Pertumbuhan Industri, Birokrasi, dan Konfrontasi
di Perkebunan Sumatera Utara 1870-1979
Muryanto Amin
BAHAN BACAAN
KEKUATAN POLITIK DI INDONESIA
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pendahuluan
Selama seabad lebih, Sumatera Utara menjadi lokasi salah satu usaha
perkebunan-perkebunan asing yang paling intensif dan paling berhasil diantara berbagai negara-negara
maju manapun. Ekspansi kolonialisme oleh orang Eropa telah menghasilkan sebuah
konflik yang laten —dan seringkali berdarah— antara modal dengan buruh, khususnya
ketika buruh menolak kepentingan-kepentingan perkebunan. Kapitalisme dan Konfrontasi
di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979 adalah sejarah etnografis yang menakjubkan
karena menganalisis mengenai resistensi populer yang telah secara aktif menghasilkan
bentuk-bentuk kolonialisme maupun pengalaman-pengalaman sosial, ekonomi dan politik
komunitas buruh Jawa yang tinggal di perbatasan perkebunan-perkebunan Sumatera.1 Bermula pada saat tumbuhnya usaha perkebunan di Sumatera Timur (sekarang
Sumatera Utara) pada tahun 1860 dan keberhasilan para pengusaha perkebunan mencari
kuli kontrak yang berasal dari Jawa dengan biaya murah. Dalam waktu yang relatif singkat
pemodal asing seperti Eropa, Amerika, dan Inggris menginvestasikan modalnya pada
beberapa komoditi perkebunan, misalnya Horisson and Crosfield (1904), Good Year and
Rubber Company (1909), dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan jumlah tenaga kerja
yang besar, maka diciptakan agen-agen untuk mencari kuli ke Jawa dengan harga yang
murah, dan terbukti pada tahun 1905 telah merekrut 20.000 orang kuli. Untuk mengatur
perolehan kuli dari Jawa, maka pada tahun 1909 dibentuk AVROS (Algemeene Vereniging
Rubberplanters Dost kust Van Sumatra)2
Proses kuli kontrak pun berlangsung dalam waktu yang cepat untuk memenuhi
industri perkebunan itu. Dalam perkembangannya muncul pula konfrontasi dalam bentuk
kekerasan yang berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik karena
bersinggungan dengan penduduk lokal akibat eksploitasi kapitalisme di Sumatera Utara.
Dalam konteks inilah, Stoler melihat kasus Sumatera Utara melalui etnografi yang dapat diharapkan memecahkan persoalan
kebutuhan akan kuli-kuli kontrak yang didatangkan dari Jawa dan terus mengalami
dinamikanya sampai paska kemerdekaan.
1
Ann Laura Stoler. 1985. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979.
Terjemahan..Yogyakarta: Karsa. Stoler menggambarkan bahwa pada tahun 1950-an kekuatan di bawah sangat dinamis, dimana pada waktu itu buruh menuntut hak-haknya. Buruh punya afiliasi dengan PKI, mereka menuntut penataan ulang sumber daya dan meminta pola kemitraan. Pada tahun 1960-an ketika ada UUPA muncul debat tentang nasionalisasi perkebunan, isu perkebunan mulai bergeser ke isu nasionalisasi. Hal inilah yang memicu masuk dan bercokolnya para lasykar rakyat di perkebunan-perkebunan, kemudian diakomodir oleh Nasution dengan mengkaryakan mereka di perkebunan.
2
manusia/etnografi buruh, bukan etnografi Sumatra Timur (sekarang Sumatra Utara). Awal
mula kuli kontrak ini kemudian mendapatkan perlakuan pengawasan yang sangat ketat,
pada masa kolonial, yang kemudian menimbulkan konfrontasi (dengan alasan
perlindungan diri) di daerah perkebunan dan kemudian melahirkan gerakan buruh yang
radikal pada masa paska kemerdekaan. Evolusi radikal gerakan ini menimbulkan
pertanyaan penting yaitu bagaimana eksploitasi kapitalisme perkebunan di Sumatera Utara
itu melahirkan gerakan konfrontasi dan radikalisme buruh terhadap pengusaha perkebunan
dari masa pemerintah kolonial sampai paska kemerdekaan?
Kondisi Demografis Masa Kolonial di Sumatera Timur
Masyarakat Sumatera Timur dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu
masyarakat Melayu yang mendiami daerah pesisir pantai di Sumatera Timur dan
masyarakat Batak yang terdiri dari 2 kelompok yaitu Batak Karo dan Batak Simalungun.
Dua kelompok masyarakat Batak ini mendiami daerah pedalaman di Sumatera Timur.
Daerah yang didiami oleh penduduk Melayu terletak disepanjang pantai Timur terdiri dari
5 kerajaan (kesultanan) yaitu Langkal, Deli, Serdang, Asahan dan Kota Pinang. Kelima
kerajaan ini memperlihatkan adanya masyarakat feodal dengan Islam sebagai agama
perekat. Masyarakat Melayu di Sumatera Timur telah mengadakan kontak yang terbatas
dengan masyarakat Batak di pedalaman sekalipun terjadi dalam skala yang terbatas. Ikatan
kekerabatan di samping ikatan agama dan politik, mempertalikan elit-elit kerajaan di
Sumatera Timur dengan sesama elit-elit kerajaan Melayu di Semenanjung Melayu.
