• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Industri, Birokrasi, dan Konfrontasi di Perkebunan Sumatera Utara 1870-1979

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertumbuhan Industri, Birokrasi, dan Konfrontasi di Perkebunan Sumatera Utara 1870-1979"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Pertumbuhan Industri, Birokrasi, dan Konfrontasi

di Perkebunan Sumatera Utara 1870-1979

Muryanto Amin

BAHAN BACAAN

KEKUATAN POLITIK DI INDONESIA

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Pendahuluan

Selama seabad lebih, Sumatera Utara menjadi lokasi salah satu usaha

perkebunan-perkebunan asing yang paling intensif dan paling berhasil diantara berbagai negara-negara

maju manapun. Ekspansi kolonialisme oleh orang Eropa telah menghasilkan sebuah

konflik yang laten —dan seringkali berdarah— antara modal dengan buruh, khususnya

ketika buruh menolak kepentingan-kepentingan perkebunan. Kapitalisme dan Konfrontasi

di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979 adalah sejarah etnografis yang menakjubkan

karena menganalisis mengenai resistensi populer yang telah secara aktif menghasilkan

bentuk-bentuk kolonialisme maupun pengalaman-pengalaman sosial, ekonomi dan politik

komunitas buruh Jawa yang tinggal di perbatasan perkebunan-perkebunan Sumatera.1 Bermula pada saat tumbuhnya usaha perkebunan di Sumatera Timur (sekarang

Sumatera Utara) pada tahun 1860 dan keberhasilan para pengusaha perkebunan mencari

kuli kontrak yang berasal dari Jawa dengan biaya murah. Dalam waktu yang relatif singkat

pemodal asing seperti Eropa, Amerika, dan Inggris menginvestasikan modalnya pada

beberapa komoditi perkebunan, misalnya Horisson and Crosfield (1904), Good Year and

Rubber Company (1909), dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan jumlah tenaga kerja

yang besar, maka diciptakan agen-agen untuk mencari kuli ke Jawa dengan harga yang

murah, dan terbukti pada tahun 1905 telah merekrut 20.000 orang kuli. Untuk mengatur

perolehan kuli dari Jawa, maka pada tahun 1909 dibentuk AVROS (Algemeene Vereniging

Rubberplanters Dost kust Van Sumatra)2

Proses kuli kontrak pun berlangsung dalam waktu yang cepat untuk memenuhi

industri perkebunan itu. Dalam perkembangannya muncul pula konfrontasi dalam bentuk

kekerasan yang berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik karena

bersinggungan dengan penduduk lokal akibat eksploitasi kapitalisme di Sumatera Utara.

Dalam konteks inilah, Stoler melihat kasus Sumatera Utara melalui etnografi yang dapat diharapkan memecahkan persoalan

kebutuhan akan kuli-kuli kontrak yang didatangkan dari Jawa dan terus mengalami

dinamikanya sampai paska kemerdekaan.

1

Ann Laura Stoler. 1985. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979.

Terjemahan..Yogyakarta: Karsa. Stoler menggambarkan bahwa pada tahun 1950-an kekuatan di bawah sangat dinamis, dimana pada waktu itu buruh menuntut hak-haknya. Buruh punya afiliasi dengan PKI, mereka menuntut penataan ulang sumber daya dan meminta pola kemitraan. Pada tahun 1960-an ketika ada UUPA muncul debat tentang nasionalisasi perkebunan, isu perkebunan mulai bergeser ke isu nasionalisasi. Hal inilah yang memicu masuk dan bercokolnya para lasykar rakyat di perkebunan-perkebunan, kemudian diakomodir oleh Nasution dengan mengkaryakan mereka di perkebunan.

2

(3)

manusia/etnografi buruh, bukan etnografi Sumatra Timur (sekarang Sumatra Utara). Awal

mula kuli kontrak ini kemudian mendapatkan perlakuan pengawasan yang sangat ketat,

pada masa kolonial, yang kemudian menimbulkan konfrontasi (dengan alasan

perlindungan diri) di daerah perkebunan dan kemudian melahirkan gerakan buruh yang

radikal pada masa paska kemerdekaan. Evolusi radikal gerakan ini menimbulkan

pertanyaan penting yaitu bagaimana eksploitasi kapitalisme perkebunan di Sumatera Utara

itu melahirkan gerakan konfrontasi dan radikalisme buruh terhadap pengusaha perkebunan

dari masa pemerintah kolonial sampai paska kemerdekaan?

Kondisi Demografis Masa Kolonial di Sumatera Timur

Masyarakat Sumatera Timur dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu

masyarakat Melayu yang mendiami daerah pesisir pantai di Sumatera Timur dan

masyarakat Batak yang terdiri dari 2 kelompok yaitu Batak Karo dan Batak Simalungun.

Dua kelompok masyarakat Batak ini mendiami daerah pedalaman di Sumatera Timur.

Daerah yang didiami oleh penduduk Melayu terletak disepanjang pantai Timur terdiri dari

5 kerajaan (kesultanan) yaitu Langkal, Deli, Serdang, Asahan dan Kota Pinang. Kelima

kerajaan ini memperlihatkan adanya masyarakat feodal dengan Islam sebagai agama

perekat. Masyarakat Melayu di Sumatera Timur telah mengadakan kontak yang terbatas

dengan masyarakat Batak di pedalaman sekalipun terjadi dalam skala yang terbatas. Ikatan

kekerabatan di samping ikatan agama dan politik, mempertalikan elit-elit kerajaan di

Sumatera Timur dengan sesama elit-elit kerajaan Melayu di Semenanjung Melayu.

