• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Multiple mieloma (mielomatosis) adalah tumor sel plasma yang ditandai proliferasi salah satu jenis limfosit B dan sel – sel plasma yang berasal dari limfosit tersebut. Sel – sel ini menyebar melalui sirkulasi dan mengendap terutama di tulang, menyebabkan tulang mengalami kerusakan, inflamasi dan nyeri. Lesi dekstruktif akan mengikis tulang sehingga gerakan ringanpun dapat menyebabkan fraktur (Corwin, 2009).

Limfosit adalah salah satu komponen sistem imun tubuh. Limfosit dibagi menjadi 2 yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit B akan merespon infeksi dengan berubah menjadi sel plasma. Sel plasma akan menhasilkan antibodi yang menbantu tubuh melawan infeksi. Pada Multiple mieloma, reaksi inflamasi (tumor) menyerang sumsum tulang lebih dari satu tempat (American Cancer Society, 2011).

Multiple mieloma merupakan keganasan sel plasma yang jarang, terjadi hanya 1 % dari keseluruhan keganasan hematologis. Multiple mieloma didiagnosis dalam jumlah berimbang antara pria dan wanita. Penyakit ini juga lebih sering didiagnosis pada kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih, terjadi secara primer pada usia 40 tahun dan puncak insidensi pada usia 60 tahun (Otto , 2005).

Di Amerika Serikat, insiden multiple mieloma sekitar 4 kasus dari 100.000 populasi. Pada tahun 2004 diperkirakan ada 15.000 kasus baru multiple mieloma. Insidennya ditemukan dua kali lipat pada orang Afro Amerika dan pada pria. Penyakit ini biasa dijumpai pada orang lanjut usia, dengan usia rata – rata di atas 62 tahun, sedangkan 35 % kasus terjadi di bawah usia 60 tahun (Hoffbrand, 2002). Di Inggris, terdapat angka kematian tahunan rata – rata 9 orang per juta penduduk. Di Indonesia lebih dari 60 % pasien multiple mieloma berusia lebih dari 60 tahun, dengan perbandingan jenis kelamin kurang lebih sama antara pria

(2)

dan wanita. Sekitar 50 % pasien bersuku Jawa, dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan tidak bekerja (Tadjoedin, 2011)

Angka kematian akibat multiple mieloma cukup tinggi. Berbagai komplikasi juga akan dialami pasien multiple mieloma seperti anemia, trombositopenia, leukopenia, gangguan ginjal karena proses filtrasi akan dihambat timbunan kalsium dan antibodi, serta myeloma bone disease yaitu peningkatan resorpsi tulang, kemudian osteoporosis sehingga meningkatkan resiko terjadinya patah tulang. Resiko – resiko tersebut harapannya dapat dikurangi untuk mempertinggi angka harapan hidup dan kesejahteraan pasien yang terutama adalah pasien geriatri.

B. Tujuan

Tujuan dari penulisan referat tentang Multiple Mieloma ini, antara lain : 1. Mengetahui definisi dari Multiple Mieloma.

2. Mengetahui anatomi dan fisiologi multiple myeloma 3. Mengetahui etiologi multiple myeloma

4. Menjelaskan patofisiologi Multiple Mieloma.

5. Menegakan penegakkan diagnosis Multiple Mieloma. 6. Mengetahui pemeriksaan radiologi multiple myeloma. 7. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Multiple Mieloma. 8. Mengetahui prognosis dari multiple mieloma

BAB II

MIELOMA MULTIPLE

(3)

Mieloma multiple adalah diskrasia sel plasma neoplastik yang berasal dari satu klon (monoklonal) sel plasma, manisfestasinya adalah proliferasi sel plasma imatur dan matur dalam sumsum tulang. Konsekuensi klinis sel plasma abnormal mencakup kerusakan tulang dan penggantian unsur sumsum tulang normal, menyebabkan anemia, trombositopenia, dan leukopenia; perubahan sistem imun, dengan resiko mendapati infeksi meningkat; abnormalitas hemostatik dengan manifestasi perdarahan; dan kriglobunemia dan hiperviskositas yang terkait dengan protein plasma komponen M (Baldy, 2006).

B. Anatomi dan Fisiologi

Anatomi

Lokasi predominan Myeloma multipel mencakup tulang-tulang seperti vertebra, tulang iga, tengkorak, pelvis, dan femur. 9

Awal dari pembentukan tulang terjadi di bagian tengah dari suatu tulang. Bagian ini disebut pusat-pusat penulangan primer. Sesudah itu tampak pada satu atau kedua ujung-ujungnya yang disebut pusat-pusat penulangan sekunder. 10

Bagian-bagian dari perkembangan tulang panjang adalah sebagai berikut: 1. Diafisis

Diafisis merupakan bagian dari tulang panjang yang dibentuk oleh pusat penulangan primer, dan merupakan korpus dari tulang.

2. Metafisis

Metafisis merupakan bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang (diafisis).

(4)

Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak, yang akan menghilang pada tulang dewasa.

4. Epifisis

Epifisis dibentuk oleh pusat-pusat penulangan sekunder.

Gambar 1. Bagian dari tulang panjang matur 10

Secara makroskopis tulang terdiri dari dua bagian yaitu pars spongiosa (jaringan berongga) dan pars kompakta (bagian yang berupa jaringan padat). Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum); lapis tipis jaringan ikat (endosteum) melapisi rongga sumsum & meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak. Berdasarkan bentuknya, tulang-tulang tesebut dikelompokkan menjadi :

(5)

1. Ossa longa (tulang panjang): tulang yang ukuran panjangnya terbesar, contohnya os humerus dan os femur.

2. Ossa brevia (tulang pendek): tulang yang ukurannya pendek, contoh: ossa carpi.

3. Ossa plana (tulang gepeng/pipih): tulang yg ukurannya lebar, contoh: os scapula.

4. Ossa irregular (tulang tak beraturan), contoh: os vertebrae. Ossa sesamoid, contoh: os patella

(6)

Gambar 2. Struktur Anatomi Tulang Manusia

Fisiologi

Myeloma, seperti kanker lainnya, berawal dari dalam sel. Pada kanker, sel baru terbentuk ketika tubuh tidak memerlukannya dan sel yang

(7)

tua atau rusak tidak dimatikan sesuai waktunya. Sel-sel yang terbentuk dapat membentuk massa jaringan yang dinamakan tumor. Myeloma dimulai ketika sel plasma menjadi abnormal. Sel-sel abnormal membelah dirinya sendiri secara terus-menerus. Plasma sel yang abnormal ini dinamakan sel myeloma.