Sekalipun kontak di masyarakat yang memiliki suku bangsa yang berbeda ini
umumnya terbatas pada perdagangan tetapi adanya ikatan perkawinan dan agama
mengakibatkan terselenggaranya hubungan di antara kelompok-kelompok masyarakat ini
di Sumatera Timur. Di samping itu terdapat pula rasa identitas penduduk asli yang kuat di
kalangan orang-orang Melayu dan Batak di Sumatera Timur.
Perasaan ini semakin penting dan menguat saat masuknya orang-orang pendatang
seperti Jawa, Minangkabau, Cina dan Banjar yang mendatangi Sumatera Timur untuk
tujuan ekonomi yang sebagian berasal dari kuli-kuli kontak pada pertengahan abad 19 dan
permulaan abad 20. Masuknya kekuasaan kolonial Belanda dan munculnya
perkebunan-perkebunan besar serta Missionaris asing di Tapanuli dan Simalungun memiliki dampak
yang luas dan mendalam terhadap pola masyarakat tradisional. Kedatangan para penduduk
dari wilayah lain itu kemudian menimbulkan persoalan bagi penduduk lokal terutama
misalnya. Bagi pemerintah kolonial dan para pengusaha perkebunan besar yang telah
membuat kontrak sewa dengan sultan merasa berhak juga melakukan pengusiran dan
penggusuran bagi penduduk yang menggarap dan menghuni tanah-tanah yang ditunjuk
oleh sultan untuk disewakan. Sebagai gantinya pengusaha perkebunan menggunakan lahan
tersebut untuk kepentingan pemukiman kolonisasi kuli kontrak yang didatangkannya dari
Jawa sebagai tenaga kerja perkebunan.
Perkembangan Kapitalisme Sektor Perkebunan
Sejak berkembangnya Industri di Sumatera Timur dimulai pada perkebunan sawit
dan tembakau, namun kemudian berubah menjadi karet menyebabkan kebutuhan akan
tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Untuk mengatasi itu maka pemerintah kolonial
membuat program kuli kontrak yang banyak didatangkan dari Jawa, dan sebagian kecil
berasal dari etnis Cina dan India. Kuli-kuli kontrak itu diberangkatkan dengan
mempergunakan kapal dagang atau kapal militer yang singgah di Sumatera Timur dan
jumlahnya bertambah banyak setelah perkebunan karet berkembang pesat. Menurut Geerzt
proses perubahan ekologi di Indonesia memungkinkan komoditi yang beragam dan
perkebunan karet merupakan salah satu onderneming yang harus dikelola dengan tenaga
kerja yang banyak serta modal yang besar.3
Perkebunan besar (onderneming) di Sumatra Timur dirintis oleh Nienhuys yang
membawa tanaman tembakau dan menanamnya di lahan Sumatra Timur melalui kontrak
tanah dengan Sultan Deli pada tahun 1863 selama 75 tahun.
4
3
Clifford Geertz. 1978. Involusi Pertanian; Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: PT. Bharata. hal. 17.
Keberhasilan yang diperoleh
Nienhuys dengan keuntungan besar yang diperoleh telah menarik perhatian para pengusaha
perkebunan asing Eropa untuk berlomba-lomba melakukan investasi di sektor agrobisnis
Sumatra Timur. Prioritas komoditi yang mereka tanam adalah tembakau yang sangat
terkenal di pasaran tembakau Amsterdam, kemudian menyusul karet dan kelapa sawit.
Perkembangan yang didukung dan disertai dengan penegakan kekuasaan kolonial Belanda
di Sumatra Timur ini semakin dipicu oleh keluarnya Agrarische Wet tahun 1870 yang
mengatur tentang kepemilikan tanah. Meskipun pada mulanya ditujukan bagi Jawa dan
Madura, namun kemudian Undang-Undang ini diterapkan juga dengan peraturan lokal di
Sumatra Timur. Kemudahan diperoleh setelah adanya kejelasan tentang status kepemilikan
tanah oleh penduduk yang memperlancar persewaan lahan.
4
Di Sumatra Timur sendiri berlaku dua macam sistem kepemilikan tanah. Yang
pertama adalah sistem vorstdomein. Menurut sistem ini raja selaku kepala negara dianggap
sebagai pemilik dari semua tanah dan menyerahkan kepada para kawulanya untuk
digarap.5
Di sisi lain, berlaku juga prinsip volksdomein. Menurut prinsip ini tanah merupakan
hak milik dari individu yang membuka dan menggarapnya secara rutin. Selama dia
menghuni dan mengerjakan tanah tersebut, maka dia masih memegang kepemilikannya
yang diakui secara komunal oleh masyarakatnya. Perkembangan lebih lanjut menjadikan
tanah-tanah semacam ini sebagai tanah bersama (tanah komunal) dan diakui sebagai tanah
adat dengan hak ulayat yang berlaku. Penggunaan tanah tersebut disahkan selama
kepentingan adat menuntutnya dan tidak ada pelanggaran atas aturan adat.
Rakyat yang menggarap tanah-tanah tersebut wajib menyetorkannya kepada raja
sebagian besar hasilnya sebagai upeti, sedangkan sisanya digunakan mereka untuk
memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam hal ini raja atau sultan mempunyai hak untuk
membagi-bagikan hak garap dan hak pakainya, namun tetap menguasai hak milik
sepenuhnya atas tanah.
