• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 5.1. Pohon industri karet (Deptan, 2007)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 5.1. Pohon industri karet (Deptan, 2007)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

71 5 ANALISIS SITUASIONAL AGROINDUSTRI KARET ALAM

5.1 Industri karet alam Indonesia

Industri karet dan barang karet dikelompokkan menjadi tiga kelompok industri; (1) industri hulu (bokar dan kayu karet), (2) industri antara (RSS, karet remah, lateks pekat dan crepe) dan (3) industi hilir (ban dan produk terkait, barang jadi karet untuk industri, militer, alas kaki, penggunaan umum, alat kesehatan dan laboratorium) (Depperin, 2009). Di sini terlihat bahwa meski kayu karet masuk dalam kategori industri hulu, namun pada pengembangan selanjutnya luput dari perhatian, baik sebagai produk antara maupun produk akhir.

Salah satu poin rumusan hasil Konferensi Agribisnis Karet Menunjang Industri Lateks dan Kayu 2003 di Medan adalah: “Sistem dan usaha agribisnis

karet saat ini dan ke depan hendaknya tidak hanya ditujukan untuk menghasilkan lateks dan barang setengah jadi lainnya, tapi juga pemanfaatan kayu karet.”

Pemanfaatan karet untuk industri disajikan pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1. Pohon industri karet (Deptan, 2007)

Pada tahun 2009, produksi karet Indonesia turun menjadi 2,44 juta ton, sementara Thailand justru naik menjadi 3,09 juta ton. Akibat rendahnya

(2)

72

produktivitas ini, produksi karet alam yang cuma 2,4 juta ton ini hanya cukup utuk memasok 63% dari total kapasitas pabrik karet remah nasional yang mencapai 3,8 juta ton/tahun (Gapkindo, 2010). Hal ini memunculkan wacana agar izin pendirian pabrik karet remah dihentikan. Di Kalimantan Selatan misalnya, dari 13 pabrik karet yang mampu mengolah 185.000 ton karet per tahun hanya menerima pasokan 100.000 – 110.000 ton per tahun (54% – 60%) pada tahun 2007. Sementara 15 pabrik karet di Kalimantan Barat yang tergabung dalam Gapkindo terancam gulung tikar karena kekurangan bahan baku. Dari kebutuhan bokar 400.000 ton /tahun hanya bisa terpenuhi 180.000 ton/tahun atau hanya 45%.

Laporan tahunan PTPN XIII (2008) yang memiliki dua unit pabrik karet remah dengan kapasitas 60 ton karet kering/hari (18.000 ton/tahun) dalam lima tahun terakhir terus mengalami penurunan pasokan bahan baku sehingga produksi juga menurun seperti disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Realisasi produksi pengolahan karet remah PTPN XIII

No Tahun Realisasi (ton/hari) Persentase (%) Perubahan (+/-) 1 2003 41,87 70,0 -- 2 2004 45,98 76,6 +6,6% 3 2005 46,60 77,7 +1,1% 4 2006 44,52 74,2 -3,5% 5 2007 36,67 61,2 -13,0% 6 2008 32,52 53,7 -7,5% Rata-rata 41,40 68,9

Sumber: Laporan tahunan PTPN XIII (2008).

Untuk meningkatkan produktivitas karet nasional, pemerintah sejak tahun 2005 telah menggulirkan program revitalisasi perkebunan dengan target 50.000 hektar perluasan dan 250.000 hektar peremajaan. Salah satu kendala revitalisasi ini adalah karena pihak bank selaku peminjam modal tidak berani mengucurkan dananya kepada petani karena tidak ada perusahaan penjamin (avalist). Peraturan Menteri Keuangan No. 117/ PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) mensyaratkan adanya perusahaan avalis (penjamin) dalam penyaluran kredit perbankan. Hal ini juga tercantum dalam Permentan Nomor: 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan

(3)

73 Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan. Avalis adalah perusahaan mitra yang ditetapkan oleh Dirjen Perkebunan yang memberikan jaminan pengembangan perkebunan.