Sekalipun kontak di masyarakat yang memiliki suku bangsa yang berbeda ini

umumnya terbatas pada perdagangan tetapi adanya ikatan perkawinan dan agama

mengakibatkan terselenggaranya hubungan di antara kelompok-kelompok masyarakat ini

di Sumatera Timur. Di samping itu terdapat pula rasa identitas penduduk asli yang kuat di

kalangan orang-orang Melayu dan Batak di Sumatera Timur.

Perasaan ini semakin penting dan menguat saat masuknya orang-orang pendatang

seperti Jawa, Minangkabau, Cina dan Banjar yang mendatangi Sumatera Timur untuk

tujuan ekonomi yang sebagian berasal dari kuli-kuli kontak pada pertengahan abad 19 dan

permulaan abad 20. Masuknya kekuasaan kolonial Belanda dan munculnya

perkebunan-perkebunan besar serta Missionaris asing di Tapanuli dan Simalungun memiliki dampak

yang luas dan mendalam terhadap pola masyarakat tradisional. Kedatangan para penduduk

dari wilayah lain itu kemudian menimbulkan persoalan bagi penduduk lokal terutama

(4)

misalnya. Bagi pemerintah kolonial dan para pengusaha perkebunan besar yang telah

membuat kontrak sewa dengan sultan merasa berhak juga melakukan pengusiran dan

penggusuran bagi penduduk yang menggarap dan menghuni tanah-tanah yang ditunjuk

oleh sultan untuk disewakan. Sebagai gantinya pengusaha perkebunan menggunakan lahan

tersebut untuk kepentingan pemukiman kolonisasi kuli kontrak yang didatangkannya dari

Jawa sebagai tenaga kerja perkebunan.

Perkembangan Kapitalisme Sektor Perkebunan

Sejak berkembangnya Industri di Sumatera Timur dimulai pada perkebunan sawit

dan tembakau, namun kemudian berubah menjadi karet menyebabkan kebutuhan akan

tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Untuk mengatasi itu maka pemerintah kolonial

membuat program kuli kontrak yang banyak didatangkan dari Jawa, dan sebagian kecil

berasal dari etnis Cina dan India. Kuli-kuli kontrak itu diberangkatkan dengan

mempergunakan kapal dagang atau kapal militer yang singgah di Sumatera Timur dan

jumlahnya bertambah banyak setelah perkebunan karet berkembang pesat. Menurut Geerzt

proses perubahan ekologi di Indonesia memungkinkan komoditi yang beragam dan

perkebunan karet merupakan salah satu onderneming yang harus dikelola dengan tenaga

kerja yang banyak serta modal yang besar.3

Perkebunan besar (onderneming) di Sumatra Timur dirintis oleh Nienhuys yang

membawa tanaman tembakau dan menanamnya di lahan Sumatra Timur melalui kontrak

tanah dengan Sultan Deli pada tahun 1863 selama 75 tahun.

4

3

Clifford Geertz. 1978. Involusi Pertanian; Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: PT. Bharata. hal. 17.

Keberhasilan yang diperoleh

Nienhuys dengan keuntungan besar yang diperoleh telah menarik perhatian para pengusaha

perkebunan asing Eropa untuk berlomba-lomba melakukan investasi di sektor agrobisnis

Sumatra Timur. Prioritas komoditi yang mereka tanam adalah tembakau yang sangat

terkenal di pasaran tembakau Amsterdam, kemudian menyusul karet dan kelapa sawit.

Perkembangan yang didukung dan disertai dengan penegakan kekuasaan kolonial Belanda

di Sumatra Timur ini semakin dipicu oleh keluarnya Agrarische Wet tahun 1870 yang

mengatur tentang kepemilikan tanah. Meskipun pada mulanya ditujukan bagi Jawa dan

Madura, namun kemudian Undang-Undang ini diterapkan juga dengan peraturan lokal di

Sumatra Timur. Kemudahan diperoleh setelah adanya kejelasan tentang status kepemilikan

tanah oleh penduduk yang memperlancar persewaan lahan.

4

(5)

Di Sumatra Timur sendiri berlaku dua macam sistem kepemilikan tanah. Yang

pertama adalah sistem vorstdomein. Menurut sistem ini raja selaku kepala negara dianggap

sebagai pemilik dari semua tanah dan menyerahkan kepada para kawulanya untuk

digarap.5

Di sisi lain, berlaku juga prinsip volksdomein. Menurut prinsip ini tanah merupakan

hak milik dari individu yang membuka dan menggarapnya secara rutin. Selama dia

menghuni dan mengerjakan tanah tersebut, maka dia masih memegang kepemilikannya

yang diakui secara komunal oleh masyarakatnya. Perkembangan lebih lanjut menjadikan

tanah-tanah semacam ini sebagai tanah bersama (tanah komunal) dan diakui sebagai tanah

adat dengan hak ulayat yang berlaku. Penggunaan tanah tersebut disahkan selama

kepentingan adat menuntutnya dan tidak ada pelanggaran atas aturan adat.

Rakyat yang menggarap tanah-tanah tersebut wajib menyetorkannya kepada raja

sebagian besar hasilnya sebagai upeti, sedangkan sisanya digunakan mereka untuk

memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam hal ini raja atau sultan mempunyai hak untuk

membagi-bagikan hak garap dan hak pakainya, namun tetap menguasai hak milik

sepenuhnya atas tanah.

