Asmawi * Abstrak
India merupakan sebuah wilayah yang kaya dengan nuansa peninggalan sejarah Islam, baik dari pemikiran, institusi ulama maupun struktur sosial masyarakat India. Itu merupakan fragmentasi pemahaman ajaran Islam oleh masyarakat Muslim India. Salah satu kasus yang dapat dikaji adalah Shah Waliyullah al-Dihlawi, tokoh yang hidup pada periode kemunduran Imperium Mughal dalam kondisi sosial keagamaan yang beragam (pluralis). Pada saat ini, ide-ide pembaharuan atas sudut pandang syari’ah (shariah oriented) oleh kaum Reformis yang suarakan Shaykh Sirhindi kemudian diteruskan oleh Shah Waliyullah mengambil bentuk gerakan kegamaan muslim ulama yang bersifat otonom dan kompetitif. Gerakan Shah Waliyullah yang beridentitas sintesis sufi-syari’ah dilakukan dalam rangka dialektika antara ide pemikiran al-Dihlawi dengan suasana sosial politik yang terjadi kala itu, yakni melaksanakan purifikasi (pemurnian) ajaran dengan melakukan interpretasi rasionalitas tradisi bermadhab dalam konteks sosial budaya masyarakat Muslim India tersebut.
Kata kunci: Shah Waliyullah al-Dihlawi, India, purifikasi
A.Pendahuluan
Di dalam dunia Muslim dinamika Ulama terjadi dengan berbagai varian
bentuk yang bertujuan mengadakan
transformasi ide dan gerakan respon terhadap milieu yang mengitarinya. Karena posisi ulama dalam Islam sangat penting. Dalam al-Qur’an posisi ulama ditempatkan sebagai penerus Nabi, suatu posisi sangat mulia di sisi Allah Maupun dihadapan Masyarakat. Abd Rahman al-Jabarti dengan bukunya Ajaib Athar Tarajim wa al-Akhbar membuat empat katagori tingkatan manusia. Tingkat pertama adalah Nabi yang menerima risalah langsung dari Allah, kedua. Ulama sebagai pengganti Nabi (the depositors of Truth in this world and the elite of mankind). Tempat ketiga adalah raja atau penguasa, dan yang terakhir adalah manusia
pada umumnya.1
Ulama ditempatkan pada level kedua karena posisinya sangat mulia yakni sebagai penjaga tradisi, penyampai Islam, bijak dalam banyak hal dan moral tutor masyarakat. Ulama tidak mencetak kasta atau gelar, begitu pula tidak menggunakan keluasan ilmunya untuk mencapai kekuasaan “pen is
mighter then the sword”. Pada sisi lain ulama berani menentang tirani dan penguasa yang korup dan memberi sanksi moral bagi
mereka yang melanggar aturan.2
Hal tersebut dapat dibuktikan dari historisitas perjalanan ulama sendiri. Jazirah Arabia telah tunduk di bawah kekuasaan Islam sebelum Nabi Muhammad Saw wafat pada tahun 632 M. Pada zaman Khalifah Pertama Abu Bakar Shidiq Ekspansi Islam keluar jazirah Arabia dimulai, kemudian
dilanjutkan oleh khalifah-khalifah
berikutnya. Dalam perkembangan tersebut muncul ulama-ulama sebagai pewaris para Nabi menerangi jalan manusia.
Nabi Muhamad Saw, di Makkah berkedudukan sebagai pemimpin agama. Berbeda halnya tatkala di Madinah, selain sebagai pemimpin agama Nabi Saw juga sebagai pemimpin negara. Pada masa Khulafa’ al-Rashidin kedudukan peran sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin negara dipegang oleh khalifah. Namun setelah dikenal sistem dinasti maka terjadilah pemisahan antara keduanya, peran sebagai pemimpin agama dipegang oleh ulama sedangkan peran sebagai pemimpin negara dipegang oleh kalangan umara,
sekalipun diantara khalifah ada juga yang dapat dikatagorikan ulama.
Pemisahan tersebut berdampak
bahwa selain terjadi pertentangan antara ulama dan umara, juga sikap ulama pun bervariasi. Ada yang berani memberikan nasihat dan berhadapan dengan umara yang dzalim, ada yang tidak bersedia bekerjasama dengan umara sehingga ia diusir dari negerinya atau disiksa dalam tahanan, dan
ada juga yang lalai dari tugasnya.3 Dengan
demikian kajian tentang identitas ulama dalam perspektif keumatan adalah sebuah keniscayaan, dikarenakan tantangan dan
perjuangan beberapa ulama Muslim
dikawasan dunia Islam juga mengalami dinamika sesuai situasi dan kondisi yang mereka hadapi.
Di India pada abad-18, terdapat
seorang ulama yang mempunyai
karakteristik perjuangan khas Hindia, yaitu Shah Waliyullah Al-Dihlawi (1703-1763).
