BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang berupa isyarat-isyarat vokal/simbol yang digunakan untuk menyampaikan ide, maksud, pikiran-pikiran untuk kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh kelompok masyarakat. Dari pembicaraan seseorang kita dapat menangkap tidak saja keinginannya, tetapi juga latar belakang pendidikannya, pergaulannya, adat istiadatnya, dan lain sebagainya. Dengan demikian betapa vitalnya bahasa pada setiap kebudayaan termasuk dalam budaya Jepang.
Bahasa digunakan untuk menyampaikan suatu ide, pikiran, hasrat, dan keingina kepada orang lain (Sutedi, 2003:2). Ketika kita menyampaikan ide, pikiran, hasrat, dan keinginan kepada seseorang baik secara lisan maupun tertulis, orang tersebut bisa menangkap apa yang kita maksud, tiada lain karena ia memahami makna (imi) yang dituangkan melalui bahasa tersebut. Jadi, fungsi bahasa adalah untuk menyampaikan (dentatsu) suatu makna kepada seseorang baik secara lisan maupun tertulis.
Jika mengkaji tentang makna, maka dalam tataran linguistik dapat dijelaskan melalui kajian ilmu tentang makna atau disebut semantik. Semantik adalah cabang ilmu yang meneliti arti atau makna. Semantik dibagi menjadi semantik gramatikal dan semantik leksikal.
Salah satu objek kajian semantik adalah idiom. Menurut Djajasudarma (1999:16) idiom adalah makna leksikal terbentuk dari beberapa kata. Kata-kata
yang disusun dengan kombinasi kata lain dapat pula menghasilkan kata yang berlainan. Sedangkan Alwasilah (1990:50) mengatakan idiom adalah grup kata-kata yang mempunyai makna tersendiri yang berbeda dari makna tiap kata-kata dalam grup itu. Idiom adalah persoalan pemakaian bahasa oleh penutur asli. Kita tidak bisa membuat idiom sendiri. Karena itu peranan idiom sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dan istimewanya bahwa tidak semua orang dapat menggunakan idiom dengan benar dan tepat. Misalnya, kata panjang tangan, jantung hati, makan hati dan sebagainya. Orang asing yang sudah mengerti kata jantung hati tidak bisa langsung menyelami makna jantung hati. Dalam bahasa Inggris kita mengenal idiom seperti by all means, it goes without saying dan sebaginya.
Dalam bahasa Jepang idiom disebut kanyouku ( 慣用句), yaitu maknanya
tidak bisa dipahami jika hanya mengetahui makna setiap kata yang membentuk idiom tersebut saja.
Sedangkan ahli linguistik Jepang Takao Matsumura dalam Siregar (skripsi, 2005:2) menyatakan bahwa idiom adalah:
慣用句というのは二つ以上の単語を組み合わせ、ひと塊として一つ
の意味を表すもの
Kanyooku to iu nowa futatsu ijo no tango o kumiawase, hito katamari toshite hitotsu no imi o arawa mono.
‘Idiom adalah gabungan dua buah kata atau lebih yang membentuk sebuah arti kelompok tersebut’. Contohnya:
- Atama ga furui (kepala tua) : ketinggalan zaman, pikirannya ketinggalan zaman, kolot
- Hara ga tatsu (perut berdiri) : marah, amarah, geram
Jika kita ingin memahami dengan benar makna idiom bahasa Jepang, maka kita juga harus memahami dam mengetahui kebudayaan atau kebiasaan orang Jepang. Seperti yang disampaikan oleh P. W. J Nababan (1993:50) bahwa bahasa sebagai sistem komunikasi mempunyai makna hanya dalam kebudayaan yang menjadi wadahnya. Sedemikian eratnya hubungan bahasa dengan kebudayaan wadahnya, hingga sering terdapat kesulitan dalam menerjemahkan kata-kata dalam ungkapan satu bahasa yang lain tidak selalu memiliki arti yang sama. Misalnya seperti ashi o hipparu atau me o moku. Mengartikan kata demi kata, seperti arti menarik kaki orang, yang tentunya dalam bahasa Indonesia bercanda. Dalam bahasa Jepang, malah, lebih tepat diartikan sebagai memegang belakang seseorang atau menyeret seseorang. Seperti kita ketahui me berarti mata dan muku berarti kupas, dan mungkin kita mengartikannya menjadi kupaskan matanya. Tapi makna itu salah, yang benar adalah memandang atau melotot (Garrison, 2001:V).
