STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) PAPUA
DALAM IMPLEMENTASI REDD+
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI
(SRAP) PAPUA DALAM IMPLEMENTASI
REDD+
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 2
DISCLAIMER UNTUK KESELURUHAN SRAP (FINAL 15 Mei 2013)
DISCLAIMER
Dokumen ini sepenuhnya milik dan karya para pihak yang penyusunannya dimotori oleh tim penulis di Provinsi Papua. Isi dan operasionalisasi dokumen ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab provinsi yang bersangkutan dan tidak mencerminkan opini atau posisi Satuan Tugas Nasional (Satgas) REDD+. Dalam proses, Satgas REDD+ melalui Tim Kerja Implementasi Strategi dan Program (TKISP), berperan sebagai fasilitator dengan mendorong proses penyusunan yang memenuhi prinsip partisipasi yang inklusif dan memoderasi substansi untuk memastikan bahwa dokumen memiliki kaitan yang erat sebagai jabaran Strategi Nasional REDD+ kedalam konteks, situasi, kondisi dan dinamika pembangunan provinsi yang bersangkutan.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 3
Kata Pengantar Gubernur Papua
Provinsi Papua dengan luas 317.063 km2 memiliki kekayaan sumber daya hayati yang sangat besar, dengan luas kawasan lebih kurang 31.687.680 ha (RTRW Papua, 2012). Luas hutan di Provinsi Papua tersebut memiliki keanekaragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang tinggi. Data statistik Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua tahun 2012 menunjukan bahwa pada periode 2003 2006 terjadi deforestasi hutan seluas 68.695 ha (17.174 ha/tahun) dan degradasi hutan seluas 645.684 ha (161.421 ha/tahun). Sampai sekarang belum dapat dieleminirbahwa faktor penyebab deforestasi dan degradasi hutan ini disebabkan oleh alih fungsi hutan atau perambahan hutan secara ilegal. Deforestasi dan degradasi hutan secara tidak langsung berkontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang berdampak lanjut terhadap perubahan iklim (pemanasan global). Menurut Goddar Institut for space Studies NASA (Badan Antariksa USA) panas rata-rata bumi telah 0,8% sejak tahun 1880 menurut IPCC ll dari 12 tahun terakhir merupakan tahun terpanas sejak tahun 1850 (National Geographic News, 28 Oktober 2010). Dengan naiknya suhu global rata-rata permukaan bumi seperti ini akan beresiko pada kepunahan tumbuhan dan hewan, yang selanjutnya akan berdampak pada kelangsungan hidup umat manusia.
Pemerintah Indonesia melalui UU No. 6 Tahun 1994 telah ikut meratifikasi konvesi perubahan iklim. Dengan dermikian Indonesia secara resmi terikat dengan kewajiban dan memiliki hak untuk memanfaatkan berbagai peluang dukungan yang ditawarkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Kerangka Kerja PBB dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut yang meliputi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dan informasi lainnya yang relevan dengan pencapaian tujuan konvensi tersebut.
Dalam Pertemuan-pertemuan Antar Negara (Conference Of Parties) selanjutnya antara lain dalam COP 13 di Bali tahun 2007, disepakati bahwa negara-negara maju berkewajiban membantu pendanaan bagi negara-negara berkembang yang mampu mengurangi emisi gas rumah kacanya.
Karena pentingnya upaya-upaya mitigasi GRK ini, maka dalam pertemuan COP 15 di Kopenhagen, Pemerintah Indonesia membuat komitmen untuk mengurangi tingkat Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia pada tahun 2020, sebesar 26% dengan sumber-sumber pendanaan dari dalam negeri dan lebih jauh sampai dengan 41% dengan bantuan pendanaan dari luar negeri.
Komitmen ini melahirkan upaya-upaya Pemerintah Indonesia di Pusat maupun di Daerah yang didukung dengan lahirnya Peraturan Pemerintah RI No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca, yang kemudian mendorong dibuatnya Rencana Aksi Daerah untuk penurunan Gas Rumah Kaca (RAD GRK) serta Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ (SRAP REDD+).
Salah satu upaya yang sangat signikan untuk pengurangan emisi gas rumah kaca adalah dengan manajemen pemanfaatan hutan dan lahan yang mencegah terjadinya degradasi dan deforestasi hutan, sekaligus menambah penyerapan CO2 dengan penanaman pohon.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 4
Sejalan dengan hal tersebut Gubernur Provinsi Papua melalui Visi, Misi “Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera” menterjemahkannya dengan mencanangkan “Papua Menanam Untuk Paru-Paru Dunia” pada tanggal 5 Juni 2013 dalam rangka memperingati hari lingkungan hidup sedunia tahun 2013.
Untuk memastikan upaya-upaya tersebut, maka disusunlah suatu buku Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam implementasi REDD+ di Papua, yang diharapkan menjadi bagian penting dari RTRW Provinsi Papua. Buku ini merupakan bentuk kongkrit komitmen Pemerintah Provinsi Papua dan masyarakat di Papua untuk disumbangkan kepada masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia sebagai bagian integral dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional REDD+.
Apresiasi yang tinggi disampaikan kepada semua pihak yang berpartisipasi dalam menyelesaikan buku ini. Buku ini masih perlu disempurnakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang terus berkembang, semoga bermanfaat bagi para pembaca.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 5
RINGKASAN EKSEKUTIF
Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi. Data Statistik Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua tahun 2012 menunjukkan bahwa pada periode 2003-2006 terjadi deforestasi hutan seluas 68.695 ha (17.174 ha/thn) dan degradasi hutan seluas 594.661 ha (148.665 ha/thn). Sedangkan pada periode 2006 - 2009 terjadi deforestasi hutan seluas 728.416 ha (182.104 ha/thn) dan degradasi hutan seluas 645.684 ha (161.421 ha/thn). Sekalipun proses deforestasi dan degradasi hutan di Papua terus meningkat dari tahun ke tahun, namun faktor penyebab utama deforestasi hutan belum dapat dieliminir secara pasti apakah disebabkan oleh alih fungsi hutan atau oleh perambahan hutan secara illegal. Deforestasi dan degradasi hutan secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang berdampak lanjut terhadap perubahan iklim (pemanasan) global yang saat ini lagi hangat dibicarakan di kalangan masyarakat dunia.
