• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Model Penilaian Pendidikan Karakter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implementasi Model Penilaian Pendidikan Karakter"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 1978-1520 ◼ 1

Implementasi Model Penilaian Pendidikan Karakter

Najamuddin Petta Solong 1Dosen Pascasarjana IAIN Sultan Amai Gorontalo,

email: 1[email protected] Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis implementasi model penilaian pendidikan karakter di SMA Negeri 5 Gorontalo Utara. Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dokumentasi, data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian implementasi model penilaian pendidikan karakter didasarkan pada indikator kelas dan sekolah seperti religius, jujur, tanggungjawab, kerjasama, hormat pada orang lain, ingin selalu berbuat baik diawali dengan penentuan ketuntasan belajar setiap indikator. Akan tetapi dalam penilaian hasil yang mengacu pada indikator sekolah kurang dilakukan oleh guru sehingga terjadi ketimpangan penilaian melalui proses pembelajaran dengan kegiatan di sekolah. Hasil yang diperoleh pada penilaian proses pembelajaran diperoleh nilai baik namun pada fakta di lapangan pada aktivitas keseharian peserta didik menunjukkan hasil yang kurang baik misalnya pada perilaku jujur, disiplin dan tanggungjawab.

Kata Kunci: Model Penilaian, Pendidikan Karakter Pendahuluan

Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Pendidikan merupakan alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat, dan membuat generasi mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka. Jadi jika stabilitas suatu bangsa terguncang atau kemajuannya terhambat, maka yang pertama-tama ditinjau ulang ialah sistem pendidikan terutama dengan perbaikan regulasinya.1 Pemerintah telah menetapkan implementasi pendidikan karakter sejak tahun 2011, yang terus diintensifkan dengan terbitnya Perpres No. 87 Tahun 2017, tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Sejalan dengan pelaksanaan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran di sekolah, diperlukan bahan yang memberi wawasan kepada pendidik dan sekolah dalam melakukan penilaian karakter.2

Pendidikan karakter merupakan aspek penting bagi peserta didik sehingga tidak cukup ditajamkan intelektual belaka tetapi juga dibekali dengan spiritual dan moralnya sehingga diperlukan kemampuan guru untuk mengambil keputusan dari hasil penilaiannya. Hal ini penting agar pendidikan karakter dapat diberikan seiring dengan perkembangan intelektual peserta didik, yang dalam hal ini harus dimulai sejak dini khususnya di lembaga pendidikan.3

Guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama, dan utama sehingga

1Nurlina, dkk,”Prosiding Konferensi Nasional Ke- 7 Prodi Pendidikan Agama Islam, Program

Pascasarjana”, (Universitas Muhammadiyah Parepare Kota Parepare, Indonesia), (25 Maret 2019), h.1-2 .

2Tim Pusat Penilaian Pendidikan, Model Penilaian Pendidikan Karakter, (Jakarta: Pusat

Penilaian Pendidikan, 2019), h. ii.

3Mansur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidemensional, (Cet 2,

(2)

menentukan keberhasilan pendidikan.7 Guru untuk mencapai tujuan tidak hanya menyajikan materi, media, menyusun RPP, namun juga kemampuan menerapkan model penilaian khususnya di bidang pendidikan karakter.

Realita kompetensi pendidik saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim dalam Sudrajat mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukan kinerja (work performance) yang memadai.4 Apalagi prilaku peserta didik pada saat ini memang sangat merisaukan, terutama bagi guru sebagai penanggungjawab pendidikan di sekolah. Peserta didik sudah tidak malu lagi melakukan tindakan pelanggaran moral seperti bolos, tidak menghormati orang tua maupun guru. Indikator inilah merupakan tamparan berat bagi guru. Tentu saja di samping dibutuhkan penanganan yang serius juga dilakukan penilaian yang tepat sehingga diperoleh akar masalahnya.

Pembelajaran dimaknai tidak saja transfer ilmu namun melatih perasaan peserta didik dengan strategi tertentu dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatannya terhadap segala pengetahuan, dipengaruhi oleh nilai spiritual yang perlu dilakukan dengan menerapkan model penilaian yang tepat.5 Mengingat salah satu tugas guru dalam pembelajaran adalah melakukan penilaian terhadap setiap aktivitas maupun kegiatan peserta didik mulai dari kegiatan awal, inti, dan penutup. Pendidikan karakter pun penting dinilai sebab aspek afektif adalah bagian dari tujuan yang ditekankan dalam integrasi nilai karakter dalam pembelajaran sehingga diketahui capaian dari kegiatan guru dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran Islam, melalui kegiatan bimbingan, pembelajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman6.

Integrasi nilai karakter dalam semua mata pelajaran khususnya dalam rangka pembentukan kepribadian sesuai tujuan dan tuntunan serta falsafah bangsa dan agama. Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah mempunyai dasar yang cukup kuat untuk memberikan penguatan melalui penilaian sebagai salah satu komponen pembelajaran yang tidak kalah pentingnya untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan karakter. Penilaian mencakup penilaian hasil melainkan juga penilaian proses pembelajarannya.

Semua guru ingin membina peserta didik agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat dan yang terpuji melalui pendidikan. Setiap pengalaman yang dilalui peserta didik baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun perilaku yang diterimanya, ikut menentukan karakternya.7 Itulah sebabnya kinerja guru dalam penerapan pendidikan karakter dengan mengembangkan sikap beragama peserta didik untuk berbuat lebih baik dalam hal pengamalan ajaran agama, memiliki sikap positif dalam mengaktualisasikan dirinya. Di samping itu dengan sikap beragama peserta didik, akan membantu dirinya lebih memahami keberadaannya yang memiliki potensi jasmani dan rohani.

Paradigma lama, penilaian pembelajaran lebih ditekankan pada hasil (produk) dan cenderung hanya menilai kemampuan aspek kognitif, yang kadang-kadang

4Sudarwan Damin, Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru, (Yogyakarta: Alfabeta, 2015), h.