Program revitalisasi dan peremajaan karet rakyat tidak berjalan dengan baik. Evaluasi kegiatan sampai dengan akhir tahun 2009 menyimpulkan rencana pengembangan perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan tahun 2007 s/d 2010 dengan plafon dana yang tersedia sebesar Rp 38,48 trilyun melalui penyediaan dana kredit dari 16 Bank Pelaksana, sampai dengan akhir tahun 2009, hanya mampu membiayai pengembangan perkebunan seluas 1,2 juta ha yang terdiri dari kelapa sawit 781.944 ha, karet 264.162 ha dan kakao 169.871 ha dari target semula 2,0 juta ha. Realisasi penyaluran kredit hanya mencapai Rp. 455,37 milyar (12%).

Hasil penelitian BPTK (2004) di Kabupaten Barito Utara menunjukkan bahwa petani hanya menerima harga 44,9% - 56,9% atau rata-rata 50,2% terhadap harga FOB SIR 20 di Banjarmasin. Informasi perkembangan harga FOB SIR 20 Banjarmasin yang menjadi patokan harga pembelian bokar di tingkat petani tidak sampai kepada para petani. Harga di tingkat pedagang mencapai 79,6% dengan marjin keuntungan sebesar 19,1% dan marjin keuntungan pabrik pengolah sebesar 10,5%. Kondisi ini menunjukkan posisi tawar pedagang relatif kuat jika dibandingkan dengan para petani. Penelitian Peramune and Budiman (2007) menunjukkan bahwa para petani karet secara nasional hanya memperoleh 30% - 50% dari harga FOB.

Kondisi ini tetap bertahan meski terjadi kenaikan harga FOB SIR 20 bulan Desember 2007 yang telah mencapai 2,5 USD/kg (1 USD = Rp. 9.419), harga slab di Banjarmasin masih Rp. 12.400/kg atau hanya 52,7% dari harga FOB. Ketika harga FOB SIR 20 mencapai 2,97 USD/kg (1 USD = Rp. 9.308) di awal Januari 2010, harga jual slab di tingkat petani di Barito Utara berkisar antara Rp. 8.000 – Rp. 10.000/kg atau rata-rata 36 % dari harga FOB. Nilai ini masih di bawah target 75 – 80% dari harga FOB. Pada bulan Januari 2011, harga SIR 20 telah mencapai 5,3 USD (sekitar Rp. 48.000), sementara harga di tingkat petani hanya Rp. 18.000 atau sekitar 40% dari harga FOB.

(4)

74

Tataniaga bokar di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan berbeda dengan Sumatera Selatan yang memiliki tempat lelang bokar di Kabupaten Muara Enim, Prabumulih dan Sekayu. Salah satunya adalah pasar lelang KUD Berkat Desa Lubuk Raman di Muara Enim. Pasar lelang ini merupakan hasil Proyek Pengembangan Karet Rakyat (PPKR) yang dicanangkan pemerintah pusat. Tujuan utama diselenggarakannya pasar lelang ini adalah untuk meningkatkan harga di tingkat petani. Selain itu, pasar lelang ini bertujuan untuk memutus rantai tataniaga bokar. Sebelum adanya pasar lelang, rantai perdagangan sangat panjang. Bokar dari petani ke pengumpul desa, kemudian ke pengumpul kecamatan, dan akhirnya ke pengumpul kabupaten sebelum masuk pabrik. Adanya pasar lelang ini bisa memutus tali rantai dari petani langsung ke pabrik. Lelang diadakan dua kali sebulan yaitu tanggal 2 dan tanggal 16. Jumlah bokar yang masuk mencapai 700 hingga 1000 ton per bulan dengan nilai lelang mencapai Rp. 2,8 milyar per bulan. Pembeli bokar yang datang ke lokasi pelelangan merupakan perwakilan dari pabrik. Namun tak semua pabrik bisa masuk pasar lelang ini, hanya pabrik yang berbadan hukum dan tercatat sebagai Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) saja yang bisa mengikutinya. Umumnya pembeli datang dari Palembang dan Jambi.

Ekspor produk karet Indonesia masih didominasi oleh produk antara (hampir 95%), dimana 93% adalah dalam bentuk SIR (Standard Indonesian

Rubber) atau yang dikenal sebagai karet remah (crumb rubber) terutama SIR 20.

