• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga Tengah Telinga tengah terdiri dari :

1. Membran timpani. 2. Kavum timpani. 3. Tuba Eustachius 4. Prosesus mastoideus.

Gambar 2.1. Anatomi Telinga Tengah (Dikutip dari Ludman dan Bradley, 2007)

(2)

2.1.1. Membran Timpani

Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani dan memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Diameter rata-rata membran timpani sekitar 1cm. Letak membrana timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga, tetapi miring dengan membentuk sudut 450 terhadap potongan sagital dan horizontal. Membran timpani merupakan struktur yang terus tumbuh sehingga memungkinkannya menutup bila terjadi perforasi (Latief, 2007).

Membran timpani terbagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo (bagian puncak dari membrana timpani yang menonjol kearah kavum timpani) sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan, serta bawah-belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani (Djaafar, et al., 2007).

Gambar 2.2. Membran timpani (kanan) (Dikutip dari Kalmanovich, 2006)

(3)

Secara anatomis membran timpani terbagi dalam 2 bagian, yaitu: a. Pars Tensa.

Bagian ini adalah bagian terbesar dari membran timpani. Pars tensa merupakan suatu permukaan yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di anulus timpanikus pada sulkus timpanikus di tulang temporal.

b. Pars Flaksida (membran Shrapnell)

Terletak di bagian atas depan dan lebih tipis dari pars tensa. Pars falksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu plika maleolaris anterior (lipatan depan) dan plika maleolaris posterior belakang (Dhingra, 2007).

Bentuk perforasi membran timpani adalah : 1. Perforasi sentral

Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-superior, kadang-kadang sub total.

Gambar 2.3. Perforasi Sentral (Dikutip dari Ludman & Bradley, 2007) 2. Perforasi marginal

Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus fibrosus. Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom.

(4)

Gambar 2.4. Perforasi Marginal (Dikutip dari Ludman & Bradley, 2007) 3. Perforasi total

Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total.

2.1.2. Kavum Timpani

Gambar 2.5. Kavum timpani (Dikutip dari Probst, Grevers, dan Iro, 2006)

Kavum timpani terletak didalam pars petrosa tulang temporal dan berbentuk bikonkaf. Kavum timpani merupakan sebuah rongga yang di sebelah

(5)

di sebelah superior oleh tegmen timpani dan disebelah inferior oleh bulbus jugularis dan nervus fasialis (Helmi, 2005).

Berdasarkan ketinggian batas superior dan inferior membrana timpani, kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu :

a. Epitimpanum.

Berada dibagian atas membran timpani, dan merupakan bagian superior kavum timpani, disebut juga atik karena terletak diatas membran timpani. Atik menyempit di daerah posterior menjadi jalan masuk ke antrum mastoid, disebut aditus ad antrum.

b. Mesotimpanum

Merupakan ruang antara batas atas dan batas bawah membran timpani. Dinding anterior mesotimpani terdapat orifisium timpani dan pada bagian superior terdapat tuba eustachius.

c. Hipotimpanum atau resesus hipotimpanikus

Terletak dibawah membrana timpani, berhubungan dengan bulbus jugulare (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu : 1. Atap kavum timpani.

Dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani. Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fosa kranial dan lobus temporalis dari otak. Bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosa tulang temporal dan sebagian lagi oleh skuama dan garis sutura petroskuama. Pada anak-anak, penulangan dari sutura petroskuamosa belum terbentuk pada daerah tegmen timpani, sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran infeksi dari kavum timpani ke meningen dari fosa kranial media. Pada orang dewasa vena-vena dari telinga tengah menembus sutura ini dan berakhir pada sinus petroskuamosa dan sinus petrosal superior

(6)

dimana hal ini dapat menyebabkan penyebaran infeksi dari telinga tengah secara langsung ke sinus-sinus venosus kranial.

2. Lantai kavum timpani

Memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus jugularis. Bagian ini dibentuk oleh tulang yang tipis atau bahkan tidak ada tulang sama sekali, sehingga infeksi dari kavum timpani mudah menjalar ke bulbus vena jugularis.

3. Dinding medial.

Dinding medial ini memisahkan kavum timpani dari telinga dalam sekaligus sebagai dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada mesotimpanum menonjol kearah kavum timpani, disebut promontorium. Tonjolan ini oleh karena didalamnya terdapat koklea. Dibelakang dan bagian atas promontorium terdapat fenestra vestibuli atau foramen ovale (oval windows). Tempat jalannya nervus fasialis berada diatas fenestra vestibuli.