6
Para pengusaha perkebunan besar hanya mengakui raja sebagai kepala negara atau
penguasa tanah semuanya. Oleh karena itu negosiasi dan kontrak dibuat dengan raja/sultan
yang akan menyerahkan lahan wewenangnya dieksploitasi. Mengingat di wilayah
Kesultanan Melayu berlaku juga prinsip vorstdomein maka kontrak sewa yang dibuat oleh
sultan dengan para pengusaha perkebunan dianggap sah. Para pengusaha perkebunan
berhak juga melakukan pengusiran dan penggusuran terhadap penduduk yang menggarap
dan menghuni tanah-tanah yang ditunjuk oleh sultan untuk disewakan. Sebagai gantinya
pengusaha perkebunan menggunakan lahan tersebut untuk kepentingan pemukiman
kolonisasi kuli kontrak yang didatangkannya dari Jawa sebagai tenaga kerja perkebunan.7
5
Dalam sistem pemerintahan monarkhi feodalistis, raja dianggap sebagai penguasa segala yang terdapat di atas permukaan tanah dan di bawah langit kekuasaannya. Dengan demikian sistem feodalisme bertumpu pada penguasaan tanah yang menjadi sumber kehidupan semua orang dan ditentukan penggunaannya oleh raja yang berkuasa. Lihat tentang ini konsep Gaetano Mosca. 1939. The Ruling Class. New York: McGraw Hill Book Company. hal. 51.
6
Pertumbuhan dan perkembangan pemilikan tanah komunal tersebut secara antropologis bertolak dari pertumbuhan dan pembentukan masyarakat kesukuan. Perkembangan masyarakat yang dimulai dari kehidupan individu primitif dengan pola mata pencaharian berburu dan meramu telah memberikan dasar bagi kehidupan kerjasama dan gotong royong komunalistis yang diteruskan dengan perubahan dalam pola pemukiman serta tempat tinggal. Pemukiman bersama dalam suatu kelompok telah mempengaruhi pandangan dalam hubungan pergaulan serta sistem kekerabatan. Dari kondisi ini tumbuh nilai-nilai dan norma sosial tradisional dalam kaitannya dengan sumber penghidupan dan mata pencaharian. Tentu saja hal ini tidak bisa dilepaskan dari sistem kepemilikan tanah di antara penduduk tradisional tersebut. Lihat Mr. B. Ter Haar. 1958. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poeponoto. Jakarta: Prajnya Paramita. 1958. hal. 91.
7
Pada tahun 1909 wilayah perkebunan Sumatera Timur telah menjadi Cultunr
gebied ter Dost kust Van Sumatera. Berarti wilayah perkebunannya telah diperluas ke
daerah perkebunan Langkat, Deli Serdang Simalungun dan Asahan. Akibat pengaruh
industri perkebunan ini menjadikan Medan sebagai Pusat Pemerintahan dengan Dewan
Pemerintah. Pelzer mengemukakan bahwa penggabungan wilayah-wilayah yang masih
berdiri sendiri ke dalam struktur administrasi pemerintahan kolonial dengan memindahkan
polisi-polisi perkebunan untuk mengadakan pengawasan terhadap kuli- kuli kontrak
seandainya mereka melarikan diri dari perkebunan yang satu ke perkebunan lainnya.8
Situasi internasional yang mengharuskan pemerintahan Hindia Belanda, untuk
melaksanakan kebijaksanaan Pintu Terbuka sangat menentukan perkembangan
pertumbuhan perkebunan di Sumatera Timur. Kebijaksanaan Pintu Terbuka berarti terbuka
terhadap modal dari manapun datangnya. Misalnya Inggris yang pertama sekali memasuki
kancah perkebunan karet mendirikan perusahaan Horisson and Crosfield. Perusahaan ini
sangat menguntungkan karena banyak lahan telah siap pakai dan telah ada sistem
pengairan yang dipergunakan untuk tanaman tembakau. Bahkan menurut Indra, Deli
Spoorning Meatsehappij di Sumatera Timur, 1883-1940 menyatakan dengan telah
tersedianya jaringan-jaringan jalan dan jalur rel kereta api sampai ke bekas-bekas
perkebunan tembakau maka biaya pengangkutan dapat ditekan sekecil mungkin.
9
Industri mobil Amerika Serikat menanamkan modalnya pada perkebunan karet di
Sumatera Timur setelah kemenangan politik pintu terbuka. Pertimbangan lain karena
kuli-kuli kontrak didatangkan dari Jawa upahnya rendah yang tentunya merupakan tawaran
menarik bagi perusahaan-perusahaan Industri karet Amerika Serikat yang ada di Sumatera
Timur. Menurut Volker bahwa sejalan dengan perkembangan industri mobil di Amerika
Serikat, produksi perkebunan karet Sumatera Timur pada tahun 1910 memproduksi 4.000
ton yang dilempar ke pasar dunia. Padahal permintaan pasar dunia untuk karet melebihi
dari panawaran karet dunia yang tersedia.
10
Ketika itu, perkebunan Sumatera dianggap sebagai tempat penyimpanan modal
internasional. Namun, sesungguhnya menyimpan potensi kepentingan yang saling
bertentangan antara perusahaan, kewenangan Sultan, dan pemerintah kolonial karena
8
Karl J. Pelzer. Op. Cit. hal. 112.
9
Indera. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Deli Spoorweg Maatschappij di Sumatera Timur. 1883-1940. Tesis S2. Jakarta: PPS - UI. hal. 48-50.