6

Para pengusaha perkebunan besar hanya mengakui raja sebagai kepala negara atau

penguasa tanah semuanya. Oleh karena itu negosiasi dan kontrak dibuat dengan raja/sultan

yang akan menyerahkan lahan wewenangnya dieksploitasi. Mengingat di wilayah

Kesultanan Melayu berlaku juga prinsip vorstdomein maka kontrak sewa yang dibuat oleh

sultan dengan para pengusaha perkebunan dianggap sah. Para pengusaha perkebunan

berhak juga melakukan pengusiran dan penggusuran terhadap penduduk yang menggarap

dan menghuni tanah-tanah yang ditunjuk oleh sultan untuk disewakan. Sebagai gantinya

pengusaha perkebunan menggunakan lahan tersebut untuk kepentingan pemukiman

kolonisasi kuli kontrak yang didatangkannya dari Jawa sebagai tenaga kerja perkebunan.7

5

Dalam sistem pemerintahan monarkhi feodalistis, raja dianggap sebagai penguasa segala yang terdapat di atas permukaan tanah dan di bawah langit kekuasaannya. Dengan demikian sistem feodalisme bertumpu pada penguasaan tanah yang menjadi sumber kehidupan semua orang dan ditentukan penggunaannya oleh raja yang berkuasa. Lihat tentang ini konsep Gaetano Mosca. 1939. The Ruling Class. New York: McGraw Hill Book Company. hal. 51.

6

Pertumbuhan dan perkembangan pemilikan tanah komunal tersebut secara antropologis bertolak dari pertumbuhan dan pembentukan masyarakat kesukuan. Perkembangan masyarakat yang dimulai dari kehidupan individu primitif dengan pola mata pencaharian berburu dan meramu telah memberikan dasar bagi kehidupan kerjasama dan gotong royong komunalistis yang diteruskan dengan perubahan dalam pola pemukiman serta tempat tinggal. Pemukiman bersama dalam suatu kelompok telah mempengaruhi pandangan dalam hubungan pergaulan serta sistem kekerabatan. Dari kondisi ini tumbuh nilai-nilai dan norma sosial tradisional dalam kaitannya dengan sumber penghidupan dan mata pencaharian. Tentu saja hal ini tidak bisa dilepaskan dari sistem kepemilikan tanah di antara penduduk tradisional tersebut. Lihat Mr. B. Ter Haar. 1958. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poeponoto. Jakarta: Prajnya Paramita. 1958. hal. 91.

7

(6)

Pada tahun 1909 wilayah perkebunan Sumatera Timur telah menjadi Cultunr

gebied ter Dost kust Van Sumatera. Berarti wilayah perkebunannya telah diperluas ke

daerah perkebunan Langkat, Deli Serdang Simalungun dan Asahan. Akibat pengaruh

industri perkebunan ini menjadikan Medan sebagai Pusat Pemerintahan dengan Dewan

Pemerintah. Pelzer mengemukakan bahwa penggabungan wilayah-wilayah yang masih

berdiri sendiri ke dalam struktur administrasi pemerintahan kolonial dengan memindahkan

polisi-polisi perkebunan untuk mengadakan pengawasan terhadap kuli- kuli kontrak

seandainya mereka melarikan diri dari perkebunan yang satu ke perkebunan lainnya.8

Situasi internasional yang mengharuskan pemerintahan Hindia Belanda, untuk

melaksanakan kebijaksanaan Pintu Terbuka sangat menentukan perkembangan

pertumbuhan perkebunan di Sumatera Timur. Kebijaksanaan Pintu Terbuka berarti terbuka

terhadap modal dari manapun datangnya. Misalnya Inggris yang pertama sekali memasuki

kancah perkebunan karet mendirikan perusahaan Horisson and Crosfield. Perusahaan ini

sangat menguntungkan karena banyak lahan telah siap pakai dan telah ada sistem

pengairan yang dipergunakan untuk tanaman tembakau. Bahkan menurut Indra, Deli

Spoorning Meatsehappij di Sumatera Timur, 1883-1940 menyatakan dengan telah

tersedianya jaringan-jaringan jalan dan jalur rel kereta api sampai ke bekas-bekas

perkebunan tembakau maka biaya pengangkutan dapat ditekan sekecil mungkin.

9

Industri mobil Amerika Serikat menanamkan modalnya pada perkebunan karet di

Sumatera Timur setelah kemenangan politik pintu terbuka. Pertimbangan lain karena

kuli-kuli kontrak didatangkan dari Jawa upahnya rendah yang tentunya merupakan tawaran

menarik bagi perusahaan-perusahaan Industri karet Amerika Serikat yang ada di Sumatera

Timur. Menurut Volker bahwa sejalan dengan perkembangan industri mobil di Amerika

Serikat, produksi perkebunan karet Sumatera Timur pada tahun 1910 memproduksi 4.000

ton yang dilempar ke pasar dunia. Padahal permintaan pasar dunia untuk karet melebihi

dari panawaran karet dunia yang tersedia.

10

Ketika itu, perkebunan Sumatera dianggap sebagai tempat penyimpanan modal

internasional. Namun, sesungguhnya menyimpan potensi kepentingan yang saling

bertentangan antara perusahaan, kewenangan Sultan, dan pemerintah kolonial karena

8

Karl J. Pelzer. Op. Cit. hal. 112.

9

Indera. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Deli Spoorweg Maatschappij di Sumatera Timur. 1883-1940. Tesis S2. Jakarta: PPS - UI. hal. 48-50.

10

(7)

dominasi perusahaan kapitalis dan dinamika para kuli yang menjadi tenaga kerja untuk

memperebutkan kekuasaan atas dasar etnik dan agama.

Sumber Konfrontasi di Perkebunan Sumatera Utara

Kuli kontrak yang dianggap sebagai pendatang yang pada mulanya memperoleh

kehidupan seperti suasana desa di Jawa selanjutnya diperlakukan secara tidak layak.