Provinsi Papua sebagai bagian dari Provinsi-Provinsi berhutan di Indonesia secara tegas telah diikutsertakan pada rencana nasional dalam mengawal isu pengurangan emisi ini. Selama beberapa tahun terakhir melalui satuan tugas pembangunan ekonomi rendah karbon. Ide pembentukan pembangunan ekonomi rendah karbon ini kedepan diharapkan mampu memberikan pertimbangan-pertimbangan cerdas dan bijaksana bagi para pengambil kebijakan di Papua dalam mengawal dan menjalankan roda pembangunan ekonomi rendah karbon. Instrumen-instrumen kebijakan dan kelembagaan di tingkat daerah memang perlu dipersiapkan sejak dini untuk meramu dan mewujudkan pemikiran-pemikiran ekonomi rendah karbon yang berkelanjutan.
Penyusunan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ (SRAP-REDD+) ini diharapkan menjadi sebuah langkah maju dalam rangka mempersiapkan pembangunan Papua yang bermanfaat dan berkelanjutan baik Ekonomi, Sosial maupun Ekologi.
Strategi dan rencana aksi daerah ini dalam proses penyusunannya mengandung prinsip dinamis dan fleksibel, mencerminkan bahwa (a) berbagai hal mengenai bentuk dan mekanisme tata kelola REDD+ global di tingkat internasional masih memunculkan ketidakpastian; (b) di tingkat nasional, strategi dan kelembagaan REDD+ di tingkat Nasional baru mulai dibangun, bentuk struktur dan tupoksi belum terumuskan dengan jelas; (c) Data dan informasi yang dibutuhkan untuk penyusunan perencanaan yang mantap belum memadai dan tersebar diberbagai sektor di Provinsi Papua.
Dokumen Strategi Nasional REDD+ mengamanatkan bahwa setiap rencana dan strategi di tingkat daerah yang disusun diharapkan menjadi landasan untuk memastikan bahwa implementasi REDD+ dapat mengatasi penyebab mendasar dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di daerah serta mencapai target-target penurunan emisi nasional. Secara khusus Rencana dan Strategi Aksi Provinsi REDD + Provinsi Papua dapat memberikan jaminan bahwa kegiatan mitigasi mampu mengatasi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan serta memberikan kontribusi nyata terhadap penurunan emisi GRK nasional.
Rumusan Visi SRAP REDD+ Provinsi Papua adalah: Tata Kelola hutan dan lahan mendukung
pembangunan berkelanjutan yang adil dan merata di Provinsi Papua tahun 2020, yang
dijabarkan dalam misi berikut: (1) Memastikan terjadinya perubahan paradigma pengelolaan hutan dan lahan kearah yang lebih baik, (2) Memantapkan Fungsi Lembaga Pengelolaan Hutan
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 6
yang efektif dan efisien, (3) Meningkatkan Kapasitas Pengelolaan Hutan dan lahan yang rendah karbon, (4) Mengoptimalkan penegakan hukum dan kelembagaan sektor hutan dan lahan, (5) Memastikan peran masyarakat adat sebagai pelaku aktif dalam pengelolaan hutan dan lahan. Maksud disusunnya Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Provinsi Papua adalah sebagai acuan resmi pemerintah, masyarakat dan stakeholder dalam implementasi skema REDD+ untuk penentuan prioritas program dan aksi mitigasi pembangunan rendah karbon. Tujuan umum dokumen SRAP REDD+ Provinsi Papua adalah mengurangi degradasi dan deforestasi akibat penggunaan hutan dan lahan.
Isu-isu strategis terkait deforestasi dan degradasi hutan di Provinsi Papua yang menjadi perhatian dan landasan berfikir dalam penyusunan SRAP-REDD+ adalah: (1) Prosedur Alih Fungsi Kawasan (pemukiman, perkebunan, pinjam pakai kawasan, dan kebutuhan kawasan strategis daerah merupakan fenomena perluasan Areal Penggunaan Lain (APL), (2) Percepatan penyelesaian RTRW Kabupaten/Kota sebagai dokumen legal perencanaan pembangunan daerah berbasis lahan, (3) Illegal Logging dan perambahan hutan masih terjadi, (4) Hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan/lahan belum terjamin secara legal formal, (5) Berbagai sektor pembangunan cenderung memarjinalkan hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan dan lahan, (6) Sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan antar sektor baik provinsi, kabupaten/kota dan nasional belum optimal, (7) Wewenang dan tanggung jawab perijinan, rekomendasi perijinan masih tumpang tindih antara SKPD daerah dan antar kementerian, (8) Konservasi Keanekaragaman Hayati belum dikelola secara optimal. Sedangkan isu-isu yang terkait dengan kebijakan adalah: (1) Tidak konsistennya ketentuan dan peraturan di bidang Kehutanan dari level kebijakan sampai pada level pelaksanaannya, termasuk inkonsistensi antara kebijakan pusat dan daerah, (2) Belum selesainya pelaksanaan tata batas luar dan fungsi kawasan hutan di Provinsi Papua, (3) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH; KPHK, KPHL dan KPHP) sebagai unit manajemen di tingkat tapak belum seluruhnya terbangun, (4) Pemanfaatan kawasan Taman Nasional dan Kawasan Konservasi sering menimbulkan konflik sosial, (5) Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan serta pengamanan kawasan konservasi belum menunjukkan keberhasilan yang siginifikan, terbukti dengan adanya kasus pencurian kayu dan berkurangnya kawasan hutan, (6) Belum maksimalnya pelibatan secara penuh masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam kegiatan/program kehutanan, terutama untuk kegiatan konservasi dan rehabilitasi, (7) Pemberian akses dan distribusi manfaat dari pengelolaan dari SDA yang melimpah belum menghasilkan nilai tambah yang signifikan untuk daerah dan masyarakat Provinsi Papua, (8) Terbatasnya ketersediaan Sumber Daya teknis kehutanan, sarana prasarana dan dana, (9) Tumpang tindih kewenangan (mengacu pada UU No 41 dan UU Otonomi khusus nomor 21 tahun 2001), (10) Evoria masyarakat untuk melakukan pemekaran kabupaten dan kota terus meningkat.
