya sebuah upacara adat Minangkabau pada awal abad ke-16 oleh Sutan yang berkuasa

di Padang, yaitu Sutan Alang Laweh.42 Martini S.Y. dalam

wawancaranya dengan Harun al Rasyid (Gubernur Sumatera Barat 1966-1977) pada 22 Juli 1999 mengungkapkan bahwa adat suku Nias diterima oleh masyarakat Minangkabau dengan syarat mengisi adat berupa satu ekor kerbau, enam belas keping perak, delapan carano berisi sirih lengkap. Dengan pemenuhan persyaratan ini

41 Tawanto Lawolo, 19 Mei 2018 42 Indrayuda, tari balanse..., 37.

(22)

maka suku Nias yang bermukim di Padang diizinkan memakai satu perangkat pakaian dan hiasan adat perkawinan Minangkabau, berupa pakaian pengantin, sunting, dan perhiasan rumah berupa

langit-langit berwarna kuning.43

3.4.3. Pola Pemerintahan Adat dan Pemukiman

Saat orang Nias datang kota Padang sudah memiliki pola pemerintahan tradisional, yakni suatu kaum atau suku yang akan mendiami daerah tertentu dan dikepalai oleh seorang penghulu. Kesatuan daerah yang didiami oleh kaum itu disebut kampung. Pada masa sistem pemerintahan tradisional terdapat delapan kampung yang dipimpin oleh delapan penghulu, maka pola pemukimannya adalah mengelompok. Hal ini juga diberlakukan kepada para pendatang dan pemukim baru seperti orang Cina, orang India (Keling), orang Nias, dan orang Bugis. Mereka diberikan sebidang tanah untuk pemukiman mereka. Pola pemukiman mereka ini juga mengelompok. Setiap kelompok memberi nama pemukiman mereka sesuai dengan suku mereka seperti kampung Keling untuk orang India. Nama daerah yang menjadi pemukiman suku Nias, yaitu

Kampung Nias.44 Dengan pola inilah orang Nias membentuk sistem

pemerintahan adat mereka.

43 Tawanto Lawolo, “Beberapa Permasalahan Adat Niasdi Sumatera Barat dan

Upaya Pemecahannya” (Tulisan ini disajikan dalam Seminar Sejarah dan Adat Nias di Sumatera Barat yang diselenggarakan oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Universitas Andalas, Padang, 19 Agustus 2008).

(23)

Pada awalnya Padang yang memiliki tiga kecamatan yaitu Padang Barat, Padang Timur, dan Padang Selatan dibagi menjadi delapan wilayah kelompok pemukiman orang Nias oleh Belanda. Kelompok ini disebut dengan sebutan wijk (dalam bahasa Belanda) atau kampung. Setiap wijk dipimpin oleh kapten. Kemungkinan disebabkan oleh tidak mampunya orang Nias pada saat itu dalam hal baca dan tulis atau masih terbelakang dalam hal pendidikan sehingga orang Nias di Padang tidak tercatat dalam sejarah, berbeda jika

dibandingkan dengan orang Cina dan Keling.45 Para kepala

kampung dipimpin oleh seorang datuk atau penghulu. Penghulu Nias Padang pada saat itu berlokasi di daerah Purus bagian kecamatan Padang Barat. Tugas dari penghulu ini adalah mengumpulkan pajak dan menyampaikan perintah atau pesan dari Belanda kepada kepala kampung agar diteruskan kepada masyarakatnya. Lokasi delapan wijk tersebut diantaranya:

1. Wijk satu meliputi wilayah Tabing dan sekitarnya

2. Wijk dua meliputi wilayah Purus, Ulak Karang dan sekitarnya 3. Wijk tiga meliputi wilayah Kampung Jawa dan sekitarnya 4. Wijk empat meliputi wilayah Kampung Nias dan sekitarnya 5. Wijk lima meliputi wilayah Seberang Palinggam dan sekitarnya 6. Wijk enam meliputi wilayah Ampang Anam dan sekitarnya 7. Wijk tujuh meliputi wilayah Seberang Muara dan sekitarnya 8. Wijk delapan meliputi wilayah Teluk Bayur dan sekitarnya

(24)

Namun, seiring dengan pertumbuhan penduduk Nias di Padang maka wilayah mereka pun turut berkembang menjadi tiga belas wijk. Wijk pertama dan kedua tidak berubah sedangkan yang berubah diantaranya :