10
dominasi perusahaan kapitalis dan dinamika para kuli yang menjadi tenaga kerja untuk
memperebutkan kekuasaan atas dasar etnik dan agama.
Sumber Konfrontasi di Perkebunan Sumatera Utara
Kuli kontrak yang dianggap sebagai pendatang yang pada mulanya memperoleh
kehidupan seperti suasana desa di Jawa selanjutnya diperlakukan secara tidak layak.
Peraturan tentang perekrutan, perumahan, dan bentuk-bentuk upah yang tidak layak
dilaksanakan dengan cara kekerasan dan harus dipatuhi oleh para kuli kontrak itu.
Perbedaan perlakuan antara kulit putih, para staf, dan mandor dengan pekerja terlihat
sangat menyolok. Kekerasan yang dilakukan merambah ke bentuk-bentuk sosial lainnya
seperti maraknya pemerkosaan, prostitusi, ikatan perkawinan yang rapuh serta beberapa
perusahaan perkebunan dan pemerintah kolonial memaksa kontrol dan otoritas mereka atas
kehidupan intim laki-laki dan perempuan.
Agar memperoleh produksi karet mentah yang bemutu tinggi, para kuli kontrak
diawasi secara ketat oleh Asisten Perkebunan dan para Mandor Perkebunan. Selain
menjalankan pekerjaan rutin, kuli-kuli juga harus bekerja membuat terusan air atau
membuka hutan bagi perkebunan baru. Pekerjaan inipun diawasi dengan ketat oleh para
Asisten Perkebun. Kuli-kuli gudang lateks senantiasa berbau lateks, bau yang tidak sedap
di bawa pulang ke pondok meskipun sudah mandi. Akibat beban kerja itu, para pekerja
mencari hiburan di malam hari dengan perempuan (pelacur) dengan harga 2 kali lipat
jumlah tarif.11
Menjelang tahun 1920-an, meluaslah serangan-serangan terhadap orang-orang kulit
putih, sehingga Pantai Timur Sumatera menjadi terkenal dengan prilaku buruh di seluruh
Hindia Belanda sampai memalukan dunia karena mengusik ketenteraman dan ketertiban
Belanda. Pengaruh gerakan Budi Oetomo, Taman Siswa dan PNI yang menganjurkan
abolisi ikatan kontrak kerja dan perbaikan kondisi kehidupan perkebunan membuat para
pekerja perkebunan melancarkan aksi-aksi konfrontasi bagi orang-orang kulit putih. Tidak
jarang antara para pekerja perkebunan sekaligus petani penggarap melakukan
pengambilalihan perkebunan dan menguasai kompleks perkebunan. Perlawanan itu Kuli pria yang bekerja di perkebunan karet menerima upah f 0,33 per hari,
sedangkan kuli perempuan memperoleh upah f 0.28 per hari. Bisnis pelacuran yang
dilegalkan oleh pemilik perkebunan dan pemerintah kolonial semakin marak di wilayah
perkebunan.
11
memuncak pada akhir-akhir kekuasaan Belanda di Indonesia dan pada saat Jepang masuk
sebagai pengganti penguasa kolonial.
Ketika Jepang berkuasa pola kebijakan perkebunan sedikit mengalami perubahan
dikarenakan kebutuhan pengadaan pangan untuk kepentingan perang. Pada masa ini
banyak pekerja perkebunan yang beralih menjadi petani garapan untuk produksi pangan
sehingga menyebabkan penghancuran ekonomi perkebunan dan banyak buruh perkebunan
yang menganggur dan tercerabut dari perekonomian mereka.12
Begitu pula pada saat pembentukan Heiho (pasukan bala bantuan pribumi) dan
Giyugun yang kemudian dikenal dengan Peta (Pembela Tanah Air), sebagai milisi sukarela
rakyat setempat (lasykar rakyat) yang dipimpin para perwira pribumi, para pekerja
perkebunan tidak banyak yang dilibatkan. Mereka dipandang sebagai orang asing bagi
gerakan nasionalisme di Sumatera yang memang telah dipisahkan dari Jawa dan
menganggap bahwa orang Jawa terlalu mengalah terhadap aturan-aturan kolonial. Artinya,
antara masyarakat asli Sumatera Utara dengan para pekerja imigran dari Jawa itu memiliki
perbedaan sosial akibat perlakuan perusahaan perkebunan dan kebijakan pemerintah
kolonial. Namun, penting dicatat juga bahwa beberapa persyaratan untuk mengikuti
imbauan kelompok nasionalis tidak sampai ke kelompok pekerja perkebunan. Kelompok Akibatnya, pembukaan
lahan pertanian terbentuk atas dasar etnis, meskipun pemukiman yang heterogen tumbuh di
wilayah tembakau sekitar Medan. Implikasi lain dari kebijakan mengatasi kekurangan
pangan, pemindahan paksa (deportasi) dan dislokasi selama pendudukan Jepang, adalah
menguatnya pembentukan front persatuan (nasionalis) sesudah tahun 1945. Namun,
perlakuan terhadap buruh perkebunan tidak jauh berbeda pada masa kolonial Belanda.
Mereka tetap dikucilkan sampai kebijakan romusa dilakukan, sumber tenaga untuk
membangun proyek infrastrutur banyak diambil dari pekerja perkebunan dari Jawa.
Sebagian tidak kembali lagi, mati karena kekurangan pangan dan perawatan kesehatan.