10.

5Mahmud Arief, Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah, (Yogyakarta: Idea

Press, 2012), h. 3.

6Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja

Rosdakarya offset. 2012), h. 11.

7Munirah, Munirah, and Nilda Ladiku. "Pengembangan Sikap Keberagamaan Peserta

(3)

direduksi sedemikian rupa melalui bentuk tes obyektif. Sementara, penilaian dalam aspek afektif dan psikomotorik kerapkali diabaikan. Padahal, pada setiap proses pembelajaran berlangsung, penting bagi guru maupun peserta didik untuk mengukur tujuan pembelajaran.

Penilaian dilakukan melalui berbagai teknik/cara, seperti penilaian proses maupun hasil belajar berupa unjuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian projek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil kerja/karya peserta didik (portofolio), dan penilaian diri.8 Implementasi penilaian bersifat kompleks sebab terdapat banyak hal yang diukur dan dinilai. Aspek kognitif (intelektual), kognitif serta psikomotorik peserta didik. Penilaian proses maupun hasil belajar dijadikan sebagai indikator keberhasilan guru. Sebab capaian pada penilaian proses yakni dalam pembelajaran terkadang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh peserta didik pada perilaku di luar pembelajaran (di luar kelas) karena tidak adanya pengawasan guru.

Hasil pengamatan awal di lokasi penelitian menggambarkan bahwa guru cenderung kurang menerapkan model penilaian pendidikan karakter. Hasil penilaian cenderung tidak sesuai dengan kenyataan sehingga bertolak belakang dengan asumsi bahwa hasil baik biasanya dicapai dengan proses di kelas yang baik pula. Proses pembelajaran dalam kegiatan di kelas maupun kegiatan di sekolah cenderung terabaikan. Guru banyak memusatkan perhatian pada penilaian hasil terutama aspek kognitif dan psikomotorik. Pembelajaran di kelas dan kurang menekankan pada penilaian proses khususnya pada aspek afektif dari kegiatan sekolah. Indikasinya, guru sering memberikan ulangan harian, pemberian tugas tanpa batas, peserta didik belajar hanya terutama ketika ulangan dan mementingkan ketuntasan belajar.

Model Penilaian Pendidikan Karakter

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 tahun 2013, Pasal 1, Ayat 24, menyebutkan, Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah.9

Penilaian adalah suatu proses dalam mengumpulkan informasi dan membuat keputusan berdasarkan informasi tersebut. Dalam proses pengumpulan informasi, tentunya tidak semua informasi bisa digunakan untuk membuat sebuah keputusan. Informasi-informasi yang relevan dengan apa yang dinilai akan mempermudah dalam melakukan sebuah penilaian dalam kegiatan pembelajaran.10.

Adapun standar penilaian pendidikan adalah patokan dari suatu rangkaian dalam suatu kegiatan tertentu yang direncanakan secara sistematis, terorganisir, dalam jangka waktu tertentu guna mencapai tujuan tertentu. Kegiatan dalam penilaian ditekankan

8Dadan Rosana, “Penilaian Proses dan Hasil Belajar” dalam Makalah Pelatihan PEKERTI

STIKES AISYIYAH Tahun 2014 Gelombang 2 Pusat Pengembangan Kurikulum Instruksional dan Sumber Belajar LPPMP UNY, h. 3.

9PP. Nomor 32 tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun

2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 1, ayat 24.

10M. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung, Remaja

(4)

pada aspek proses mengumpulkan informasi yang akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan.

Penilaian autentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah dicapai. Pengumpulan data yang memberikan gambaran perkembangan belajar peserta didik perlu diketahui oleh guru untuk memastikan bahwa peserta didik mengalami proses pembelajaran dengan benar.

Adapun tujuan penilaian karakter yang utama bukan memberi nilai terhadap karakter peserta didik, tetapi untuk memperoleh informasi mengenai perkembangan karakter peserta didik sehingga penguatan karakter peserta didik dapat dilakukan dengan tepat.11

Apabila data dikumpulkan guru mengindikasikan bahwa peserta didik mengalami kemacetan dalam belajar, guru dapat mengambil tindakan yang tepat. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan sepanjang proses pembelajaran, asesmen tidak hanya dilakukan di akhir periode (semester) pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti EBTA/Ebtanas/UAN), tetapi dilakukan bersama dan secara terintegrasi dari kegiatan pembelajaran.

Penilaian merupakan rangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi bermakna dalam pengambilan keputusan.12

Jadi penilaian dilihat dari dua bagian dari wilayah penilaian yaitu penilaian terhadap proses dan penilaian terhadap hasil belajar. Penilaian proses adalah upaya memberi nilai terhadap penerapan nilai karakter dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didik sehingga terukur pelaksanannya dalam mencapai tujuan pendidikan karakter.

Implementasi penilaian karakter, guru mata pelajaran melakukan pengamatan terhadap perilaku peserta didik, baik di dalam kelas (proses pembelajaran) maupun di luar kelas (kegiatan di sekolah). Pengamatan ini dimaksudkan untuk menilai perilaku peserta didik yang mencerminkan karakternya.

Penilaian terhadap pencapaian nilai karakter baik melalui penilaian indikator sekolah maupun penilaian indikator kelas yang dikenal dengan penilaian proses atau penilaian dalam konteks pembelajaran diperlukan teknik penilaian, yakni dalam teknik penilaian sesuai model penilaian pendidikan karakter.13

Contoh perilaku yang bisa diamati dan indikator untuk lima karakter utama yang dinilai dan rubrik penilaian yang menggambarkan tahapan capaian atau perkembangan peserta didik untuk karakter yang dinilai. Misalnya untuk mandiri, perilaku yang diamati pada peserta didik SD berbeda dengan SMP/SMA. Rubrik penilaian

11Tim Pusat Penilaian Pendidikan, Model Penilaian Pendidikan Karakter, (Jakarta: Pusat

Penilaian Pendidikan, 2019), h. 2.