Dia adalah pengikut Sirhindi yang
melanjutkan pembaharuan dalam situasi lingkungan dibawah kemunduran Imperium Mughal. Transformasi ide dan gerakannya
dilakukan setelah dia melakukan
pengembaraan dari pusat bagi pengajaran kaum pembaharu yakni Mekkah. Ia menekankan pentingnya kembali kepada ajaran Nabi dan keharusan memurnikan Islam (purifikasi) dari pemujaan para wali lantaran bertentangan dan tidak konsisten
dengan kehidupan Nabi.4
Hidup pada zaman kemunduran rezim Muslim di India yakni Mughal, sehingga memunculkan tiga jenis respon yang berbeda-beda. Pertama. Beberapa kelompok kegamaan seperti Barelwis dan ulama Farangi Mahall tidak banyak yang diperbuat, melainkan mereka menerima pemerintahan Inggris dan mentransmisikan keyakinan dan praktik Islam tradisional termasuk penghormatan terhadap Shari’at dan pemujaan para wali. Respon kedua diwakili oleh para mantan elit politik, tidak berada pada tataran kebangkitan tradisi muslim melainkan pada tataran penyerapan sains Barat dan pembentukan identitas
Muslim modern. Respon ini dilakukan oleh Aligarh dan Liga muslim dan akhirnya mengantarkan kepada terbentuknya negara
Pakistan.5
Respon yang terakhir dilakukan para reformer dalam tradisi pengajaran Shah Waliyullah al-Dihlawi dan gerakan reformasi
Muslim internasianal yang berusaha
menghapuskan kolaborasi dengan
pemerintahan Inggris dan memperkuat kehidupan keagamaan Muslim dengan
meningkatkan amalan Islam dan
menjauhkan diri dari praktek pemujaan para
wali.6 Usaha pembaharuannya terlihat dalam
memperhatikan nasib umat Islam yang semakin hari semakin memprihatinkan ditengah-tengah imperialisme Barat. Dia terpanggil hatinya untuk mengubah tatanan sosial dan politik zaman itu. Dengan memberikan diagnosa terhadap berbagai penyakit yang merasuki masyarakat Islam, dan menganjurkan cara pengobatan untuk kesembuhanya. Ia mengkritik adat-istiadat yang non-Islami yang telah masuk kedalam tubuh umat Islam karena hubunganya
dengan Hinduisme.7
Demikian juga pentingnya melihat komunitas komunal keagamaan muslim ketika al-Dihlawi hidup, yang mencakup seluruh varietas utama Islam - scholatisme ulama, sintesa sufi shari’ah, pemujaan tempat keramat, dan Islam reformis. Sebuah
protet keagamaan yang pluralistik
menghilangkan model birokrasi dan kontrol kenegaraan. Kualitas kultural yang khas
dalam peradaban Islam India, dan
kecenderungan otonomi dan pluralitas keagamaan menjadikannya sebuah varian yang khas dari pola universal Islam.Dari sinilah ide penulisan makalah ini yang mencoba mengesplorasi figur Ulama shah Waliyullah al-Dihlawi yang dalam khazanah pemikiran keislaman dia selalu teguh untuk melakukan purifikasi ajaran Islam sebagai landasan teologis pembaharuan Islam di tengah kemelut kolonialisme yang biasanya berimplikasi kepada polarisasi ajaran Islam.
B. Biografi Shah Waliyullah al-Dihlawi Shah Waliyullah (1114
H/1704M-1176H/1768M)8, Dia dilahirkan di Delhi
India dengan nama lengkap Waliyullah Ahmad ibn Abd Rahim Ibn Wajih al-Din al-Shahid ibn Mu’dham ibn Mansur ibn Ahmad ibn Mahmud ibn Qiwam al-Din ibn Qasim ibn kabir al-Din ibn Abd al-Malik Ibn Qutb al-Din ibn Kamal al-Din ibn Shams al-Din Ibn Shayr al-Malik ibn Muhamad ibn Abi al-Fath ibn Umar ibn Adil ibn Faruq ibn Jurjesh ibn Ahmad ibn Muhamad ibn Uthman ibn Mahan ibn Hamayun ibn Qurays ibn Sulayman ibn Affan ibn Abdillah Ibn Muhamad ibn Abdillah ibn Umar ibn Khatab Adawi al-Quraysh. Dilihar dari runtut nasab tersebut shah Waliyullah bernasab kepada khalifah
kedua yaitu Umar bin Khattab ra.9
Keluarganya sebagai keturunan yang
mempunyai status sosial dimasyarakatnya. Ini dapat dilihat dari sisi keilmuan ayahnya (shah abd. Rahim/1054-1131 h) sehingga dapat menduduki posisi Qadha’ (hakim), juga sebagai ustad di madrasahnya sendiri
“al-Rahimiyah”.10
Shah Waliyullah adalah seorang ilmuwan, mujtahid fi al-madhab kepada imam Hanafi karena memang mendalami madhab besar tersebut dan kondisi sosial masyarakat India mayoritas adalah bermadhab Hanafi, walaupun kadang banyak yang menilai dia adalah seorang mujtahid mustaqil. Diantara beberapa gurunya adalah orang tuanya shaykh abd. Rahim, Shaykh Sayalakuti Dihlawi, Shaykh Abu Tahir kurdi al-Madani, Shaykh Wifd Allah al-Makki,
Shaykh Tajudin al-Qal’i al-Hanafi.11
Karyanya sangat banyak ada sekitar 50 karangan dari berbagai disiplin ilmu, mulai al-Qur’an Hadith, sejarah atau tarikh, fiqih, Usl al-Fiqh, Tasawuf, filsafat dan sebagainya. Diantaranya adalah Fath al-Rahman bi tarjamat al-Qur’an, al-Fawz al-Kabir, fath al khabir bima labuda min hifdhihi fi tafsir, Maswa min ahadith Muwata’, al-Musaffa, Hujatullah al-Balighah, al-Insaf fi bayani sabab al-ikhtilaf, ‘Iqd al-Jid fi al-Ijtihad wa Taqlid, izalat Khafa ‘an Khilafat
al-Khulafa’, Qurat al-Ayn fi tafdhil al-Shaikhain, al-Irshad ila Muhimat Ilm al-isnad dan
sebagainya.12
Dia hidup pada era kerajaan Mughal India, ketika masyarakat Muslim Indo-pakistan ini dihadapkan pada krisis ekonomi, politik dan spiritual. Krisis inilah yang mendorong dia dengan kemampuan intelektualnya untuk mencarikan problem masyarakat, dengan ide-ide baru dan
kreativitas intelektual sehingga dapat
membuat regenerasi kehidupan intelektual
dalam masyarakatnya.13 Sampai sekarang
banyak ulama India dan Pakistan
diinspirasikan oleh beberapa pemikiran shah Waliyullah terutama dalam hal modenisasi.14
C.Al-Dihlawi: Kondisi Sosial
Keagamaan dan politik di India pada abad XVIII
Historisitas ulama India dimasa Shah Waliyullah hidup tidak dapat dipisahkan dengan faktor sosial politik di India sendiri. Menjelang era tranformasi modern di anak benua India ini, Imperium Mughal
sebagaimana imperium Usmani dan
Safawiyah merupakan sebuah rezim
patrimonial yang dengan kuat menekankan identitas India dan Persia-nya yang
kosmopolitan. Kehidupan keagamaan
Muslim di Anak benua ini sangat pluralistik. Demikian juga struktur komunal keagamaan Khususnya Muslim sebagai kaum minoritas di India tidak terbentuk dalam komunitas tunggal, melainkan terdiri dari berbagai kelompok etnik, nasab, dan sejumlah kelas penduduk, bahkan terdiri dari beberapa kasta.15
Muslim India membentuk sejumlah badan keagamaan berdasarkan persekutuan terhadap madhab hukum, tariqat sufi, dan persekutuan terhadap ajaran shaykh, ulama dan wali Individual. Sebagian mereka adalah warga sunni dan sebagian shi’I, meskipun ini bukan sebagai pembeda yanmg absolut, lantaran kuatnya simpati warga sunni terhadap keluarga Ali. Warga Sunni sendiri dibedakan antara mereka yang kommit
terhadap skripturalis dan mereka yang
kommit terhadap sufisme populer,16 sebuah
bentuk keagamaan dimana pemujaan
terhadap wali baik yang masih hidup atau
yang sudah meninggal dengan
penggabungan sejumlah seremoni dzikir, penyesalan, dan seremoni perkawinan dan pemakaman merupakan prinsip utama dari ekspresi keagamaan mereka.