12
pemuda di perkebunan tidak memiliki mobilitas untuk bergabung membantu gerakan
pemuda dan mereka lebih memilih menjadi pekerja tetap di perkebunan.
Ketika menjelang kemerdekaan, perlawanan nasionalis mengharuskan penguasaan
kompleks perkebunan yang menyimpan persediaan materi dan tenaga kerja untuk
mendukung perjuangan kemerdekaan republik. Dalam waktu yang singkat, terbentuk
lasykar-lasykar Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) di seluruh keresidenan dan secara
bersamaan pula diperluas pasukan-pasukan nasionalis dan partai-partai radikal dengan
lasykar-lasykarnya masing-masing. Diantara gerakan yang paling radikal dan mendapatkan
tempat bagi pekerja perkebunan adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin
oleh Xarim M.S di Sumatera Utara.13 PKI dengan lantangnya menganjurkan revolusi nasionalis dan sosialis bagi masyarakat Indonesia. Mereka mendesak agar dilakukannya
nasionalisasi dan pembagian kembali tanah perkebunan yang dikenal sebagai land reform.
Agenda gerakan tersebut sebenarnya ingin meraih dukungan dari kalangan buruh
perkebunan.14
Ketika terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur pada tahun 1946 kepada pihak
kesultanan dan kerajaan yang ada di Sumatera Timur, para pekerja perkebunan sebenarnya
bukanlah aktor yang aktif melakukannya. Karena para imigran Jawa itu hanya tunduk
kepada hukum Belanda bukan hukum adat atau kesultanan. Peristiwa itu merupakan
refleksi masyarakat etnis di Sumatera Timur yang menderita akibat ulah elit dan tokoh adat
mereka sendiri. Namun, pada tahun 1947, ketika Belanda mencoba kembali menguasai
wilayah perkebunan dengan kekuatan senjata, muncullah para buruh perkebunan sebagai
tenaga penggerak aktif dalam gerakan perlawanan dan pendukung gigih kampanye
Republik.
Pada saat gerakan untuk memperoleh dukungan dari berbagai elemen
masyarakat, pembentukan lasykar buruh perkebunan menjadi penting dan diperebutkan
oleh kekuatan politik lainnya. Revolusi di Sumatera Timur telah dikuasai oleh kekuatan
politik sayap kiri begitu pula segenap ekonomi perkebunan dengan komando tunggal pihak
Republik.
Keadaan di Sumatera Timur semakin terpolarisasi akibat penguasa Republik
melakukan reaksi berlebihan atas pernyataan berbahaya radikalisme rakyat (pimpinan PKI
dan Tan Malaka) yang menginginkan merdeka secara penuh tanpa berkolaborasi dengan
pihak asing. Pada saat yang sama, kabinet Syahrir menandatangani perjanjian Linggarjati
13
Meskipun basis anggota PKI pada bulan Februari 1946 tercatat 11.000 dan sebagian besar berada di daerah perkotaan, namun untuk memperluas agitasi propaganda kekuatan sayap kiri dapat diperoleh dari masyarakat perkebunan karena nasib penindasan yang dialaminya. Lihat Anthoni Reid
14
bulan November 1946 yang mengakui Republik hanya terdiri dari Sumatera dan Jawa.
Sebagai gantinya, Belanda berjanji untuk bekerja sama dalam membentuk negara
Indonesia Serikat yang berdaulat berdasarkan garis-garis federalis. Strategi Belanda itu
sebenarnya hanya sebagai upaya untuk mengauasi sumber-sumber daya ekonomi di
pulau-pulau luar Jawa dengan menganjutkan regionalisme yang kuat. Kerusuhan akibat perang
pun terjadi di beberapa fasilitas vital perkebunan seperti pembakaran instalasi perkebunan
berikut perumahannya, merusak persediaan barang hasil panen, dan merubah pabrik-pabrik
perkebunan menjadi tempat penyimpanan serta perakitan senjata.
Untuk mengatasi kekacauan itu, diberlakukanlah gencatan senjata dan
pembentukan administrasi sementara non-Republik, di mana warga Belanda diberi
kedudukan pimpinan. Komunitas elit Melayu, yang dulunya berkolaborasi dengan
Belanda, tentunya menyambut baik peristiwa itu dan sekaligus mendukung Negara
Sumatera Timur (NST) dengan memberikan dukungan penuh kepada Belanda di mana
mayoritas Jawa praktis tidak terwakili. Kondisi ini tentunya menimbulkan kesadaran
politik dan membawa perlawanan bagi buruh perkebunan dan petani miskin. Meskipun,
perekonomian perkebunan mengalami peningkatan kembali pada periode 1948-1949,
namun pihak perkebunan tidak tahan mengatasi perlawanan dari buruh perkebunan dan
petani miskin itu. Artinya, tidak semua rakyat menyambut orang-orang Eropa yang
kembali dengan tangan terbuka. Perlawanan yang mereka lakukan adalah menyerobot
tanah-tanah perkebunan dan menolak untuk bekerja kembali di perkebunan. Akibatnya,
menurunkan kepercayaan luar negeri terhadap kemajuan federalisme dan menjadi isu
politis yang dimanfaatkan kaum Republik dengan memecah belah elit Melayu dan Belanda
tersebut.
Kekurangan pekerja untuk perkebunan berimbas pada kenaikan upah dan memaksa
perusahaan menerima persyaratan buruh yang lebih longgar. Perusahaan perkebunan
Belanda kemudian banyak menerima bekas anggota lasykar begitu pula para petani liar.