Aksi pengurangan emisi suatu negara harus dapat diukur (measurabel), dilaporkan (Reportable), dan diverifikasi (Verifiable). Presiden memberikan arahan agar Indonesia harus siap dengan MRV nasional yang sesuai standar internasional. Meskipun demikian hendaknya penyesuaian MRV nasional dengan standar internasional tersebut dipandang sebagai mekanisme penurunan emisi yang berpotensi besar. Ditinjau dari keefektifan biaya (cost effective) REDD+, maka prinsip MRV yang akan diterapkan untuk REDD+, yaitu: (1) Menggunakan IPCC Guidelines terbaru (2006) : AFOLU (Agriculture, Forestry, Other Land Use); (2) Kombinasi metode inventarisasi penginderaan jauh (remote-sensing inventory) & didasarkan pengamatan lapangan (ground-based inventory); (3) Memperhitungkan ke lima penumpukan karbon (carbon pools); dan (4) Hasil penghitungan : transparan dan terbuka untuk review dan diakses oleh publik.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 7
No Aksi Mitigasi
Kontribusi Penurunan Emisi
Skenario Pesimis Skenario Optimis ton CO2-Eq % ton CO2-Eq %
I Stabilisasi Simpanan Karbon Hutan
1 Pencegahan Perambahan Hutan 36,502,447 4.341 182,512,237 21.706
2 Implementasi RIL 28,573,438 3.398 142,867,188 16.991
3 Pengurangan Konversi Hutan 20,889,432 2.484 104,447,161 12.422
4 Penurunan luas areal RKT IUPHHK 17,143,951 2.039 85,719,757 10.195
5 PHBMA 617,520 0.073 3,087,600 0.367
Sub Total I 103,726,788 12.336 518,633,943 61.681
II Peningkatan Serapan Karbon Hutan
1 Pembangunan HTI 2,581,568 0.307 12,907,840 1.535
2 Rehabilitasi Hutan dan Lahan 1,290,432 0.153 6,452,160 0.767
3 Pelaksanaan HKm 1,137,503 0.135 5,687,517 0.676
4 Restorasi Ekosistem Hutan 863,960 0.103 4,319,800 0.514
5 Hutan Tanaman Rakyat 860,523 0.102 4,302,613 0.512
Sub Total II 6,733,986 0.801 33,669,930 4.004 JUMLAH 110,460,774.00 13.137 552,303,873.00 65.686
Rencana aksi mitigasi Provinsi Papua dalam implementasi REDD+ terbagi dalam 2 kelompok aksi yaitu: (a) peningkatan serapan karbon hutan, mencakup aksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL); Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR); Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm); Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI); dan Pelaksanaan Restorasi Ekosistem Hutan (REH); dan (b) Stabilisasi simpanan karbon hutan, mencakup aksi: Pencegahan perambahan hutan dalam KSA dan HL; Pengurangan konversi hutan menjadi APL; Penurunan luas areal RKT IUPHHK; Implementasi Reduced Impact Logging (RIL)/PHPL dan SVLK; dan Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat Adat (PHL-BMA)
Hasil perhitungan berdasarkan Skenario aksi mitigasi penurunan emisi dan peningkatan serapan karbon hutan dan lahan untuk REDD+ Provinsi Papua jika dibandingkan dengan Reference Emission Level (REL) seperti dideskripsikan dalam tabel gambar berikut.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Ringkasan Eksekutif RE-v
Berdasarkan rencana aksi mitigasi dan skenario REDD+ Provinsi Papua di atas, target penurunan emisi sampai pada tahun 2020 mencapai 13,137% pada skenario pesimis dan 65,686% pada skenario optimis dengan asumsi bahwa semua skenario aksi mitigasi terpilih didukung dengan komitmen penuh seluruh stakeholders, terimplementasi secara konsisten sesuai scenario dan kondisi pemungkin dapat dikendalikan dan diintegrasikan dengan baik.