Sel myeloma mulai berkumpel di sumsum tulang. Mereka merusak bagian padat dari tulang. Ketika sel myeloma tertumpuk pada beberapa tulang, maka kelainan ini dinamakan Multiple Myeloma. Penyakit ini juga dapat merusak organ dan jaringan lainnya termasuk ginjal.

Sel myeloma membentuk antibodi yang dinamakan protein M dan protein lainnya. Protein-protein ini dapat tertumpuk di darah, urin, dan organ.

Gambar 3. Sel plasma normal melindungi tubuh dari benda asing

C. Etiologi

Kejadian

keganasan sel plasma

mungkin meupakan suatu

proses multi langkah. Faktor ggenetik mungkin berperan pada orang-orang yang rentan untuk terjadinya perubahan yang menghasilkan proliferasi sel plasma sebagai prekursor, membentuk klon yang stabil dari sel plasma yang memproduksi protein M seperti pada MGUS (monoclonal gammanopathy of undetermined significance). Dalam sel mana terjadi transformasi maligna tepatnya terjadi belum jelas. Dapat ditunjukkan sel limfosit B yang agak dewasa yang termasuk klon sel maligna di darah dan sumsum tulang, yang

(8)

dapat menjadi dewasa menjadi sel plasma. Terjadinya onkogen yang paling penting diduga berlangsung dalam sel pendahulu yang mulai dewasa ini atau bahkan mungkin dalam sel plasma sendiri (Syahrir, 2010).

Suatu kelainan genetik yang spesifik belum teridentifikasi. Kromosom yang sering terlibat hanya kromosom 1,13 (13q-) dan 14 (14q+) menimbulkan dugaan bahwa gen-gen yang terlokalisasi pada kromosom ini telah terganggu regulasinya. Antara lain dijumpai kelainan dalam gen supresor Rb yang terletak pada 13 q c-myc-gen dan bcl-1-gen, yang berhubungan dengan t (11;14). Perubahan-perubahan di dalam gen ras dan dalam gen supresor tumor p53 terutama dijumpai dalam stadium lanjut pertumbuhan sel plasma maligna. Laporan-laporan terakhir menunjukkan bahwa pentingnya stimulasi autokrin dari klon ganas oleh IL-6 dan proses aktifasi onkogen dari berbagai stadium penyakit ini. Pertumbuhan dan diferensiasi sel mieloma mungkin diregulasi oleh berbagai sitokin, dengan menggunakan sistem pengaturan autokrin dan parakrin. Terutama IL-6 ternyata merupakan faktor pertumbuhan penting dan sentral untuk sel mieloma in vitro dan in vivo. Konversi dari sel monoklonal stabil yang terkontrol menjadi tidak terkontrol, progresif menjadi tumor ganas MM memerlukan satu atau lebih perubahan tambahan. Predisposisi genetik, paparan radiasi, rangsangan antigenik yang kronis dan berbagai kondisi lingkungan dan pekerjaan mempengaruhi terjadinya MM ini walau hanya dalam persentasi yang kecil (Syahrir, 2010).

D. Patafisiologi

Myeloma, seperti kanker lainnya, berawal dari dalam sel. Pada kanker, sel baru terbentuk ketika tubuh tidak memerlukannya dan sel yang tua atau rusak tidak dimatikan sesuai waktunya. Sel-sel yang terbentuk dapat membentuk massa jaringan yang dinamakan tumor. Myeloma dimulai ketika sel plasma menjadi abnormal. Sel-sel abnormal membelah dirinya sendiri secara terus-menerus. Plasma sel yang abnormal ini dinamakan sel myeloma.

(9)

Perkembangan sel plasma maligna mungkin merupakan suatu proses multi langkah, Adanya serial perubahan gen yang mengakibatkan penumpukan sel plasma maligna,adanya perkembangan perubahan di lingkungan mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan system imun untuk mengontrol penyakit. Dalam proses multi langkah ini melibatkan di dalamnya aktivasi onkogen selular,hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor, dan gangguan regulasi gen sitokin.

Para protein dalam sirkulasi dapat memberi berbagai komplikasi, seperti hipervolemia, hiperviskositas, diathesis hemorrargik dan krioglobulinemia. Faktor pengaktif osteoklas (OAF) seperti IL1-β, limfotoksin dan tumor nekrosis factor (TNF) bertanggung jawab atas osteolisis dan osteoforosis yang demikian khas untuk penyakit ini. Karena kelainan tersebut pada penyakit ini dapat terjadi fraktur (mikro) yang menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria.

Konsentrasi immunoglobulin normal dalam serum yang sering sangat menurun dan fungsi sumsum tulang yang menurun dan neutropenia yang kadang-kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi.

Keluhan dan gejala pada pasien Mieloma Multipel berhubungan dengan ukuran masa tumor, kinetik pertumbuhan sel plasma dan efek fisikokimia, imunologik dan humoral produk yang dibuat dan disekresi oleh sel plasma ini, seperti antara lain para protein dan faktor pengaktivasi osteoklastik (osteoclastic activating factor/OAF). Pada waktu timbul gejala klinik jumlah total sel plasma ditaksir 1011 atau 1012.

Faktor pengaktif osteoklast (OAF) seperti IL 1-β, limfotoksin dan tumor necrosis factor (TNF) bertanggung jawab atas osteoisis dan osteoporosis yang demikian khas untuk penyakit ini. Karena kelainan tersebut pada penyakit ini dapat terjadi fraktur (mikro) yang menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia, dan hiperkalsiuria. Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum yang

(10)

sering sangat menurun dan fungsi sumsum tulang yang menurun dan netropenia yang kadang – kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi.