Serapan konsumsi dalam negeri baru 15% (414 ribu ton), sangat kecil dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 61,4% (Natural Rubber Statistics, 2011). Industri ban merupakan industri yang dominan dalam menyerap pasokan karet dalam negeri dengan konsumsi sekitar 60%. Industri lain adalah sarung tangan, alas kaki, selang belt transmision yang merupakan industri berskala menengah dan kecil. Kemampuan modal dan pemasaran menjadi kendala dalam pengembangan industri menengah dan kecil tersebut. Produksi sarung tangan misalnya, dari 100 milyar pcs/tahun, Indonesia hanya memproduksi 10%, sementara Malaysia dan Thailand memproduksi 60% dan 30% (Depperin, 2009). Perkembangan ekspor karet alam Indonesia disajikan pada Tabel 5.2.

(5)

75 Tabel 5.2. Export karet alam Indonesia menurut tipe dan mutu (dalam ton)

TIPE DAN MUTU 2004 2005 2006 2007 2008

Lateks pekat 11.755 4.014 8.334 7.610 8.547 RSS 145.895 334.125 325.393 275.497 137.756 RSS 1 68.237 62.802 RSS 2 551 85 RSS 3 540 608 RSS 4 532 276 RSS 5 114 0 Lainnya 205.522 73.985 SIR 1.684.959 1.674.721 1.952.268 2.121.863 2.148.447 SIR 3L 8.352 9.722 SIR 3CV 116.145 64.880 50.726 4.287 9.894 10 32.248 3.381 -- 33.792 40.921 20 1.524.435 1.605.956 1.897.205 2.063.306 2.077.274 SIR lainnya 12.131 504 4.337 12.126 10.636 Lainnya 31.652 10.921 3 1.786 706 GRAND TOTAL 1.874.261 2.023.781 2.285.997 2.406.756 2.295.456 Nilai (USD) 2.180.030.642 2.582.546.554 4.320.704.955 4.868.746.275 6.056.572.688 Sumber: Gapkindo (2010)

Di Indonesia tidak dijumpai lembaga pemerintah yang khusus menangani kebijakan dan aktivitas pengembangan karet seperti Rubber Development Board di India, GERUCO di Vietnam, Office of the Rubber Replanting Aid Fund di Thailand, dan Rubber Development Department di Srilanka. (Peramune and Budiman, 2007). Di Malaysia ada Malaysian Ruber Board bahkan belakangan pemerintah mendirikan Rubber Industry (Replanting) Board dan RISDA (Rubber

Smallholders Development Authority) (Zaidon et al., 2007; Kamaruzzaman and

Yahy, 2008). Indonesia baru mendeklarasikan Dewan Karet Indonesia pada tanggal 2 Juni 2010 meski telah menjadi anggota IRCo (International Rubber

Consortium Ltd) bersama-sama dengan Thailand dan Malasysia sejak 8 Agustus

2002 di Bali. Sebelumnya, Indonesia merupakan anggota INRO (International

Natural Rubber Organization) yang telah bubar sejak 13 Oktober 1999 dan

ANRPC (Association of Natural Rubber Producing Countries) sejak tahun 1970 yang beranggotakan China, India, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, Singapora, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam.

Karet di Kalimantan Tengah merupakan komoditas unggulan utama di sektor usaha perkebunan, bahkan menempati peringkat teratas untuk komoditas, produk dan jasa unggulan lintas sektor (Bank Indonesia, 2008a). Lahan kebun

(6)

76

karet di Kabupaten Barito Utara tersebar di enam kecamatan seluas 53.333 ha dengan produksi mencapai 41.564 ton slab per tahun dan memenuhi syarat sebagai bahan olah karet (bokar) untuk SIR 20 dengan produktivitas berkisar antara 652,4 – 707,3 kg/ha/tahun menurut penelitian BPTK (2004).