Peraturan tentang perekrutan, perumahan, dan bentuk-bentuk upah yang tidak layak

dilaksanakan dengan cara kekerasan dan harus dipatuhi oleh para kuli kontrak itu.

Perbedaan perlakuan antara kulit putih, para staf, dan mandor dengan pekerja terlihat

sangat menyolok. Kekerasan yang dilakukan merambah ke bentuk-bentuk sosial lainnya

seperti maraknya pemerkosaan, prostitusi, ikatan perkawinan yang rapuh serta beberapa

perusahaan perkebunan dan pemerintah kolonial memaksa kontrol dan otoritas mereka atas

kehidupan intim laki-laki dan perempuan.

Agar memperoleh produksi karet mentah yang bemutu tinggi, para kuli kontrak

diawasi secara ketat oleh Asisten Perkebunan dan para Mandor Perkebunan. Selain

menjalankan pekerjaan rutin, kuli-kuli juga harus bekerja membuat terusan air atau

membuka hutan bagi perkebunan baru. Pekerjaan inipun diawasi dengan ketat oleh para

Asisten Perkebun. Kuli-kuli gudang lateks senantiasa berbau lateks, bau yang tidak sedap

di bawa pulang ke pondok meskipun sudah mandi. Akibat beban kerja itu, para pekerja

mencari hiburan di malam hari dengan perempuan (pelacur) dengan harga 2 kali lipat

jumlah tarif.11

Menjelang tahun 1920-an, meluaslah serangan-serangan terhadap orang-orang kulit

putih, sehingga Pantai Timur Sumatera menjadi terkenal dengan prilaku buruh di seluruh

Hindia Belanda sampai memalukan dunia karena mengusik ketenteraman dan ketertiban

Belanda. Pengaruh gerakan Budi Oetomo, Taman Siswa dan PNI yang menganjurkan

abolisi ikatan kontrak kerja dan perbaikan kondisi kehidupan perkebunan membuat para

pekerja perkebunan melancarkan aksi-aksi konfrontasi bagi orang-orang kulit putih. Tidak

jarang antara para pekerja perkebunan sekaligus petani penggarap melakukan

pengambilalihan perkebunan dan menguasai kompleks perkebunan. Perlawanan itu Kuli pria yang bekerja di perkebunan karet menerima upah f 0,33 per hari,

sedangkan kuli perempuan memperoleh upah f 0.28 per hari. Bisnis pelacuran yang

dilegalkan oleh pemilik perkebunan dan pemerintah kolonial semakin marak di wilayah

perkebunan.

11

(8)

memuncak pada akhir-akhir kekuasaan Belanda di Indonesia dan pada saat Jepang masuk

sebagai pengganti penguasa kolonial.

Ketika Jepang berkuasa pola kebijakan perkebunan sedikit mengalami perubahan

dikarenakan kebutuhan pengadaan pangan untuk kepentingan perang. Pada masa ini

banyak pekerja perkebunan yang beralih menjadi petani garapan untuk produksi pangan

sehingga menyebabkan penghancuran ekonomi perkebunan dan banyak buruh perkebunan

yang menganggur dan tercerabut dari perekonomian mereka.12

Begitu pula pada saat pembentukan Heiho (pasukan bala bantuan pribumi) dan

Giyugun yang kemudian dikenal dengan Peta (Pembela Tanah Air), sebagai milisi sukarela

rakyat setempat (lasykar rakyat) yang dipimpin para perwira pribumi, para pekerja

perkebunan tidak banyak yang dilibatkan. Mereka dipandang sebagai orang asing bagi

gerakan nasionalisme di Sumatera yang memang telah dipisahkan dari Jawa dan

menganggap bahwa orang Jawa terlalu mengalah terhadap aturan-aturan kolonial. Artinya,

antara masyarakat asli Sumatera Utara dengan para pekerja imigran dari Jawa itu memiliki

perbedaan sosial akibat perlakuan perusahaan perkebunan dan kebijakan pemerintah

kolonial. Namun, penting dicatat juga bahwa beberapa persyaratan untuk mengikuti

imbauan kelompok nasionalis tidak sampai ke kelompok pekerja perkebunan. Kelompok Akibatnya, pembukaan

lahan pertanian terbentuk atas dasar etnis, meskipun pemukiman yang heterogen tumbuh di

wilayah tembakau sekitar Medan. Implikasi lain dari kebijakan mengatasi kekurangan

pangan, pemindahan paksa (deportasi) dan dislokasi selama pendudukan Jepang, adalah

menguatnya pembentukan front persatuan (nasionalis) sesudah tahun 1945. Namun,

perlakuan terhadap buruh perkebunan tidak jauh berbeda pada masa kolonial Belanda.

Mereka tetap dikucilkan sampai kebijakan romusa dilakukan, sumber tenaga untuk

membangun proyek infrastrutur banyak diambil dari pekerja perkebunan dari Jawa.

Sebagian tidak kembali lagi, mati karena kekurangan pangan dan perawatan kesehatan.

12

(9)

pemuda di perkebunan tidak memiliki mobilitas untuk bergabung membantu gerakan

pemuda dan mereka lebih memilih menjadi pekerja tetap di perkebunan.

Ketika menjelang kemerdekaan, perlawanan nasionalis mengharuskan penguasaan

kompleks perkebunan yang menyimpan persediaan materi dan tenaga kerja untuk

mendukung perjuangan kemerdekaan republik. Dalam waktu yang singkat, terbentuk

lasykar-lasykar Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) di seluruh keresidenan dan secara

bersamaan pula diperluas pasukan-pasukan nasionalis dan partai-partai radikal dengan

lasykar-lasykarnya masing-masing. Diantara gerakan yang paling radikal dan mendapatkan

tempat bagi pekerja perkebunan adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin

oleh Xarim M.S di Sumatera Utara.13 PKI dengan lantangnya menganjurkan revolusi nasionalis dan sosialis bagi masyarakat Indonesia. Mereka mendesak agar dilakukannya

nasionalisasi dan pembagian kembali tanah perkebunan yang dikenal sebagai land reform.