Pada periode Mughal ini pengaruh tariqat Naqshabandiyah dan Qadiriyah
menggantikan pengaruh tariqat
Suhrawardiyah dan Chistiyah. Pengikut tariqat Naqshabandiyah mengembangkan sebuah disiplin spiritual yang mengarah kepada penglihatan (vision) terhadap Allah,
tetapi mereka juga bersikeras akan
pentingnya keterlibatan aktif dalam urusan duniawi. Pemimpin dari tariqat ini di India
adalah Mirza Mazhar (1700-1781M),
kemudia dilanjutkan shah Ghulam Ali (1753-1824) yang menekankan peranan
sosial dan politik seorang shaykh
Naqshabandiyah, mengorganisir Khanqah, mengirimkan murid-muridnya menyusup ke Iran dan Afghanistan, memanfaatkan pengaruh moralnya terhadap tokoh-tokoh
politik.17 Mungkin doktrin inilah yang
memuluskan konversi penguasa dalam sistem keagamaan Muslim di India. Sehingga pada pada masa ini ulama adalah
ilmuwan-ilmuwan Muslim yang
mengabdikan kepada negara yang masuk
pada sistem administrasi birokrasi
keagamaan seperti Qadhi yang menguasai peradilan, sadr propinsial yang mengepalai para hakim, mubaligh, imam shalat, mu’adzin , bertanggung jawab terhadap pengangkatan mufti serta menjaga hubungan antara pemerintah dan ulama. Berbeda dengan pola Naqshabandiyah, tariqat yang lain menekankan pemujaan para wali, yang mengesampingkan aspek duniawi dan ajaran shari’ah sebagai langkah awal untuk menuju hakikat.
Pengaruh shi’I di India juga sangat besar, dengan adanya penguasa Muslim yang dari aliran ini. Golconda dan Kashmir diperintah oleh rezim Mughal yang
mempunyai seorang istri shi’i dan sejumlah kaum shi’I yang menduduki jabatan tinggi. Pengikut shi’I di India tidak hanya dari shi’ah dua belas tetapi juga dari Nizariyah
dan Bohras.18
Keragaman keagamaan Muslim dan
sejumlah kelompok sosial di India
melahirkan sejumlah konsep yang
bertabrakan sekitar makna sosial keyakinan agama Islam (the social meaning of Islamic
religious belief).19 Kelompok Shari’ah minded
memahami masyarakat muslim sebagai sebuah garis nasab dan garis kelas yang
tidak linier (terputus-putus). Mereka
mendefinisikan Muslim tidak pada garis keturunan Nasab, tidak berdasarkan posisi dalam Negara, atau berdasarkan pekerjaan tetapi berdasarkan keyakinan Individual terhadap Islam yang melampaui seluruh ikatan sosial dan memandang manusia sederajat dan saling bersaudara dalam
agama. Muslim Shari’ah juga
memberlakukan hukum Islam oleh negara dan penyerahan perkaran warga Hindu kepada pemerintahan Muslim dengan
diskriminasi pajak dan sejumlah
pembatasan. Sebaliknya, sufisme yang berkembang pada saat itu memperlakukan Islam sebagai sebuah aspek integral ikatan
keturunan, pekerjaan, atau ikatan
ketetanggaaan.20
Perbedaan orientasi keagamaan
tersebut merupakan sebuah permasalahan politik yang sangat penting pada abad-17 dan 18, ketika pihak penguasa atau negara
mencapai kebijakan konsiliasi antar
beberapa kelompok Muslim yang berbeda, antara kelompok Muslim dan Hindu. Ini disebabkan adanya tantangan oleh tokoh-tokoh dari shari’ah orientied dan Ulama-ulama non shari’ah. Penentang terbesar dari kebijakan imperial adalah Shaykh Ahmad
Sirhindi yang mengklaim sebagai
Mujtahid.21Sebagai figur Naqshabandiyah,
dia menyuarakan ide-ide pembaharuan atas sudut pandang shari’ah dan kaum Reformis. Serta memodifikasi doktrin wahdatul Wujud Ibn ‘Arabi tentang kesatuan wujud dan landasan metafisika ajaran sinkritesme
agama menjadi wahdat al-shuhud (kesatuan pandangan).
Demikian juga idenya tentang
Konsep negara Islam. Menurut
pandangannya Hinduisme dan Islam
merupakan sebuah hubungan mutual yang sifatnya dualisme. Adalah menjadi kewajiban Muslim untuk menundukkan non-Muslim. Oleh karena itu, ia selalu menganjurkan para penguasa untuk memberlakukan pajak
kepala kepada non-Muslim,
membebaskanya dari jabatan politik, dan memberlakukan Shari’ah dalam semua bidang.