5.2 Potensi kayu karet sebagai bahan baku industri

Malaysia sudah mengekspor kayu karet sejak tahun 1970-an, sementara Indonesia baru memulai pada tahun 2010. Malaysia telah mengembangkan sembilan pabrik industri MDF (medium density fibre) sejak tahun 1987 dan hampir semua pabrik menggunakan kayu karet sebagai bahan baku utama dengan perkiraan volume ekspor mencapai 1.583.000 m3 pada tahun 2010. Di antara faktor pendukung yang menjadi keunggulan program ini adalah: 1) pasokan bahan baku yang stabil, 2) lokasi perkebunan yang strategis (dekat dengan pabrik), 3) dukungan finansial yang kuat, 4) inovasi teknologi produksi, 5) production

rejection kurang dari 2,5%, 6) ketersediaan SDM terampil yang dibarengi

remunerasi yang layak, dan 7) ketersediaan stok suku cadang kritis (Othman and Samad, 2009). Sementara industri furnitur berkembang pesat 20% per tahun dalam satu dekade terakhir dimana hampir terdapat 35.000 pabrik pengolahan furnitur pada tahun 2007, 85% dalam bentuk UKM dengan 87.000 tenaga kerja (Ratnasingam dan Wagner, 2009).

Industri kayu dan hasil hutan justru berkembang pesat di negara-negara kompetitor seperti China yang tidak mempunyai bahan baku kayu sendiri. Ekspor mebel Indonesia tercatat 1,79 miliar USD atau tumbuh rata-rata 0,88 miliar USD per tahun dalam 8 tahun terakhir. Pada periode yang sama, ekspor meubel dari China tumbuh rata-rata 1,1 miliar dollar AS. China yang melarang penebangan kayu di negerinya mengekspor mebel senilai 14 miliar USD tahun 2005 (Tambunan, 2006b), bahkan saat ini China telah menjadi negara ekportir furnitur terbesar di dunia (25% dari produksi dunia), sekaligus pemasok lebih dari 40% mebel impor resmi ke Indonesia (Currey et al., 2007; CSIL, 2009; 2010). Pada tahun 2006 posisi ekspor produk furnitur Indonesia di dunia berada pada peringkat delapan di bawah Cina, Kanada, Meksiko, Itali, Vietnam, Malaysia, dan Taiwan (Fauzi et al, 2007).

(7)

77 Kebutuhan bahan baku kayu industri mebel dan kerajinan adalah sekitar 7 – 7,5 juta m3 per tahun. Potensi pasokan kayu karet per tahun selama 2007 – 2025 adalah 6 juta m3 dengan alokasi masing-masing kayu gergajian 45%, kayu lapis 45% dan partikel 10% (Manurung et al., 2007; Depperin, 2009). Kebutuhan kayu di dalam negeri dewasa ini mencapai 58 juta m3 per tahun, sedangkan total produksi kayu hanya 52 juta m3 per tahun, berarti terjadi kekurangan pasokan sekitar 6 juta m3 per tahun (Boerhendhy et al., 2003; Deptan, 2007) dan kebutuhan kayu untuk untuk industri pengolahan kayu hilir mencapai 1.7 juta m3 per tahun (Depperin, 2009).

Potensi kayu karet untuk diolah sebagai bahan baku industri cukup besar. Luas tanaman karet sekitar 3.4 juta hektar. Jika setiap tahunnya dapat diremajakan 3 % saja dari perkebunan besar dan 2% dari perkebunan rakyat, maka akan diperoleh sekitar 2.7 juta m3/tahun. (Boerhendhy et al., 2003). Pemanfaatan kayu karet perlu didukung dengan industri pengolahan. Kontinuitas penyediaan bahan baku bagi industri pengolahan antara lain dapat ditempuh melalui pengembangan pola kemitraan antara petani dan industri pengolahan kayu karet. Pola kemitraan juga dapat menjamin harga jual kayu di tingkat petani sehingga mendukung upaya peremajaan karet rakyat. Klon-klon anjuran seperti IRR 112, dan IRR 118 direkomendasikan untuk dikembangkan dalam skala luas sebagai penghasil lateks dan kayu (Boerhendhy dan Agustina, 2006).