Gagal ginjal pada MM disebabkan oleh karena hiperkalsemia, adanya deposit myeloid pada glomerulus, hiperurisemia, infeksi yang rekuren, infiltrasi sel plasma pada ginjal, dan kerusakan tubulus ginjal oleh karena infiltrasi rantai berat yang berlebihan.

Anemia disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian sumsum tulang dan inhibisi secara langsung terhadap proses hematopoeisis, perubahan megaloblastik akan menurunkan produksi vitamin B12 dan asam folat.

Gambar. 4 Sel

plasma normal

melindungi tubuh

(11)

1. Manifestasi klinis

a. Nyeri, terutama nyeri tulang

b. Gejala anemia: letargi, kelemahan, dispenia, pucat, takhikardi

c. Infeksi berulang, yang berkaitan dengan penurunan produksi anti bodi. d. Perdarahan abnormal

e. Gagal ginjal

f. Ganggusn fungsi ginjal dan jantung (Sudoyo, 2009). 2. Patofisiologi

a. Nyeri tulang

Disebabkan karena lesi litik tulang, dan biasanya adalah di tulang punggung. Keadaan ini disebabkan oleh aktifitas yang berlebihan dari faktor pengaktif osteoklast. Seperti IL-1beta, TNF-beta atau IL-6 dimana bertanggung jawab atas osteolisis dan osteoporosis. Faktor-faktor ini juga menghambat aktifitas osteoblastik kompensatori. Nyeri lokal dapat juga disebabkan oleh tekanan tumor pada medula spinalis dan saraf-saraf yang keluar dari medulla spinalis. b. Infeksi berulang

Penyebabnya :

- Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum menurun yang sering, sangat menurun.

- Fungsi sumsung tulang yang menurun. - Netropenia.

Yang kadang-kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi.

c. Anemia.

Disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian dan inhibisi sumsung tulang secara langsung terhadap hematopoisis. Perubahan megaloblastik akan menurunkan produksi vitamin B12 dan asam folat.

d. Perdarahan abnormal.

Disebabkan oleh karena protein mieloma mengganggu fungsi trombosit dan faktor pembekuan.

Gagal ginjal disebabkan oleh karena hiperkalsemia adanya deposit mieloid pada glomerulus. Hiperurisemia, infeksi rekuren,

(12)

infiltrasi sel plasma pada ginjal, dan kerusakan di tubulus ginjal oleh karena infiltrasi rantai berat yang berlebihan.

e. Gangguan fungsi ginjal dan jantung.

Disebabkan karena pengendapan rantai ringan dalam benttuk amiloid atau sejenis (Syahrir, 2010).

E. Penegakkan Diagnosis

Kriteria Diagnostik Mieloma Multiple (MM) : Kriteria Mayor :

1 Plasmasitoma pada biopsy jaringan. 2 Sel plasma sumsum tulang >30%

3 M Protein : IgG >35gr/dl, IgA >20gr/dl, kappa atau lambda rantai ringan pada elektroforese urin.

Kriteria Minor :

1. Sel Plasma sumsum tulang 10% - 30%

2. M protein pada serum dan urin (kadar lebih kecil dariIII) 3. Lesi litik pada tulang

4. Normal residual IgG < 500 mg/L, IgA < 1 g/L, atau IgG < 6 g/L

Diagnosis MM bila terdapat criteria 1 mayor dan 1 minor atau 3 kriteria minor yang harus meliputi criteria A + B. kombinasi I dan A bukan merupakan diagnosis MM

Untuk menegakkan diagnosis Mieloma Multipel (MM) harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik terlebih dahulu yang teliti sebelum melakukan pemeriksaan penunjang yang tepat.

a. Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan seperti anemia, mual-mual, muntah, dehidrasi, infeksi dan atau mengeluh sering merasakan nyeri hebat yang terus menerus pada tulang tengkorak, vertebrata, sternum, iga-iga, ileum, sacrum, pangkal-pangkal sendi bahu atau panggul. Nyeri bersifat hilang timbul, berpindah-pindah dan menyerupai reumatik, paling sering pada tulang punggung.

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik pasien memperlihatkan wajah yang pucat, tulang yang lunak, dan terdapat masa jaringan lunak. Pasien dapat memiliki gejala neurologis yang berhubungan dengan neuropati

(13)

atau kompresi tulang belakang. Ada pula gejala neurologis yang unik berupa ensefalopati hiperkalsemia yaitu bingung, delirium atau koma, mual – mual, muntah dan dehidrasi. Pasien dengan amiloidosis dapat mempunyai lidah yang membesar, neuropati, atau jantung kongestif. c. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis MM ditegakan mulai dari trias diagnostik klasik, sel plasma > 10% + M protein + lesi litik. Protein mono klonal ditemukan dalam serum atau urin atau keduanya dihampir 98% pasien. Protein serum adalah IgG dua pertiganya, IgA satu pertiganya, dan jarang IgM atau IgD dan kasus campuran. Urin mengandung protein Bence -Jones pada dua pertiga kasus, namun pada 15% k Bence – -Jones ada tanpa paraprotein serum (Syahrir, 2010).

Mieloma multiple merupakan keganasan sel plasma yang mempunyai karakteristik adanya destruksi tulang, gagal ginjal, anemia, dan hiperkalsemia.

Manifesti klinik mieloma multiple bisa menimbulkan gejala sistemik, sehingga sulit untuk mendiagnosis penyakit tersebut (Bukhoeri, 2010).

(14)

Gambar.5 Elektroforesis protein serum pada mieloma multiple menunjukkan parapotein yang abnormal pada region globulin γ dengan penurunan kadar dasar globulin

β dan γ.

Sumsusm tulang memperlihatkan sel plasma meningkat, lebih dari 10% dan biasanya 30%, seiring dengan bentuk abnormal-“sel mieloma”. Pengujian imunologis menunjukan sifat sel ini adalah monoklonal serum. Penelitian tulang rangka memperlihatkan daerah osteolisis atau penipisan tulang merata (20%) (Syahrir, 2010).