Disinilah posisi Shah Waliyullah al-Dihlawi dalam kancah dinamika Keagamaan dan Politik di India abad-18. Sebagai seorang pembaharu (reformer) dan pengikut
Sirhindi22 dia mencoba mengadaptasikan
hukum-hukum Islam terhadap kondisi lokal. Dengan berusaha mensistesakan perbedaan madhab Hukum, berusaha meredam perselisihan antara madhab dikalangan Muslim India, juga penerapan Shari’at Islam untuk menjalankan roda ketatanegaraan dengan menggunakan
sistem khalifah.23
Dari beberapa diskripsi analitis
tentang kondisi sosial keagamaan dan politik di India abad–18 dimasa al-Dihlawi hidup, dapat dipahami bahwa sebagai konskwensi dari pluralisme, di India tidak berkembang sebuah naluri identitas Muslim yang bersifat Universal dan menyatu.
Hubungan imperium Mughal dan
kehidupan keagamaan Muslim terjaga melalui pluralisme ini. Meskipun Negara
melindungi sekelompok kecil Ulama,
namun pihak ulama dan sufi, keduanya secara umum bergantung kepada negara.
Ulama reformist Minded yang mewakili citra islam Universalistis sering kali bersikap kritis terhadap negara Mughal lantaran kultur kosmopolitan dan kultur imperial yang dikembangkanya, Elit Hindu terlibat didalamnya, serta sikap loyalitas patrimonial terhadapnya. Sebaliknya para pemimpin tariqat sufi, cenderung sebagai kelompok akomodasionis, mendukung negara dan
membenarkan legitimasi rezim Mughal, atau
mereka bersikap menghindar diri
sepenuhnya dari konsep-konsep politik. Demikianlah dinamika keagaaan Muslim India Pra-Modern yang tidak mewariskan doktrin tentang kekuasaan negara, tidak juga sejarah pembentukan madhab hukum atau Ulama, melainkan masih dalam bentuk gerakan kegamaan muslim oleh para ulama yang bersifat otonom dan kompetitif.
D.Pola Gerakan dan Pimikiran
al-Dihlawi
Shah Waliyullah dilihat dari beberapa karyanya adalah ulama yang mempunyai tipologi multiple scienties (menguasai beberapa keilmuan), baik politik, sosial, fiqih usl fiqh, sejarah, al-Qur’an , Hadith dan sebagainya. Untuk itu disini akan disajikan beberapa
ide-ide pemikirannya dalam berbagai
bidang, dalam rangka mempertegas identitas keulamaan dia.
Dalam bidang Politik, Shah
Waliyullah berpendapat berhubungan
dengan kemunduran umat Islam India, dengan menganalisa bahwa faktor yang menyebabkan kemunduran Umat Islam adalah a). ditukarnya sistem Khalifah dengan sistem kerajaan absolut, b). Bercampurnya ajaran Islam dengan adat Istiadat yang bertentangan dengan ajaran Islam, c). terjadinya perpecahan dikalangan umat Islam sendiri, d). adanya taqlid terhadap penafsiran–penafsiran yang dibuat
berabad-abad sebelumnya.24
Dalam kitabnya yang terkenal Izalat al-Khafa’ dibahas tentang ideologi revolusi politik. Ia menganggap kesadaran diri sebagai kesadaran mutlak untuk kesadaran politik. Shah Waliyullah berpendapat bahwa perubahan politik harus didahului dengan revolusi pemikiran. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa perubahan struktur politik atau struktur sosial harus melalui revolusi berdarah. Ia menghendaki perubahan sosial dengan cara damai.
Untuk itu Ia mendefinisikan Khalifah sebagai pemimpin agama yang paling dekat dengan sunah Nabi, laki-laki sempurna yang
berjuang demi keadilan dan berusaha menggunakan beberapa teknik administratif
dan yudisial dalam memimpin
masyarakatnya menuju kebajikan religius.
Dalam pandangan Shah Waliyullah
kehendak Tuhan terpancar melalui khalifah kepada perasaan dan pikirannya. Bahkan dalam ketiadaan fungsi spiritual ini seorang khalifah membawakan pertahanan politik umat muslim dan organisasi hukum Islam. Tugas utamanya adalah memberlakukan
praktek keagamaan Islam, misalnya
mengumpulkan zakat, mengelola
pelaksanaan haji, mengembangkan kegiatan belajar-mengajar, menangani peradilan dan membangkitkan semangat jihad. Shah Waliyullah sama sekali menolak pendapat shi’ah yang menetapkan jabatan itu untuk
gologan-golongan tertentu saja, yaitu
keturunan Rasulullah. Walaupun demikian dia berharap Umat islam akan dapat melaksanakan sistem kekhalifahan yang benar seperti yang diamalkan Khulafa’
al-Rashidun.25
Institusi yang digunakan untuk
transformasi ide-ide politiknya adalah Sekolah agamanya madrasah al-rahimiyah, yang menjadi pusat kebangkitan kembali Islam di anak benua India. Di Madrasah ini menjadi inti gerakan revolusioner untuk rekonstruksi pemikiran-pemikiran di dalam agama Islam. Di sini dididik para pekerja yang ulet dengan membawa misi dakwah disertai semangat muallim yang tinggi. Diantara mereka ada Muhammad Ashiq dari Phulat, Mawlana Nurullah dari Budhana, Mawlana Amin Kashmiri, Shaykh abu Saud Radi Ray Bardi dan anaknya sendiri Shah Abdul Aziz yang diba’iat dalam falsafah Agama dan politik oleh ayahnya sendiri.26
Shah Waliyullah memainkan peranan penting dalam politik pada masanya. Besar bantuanya dalam menempa garis depan persatuan Islam melawan kekuatan Marhatta yang menanjak serta mengancam sisa kekuatan Islam di India Utara. Dialah yang menulis kepada Najib Dawli dan Nizam al-Mulk, yang akhirnya mengundang
Shah Abdali guna menghancurkan kaum Marhatta di dalam pertempuran Punipat yang ketiga di tahun 1761. Suratnya kepada Shah Abdali yang meminta ia mengangkat senjata melawan kekuatan Marhatta yang mengancam di India itu, melawan dokumen paling penting di abad 18. Dokumen itu secara telili menganlisa suasana politik di Anak benua India, dan bahaya yang mengancam Islam di India dari segala penjuru. Ia memilih pemimpin-pemmpin Islam paling bersemangat, mampu, dan memiliki disiplin tinggi untuk melawan kaum Marhatta. Diantara pemimpin itu adalah Najibuddaula, pemimpin kaum Rahila yang mengagumkan, dan Ahmad Shah Abdali pemimpin orang-orang Pathan yang berani. Usahanya merencanakan perang yang pertama melawan kaum Marhatta itu menuai kesuksesan dan kehancuran kaum Marhatta di dalam pertempuran Punipat yang ketiga tahun
1761 menjadi sejarah anak Benua ini. 27
Demikian pemikiran dan gerakan
al-Dihlawi dalam bidang politik yang
mencerminkan sikap yang reaktif dan mempertahankan identitas Islam di India.