12Pedoman Penilaian Pendidikan Karakter di SMP Negeri 4 Lembang dalam

https://yudikustiana.wordpress.com/2012/05/06/pedoman-penilaian-pendidikan-karakter-di-smp-negeri-4-lembang/Diakses: 20 Mei 2020.

13Pedoman Penilaian Pendidikan Karakter di Smp Negeri 4 Lembang dalam

https://yudikustiana.wordpress.com/2012/05/06/pedoman-penilaian-pendidikan-karakter-di-smp-negeri-4-lembang/Diakses: 20 Mei 2020.

(5)

menggambarkan empat tahapan, yaitu: 1) Memerlukan Bimbingan -MB, 2) Mulai Berkembang-MBK, 3) Berkembang-B, dan 4) Membudaya-M). Tahapan yang menjadi tujuan adalah Membudaya, menunjukkan kematangan untuk suatu karakter. Peserta didik yang belum mencapai tahap Membudaya, diberikan perhatian dan perlakuan untuk pembinaan agar mencapai tahapan tersebut.14

Penilaian proses merupakan upaya penilaian karakter sesuai dengan budaya bangsa tentu tidak semata-mata dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan luar sekolah, akan tetapi melalui pembiasaan (habituasi) dalam kehidupan, seperti: Integritas diwakili oleh Kejujuran dan Disiplin; Religius diwakili oleh Beribadah dan Ajaran agama; Nasionalis diwakili oleh Toleransi, Semangat Kebangsaan, dan Peduli Lingkungan; Mandiri diwakili oleh Rasa Ingin Tahu, Bekerja Keras dan Tanggung Jawab; dan Gotong Royong diwakili oleh Kerjasama, Komunikasi, dan Ketulusan.

Pembiasaan dalam pembelajaran itu bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang hal-hal yang benar dan salah, akan tetapi juga mampu merasakan terhadap nilai yang baik dan tidak baik, serta bersedia melakukannya dari lingkup terkecil seperti keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat.

Integritas diwakili oleh kejujuran dan disiplin; religius diwakili oleh beribadah dan ajaran agama; nasionalis diwakili oleh toleransi, semangat kebangsaan, dan peduli lingkungan; mandiri diwakili oleh rasa ingin tahu, bekerja keras dan tanggung jawab; dan gotong royong diwakili oleh kerjasama, komunikasi, dan ketulusan. Pada tiap aspek terdapat contoh perilaku yang diamati. Aspek atau nilai yang mencerminkan lima karakter sehingga sekolah/guru dapat menambahkan nilai lain yang sesuai. Sekolah dapat mengembangkan karakter lain yang lebih sesuai dengan visi dan misi sekolah sehingga karakter yang dibina lebih khas. Perilaku yang diamati, masih dimungkinkan untuk disesuaikan.15Nilai-nilai tersebut perlu ditumbuhkan dalam proses pembelajaran

yang pada akhirnya akan menjadi cerminan hidupnya. Sekolah memiliki peranan yang besar dalam pengembangan pendidikan karakter karena peran sekolah sebagai pusat pembudayaan melalui pendekatan pengembangan budaya sekolah (school culture).

Sedangkan penilaian hasil belajar menjadi salah satu kegiatan terpenting dalam pendidikan. Sebab, melalui kegiatan penilaian akan diketahui seberapa jauh kemampuan peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dari awal hingga akhir. Penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar, mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik/perbaikan proses, dan penentuan kenaikan kelas. Melalui penilaian diperoleh informasi akurat tentang pembelajaran dan keberhasilan proses dan hasil belajar.

Menurut Mulyana, dengan diketahuinya hasil belajar, akan memberikan pengaruh dalam dua bentuk. Pertama, peserta didik mempunyai pesrspektif terhadap kekuatan dan kelemahannya dalam pembelajaran. Kedua, peserta didik mengetahui perkembangan kompetensi apakah meningkat dengan baik, setahap atau dua tahap.16

Penilaian memegang peranan penting dalam memberikan alternatif solusi memecahkan salah satu problem pembelajaran. Penilaian ibarat sebuah alat stetoskop bagi seorang dokter. Penilaian merupakan cara awal guru memonitor sekaligus

14Tim Pusat Penilaian Pendidikan, Model Penilaian Pendidikan Karakter, h. 3. 15Tim Pusat Penilaian Pendidikan, Model Penilaian Pendidikan Karakter, h. 3.

16E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK (Bandung: Remaja

(6)

mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan. Terdapat beberapa macam penilaian untuk mengukur perkembangan pembelajaran, misalnya, penilaian kognisi diperoleh guru melalui tes berupa Ujian tengah semester (UTS), Ujian Akhir Semester (UAS), kuis maupun bentuk pemberian soal-soal yang dijawab secara tertulis maupun nontertulis. Penilaian afektif, diperoleh melalui serangkaian sikap peserta didik, baik saat aktivitas dalam pembelajaran di kelas maupun di luar kelas.

Hasil belajar seringkali digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui penguasaan bahan ajar. Pengaktualisasian hasil belajar diperlukan serangkaian pengukuran menggunakan alat evaluasi. Pengukuran ini dimungkinkan karena merupakan kegiatan ilmiah yang dapat diterapkan pada berbagai bidang termasuk pendidikan.17 Tes hasil belajar merupakan butir tes yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar yang dibuat mengacu pada kompetensi dasar, dijabarkan ke dalam indikator pencapaian hasil belajar dan disusun berdasarkan kisi-kisi penulisan butir soal lengkap dengan kunci jawabannya. Tes hasil belajar adalah tes yang digunaan untuk mengukur kemampuan peserta didik18.