Fenestra koklea atau foramen rotundum ( round windows) ditutupi oleh suatu membran yang tipis, yaitu membran timpani sekunder yang terletak dibelakang bawah. Kedua lekukan dari foramen ovale dan rotundum berhubungan satu sama lain pada batas posterior mesotimpanum melalui suatu fosa yang dalam yaitu sinus timpanikus. Area lain yang secara klinis sangat penting ialah sinus posterior atau resesus fasial yang terdapat disebelah lateral kanalis fasial dan prosesus piramidal. Resesus fasialis tidak bertambah semenjak lahir. Resesus fasialis ini penting karena berfungsi sebagai pembatas antara kavum timpani dengan kavum mastoid, sehingga bila aditus as antrum tertutup karena suatu sebab maka resesus fasialis bisa dibuka untuk menghubungkan kavum timpani dengan kavum mastoid.

(7)

Dinding posterior mempunyai satu saluran disebut aditus, yang menghubungkan kavum timpani dengan atrum mastoid melalui epitimpanum. Sel - sel udara dapat meluas kearah posterior seperti yang dilaporkan Anson dan Donaldson (1981), bahwa apabila diukur dari ujung piramid, sinus dapat meluas sepanjang 9 mm kearah tulang mastoid. 5. Dinding anterior

Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba eustachius 6. Dinding lateral

Dinding lateral kavum timpani adalah bagian tulang dan membran. Bagian tulang berada diatas dan bawah membran timpani (Djaafar ZA, 2007). 2.1.2.1. Vaskularisasi Kavum Timpani

Pembuluh-pembuluh darah yang memberikan vaskularisasi kavum timpani adalah arteri-arteri kecil yang melewati tulang yang tebal. Sebagian besar pembuluh darah yang menuju kavum timpani berasal dari cabang arteri karotis eksterna.

Pada daerah anterior mendapat vaskularisasi dari arteri timpanika anterior, yang merupakan cabang dari arteri maksilaris interna yang masuk ke telinga tengah melalui fisura petrotimpanika.

Pada daerah posterior mendapat vaskularisasi dari arteri timpanika posterior, yang merupakan cabang dari arteri mastoidea yaitu arteri stilomastoidea. Pada daerah superior mendapat perdarahan dari cabang arteri meningea media juga arteri petrosa superior, arteri timpanika superior dan ramus inkudomalei.

Pembuluh vena kavum timpani berjalan bersama-sama dengan pembuluh arteri menuju pleksus venosus pterigoid atau sinus petrosus superior. Pembuluh getah bening kavum timpani masuk ke dalam pembuluh getah bening retrofaring atau ke nodulus limfatikus parotis (Helmi, 2005).

(8)

2.1.3. Tuba Eustachius

Gambar 2.6. Tuba Eustachius (Dikutip dari Probst dan Grevers, 2006) Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani. Bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm, dimana tuba ini berjalan ke arah bawah, depan dan medial dari telinga tengah. Sedangkan pada anak dibawah 9 bulan panjang tuba adalah sekitar 17,5 mm.

Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :

1. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian). 2. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).

Pada orang dewasa muara tuba pada bagian timpani terletak kira-kira 2-2,5 cm, lebih tinggi dibandingkan dengan ujung dari muara tuba pada bagian nasofaring. Sedangkan pada anak-anak, tuba pendek, lebar dan letaknya mendatar. Akibatnya infeksi akan lebih mudah untuk menjalar dari nasofaring ke telinga tengah.

Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga, yaitu menjaga agar tekanan udara dalam kavum timpani selalu sama dengan tekanan udara luar,

(9)

drainase sekret dari kavum timpani ke nasofaring akan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke kavum timpani. (Djaafar ZA, 2007).

2.1.4. Prosesus Mastoideus

Rongga mastoid berbentuk segitiga dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah ini (Latief, 2007).

Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Aditus

antrum mastoid adalah suatu pintu iregular berasal dari epitimpanum posterior

menuju rongga antrum yang berisi udara. Dinding medial merupakan penonjolan dari kanalis semisirkularis lateral. Berhubungan dengan telinga tengah melalui aditus dan mempunyai sel-sel udara mastoid yang berasal dari dinding-dindingnya. Antrum sudah berkembang baik pada saat lahir dan pada dewasa mempunyai volume 1 ml, panjang dari depan kebelakang sekitar 14 mm, dari atas kebawah 9 mm dan dari sisi lateral ke medial 7 mm.