Dari sinilah sebenarnya embrio
kemerdekaan Pakistan sebagai negara Muslim yang mandiri tanpa ada tekanan dari pihak non-Muslim, dikarenakan posisi Muslim di India adalah Minoritas, sehingga menurut shah Waliyullah keberagamaan Pluralisme di India ditambah dengan tekanan pihak penguasa menjadikan wajak
umat Islam India semakin
memprihatinkan.28 Untuk itu diperlukan
upaya konkret mencarikan solusi problem umat Muslim India yang salah satunya melalui jalur politis.
Dalam bidang ilmu-ilmu sosial (social
Scinces), Shah Waliyullah menggagas
Paradigma Sosiologi Universal dengan mensintesakan antara pendekatan reasoning (aqliyah), revealation (wahyu) dan empiricism. Bangunan kehidupan ini dapat dibuktikan dengan sebuah survey inductive dari fenomena sosial untuk mendukung kebenaran wahyu yang telah ditunjukkan dalam kitab sucinya.
Untuk itu dia mencoba menkonstruk sebuah paradigma sosial budaya universal dengan mengatakan bahwa semua ajaran-ajaran al Qur’an dan Sunah Nabi Saw adalah sesuai dengan kebutuhan alami
manusia.29Ini dibuktikan dengan teorinya
yang bernama irtifaqat30 tertuang dalam
kitabnya Hujjatullah al-Balighah. Teorinya ini merupakan bagian dari qaidah kuliyah dalam
rangka istinbat al-maslahah al-ahkam31 yang
harus dijaga dengan menjelaskan tahapan-tahapan pertumbuhan masyarakat.
Dia berpandangan tentang individu dan masyarakat adalah sesuatu yang integral dalam filsafat hidup sosialnya. Kehidupan juga merupakan skema besar dari Allah dalam memenuhi kebutuhan dasar dan organisasi sosial. Walaupun penjelasannya tentang perkembangan sosial manusia dalam kehidupan nyata (empiris) kadang-kadang diasumsikan bentuk survey empiris, tetapi konklusinya menguatkan penjelasan
dasar dari Agama.32
Banyak dari eksponen ahli sosiologi mengatakan bahwa apa yang telah digarap oleh shah Waliyullah sebenarnya sudah dikaji oleh para pemikir Muslim sosial yang telah mendahuluinnya seperti Ibn Shina dan
Ibn Khaldun.33 Atau mungkin dia
mengadopsi pemikir-pemikir sebelumnya. Inilah yang kemudian diberikan antitesa oleh Muhamad al-Ghazali yang mengatakan bahwa apa yang digarap oleh shah Waliyullah al-Dihlawi tentang prinsip saling membutuhkan sebagai elemen sentral dari kehidupan sosial merupakan hasil elaborasi yang berdasar dalam kerangka berpikir sosial politik shah Waliyullah dan berdasar
kepada filsafat sosial kehidupannya.34 Jika
kita ingin membandingkan antara pemikiran dia dengan para pemikir Muslim atau non
Muslim pasti akan ditemukan nilai
kontribusi ide sosio politik dari shah Waliyullah yang original. Yakni dia meletakkan perkembangan manusia sebagai
organisasi sosial dengan pendekatan
komplek multidimensi yang
menggabungkan antara individu, keluarga,
sosial, ekonomi, politik, international dan agama serta spiritual.
Dalam bidang Teologi, di dalam bukunya tentang filsafat Islam dan Ilm kalam beliau berpegang Bahwa kelebihan Allah adalah pada dzatnya, pencipta agung yang maha mengetahui dan bertanggung jawab terhadap ciptaannya, tetapi tidak bersamaan dengan ciptaan itu (makhluq). Shah Waliyullah mengakui keesaan ciptaan, tetapi menyatakan bahwa keesaan itu pada penciptaan bukan pada dzat makhluq dan dzat Allah. Beliau telah mencari jalan tengah diantara faham wahdatul wujud al-Halaj dan
Ibn ‘Arabi35 dengan wahdah al-Shuhud Shah
Ahmad Sirhindi dan berusaha
membersihkan amalan tasawuf yang pada satu ketika sudah ditolak oleh ulama-ulama fiqih dan tauhid. Dia telah mencoba mempertemukan tuntutan-tuntutan tasawuf itu dengan Shari’ah, dengan itu pula dapat menyelesaikan konflik diantara ahli-ahli
teologi dengan ahli tasawuf.36
Dalam bidang Shari’ah, Shah
Waliyullah adalah salah satu reformis Muslim yang menyerukan dibukanya pintu Ijtihad, dengan tetap berpegang teguh terhadap ajaran-ajaran Islam masa-masa
awal.37 Dia juga banyak mengupas tentang
beberapa prinsip maslahah yang harus dijadikan pijakan bagi setiap orang yang ingin melakukan Ijtihad (al-qawaid al-kuliyah allati yastanbitu minha al-masalih al mura’iyah fi
al-ahkam al-Shar’iyah).38 Diantaranya kajian
tentang sebab-sebab taklif atau pembebanan kepada mukalaf di dalamnya terdapat tujuan
kebahagiaan manusia (asbab al-taklif),39kajian
tentang balasan terhadap amal yang dilakukan ketika hidup dunia dan akhirat (mujazah fi al-hayat wa ba’da al-mamat), bahasan tentang kasih sayang (irtifaqat),
Bahasan tentang prinsip kebahagiaan
(mabhas al-sa’adah), prinsip kebaikan dan dosa (bir wa ithmi), Prinsip siyasat al-miliyah (pengaturan agama). Semua prinsip tersebut dijadikan pedoman dalam rangka
menggali rahasia-rahasi hukum yang
Kajian filosofis tentang sebab-sebab taklif atau pembebanan kepada mukalaf
yang di dalamnya terdapat tujuan
kebahagiaan manusia (asbab al-taklif)41 diatas