(15)

Gambar 6. Sum-sum tulang pada mieloma multiple menunjukkan sejumlah besar sel plasma, dengan banyak bentuk abnormal.

Penelitian tulang rangka memperlihatkan daerah osteolisis atau penipisan tulang merata (generalized bone rarefaction) (20%). Fraktur patologis dapat saja terjadi. Tanpa lesi ditemukan pada 20% pasien (Syahrir, 2010).

Gambar 7. Rotgen tengkorak pada mieloma multiple menunjukkan banyak lesi lubang.

Adapun secara terperinci dalam pemeriksaan penunjang dari Multiple Mieloma untuk proses penegakan diagnosisnya adalah sebagai berikut :

- Adanya anemia normositik atau makrositik. Pembentukan rouleaux menonjol pada sebagian kasus. Neutropenia dan trombositopenia

(16)

ditemukan pada penyakit lanjut. Sel plasma abnormal nampak pada filamen darah dari 15% pasien dan perubahan leuko-eritroblastik kadang – kadang terlihat.

- Laju endapan eritrosit / LED tinggisering > 100 mm/jam.

- Peninggian kalsium serum terjadi pada 45% pasien. Terdapat fosfatase lindi serum normal, kecuali terjadi fraktor patologis.

- Urea darah meninggi diatas 14 mmol/L dan kreatinin serum akan meningkat pada 20% kasus. Deposit berpotein dari proteinuria Bence-Jones, hiperkalsemia, asam urat, amiloid, dan pielonefritis semuanya dapat memperberat daya kerja dari ginjal.

- Albumin serum rendah ditemukan pada penyakit lanjut.

- CRP merupakan pertanda dari IL-6 yaitu faktor pertumbuhan dari mieloma multipel.

- β-2 mikroglobulin merupakan indikator prognostik yang akan meningkat pada stadium lanjut dari mieloma multipel. Seringkali meningkat dan kadar yang lebih tinggi berhubungan dengan prognosis lebih buruk.

- Pada darah perifer ditemukan penurunan CD4 (sel T helper limfosit) dan peningkatan CD8 (sel T suspensor limfosit).

- Sumsusm tulang memperlihatkan sel plasma > 10%, seringkali dengan banyak inti dan bentuk abnormal lainnya.

- Paraprotein terdiri dari dari IgG 70% ; IgA 20% ; IgM tidak sering ; IgD dan IgE jarang.

- Foto rontagen, CT scan, atau MRI memperlihatkan lesi litik yang biasanya terdapat pada tengkorak dan skeleton aksial dan/atau osteoporosis, sering dengan fraktur patologis. kadang–kadang, pasien memiliki deposit sel plasma lokalisata, biasanya pada skeleton aksial (plasmasitoma multipel atau soliter).

- Data prognostik meliputi kadar hemoglobin, kadar β2M dalam serum, kreatinin serum, dan luasnya penyakit skeletal (Mehta, 2008).

(17)

Saat ini ada dua derajat multiple myeloma yang digunakan yaitu Salmon Durie system yang telah digunakan sejak 1975 dan the International Staging System yang dikembangkan oleh the International Myeloma Working Group dan diperkenalkan pada tahun 2005.

Salmon Durie staging : a) Stadium I

 Level hemoglobin lebih dari 10 g/dL  Level kalsium kurang dari 12 mg/dL

 Gambaran radiograf tulang normal atau plasmositoma soliter

 Protein M rendah (mis. IgG < 5 g/dL, IgA < 3 g/dL, urine < 4g/24 jam)

b) Stadium II

 Gambaran yang sesuai tidak untuk stadium I maupun stadium III c) Stadium III

 Level hemoglobin kurang dari 8,5 g/dL  Level kalsium lebih dari 12 g/dL

 Gambaran radiologi penyakit litik pada tulang

 Nilai protein M tinggi (mis. IgG >7 g/dL, IgA > 5 g/dL, urine > 12 g/24 jam)

d) Subklasifikasi A meliputi nilai kreatinin kurang dari 2 g/dL e) Subklasifikasi B meliputi nilai kreatinin lebih dari 2 g/dl

International Staging System untuk multiple myeloma a) Stadium I

β2 mikroglobulin ≤ 3,5 g/dL dan albumin ≥ 3,5 g/dL CRP ≥ 4,0 mg/dL

(18)

Tidak ditemukan delesi kromosom 13 Serum Il-6 reseptor rendah

durasi yang panjang dari awal fase plateau

b) Stadium II

Beta-2 microglobulin level >3.5 hingga <5.5 g/dL, atau Beta-2 microglobulin <3.5g/dL dan albumin <3.5 g/dL c) Stadium III

Beta-2 microglobulin >5.5 g/dL

F. Pencitraan Radiologi multiple myeloma

Peran pencitraan radiologi di multiple myeloma pada dasarnya berguna dalam pementasan awal penyakit, deteksi dan karakteristik komplikasi, dan dalam evaluasi respon pasien terhadap pengobatan.

Lesi destruktif tulang ditunjukkan oleh teknik pencitraan myeloma disebabkan oleh myeloma cell mediated meningkatkan kerusakan osteoklas mediated dan menghambat osteoblast mediated anabolisme tulang. Sel-sel myeloma mengikatkan ke osteoklas langsung dari berbagai molekul adhesi, satu contoh menjadi molekul adhesi sel vaskuler-1 (VCAM-1), dengan stimulasi resultan osteoklastogenesis.