1. Wijk tiga meliputi wilayah Sawahan

2. Wijk empat meliputi wilayah Seberang Palinggam 3. Wijk lima meliputi wilayah Bukit Datar

4. Wijk enam meliputi wilayah Bukit Sarai 5. Wijk tujuh meliputi wilayah Bukit Gado-Gado

6. Wijk delapan meliputi wilayah Bukit Lubuk-Air Manis 7. Wijk sembilan meliputi wilayah Mata Air

8. Wijk sepuluh meliputi wilayah Cendana 9. Wijk sebelas meliputi wilayah Bukit Karan 10. Wijk dua belas meliputi wilayah Teluk Bayur 11. Wijk tiga belas meliputi wilayah Sungai Pisang 12. Wijk empat belas meliputi wilayah Tanjung Basung

Setiap orang Nias di Padang harus mengetahui lokasi wijk atau kampung mereka karena hal ini berkaitan dengan urusan adat. Pada masa pemerintahan Belanda tugas kepala kampung adalah membantu Belanda dalam menagih pajak. Namun setelah Indonesia merdeka tugas kepala kampung hanyalah bertanggungjawab

(25)

terhadap pesta adat yang akan dilaksanakan oleh warga

kampungnya.46

Setelah kemerdekaan Indonesia, maka penghulu tidak lagi digunakan dikarenakan tidak ada yang memerintah. Akibatnya masing-masing kampung berjalan sesuai kemauan kepala kampungnya sendiri. Hal ini cukup memberi kekacauan dalam pola pemerintahan adat Nias Padang karena masing-masing kampung mulai melaksanakan adat sesuai kemauan mereka. Selain itu, kerap kali juga terjadi perselisihan antara orang Nias Padang terdahulu dengan orang Nias pendatang. Masalah yang muncul adalah ketika orang Nias Padang tidak bisa berbahasa Nias sehingga terjadi miss communication dengan orang Nias pendatang. Pada tahun 1987 para kepala kampung mengadakan pertemuan untuk mencari solusi atas ketiadaan kepemimpinan yang sedang mereka alami. Pada tahun 1989, Tawanto mengusulkan untuk membentuk suatu organisasi yang dapat menjadi wadah untuk mempersatukan masyarakat Nias Padang. Organisasi ini diberi nama Ikatan Keluarga Masyarakat Nias (IKMN). Setelah IKMN dibentuk, kendala lainnya yang muncul adalah ketiadaan tempat yang dapat digunakan sebagai tempat berkumpul atau mengadakan pertemuan. Akhirnya diusulkan kembali untuk membentuk kelompok kecil yakni kelompok marga. Orang Nias dikumpulkan bersama-sama dengan sesama marga atau fam mereka. Hal ini memudahkan IKMN untuk mengakomodir

(26)

orang-orang Nias Padang melalui ketua kelompok marga mereka masing-masing. Pada awalnya terdapat 14 kelompok marga dan sekarang jumlahnya telah bertambah seiring pertambahan jumlah

orang Nias ke Padang menjadi 28 kelompok marga.47

Pada tahun 1990-an terjadi gejolak di antara kampung dimana muncul perbedaan pelaksaan adat di masing-masing kampung. Mereka tidak lagi mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati pada awalnya. Hal ini menimbulkan keresahan terhadap komunitas masyarakat Nias Padang. IKMN kemudian menemui ahli waris penghulu di zaman penjajahan Belanda untuk menanyakan kesiapannya melanjutkan tugas penghulu yang sebelumnya. Sayangnya, ia menyatakan ketidaksiapannya akibat ia telah muslim dan sudah tidak tahu menahu lagi tentang adat Nias Padang. Pada saat itu terjadilah kesepakatan dimana Tawanto ditunjuk untuk menjadi penghulu atau pucuk adat Nias Padang. Tawanto menganggap jabatan yang diserahkan kepadanya sangat berat. Ia pun mengusulkan untuk menggunakan istilah yang sama dengan suku Minangkabau. Minangkabau memiliki Lembaga Kerapatan Adat Nagari (LEKAN) sebagai pemerintahan adat mereka. Kemudian Nias Padang mengadopsinya dengan membentuk Lembaga Kerapatan Adat Nias Padang (LEKANIS).

Dengan terbentuknya LEKANIS maka diadakanlah penyeragaman adat istiadat kembali di tahun 1995. Hingga kini

(27)

LEKANIS menjadi pucuk adat Nias Padang yang membawahi 14 kepala kampung.

