• Tidak ada hasil yang ditemukan

berinteraksi dan menghadapi penyakit ODS, akan mempengaruhi baik atau buruknya perjalanan penyakit ODS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "berinteraksi dan menghadapi penyakit ODS, akan mempengaruhi baik atau buruknya perjalanan penyakit ODS."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan mental yang melibatkan hampir seluruh aspek fungsi psikologis manusia (Ambarsari & Puspitasari, 2012). Orang yang menyandang skizofrenia atau ODS pada umumnya tidak akan mampu berperan secara normal kembali seperti orang yang seusia dengannya, sehingga sebagian besar dari mereka akan mendapatkan pengasuhan dari keluarga (Saunders, 2003). Keluarga berperan besar dalam memberikan cinta kasih dan rasa aman, sehingga ODS merasa mampu melewati masa-masa ketakutan akan dihina, dilecehkan, bahkan tidak diterima oleh masyarakat luas (Mueser dan Gingerich, 2006).

Perawatan ODS di rumah sakit pada saat ini menunjukkan pola yang berulang, yakni lebih cepatnya ODS dipulangkan dari rumah sakit setelah sembuh untuk kemudian dirawat di rumah oleh keluarga masing-masing. Pada akhirnya gangguan ODS tersebut mengalami kekambuhan dan harus dirawat di rumah sakit kembali. Moxon & Ronan (2007) mengungkapkan bahwa resiko kekambuhan mencapai 40 hingga 50% setelah tahun pertama, kemudian menjadi 75% pada tahun berikutnya apabila ODS dikembalikan secepat mungkin ke rumah masing-masing. Menurut Bostrom & Boyd (2005) tingginya angka kekambuhan pasien skizofrenia setelah suatu episode psikotik berkisar antara 50% hingga 80% jika tidak diterapi. Kekambuhan ini bisa terjadi selama masa perawatan dan penyembuhan, maupun beberapa minggu setelah masa pemulihan atau beberapa tahun kemudian. Peneliti lainnya, Robinson et al (1999) menemukan bahwa dalam waktu 5 tahun angka kekambuhan adalah sebesar 82%.

Lobban (2005) menyatakan bahwa pada ODS yang sedang menjalani masa pengobatan di rumah, tingginya expressed emotion (EE) dari keluarga merupakan faktor penyebab langsung dari terjadinya kekambuhan gangguan skizofrenia. Penelitian King dan Dixon (Francis & Papageorgiou, 2004) juga menemukan bahwa kekambuhan skizofrenia disebabkan oleh adanya expressed emotion (EE) yang tinggi pada keluarga. Hal ini disebabkan oleh cara keluarga dalam memberikan dukungan,

(2)

berinteraksi dan menghadapi penyakit ODS, akan mempengaruhi baik atau buruknya perjalanan penyakit ODS.

Tinggi rendahnya EE keluarga dapat diketahui melalui komentar-komentar yang dikeluarkan oleh keluarga pada saat proses wawancara mengenai keadaan ODS (Brown dalam Hazra et al., 2010).Tingginya EE dicirikan oleh komentar penuh kritikan dari ayah, dan adanya keterlibatan emosi yang berlebihan maupun pengekangan dari ibu. Varghese, et al., (dalam Puspasari, 2012) menegaskan bahwa EE yang tinggi ditunjukkan oleh adanya perilaku keluarga yang berlebihan terlibat dalam urusan pribadi ODS, memperlihatkan permusuhan, mengkritik, dan selalu tidak puas dengan apa yang dilakukan ODS. Dengan demikian EE yang tinggi menunjukkan adanya sikap negatif keluarga terhadap ODS.