Efek dari sel-sel myeloma pada etenuasi aktivitas osteoblastik dapat dijelaskan, untuk sebagian besar, dengan menghambat diferensiasi osteoblastik menjadi osteoblas dewasa. Jalur utama yang terlibat dalam penghambatan osteoblastogenesis adalah melalui kontak sel-sel langsung antara sel-sel batang mesenchymal (MSC) dan sel-sel myeloma. Adhesi dari kedua entitas melalui VCAM-1 dan hasil very late antigen-4 (VLA-4) dalam reduksi ekspresi faktor 2 (Runx2) transkripsi, faktor penting yang terlibat dalam osteoblas transkripsi. Kedua, sel-sel myeloma mengeluarkan faktor-faktor yang menghambat diferensiasi osteoblas, seperti Dickkopf 1 (DKK-1),

(19)

tumor necrosis factor alpha (TNF-α), larut frizzled terkait protein-2 (sFRP-2), dan Activin A. DKK -1 dan sFRP-2 bertindak dengan menghambat jalur Wnt, jalur yang memainkan peran penting dalam pematangan osteoblastik.

Sebuah survei kerangka lengkap mencakup pandangan frontal dan lateral tengkorak, tulang belakang leher, dada dan pinggang, pandangan coned-down frontal dari sarang sumbu, serta pandangan frontal tulang rusuk, humeri, femora, lutut, dan panggul. Ada hubungan yang jelas antara tingkat penyakit, dalam hal jumlah lesi litik pada presentasi, dan beban tumor pada diagnosis. Hampir 80% pasien dengan multiple myeloma akan memiliki bukti radiologi keterlibatan tulang pada survei kerangka paling sering mempengaruhi situs-situs berikut: vertebra di 66%, tulang rusuk di 45%, tengkorak di 40%, bahu 40%, panggul 30% , dan tulang panjang di 25%. Radiografi polos memiliki keuntungan atas MRI dalam mendeteksi lesi tulang kortikal. Ini juga memiliki keuntungan menjadi tersedia secara universal, dan relatif murah

1. Gambaran foto polos X-ray

Gambaran foto x-ray dari multiple myeloma berupa lesi multiple, berbatas tegas, litik, punch out, dan bulat pada tengkorak, tulang belakang, dan pelvis. Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di rongga medulla , mengikis tulang cancellous, dan secara progresif menghancurkan tulang kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien myeloma, dengan sedikit pengecualian, mengalami demineralisasi difus. Pada beberapa pasien, ditemukan gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi.pada foto polos memperlihatkan gambaran :

- Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang, terutama tulang belakang yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan

(20)

myeloma. Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda radiologis satu-satunya pada myeloma multiple. Fraktur patologis sering dijumpai.

- Fraktur kompresi pada badan vertebra , tidak dapat dibedakan dengan osteoprosis senilis.

- Lesi-lesi litik “punch ou:” yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.

- Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks , menghasilkan massa jaringan lunak.

Gambar 8. Foto rontgen lateral kepala: lesi litik difus atau pepper pot skull apperance.

(21)

Gambar 9. AP radiografi kanan humerus: lesi litik difus humerus kanan (arrowed) dengan fraktur patologis distal diaphysis lama (panah)

Gambar 10. Foto lumbal lateral menggambarkan deformitas pada CV lumbal 4 akibat plasmacytoma

(22)

Gambar 11. Gambaran radiologi pada os femur dekstra. Tampak gambaran khas suatu lesi myeloma tunggal berupa gambaran lusen berbatas tegas pada regio interocanter. Lesi-lesi lebih kecil tampak pada trocanter mayor

Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada suatu penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna vertebra 66%, iga 44%, tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%, klavicula 10% dan scapula 10%.

Salah satu kelemahan utama radiografi polos adalah tingkat yang tinggi palsu-negatif 30-70%, yang mengarah ke kesalahan penilaian signifikan dalam diagnosis dan penentuan stadium pasien dengan multiple myeloma . Keterlibatan sumsum tulang difus, yang mungkin atau mungkin tidak terkait dengan kerusakan tulang kortikal, tidak dievaluasi menggunakan radiografi konvensional. Lesi litik menjadi jelas pada radiografi konvensional saat 30-50% dari kepadatan mineral tulang sudah hilang. Selanjutnya, osteopenia difus sebagai akibat dari multiple myeloma tidak dapat dibedakan pada

(23)

radiografi polos dari penyebab umum lebih osteopenia, seperti pikun dan osteoporosis postmenopause. Sebuah kelemahan praktis radiografi polos adalah bahwa posisi bervariasi diperlukan untuk film radiografi, yang menyakitkan bagi pasien yang sering tua dan cacat akibat fraktur patologis sebelumnya.

2. CT-Scan

CT adalah modalitas pencitraan sensitif dalam mendeteksi efek osteolitik dari multiple myeloma dan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan foto polos dalam mendeteksi lesi litik kecil. Temuan CT di multiple myeloma terdiri dari penekanan pada lesi litik, perluasan lesi dengan massa jaringan lunak, osteopenia difus, patah tulang, dan yang jarang ditemuakn osteosclerosis. Multi-detektor CT lebih unggul radiografi konvensional untuk mendefinisikan lesi litik dan, dalam kombinasi dengan pencitraan MR, dibantu dalam pementasan luasnya penyakit. CT memungkinkan evaluasi yang lebih akurat dari daerah beresiko patah tulang daripada MR pencitraan. CT dapat digunakan dalam mengidentifikasi kerusakan tulang dalam kasus di mana MR adalah negatif, dan karenanya dapat memberikan informasi pencitraan komplementer. CT memiliki keuntungan akurat menunjukkan keberadaan dan penyebaran lesi extraosseous dan merupakan alat pilihan yang digunakan dalam pencitraan baku tulang belakang atau panggul biopsi tulang MR pencitraan didefinisikan lesi fokal.