Mereka kemudian menggabungkan diri ke dalam barisan komunitas perkebunan dan
gerakan buruh perkebunan menemukan momentum baru untuk memusatkan perhatiannya
kepada keamanan perkebunan dan memberikan dukungannya kepada Republik di dalam
wilayah NST. Mereka memberikan bantuan makanan dan penampungan kepada para
simpatisan serta pasukan-pasukan Republik. Bersamaan dengan itu pula buruh perkebunan
menjadi terorganisir di Sumatera Utara seperti halnya di seluruh Indonesia.
Munculnya Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) mendapatkan tempat yang
cita-cita Republik meskipun berhaluan kiri. Salah satu federasi serikat buruh perkebunan
yang besar tergabung dalam SOBSI adalah Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia
(SARBUPRI). Federasi ini melakukan kegiatan pada pembangunan lasykar buruh dan
pemberian dukungan kepada hak-hak petani liar dan mengampanyekan perlawanan
kekuasaan NST-Belanda. Pada saat ini muncullah organisasi buruh tandingan dan
federasi-federasi antikomunis. Gerakan organisasi buruh di Deli mendapatkan tempat yang cukup
berarti disamping gerakan buruh di Jawa serta lebih radikal untuk menyuarakan
kepentingannya bagi Republik. Pada saat inilah, terjadi pergeseran titik pusat gerakan
kemerdekaan yang berkisar pada perbaikan kehidupan buruh perkebunan. Sebagai sebuah
lambang utama imperalisme ekonomi sekaligus sumber vital pendapatan nasional,
perkebunan-perkebunan tersebut menjadi medan pertempuran politik terus menerus.
Radikalisme Gerakan Buruh dan Kontrol Perkebunan 1950-1965
Gerakan buruh di Sumatera Utara mendapatkan dukungan dari Pemerintah
Republik dan pimpinan serikat-serikat buruh radikal, gerakan yang cukup kuat untuk
menyatakan dan bahkan menumbuhkan harapan baru kaum miskin desa. Militansi buruh
sering mengguncangkan kehidupan politik dan ekonomi di tahun 1950-an. Di Sumatera
Utara saja beberapa perusahaan perkebunan asing terpaksa gulung tikar karena pergolakan
gerakan buruh. Pemogokan di bawah pimpinan SARBUPRI pada bulan
Agustus/September 1950 menghasilkan kenaikan upah sebesar 30% ketika harga-harga
barang berada dalam keadaan stabil. Gerakan itu didasarkan pada pengalaman masyarakat
perkebunan kolonial sebagai sumber utama perjuangan untuk melenyapkan penindasan dan
bahkan menghilangkan eksploitasi yang keterlaluan. Keberhasilan SARBUPRI
menghimpun 100.000 pekerja perkebunan di Sumatera Utara menunjukkan bahwa
gerakannya untuk mendapatkan perhatian secara perorangan.
Selain mogok kerja, buruh perkebunan juga melakukan aksi bekerja secara tidak
penuh karena alasan jatah beras atau upah yang tidak sesuai. Selain itu, industri
perkebunan mendapatkan perlawanan dari para petani liar yang menggarap lahan
perkebunan secara tidak sah di Sumatera Utara. Akibatnya, pihak manajemen mengalami
kerugian besar karena menurunnya produktifitas kerja. Keberhasilan gerakan serikat buruh
dan petani liar ini membawa akibat adanya penempatan lebih banyak tenaga kerja di luar
kaum buruh. Perusahaan —dengan asumsi memperoleh keuntungan yang luar biasa seperti
sekali. Sementara pendapatan pemerintah, pada waktu itu, sebagaian besar masih
bergantung pada investasi asing.
Gerakan radikalisme itu muncul dari kalangan PKI dan SARBUPRI yang pada
awalnya meletakkan perjuangan anti-imperialis dan perjuangan kelas, namun titik berat
selalu ditujukan pada dominasi asing daripada kapitalisme. Untuk mendukung perjuangan
itu, maka pendidikan kader selalu menampilkan analisis kelas dalam masyarakat pribumi.
Setelah terjadi pemogokan tahun 1951 yang mengakibatkan penurunan produktivitas, maka
PKI memutuskan untuk melunakkan politik kelasnya dan mendukung semboyan kampanye
nasionalis15
Untuk mengatasi situasi itu, PKI memberikan beberapa alternatif kepada
pemerintah seperti gerakan nasionalisasi langsung industri perkebunan atau pemotongan
upah yang besar bagi pegawai-pegawai dan konsultan asing. Namun, karena pentingnya
investasi asing maka pemerintah memilih kebijakan yang ambigu. Di satu sisi melindungi
kepentingan asing namun juga menganjurkan secara terbuka rencana-rencana
pembangunan yang anti-imperialis dan nasionalis di sisi lain. Sikap ini yang kemudian
mengorbankan gerakan buruh dan petani liar. Untuk mengatasi situasi ini AVROS
kemudian melakukan politisasi gerakan buruh seperti mendirikan PERBUPRI (Persatuan
Buruh Perkebunan Republik Indonesia) yang nonkomunis dan mendapat dukungan dari
PSI. Namun organisasi buruh ini tidak banyak mendapatkan dukungan dari buruh
perkebunan, karena dibentuk dan mendapat banyak fasilitas dari manajemen perusahaan
perkebunan.