Shah Waliyullah mengeksplorasi beberapa rahasia hukum dan hikmah taklif, misalnya Perintah sholat dishari’atkan untuk ingat kepada Allah, Puasa untuk mengekang hawa nafsu, haji untuk untuk mengagungkan shi’ar Islam, Hukum qisas diterapkan dalam rangka memberi pelajaran bagi pelaku kejahatan, Jihad untuk meninggikan kalimat
Allah, hukum-hukum muamalat di
shari’atkan untuk menegakkan keadilan
dalam interaksi sosial kemanusiaan.42 Dari
beberapa hikmah tujuan hukum Islam ini, dia berpendapat bahwa beberapa hukum selalu mempunyai ‘illat kemaslahatan bagi
manusia.43
Dari konsep tentang ijtihad al-Dihlawi tersebut, telah menunjukkan sikap keterbukaan (inklusif) dalam konsep ijtihad dengan memberikan beberapa akomodasi dan adaptasi terhadap perkembangan hukum Islam. Misalnya pendapat Shah Waliyullah untuk tidak fanatik diantara satu madhab tertentu melainkan dia berusaha untuk mensinergikan beberapa madhab Hukum Islam yang berkembang di India, dengan cara kembali kepada ajaran Nabi yakni al-Sunah (hadith). Dari konsistensi
terhadap Hadith inilah nanti yang
dikembangkan oleh anaknya Shah abd. Aziz menjadi kelompok Ahl Hadith dan kaum
Barelwis di Deoband India.44 Ditambah lagi
pendapatnya yang menganjurkan untuk selalu dilakukan ijtihad dalam rangka mencari solusi hukum Islam terhadap
permasalahan yang timbul, dengan
menyalahkan pendapat seseorang yang mengatakan bahwa ijtihad telah tertutup (insidad bab al-Ijtihad) atau pendapat yang menyatakan “pada zaman ini sudah tidak
ditemukan lagi seorang mujtahid”.45
E.Al-Dihlawi: Kepemimpinan dan
perubahan Masyarakat India Abad ke–18
Konsep mendasar yang digunakan untuk melihat kepemimpinan ulama India, khususnya Shah Waliyullah al-Dihlawi adalah konsep Weber mengenai tindakan rasional bertujuan, yang berasumsi bahwa seorang melakukan tindakan karena ada
tujuan dibalik melakukan tindakan itu.46
Dari grand konsep ini, kemudian akan diturunkan ke beberapa teori tentang
kepemimpinan, seperti kepemimpinan
kharismatis, yaitu kepemimpinan yang diperoleh melalui pesona pribadi dan kelebihan yang dimiliki serta memperoleh pengakuan dari masyarakat. Kemudian kepemimpinan tradisional, yaitu apabila
otoritas kekuasaan yang diperoleh
berlandaskan kepada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kekudusan tradisi zaman dulu serta legitimasi status mereka darinya. Dan kepemimpinan rasional ialah apabila otoritas tersebut diperoleh melalui otoritas hukum yang berlaku atau aturan-aturan legal.47
Untuk melihat kepemimpinan ditinjau dari hubungan interaksional antara bawahan dan atasan, maka digunakan teori mediator yang asumsi teoritiknya mengatakan bahwa seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk menghubungkan kepentingan atasan
dan bawahan, menyelenggarakan
harmonisasi diantara keduanya dalam dinamika yang kompleks. Al-Dihlawi sebagai ulama India dalam hal ini menjadi agen bagi hubungan antara kelompok atas
dan bawah.48
Oleh karena itu membaca state of art kepemimpinan, demokrasi dan perubahan sosial di anak benua India abad–18 akan menjadi relevan jika menggunakan
teori-teori diatas, dengan catatan bahwa
penggunakan teori ini adalah sesuatu yang bersifat more or less. Untuk kepentingan Tulisan ini difokuskan kepada ulama Shah Waliyullah al-Dihlawi sebagai figur ulama yang menjadi daya tarik dan sekaligus
menjaga konsistensi dan komitmen
terhadap pembaharuan di masyarakat Muslim India.
Di atas sudah disebutkan bahwa ada beberapa ranah pemikiran dan gerakan yang dilakukan oleh al-Dihlawi baik dalam
bidang pendidikan (yaitu dimadrasah
peninggalan orang tuanya, al-Rahimiyah), sosial keagamaan dan politik (aktif dalam
memperjuangkan pembaharuan dalam
komunitas Islam India, juga tariqat
Naqshabandiyah (menjadi pengikut
Sirhindi). Untuk itu dia adalah seorang pemimpin yang dapat berperan sebagai perantara (agen) dunia manusia yang eksoteris dengan dunia supranatural yang esoteris. Pandangan seperti ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor, yaitu 1). Aspek kesejarahan masyarakat Muslim India yang terdapat
kecenderungan untuk menempatkan
pemimpinya dalam hirarki yang sangat tinggi karena pengaruh-pengaruh agama
sebelumnya yakni Hindu, sedangkan
Muslim India adalam posisi minoritas. 2). Keyakinan mengenai konsep kepemimpinan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi sehingga al-Dihlawi yang memiliki ilmu dan menyebarkannya pada masyarakat India pada dasarnya adalah pewaris Nabi yang perlu ditempatkan pada kedudukan yang tinggi di masyarakat.3). Sebagai pengikut tariqat sufi Naqshabandiyah sedikit banyak akan dipengaruhi oleh faham sufi bahwa Shah Waliyullah al-Dihlawi adalah penunjuk
jalan untuk mencapai maqam, stage
(tingkatan) tertinggi dikomunitasnya yaitu makrifat billah (suatu penyaksian akan kekuasaan allah). Dalam ajaran Sirhindi yang diteruskan oleh al Dihlawi disebut Wahdat al-Shuhud perubahan dari konsep wahdat al-wujud Ibn Arabi.