Penelitian mengenai EE keluarga pada awalnya dilakukan oleh Brown (dalam Hazra et al., 2010) yang menunjukkan bahwa lingkungan keluarga yang memiliki EE yang tinggi berpengaruh pada tingginya rata-rata kekambuhan gangguan, dibandingkan dengan lingkungan keluarga dengan EE yang rendah. Pada awalnya untuk mengetahui skor EE diukur dengan format wawancara CFI (Camberwell

Family Interview) oleh Vaughn dan Leff (dalam Cole & Kazarian,1988). Sikap yang

ditunjukkan oleh keluarga dinilai melalui dua faktor, yaitu adanya komentar kritikan (critical comment), serta keterlibatan emosi yang berlebihan (emotional

overinvolvement). Pada akhirnya format CFI tersebut dikembangkan dalam bentuk

skala yang lebih komprehensif. Vaughn dan Leff menemukan bahwa tingginya EE keluarga ditunjukkan melalui empat karakteristik perilaku keluarga, yakni:

1. Tingginya sikap mencampuri urusan ODS yang terlihat dari adanya usaha berulang untuk selalu membangun kontak dan memberikan saran-saran yang bersifat mengkritik tanpa diminta.

2. Tingginya respon emosional pendamping terhadap gangguan ODS, misalnya pendamping merespon ODS dengan bentuk marah, stres yang berlebihan, atau

(3)

menunjukkan perilaku yang cenderung membuat ODS jengkel, sedih atau terluka.

3. Pendamping menunjukkan sikap yang negatif terhadap gangguan ODS, seperti meragukan bahwa ODS benar-benar sakit atau, sering menyalahkan dan memaksa ODS untuk bertanggung jawab terhadap hasil perilakunya sendiri.

4. Rendahnya tingkat toleransi serta tingginya harapan pendamping terhadap perubahan perilaku ODS, yang disebabkan oleh kekurangyakinan keluarga bahwa ODS benar-benar sakit. Hal ini menyebabkan pendamping menjadi menjadi kurang toleran terhadap perilaku ODS yang mengganggu, serta kurang memahami adanya kesulitan sosial yang dihadapi oleh ODS dalam jangka waktu yang panjang.

Proses perawatan terhadap ODS di rumah menimbulkan beban psikologis yang sangat berat pada keluarga. Menurut Jusuf (dalam Ambarsari & Sari, 2012), bukanlah hal yang mudah untuk menjadi keluarga yang merawat ODS. Beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengalaman merawat ODS, yakni “pengalaman traumatis”, “pengalaman menyakitkan dan menghancurkan”, “penuh kebingungan” dan “kesedihan yang berkepanjangan” (Subandi, 2008). Hal ini dikarenakan keluarga tengah mengalami perasaan kehilangan dalam arti nyata (kehilangan orang yang dicintai), maupun kehilangan secara simbolik atau kehilangan harapan di masa depan karena ODS tidak mampu mencapai apa yang dicitakan.

Perbedaan budaya mempengaruhi beban subjektif yang dirasakan keluarga dalam perawatan ODS. Pada keluarga Amerika kulit putih menunjukkan adanya penolakan terhadap kehadiran ODS serta kurang toleran terhadap perilaku ODS yang menyusahkan. Keluarga Afrika Amerika kurang toleran terhadap perilaku psikotik pasien yang mengganggu. Budaya pada keluarga Hispanik lebih bersikap menerima ketidakmandirian ODS, namun mereka kurang dapat menerima simtom depresif yang diperlihatkan ODS (Peterson & Docherty, 2004).

(4)

Pada budaya Jawa-Indonesia, setelah dilakukan observasi dan wawancara di lapangan, ditemukan banyak keluarga yang belum mampu menerima keadaan yang dialami oleh ODS , dan situasi keluarga mereka secara umum. Hal ini berdampak pada sikap dan perlakuan yang ditunjukkan keluarga pada ODS. Hasil wawancara terhadap keluarga pendamping ODS di RSJ Magelang menunjukkan bahwa keluarga belum bisa menerima kenyataan anggota keluarga mereka didiagnosis gangguan jiwa. Keluarga merasa frustasi dan saling menyalahkan terjadinya nasib buruk dalam keluarganya. Hubungan komunikasi antar keluarga menjadi memburuk dan berdampak pada perlakuan keluarga yang kurang ramah terhadap ODS.