(24)

Gambar 12. CT-Scan axial panggul: difus myeloma melibatkan sakrum dan tulang iliaka bilateral, dengan kerusakan korteks tulang iliaka kiri

(panah). 3. Pencitraan MRI

MRI potensial digunakan pada multiple myeloma karena modalitas ini baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit myeloma berupa suatu intensitas bulat , sinyal rendah yang fokus di gambaran T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.8,9,15

Sayangnya, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola menyerupai myeloma. MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun tidak spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple myeloma seperti pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk menilai plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang.9

(25)

Gambar 13. Foto potongan koronal T1 weighted-MRI pada suatu lesi myeloma di humerus. Gambaran ini menunjukkan lesi dengan intensitas rendah. Batas

korteks luar terkikis tetapi intak ; namun, lesi telah melewati korteks bagian dalam

Gambar 13. T1 weighted-MRI dari humerus. Gambaran ini memperlihatkan lesi myelomatosa yang predominan hipointens hingga isointens pada medulla

dari diafisis. Lesi tampak pada aspek anterior korteks.(dikutip dari kepustakaan 9)

(26)

G. Diagnosis Banding Multiple Mieloma

Diagnosis multiple myeloma seringkali jelas karena kebanyakan pasien memberikan gambaran klinis khas atau kelainan hasil laboratorium, termasuk trias berikut

 Protein M serum atau urin (99% kasus)

 Peningkatan jumlah sel plasma sumsum tulang

 Lesi osteolitik dan kelainan abnormal lain pada tulang.

Keadaan yang dapat menjadi diagnosis banding multiple myeloma berupa MGUS, smoldering myeloma, amiloidosis primer, dan metastasis karsinoma.

Perbedaan pasien MGUS (benign monoclonal gammanophaty) dengan pasien yang mengalami MM sulit bila pada awalnya ditemukan protein M. pada pasien asimtomatik, protein M < 3g/dL, kurang dari 10% plasma sel sumsum tulang, tidak ditemukan lesi osteolitik, anemia , hiperkalsemia, atau gangguan ginjal merupakan ciri dari MGUS.

Pada pasien asimptomatik dengan nilai protein M lebih dari 3 g/dL dan sel plasma sumsum tulang lebih dari 10% sesuai untuk diagnosis smoldering myeloma. Pada pasien asimptomatik dengan protein M lebih dari 3g/dL dan monoclonal light chain pada urine, MM lebih dipertimbangkan.

Perbedaan antara amiloidosis dan MM sulit karena keduanya merupakan gangguan proliferative sel plasma dengan gejala-gejala berbeda tetapi gambaran yang tumpang tindih. Pada amiloidosis , proporsi sel plasma sumsum tulang biasanya kurang dari 20%, tidak ditemukan lesi osteolitik, dan jumlah protein bence Johnson sedang.

Pada pasien tanpa komponen protein M dalam serum maupun urine, tetapi ditemukan lesi osteolitik, suatu metastase kanker seperti hipernefroma, sebaiknya diekslusi sebelum diagnosis nonsecretory myeloma dipertimbangkan. Pada pasien dengan gejala konstitusional , lesi osteolitik

(27)

yang tersebar, komponen protein M sedang, dan kurang dari 10% sel plasma sumsum tulang, metastase kanker dengan MGUS harus diekslusi.

H. Penatalaksanaan Multiple Mieloma

Pada umumnya, pasien membutuhkan penatalaksanaan karena nyeri pada tulang atau gejala lain yang berhubungan dengan penyakitnya. Regimen awal yang paling sering digunakan adalah kombinasi antara thalidomide dan dexamethasone. Kombinasi lain berupa agen nonkemoterapeutik bartezomib dan lenalidomide sedang diteliti. Bartezomib yang tersedia hanya dalam bentuk intravena merupakan inhibitor proteosom dan memiliki aktivitas yang bermakna pada myeloma. Lenalidomide , dengan pemberian oral merupakan turunan dari thalidomide.

Pada pasien usia tua > 65 tahun, kombinasi obat oral berupa mephalan dan prednison (MP) merupakan standar pengobatan di Eropa. Terdapat dua pilihan obat kombinasi yang direkomendasikan, yaitu melphalan/prednison/thalidomide (MPT)dan bortezomib/melphalan/prednison (VMP). Keduanya dierima oleh European Medicines Agency (EMA). Selain itu, ada sebuah obat kombinasi lain yang digunakan dan diterima oleh EMA, yaitu bendamustine. Bendamustine dapat dijadikan pilihan untuk terapi kombinasi pada pasien multiple myeloma khususnya yang memiliki gejala klinis neuropati. Penggunaan kombinasi lenalidomide dan dexamethasone dosis rendah banyak digunakan di center USA tetapi terapi ini tidak diterima oleh negara-negara di Eropa.

Dalam sebuah penelitian disebutkan, untuk pasien dengan klinis yang baik dan berusia < 65 tahun, induksi yang diikuti terapi dosis tinggi transplantasi sel induk autolog (Autologous Stem Cell Transplantation: ASCT) merupakan salah satu standar pengobatan. Tingkat respon terhadap terapi induksi telah meningkat secara signifikan dengan menggunakan kombinasi beberapa agen. Bortezomib-deksametason, (vincristine, adriamycin dan

(28)

dexamethasone dosis tinggi), telah menjadi pilihan terapi induksi utama sebelum ASCT. Penambahan agen ketiga bersama dengan bortezomib-deksametason, misal thalidomide, doxorubicin, lenalidomide, atau siklofosfamid,telah menunjukkan tingkat respon yang lebih baik di uji coba tahap II. Kombinasi tiga obat termasuk setidaknya bortezomib dan deksametason saat ini merupakan standar perawatan sebelum ASCT. Tiga sampai empat tahapan dianjurkan sebelum melanjutkan proses stem cell tersebut.

Melfalan (200 mg / m2 iv) adalah rejimen preparatif standar sebelum ASCT. Progenitor sel darah perifer adalah sumber yang disukai dari pengambilan sel induk, bukan sumsum tulang.

Tandem ASCT telah dievaluasi sebelum agen baru lainnya bermunculan. Manfaat tandem ASCT diamati pada pasien yang tidak mencapai respon parsial sangat baik setelah ASCT pertama.

Untuk terapi maintenance baik untuk pasien-pasien usia muda maupun usia tua, kombinasi obat-obatan sistemik diatas tidak dianjurkan.

Evaluasi Respon Pengobatan

Hitung darah lengkap, serum dan urin elektroforesis, pemeriksaan kreatinin dan kalsium harus dilakukan setiap 2-3 bulan. Apabila ada keluhan nyeri tulang, harus dilakukan X-ray tulang, MRI atau CT scan untuk mendeteksi adanya lesi tulang baru.