Agenda gerakan tersebut sebenarnya ingin meraih dukungan dari kalangan buruh

perkebunan.14

Ketika terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur pada tahun 1946 kepada pihak

kesultanan dan kerajaan yang ada di Sumatera Timur, para pekerja perkebunan sebenarnya

bukanlah aktor yang aktif melakukannya. Karena para imigran Jawa itu hanya tunduk

kepada hukum Belanda bukan hukum adat atau kesultanan. Peristiwa itu merupakan

refleksi masyarakat etnis di Sumatera Timur yang menderita akibat ulah elit dan tokoh adat

mereka sendiri. Namun, pada tahun 1947, ketika Belanda mencoba kembali menguasai

wilayah perkebunan dengan kekuatan senjata, muncullah para buruh perkebunan sebagai

tenaga penggerak aktif dalam gerakan perlawanan dan pendukung gigih kampanye

Republik.

Pada saat gerakan untuk memperoleh dukungan dari berbagai elemen

masyarakat, pembentukan lasykar buruh perkebunan menjadi penting dan diperebutkan

oleh kekuatan politik lainnya. Revolusi di Sumatera Timur telah dikuasai oleh kekuatan

politik sayap kiri begitu pula segenap ekonomi perkebunan dengan komando tunggal pihak

Republik.

Keadaan di Sumatera Timur semakin terpolarisasi akibat penguasa Republik

melakukan reaksi berlebihan atas pernyataan berbahaya radikalisme rakyat (pimpinan PKI

dan Tan Malaka) yang menginginkan merdeka secara penuh tanpa berkolaborasi dengan

pihak asing. Pada saat yang sama, kabinet Syahrir menandatangani perjanjian Linggarjati

13

Meskipun basis anggota PKI pada bulan Februari 1946 tercatat 11.000 dan sebagian besar berada di daerah perkotaan, namun untuk memperluas agitasi propaganda kekuatan sayap kiri dapat diperoleh dari masyarakat perkebunan karena nasib penindasan yang dialaminya. Lihat Anthoni Reid

14

(10)

bulan November 1946 yang mengakui Republik hanya terdiri dari Sumatera dan Jawa.

Sebagai gantinya, Belanda berjanji untuk bekerja sama dalam membentuk negara

Indonesia Serikat yang berdaulat berdasarkan garis-garis federalis. Strategi Belanda itu

sebenarnya hanya sebagai upaya untuk mengauasi sumber-sumber daya ekonomi di

pulau-pulau luar Jawa dengan menganjutkan regionalisme yang kuat. Kerusuhan akibat perang

pun terjadi di beberapa fasilitas vital perkebunan seperti pembakaran instalasi perkebunan

berikut perumahannya, merusak persediaan barang hasil panen, dan merubah pabrik-pabrik

perkebunan menjadi tempat penyimpanan serta perakitan senjata.

Untuk mengatasi kekacauan itu, diberlakukanlah gencatan senjata dan

pembentukan administrasi sementara non-Republik, di mana warga Belanda diberi

kedudukan pimpinan. Komunitas elit Melayu, yang dulunya berkolaborasi dengan

Belanda, tentunya menyambut baik peristiwa itu dan sekaligus mendukung Negara

Sumatera Timur (NST) dengan memberikan dukungan penuh kepada Belanda di mana

mayoritas Jawa praktis tidak terwakili. Kondisi ini tentunya menimbulkan kesadaran

politik dan membawa perlawanan bagi buruh perkebunan dan petani miskin. Meskipun,

perekonomian perkebunan mengalami peningkatan kembali pada periode 1948-1949,

namun pihak perkebunan tidak tahan mengatasi perlawanan dari buruh perkebunan dan

petani miskin itu. Artinya, tidak semua rakyat menyambut orang-orang Eropa yang

kembali dengan tangan terbuka. Perlawanan yang mereka lakukan adalah menyerobot

tanah-tanah perkebunan dan menolak untuk bekerja kembali di perkebunan. Akibatnya,

menurunkan kepercayaan luar negeri terhadap kemajuan federalisme dan menjadi isu

politis yang dimanfaatkan kaum Republik dengan memecah belah elit Melayu dan Belanda

tersebut.

Kekurangan pekerja untuk perkebunan berimbas pada kenaikan upah dan memaksa

perusahaan menerima persyaratan buruh yang lebih longgar. Perusahaan perkebunan

Belanda kemudian banyak menerima bekas anggota lasykar begitu pula para petani liar.

Mereka kemudian menggabungkan diri ke dalam barisan komunitas perkebunan dan

gerakan buruh perkebunan menemukan momentum baru untuk memusatkan perhatiannya

kepada keamanan perkebunan dan memberikan dukungannya kepada Republik di dalam

wilayah NST. Mereka memberikan bantuan makanan dan penampungan kepada para

simpatisan serta pasukan-pasukan Republik. Bersamaan dengan itu pula buruh perkebunan

menjadi terorganisir di Sumatera Utara seperti halnya di seluruh Indonesia.