Berdasarkan observasi terhadap tiga orang ODS di RSJ Magelang ditemukan bahwa kondisi ODS yang merupakan efek dari gangguannya membuat ia diisolasi dan dijauhi oleh keluarga. Pihak keluarga menyampaikan keengganannya merawat ODS karena merasa malu. Perilaku ODS yang tidak terkontrol karena diakibatkan oleh gangguannya, menyebabkan ia sering dimusuhi oleh anggota keluarga lainnya. Hal ini menandakan bahwa keluarga ODS yang memiliki latar belakang budaya Jawa, belum dapat dikatakan menerima beban perawatan ODS secara umum.

Secara budaya, masyarakat Jawa memiliki nilai-nilai dan falsafah hidup yang sangat kental dengan aspek spiritual, serta ada satu nilai fundamental yang tetap dipertahankan hingga saat ini, yaitu adanya nilai narima. Menurut De Jong (1976)

narima berarti ketenangan afektif dalam menerima segala sesuatu dari luar, baik

harta, benda, nasib malang, untung. Dalam konsep budaya Jawa, masyarakat Jawa yang mengaplikasikan sikap narima dengan baik akan memiliki rasa optimis. Menurut Saksono (2011), manusia Jawa yang narima, akan memiliki kemampuan untuk membuat relatifikasi dalam kehidupannya sehingga mendorongnya untuk selalu mampu melihat segi baik dan segi menguntungkan dalam kehidupannya sekalipun ia sedang dilanda kemalangan. Hasil observasi dan wawancara terhadap keluarga ODS yang telah disebutkan di atas menandakan bahwa beratnya perawatan terhadap ODS membuat keluarga pendamping ODS sulit untuk bersikap narima

(5)

terhadap keadaan ODS maupun keadaan situasi keluarga yang diakibatkan oleh penyakit ODS.

Beban perawatan ODS terdiri atas beban objektif, seperti adanya tugas perawatan dan berkurangnya waktu untuk kegiatan rekreasi. Beban objektif juga meliputi sempitnya waktu yang tersedia untuk melakukan tugas sehari-hari, serta berbagai gangguan lain yang dirasakan dari aspek nyata kehidupan keluarga. Beban subjektif perawatan ODS, merupakan dampak emosional dari adanya tanggung jawab perawatan yang meliputi ketegangan dalam kehidupan, kegelisahan, depresi keluarga karena ketidakmandirian ODS serta kecemasan ODS terhadap sesuatu (Granville, 2005).

Tingginya tekanan emosi negatif yang dirasakan keluarga ODS, seperti malu, bersalah, marah, terisolasi, lelah dan bosan dengan aktivitas perawatan (Koeswardani, 2011), akan mendorong keluarga untuk memberikan banyak komentar kritik dan cenderung melakukan kekerasan (Puspasari, 2012). Selain itu, kurangnya pengetahuan keluarga mengenai perawatan ODS, menyebabkan keluarga tidak mampu mengarahkan ODS, tidak menerima sepenuhnya ODS di tengah keluarga, tidak mengetahui tanda-tanda kekambuhan, dan mudah terpengaruh oleh stigma dalam masyarakat tentang skizofrenia (Puspasari, 2012). Stigma yang muncul yakni menganggap penyakit skizofrenia adalah penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati serta menimbulkan bahaya bagi orang lain. ODS diyakini sebagai orang yang malas dan tidak dapat dipercaya serta gejala yang diperlihatkannya adalah hasil dari kurangnya motivasi diri ODS (Gilang, dalam Puspasari, 2012)

Akibat kurangnya pengetahuan keluarga menyebabkan keluarga bersikap cenderung mengawasi dan melarang ODS keluar rumah, selalu mencurigai bahwa ODS berpura-pura dengan penyakitnya, selalu mengkritik dan berharap ODS berperilaku seperti orang normal, serta selalu merasa tidak puas dengan perbuatan ODS. Wibisono (dalam Puspasari, 2012) menambahkan bahwa lebih dari 80% ODS

(6)

tidak diobati oleh keluarga, dibiarkan berkeliaran di jalanan, bahkan dipasung dengan alasan agar ODS tidak membahayakan orang lain serta menimpakan aib pada keluarganya. Sikap negatif tersebut menjadi ciri dari tingginya EE dalam keluarga.