3.4.4. Orang Nias Padang dan Orang Nias

Dengan adanya adat yang baru maka identitas kelompok yang mereka miliki pun turut berubah. Mereka tidak lagi menyebut diri sebagai orang Nias melainkan orang Nias Padang. Terdapat beberapa perbedaan pendapat seputar asal mula istilah ini digunakan sebagai identitas orang Nias yang berdiaspora di Padang. Menurut Anatona Gulö istilah “Nias Padang” bukanlah diciptakan oleh orang Nias diaspora di Padang. Istilah ini diberikan oleh orang-orang host terhadap orang Nias diaspora. Secara harafiah, istilah ini menjelaskan posisi atau lokasi orang Nias berdiaspora yakni orang

Nias yang ada di Padang.48

Pendapat yang berbeda diungkapkan oleh Yuswar Harefa yang merupakan salah satu kepala kampung Nias Padang. Ia mengatakan bahwa sebutan Nias Padang tidak hanya menunjukkan sebagai identitas yang menunjukkan lokasi diaspora melainkan sebuah simbol suatu hubungan saudara antara suku Nias dengan suku Minangkabau. Sekitar tahun 1950-an orang-orang Nias yang berasal dari pulau Nias berdatangan ke Padang dengan berbagai tujuan diantaranya mengunjungi keluarga dan merantau untuk mencari pekerjaan. Kedatangan orang-orang Nias ini kembali membawa atsmosfer baru bagi orang Minangkabau. Hal ini

(28)

disebabkan orang-orang Nias yang baru datang ini masih belum dapat beradaptasi dengan baik di Padang. Mereka masih melakukan kebiasaan tidak baik mereka sewaktu di pulau Nias. Hal ini menimbulkan kerisihan bagi orang-orang Minangkabau. Orang Minangkabau merasa terganggu dengan kedatangan orang-orang asing di daerah mereka. Di sinilah orang-orang Nias Padang mempertegas identitas mereka. Mereka hendak memberi batasan dalam kacamata orang Minangkabau antara kelompok Nias Padang

dan kelompok Nias pendatang tahun 1950-an.49 Identitas Nias

Padang membantu mereka untuk mengingatkan orang Minangkabau bahwa mereka adalah keturunan dari orang-orang Nias diaspora dari

abad ke-16.50 Mereka yang disebut Nias Padang adalah orang-orang

yang telah memenuhi syarat perjanjian dan diterima dalam lingkungan Minangkabau. Nias Padang memiliki makna yang kompleks karena identitas ini merupakan suatu simbol yang menyatakan secara tegas bahwa mereka adalah saudara orang Minangkabau di Padang.

3.4.5. Kesenian Nias Padang

Ada beberapa kesenian ciri khas Nias Padang yang biasa dilaksanakan dalam pesta pernikahan yang tidak sama dengan

49 Yuswar Harefa, 21 Agustus 2017. 50 Indrayuda, Tari Balanse..., 32.

(29)

kesenian Nias yaitu tari sampayang barampek, tari balanse madam,

tari kaparinyo sampai hati.51 Tari sampayangan adalah tarian yang

diiringi dengan musik gamad. Musik gamad adalah musik tradisional Melayu yang biasa digunakan oleh orang Minangkabau. Dalam pelaksanaannya yang memegang peranan untuk memainkan alat musik adalah orang Nias Padang, sedangkan bahasa puisi dan pantun berbalasan yang digunakan dalam tarian adalah bahasa Minang. Tarian ini melibatkan semua elemen dari orang muda hingga tua dalam tarian. Tarian ini menggunakan satu sapu tangan yang dipegang oleh masing-masing penari. Tarian ini melibatkan empat etnis yang ada di Padang yaitu Minangkabau, Nias, Cina dan India. Tari sampayang barampek menggambarkan empat suku yang bersaudara.

Tarian balanse madam adalah tarian yang dihasilkan ketika orang-orang Nias Padang menjadi pekerja bagi bangsa Portugis di Padang. Tarian ini merupakan tarian pasangan. Tarian ini biasa juga dilakukan dalam pesta orang Nias Padang. Pesta biasanya ditutup dengan tarian kaparinyo. Tarian ini merupakan tarian yang berisi ucapan terimakasih kepada pelaksana pesta pernikahan. Kepala kampung akan memulai menari dengan pengantin laki-laki. Tari-tarian ini dilaksanakan malam setelah pelaksanaan adat pernikahan di siang hari.