Guru maupun pendidik lainnya perlu mengadakan penilaian terhadap hasil belajar peserta didik karena dalam dunia pendidikan, khususnya dunia persekolahan penilaian hasil belajar mempunyai prinsip yang penting, baik bagi peserta didik, guru maupun sekolah.19 Pendidik atau wali kelas hendaknya mempunyai catatan tiap peserta didik sebagai rekaman perkembangan peserta didik. Catatan tersebut berupa informasi perilaku yang tampak/menonjol dari peserta didik, baik yang positif maupun yang negatif. Informasi tersebut berasal dari hasil observasi guru, laporan pendidik lain, pegawai sekolah atau peserta didik lain. Pendidik mengkaji dan melihat perkembangan perilaku peserta didik sehingga usaha untuk membina atau mengarahkan peserta didik sesuai dengan kondisi masing-masing. Peserta didik yang menonjol pada suatu aspek diarahkan atau diberi kepercayaan untuk suatu tugas atau mengikuti suatu kegiatan yang sesuai. Peserta didik yang belum menunjukkan perilaku yang diharapkan diberi pembinaan yang sesuai.20

Jadi penilaian proses dan hasil belajar menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Penilaian proses untuk menilai pembelajaran pada aspek afektif meliputi lima nilai karakter utama sedangkan penialain hasil belajar lebih ditekankan kepada penilaian aspek kognitif dan psikomotorik sesuai dengan jenis tes masing-masing aspek tersebut. Penilaian hasil belajar pada aspek kognitif dikembangkan dari komptensi dasar dan indikator yang ditetapkan guru sebagaimana diatur dalam Kurikulum 2013.

Metode Penelitian

Pendekatan fenomenologi dalam penelitian ini menjadikan peneliti dan obyek yang diteliti saling berinteraksi yang memungkinkan hasil penelitian lebih deskripsi dan interpretasi yang bersifat tentatif dalam konteks waktu/situasi tertentu. Jenis penelitian kualitatif digunakan karena lebih menonjolkan pada upaya pengolahan data dalam bentuk kata-kata yang bersifat prediktif, interpretatif, dan faktual. Penelitian kualitatif ini digunakan oleh peneliti karena data yang telah terkumpul baik melalui observasi,

17Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2014), h.34. 18Trianto, Model Pembelajaran Terpadu (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 2011), h.50. 19Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 6-8. 20Tim Pusat Penilaian Pendidikan, Model Penilaian Pendidikan Karakter, h. 11.

(7)

wawancara dan dokumen-dokumen kemudian digambarkan dalam bentuk kata-kata dengan terlebih dahulu menganalisis secara tajam terhadap data yang telah dikumpulkan.

Data primer dalam penelitian ini yaitu data dari informan terkait masalah yang diteliti melalui wawancara maupun dari tindakan terkait fokus penelitian melalui observasi. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan kepala sekolah, guru mata pelajaran, peserta didik, dan orang tua. Data sekunder diperoleh melalui telaah referensi dan dokumen maupun data profil sekolah, program pendidikan karakter, perangkat pembelajaran, kurikulum, jadwal kegiatan, dan nilai hasil belajar peserta didik.

Setelah data terkumpul dengan menggunakan teknik pengumpulan data baik observasi, wawancara, dan dokumentasi selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan teknik induktif yang menempuh langkahlangkah: reduksi data (data

reduction), penyajian data (data display), dan verifikasi data (conclusion drawing/verification).

Implementasi Model Penilaian Pendidikan Karakter di SMA Negeri 5 Gorontalo Utara

Sebelum dibahas hasil penelitian, terlebih dahulu dijelaskan kembali bahwa karakter merupakan bagian dari ranah afektif. Menurut Andersen ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan-diri. Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan, reaksi psikologi, atau keduanya. Metode laporan-diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri. Namun, hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik afektif diri sendiri.21

Pendidikan karakter terdapat penilaian proses dan hasil belajar di SMA Negeri 5 Gorontalo Utara. Penilaian pencapaian pendidikan nilai karakter peserta didik dalam proses pembelajaran didasarkan pada indikator yang ditetapkan oleh guru terkait dengan nilai karakter seperti religius, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab.

Indikator untuk nilai jujur misalnya di suatu semester dirumuskan oleh guru dengan “mengatakan dengan sesungguhnya perasaan dirinya mengenai apa yang dilihat, diamati, dipelajari, atau dirasakan” maka guru mata pelajaran mengamati melalui berbagai cara apakah yang dikatakan seorang peserta didik itu jujur mewakili perasaan dirinya.

Pengamatan penulis di saat proses pembelajaran berlangsung terlihat peserta didik menyatakan perasaannya itu secara lisan tetapi ada juga melakukannya secara tertulis atau bahkan dengan bahasa tubuh. Perasaan yang dinyatakan itu tampaknya memiliki tingkat peralihan dari perasaan yang tidak berbeda dengan perasaan umum teman sekelasnya bahkan kepada yang bertentangan dengan perasaan umum teman sekelasnya tentang nilai kejujuran.

Guru tampak mempunyai catatan tiap peserta didik sebagai rekaman perkembangan peserta didik berupa informasi perilaku yang tampak/menonjol dari peserta didik, baik positif maupun yang negatif. Informasi tersebut berasal dari hasil

21Lorin. W. Andersen, Assessing Affective Characteristic In The Schools, (Boston: Allyn and

(8)

observasi guru, laporan pendidik lain, pegawai sekolah atau peserta didik lain. Implementasi nilai karakter dalam proses pembelajaran dilakukan penilaian objektif sehingga penilaian proses maupun hasil diarahkan untuk mengukur pencapaian indikator sekolah dan kelas dengan menggunakan kriteria berdasarkan pencapaian keberhasilan indikator sekolah dan kelas.

Penilaian proses ditekankan pada penerapan nilai karakter dalam pembelajaran sedangkan penilaian hasil lebih diarahkan kepada menilai keberhasilan nilai karakter dalam kegiatan di luar kelas atau di sekolah seperti nilai kejujuran dan mandiri yang dinilai dalam proses pembelajaran dengan aktivitas peserta didik berdoa sedangkan penilaian hasil dilihat pada saat peserta didik melaksanakan kegiatan sekolah seperti sholat zuhur berjamaah dan membaca al-Qur’an sebelum masuk ke dalam kelas.