Sikap negatif dari keluarga terhadap ODS akan berefek pada kekambuhan gangguan ODS (Nurtanti, Irmansyah, Kandou, 2006). Oleh sebab itu intervensi yang sesuai perlu dilakukan agar kekambuhan gangguan dapat dicegah. Kembaren (dalam Puspasari, 2012) menyatakan bahwa pengobatan yang paling efektif untuk mencegah kekambuhan adalah kombinasi antara pengobatan antipsikotik dengan pendekatan psikososial.

Menurut penelitian Tomaras, et al., (2000) pendekatan psikososial yang paling efektif untuk keluarga ODS adalah psikoedukasi keluarga. Tomaras menemukan bahwa dengan memberikan psikoedukasi skizofrenia pada keluarga ODS, berefek pada penurunan EE keluarga. Hal ini menyebabkan penderita bebas dari kekambuhan pada satu tahun pertama dan masa follow up. Penelitian Moxon & Ronan (2008) yang memberikan informasi mengenai gangguan skizofrenia dan EE pada keluarga, menyebabkan terjadinya peningkatan pengetahuan keluarga secara signifikan, sehingga mendorong turunnya EE keluarga dari masa pretest ke posttest dan bertahan pada masa follow up.

Beberapa penelitian menunjukkan manfaat psikoedukasi yakni; dapat meningkatkan sikap penerimaan, meningkatkan strategi koping, (Oshodi, 2012), meningkatkan fungsi sosial, kepuasan hidup, pengetahuan, harapan serta keberdayaan pada ODS, serta menurunkan distress (Drapalsky, 2009). Melalui psikoedukasi, beban yang dirasakan oleh keluarga dapat terkurangi, serta dapat meningkatkan kualitas pendampingan fisik dan mental pendamping (Navidian, Kemansaravi, & Rigi, 2012).

Penelitian Marchira (2012) mengenai efek pemberian intervensi psikoedukasi interaktif singkat terhadap 100 orang pendamping skizofrenia yang dilakukan dalam

(7)

empat sesi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa psikoedukasi dapat meningkatkan pengetahuan pendamping, keteraturan kontrol, ketaatan pengobatan, serta menurunnya kekambuhan pada penderita gangguan psikotik. Metode psikoedukasi terhadap keluarga dapat diberikan melalui pendidikan kesehatan dengan teknik eksplorasi, asesmen, diskusi, bermain peran maupun demonstrasi (Soep, 2009).

Dalam penelitian ini, upaya untuk menurunkan EE keluarga dilakukan dengan cara meningkatkan pengetahuan keluarga mengenai skizofrenia. Metode yang digunakan yakni psikoedukasi keluarga mengenai gangguan serta teknik mengelola stres. Hal ini sesuai dengan pendapat Chakrabarti (2011), bahwa bentuk intervensi yang terbaru yang dapat diberikan terhadap pendamping ODS yakni menyediakan edukasi dan dukungan berkelanjutan bagi keluarga, mengidentifikasi tanda awal kekambuhan dan mengajarkan teknik mengurangi stres.

Teknik untuk mengurangi stres individu menurut Harris (2007) adalah dengan mengubah keadaan emosi menjadi positif. Untuk mencapai keadaan emosi positif tersebut, pentingnya keluarga memiliki sikap menerima (acceptance) terhadap keadaan (Hurlock, dalam Trimulyaningsih & Rachmahana, 2008). Sikap penerimaan dapat membantu memberikan kekuatan pada individu untuk berdamai dengan rintangan hidup yang dihadapinya (Trimulyaningsih & Rachmahana, 2008). Melalui sikap penuh penerimaan, individu tidak akan bersedih secara berlebihan bila sesuatu terjadi tidak sesuai dengan apa yang direncanakan, dan juga tidak berdiam diri dalam kemarahan atau kekecewaan, karena mengetahui bahwa ketidaknyamanan adalah bahagian dari kehidupan (Allport, dalam Trimulyaningsih, 2008).