3.5. Perjumpaan dengan Agama Kristen di Padang

(30)

Suku Nias masih memeluk kepercayaan suku mereka ketika berada di Padang. Kepercayaan suku mereka adalah molohe adu (penyembahan

kepada roh).52 Bagi masyarakat Nias, adu adalah perantara yang membuat

mereka bisa berhubungan dengan para ilah, roh-roh, dan para leluhur. Adu adalah patung yang berfungsi untuk menunjukkan penghargaan kepada leluhur, menjamin keharmonisan kosmos, alat penyembuhan, dan penangkal bencana. Adu merupakan penghargaan kepada para leluhur untuk menjamin keharmonisan kosmos. Selain itu, adu juga merupakan alat

penyembuhan dan penangkal pelbagai bencana.53 Kepercayaan ini masih

mereka pegang sewaktu tiba di Padang. Hal itu dipaparkan oleh Tawanto yang mengakui bahwa orangtuanya dahulu masih menganut agama suku dan menyembah adu. Penyembahan terhadap adu ini masih dilakukan masyarakat Nias Padang hingga tahun 1965. Kepercayaan ini kemudian dihentikan sejak terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G30SPKI). Penghentian ini bertujuan untuk menyelamatkan masyarakat Nias Padang dari tuduhan sebagai komunis dikarenakan tidak memiliki agama. Akhirnya di tahun 1965 itulah masyarakat Nias Padang berbondong-bondong menjadi Kristen dan menjadi warga jemaat gereja suku Nias yaitu Banua Niha Keriso Protestan (BNKP).54

Selain akibat ancaman G30SPKI, masyarakat Nias Padang yang memeluk agama Kristen juga merupakan hasil dari penginjilan yang

52 J. Danandjaja, Ono Niha: Penduduk Pulau Nias, Peninjau III/1-2, (Jakarta:

Majalah Lembaga Penelitian dan Studi Dewan-Dewan Gereja di Indonesia, 1976.), 107.

53 Telaumbanua, Salib dan Adu..., 23. 54 Tawanto Lawolo, 19 Mei 2018.

(31)

dilakukan oleh badan misi RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dari Jerman. Perjumpaan orang Nias Padang dengan kekristenan diawali dengan pertemuan mereka dengan misionaris dari Jerman yang bernama Ludwig Ernst Denninger. Denninger yang diutus oleh badan misi RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) untuk menginjil ke Tanah Batak akhirnya bertolak ke Padang dikarenakan istrinya mengalami sakit. Ia tiba di Padang pada 21 November 1881. Sewaktu singgah di Padang ia bertemu dengan orang Nias yang berjumlah sekitar 3000 orang dan merasa perlu untuk melakukan

penginjilan kepada mereka.55 Orang Nias Padang pertama yang menjadi

Kristen bernama Ara. Dia tinggal cukup lama dalam lingkungan keluarga Kristen Belanda. Dia dibaptis oleh Denninger pada tahun 1862 dan diberi

nama Getruida Christina.56 Denninger kemudian meninggalkan Padang dan

bertolak ke Nias pada tahun 1985. Hal ini disebabkan karena ia ingin menginjil langsung ke Nias. Selain itu ternyata kegiatan penginjilan yang dilakukan oleh Denninger kepada orang Nias Padang tidak didukung oleh pastor Katolik maupun pendeta gereja Belanda di Padang. Hal ini disebabkan karena adanya persetujuan antara gereja Reform Belanda dengan gereja Katolik di Padang bahwa Sumatera harus menjadi Protestan sedangkan Nias

harus menjadi Katolik.57

Sepeninggalnya Denninger tidak ada yang meneruskan penyebaran kekristenan kepada orang Nias Padang. Pada tahun 1878 Denninger mengutus

55 Telaumbanua, Salib dan Adu..., 103. 56 Telaumbanua, Salib dan Adu..., 119. 57 Telaumbanua, Salib dan Adu..., 103.

(32)

Pendeta J.W. Dornsaft untuk menginjili orang Nias Padang.58 Penginjilan ini kembali dimulai dari nol dikarenakan Ara yang sebelumnya sudah dibaptis

ternyata sudah memeluk agama Katolik.59 Dalam buku Republik Indonesia,

Sumatera Tengah yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan, Bab V bagian XIII tentang “Perkembangan Agama Kristen”, pasal 102 “Nias