Kanyouku adalah gabungan dua kata atau lebih yang memiliki hubungan yang erat dan membentuk satu kesatuan dan juga menunjukkan arti khusus. Kanyouku terbentuk dari berbagai macam unsur, diantaranya nama-nama anggota tubuh, nama-nama hewan, kata serapan dan sebagainya (http//digilibi.upi.edu).
Dalam menggambarkan makna tiap idiom maka digunakanlah majas (hiyu). Misalnya dengan menggunakan majas metafora, metonimi, sinekdoke, hiperbola, perumpamaan, dan sebagainya. Penulis melihat hal ini perlu untuk
diteliti agar mengetahui dan menambah pemahaman akan mendeskripsikan makna idiom dengan menggunakan majas (hiyu).
1.2 Perumusan Masalah
Idiom atau kanyouku adalah merupakan gabungan dua kata atau lebih yang memiliki hubungan yang erat dan membentuk satu kesatuan dan juga menunjukkan arti khusus. Dalam mempelajari makna idiom, maka si penutur harus memahami kaitan unsur budaya yang terkandung dalam makna idiom tersebut. Hal ini merupakan suatu yang sulit khususnya bagi pembelajar bahasa kedua. Bahkan di kalangan orang Jepang pun hal ini masih terus dipelajari.
Berdasarkan latar belakan tersebut, maka penulis merangkumkannya dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Majas atau gaya bahasa apa sajakah yang terdapat dalam buku ”Senryu, Haiku Reflections of the times”
2. Bagaimanakah makna yang ditimbulkan dalam idiom yang ditinjau dari penggunaan majas (hiyu)
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Peranan idiom sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Ketika mempelajari idiom maka kita harus mempelajari fungsi, bentuk dan makna idiom.
Dalam bahasa Jepang idiom sangat banyak jumlahnya. Idiom bahasa Jepang dibentuk dari unsur-unsur dari nama-nama anggota tubuh, nama-nama hewan, dan sebagainya. Dalam mendeskripsikan maknanya biasanya digunakan majas atau gaya bahasa untuk semakin mempermudah dalam pemahamannya.
Dalam hal ini, maka penulis membahas tentang makna yang ditimbulkan dalam idiom ditinjau dari penggunaan majas atau gaya bahasa.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka
Yang disebut idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna-makna unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal (Chaer, 1994:296).
Menurut Fatimah Djajasudarma (1999:16) makna idiom adalah makna leksikal yang terbentuk dari beberapa kata. Kata-kata yang disusun dengan kombinasi kata lain dapat pula menghasilka makna yang berlainan. Sebagian idiom merupakan bentuk baku (tidak berubah), artinya kombinasi kata-kata dalam idiom dalam bentuk tetap. Bentuk tersebut tidak dapat diubah berdasarkan kaidah sintaksis yang berlaku bagi suatu bahasa.
Dalam bukunya, Alwasilah (1993:165) mengatakan idiom adalah grup kata-kata yang mempunyai makna tersendiri yang berbeda dari makna tiap kata dalam grup itu. Idiom tidak bisa diterjemahkan secara harafiah ke dalam bahasa asing. Idiom adalah persoalan pemakaian bahasa oleh penutur asli. Kita tidak bisa membuat idiom sendiri.