Penilaian proses dan hasil dalam pendidikan karakter di SMA Negeri 5 Gorontalo Utara dilakukan secara individual, kelompok (kelas) dan berkelanjutan. Hasil penilaian ditindaklanjuti misalnya dengan memberikan perbaikan pada proses maupun hasil belajar yang diperoleh peserta didik selama belajar di kelas dan di luar kelas atau sekolah. Implementasi model penilaian pendidikan karakter selama ini disesuaikan dengan indikator sekolah dan kelas.

Sejalan dengan hal tersebut karakter peserta didik dinilai dari ucapan, ekspresi, dan tindakan yang dilakukan peserta didik ketika proses pembelajaran di kelas dan kegiatan lain di sekolah. Pendidik perlu langsung memberikan respon terhadap perilaku menonjol peserta didik: koreksi untuk perilaku peserta didik yang tidak pantas perlu disampaikan kepada peserta didik secara individual; penghargaan atau pujian perlu diberikan untuk perilaku yang baik atau prestasi yang dicapai peserta didik. Akan tetapi setelah dinilai belum diberikan respon oleh guru sebagaimana diharapkan.

Sementara itu implementasi model penilaian pendidikan karakter dalam proses pembelajaran di kelas dan luar kelas terlihat bahwa masih banyak tidak sholat berjamaah, kurang mengikuti kegiatan membaca al-Qur’an, kurang terbiasa menerapkan perilaku kejujuran khususnya di kantin karena guru kurang memberikan penilaian terhadap kegiatan di sekolah karena lebih fokus pada penilaian dalam proses pembelajaran. Implementasi model penilaian pendidikan karakter pada kegiatan sekolah kurang dilakukan padahal kenyataan yang ditemukan masih terdapat peserta didik kurang patuh terhadap semua tata tertib sekolah misalnya datang dan pulang tidak tepat waktu, kurang tertib melaksanakan upacara, menciptakan daya saing yang tidak sehat dalam setiap perlombaan keagamaan sekolah.

Setiap hari terdapat peserta didik datang terlambat dan pulang cepat namun hanya selesai dengan dinasehati atau paling berat diberikan hukuman dengan membersihkan kamar mandi dan lari keliling lapangan oleh guru piket dan tidak diberikan penilaian yang mengukur aspek afektif dalam pendidikan karakter untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan.

Masih terjadi peserta didik tidak menciptakan pemilihan OSIS yang terbuka dengan cara memilih teman dekatnya walaupun tidak kompeten dalam memimpin dan melakukan loby antar senior. Akibatnya terlihat peserta didik yang yunior merasa minder dalam pemilihan dan tersisihkan. Peserta didik jarang terlihat mengunjungi ke perpustakaan kecuali diperintahkan oleh guru terkait dengan tugas atau pekerjaan rumah. Misalnya dalam seminggu tidak pernah mengunjungi perpustakaan jika tidak ada tugas dari guru. Bahkan jika ada tugas lebih banyak dicari melalui internet. Penilaian pendidikan karakter hanya terfokus pada penilaian proses disoroti juga oleh

(9)

orang tua bahwa peserta didik kurang menunjukkan kepedulian sosial dalam masyarakat sekitar sekolah misalnya berada di sekitar sekolah pada jam pelajaran serta merokok sehingga menjadi contoh kurang baik dan mengganggu lingkungan sekitar.

Peserta didik belum menciptakan lingkungan kebersihan kelas terutama pada jam istrahat karena selain makan minum di dalam kelas, mereka juga membuang sisa makanan atau pembungkusnya di sekitar kelas sehingga kondisi kelas menjadi kotor dan guru ketika mengetahui hal ini hanya diberikan teguran tanpa dicatat sebagai bagian dari penilaian karakter peserta didik. Peserta didik sering membuang sampah sembarangan namun sudah ditegur oleh guru pada saat jam istrahat berlangsung sehingga kalau tidak ada guru biasanya teman-temannya masih mengulangi perbuatan tersebut karena dianggap tidak diberikan penilaian atau mempengaruhi penilaian pada pendidikan karakter di sekolah.

Implementasi penilaian secara holistik baik terhadap proses maupun hasil yang diperoleh dari kegiatan di kelas maupun di luar kelas. Hal ini penting mengingat durasi waktu dan tingkat pelanggaran peserta didik terhadap karakter justru banyak terjadi di dalam kelas dan di sekolah namun tidak tersentuh oleh penilaian guru misalnya peserta didik belum mampu merciptakan lingkungan kebersihan kelas. Selain penilaian karakter terhadap kegiatan peserta didik di sekolah maka guru juga melakukan penilaian terhadap kegiatan peserta didik di kelas.

Sebelum pembelajaran guru meminta peserta didik berdoa sebelum dan sesudah setiap mata pelajaran dan aktivitas ini langsung diberikan penilaian oleh guru sebagai penerapan nilai religius sehingga seluruh peserta didik diberikan nilai 4 karena berdoa secara berjamaah, padahal dalam kegiatan sekolah ditemukan fakta adanya peserta didik yang tidak melaksanakan sholat lima waktu, tidak membaca al-Qur’an namun karena tidak dinilai oleh guru sehingga hasil belajar pada aspek afektif menjadi tidak utuh hasil penilaian pada implementasi pendidikan karakter. Hal ini diperkuat bahwa memang mengalami kesulitan dalam menerapkan penilaian karakter disebabkan pedoman yang ada lebih banyak mengatur tentang penilaian pada proses pembelajaran dan kurang memberikan format penilaian pada kegiatan sekolah. Pembiasaan karakter yang dilakukan di sekolah lebih banyak berakhir di pemberian nasihat, bimbingan dan hukuman jika diperlukan.