Dinding medial dari antrum berhubungan dengan kanalis semisirkularis posterior dan lebih ke dalam dan inferiornya terletak sakus endolimfatikus dan dura dari fosa kranii posterior. Atapnya membentuk bagian dari lantai fosa kranii media dan memisahkan antrum dengan otak lobus temporalis. Dinding posterior terutama dibentuk oleh tulang yang menutupi sinus. Dinding lateral merupakan bagian dari pars skuamosa tulang temporal dan meningkat ketebalannya selama hidup dari sekitar 2 mm pada saat lahir hingga 12-15 mm pada dewasa. Dinding lateral pada orang dewasa berhubungan dengan trigonum suprameatal (Macewen’s) pada permukaan luar tengkorak. Lantai antrum mastoid berhubungan dengan otot digastrik di lateral dan sinus sigmoid di medial, meskipun pada aerasi tulang mastoid yang jelek, struktur ini bisa berjarak 1 cm dari dinding antrum inferior. Dinding anterior antrum memiliki

(10)

aditus pada bagian atas, sedangkan bagian bawah dilalui n.fasialis dalam perjalanan menuju ke foramen stilomastoid (Djaafar ZA, 2007).

Prosesus mastoid sangat penting untuk sistem pneumatisasi telinga. Pneumatisasi didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan atau perkembangan rongga-rongga udara didalam tulang temporal, dan sel-sel udara yang terdapat di dalam mastoid adalah sebagian dari sistem pneumatisasi yang meliputi banyak bagian dari tulang temporal. Sel-sel prosesus mastoid yang mengandung udara berhubungan dengan udara didalam telinga tengah. Bila prosesus mastoid tetap berisi tulang-tulang kompakta maka dikatakan sebagai pneumatisasi jelek dan sel-sel yang berpneumatisasi terbatas pada daerah sekitar antrum (Helmi, 2005).

Menurut derajatnya, pneumatisasi prosesus mastoideus ini dapat dibagi atas : 1.Prosesus Mastoideus Kompakta ( sklerotik), dimana tidak ditemui sel-sel. 2.Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana terdapat sel-sel kecil saja.

3.Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel-sel disini besar.

Sellulae mastoideus seluruhnya berhubungan dengan kavum timpani. Di dekat

antrum sel-selnya kecil, semakin keperifer sel-selnya bertambah besar. Oleh karena itu bila ada radang pada sel-sel mastoid, drainase tidak begitu baik hingga mudah terjadi radang pada mastoid (mastoiditis) (Djaafar ZA, 2007).

2.2. Mastoiditis 2.2.1. Definisi

Mastoiditis adalah infeksi sel udara pada tulang mastoid, infeksi biasanya di sebelah lateral korteks mastoid, medial konka pinna dan jarang sampai ke leher (Bailey, et al., 2006).

(11)

Gambar 2.7. Mastoiditis (Dikutip dari Probst dan Grevers, 2006)

2.2.2. Klasifikasi

a. Mastoiditis akut

Penyakit ini lebih banyak menyerang anak-anak terutama yang berusia < 4 tahun dan biasanya berhubungan dengan OMA (Aziz & Hoshy, 2010).

Diagnosis mastoiditis akut dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ditemukan. Adapun gejala klinis tersebut berupa:

1) Penonjolan aurikula dan anterior bowing pada kanal auditori eksterna. 2) Nyeri postauricular

3) Eritema dan pembengkakan di belakang telinga

4) Tenderness pada prosesus mastoideus (Spiro & Arnold, 2011).

Hasil pemeriksaan radiografi untuk mastoiditis akut tergantung tingkatan proses inflamasinya dan luasnya pneumatisasi tulang temporal. Temuan awal mastoiditis akut adalah kaburnya rongga telinga tengah dan sel udara mastoid. Semakin memburuknya proses infeksi dan difusse clouding pada

(12)

kavitas telinga tengah, maka sel udara mastoid akan terbentuk (Mafee; Valvassori; Becker, 2012).

b. Mastoiditis subakut

Meskipun relatif jarang, mastoiditis subakut bisa muncul sebagai akibat pengobatan otitis media akut yang inadekuat atau gagal untuk sembuh spontan dalam kurun waktu 10 hingga 14 hari. Tahap ini disebut juga masked mastoiditis.