. Menjelang 1954, PKI telah membuat beberapa pilihan strategis yaitu merubah
perjuangan kelas dalam ideologi dan praktek ke arah pemecahan pragmatis
masalah-masalah yang dibutuhkan oleh anggota gerakan seperti buruh.
Negara kemudian campur tangan dalam hubungan perburuhan di perkebunan ketika
melihat manajemen semakin lemah untuk mengontrol buruhnya sendiri, pada saat
pemerintah menginginkan bergeraknya ekonomi melalui perusahaan asing ini. Pemerintah
mensponsori panitia arbitrasi, P4P (Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat) melalui UU
Darurat No. 16 (tanpa persetujuan parlemen) yang menganjurkan pemogokan harus
diajukan tiga minggu sebelumnya. Pemerintah juga mengeluarkan perintah yang melarang
pemogokan melalui para panglima daerah militer. Namun, serangkaian kontrol negara
terhadap gerakan buruh ini, justru mendapatkan perlawanan dari SOBSI dan serikat buruh
15
yang tergabung di dalamnya termasuk aksi-aksi buruh seperti pemogokan terus
berlangsung di perusahaan perkebunan Sumatera Utara.
Keterlibatan militer membawa implikasi lebih jauh lagi, bukan hanya untuk
menjamin produksi tidak tersendat-sendat dan mengontrol organisasi buruh yang
berafiliasi dengan partai politik di Sumatera Utara. Namun, sebagai upaya untuk
mengampanyekan anti komunis demi kepentingan keamanan nasional dengan penahanan
dan gerakan kendaraan berlapis baja di Sumatera Utara. Militer juga menyita bacaan
komunis, menahan orang-orang yang diduga sebagai anggota PKI, meskipun banyak juga
sebagaiannya adalah para aktivis politik yang bersimpati kepada gerakan buruh.
Gerakan buruh perkebunan di Sumatera Utara telah dipengaruhi oleh situasi politik
di Jakarta antara gerakan komunis, militer, dan Islam serta nasionalisme yang tetap
menjadi jargon utama Soekarno. Pemberontakan daerah yang salah satunya berbasis di
Sumatera menyebabkan keadaan darurat perang diumumkan dan membenarkan pihak
militer mengambil banyak wewenang kekuasaan pemerintah sipil. Pada tahun 1962 dan
1963 militer melakukan pembersihan setelah terjadinya peningkatan aksi-aksi buruh
khususnya di daerah perkebunan. Aksi-aksi buruh kemudian menurun setelah peristiwa
1965 yaitu terjadinya kudeta militer dan pembunuhan ratusan ribu orang yang dinyatakan
sebagai komunis.
Pembatasan Penguasaan Buruh 1965-1979
Arus balik untuk mengawasi secara ketat gerakan serikat buruh terjadi paska
peristiwa 1965. Perubahan pemerintahan militer di Indonesia pada tahun itu, merupakan
reaksi dari gelombang kekerasan yang diwarnai oleh gerakan kiri, meskipun perdebatan
tentang siapa dalang peristiwa 1965 masih berlangsung sampai sekarang. Sehingga dalam
waktu beberapa bulan saja, gerakan buruh sayap kiri yang selama ini menentukan arah
perjuangan paskakemerdekaan, dinyatakan tidak sah dan dihancurkan. Para petani liar
diusir dari tanah bekas perkebunan sejak tahun 1940-an dan mata pencaharian mereka
dicabut.
Situasi bagi buruh perkebunan khususnya di Pesisir Timur Sumatera Utara saja
banyak terjadi pembataian untuk memusnahkan para komunis dan pendukungnya hingga
puluhan ribu orang pada tahun 1966. Sehingga menurunkan jumlah buruh yang ada di
perkebunan. Bagi mereka yang tidak dibunuh, stigma keanggotaan SARBUPRI amatlah
mengubah kehidupan mereka. Di bawah kekuasan Orde Baru Soeharto, semua serikat
anggota SARBUPRI secara sewenang-wenang dipecat dan dijadikan sebagai daftar hitam
dari buruh perkebunan selanjutnya.
Perlakuan seperti itu juga menimbulkan persoalan bagi pemerintah Orde Baru. Di
satu sisi kebijakan perkebunan baru dirancang untuk merasionalisasikan produksi dan
mengurangi biaya buruh, namun di sisi lain banyak buruh perusahaan perkebunan tercatat
sebagai anggota SARBUPRI. Melalui orientasi developmentalisme Orde Baru, serangkaian
kebijakan untuk mengundang investor asing pun dilakukan kembali. Untuk sektor
perkebunan yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi, kebijakan pengurangan buruh
perkebunan dan memberikan bantuan dana bagi perusahaan besar perkebunan diharapkan
dapat meningkatkan ekonomi pedesaan secara keseluruhan. Kebijakan pengurangan buruh
itu sebagai akibat penerapan teknologi dan reorganisasi, maka bagi buruh yang tidak
memiliki keterampilan dikembalikan ke tempat asalnya dan sebagian besar berasal dari
Jawa termasuk mengganti status buruh tetap menjadi buruh harian lepas. Akibat dari
efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan, maka dalam sepuluh tahun
menunjukkan hasil yang cukup menguntungkan bagi perusahaan.