Selain itu tampak terjadi pelanggaran pada saat di luar kelas karena tidak diberikan penilaian oleh guru sedangkan di kelas selalu bersikap baik karena selalu setiap selesai proses pembelajaran peserta didik diberikan nilai oleh guru melalui format yang telah disiapkan oleh guru setiap mata pelajaran. Penerapan nilai kejujuran dalam proses pembelajaran juga dilakukan penilaian oleh guru saat memberikan tugas latihan kepada peserta didik dan karena merasa diawasi oleh guru maka perilaku jujur yakni tidak menyontek kepada temannya disebabkan oleh karena adanya guru yang mengawasi apalagi merasa diberikan penilaian oleh guru pada saat proses tersebut berlangsung.

Peserta didik mengakui tidak mungkin menyontek saat guru berada di depan kelas sebab selain diberikan hukuman juga menjadi bahan penilaian terhadap perilakunya. Kegiatan yang memberikan nilai kepada peserta didik biasanya perilaku baik ditunjukkannya namun terkadang setelah di luar kelas kembali perilakunya menjadi tidak baik seperti ketika berada di kantin dengan mengambil makanan atau minuman tidak sesuai dengan bayarannya. Hasil penilaian guru terhadap penerapan nilai disiplin

(10)

selama proses pembelajaran ditemukan data bahwa peserta didik telah tertib selama pembelajaran di dalam kelas, artinya tidak ribut karena merasa diawasi dan penilaian dilakukan saat guru berada di kelas. Penilaian kedisiplinan tampak bukan dinilai setelah guru meninggalkan kelas. Sebab pengamatan peneliti setelah guru meninggalkan kelas maka suasana kelas menjadi ribut dan tidak terkontrol.

Penjelasan yang diperoleh dari peserta didik sejalan dengan pengamatan di atas bahwa memang selama di kelas tidak ada peserta didik yang ribut dan belajar namun setelah guru keluar kelas maka suasana tidak tertib kembali terjadi bahkan ada yang keluar masuk kelas dan mengganggu temannya. Hal ini disebabkan oleh nilai disiplin yang diterapkan peserta didik lebih karena ketakutan kepada guru bukan atas dasar kesadaran. Lain halnya dengan penerapan nilai mandiri terlihat pada saat peserta didik mengerjakan soal secara mandiri. Guru memberikan tugas berupa latihan atau praktek di laboratorium dengan menuntut kemandirian dari peserta didik dalam kegiatan belajar individu. Sedangkan nilai yang diharapkan dari kegiatan belajar kelompok adalah diterapkannya nilai kerja keras. Hal ini terlihat dari perilaku peserta didik yang berusaha sebaik mungkin dalam diskusi kelompok.

Selama kegiatan kelompok selalu berjuang dengan sekuat tenaga untuk memperoleh hasil lebih baik dari teman di kelompok lain apalagi hal ini dianggap memiliki nilai tersendiri dari guru. Nilai kerja keras didorong oleh guru dalam kegiatan kelompok sedangkan nilai mandiri didorong oleh guru melalui kegiatan belajar individu. Kegiatan belajar individu memang selain dinilai tugasnya juga dinilai kemandirian dan kerja keras melalui kegiatan belajar kelompok. Penerapan nilai mandiri dan kerja keras tidak dinilai kecuali dalam kegiatan pembelajaran di kelas sehingga terkadang berbeda hasilnya dengan kegiatan di luar kelas misalnya dalam melaksanakan tugas upacara bendera karena tidak dinilai maka peserta didik kurang menerapkannya dengan baik.

Selain kerja keras, nilai yang ditekankan dalam kegiatan belajar kelompok seperti diskusi adalah nilai bersahabat dan komunikatif. Kondisi kelas masih tegang karena nilai ini cenderung kurang diterapkan dengan baik oleh peserta didik karena ingin menang dalam berdiskusi. Hanya saja aspek nilai ini setelah dicocokkan dengan data tidak ditemukan adanya penilaian terhadap nilai komunikatif dalam proses pembelajaran khususnya diskusi. Penilaian tidak dilakukan secara terus menerus, padahal sebaiknya penilaian dilakukan setiap saat ketika guru berada di kelas atau di sekolah. Guru tampaknya kurang menggunakan model anecdotal record yakni catatan guru ketika melihat perilaku terkait nilai yang dikembangkan). Selain itu, guru tidak memberikan tugas yang berisikan kejadian yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan nilai yang dimilikinya.

Peserta didik mengakui belum pernah dimintakan oleh guru menyatakan sikapnya terhadap upaya menolong pemalas, memberikan bantuan terhadap orang kikir, atau hal lain yang bersifat bukan kontroversial sampai kepada hal yang mengundang konflik pada dirinya. Padahal kegiatan penilaian bukan sekedar dalam proses pembelajaran namun juga dilakukan dalam kegiatan di sekolah.

Dari hasil pengamatan, catatan anekdotal, tugas, laporan, dan sebagainya tidak ditemukan data semacam itu ketika peneliti memintanya kepada seluruh guru, guru dalam memberikan kesimpulan atau pertimbangan tentang pencapaian suatu indikator atau bahkan suatu nilai kemudian menjadi bias karena penilaiannya hanya fokus pada penerapan nilai karakter pada saat proses pembelajaran di kelas. Penerapan penilaian

(11)

proses telah dilakukan pada setiap mata pelajaran dengan memuat nilai karakter pada setiap silabus dan RPP, bahkan pada kegaiatan pengembangan diri sekolah serta pada kegiatan sekolah. Bentuk penilaian ini menjadi tekanan dalam penilaian hasil belajar pada aspek afektif baik spritual maupun afektif sosial sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini.