Nyeri yg persisten atau rekuren dapat menjadi satu- satunya tanda dan gejala dari masked mastoiditis. Pada nyeri yang menetap atau rekuren selama 2 minggu setelah pemberian antibiotik spesifik dengan non-air

containing mastoid, maka hasil pemeriksaan radiografi akan ditemukan

koalesen (Bailey, et al., 2006).

Tanda dan gejala mastoiditis akut seperti pinna displacement, eritema postaurikular, dan abses subperiosteal biasanya tidak ada, tetapi otalgia dengan nyeri postaurikular dan demam biasanya muncul.

Kebanyakan kasus mastoiditis subakut terjadi pada pasien dengan otitis media akut yang lama, pasien ini diduga akibat pengobatan OMA yang gagal. Lakukan timpanosentesis utuk menentukan organisme pasti penyebab dan miringotomi untuk drainase telinga tengah dan mastoid (Bluestone & Klein, 2007).

c. Mastoiditis kronik

Mastoiditis kronik biasanya terjadi akibat OMSK dengan perforasi kronik membran timpani. Mastoiditis kronik juga biasanya berhubungan dengan formasi kolesteatoma. Kolesteatoma merupakan agregasi epitel

(13)

skuamos jinak yang dapat tumbuh dan mengubah struktur dan fungsi normal dari jaringan lunak dan tulang sekitar (Devan, et al., 2010).

Gejala berupa: a. Demam subfebris b. Otalgia kronik

c. Tenderness (Bluestone & Klein, 2007).

Mastoiditis kronik disertai dengan sekret purulen yang bau dan pada pemeriksaan radiografi terdapat lesi litik yang irregular pada bagian lateral tulang temporal hingga ke sinus sigmoid, dan dikelilingi oleh hyperostotic

areas.

Mastoiditis kronik yang disertai dengan osteitis harus dicurigai ketika ada sekret bau yang persisten meskipun telah dilakukan pengobatan dalam 2 minggu (Bailey, et al., 2006)

2.2.3. Patofisiologi

OMA merupakan suatu infeksi yang dimulai dari saluran nafas atas dan nasofaring, naik ke tuba eustachius, dan mempengaruhi telinga tengah. Mastoiditis akut merupakan komplikasi / kelanjutan dari penyakit infeksi telinga tengah karena sel udara mastoid umumnya juga ikut mengalami inflamasi selama OMA berlangsung tergantung virulensi organisme yang menginfeksi, daya tahan tubuh, dan jenis pengobatan. Mastoiditis dapat juga timbul sebagai komplikasi dari leukemia, mononukleosis, sarkoma pada tulang temporal, dan penyakit Kawasaki (Mafee; Valvassori; Becker, 2012).

Infeksi-infeksi pada telinga tengah menyebabkan pembengkakan mukosa dan blokade aditus ad antrum. Aditus ad antrum merupakan

(14)

penghubung sempit antara telinga tengah dan sel udara mastoid. Jika penghubung ini terblok, maka akan terjadi gangguan dalam proses drainase, sehingga terkumpul cairan di sel udara yang mendukung pertumbuhan bakteri, berkembangnya abses dan pengrusakan tulang. Infeksi bisa menyebar dari sel udara mastoid, yaitu melalui venous chanels mengakibatkan inflamasi pada bagian atas periosteum. Inflamasi tersebut mengakibatkan destruksi trabekula tulang mastoid dan koalesen sel sehingga menjadi osteitis mastoid akut atau mastoiditis koalesen. Pus yang dihasilkan dapat dideteksi melalu berbagai jalur:

a. Melalui aditus ad antrum dengan resultant resolution (John, et al., 2013) b. Permukaan lateral prosesus mastoideus dapat menyebabkan abses subperiosteal. Pada pasien yang tidak membaik setelah 48 jam pemberian awal antibiotik, dapat dicurigai sudah terjadinya abses subperiosteal (Spiro & Arnold, 2011)

c. Di daerah anterior terbentuk abses di bawah pinna atau di belakang otot sternokleidomastoideus di leher, menyebabkan abses Bezold.

d. Permukaan medial sel udara tulang temporal, ke apeks petrous menyebabkan kondisi jarang yang disebut petrositis

e. Di posterior tulang oksipital, menyebabkan osteomielitis calvaria atau abses Citelli (John et al, 2013).

Eritema dan edema postaurikular dapat mendorong aurikula dari posisi normal dan tekanan dari antrum mastoid yang edema akan menyebabkan terjadinya pembengkakan dan obstruksi pada kanal telinga eksternal, sehingga menyebabkan tuli konduksi (Williams & Willkins, 2009).