Kristen”, tahun 1953, halaman 1091 dijelaskan bahwa:60

“Pengerja yang pertama di kalangan orang Nias di kota Padang bernama Pendeta Dornsaft yang diutus oleh Kongsi Barmen RMG. Dornsaft telah bekerja dengan segenap kecintaan hatinya dan dengan rajin sehingga dicintai Kristen Nias. Di Padang ia telah mendirikan sebuah gereja dari kayu yang sekarang masih berdiri di Jalan Tan Malaka (Jalan Hiligo’o dahulu dan sekarang Jalan Karya). Baptisan pertama dilaksanakan tahun 1907.”

Dari catatan di atas tampak bahwa Pendeta Dornsaft merupakan pendiri gereja Nias di Padang. Gereja itu ada hingga saat ini di lokasi yang sama dan bernama Gereja BNKP Jemaat Padang.

Perkembangan kekristenan di Padang kemudian berlanjut dengan datangnya keluarga Nias Kristen dari pulau Nias pada tahun 1902 yang bernama Kadufa Ndraha bersama kedua orangtuanya, Lö’ösi Ndraha da

Tamböni Ziliwu.61 Tercatat dalam buku stambuk keanggotaan gereja BNKP

bahwa mereka sudah dibaptis pada tahun 1901 di Nias. Selama di Padang Kadufa membantu Pendeta Donrsaft dalam menyebarkan kekristenan kepada orang Nias Padang. Kekristenan semakin berkembang kepada orang Nias Padang disebabkan oleh salah satu faktor yaitu keturunan. Ketika Kadufa

58 Sudiaro Laiya, Sejarah Gereja Ono Niha (Nias) di Padang Sumatera Barat,

(Padang:Sukabina Press, 2016), 6.

59 Telaumbanua, Salib dan Adu..., 122. 60 Laiya, Sejarah Gereja..., 6-7. 61 Laiya, Sejarah Gereja..., 7.

(33)

menikah dengan orang Nias Padang maka ia memiliki sembilan orang anak.62 Hal ini juga terjadi dengan orang-orang Nias Padang yang sudah dibaptis menjadi Kristen. Pada umumnya mereka memiliki banyak keturunan. Anak-anak mereka ini berkembang dan kemudian mendukung perkembangan kekristenan dalam lingkungan Nias Padang. Hal ini mengakibatkan mayoritas orang Nias Padang beragama Kristen. Sehingga tidak heran jikalau orang Minangkabau mendengar identitas “Nias” langsung mengidentikkan dengan “seorang Kristen”.

Dalam penyebaran kekristenan Kadufa mengalami tantangan dari orang Nias Padang itu sendiri. Mereka merasa tidak senang dengan agama baru yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini mengakibatkan terjadinya penghambatan yang dilakukan terhadap Kadufa dan teman-teman. Mereka pernah dihadang dan dipukuli, bahkan rumah Kadufa yang biasa digunakan untuk ibadah setiap minggu pun dibakar sebagai bentuk penolakan dari

orang-orang Nias Padang.63 Selain itu tantangan lain pun datang dari pihak host.

Sebuah peristiwa bersejarah terjadi pada tahun 1947 ketika Belanda hendak menguasai kembali Indonesia dan melakukan agresi pertama. Perlawanan terhadap Belanda terjadi dimana-mana termasuk di Padang. Suku Minangkabau di Padang mencurigai orang Nias Padang sebagai mata-mata dari pihak Belanda dikarenakan mereka beragama Kristen. Peristiwa ini

ditandai dengan isu yang beredar sebagai berikut :64

62 Laiya, Sejarah Gereja..., 9. 63 Laiya, Sejarah Gereja..., 14-15. 64 Laiya, Sejarah Gereja..., 32.

(34)

Pada Sabtu, 2 Agustus 1947 beredar isu sebagai berikut: Malam ini semua orang Nias harus diusir keluar, kalau tidak maka akan terjadi suatu peristiwa yang sangat berbahaya dan mengerikan.