Selain sikap acceptance, pendamping perlu memiliki sikap kebersyukuran (gratitude). Kebersyukuran berorientasi pada sikap terima kasih atas kehidupan yang dapat menimbulkan ketenangan pikiran, kebahagiaan, kesehatan fisik, dan hubungan pribadi yang lebih memuaskan (Emmons & McCullough, dalam Sulistyarini, 2010).

(8)

Bersyukur akan meningkatkan afek positif (Sheldon & Lyumbomirsky, 2008; Froh et

al., 2009), serta meningkatkan sikap optimis dalam memandang kehidupan (Emmons

& McCullough, 2003; Froh et al, 2008). Sikap sabar (patience), juga menjadi salah satu strategi koping yang dapat menguatkan keluarga untuk menanggung beban perawatan. Menurut Subandi (2011), sabar berarti bertahan dalam situasi sulit dengan tidak mudah mengeluh, menerima kenyataan pahit dengan ikhlas dan bersyukur. Sikap sabar akan mendorong adanya keseimbangan emosional, sehingga seseorang tidak terjerumus pada perilaku berputus asa (Suratno & Astiyanto, 2009).

Strategi koping penerimaan, kesabaran, dan kebersyukuran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah intervensi untuk meningkatkan strategi koping keluarga ODS. Smith, (dalam Asnaani & Hofmann, 2012) mengatakan bahwa sebuah intervensi yang disesuaikan dengan budaya pada suku tertentu akan lebih efektif dibandingkan dengan intervensi yang tidak mempertimbangkan nilai budaya. Hal ini dikarenakan metode intervensi yang disesuaikan dengan latar belakang budaya klien, akan berefek pada penerimaan serta ketertarikan klien dalam mengikuti proses terapi yang sesuai dengan nilai budaya yang dianutnya (White, et al, 2006).

Dalam budaya Jawa, sikap menerima, bersabar, dan bersyukur secara keseluruhan disebut sebagai sikap Narima Ing Pandum (NIP). Sikap NIP memiliki dasar bahwa takdir hidup setiap orang berbeda-beda. Secara umum nilai-nilai NIP bertujuan agar dalam menjalani kehidupan, seseorang dapat menerima pengalaman hidup yang menyakitkan maupun pengalaman yang menyenangkan (Suratno & Astiyanto, 2009). Dengan demikian penelitian ini merujuk pada materi penumbuhan sikap NIP pada keluarga ODS sebagai strategi koping mengelola pengalaman penuh stres dalam merawat ODS.

Pendekatan yang dipakai dalam pengaplikasian sikap NIP ini yakni menggunakan pendekatan kognitif perilaku atau Cognitif Behavioral Therapy (CBT). Pendekatan CBT didasarkan pada keyakinan bahwa emosi negatif yang muncul disebabkan oleh adanya kecenderungan berfikir bahwa orang lain memiliki nasib

(9)

yang lebih baik dalam hidupnya, lebih mujur serta tidak memiliki persoalan seperti yang sedang ia hadapi. Dalam kasus pendampingan terhadap ODS, pihak keluarga sebagai pendamping seringkali memiliki pikiran negatif mengenai situasi perawatan ODS, seperti berpikir bahwa gangguan ODS akan menyebabkan derita yang tak berkesudahan bagi keluarga, pertanda Tuhan tidak adil, keluarga ditakdirkan bernasib sial, bahkan berpikir bahwa gangguan ODS merupakan kiamat dalam keluarga. Walaupun pandangan yang salah tersebut bersifat subjektif dan belum pasti sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, namun individu lebih mudah untuk mempertahankan pemikiran yang salah tersebut (Rachmatullah, 2010; Hardjowirogo, 1989). Pada akhirnya pikiran negatif ini menyebabkan munculnya perasaan sedih, cemas, takut atau marah, yang akan berimbas pada perilaku pendamping terhadap ODS.