Munculnya Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) mendapatkan tempat yang

(11)

cita-cita Republik meskipun berhaluan kiri. Salah satu federasi serikat buruh perkebunan

yang besar tergabung dalam SOBSI adalah Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia

(SARBUPRI). Federasi ini melakukan kegiatan pada pembangunan lasykar buruh dan

pemberian dukungan kepada hak-hak petani liar dan mengampanyekan perlawanan

kekuasaan NST-Belanda. Pada saat ini muncullah organisasi buruh tandingan dan

federasi-federasi antikomunis. Gerakan organisasi buruh di Deli mendapatkan tempat yang cukup

berarti disamping gerakan buruh di Jawa serta lebih radikal untuk menyuarakan

kepentingannya bagi Republik. Pada saat inilah, terjadi pergeseran titik pusat gerakan

kemerdekaan yang berkisar pada perbaikan kehidupan buruh perkebunan. Sebagai sebuah

lambang utama imperalisme ekonomi sekaligus sumber vital pendapatan nasional,

perkebunan-perkebunan tersebut menjadi medan pertempuran politik terus menerus.

Radikalisme Gerakan Buruh dan Kontrol Perkebunan 1950-1965

Gerakan buruh di Sumatera Utara mendapatkan dukungan dari Pemerintah

Republik dan pimpinan serikat-serikat buruh radikal, gerakan yang cukup kuat untuk

menyatakan dan bahkan menumbuhkan harapan baru kaum miskin desa. Militansi buruh

sering mengguncangkan kehidupan politik dan ekonomi di tahun 1950-an. Di Sumatera

Utara saja beberapa perusahaan perkebunan asing terpaksa gulung tikar karena pergolakan

gerakan buruh. Pemogokan di bawah pimpinan SARBUPRI pada bulan

Agustus/September 1950 menghasilkan kenaikan upah sebesar 30% ketika harga-harga

barang berada dalam keadaan stabil. Gerakan itu didasarkan pada pengalaman masyarakat

perkebunan kolonial sebagai sumber utama perjuangan untuk melenyapkan penindasan dan

bahkan menghilangkan eksploitasi yang keterlaluan. Keberhasilan SARBUPRI

menghimpun 100.000 pekerja perkebunan di Sumatera Utara menunjukkan bahwa

gerakannya untuk mendapatkan perhatian secara perorangan.

Selain mogok kerja, buruh perkebunan juga melakukan aksi bekerja secara tidak

penuh karena alasan jatah beras atau upah yang tidak sesuai. Selain itu, industri

perkebunan mendapatkan perlawanan dari para petani liar yang menggarap lahan

perkebunan secara tidak sah di Sumatera Utara. Akibatnya, pihak manajemen mengalami

kerugian besar karena menurunnya produktifitas kerja. Keberhasilan gerakan serikat buruh

dan petani liar ini membawa akibat adanya penempatan lebih banyak tenaga kerja di luar

kaum buruh. Perusahaan —dengan asumsi memperoleh keuntungan yang luar biasa seperti

(12)

sekali. Sementara pendapatan pemerintah, pada waktu itu, sebagaian besar masih

bergantung pada investasi asing.

Gerakan radikalisme itu muncul dari kalangan PKI dan SARBUPRI yang pada

awalnya meletakkan perjuangan anti-imperialis dan perjuangan kelas, namun titik berat

selalu ditujukan pada dominasi asing daripada kapitalisme. Untuk mendukung perjuangan

itu, maka pendidikan kader selalu menampilkan analisis kelas dalam masyarakat pribumi.

Setelah terjadi pemogokan tahun 1951 yang mengakibatkan penurunan produktivitas, maka

PKI memutuskan untuk melunakkan politik kelasnya dan mendukung semboyan kampanye

nasionalis15

Untuk mengatasi situasi itu, PKI memberikan beberapa alternatif kepada

pemerintah seperti gerakan nasionalisasi langsung industri perkebunan atau pemotongan

upah yang besar bagi pegawai-pegawai dan konsultan asing. Namun, karena pentingnya

investasi asing maka pemerintah memilih kebijakan yang ambigu. Di satu sisi melindungi

kepentingan asing namun juga menganjurkan secara terbuka rencana-rencana

pembangunan yang anti-imperialis dan nasionalis di sisi lain. Sikap ini yang kemudian

mengorbankan gerakan buruh dan petani liar. Untuk mengatasi situasi ini AVROS

kemudian melakukan politisasi gerakan buruh seperti mendirikan PERBUPRI (Persatuan

Buruh Perkebunan Republik Indonesia) yang nonkomunis dan mendapat dukungan dari

PSI. Namun organisasi buruh ini tidak banyak mendapatkan dukungan dari buruh

perkebunan, karena dibentuk dan mendapat banyak fasilitas dari manajemen perusahaan

perkebunan.

. Menjelang 1954, PKI telah membuat beberapa pilihan strategis yaitu merubah

perjuangan kelas dalam ideologi dan praktek ke arah pemecahan pragmatis

masalah-masalah yang dibutuhkan oleh anggota gerakan seperti buruh.

Negara kemudian campur tangan dalam hubungan perburuhan di perkebunan ketika

melihat manajemen semakin lemah untuk mengontrol buruhnya sendiri, pada saat

pemerintah menginginkan bergeraknya ekonomi melalui perusahaan asing ini. Pemerintah

mensponsori panitia arbitrasi, P4P (Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat) melalui UU

Darurat No. 16 (tanpa persetujuan parlemen) yang menganjurkan pemogokan harus

diajukan tiga minggu sebelumnya. Pemerintah juga mengeluarkan perintah yang melarang

pemogokan melalui para panglima daerah militer. Namun, serangkaian kontrol negara

terhadap gerakan buruh ini, justru mendapatkan perlawanan dari SOBSI dan serikat buruh

15

(13)

yang tergabung di dalamnya termasuk aksi-aksi buruh seperti pemogokan terus

berlangsung di perusahaan perkebunan Sumatera Utara.