ton CO2-Eq % ton CO2-Eq %
I
1 Pencegahan Perambahan Hutan 36,502,447 4.341 182,512,237 21.706
2 Implementasi RIL 28,573,438 3.398 142,867,188 16.991
3 Pengurangan Konversi Hutan 20,889,432 2.484 104,447,161 12.422
4 Penurunan luas areal RKT IUPHHK 17,143,951 2.039 85,719,757 10.195
5 PHBMA 617,520 0.073 3,087,600 0.367
103,726,788 12.336 518,633,943 61.681
II
1 Pembangunan HTI 2,581,568 0.307 12,907,840 1.535
2 Rehabilitasi Hutan dan Lahan 1,290,432 0.153 6,452,160 0.767
3 Pelaksanaan HKm 1,137,503 0.135 5,687,517 0.676
4 Restorasi Ekosistem Hutan 863,960 0.103 4,319,800 0.514
5 Hutan Tanaman Rakyat 860,523 0.102 4,302,613 0.512
6,733,986 0.801 33,669,930 4.004
110,460,774.00 13.137 552,303,873.00 65.686
No Aksi Mitigasi
Kontribusi Penurunan Emisi
Skenario Pesimis Skenario Optimis
Stabilisasi Simpanan Karbon Hutan
Sub Total I
Peningkatan Serapan Karbon Hutan
Sub Total II JUMLAH 6:50 PM Wed, Apr 24, 2013 Page 1 2006.00 2009.50 2013.00 2016.50 2020.00 Years 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 0 450000000 900000000
1: HISTORICAL 2: FORWARD LOOKING 3: Skenario Pesimis 4: Skenario Optimis
1 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 3 4 4 4 4
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 8
Berdasarkan rencana aksi mitigasi dan skenario REDD+ Provinsi Papua di atas, target penurunan emisi sampai pada tahun 2020 mencapai 13,137% pada skenario pesimis dan 65,686% pada skenario optimis dengan asumsi bahwa semua skenario aksi mitigasi terpilih didukung dengan komitmen penuh seluruh stakeholders, terimplementasi secara konsisten sesuai skenario dan kondisi pemungkin dapat dikendalikan dan diintegrasikan dengan baik.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 9
KATA PENGANTAR
Atas berkat karya dan karsa Tuhan Yang Maha Kuasa, karsa yang dianugerahkan kepada kita semua sehingga dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua mampu diselesaikan sesuai dengan target waktu dan substansi yang disyaratkan. Pujian dan syukur yang patut kita naikan kepada Sang Pencipta kita.
Dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua disusun secara partisipatif melibatkan berbagai Stakeholders di tingkat Provinsi dan kebupaten serta diasistensi oleh Tim SRANAS REDD+ sebagai Tim Pengarah. Proses penyusunannya melalui beberapa tahapan dan hasil dari setiap tahapan menjadi dasar dalam penyusunan dokumen tahap selanjutnya. Dengan proses demikian diharapkan substansi dokumen bersifat dinamis dan fleksibel. Sifat dinamis dan fleksibilitas dokumen demikian dimungkinkan karena : (1) Bentuk, tata kelola, dan mekanisme REDD+ di tingkat Internasional belum dapat dipastikan; (2) strategi dan kelembagaan REDD+ di tingkat Nasional baru mulai dibangun dan struktur kelembagaan serta tugas pokok dan fungsinya belum jelas; dan (3) data dan informasi yang digunakan dalam menyusun dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua masih terbatas, sehingga memerlukan klarifikasi Stakeholders.
Berbagai kendala yang dihadapi dalam proses penyusunan dokumen ini bukan berarti bahwa substansi dari dokumen ini belum dapat digunakan sebagai arah dan pedoman dalam mengimplementasikan berbagai strategi aksi mitigasi penurunan emisi dan peningkatan serapan karbon hutan dan lahan di Provinsi ini. Strategi aksi mitigasi dan skenario mitigasi yang direncanakan telah dapat diimplementasikan dalam bentuk pilot project disetiap tapak prioritas terpilih. Untuk itu, dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua ini digunakan sebagai rambu-rambu untuk memantapkan implementasi berbagai strategi aksi mitigasi sektor kehutanan dan lahan, sehingga pada saatnya nanti dapat diperoleh strategi aksi mitigasi yang mantap dengan kelembagaan tatakelola, MRV dan skema pendanaan REDD+ yang lebih sesuai dengan kebutuhan Lokal, Regional, Nasional, dan Internasional.
Substansi Dokumen SRAP-REDD+ Papua Barat terdiri atas (1) Pendahuluan, (2) Gambaran Umum Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua Barat, (3) Visi-Misi, Isu dan Strategi Implementasi SRAP REDD+ Provinsi Papua, (4) Landasan Spesifik SRAP-REDD+ Provinsi Papua, (5) Pendekatan Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring (MRV), (6) Reference Emission Level (REL) dan Aksi Mitigasi Provinsi Papua, (7) Penutup.
Tersusunnya dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua ini tidak terlepas dari kontribusi berbagai pihak, baik dari Lembaga Pemerintah, Lembaga non Pemerintah, Akademisi dan Masyarakat Adat. Atas segala kontribusi waktu, tenaga, pikiran dan pendanaan yang telah diberikan oleh berbagai pihak, kami sampaikan terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 10
Akhirnya kami sangat menyadari masih banyak kekurangan substansi dan sesuai dengan sifat kedinamisan dan fleksibilitas dari dokumen ini, maka saran, kritik serta ide kreatif dari semua pihak demi penyempurnaan masih sangat dibutuhkan. Semoga dokumen ini dapat bermanfaat dalam mendukung seluruh program pembangunan ekonomi rendah karbon di Provinsi Papua.