Munculnya pikiran negatif tersebut dapat dikarenakan adanya distorsi kognitif, atau kesalahan dalam menalar (Stuart, 2009). Salah satu teknik yang dipakai untuk mengubah pikiran yang terdistorsi adalah dengan teknik penemuan fakta, yakni dilakukan pencarian fakta positif yang dapat berfungsi sebagai penyeimbang pendapat atau pikiran buruk seseorang terhadap suatu peristiwa atau objek (Stuart, 2009). Hal ini dikarenakan seringkali seseorang yang mengalami distorsi pemikiran, memberikan bobot yang sama terhadap semua sumber data atau data yang tidak disadarinya yang dijadikan data pendukung pemikiran buruknya (Stuart, 2009).

Dalam memfasilitasi pendamping dalam mengubah bayang-bayang negatif pada pikirannya dilakukan dengan teknik relaksasi (Carter, 2006). Teknik relaksasi berfungsi untuk menenangkan diri dan membantu individu untuk menjadi lebih positif dan optimis (Davis 2007). Penggabungan teknik relaksasi juga didukung oleh penggunaan teknik imagery atau imajinasi yang berguna untuk mengurangi tingkat stress pendamping (Carter, 2006).

(10)

KELUARGA ODS

Expressed Emotion Tinggi

- Perilaku ikut campur urusan pribadi ODS

- Merespon dengan penuh emosi terhadap gangguan ODS

- Menunjukkan sikap yang negatif terhadap gangguan ODS

- Kurangnya toleransi terhadap perilaku ODS dan harapan yang berlebihan agar ODS berubah

Masalah perawatan ODS

Kurangnya pengetahuan mengenai gangguan: Stigma bahwa gangguan membahayakan dan menimbulkan aib, kronisnya penyakit sehingga tidak dapat diobati, tidak tahu tanda-tanda kekambuhan, tidak paham efek gangguan terhadap perilaku, dsb

Burden subjektif: Perasaan malu, bersalah, putus asa, kekhawatiran terhadap ODS, stres atau ketegangan dalam keluarga, depresi, stigmatisasi, dan kebingungan.

Burden objektif: tugas perawatan ODS, waktu yang tersita untuk tugas perawatan, kurangnya jumlah waktu yang tersedia untuk melakukan tugas sehari-hari dan tingginya biaya perawatan.

Expressed Emotion Rendah - Berkurangnya sikap mencampuri kehidupan ODS - Berkurangnya respon emosional thd gangguan ODS - Berkurangnya sikap negatif thd gangguan ODS

- Meningkatnya toleransi terhadap keterbatasan ODS dan berkurangnya tuntutan perubahan perilaku terhadap ODS

Psikoedukasi NIP - Pengetahuan mengenai skizofrenia - Pengetahuan mengenai sikap sukur - Pengetahuan mengenai sikap sabar - Pengetahuan mengenai sikap narima

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Ket:

Hubungan mempengaruhi Intervensi yang diberikan Hubungan akibat

(11)

Program NIP dirancang oleh peneliti untuk menurunkan stres perawatan ODS melalui pemberian informasi mengenai skizofrenia dan peningkatan sikap sukur,

sabar, dan narima dalam keseharian perawatan ODS. Program intervensi dalam

penelitian ini disusun dalam lima sesi. Secara keseluruhan hal ini tergambar dalam kerangka pemikiran penelitian pada Gambar 1.