Keterlibatan militer membawa implikasi lebih jauh lagi, bukan hanya untuk

menjamin produksi tidak tersendat-sendat dan mengontrol organisasi buruh yang

berafiliasi dengan partai politik di Sumatera Utara. Namun, sebagai upaya untuk

mengampanyekan anti komunis demi kepentingan keamanan nasional dengan penahanan

dan gerakan kendaraan berlapis baja di Sumatera Utara. Militer juga menyita bacaan

komunis, menahan orang-orang yang diduga sebagai anggota PKI, meskipun banyak juga

sebagaiannya adalah para aktivis politik yang bersimpati kepada gerakan buruh.

Gerakan buruh perkebunan di Sumatera Utara telah dipengaruhi oleh situasi politik

di Jakarta antara gerakan komunis, militer, dan Islam serta nasionalisme yang tetap

menjadi jargon utama Soekarno. Pemberontakan daerah yang salah satunya berbasis di

Sumatera menyebabkan keadaan darurat perang diumumkan dan membenarkan pihak

militer mengambil banyak wewenang kekuasaan pemerintah sipil. Pada tahun 1962 dan

1963 militer melakukan pembersihan setelah terjadinya peningkatan aksi-aksi buruh

khususnya di daerah perkebunan. Aksi-aksi buruh kemudian menurun setelah peristiwa

1965 yaitu terjadinya kudeta militer dan pembunuhan ratusan ribu orang yang dinyatakan

sebagai komunis.

Pembatasan Penguasaan Buruh 1965-1979

Arus balik untuk mengawasi secara ketat gerakan serikat buruh terjadi paska

peristiwa 1965. Perubahan pemerintahan militer di Indonesia pada tahun itu, merupakan

reaksi dari gelombang kekerasan yang diwarnai oleh gerakan kiri, meskipun perdebatan

tentang siapa dalang peristiwa 1965 masih berlangsung sampai sekarang. Sehingga dalam

waktu beberapa bulan saja, gerakan buruh sayap kiri yang selama ini menentukan arah

perjuangan paskakemerdekaan, dinyatakan tidak sah dan dihancurkan. Para petani liar

diusir dari tanah bekas perkebunan sejak tahun 1940-an dan mata pencaharian mereka

dicabut.

Situasi bagi buruh perkebunan khususnya di Pesisir Timur Sumatera Utara saja

banyak terjadi pembataian untuk memusnahkan para komunis dan pendukungnya hingga

puluhan ribu orang pada tahun 1966. Sehingga menurunkan jumlah buruh yang ada di

perkebunan. Bagi mereka yang tidak dibunuh, stigma keanggotaan SARBUPRI amatlah

mengubah kehidupan mereka. Di bawah kekuasan Orde Baru Soeharto, semua serikat

(14)

anggota SARBUPRI secara sewenang-wenang dipecat dan dijadikan sebagai daftar hitam

dari buruh perkebunan selanjutnya.

Perlakuan seperti itu juga menimbulkan persoalan bagi pemerintah Orde Baru. Di

satu sisi kebijakan perkebunan baru dirancang untuk merasionalisasikan produksi dan

mengurangi biaya buruh, namun di sisi lain banyak buruh perusahaan perkebunan tercatat

sebagai anggota SARBUPRI. Melalui orientasi developmentalisme Orde Baru, serangkaian

kebijakan untuk mengundang investor asing pun dilakukan kembali. Untuk sektor

perkebunan yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi, kebijakan pengurangan buruh

perkebunan dan memberikan bantuan dana bagi perusahaan besar perkebunan diharapkan

dapat meningkatkan ekonomi pedesaan secara keseluruhan. Kebijakan pengurangan buruh

itu sebagai akibat penerapan teknologi dan reorganisasi, maka bagi buruh yang tidak

memiliki keterampilan dikembalikan ke tempat asalnya dan sebagian besar berasal dari

Jawa termasuk mengganti status buruh tetap menjadi buruh harian lepas. Akibat dari

efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan, maka dalam sepuluh tahun

menunjukkan hasil yang cukup menguntungkan bagi perusahaan.

Buruh harian lepas memperoleh upah jauh di bawah buruh tetap dan karena itu

banyak buruh perkebunan yang bekerja sama dengan kontraktor pemetik buah untuk

bekerja sebagai penyadap karet, dan pemanen sawit. Pekerjaan tambahan itu dilakukan

baik oleh buruh wanita dan pria. Tidak jarang pula bagi buruh tetap yang telah bekerja

selama 10 tahun tidak mendapatkan fasilitas tambahan lagi seperti dulu, termasuk jika

dipindahkan ke wilayah kerja lain maka biaya pindah itu ditanggung oleh buruh itu sendiri.

Banyak pula kebijakan perburuhan yang berbeda pada masa sebelum 1965 misalnya

mengurangi cuti hamil dan waktu kerja yang berlebih dengan imbalan yang jauh dari

kebutuhan saat itu.

Untuk mengatasi kekurangan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan, maka buruh

perkebunan di pinggiran Sumatera Utara itu melakukan pekerjaan sampingan atau disebut

dengan istilah mocok-mocok. Banyak lahan pekerjaan sampingan yang juga dilarang oleh

perusahaan seperti dilarangnya ternak hewan yang berada di sekitar perkebunan, sebelum

1965 ternak itu dibolehkan. Jika satu sumber masukan menjadi kurang menguntungkan,

maka buruh perkebunan mencari sumber-sumber lainnya, termasuk menanam tanaman

kacangan di daerah kelapa sawit yang baru ditanam dan sumber kebun lainnya seperti

kelapa, umbi-umbian dan lain sebagainya.