(15)

2.2.4. Tanda dan gejala

Gejala klinis utama berupa: 1) Otorhea

2) Otalgia

3) Demam subfebris

4) Sakit kepala, bahkan vertigo

5) Gangguan pendengaran konduksi pada telinga yang terinfeksi

6) Adanya kemerahan dan bengkak pada telinga yang terinfeksi (Williams & Willkins, 2005).

Berdasarkan penelitian terbaru dengan metode sistematic review yang menggunakan lebih dari 1000 artikel yang telah dipublikasikan menyebutkan bahwa tanda klinis yang paling sering digunakan untuk mendiagnosis mastoiditis adalah pembengkakan postauricular, eritema, tenderness, dan penonjolan aurikula (Conway & Wald, 2012).

2.2.5. Faktor resiko

1. Pasien yang beresiko seperti bayi baru lahir dan pasien imunosupresan (orang - orang yg sudah menjalani kemoterapi atau obat steroid, pasien HIV, pasien diabetes atau geriatrik (John, et al., 2013).

2. Penderita dengan infeksi telinga tengah sebelumnya (riwayat OMSK berulang)

3.Umur, dengan rata - rata usia 32 bulan 4. Status sosioekonomi

(16)

5. Kelainan anatomi seperti disfungsi tuba eustachius, hipertrofi konka, polip hidung

6. Kedatangan ke day care / pusat penitipan anak 7. Riwayat rhinosinusitis / ISPA

8. Perokok aktif / pasif

9. Pemberian makan dalam posisi supine (Minovi & Dazert, 2014).

2.2.6. Terapi

Pada dasarnya penatalaksanaan untuk mastoiditis meliputi: a. Pengobatan

Pengobatan meliputi analgetik, antipiretik, dan kombinasi steroid dengan antibiotik topical. Steroid intravena untuk mengurangi pembengkakan mukosa dan lebih memudahkan terjadinya pengaliran dari

aditus ad antrum ke dalam telinga tengah (Devan, et al., 2010).

b. Pembedahan

Indikasi dilakukannya tindakan bedah jika ada komplikasi intrakranial. Tindakan bedah bisa berupa mastoidektomi sederhana dengan atau tanpa timpanoplasti atau pneumatic equalization tube placement. Pada pasien yang dilakukan pembedahan setelah operasi akan respon terhadap antibiotik oral (Isaacs, 2007).

Kontraindikasi dilakukannya tindakan bedah jika hemoglobin rendah dan terdapat penyakit-penyakit sistemik yang perlu dikontrol (diabetes, hipertensi, kondisi jantung lemah, bleeding disorder dengan perdarahan

(17)

Secara garis besar, terdapat 3 jenis pembedahan:

1.Miringotomi/ timpanosentesis, biasanya digunakan untuk mendapatkan spesimen dan meringankan rasa tidak nyaman.

2. Tympanocentesis tube placement

Tympanocentesis tube placement bertujuan untuk drainase pus yang

terjebak dan aerasi telinga tengah dan mastoid. Pemberian tuba untuk mempertahankan pembukaan membrane timpani dan memudahkan jalan masuk antibiotic / steroid ke telinga tengah dan mastoid (Devan, et al., 2010).

Timpanosentesis seharusnya dilakukan jika membran timpani masih utuh untuk uji mikrobiologi dan uji sensitivitas (Conway & Wald, 2012).

3. Mastoidektomi

Mastoidektomi dilakukan untuk membuang sel udara mastoid yang terinfeksi. Indikasi mastoidektomi adalah pada kasus-kasus dengan penyakit yang lebih berat seperti osteitis, komplikasi intrakranial, pembentukan abses, terdapat kolesteatoma, atau sedikit perbaikan setelah 24-48 jam pemberian antibiotik.

Mastoidektomi terbagi dalam: a. Simple (closed) mastoidectomy

Dokter membuat insisi dibelakang telinga untuk bisa masuk ke daerah mastoid atau membuang sel udara yang terinfeksi dengan pendekatan melalui telinga.

(18)

Simple mastoidectomy diperlukan ketika anak tidak membaik dalam

48 jam (dibuktikan dengan berkurangnya gejala lokal) dan kasus OMSA yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik yang tepat dan justru berkembang menjadi mastoiditis koalesen (Conway & Wald, 2012).