Peristiwa ini pun memakan banyak korban jiwa dari masyarakat Nias Padang. Tetapi tidak sedikit pula yang selamat bahkan masih hidup sampai sekarang ini. Nehegö Harefa sebagai saksi hidup peristiwa ini menceritakan bahwa kejadian malam itu sangatlah mencekam dan mengerikan. Ayah dan kedua saudara meninggal dalam peristiwa tersebut sedangkan dia dan kedua saudaranya yang lain sempat melarikan diri ke daerah kota Padang. Yuswar Harefa yang juga lahir pada peristiwa itu memaparkan bahwa peristiwa mengerikan itu membuat orang-orang Nias Padang yang awalnya hidup berkelompok menjadi berpencar di seluruh pelosok kota Padang. Mereka mengungsi dan menumpang di rumah-rumah warga kota Padang yang beragama Islam. Ia sendiri pun lahir di rumah seorang Muslim Minangkabau saat peristiwa itu terjadi. Namun, sekalipun peristiwa mengerikan itu terjadi tidak menyurutkan iman mereka sebagai seorang Kristen.

Pasca peristiwa itu terjadi masyarakat Nias Padang yang beragama Kristen pun berpencar mencari perlindungan di pelosok kota Padang. Mereka berusaha mencari pekerjaan baru akibat rumah dan harta benda mereka telah hangus dan ditinggalkan di Pasar Usang. Maka tak heran lokasi pemukiman masyarakat Nias Padang mayoritas berada di daerah perbukitan kota Padang disebabkan mereka membuka lahan dan menjadi petani untuk melanjutkan

kelangsungan hidup mereka.65 Selain itu, mereka tetap melaksanakan ibadah

Minggu mereka di gereja BNKP yang didirikan oleh Dornsaft. Dikarenakan

(35)

lokasi gereja jauh dari pemukiman masyarakat Nias Padang dan ketidaksedianya alat transportasi membuat anak-anak Nias Padang Kristen

melakukan kegiatan sekolah minggu di rumah-rumah jemaat.66 Sedangkan

orang-orang dewasa tetap ke gereja dengan berjalan kaki.

Ketika situasi mulai aman, maka sebagian orang Nias Padang Kristen mulai kembali ke tempat asal pemukiman mereka terdahulu. Tahun 1950 orang Nias Padang Kristen mendirikan gedung gereja di daerah Kali Air yang mana tanah pertapakannya merupakan tanah hibah dari Sibarahi Lömbu. Kebaktian Minggu dipimpin oleh orang Nias Padang Kristen itu sendiri yakni Lö’aröu Zebua (Ama Wangatulö Zebua). Namun hal itu tidak berlangsung lama dikarenakan pada tahun 1958 terjadinya pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang membuat orang Nias Padang Kristen di Kali Air menjadi ketakutan dan meninggalkan gedung gereja itu kemudian mengungsi ke daerah Tanjung Basung. Gedung gereja yang di Kali Air pun diambil alih kembali oleh Sibarahi Lömbu yang kemudian ia ganti menjadi bangunan “Suro Sibarahi” lalu berkembang

menjadi “Mesjid Sibarahi” hingga sekarang.67

Sekalipun situasi telah aman, namun beberapa kelompok masyarakat Nias Padang Kristen tidak lagi mau kembali ke daerah pemukiman asal mereka seperti daerah Merantih, Pauh, dan Ketaping akibat ketakutan yang mereka alami meskipun sesungguhnya di daerah tersebut mereka masih memiliki kebun kelapa, ladang, dan sawah yang mereka kelola sebelumnya. Kebun,

66 Tawanto Lawolo, 19 Mei 2018. 67 Laiya, Sejarah Gereja…, 36.

(36)

ladang dan sawah itupun akhirnya dikuasasi oleh pihak host hingga

sekarang.68

Dalam perkembangannya, gereja BNKP di Padang berkembang menjadi tiga jemaat yakni Jemaat Padang, Jemaat Anugerah Tabing, dan Jemaat Tanjung Basung. Namun, dengan perkembangan perbatasan kota dan kabupaten di Sumatera Barat, maka yang termasuk bagian dalam kota Padang hanyalah Jemaat Padang dan Jemaat Anugerah Tabing sedangkan Jemaat Tanjung Basung termasuk dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Berdasarkan datanya jumlah jemaat Padang yang terdaftar di stambuk sebanyak 3.662 jiwa dan 1.941 jiwa di pos pelayanan yang berlokasi di daerah

Tiku Pariaman sedangkan jemaat Tabing berjumlah sebanyak 330 jiwa.69

Jumlah ini merupakan hasil dari warga jemaat yang sudah mendaftar secara sah sedangkan jika dilihat dari kedatangan jumlah jemaat beribadah melebihi dari jumlah tersebut. Hal ini disebabkan adanya orang-orang Nias pendatang yang bermukim di Padang namun belum melakukan perpindahan administrasi sebagai warga jemaat BNKP Jemaat Padang maupun Jemaat Tabing.