Data dokumen mengindikasikan adanya penilaian yang lebih memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menerapkan nilai dengan situasi pengawasan guru sehingga kurang memberikan hasil yang objektif apalagi setelah dibandingkan dengan pengamatan diperoleh data yang berbeda. Pada nilai religus didapatkan hasil 4 karena peserta didik seluruhnya berdoa secara bersama-sama sedangkan pada nilai religius pada kegiatan di sekolah ditemukan masih banyak peserta didik yang tidak sholat berjamaah dan tidak mengikuti pengajian di dalam masjid. Penilaian pencapaian pendidikan nilai karakter didasarkan pada indikator. Selain itu, penilaian dilakukan melalui penilaian kelompok (per kelas) untuk indikator sekolah dan penilaian individual yang dilakukan dalam mata pelajaran oleh guru bersangkutan.

Penilaian proses ditekankan di kelas melalui proses belajar setiap mata pelajaran atau kegiatan yang dirancang sedemikian rupa. Dalam setiap kegiatan belajar dan pembelajaran guru dituntut untuk mampu mengembangkan penilaian pendidikan karakter melalui ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Tidak selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai karakter. Silabus dan RPP yang dikembangkan memuat nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran, penilaian melalui pengamatan secara langsung oleh guru selama proses pembelajaran. Penilaian dalam pembelajaran disesuaikan dengan nilai karakter dengan kriteria penilaian sesuai RPP. Penilaian ini mencakup penilaian kelompok belajar dan penilaian secara individu peserta didik.

Penilaian dalam proses pembelajaran dalam pendidikan karakter dengan indikator meliputi aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik. Sebagaimana Lewin dalam Andersen, perilaku seseorang merupakan fungsi dari watak yang terdiri atas kognitif, afektif, dan psikomotor, dan karakteristik lingkungan saat perilaku atau perbuatan ditampilkan. Jadi, tindakan atau perbuatan seseeorang ditentukan watak dirinya dan kondisi lingkungan.22Implementasi model penilaian proses dan hasil dalam pendidikan karakter perlu ditelusuri terlebih dahulu ketuntasan belajar setiap indikator yang dikembangkan sebagai suatu pencapaian hasil belajar dari suatu kompetensi dasar berkisar antara 0-100%. Sedangkan kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator adalah 80%. SMA Negeri 5 Gorontalo Utara menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebagai Target Pencapaian Kompetensi (TPK) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran.

Guru tampak menyusun KKM dalam pertemuan antar guru mata pelajaran (MGMP) yang diadakan satu bulan sebelum semester ganjil dimulai. Pertemuan tersebut dilakukan dengan memilih sekolah yang berbeda untuk setiap pertemuan secara bergantian. KKM ditentukan tidak sama antara satu sekolah dengan sekolah lainnya, begitu juga untuk kelas yang satu dengan kelas lainnya pada setiap mata pelajaran. Bentuk perbuatan terlihat pada mimik ketika berbicara, dalam gerakan ketika

(12)

melakukan sesuatu, dan dalam tindakan ketika berkomunikasi atau bekerjasama dengan teman, pendidik, pegawai administrasi dan orang lain di sekolah.

Penilaian pada ranah afektif, seperti pada ranah lainnya memerlukan data yang bisa berupa kuantitaitf atau kualitatif. Data kuantatif diperoleh melalui pengukuran atau pengamatan dan hasilnya berbentuk angka. Data kualitiatif pada umumnya diperoleh melalui pengamatan. Menilai karakter melalui instrumen nontes, yaitu instrumen yang hasilnya tidak ada yang salah atau benar. Selanjutnya dijelaskan data kualitatif diperoleh dengan menggunakan instrumen dalam bentuk pedoman pengamatan. Instumen untuk pendidikan karakter yang telah dibuat di sini adalah instrumen sikap, instrument minat, instrument nilai, dan instrumen moral.

Aktivitas yang dinilai dalam pembelajaran berbasis pendidikan karakter meliputi aktivitas peserta didik ketika belajar sehingga menimbulkan perilaku seperti berdoa sebelum belajar, memberi salam, bersyukur atas nikmat Allah, dan pengendalian diri. Penilaian juga dilakukan di tingkat sekolah melalui berbagai kegiatan sekolah dalam pengembangan nilai karakter. Contoh kegiatan yang dimasukkan ke dalam program sekolah adalah lomba kebersihan dan keindahan antarkelas tentang peduli lingkungan kelas, disiplin dalam upacara bendera, lomba pidato bertema budaya dan karakter bangsa, pagelaran bertema budaya dan karakter bangsa, lomba olah raga antarkelas, lomba kesenian antarkelas, pameran hasil karya, lomba membuat tulisan, lomba ceramah keagamaan. Penilaian ini dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap kelompok (kelas).

Implementasi model penilaian spiritual terkait perilaku peserta didik baik ketika belajar maupun di luar kelas menjadi satu penilaian penting karena penilaian ini diperoleh hasil belajar dalam aspek afektif karena peserta didik tidak dinilai hanya dari aspek kognitif. Implementasi model penilaian pendidikan karakter terhadap perilaku jujur terlihat dari peserta didik menyampaikan sesuatu dengan benar kepada guru, peserta didik disiplin belajar, peserta didik bertangungjawab atas tugas yang diberikan, toleransi dengan peserta didik ketika bergaul, dan sopan santun kepada orang lain.

Implementasi model penilaian proses dan hasil dalam pendidikan karakter, peserta didik dinilai dari aspek terkait dengan perilaku afektif sosial dengan indikator yang digunakan terdiri atas perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, toleransi, dan sopan santun yang ditunjukkan peserta didik dalam kelas maupun di luar kelas ketika berkativitas. Guru selain melakukan penilaian proses dan hasil dalam pendidikan karakter berupa tes juga menilai perilaku peserta didik yang ditunjukkan ketika belajar di kelas maupun ketika berada di luar kelas semisal perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, toleransi, dan sopan santun dan perbuatan baik lainnya sangat ditekankan oleh guru untuk dilakukan oleh seluruh peserta didik.