Kayu karet tergolong kayu kelas kuat II, setara dengan kayu hutan alam seperti kayu ramin, perupuk, akasia, mahoni, pinus, meranti, durian, ketapang, keruing, sungkai, gerunggang, dan nyatoh (Sulastiningsih et al., 2000). Kelas keawetan kayu karet tergolong kelas awet V atau setara dengan kayu ramin, namun tingkat kerentanan kayu karet terhadap serangga penggerek dan jamur biru (blue stain) lebih besar dibandingkan dengan kayu ramin. Oleh karena itu untuk pemanfaatannya diperlukan pengawetan yang lebih intensif dari kayu ramin, terutama setelah digergaji (Boerhendhy et al., 2003).

Sifat dasar lainnya yang menonjol dari kayu karet, kayunya mudah digergaji dan permukaan gergajinya cukup halus, serta mudah dibubut dengan menghasilkan permukaan yang rata dan halus. Kayu karet juga mudah dipaku, dan mempunyai karakteristik pelekatan yang baik dengan semua jenis perekat.

(8)

78

Sifat yang khas dari kayu karet adalah warnanya yang putih kekuningan ketika baru dipotong, dan akan menjadi kuning pucat seperti warna jerami setelah dikeringkan. Selain warna yang menarik dan tekstur yang mirip dengan kayu ramin dan perupuk yaitu halus dan rata, kayu karet sangat mudah diwarnai sehingga disukai dalam pembuatan mebel (Boerhendhy et al., 2003). Mutu fibre

board asal kayu karet setara dengan kayu lapis yang berasal dari hutan alam

(Basuki dan Azwar, 1996).

Di China, kayu karet sering disebut “kayu gading”. Warnanya yang seragam, butiran kayunya yang indah, densitas sedang (sekitar 0,6 gram/cm3), tekstur homogen, sifat mekanis pengolahan yang baik, ukuran stabilitas yang baik, ketahanan abrasi permukaan yang baik menjadikan kayu karet menjadi bahan baku berkualitas tinggi untuk furnitur, veneer untuk dekorasi, panel dan flooring. Sementara kayu karet yang berukuran kecil digunakan untuk bahan particleboard,

plywood dan MDF (Kamaruzzaman and Yahy, 2008; Yisheng et al., 2008).

Ditinjau dari sifat fisis, mekanis, dan sifat dasar lainnya seperti warna dan tekstur kayu karet, ketersediaan bahan baku kayu karet pada perkebunan karet, dan berkembangnya teknologi pengolahan dan pengawetan kayu karet akhir-akhir ini, sangat memungkinkan kayu karet dapat dimanfaatkan sebagai substitusi kayu alam, khususnya untuk memenuhi kebutuhan industri perkayuan.

5.3 Permasalahan Pemanfaatan Kayu Karet

Menurut Boerhendhy dan Agustina (2006) pemanfaatan kayu karet belum berjalan optimal karena beberapa kendala, diantaranya:

1. Sebagian besar lokasi kebun karet rakyat terletak di wilayah yang tidak mempunyai akses jalan. Untuk mengeluarkan kayu dari kebun diperlukan biaya cukup besar sehingga penjualan kayu karet menjadi tidak ekonomis. 2. Rendemen yang rendah disebabkan diameter kayu karet yang kecil karena

bahan tanam yang digunakan sebagian masih berasal dari seedling dan rusaknya bidang sadap akibat penyadapan yang salah, sehingga pada bagian ini menimbulkan bercak yang tidak dapat dimanfaatkan untuk kayu olahan. 3. Suplai kayu karet terbatas pada musim-musim tertentu yaitu pada saat musim

pembukaan lahan. Pada saat itu persediaan kayu karet cukup banyak sehingga tidak dapat ditampung oleh pabrik karena kapasitas pabrik yang

(9)

79 terbatas, sedangkan kayu karet setelah ditebang tidak dapat disimpan lama. Sebaliknya, di luar musim peremajaan ketersediaan kayu karet terbatas sehingga kapasitas terpasang pabrik menjadi tidak terpenuhi.

4. Tidak semua sentra karet di tingkat kabupaten memiliki industri pengolahan kayu karet, akibatnya jarak antara lokasi kebun dengan pabrik relatif jauh sehingga kayu karet menjadi tidak ekonomis.