Buruh harian lepas memperoleh upah jauh di bawah buruh tetap dan karena itu
banyak buruh perkebunan yang bekerja sama dengan kontraktor pemetik buah untuk
bekerja sebagai penyadap karet, dan pemanen sawit. Pekerjaan tambahan itu dilakukan
baik oleh buruh wanita dan pria. Tidak jarang pula bagi buruh tetap yang telah bekerja
selama 10 tahun tidak mendapatkan fasilitas tambahan lagi seperti dulu, termasuk jika
dipindahkan ke wilayah kerja lain maka biaya pindah itu ditanggung oleh buruh itu sendiri.
Banyak pula kebijakan perburuhan yang berbeda pada masa sebelum 1965 misalnya
mengurangi cuti hamil dan waktu kerja yang berlebih dengan imbalan yang jauh dari
kebutuhan saat itu.
Untuk mengatasi kekurangan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan, maka buruh
perkebunan di pinggiran Sumatera Utara itu melakukan pekerjaan sampingan atau disebut
dengan istilah mocok-mocok. Banyak lahan pekerjaan sampingan yang juga dilarang oleh
perusahaan seperti dilarangnya ternak hewan yang berada di sekitar perkebunan, sebelum
1965 ternak itu dibolehkan. Jika satu sumber masukan menjadi kurang menguntungkan,
maka buruh perkebunan mencari sumber-sumber lainnya, termasuk menanam tanaman
kacangan di daerah kelapa sawit yang baru ditanam dan sumber kebun lainnya seperti
kelapa, umbi-umbian dan lain sebagainya.
Situasi ekonomi di sekitar perkebunan menyebabkan terjadinya migrasi buruh ke
daerah tanah Karo. Pekerjaan yang paling sering dilakukan adalah pencurian
produk-produk perkebunan khususnya karet atau sawit. Usaha yang ilegal ini akhirnya menjadi
bagian dari kehidupan desa. Karena kesulitan ekonomi bagi penduduk di perkebunan
Sumatera Utara ini, maka wilayah itu hanya dianggap sebagai gudang buruh murah bagi
keseluruhan kawasan ekonomi baik untuk perkebunan maupun untuk para kapitalis kecil
dari suku-suku lain.
Dengan melihat situasi pinggiran perkebunan di Sumatera Utara ketika dikaitkan
dengan kehidupan pedesaan di Jawa, maka proses mempetanikan dan de-proletarisasi itu
terjadi. Stoler memiliki bukti yang mengatakan bahwa komunitas-komunitas itu memiliki
sikap perlawanan yang kelihatan seperti munculnya pemukiman-pemukiman Jawa di
sekitar wilayah perkebunan, sikap kabur dari perusahaan perkebunan sampai mengambil
dan mempertahankan tanah-tanah perkebunan selepas kemerdekaan.
Penutup
Realitas historis dan kontemporer, dalam studi Stoler, yang terjadi di sekitar
perbatasan perkebunan di Sumatera Utara menunjukkan bahwa terdapat kaitan penting
yang dilakukan oleh kekuatan modal terhadap munculnya perlawanan buruh. Perubahan
sikap secara drastis dan radikal ditunjukkan oleh kuli kontrak yang berasal dari Jawa yang
sebenarnya memiliki konsep rukun. Konsep ini berarti harmoni, kerjasama, kesatuan
usaha, mimin konflik merupakan prinsip-prinsip moral yang dimiliki oleh orang Jawa dan
masyarakat Jawa pada umumnya. Namun, karena kepentingan kapital dari perusahaan
perkebunan yang dimulai sejak pemerintah kolonial mengubah mereka menjadi kelompok
masyarakat yang memprotes, melakukan konfrontasi dari sekedar mempertahankan diri
sampai ke tindakan yang radikal.
Keadaan tidak menunjukkan perubahan yang berarti bagi perbaikan buruh di
perkebunan ketika Indonesia telah memperoleh kedaulatannya dan dipimpin oleh anak
bangsa. Justru konfigurasi etnik dijadikan sebagai alat propaganda bagi penguasa atas
dasar kepentingan kapital. Bentuk-bentuk pemaksaan yang ”ekstra ekonomik” masih tetap
esensial baik pada kapitalisme kontemporer maupun pada tahap-tahap perkembangan
kapitalisme sebeumnya. Pada saat inilah, negara telah berperan penting untuk terus
bertindak sebagai agen kontrol langsung maupun tidak langsung bagi buruh.
Penggabungan tuntutan-tuntutan ekonomi antara buruh dan perusahaan yang tidak
seimbang hanya melahirkan pemberontakan dan kriminalitas sehingga ikut mendorong
Daftar Pustaka
Geertz, Clifford. 1978. Involusi Pertanian; Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: PT. Bharata.
Indera. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Deli Spoorweg Maatschappij di Sumatera Timur. 1883-1940. Tesis S2. Jakarta: PPS - UI.
Mortimer, Rex. 1974. Indonesian Communism under Soekarno: Ideology and Politics, 1959-1965. Ithaca: Cornell University Press.
Mosca, Gaetano. 1939. The Ruling Class. New York: McGraw Hill Book Company.
Pelzer, Karl, J.. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur, 1863-1947. Jakarta: Sinar Harapan.
Reid, Anthony. 1974. Indonesian National Revolution 1945-1950. Melbourne: Longman.
Stoler, Ann, Laura. 1985. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979. Terjemahan..Yogyakarta: Karsa.
Ter Haar, Mr.B.. 1958. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poeponoto. Jakarta: Prajnya Paramita. 1958.