Jayapura, April 2013
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 11
Daftar Isi
Kata Pengantar Gubernur Papua ... 3
RINGKASAN EKSEKUTIF ... 5
KATA PENGANTAR (Penulis) ... 9
DAFTAR ISI ... 11
DAFTAR TABEL ... 13
DAFTAR GAMBAR ... 14
BAB I. PENDAHULUAN ... 17
1.1.Latar Belakang ... 17
1.2.Posisi SRAP REDD+ dalam RAN GRK ... 18
1.3.Dasar Hukum ... 19
1.4.Sistematika Penulisan ... 20
1.5.Metodologi Pengumpulan data ... 21
1.6.Proses Penyusunan Dokumen ... 21
BAB II. KONDISI UMUM DAN PERMASALAHAN KEHUTANAN DI PROVINSI PAPUA ... 23
2.1. Kondisi Kawasan Hutan Provinsi Papua ... 23
2.2. Deforestasi dan Degradasi Hutan di Provinsi Papua ... 26
2.3. Kondisi Demografi dan Dampaknya Terhadap Hutan Papua ... 32
2.4. Permasalahan Utama Deforestasi dan Degradasi Hutan di Papua ... 38
BAB III. VISI, MISI, ISU DAN STRATEGI IMPLEMENTASI REDD+ DI PROVINSI PAPUA ... 41
3.1. Visi dan Misi ... 41
3.2. Maksud dan Tujuan ... 41
3.3. Isu dan Strategi REDD+ ... 42
BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA ... 45
4.1. Landasan Pikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua ... 45
4.2. Identifikasi Akar Masalah dan Isu Utama ... 46
4.3. Prioritas Implementasi SRAP REDD+ Provinsi Papua... 47
4.4. Kesiapan Provinsi Papua dalam Implementasi REDD+ ... 48
BAB V. PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING ... 51
BAB VI. REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DAN AKSI MITIGASI PROVINSI PAPUA ... 61
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 12
6.2. Rencana Aksi Mitigasi di Provinsi Papua ... 67
6.3. Kondisi Pemungkin (Enabling Condition) ... 96
BAB VII. PENUTUP ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 102
DAFTAR SINGKATAN ... 103
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 13
Daftar Gambar & Tabel
Daftar TabelTabel 2.1. Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Provinsi Papua ... 24 Tabel 2.2. Sebaran luas lahan kritis menurut fungsi kawasan hutan dan tingkat kekritisan di Provinsi Papua ... 27 Tabel 2.3. Sebaran luas lahan kritis menurut kabupaten/kota dan tingkat kekritisan di
Provinsi Papua ... 28 Tabel 2.4. Luas kawasan konservasi di Provinsi Papua ... 29 Tabel 2.5. Kawasan konservasi di Provinsi Papua yang mengalami deforestasi dan
degradasi selama periode tahun 2006-2011 ... 29 Tabel 2.6. Luas deforestasi, degradasi dan perubahan tutupan lahan lain di Provinsi Papua sebagai sumber emisi pada setiap fungsi kawasan ... 32 Tabel 2.7. Jumlah penduduk asli papua dan non papua di Provinsi Papua berdasarkan kabupaten/kota pada Tahun 2010 ... 34 Tabel 2.8. Sebaran kampung berdasarkan kawasan hutan dan tipe hutan ... 35 Tabel 2.9. Luas areal pemukiman transmigrasi yang telah dimanfaatkan dan sisa areal yang belum dimanfaatkan ... 37 Tabel 5.1. Pembagian kategori hutan Indonesia ke dalam IPCC Guideline ... 54 Tabel 5.2. Daftar tabel-tabel excel yang digunakan dalam inventarisasi GRK sektor
kehutanan menurut IPCC Guideline 2006. ... 56 Tabel 5.3. Total Stok Karbon (Above Ground Biomass) Provinsi Papua periode 2006-2021 ... 57 Tabel 5.4. Tujuan, output, outcome dan indikator REDD+ pada unit pengelolaan hutan (Modifikasi dari UNEP, 2009 dalam Purbawiyatna, 2012) ... 58 Tabel 6.1. Perbandingan Net emisi Provinsi Papua periode tahun 2006-2021 berdasarkan tipe kawasan hutan ... 62 Tabel 6.2. Net emisi (ton CO2-Eq) di Provinsi Papua berdasarkan kawasan hutan dan
sumber emisi ... 63 Tabel 6.3. Persentase (%) Net emisi (ton CO2-Eq) berdasarkan kawasan hutan dan sumber emisi terhadap Net emisi total di Provinsi Papua ... 64 Tabel 6.4. Rata-rata perubahan tutupan lahan tiap tahun di Provinsi Papua selama periode tahun 2006-2011 ... 65 Tabel 6.5. Ranking 10 besar penyebab deforestasi di Provinsi Papua pada periode tahun 2006-2011 ... 65 Tabel 6.6. Ranking 10 besar penyebab degradasi hutan di Provinsi Papua pada periode tahun 2006-2011 ... 66 Tabel 6.7. Peningkatan pengurangan emisi gas CO2 berdasarkan kelompok aksi mitigasi di Provinsi Papua ... 68
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 14
Tabel 6.8. Kontribusi aksi mitigasi terhadap penurunan net emisi kumulatif Provinsi Papua ... 69 Tabel 6.9. Aktor dan perannya dalam kegiatan RHL ... 70 Tabel 6.10. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di Provinsi Papua ... 71 Tabel 6.11. Aktor dan perannya dalam pembangunan HTR ... 72 Tabel 6.12. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Provinsi Papua ... 73 Tabel 6.13. Aktor dan perannya dalam pembangunan HKm ... 75 Tabel 6.14. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai
skenario mitigasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Provinsi Papua ... 76 Tabel 6.15. Aktor dan perannya dalam pembangunan HTI ... 76 Tabel 6.16. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai
skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Provinsi Papua ... 77 Tabel 6.17. Aktor dan perannya dalam kegiatan REH ... 78 Tabel 6.18. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi Restorasi Ekosistem Hutan (REH) di Provinsi Papua ... 79 Tabel 6.19. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai penurunan emisi gas CO2, semua aktor yang berperan dalam pencegahan ... 81 Tabel 6.20. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai
skenario mitigasi pengurangan luas Rencana Kerja Tahunan (RKT) pemegang IUPHHK di Provinsi Papua ... 84 Tabel 6.21. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai
skenario mitigasi implementasi Reduced Impact logging (RIL) di Provinsi Papua ... 86 Tabel 6.22.Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai
skenario mitigasi pencegahan konversi hutan di Provinsi Papua ... 87 Tabel 6.23. Aktor dan perannya dalam PHBMA (Hutan Desa) ... 88 Tabel 6.24. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat (PHBMA) di Provinsi Papua ... 89 Tabel 6.25. Matriks rencana aksi Provinsi Papua dalam rangka implementasi REDD+ ... 90
Daftar Gambar
Gambar 1.1. Tahapan proses penyusunan dokumen SRAP-REDD+ di Provinsi Papua ... 22 Gambar 2.1. Peta usulan pola ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua ... 26 Gambar 2.2. Kondisi lahan kritis menurut tingkat kekritisan di Provinsi Papua, 2010 ... 27 Gambar 2.3. Kegiatan Penebangan liar dan bentuk kerusakan hutan yang terjadi di Cagar Alam Biak Utara pada ruas jalan Biak-Sorendiweri, (Foto oleh :Alfred Antoh, Desember 2011) ... 30 Gambar 2.4. Kerusakan Hutan Akibat Penabangan/Pembukaan Lahan di Taman Nasional Wasur (Foto : Alfred Antoh, Oktober 2012) ... 30
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 15
Gambar 2.5. Pembangunan Jalan dan Jembatan di Sarmi (Foto :Alfred Antoh, Oktober 2012) .... 31 Gambar 2.6. Distribusi Penduduk Papua berdasarkan tingkat kepadatan (BPS Prov Papua, 2010) ... 33 Gambar 2.7 . Tingkat Kepadatan penduduk Provinsi Papua (BPS Papua, 2010) ... 33 Gambar 2.8. Laju Pertumbuhan Penduduk Papua tahun 2000-2010 (BPS Papua, 2010) ... 34 Gambar 2.9. Peta sebaran kampung menurut kawasan hutan dan perairan di Provinsi
Papua (RTRW Provinsi Papua, 2012) ... 36 Gambar 2.10. Potret pemicu deforestasi dan degradasi hutan di Papua: Aktivitas HPH,
Pembangunan sarana fisik pemerintahan “bangungan kantor” dan pembangunan jalan untuk menghubungkan kampung-kampung di kabupaten pemekaran, Mamberamo Raya ... 39 Gambar 5.1. Pendekatan IPCC untuk menghitung emisi GRK antropogenik dengan emisi dan serapan pada simpanan karbon pada berbagai tutupan lahan (UN-REDD Programme 2011) .... 52 Gambar 5.2. Kerangka pikir pedoman pengukuran karbon dalam Sistem MRV untuk
penerapan REDD+ ... 53 Gambar 6.1. Reference Emission Level (REL) Provinsi Papua ... 61 Gambar 6.2. Kontribusi aksi mitigasi Provinsi Papua tehadap penurunan emisi ... 68 Gambar 6.3. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi rehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi Papua ... 71 Gambar 6.4. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Provinsi Papua ... 73 Gambar 6.5. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Provinsi Papua ... 75 Gambar 6.6. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Provinsi Papua ... 77 Gambar 6.7. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi Restorasi Ekosistem Hutan (REH) di Provinsi Papua ... 79 Gambar 6.8. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pencegahan perambahan hutan di Provinsi Papua ... 81 Gambar 6.9. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi penurunan luas Rencana Kerja Tahunan (RKT) IUPHHK di Provinsi Papua ... 83 Gambar 6.10. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi implementasi Reduced Impact logging (RIL) di Provinsi Papua ... 84 Gambar 6.11. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pencegahan konversi hutan di Provinsi Papua ... 87 Gambar 6.12. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat (PHBMA) di Provinsi Papua ... 89
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 17
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi. Data Statistik Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua tahun 2012 menunjukkan bahwa pada periode 2003-2006 terjadi deforestasi hutan seluas 68.695 ha (17.174 ha/thn) dan degradasi hutan seluas 594.661 ha (148.665 ha/thn). Sedangkan pada periode 2006 - 2009 terjadi deforestasi hutan seluas 728.416 ha (182.104 ha/thn) dan degradasi hutan seluas 645.684 ha (161.421 ha/ thn). Sekalipun proses deforestasi dan degradasi hutan di Papua terus meningkat dari tahun ke tahun, namun faktor penyebab utama deforestasi hutan belum dapat diidentifikasi secara pasti apakah disebabkan oleh alih fungsi hutan atau oleh perambahan hutan secara illegal. Deforestasi dan degradasi hutan secara langsung dan tidak langsung memberikan kontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang berdampak lanjut terhadap perubahan iklim (pemanasan) global yang saat ini lagi hangat dibicarakan di kalangan masyarakat dunia.
Pemanasan global terjadi sebagai akibat peningkatan suhu bumi yang mencapai 0.6º C dalam satu dekade terakhir. Pemanasan global ini menjadi pemicu perubahan iklim dunia yang ekstrim, sehingga berdampak lanjut terhadap perubahan menyeluruh terhadap ekosistem dunia. Faktor utama yang menyebabkan pemanasan global adalah peningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir, yaitu karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan N2O. Ketiga faktor GRK tersebut menyebabkan emisi CO2 di atmosfir meningkat dua kali lipat dari 1400 juta ton/ tahun menjadi 2900 ton/tahun (Betha L. et al., 2001). Meningkatnya emisi CO2 di atmosfir menyebabkan terbentuknya lapisan kedap panas, sehingga suhu permukaan bumi meningkat tajam kembali dan tidak dapat dibaurkan ke atmosfer.
Peran hutan hutan sebagai pengendali iklim mikro dan sekaligus sebagai penyangga kehidupan belum memperoleh perhatian yang memadai dari aspek finansial baik di dalam mekanisme penganggaran yang tersedia di bawah konvensi perubahan iklim maupun dalam sistem pasar terhadap produk dan jasa hutan.
Berdasarkan Refence Emission Level (REL) untuk kategori Provinsi, Provinsi Papua bersama dengan Provinsi Kalimantan Tengah diprediksi memiliki stok (cadangan) karbon lebih dari 1.000 Mega Ton hingga tahun 2020. Pada sisi lain, kedua provinsi ini juga diduga memiliki tingkat emisi carbon yang cukup besar jika laju degradasi dan deforestasi hutan tidak mampu dikendalikan sampai pada tingkat minimum (Budiarto, 2009).