Dalam kehidupan orang Nias Padang Kristen perjumpaan dengan Muslim-Minangkabau menjadi hal yang sangat biasa. Mereka dapat menjadi satu-satunya orang Kristen di sebuah lingkungan yang memiliki mayoritas muslim. Namun hal ini tidak menjadi hambatan bagi orang Nias Padang Kristen dalam menjalani kehidupan mereka. Ketika ingin melaksanakan

68 Laiya, Sejarah Gereja…, 39. 69 Perikopen BNKP tahun 2019.

(37)

kegiatan perkumpulan orang Nias Padang Kristen ataupun kegiatan penelaah Alkitab (PA). Mereka akan menyesuaikan kegiatan tersebut dengan keadaan lingkungan di sekitar mereka. Ada beberapa lokasi dimana tidak bolehnya terjadi dilakukan kebaktian dengan nyanyian. Maka orang Nias Padang Kristen akan melakukan ibadah tersebut dengan menyanyi tanpa irama melainkan membaca syairnya saja secara bersama-sama.

Dalam peraturan pemerintah daerah yang ada di kota Padang menyatakan bahwa setiap siswa dan siswi yang bersekolah di sekolah negeri wajib menggunakan pakaian berbusana muslim sebagai seragam sekolah. Peraturan ini dipatuhi oleh orang-orang Nias Padang Kristen yang memilih anak mereka bersekolah di sekolah negeri sedangkan orang-orang yang tidak nyaman dengan aturan ini memilih untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta. Selain itu, ketidaktersediaanya guru agama Kristen di sekolah negeri membuat anak-anak Nias Padang Kristen harus menempuh pendidikan agama Kristen di gereja. Gereja menyediakan tenaga pengajar untuk mengakomodasi kebutuhan warga jemaatnya. Mereka pun melakukan kerjasama dengan Dirjen BIMAS Kristen untuk dapat mengeluarkan blanko format nilai mata pelajaran agama yang dilegalkan di sekolah. Menurut Nove Maruao sebagai Penanggungjawab bidang Pendidikan di Jemaat Padang mengatakan jumlah siswa yang mengikuti mata pelajaran agama di gereja kurang lebih 600 orang. Ini di luar anak-anak yang bersekolah di sekolah

swasta.70

(38)

Dalam berbagai kegiatan orang Nias Padang Kristen sangat berhati-hati dalam menggunakan babi sebagai bahan baku makanan dalam acara. Mereka sangat memikirkan orang-orang Muslim yang ada di sekitar mereka. Maka tak jarang bahan baku yang digunakan dalam masakan adalah ikan dan ayam meskipun seluruh peserta kegiatan itu adalah orang Nias Padang Kristen.

Dalam perjumpaannya dengan muslim Minangkabau terdapat berbagai tantangan. Tantangan tersebut masih terjadi hingga saat ini meskipun tidak tampak dari luar. Berdasarkan wawancara yang saya lakukan dengan salah seorang suku Minangkabau mengatakan:

“Sebenarnya antara suku Nias dan suku Minangkabau di Padang ini masih memiliki masalah internal. Masalah internal ini terkait dengan ketidaksenangan dan kecurigaan suku Minangkabau dengan suku Nias. Namun hal ini tidak muncul di publik. Hal ini muncul sejak tahun 1960an. Suku Minangkabau was-was kalau suku Nias menyebarkan agama Kristennya di ranah Minang ini. Padahal dahulunya suku Minangkabau dan suku Nias tidak memiliki masalah. Saya masih ingat kalau dulu orang-orang Nias banyak yang tinggal di rumah gadang kami dan berhubungan baik dengan keluarga saya.

Bahkan mereka sudah dianggap sebagai saudara.”71

Kecurigaan tentang penyebaran agama Kristen ini muncul akibat pada tahun 1950an terjadi gerakan kristenisasi dimana para pemuda diajak dan dibujuk untuk memeluk agama Kristen. Sebenarnya hal ini dilakukan sendiri oleh pemuda Minangkabau yang sudah menjadi Kristen ketika merantau ke

Singapura.72 Hal ini memicu kecurigaan suku Minangkabau terhadap suku

Nias karena jumlah penduduk yang mayoritas beragama Kristen berasal dari

71 NN, Padang, 25 Mei 2018 .

72K. Ilahi dan Rabain, J., 2018. DARI ISLAM KE KRISTEN Konversi Agama pada

(39)

suku Nias. Padahal suku Nias tidak pernah melakukan penyebaran kristenisasi di Padang.