Telah dijabarkan sebelumnya bahwa beban perawatan ODS menjadi stressor bagi keluarga. Emosi negatif yang dirasakan keluarga mendorong tampilnya EE yang tinggi terhadap ODS. EE terdiri terdiri atas empat aspek, yakni perilaku mencampuri kehidupan pribadi ODS, menunjukkan sikap negatif terhadap penyakit, menunjukkan respon negatif, serta rendahnya toleransi dan tingginya harapan terhadap perubahan perilaku ODS. Tingginya EE keluarga akan berdampak pada kambuhnya gangguan ODS dalam masa perawatan di rumah. Program NIP merupakan suatu program intervensi yang dirancang untuk menurunkan EE, dengan cara mengubah emosi negatif menjadi positif.

Upaya untuk mengurangi perilaku keluarga yang terlalu melibatkan diri terhadap urusan pribadi ODS, dilakukan melalui sesi psikoedukasi. Dalam sesi psikoedukasi akan dibahas mengenai kebutuhan dan dukungan yang dapat diberikan terhadap ODS, serta perilaku yang tidak boleh dilakukan dalam perawatan ODS di rumah. Upaya untuk mengurangi sikap dan respon negatif pendamping terhadap penyakit ODS dapat dilakukan dengan meningkatkan emosi positif pendamping pada sesi sukur, sabar, serta narima. Sesi-sesi tersebut bertujuan untuk menginformasikan mengenai cara membangun afek positif dalam keseharian menjalani perawatan terhadap ODS. Upaya untuk mengurangi tingginya harapan dan kurangnya toleransi keluarga terhadap ODS, dapat dilakukan melalui sesi psikoedukasi mengenai skizofrenia.

Melalui program intervensi NIP, diharapkan turunnya EE keluarga, yang tampak pada berkurangnya sikap mencampuri kehidupan ODS, berkurangnya respon

(12)

emosional serta sikap negatif terhadap gangguan, dan menurunnya harapan perubahan serta meningkatnya toleransi keluarga terhadap perilaku ODS.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Program NIP mampu menurunkan EE keluarga pendamping ODS. Manfaat penelitian ini secara teoritis, yakni dapat menjadi bahan rujukan dalam pengembangan teori proses pendampingan para penyandang skizofrenia. Secara praktis, modul dan materi pelatihan yang dihasilkan dapat digunakan oleh praktisi di lapangan sebagai pedoman untuk melakukan pendampingan terhadap keluarga ODS. Pertanyaan penelitian ini yakni apakah Program Intervensi Narima Ing Pandum (NIP) dapat menurunkan Expressed

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran  Ket:

Referensi

Dokumen terkait

Rasio Keuangan Yang Paling Baik Untuk Memprediksi Pertumbuhan Laba : Suatu Studi Empiris Pada perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEJ. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol

Tujuan utama dalam menggunakan ketrampilan ini adalah untuk menciptakan persekutuan perawat – klien dan untuk mengidentifikasi serta mengeksplorasi cara-cara membentuk

menceritakan urutan siklus hidup kupu-kupu dengan baik SOSEM 2.12 Anak mampu bertanggungjawab menyelesaikan tugasnya Anak mampu bertanggungjawab menyelesaikan

Dilakukan kajian eksperimental di laboratorium pada sistem struktur portal ruang tiga kaki satu lantai dengan pembebanan impact (impulse) untuk melihat pengaruh peredam

1) Dari kajian mengenai sifat reologi dasar, penambahan asbuton murni ke dalam aspal pen 60/70 akan meningkatkan kekerasan aspal tersebut seiring dengan

40 Jumlah tenaga kerja dari masyarakat sekitar Meningkatkan kepedulian dan perhatian pada pendidikan M4 Frekuensi bantuan untuk pendidikan yang diberikan. SO1 Jenis, lingkup,

Berdasarkan indikator kaitan dengan peran kepemimpinan perempuan sebagai fasilitator pada Madsrasah Iptidaiyah Negeri 2 Bima, sudah berjalan dengan baik, kepala

(1) Seksi Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, memiliki ikhtisar jabatan memimpin dan melaksanakan tugas seksi perencanaan dan