Situasi ekonomi di sekitar perkebunan menyebabkan terjadinya migrasi buruh ke

(15)

daerah tanah Karo. Pekerjaan yang paling sering dilakukan adalah pencurian

produk-produk perkebunan khususnya karet atau sawit. Usaha yang ilegal ini akhirnya menjadi

bagian dari kehidupan desa. Karena kesulitan ekonomi bagi penduduk di perkebunan

Sumatera Utara ini, maka wilayah itu hanya dianggap sebagai gudang buruh murah bagi

keseluruhan kawasan ekonomi baik untuk perkebunan maupun untuk para kapitalis kecil

dari suku-suku lain.

Dengan melihat situasi pinggiran perkebunan di Sumatera Utara ketika dikaitkan

dengan kehidupan pedesaan di Jawa, maka proses mempetanikan dan de-proletarisasi itu

terjadi. Stoler memiliki bukti yang mengatakan bahwa komunitas-komunitas itu memiliki

sikap perlawanan yang kelihatan seperti munculnya pemukiman-pemukiman Jawa di

sekitar wilayah perkebunan, sikap kabur dari perusahaan perkebunan sampai mengambil

dan mempertahankan tanah-tanah perkebunan selepas kemerdekaan.

Penutup

Realitas historis dan kontemporer, dalam studi Stoler, yang terjadi di sekitar

perbatasan perkebunan di Sumatera Utara menunjukkan bahwa terdapat kaitan penting

yang dilakukan oleh kekuatan modal terhadap munculnya perlawanan buruh. Perubahan

sikap secara drastis dan radikal ditunjukkan oleh kuli kontrak yang berasal dari Jawa yang

sebenarnya memiliki konsep rukun. Konsep ini berarti harmoni, kerjasama, kesatuan

usaha, mimin konflik merupakan prinsip-prinsip moral yang dimiliki oleh orang Jawa dan

masyarakat Jawa pada umumnya. Namun, karena kepentingan kapital dari perusahaan

perkebunan yang dimulai sejak pemerintah kolonial mengubah mereka menjadi kelompok

masyarakat yang memprotes, melakukan konfrontasi dari sekedar mempertahankan diri

sampai ke tindakan yang radikal.

Keadaan tidak menunjukkan perubahan yang berarti bagi perbaikan buruh di

perkebunan ketika Indonesia telah memperoleh kedaulatannya dan dipimpin oleh anak

bangsa. Justru konfigurasi etnik dijadikan sebagai alat propaganda bagi penguasa atas

dasar kepentingan kapital. Bentuk-bentuk pemaksaan yang ”ekstra ekonomik” masih tetap

esensial baik pada kapitalisme kontemporer maupun pada tahap-tahap perkembangan

kapitalisme sebeumnya. Pada saat inilah, negara telah berperan penting untuk terus

bertindak sebagai agen kontrol langsung maupun tidak langsung bagi buruh.

Penggabungan tuntutan-tuntutan ekonomi antara buruh dan perusahaan yang tidak

seimbang hanya melahirkan pemberontakan dan kriminalitas sehingga ikut mendorong

(16)

Daftar Pustaka

Geertz, Clifford. 1978. Involusi Pertanian; Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: PT. Bharata.

Indera. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Deli Spoorweg Maatschappij di Sumatera Timur. 1883-1940. Tesis S2. Jakarta: PPS - UI.

Mortimer, Rex. 1974. Indonesian Communism under Soekarno: Ideology and Politics, 1959-1965. Ithaca: Cornell University Press.

Mosca, Gaetano. 1939. The Ruling Class. New York: McGraw Hill Book Company.

Pelzer, Karl, J.. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur, 1863-1947. Jakarta: Sinar Harapan.

Reid, Anthony. 1974. Indonesian National Revolution 1945-1950. Melbourne: Longman.

Stoler, Ann, Laura. 1985. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979. Terjemahan..Yogyakarta: Karsa.

Ter Haar, Mr.B.. 1958. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poeponoto. Jakarta: Prajnya Paramita. 1958.

Referensi

Dokumen terkait

5umlah sekolah yang mendapat promosi kesehatan dibagi jumlah seluruh sekolah disatu wilayah kerja dalam kurun waktu yang sama dikali 1##G 1##G b&

Tujuan penelitian ini adalah (1) Menghasilkan media pembelajaran E-learning berbasis Web dengan menggunakan software Moodle yang valid dalam mata pelajaran teknik elektronika

Penelitian ini dilakukan di Pasar Inpres IV Pasar Raya Kota Padang untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan dermatitis kontak iritan pada pedagang ikan

Subjek penelitian adalah data rekam medis penderita TB laten dengan hasil tes IGRA positif yang merupakan anggota keluarga pasien TB aktif di Rumah Sakit Pendidikan

Tidak terpenuhinya harapan yang menurut mereka seharusnya terpenuhi. Perasaan tidak adil ini timbul bila orang membandingkan keadaan diri mereka dengan keadaan orang lain yang

Beberapa penelitian terdahulu tentang Theory of Planned Behavior terbukti mampu memprediksi dan menjelaskan perilaku konsumen organik Republik Ceko (Zagata, 2012), dan

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode uji statistik Chi Square yaitu hasil X 2 hitung = 13,929 dengan ρ = 0,00 (α < 0,05) sedangkan X 2 tabel dengan

Dapatan kajian bagi min keseluruhan soal selidik penilaian perisian oleh pelajar dan guru masing-masing sebanyak 4.1222 (pelajar) dan 4.6757 (guru) menunjukkan bahawa