Selain masalah kecurigaan akan adanya penyebaran kekristenan, hal yang menjadi tantangan dalam perjumpaan Nias Padang Kristen dengan muslim Minangkabau adalah luka di masa lampau. Salah seorang tokoh adat Nias Padang mengatakan :

“Di masa lampau seringkali terjadi perang antara suku Nias dan suku Minangkabau. Suku Nias yang juga memiliki ilmu hitam tidak jarang berperang. Hal ini sebenarnya terjadi akibat adu domba dari bangsa Belanda. Peperangan ini menimbulkan kecurigaan dan kebencian di

antara satu sama lain.”73

Tantangan lainnya juga akibat munculnya sebuah rumor yang mengatakan bahwa penduduk asli kota Padang adalah suku Nias. Hal ini

dianggap penghinaan bagi suku Minangkabau.74 Padahal menurut Anotona

Gulo sebagai sejarawan sekaligus orang Nias Padang mengatakan:

“Tidaklah tepat mengklaim bahwa orang Nias adalah penduduk asli kota Padang. Kemungkinan munculnya rumor ini akibat dahulunya kota Padang adalah hutan belantara yang kemudian dibuka oleh orang-orang Nias yang dipekerjakan. Hal yang masuk akal adalah orang-orang Nias

memang yang membuka kota Padang tetapi bukan penduduk aslinya.”75

Dengan banyaknya rumor dan kesalahpahaman yang terjadi di antara orang Nias Padang dan Minangkabau membuat kehidupan kekristenan mereka banyak mengalami tantangan. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat orang Nias Padang Kristen dalam memelihara iman kekristenan mereka di tengah-tengah mayoritas muslim.

73 Tawanto Lawolo, 19 Mei 2018.

74 W.Fitri,2013. MINANG-NON ISLAM. EDITOR Muhammad Rais, p.31.

(40)

3.6. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas tampak bahwa banyak usaha yang dilakukan

oleh orang-orang Nias Padang Kristen dalam menjalani kehidupannya sebagai pendatang di kota Padang. Perjumpaan dengan Muslim-Minangkabau menghasilkan hal-hal baru yang tidak ditemui dalam tradisi Nias asli. Mereka tidak takut untuk menembus tembok batasan dari tradisi asal mereka demi diterima dan dapat bertahan hidup. Namun dalam keseharian hidup mereka masihlah mereka menggunakan identitas Nias Padang Kristen sebagai penanda keberadaan mereka sebagai saudara di mata orang Muslim-Minangkabau.

(41)

Gambar

Tabel  1.  Jumlah  Penduduk  Kota  Padang  dari  tahun  1990-2000  Berdasarkan Komposisi Etnis
Gambar 2. Ayam bulek   4.  Tata Krama Pelaksanaan Adat

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karenaperusahaan adalah pekerjaan tetap, sedangkan tidak setiap pekerjaan tetapadalah perusahaan dalam arti mengejar keuntungan pribadi,

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kualitas layanan dan citra merek terhadap kepuasan nasabah dan dampaknya terhadap loyalitas nasabah pada Nasabah

Pada tahun 2005 terjadi pemecahan dan penggabungan menjadi 3 (tiga) Kantor

Mohon agar hadlr 30 menit sebelum jadwal presentasi masing-masing peserta... Jika Personil Tenaga Ahli lnti dan Manajemen Tidak had irlTerlam bat,

Pengetahuan tentang berbagai gejala (fisik maupun sosial) yang berlangsung di muka bumi yang direpresentasikan sebagai gejala keruangan (spatial phenomena) suatu obyek tertentu

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Estimasi Pangsa

Pengertian APBN dan APBD, Fungsi, Tujuan, Manfaat, Sumber, Kebijakan Pemerintah di Bidang Fiskal, Jenis Pendapatan dan Pengeluaran Negara, Anggaran, Ekonomi - Dalam usaha

(1) Anggota Komisaris/Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan BUMN dilarang untuk memberikan atau menawarkan, atau menerima baik langsung ataupun tidak langsung