Penatalaksanaan kasus relaps

Pilihan terapi untuk kasus relaps tergantung pada bebrapa parameter yang meliputi usia, keadaan umum pasien, komorbiditas, tipe MM, efikasi dan toleransi pengobatan sebelumnya, jumlah lini pengobatan utama yang diberikan, pilihan terapi lain yang tersedia, dan jarak waktu pemberian terapi terakhir.

(29)

EMA telah menyetujui pemberian lenalidomide yang dikombinasikan dengan dexamethason [25-26] dan pemberian bortezomide sebagai obat tunggal atau kombinasi dengan doxorubicin. Namun demikian, bortezomib banyak digunakan dalam kombinasi dengan deksametason untuk penanganan kasus relaps. Thalidomide dan bendamustine merupakan obat yang efektif dan sering digunakan, namun tidak disetujui oleh EMA.

Pada pasien yang masih muda, ASCT yang kedua dapat dipertimbangkan, yaitu bagi pasien yang merespon baik ASCT yang telah dilakukan sebelumnya dan telah mengalami perkembangan survival lebih dari 24 bulan.

Radioterapi terlokalisasi dapat berguna sebagai terapi paliatif nyeri pada tulang atau untuk mengeradikasi tumor pada fraktur patologis. Hiperkalsemia dapat diterapi secara agresif, imobilisasi dan pencegahan dehidrasi. Bifosfonat mengurangi fraktur patologis pada pasien dengan penyakit pada tulang.

Obat-obatan atau golongan obat lainnya seperti histone-deacetylase inhibitor atau antibodi monoklonal saat ini sedang dikembangkan. Dalam pengaturan penyakit ini, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi penanda molekuler yang dapat memberikan kemajuan dalam pengobatan pribadi.

(30)

Gambar 14. Pendekatan penatalaksanaan pada pasien baru terdiagnosis multiple myeloma (MM).

I. Prognosis Multiple Mieloma

Berdasarkan derajat stadium menurut Salmon Durie System , angka rata-rata pasien bertahan hidup sebagai berikut : 6

 Stadium I > 60 bulan  Stadium II , 41 bulan  Stadium III , 23 bulan

(31)

 Stadium B memiliki dampak yang lebih buruk.

Berdasarkan klasifikasi derajat penyakit menurut the International staging system, angka rata-rata pasien bertahan hidup sebagai berikut:6

stadium I , 62 bulan stadium II, 44 bulan Stadium III, 29 bulan.

BAB III KESIMPULAN

Multiple myeloma dibagi menjadi asimptomatik myeloma dan simptomatik atau myeloma aktif. Pada kasus myeloma yang gejalanya muncul secara perlahan atau myeloma inaktif, tidak dianjurkan untuk diberikan terapi segera. Terapi harus segera diberikan pada pasien-pasien dengan myeloma aktif yang memenuhi kriteria CRAB ( hiperkalemi > 11.0 mg/dl, kreatinin >2.0 mg/ml, anemia (Hb < 10 g/dl), lesi tulang aktif).

(32)

Regimen awal yang paling sering digunakan untuk pengobatan multiple myeloma adalah kombinasi antara thalidomide dan dexamethasone. Pada pasien usia tua > 65 tahun, kombinasi obat oral berupa mephalan dan prednison (MP) merupakan standar pengobatan di Eropa. Terdapat dua pilihan obat kombinasi yang direkomendasikan, yaitu melphalan/prednison/thalidomide (MPT) dan bortezomib/melphalan/prednison (VMP). Bendamustine dapat dijadikan pilihan untuk terapi kombinasi pada pasien multiple myeloma khususnya yang memiliki gejala klinis neuropati.

Untuk pasien dengan klinis yang baik dan berusia < 65 tahun, induksi yang diikuti terapi dosis tinggi transplantasi sel induk autolog (Autologous Stem Cell Transplantation: ASCT) merupakan salah satu standar pengobatan. Bortezomib-deksametason, (vincristine, adriamycin dan dexamethasone dosis tinggi), telah menjadi pilihan terapi induksi utama sebelum ASCT. Kombinasi tiga obat termasuk setidaknya bortezomib dan deksametason saat ini merupakan standar perawatan sebelum ASCT.

Radioterapi terlokalisasi dapat berguna sebagai terapi paliatif nyeri pada tulang atau untuk mengeradikasi tumor pada fraktur patologis. Hiperkalsemia dapat diterapi secara agresif, imobilisasi dan pencegahan dehidrasi. Bifosfonat mengurangi fraktur patologis pada pasien dengan penyakit pada tulang.

Obat-obatan atau golongan obat lainnya seperti histone-deacetylase inhibitor atau antibodi monoklonal saat ini sedang dikembangkan.

(33)

DAFTAR PUSTAKA

1. Syahrir, Mediarty. Mieloma Multipel dan Penyakit Gamopati Lain. Buku Ajar – Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI. Jakarta: 2006.

2. Palumbo,Antonio M.D. and Anderson,Kenneth M.D. Medical Progress Multiple Myeloma. The New England Journal of Medicine, [online]. 2011;364:1046-60 [cited 2014 Juli 23]. Available from: http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMra1011442

3. Wenqi, Jiang. Mieloma Multipel. Buku Ajar – Onkologi Klinis Edisi 2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 2008.

4. Angtuaco, Edgardo J.C, M.D, et al. Multiple Myeloma: Clinical Review and Diagnostic Imaging. Departement of Radiology and the Myeloma

(34)

Institute, University of Arkansas, [online]. 2004 [cited 2014 Juli 23]. Available from: http://radiology.rsna.org/content/231/1/11.full.pdf+html 5. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Plasma Cell Disorder in Harrison’s –

Principles of Internal Medicine 17th Edition. The McGraw-Hill Companies,

Inc. US: 2008.