Konsep REDD (Reduced Emission From Deforestation and Degradation) dimulai ketika konsep Clean Development Mechanism (CDM) diluncurkan sebagai salah satu produk Protokol dinilai belum mampu menjawab tantangan negara-negara berkembang atas kepemilikan hutan tropis terbesar di dunia. Kemudian dimunculkan konsep REDD pada pertemuan COP (Conference of Parties) 13 di Bali yang dinilai lebih lebih aplikatif. REDD adalah proposal reduksi emisi gas rumah kaca melalui upaya mencegahan terhadap deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Ide dasarnya sederhana; hutan adalah sarana paling efektif menyerap emisi GRK dengan cara mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi. Negara-negara maju terikat kewajiban
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 18
menurunkan emisinya dengan cara membantu pendanaan bagi Negara berkembang yang mampu mengurangi laju deforetasi dan degradasi hutan. Oleh sebab itu Pemerintah melalui President RI berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% dengan menggunakan pendanaan pemerintah dan 41% dengan bantuan dana Internasional. Penurunan emisi tersebut lebih dititikberatkan pada perubahan tutupan lahan yang diakibatkan oleh deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Selain itu dilakukan upaya peningkatan kemampuan hutan untuk menyerap CO2 di atmosfer melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan.
Komitmen ini melahirkan usulan upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia baik ditingkat pusat maupun di tingkat Provinsi. Lahirnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca mendorong lahirnya Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK yang dibentuk di Provinsi. Selanjutnya, Satuan Tugas Nasional REDD+ dan UKP4 melakukan konsolidasi membangun komitmen bahwa 11 provinsi prioritas perlu menyusun Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ untuk mengurangi emisi yang diakibatkan oleh Deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di wilayah provinsi.
1.2. Posisi SRAP REDD+ dalam RAN GRK
Deforestasi terjadi sebagai akibat penghilangan dan penggundulan hutan yang tidak terkendali. Dilakukan dengan cara menebang, membakar, atau mengalihkan fungsi hutan menjadi bukan hutan (seperti lahan pertanian, perkebunan, peternakan, permukiman, dan pertambangan). Degradasi hutan merupakan penurunan kualitas dan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Degradasi ditandai dengan menurunnya kualitas hutan sehingga tidak sesuai lagi dengan fungsi peruntukannya. Akibat langsung deforestasi dan degradasi hutan adalah hilangnya keanekaragaman hayati yang terdapat dalam hutan, berupa punahnya satwa maupun tanaman yang berkhasiat yang dibutuhkan oleh manusia. Deforestasi dan degradasi hutan juga dapat menghilangkan nilai jasa hutan seperti pengatur tata air, pencegah bahaya banjir dan erosi, pengaturan iklim mikro, penyedia udara bersih serta penyerapan carbon. Dampak kumulatif terburuk dari kerusakan hutan adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yang ekstrim. Dampak ini telah dirasakan saat ini dimana cuaca berubah secara ekstrim dan perubahan cuaca ini telah mengakibatkan perubahan musim yang tidak teratur. Cuaca dan musim yang tidak teratur ini akan berdampak terhadap perkembangan populasi hama tanaman pertanian yang tidak terkendali yang disertai dengan perubahan sifat resistensi yang tinggi terhadap upaya pemberatasan hama secara kimiawi.
Meningkatnya intensitas kegiatan manusia setelah era pra-industri telah mempercepat laju emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Gas CO2 merupakan gas rumah kaca (GRK) utama yang menyumbang sekitar 77% dari total emisi gas rumah kaca di dunia. Sisanya berasal dari gas metan (14%) dan nitrogen oksida (8%), sebagian kecil (1%) berasal dari gas-gas yang mengandung floor (SF6, PFCS, DAN HFCS). Sejak awal revolusi industri, konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat sekitar 35 %. Sumber emisi utama ialah berasal dari pembakaran bahan bakar fosil kemudian penggunaan lahan, alih guna lahan dan hutan (Land Use, Land Use and Change Forestry, LULUCF) yaitu masing-masing sebesar 67% dan 33%. Apabila tidak dilakukan upaya pengendalian secara sistematis oleh semua pihak terutama oleh instansi teknis terkait sektor hutan, lahan gambut dan pertanian, maka laju peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer akan berlangsung dengan cepat dengan konsentrasi yang tinggi. Tingginya konsentrasi GRK di atmosfir akan menghambat
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 19
rambahan panas yang bersumber dari permukaan bumi (biosfer). Akibatnya suhu permukaan bumi meningkat dan akhirnya mengganggu iklim secara global, dan inilah yang dikenal dengan efek rumah kaca (pemanasan global).
Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) adalah sebuah pilihan pembangunan ekonomi yang strategis bagi Indonesia dalam rangka mewujudkan komitmen Pemerintah RI untuk melakukan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan mentransisikan perekonomian Indonesia menjadi ekonomi rendah karbon atau ekonomi hijau. Program REDD+ adalah bagian dari upaya pengurangan emisi GRK dari sektor LULUCF yang mencakup keseluruhan akitifitas pembangunan ekonomi berbasis lahan. Sektor ini menyumbang sekitar 75 % dari total emisi GRK Indonesia. Disamping biaya penurunan emisi dari sektor ini relatif murah dibanding sektor-sektor lain. Pada sisi lain, Indonesia memiliki urgensi untuk menurunkan emisi dari LULUCF, karena Indonesia adalah Negara berkembang yang pembangunan ekonominya berbasiskan sumberdaya alam dalam arti luas. Penurunan produksi pangan dan meningkatnya bencana alam akibat pergeseran pola dan intensitas musim adalah dampak perubahan iklim yang mulai dirasakan. REDD+ merupakan sebuah pilihan strategi pembangunan ekonomi yang positif dalam transisi ekonomi Indonesia menuju ekonomi rendah karbon. Hal ini dimungkinkan karena Indonesia, terutama provinsi Papua, memiliki potensi hutan yang relative masih baik sebagai modal dasar untuk mengembangkan ekonomi rendah karbon.