Jadi guru menilai pendidikan karakter peserta didik pada mata pelajaran PAI terkait dengan sikap karena selama ini kurang menjadi perhatian dalam penilaian sebagaimana pada aspek kognitif padahal aspek afektif baik spiritual maupun sosial menjadi ciri dari pendidikan agama Islam yang menekankan pada pembentukan akhlak dan budi pekerti pada aspek kerjasama, mengkomunikasikan pendapat, toleransi, keaktifan dan menghargai pendapat teman. Guru tidak saja menilai perilaku yang ditunjukkan melalui aktivitas belajar namun juga dilakukan penilaian terkait dengan proses pembelajaran di kelas.

Selama ini belum digunakan instrumen nilai dan keyakinan untuk mengungkap nilai dan keyakinan individu. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang

(13)

positif dan yang negatif. Hal-hal yang positif diperkuat sedang yang negatif diperlemah dan akhirnya dihilangkan. Guru belum melakukan penilaian diri terhadap peserta didik dikarenakan pengamatan karakteristik afektif peserta didik dilakukan di tempat terjadinya kegiatan serta di lingkungan sekolah. Menilai ranah afektif peserta didik, guru telah menyiapkan diri mencatat setiap tindakan peserta didik yang berkaitan dengan indikator. Namun kesulitannya menentukan indikator substansi yang diukur. Seperti indikator jujur, tanggungjawab, kerjasama, hormat pada orang lain, ingin selalu berbuat baik.

Berdasarkan uraian di atas maka pencapaian keberhasilan penerapan atau pengembangan karakter peserta didik yang diterapkan di sekolah perlunya satu penilaian yang berkaitan dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang diterapkan di sekolah. Sekolah telah menyusun pedoman penilaian pendidikan karakter diperoleh kejelasan bagi seluruh guru mata pelajaran dalam penerapan penilaian proses di kelas maupun penilaian hasil di luar kelas.

Simpulan

Implementasi model penilaian pendidikan karakter mengacu kepada Model

Penilaian Pendidikan Karakter yang dikeluarkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan

Kemendiknas tahun 2019 yang difokuskan pada dua aspek penilaian proses dan hasil dalam pendidikan karakter yang disesuaikan dengan indikator kelas dan sekolah seperti jujur, disiplin, mandiri, bertanggungjawab, peduli diawali dengan penentuan ketuntasan belajar setiap indikator. Akan tetapi dalam penilaian hasil yang mengacu pada indikator sekolah kurang dilakukan oleh guru sehingga masih ditemukan adanya ketimpangan penilaian karakter melalui proses pembelajaran dengan kegiatan di sekolah yang disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan perhatian guru terhadap penilaian yang disebutkan terakhir ini.

Daftar Pustaka

Andersen, Lorin. W., Assessing Affective Characteristic In The Schools, Boston: Allyn and Bacon, 1981.

Arief, Mahmud, Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Yogyakarta: Idea Press, 2012.

Damin, Sudarwan, Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru, Yogyakarta: Alfabeta, 2015.

Majid, Abdul, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya offset. 2012

Mulyasa, E., Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Munirah, Munirah, and Nilda Ladiku. "Pengembangan Sikap Keberagamaan Peserta Didik." Jurnal Ilmiah AL-Jauhari: Jurnal Studi Islam dan Interdisipliner 4.2 (2019)

Muslich, Mansur, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidemensional, Cet 2, Jakarta: Bumi Askara, 2011.

(14)

Nurlina, dkk,”Prosiding Konferensi Nasional Ke- 7 Prodi Pendidikan Agama Islam, Program Pascasarjana”, (Universitas Muhammadiyah Parepare Kota Parepare, Indonesia), 25 Maret 2019.

Pedoman Penilaian Pendidikan Karakter di SMP Negeri 4 Lembang dalam https://yudikustiana.wordpress.com/2012/05/06/pedoman-penilaian-pendidikan-karakter-di-smp-negeri-4-lembang/Diakses: 20 Mei 2020.

PP. Nomor 32 tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

Purwanto, M. Ngalim, Evaluasi Hasil Belajar, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2014.

---, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010

Rosana, Dadan, “Penilaian Proses dan Hasil Belajar” dalam Makalah Pelatihan PEKERTI STIKES AISYIYAH Tahun 2014 Gelombang 2 Pusat Pengembangan Kurikulum Instruksional dan Sumber Belajar LPPMP UNY.

Suharsimi, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Tim Pusat Penilaian Pendidikan, Model Penilaian Pendidikan Karakter, Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan, 2019.

Referensi

Dokumen terkait

5.1.1 Implementasi pendidikan karakter anak usia dini pada Kelompok Bermain Pelangi Bangsa Pemalang dalam menerapkan pendidikan karakter menggunakan kegiatan

Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui pandangan guru di SMA Negeri 7 Surakarta terhadap pendidikan karakter; 2) untuk mengetahui penerapan pendidikan karakter di

Dari hasil observasi dan wawancara di lapangan yang dilakukan oleh peneliti dapat disimpulkan bahwa Penguatan Pendidikan Karakter yang dilakukan oleh SMA Negeri 2 Sungai

Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui pandangan guru di SMA Negeri 7 Surakarta terhadap pendidikan karakter; 2) untuk mengetahui penerapan pendidikan karakter di

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Implementasi Pendidikan Karakter pada Proses Pembelajaran PKn Kelas X SMA ( Studi Kasus Di SMA Muhammadiyah 4 Kartasura

Pelaksaanaan pendidikan karakter diantaranya berupa Tujuan Pendidikan Karakter sudah sesuai dengan misi maupun tujuan TK Negeri Pembina Kabupaten Pemalang yaitu

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMA NEGERI 1 PULAU TIGA-NATUNA Raja Marzuni1*, Romelah2 Universitas Muhammadiyah Malang, Indonesia12

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Sukadana, Kabupaten Kayong Utara diperoleh informasi bahwa nilai pendidikan karakter yang terdapat pada syair