6. Besa, Emmanuel C, M.D. Multiple Myeloma. Medscape Reference, [online]

2011 [cited 2014 Juli 23]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/204369-overview

7. Baron, Rolland, DDS,PhD. Anatomy and Ultrastructure of Bone Histogenesis, Growth and Remodelling. Endotext – The most accesed source endocrinology for Medical Professionals, [online]. 2008 [cited 2014

Juli 23]. Available from:

http://www.endotext.org/parathyroid/parathyroid1/parathyroid1.html

8. Belch, Andrew R,MD, et al. Multiple Myeloma Patient Handbook. Multiple Myeloma Canada, [online]. 2007 [cited 2014 Juli 23]. Available from: http://myeloma.org/pdfs/PHCanada.pdf

9. Ki Yap, Dr. Multiple Myeloma. Radiopaedia.org, [online]. 2010 [cited 2014 Juli 23]. Available from: http://radiopaedia.org/articles/multiple-myeloma-1 10. ______. Multiple Myeloma Research. Department of Radiology, College

of Medicine, University of Arkansas for Medical Sciences, [online] [cited

2014 Juli 23]. Available from:

http://www.uams.edu/radiology/info/research/multiple_myeloma/default. asp 11. Schmaier, Alvin H.,MD, et al. Multiple Myeloma and Plasmacytoma

-Hematology for the Medical Student. Lippincott Williams & Wilkins. United States of America: 2003.

12. Vickery, Eric, PA-C. Multiple myeloma: Vague symptoms can challenge diagnostic skill. Journal of the American Academy of Physician Assistans, [online]. 2008 [cited 2014 Juli 23]. Available from: http://www.jaapa.com/multiple-myeloma-vague-symptoms-can-challenge-diagnostic-skills/article/121750/

(35)

13. Reyna, Rolando. Lytic Lesion in Multiple Myeloma – Radiology Teaching Files. MyPACS.net, [online]. 2005 [cited 2014 Juli 23]. Available from:

http://www.mypacs.net/cases/LYTIC-LESIONS-IN-MULTIPLE-MYELOMA-1664181.html

14. ______. Guidelines on the Diagnosis and Management of Multiple Myeloma. UK Myeloma Forum, [online]. [cited 2011 April 5]. Available from: http://www.ukmf.org.uk/guidelines/gdmm/context.htm

15. Kumar, Cotran, Robbins. Mieloma Multipel dan Gangguan Sel Plasma Terkait – Buku Ajar Patologi Edisi 7, Robbins volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2004.

16. Brant, William E.,et al. Fundamentals of Diagnostic Radiology – 2nd Ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2007.

17. Berquist, Thomas H. Musculoskeletal Imaging Companion. Lippincott Williams & Wilkins. 2007.

18. ______. Cardiothoracic Pulmonary Imaging Correlation Conference – Case of the Week. Virginia Commonwealth University Health System, [online]. 2009 [cited 2014 Juli 23]. Available from: http://www.vcuthoracicimaging.com/Historyanswer.aspx?qid=9&fid=1 19. ______. MRI of Multiple Myeloma. Science Photo Library, [online]. [cited

2014 Juli 23]. Available from:

http://www.sciencephoto.com/images/download_lo_res.html?id=771340876 20. ______. Pelayanan Kedokteran Nuklir Diagnostik. Bagian Radiologi,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, [online]. 2005 [cited 2014 Juli 23]. Available from: http://www.radiologi.ugm.ac.id/kednuklirdiagnosis.html 21. ______. Multiple Myeloma – PET CT Scan Images. Department of

Radiology, College of Medicine, University of Arkansas for Medical Sciences, [online] [cited 2014 Juli 23]. Available from: http://www.uams.edu/radiology/info/clinical/pet/images.asp

22. Susworo, dr. Penyebaran Tumor Ganas di Tulang: Aspek Diagnostik dan Terapi. Cermin Dunia Kedokteran, [online]. 1981 [cited 2014 Juli 23].

(36)

Available from: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08PenyebaranTumor GanasdiTulang023. pdf/08PenyebaranTumorGanasdiTulang023.html

23. Weber, Kristy, MD. Rounds 2: Treatment of Metastatic Bone. The Johns Hopkins Arthritis Center, [online]. 2006 [cited 2014 Juli 23]. Available from: http://www.hopkins-arthritis.org/physician-corner/cme/rheumatology-rounds/metastatic_bone_disease_rheumrounds2.html

24. Moreau, P et al. Multiple myeloma: ESMO Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. 2013. Annals of Oncology Advance. 00: 1-5

Gambar

Gambar 1. Bagian dari tulang panjang matur  10
Gambar 2. Struktur Anatomi Tulang Manusia
Gambar 3. Sel plasma normal melindungi tubuh dari benda asing
Gambar 6. Sum-sum tulang pada mieloma multiple menunjukkan sejumlah besar sel plasma, dengan banyak bentuk abnormal.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pihak - pihak instansi terkait antara lain Kimpraswil, Dinas Perhubungan dan Polri sudah melakukan pendataan kecelakaan dan menganalisa daerah rawan kecelakaan dengan

 Pengamatan  Unjuk kerja 3.10 Menerapkan manipulasi gambar raster dengan menggunakan fitur efek 4.10 Memanipulasi gambar raster dengan menggunakan fitur efek

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2007 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan

LANJUTAN AMANDf,MEN LAMPIR{N SERTIFIKAT AKREDITASI LABORATORITJM NO. LP-I Is-IDN Nama Laboratorium : Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman. Alamat : JI.AUP No.3 Pasar

Penanaman stek juga dapat diakukan dengan cara ditanam pada media dalam bedengan yang telah disiapkan, kemudian setelah tumbuh tunas dan akar, bibit disapih ke dalam polibag..

Cara orang berpikir tentang sebuah merek secara abstrak dalam pemikiran mereka, sekalipun pada saat mereka memikirkannya, mereka tidak berhadapan langsung dengan produk

Sesuai dengan visi dan moto tersebut diharapkan akan terlaksana kegiatan peningkatan mutu dan keselamatan pasien yang berkelanjutan melalui pemantauan indikator

Diharapkan setelah menyelesaikan modul ini , peserta diklat mampu mengidentifikasi dokumen pengelolaan kartu aktiva tetap, memproses pengelolaan aktiva tetap ,