Dalam Perspektif sosiologis dinamika pemikiran dan gerakan yang dilakukan al-Dihlawi kalau dilihat dari paradigma Weberian, maka makna riligius apa yang dapat ditangkap dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh ulama Shah Waliyullah al-Dihlawi tersebut. Apakah dalam rangka pemurnian ajaran (purifikasi), atau sikap
sebagai tradisi bermadhab, atau
menginginkan perubahan dan rasionalitas
ajaran.49Disini telah terlihat dialektika antara
ide pemikiran al-Dihlawi dengan suasana sosial politik yang terjadi kala itu, merupakan upaya al-Dihlawi dalam rangka melaksanakan purifikasi (pemurnian) ajaran dengan melakukan interpretasi rasionalitas tradisi bermadhab dalam konteks sosial budaya masyarakat India tersebut.
F. Penutup
Ulama India yakni Shah Waliyullah al-Dihlawi hidup pada periode kemunduran Impreium Mughal dalam kondisi sosial keagamaan yang beragam (pluralis). Pada saat ini ide-ide pembaharuan atas sudut pandang shari’ah (shariah oriented) oleh kaum Reformis yang suarakan Shaykh Sirhindi kemudian diteruskan oleh Shah Waliyullah mengambil bentuk gerakan kegamaan muslim ulama yang bersifat otonom dan kompetitif. Gerakan Shah Waliyullah yang beridentitas sintesis sufi-shari’ah dilakukan
dalam rangka dialektika antara ide
pemikiran al-Dihlawi dengan suasana sosial politik yang terjadi kala itu, yakni melaksanakan purifikasi (pemurnian) ajaran dengan melakukan interpretasi rasionalitas tradisi bermadhab dalam konteks sosial budaya masyarakat Muslim India tersebut.
Daftar Pustaka
al-Dihlawi, Pengetahuan Suci Dimensi-Dimensi
Ruhani Mistisisme, terj. Ribut
Wahyudi, Surabaya: Risalah Gusti, 2002.
al-Dihlawi, al-Maswa Sharh al-Muwata’, Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 1983. Jainuri, Ahmad, Ideologi Kaum Reformis,
Surabaya: Lpam, 2002.
Willner, Ann Ruth and dorothy Willner.” Kebangkitan dan Peranan
Pemimpin-Pemimpin Kharismatik” dalam
Sartono Kartodirjo. Kepemimpinan
dalam dimensi Sosial, Jakarta: LP3S, 1984.
Mashrot, Afaf L. Sayyid, “The Ulama Cairo inm The eightteenth and nineteenth
Centuries” dalam Nikki R. Keddie (Ed). Scholars, Saints and Sufis, California:University of California, 1978.
Sholeh, A. Khudhori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Kholik, Abdul, “Hubungan Ulama dan Negara di Mesir”, dalam Akademika, Jurnal Studi keIslaman, Program IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol.18, Nomor. 2, Maret 2006.
Metcalf, Barbara Daly, Islamic Revival in
British India:Deoband, 1860-1900.
Princeton New Jersey:Princeton
University Press, t.t.
Jalbani, G.N., Sufisme and The Islamic Tradition, The Lamahat and Sata’at of Shah Waliyullah, London: Octagon Press, 1980.
Ritze, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali press, 1985.
Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta:P3M, 1987.
Lapidus, Ira .M., A History of Islamic Societies, Cambridge: University Press, 1988. Lapidus, Ira .M., Sejarah Sosial Umat Islam,
terj. Gufron A.Masadi, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000.
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991. Shukr, Muhamad Sharif, “Al-Muqdimah”
dalam Waliyullah al-Dihlawi.
Hujatullah al-Balighah, Beirut: Dar Ihya’ al-Ulum, 1992.
Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, Lahore: Pakistan of Philosophical Conggres, t.t.
Muhammad, Mi’raj, Islamic Perspective, Saudi Arabia: Saudi Publishing House, 1979.
al-Ghazali, Muhamad, “Universal Social Cultur. An Empirico-Revealational Paradigm of Shah Waliyullah al-Dihlawi” dalam The American Journal of Islamic Social Sciences, Washinton:The Association of Muslim Social Scince, 1994.
Yahya, Mahjudin, Sejarah Islam, Malaysia: Fajar Bakti, 1993.
Solahudin, Nadhir ” Peta Kajian Islam” dalam Akademika program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol. 05, No. 1, 1999.
Malik, Rizwan, “The Ulama And The Religio-Political Developments In Modern India”, dalam The American Journal Of Islamic Social Scinces, The International Institute Of Islamic Thought, Vol. 5, No. 2, 1988.
Eaton, Richard M., “The growth of Muslim Identity in Eighteen Century Bengal”, dalam Nehemia Levtrion and John Obert Voll. Eighteen Century Renewal and Reform in Islam, New York: Syracuse University Press, 1987. al-Munawar, Sayid Aqil, Dimensi-Dimensi
kehidupan dalam Perspektif Islam,
Malang: Program Pasca Sarjana Unisma, 2000.
Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theory, Cambridge: University press, 1997.
Choueri, Youssef M., Islamic Fundamentalism, London: Continum, 1997.
Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, Yogjakarta: Tiara Wacana, 1992.
* STAIN Tulungagung dan IAI Tribakti Lirboyo Kediri.
1
Afaf L. Sayyid Mashrot. “The Ulama Cairo inm The eightteenth and nineteenth Centuries”
dalam Nikki R. Keddie (Ed). Scholars, Saints and Sufis, (California: University of California, 1978), p. 149.
2
Ibid., Lihat juga Abdul Kholik. “Hubungan Ulama dan Negara di Mesir”, dalam Akademika, Jurnal Studi keIslaman, Program IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol.18, Nomor. 2, Maret 2006, pp. 106-116.
3 Sayid Aqil al-Munawar, Dimensi-Dimensi kehidupan dalam Perspektif Islam, (Malang: Program Pasca Sarjana Unisma, 2000), pp. 6-13.
4
Muhamad Sharif Shukr. Al-Muqdimah dalam Waliyullah al-Dihlawi. Hujatullah al-Balighah, Juz I, (Beirut: Dar Ihya’ al-Ulum, 1992), p. 14; Ira .M. Lapidus, Sejarah sosial Umat Islam, Terj. Gufron A.Masadi, Juz III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), pp. 261-263.