Untuk meningkatkan pemanfaatan kayu karet perlu dilakukan berbagai upaya sebagai berikut (Daslin dan Anas, 2003; Boerhendy dan Agustina, 2006): 1. Meningkatkan rendemen kayu karet dengan menerapkan sistem penyadapan

yang tidak melukai kayu, serta menggunakan bahan tanaman unggul yang memiliki pertumbuhan cepat, batang lurus, dan produktivitas tinggi.

2. Klon penghasil lateks dan kayu yang dapat dikembangkan adalah seperti yang disajikan pada Tabel 5.3. Klon-klon tersebut memiliki potensi hasil karet kering yang cukup tinggi yaitu 1.609−2.195 kg/ha/tahun. Kayu karet memiliki rasio penyusutan tangensial terhadap radial yang rendah sehingga mempunyai kestabilan dimensi kayu yang baik.

Tabel 5.3. Karakteristik klon penghasil lateks – kayu anjuran 2006 – 2010

Klon Produksi (kg/ha) Pertumbuhan TBM TM BPM 1 PB 330 PB 340 RRIC 100 AVROS 2037 IRR 5 IRR 32 IRR 39 IRR 42 IRR 112 IRR 118 1.945 1.774 2.180 1.997 1.993 1.609 1.644 1.640 1.989 2.195 2.011 Cepat Sangat Cepat Sangat Cepat Sangat Cepat Sangat Cepat Sangat Cepat Cepat Sangat Cepat Sangat Cepat Cepat Sangat Cepat Sangat Cepat Cepat Sedang Cepat Cepat Cepat Cepat Sangat Cepat Cepat Cepat Cepat Sumber: Balai Penelitian Sembawa (2006)

3. Dalam penanaman ulang, petani dianjurkan menanam karet dalam satu hamparan dan dilengkapi dengan akses jalan yang dapat dilewati oleh truk untuk memudahkan pengangkutan kayu pada saat peremajaan.

4. Pembangunan industri pengolahan kayu karet perlu diawali dengan identifikasi potensi kayu karet di sekitarnya, sehingga kapasitas terpasang

(10)

80

pabrik dapat terpenuhi dari bahan baku yang tersedia di sekitar pabrik. Pola kemitraan antara industri pengolahan dan petani juga dapat menjamin ketersediaan kayu karet melalui pengaturan waktu peremajaan.

5. Diperlukan dukungan pemerintah dalam pemanfaatan kayu karet misalnya melalui kemudahan perizinan untuk pendirian pabrik pengolahan kayu karet.

Gambar

Tabel 5.3. Karakteristik klon penghasil lateks – kayu anjuran 2006 – 2010  Klon  Produksi  (kg/ha)  Pertumbuhan TBM  TM  BPM 1  PB 330  PB 340  RRIC 100  AVROS 2037  IRR 5  IRR 32  IRR 39  IRR 42  IRR 112  IRR 118  1.945 1.774 2.180 1.997 1.993 1.609 1.644

Referensi

Dokumen terkait

Memperhatikan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta menindaklanjuti proses pengadaan untuk Paket Pekerjaan Pekerjaan Konsultan

• Kabupaten Batang Hari; • Kabupaten Bungo; • Kabupaten Tebo; • Kabupaten Merangin; • Kabupaten Sarolangun; • Kabupaten Kerinci; • Kota Sungai Penuh. Kawasan peternakan dengan

Kertas karya ini berjudul “EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PEMBELIAN BARANG SERTA PENYIMPANANNYA PADA LOBBY LOUNGE HOTEL EMERALD GARDEN MEDAN ”.. Dalam penyusunan kertas

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh earning, Diskresioner Akrual, Non Diskresioner Akrual serta interaksi ketiga variabel tersebut dengan

Yang dimaksud bentuk tes betul salah dengan kunci jawaban adalah deretan jawaban yang kita persiapan untuk pertanyaan/ soal yang disusun, sedangkan kunci skoring

Hasil Analisis Western Blot Protein Isolat Virus AI dari Beberapa Daerah di Jawa Timur yang Direaksikan dengan Antibodi Spesifik AI dan Divisualisasi dengan

Hasil respon siswa terhadap Model Problem Based Learning pada mata pelajaran PKn dapat terlihat presentase respon siswa yang mencapai nilai 83,56 % yang berarti.. Page

[r]