Idiom dalam bahasa Jepang disebut kanyouku. Frase dalam bahasa Jepang disebut dengan ku (句) yang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu rengo atau
Machida dan Momiyama (1997:114) memberikan batasan bahwa yang dimaksud denagan ku atau frase adalah satuan bahasa yang terdiri dari dua kata atau lebih. Rengo merupakan frase biasa, yang maknanya bisa dipahami cukup dengan megetahui makna setiap kata yang membentuk frase tersebut. Sedangkan kanyouku adalah idiom, yaitu yang maknanya tidak bisa dipahami jika hanya mengetahui makna setiap kata yang membentuk idiom tersebut saja.
Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik (gengogaku) yang mengkaji tentang makna. Semantik memegang peranan penting karena bahasa yang digunakan dalam komunikasi tiada lain hanya untuk menyampaikan suatu makna. Misalnya menyampaikan ide dan pikiran kepada lawan bicara, lalu lawan bicaranya bisa memahami apa yang dimaksud, karena ia bisa menyerap apa makna yang dimaksud (Sutedi, 2003:103).
1.4.2 Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan semantik. Semantik adalah ilmu tentang makna. Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema artinya tanda atau lambang (sign), juga dapat ditemukan dalam kata semaphore. Sebagai kata teknis yang mengacu ke salah satu cabang linguistik, semantik pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883 (Cahyono, 1994:197).
Semantik sebagai pelafalan lain dari istilah la semantique yang diukir oleh M. Breal dari Perancis merupakan suatu cabang studi linguistik general. Oleh karena itu menurut Parera (2004:42) semantik di sini adalah satu studi dan analisis tentang makna-makna linguistik. Menurutnya teori semantik tentang makna
terbagi atas teori referensial, teori mentalisme, teori kontekstual, dan teori pemakaian dari makna. Momiyama (1997:141) dalam Dedi Sutedi menjelaskan jenis majas, yaitu sebagai berikut.
Metafora (inyu) adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal atau perkara, dengan cara mengumpamakannya dengan perkara atau hal lain, berdsarkan pada sifat kemiripan / kesamaannya.
Metonimi (kanyu) adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal atau perkara, dengan cara mengumpamaknnya dengan perkara atau hal lain, berdasarkan pada sifat kedekatannya atau keterkaitan antara kedua hal tersebut.
Sinekdoke (teiyu) adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal atau perkara yang menyebutkan nama bagian sebagai pangganti nama keseluruhannya atau sebaliknya.
Sedangkan Nakamura (1965:131) dalam Dedi (skripsi, 2005:35) mengatakan bahwa hiperbola adalah:
Eigo no hiperbole ni ataru yuho de, (kochouhou) to mo iwareru you ni. Jijitsu o omoi kitte okiku matawa kyoukutan ni chisaku hyogen suru kyochoho no isshuu de aru.
‘Dalam bahasa Inggris – hiperbola disebut juga dengan (kochouhou) dan merupakan suatu jenis penekanan untuk membesarkan atau mengecilkan dari fakta yang sebenarnya’.
Sedangkan perumpamaan didefinisikannya sebagai berikut.
Eigo no simile ni souto suru yuhu de, tatoeru mono tatoerareru mono to o hakki kubetsu shite kakageru no ga sono tokucho to iwareru mata, futsu wa, (atakamo), toka (sanagara), toka (maru de), to ka arui wa (gotoshi) toka (youda), toka (mitai da), toka itta hiyu de aru koto o setsumei suru kotoba ga tsuku to sareru.
’Perumpamaan sepadan dengan simile dalam bahasa Inggris adalah mempunyai keistimewaan dalam perbedaan yang jelas antara perumpamaan dengan yang diumpamakan. Biasanya menggunakan kata-kata yang menerangkan hal perumpamaan seperti : atakamo (seolah-olah), sanagara (seperti), marude (seperti), gotoshi (seperti)’.
Menurut Verhaar (2001:385) semantik adalah cabang ilmu linguistik yang meneliti arti atau makna. Semantik dibagi menjadi semantik gramatikal dan semantik leksikal.