5 Ibid., p. 264. Lihat juga Rizwan Malik. “The Ulama And The Religio-Political Developments In Modern India”, dalam The American Journal Of Islamic Social Scinces, The International Institute Of Islamic Thought, Vol. 5, No. 2, 1988, p. 249. Lihat juga Richard M. Eaton. “The growth of Muslim Identity in Eighteen Century Bengal”, dalam Nehemia Levtrion and John Obert Voll. Eighteen Century Renewal and Reform in Islam, (New York:Syracuse University Press, 1987), pp. 161-162.
6 Ibid. 7
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), p. 253.
8
Al-Dihlawi. Pengetahuan Suci Dimensi-Dimensi Ruhani Mistisisme, terj. Ribut Wahyudi, (Surabaya:Risalah Gusti, 2002), p. v. Lihat juga M.M. Sharif, History of Muslim Philosophy, (Lahore: Pakistan of Philosophical Conggres, t.t.), p. 1557.
9
Hanya satu kitab yang dinyatakan oleh shaykh Sharif Shukr dalam memberikan kata pengantar cetakan dari kitab Hujatullah al-balighah bahwa Shah Waliyullah al-Dihlawi adalah keturunan ahli al-Bait (keluarga Nabi) berasal dari imam Musa al-Kadhim. Muhamad Sharif Sukr. Dalam muqadimah kitab Waliyullah al-Dihlawi. Hujatullah al-Balighah, Juz I, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Ulum,1992), p. 13.
10
Ibid., al-Maswa Sharh al-Muwata’, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 1983), pp. 5-6.
11
Ibid., pp. 8-9. 12 Ibid., pp. 10-12
13 Mi’raj Muhammad. Islamic Perspective, (Saudi Arabia: Saudi Publishing House, 1979), p. 343.
14 Ibid. 15
Ira .M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Gufron A.Masadi, Juz I dan II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), p. 703.
16
Ira .M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge:University Press, 1988), p. 458. 17 Ibid., p. 459. 18 Ibid., p. 460. 19 Ibid., p. 461. 20 Ibid. 21
Ira .M. Lapidus, Sejarah Sosial…, p. 709. 22
Ibid., p. 710. 23
Ibid. 24
Ira M. Lapidus, Sejarah sosial Umat Islam…; Juz I dan II, p. 710. Juga Mahjudin Yahya. Sejarah Islam, (Malaysia:Fajar Bakti, 1993), p. 522.
25 Al-Dihlawi, Hujatullah al-Balighah…, Juz II, pp. 394-400.
26 Ibid. 27
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Juz I, II, (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), p. 710.
28
Youssef M. Choueri.Islamic Fundamentalism, (London: Continum, 1997), pp. 7-11. Juga Rizwan Malik.”Ulama and The Religio-Political Development in India” dalam The american Journal of Islamic Social Science…; p. 253 Lihat Juga Ahmad Jainuri. Ideologi Kaum Reformis, (Surabaya: Lpam, 2002)
29
Waliyullah Dihlawi. Hujatullah al-Balighah…, Juz I, p. 119.
30 Ibid.
31 Ibid., Juz I, p. 47.
32 Muhammad al-Ghazali. “Universal Social Cultur. An Empirico-Revealational Paradigm of Shah Waliyullah al-Dihlawi” dalam The American Journal of Islamic Social Sciences, (Washinton:The Association of Muslim Social Scince, 1994), Vol. 2, No. 1, 13.
33
Baljon dalam bukunya yang berjudul Religion and Thought of Sekh Waliyullah al-Dihlawi mengatakan bahwa prinsip saling membutuhkan sebagai elemen central dalam kehidupan sosial bukanlah original pemikiran atau ide dari shah waliyullah al-Dihlawi, tetapi sudah diperkenalkan oleh para pemikir Muslim terdahulu yakni Ibn Shina dalam Kitab al-Najat dan Ibn Khaldun dalam kitab al-Muqadimahnya. Ini yang kemudian di counter oleh shah Muhamad al-Ghazali dengan mengatakan bahwa Doktrin [politik dan sosial dari shah Waliyullah disamapaikan dengan dasar sebagai bagian yang integral dengan filsafat kehidupan sosialnya, dan dalam kerangka beropikir sosial politik dia.
34
Ibid., pp. 13-14. 35
Dengan pemikiran bahwa alam semesta adalah aktualisasi entitas-entitas permanen yang ada dalam ilmu Tuhan. Maka bagi Ibn Arabi seluruh alam ini meski tampak beragam adalah hanya satu yuakni Tuhan sebagai satu-satunya realitas dan realitas yang sesungguhnya. Apapun yang selain dia tidak bisa dikatakan wujud yang sebenarnya. A. Khudhori Sholeh. Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), p. 148.
36 G.N. Jalbani. Sufisme and The Islamic Tradition, The Lamahat and Sata’at of Shah Waliyullah, (London: Octagon Press, 1980), pp. iii-v.
37 Wael. B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theory, (Cambridge: University press, 1997), pp. 213-214.
38
Al-Dihlawi, Hujatullah al-Balighah…, Juz I, p. 47. 39 Ibid. 40 Ibid., pp. 27-431. 41 Ibid. 42Ibid., pp. 27-29. 43 Ibid., p. 34. 44
Barbara Daly Metcalf. Islamic Revival in British India:Deoband, 1860-1900. (Princeton New Jersey: Princeton University Press, t.t.), pp. 275-277.
45 Ibid.
46 George Ritze, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), pp. 43-44. Zamroni. Pengantar Pengembangan Teori Sosial, (Yogjakarta: Tiara Wacana, 1992), pp. 16-19.
47
Ann Ruth Willner and dorothy Willner.” Kebangkitan dan Peranan Pemimpin-Pemimpin Kharismatik” dalam Sartono Kartodirjo. Kepemimpinan dalam dimensi Sosial, (Jakarta: LP3S, 1984), p. 91.
48 Hiroko Horikoshi. Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987).
49
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991). Nadhir Solahudin. ” Peta Kajian Islam” dalam Akademika program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol. 05, No. 1, 1999, pp. 26-41.