Kombinasi simple mastoidectomy dengan terapi antibiotik dan pemasangan tympanostomi tube diindikasikan sebagai tatalaksana awal ketika abses subperiosteal muncul (Conway & Wald, 2012). b. Radical mastoidectomy

Pada operasi ini, dokter membuang membran timpani, hamper semua struktur telinga tengah dan sampai pembukaan tuba eustachius (Devan, et al., 2010).

Radical mastoidectomy hanya dilakukan ketika tidak ada respon

dengan simple mastoidectomy yang ditandai dengan otorea masih berlanjut (Conway & Wald, 2012).

Mastoiditis akut seharusnya ditangani dengan pemberian antibiotik intravena dan biasanya miringotomi dengan atau tanpa tympanostomi tube placement (Conway & Wald, 2012). Sedangkan pada mastoiditis kronik atau infeksi yang berulang dan menetap memerlukan mastoidektomi. Penatalaksanaan yang direkomendasikan adalah melalui drainase pada telinga tengah secara operasi, yang biasanya meliputi timpanosintesis yang diikuti dengan miringotomi atau timpanostomi tube, ditambah dengan antibiotik (Isaacs, 2007).

Jika kerusakan tulang minimal, lakukan miringotomi atau tympanocentesis

(19)

2.2.7. Komplikasi

Faktor resiko terjadinya komplikasi mastoiditis, seperti: terjadi secara cepat dan agresif dari yang diduga pada orang berusia muda, dan pada pemeriksaan radiografi terdapat infeksi dengan resultant hyperostosis sebelumnya yang signifikan (sclerosis) (Williams & Wilkins, 2006).

Gambar 2.8. Komplikasi Mastoiditis (Dikutip dari Probst, Grevers, dan Iro, 2012)

Komplikasi mastoiditis terbagi dua, yaitu: 1) Komplikasi intratemporal

Komplikasi ini dapat berupa: a. Perforasi membran timpani b. Tuli konduksi

(20)

d. Fasial palsi e. Petrositis.

2) Komplikasi Ekstratemporal.

Komplikasi ekstratemporal terbagi 2, yaitu: a. Komplikasi intrakranial:

Tanda yang paling umum dari komplikasi intrakranial adalah demam, otalgia, sepalgia, dan penurunan kondisi umum. Mastoiditis akut dengan perubahan status mental juga merupakan tanda komplikasi intrakranial sudah terjadi.

Yang termasuk komplikasi intrakranial: i. Abses Sistem Saraf Pusat

ii. Meningitis

iii. Lateral sinus thrombophlebitis b. Komplikasi ekstrakranial:

i. Abses retroaurikular ii. Abses zigomatikus

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi Telinga Tengah (Dikutip dari Ludman dan  Bradley, 2007)
Gambar  2.2.  Membran  timpani  (kanan)  (Dikutip  dari  Kalmanovich,  2006)
Gambar 2.4. Perforasi Marginal (Dikutip dari Ludman &amp; Bradley, 2007)  3.  Perforasi total
Gambar 2.6. Tuba Eustachius (Dikutip dari Probst dan Grevers, 2006)  Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai tenaga kesehatan, tentunya kita &#34;uga memiliki tanggung &#34;a3ab sendiri untuk men*apai tu&#34;uan #(5s tersebut khususnya dalam kasus pen*egahan insidensi

 Fraud 0penipuan1 menurut IS/ &#34;9# merupakan kejahatan atau penipuan yang sengaja dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang antara manajemen, pemerintah, karyawan,

Atau apabila tanah yang mempunyai daya dukung yang cukup untuk memikul berat Atau apabila tanah yang mempunyai daya dukung yang cukup untuk memikul berat bangunan

Hipotesis nol: Pemberian tugas rumah tidak efektif dalam mendorong peserta didik di kelas PGMI A dan B Semester 3 Jurusan PGMI Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkuat informasi ilmiah kepada masyarakat mengenai potensi sirih merah sebagai obat penurun kadar gula darah pada

Mata kuliah untuk menyiapkan pameran yang diawali dengan konten, konsep, data-data, eksekusi karya meliputi: desain Grafis, teknik audio visual, media cetak, media

Para pembuat keputusan dalam pemerintah ,sektor swasta dan masyarakat (civil cociety) bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholder. Akuntabilitas

Faktor-Faktor yang Berpengaruh Dalam Penentuan Penyaluran Kredit Perbankan (Studi Pada Bank Umum di Indonesia Periode Tahun 2006-2011).. Najakhah, Jazilatun, Saryadi dan