Sebagian idiom merupakan bentuk baku (tidak berubah), dari artinya kombinasi kata-kata dalam idiom dalam bentuk tetap. Biasanya idiom dibedakan menjadi dua jenis, yaitu yang disebut idiom penuh dan idiom sebagian. Yang disebut idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Bentuk-bentuk seperti membanting tulang, menjual gigi dan meja hijau adalah contohnya. Idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih merupakan makna leksikalnya sendiri. Misalnya, buku putih yang
bermakna buku yang memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus (Chaer, 1994:296).
Menurut seorang ahli linguistik Miyaji Yutaka dalam Siregar (skripsi, 2005:2) yang menyatakan bahwa:
慣用句は単語の二つ以序連結体であって、その結びつきが比較的こ
く、全体で決まった意味お持つ元ことだという程度のところが、一
般的な其になっているだろう
Kanyoku wa tango no futatsu ijo no renketsutai de atte, sono ketsubisu ki ga hikakuteikikoku, zentai de kimatta imi o motsu genkoto da to iu teido no tokoro ga, ippaintekina kiyotsurikai ni natte iru darou.
‘Idiom adalah gabunga dua buah kata atau lebih, yang mempunyai perpaduan kata-kata yang relatif sulit dan secara keseluruhan menjadi kata yang memiliki arti tetap, sehingga menjadi suatu pengertian umum’.
Arti dari suatu idiom tidak ditentukan oleh arti kata yang membentuk idiom. Idiom telah memperoleh arti yang dikhususkan untuknya. Kita tidak bisa mengartikannya satu per satu karena idiom bersifat baku.
Secara leksikologis yang dimaksud dengan gaya bahasa yakni: (i) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (ii) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; (iii) keseluruhan ciri bahasa kelompok penulis sastra; (iv) cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan (Depdikbud 1993:297 dalam Pateda).
Sedangkan Gorys Keraf (1996:113) mengatakan bahwa gaya bahasa atau majas adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Dalam penelitian ini makna idiom dikaji melalui penggunaan majas (hiyu). Majas yang digunakan adalah metafora, metonimi dan sinekdoke. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan konsep makna kiasan, karena pada idiom terdapat makna kiasan atau makna yang tidak sebenarnya. Selain itu digunakan juga konsep makna gramatikal, yaitu studi semantik yang khusus mengkaji makna yang terdapat dalam satuan kalimat (Pateda, 2001:71).
1.5 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penulisan proposal ini adalah:
1. Untuk mengetahui jenis majas yang terdapat dalam buku Senryu, Haiku Reflections of the times
2. Untuk mengetahui makna yang ditimbulkan dalam idiom yang ditinjau dari penggunaan majas (hiyu)
1.5.2 Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui jenis majas yang terdapat dalam buku Senryu, Haiku Reflections of the times
2. Menambah wawasan tentang makna yang ditimbulkan dalam idiom yang ditinjau dari penggunaan majas (hiyu)
1.6 Metode Penelitian
Penelitian bahasa bertujuan mengumpulkan dan mengkaji data serta mempelajari fenomena-fenomena kebahasaan. Dan dalam penelitian kebahasaan digunakan berbagai metode yang sesuai dengan objek yang diteliti.
Djajasudarma (1993:1), mengatakan metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan studi kepustakaan, yaitu metode yang mengutamakan pengumpulan buku-buku sebagai sumber data yang membahas tentang idiom. Kemudian kata-kata yang terkumpul diteliti dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu berupa gambaran ciri-ciri data secara akurat sesuai dengan sifat alamiah itu sendiri (Djajasudarma, 1993:15). Selain itu data-data yang bersifat umum ditarik suatu kesimpulan ke hal yang bersifat khusus atau disebut juga dengan metode deduktif. Dalam pengumpulan data penulis menggunakan teknik transkripsi dan terjemahan, yaitu teknik yang dipergunakan untuk mencatat data bahasa Jepang dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.