Emisi dari LULUCF Indonesia bersumber pada deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Karena itu SRAP REDD+ diletakkan pada upaya pembenahan tata kelola sektor kehutanan dan lahan gambut dengan tujuan utama mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Sebagai negara berkembang dengan tutupan hutan tropis seluas 136,8 juta Ha (RKTN, 2010), Indonesia tidak hanya dapat memperoleh manfaat finansial dari skema REDD+ tetapi juga dapat menggunakan kesempatan ini untuk membenahi tata ruang dan tata kelola hutan dan lahan secara bijaksana dan berkelanjutan. Pemerintah sebagai pemangku kawasan yang memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan tata kelola, penyusunan regulasi dan memiliki sumberdaya untuk mengkoordinasikan pemangku kepentingan yang lain mempersiapkan dan menciptakan prakondisi yang memadai agar program-program dapat diimplementasikan secara efektif.
1.3. Dasar Hukum
Landasan hukum dalam penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ di Provinsi Papua sebagai berikut:
1. Landasan konstitusional Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang sudah diamandemen;
2. Landasan Operasional, terdiri dari :
a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
b. Undang – undang 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan
c. Undang-Undang Otonomi Daerah Khusus Nomor 21 Tahun tentang Pemberlakuan Daerah khusus Provinsi Papua;
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 20
d. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 36 tahun 2009 tentang Penyerapan Karbon
e. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 30 tahun 2009 tentang Tata Cara pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) ;
f. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca ;
g. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas REDD; h. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 64 tahun 2010 Tentang pembentukan
kelompok Kerja Hutan dan Perubahan iklim. 1.4. Sistematika Penulisan
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ di Provinsi Papua disusun dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Posisi SRAP REDD+ dalam RAN GRK 1.3. Dasar Hukum
1.4. Sistematika Penulisan
1.5. Metodologi Pengumpulan data 1.6. Proses Penyusunan Dokumen
BAB II. KONDISI UMUM DAN PERMASALAHAN KEHUTANAN DI PROVINSI PAPUA
2.1. Kondisi Kawasan Hutan Provinsi Papua
2.2. Deforestasi dan Degradasi Hutan di Provinsi Papua
2.3. Kondisi Demografi dan Dampaknya Terhadap Hutan Papua 2.4. Permasalahan Utama Deforestasi dan Degradasi Hutan di Papua
BAB III. VISI, MISI, ISU DAN STRATEGI IMPLEMENTASI REDD+ DI PROVINSI PAPUA
3.1. Visi dan Misi 3.2. Maksud dan Tujuan
3.3. Isu dan Strategi Implementasi
BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA
4.1. Landasan Pikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua 4.2. Identifikasi Akar Masalah dan Isu Utama
4.3. Prioritas Implementasi SRAP REDD+ Provinsi Papua 4.4. Kesiapan Provinsi Papua dalam Implementasi REDD+
BAB V. PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 21
BAB VI. REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DAN AKSI MITIGASI PROVINSI PAPUA
6.1. Reference Emission Level (REL) Provinsi Papua 6.2. Rencana Aksi Mitigasi di Provinsi Papua 6.3. Kondisi Pemungkin (Enabling Condition)
BAB VII. PENUTUP
1.5. Metode Pengumpulan Data
Metode yang dipergunakan dalam pengumpulan data-data penyusunan SRAP REDD+ Papua adalah studi pustaka (Penelusuran Data Sekunder) yang bersumber dari dokumen-dokumen yang tersedia di Intansi terkait baik di tingkat Provinsi maupun di Tingkat Kabupaten/kota. Dokumen-dokumen dapat berupa peta-peta, dokumen perencanaan, laporan hasil penelitian dan laporan tahunan. Disamping dokumen-dokumen tersebut dikumpulkan pula data-tada parsial yang tercatat di setiap instansi baik dalam bentuk file elektronik. Selain data-data yang bersumber dari dokumen tersebut di atas, dikumpulkan pula data-data kualitatif terkait dengan kebijakan pemerintah dan komitmen parapihak yang diperoleh melalui wawancara maupun melalui diskusi terfokus, baik secara individu maupun kelompok. Wawancara individu dilakukan terutama kepada pimpinan daerah, pimpinan instansi/SKPD terkait dan wawancara kelompok dengan teknik FGD (Focus Group Discussion). Untuk verifikasi terhadap data-data spesifik tertentu dilakukan observasi lapangan guna klarifikasi dan validasi data dengan menggunakan indikator-indikator lapangan.
Data kuantitatif dan kualitatif tersebut kemudian dideskripsikan dan diorganisasi sesuai sifat dan urgensi datanya yang selanjutnya dianalisis guna memperoleh fakta dan permasalahan yang terkait dengan hutan dan lahan gambut serta pengelolaan dan pemanfatannya.
1.6. Proses Penyusunan Dokumen
Dokumen SRAP-REDD+ Papua dilakukan melalui serangkaian pendekatan partisipatif yang dilakukan secara bertahap. Tujuan pendekatan demikian adalah agar semua stakeholders dapat berkonstribusi dalam bentuk pemikiran sehingga substansi dokumen mampu menjaring aspirasi seluruh stakeholders dan menjadi kesepahaman bersama. Harapannya bahwa dokumen SRAP-REDD+ Papua yang dihasilkan adalah milik bersama dan menjadi tanggungjawab bersama untuk mengimplementasikannya.
Tahapan proses penyusunan Dokumen SRAP-REDD+ di Papua disajikan dalam bagan alir Gambar 1.1.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 22
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Pendahuluan I-9
Tahapan proses penyusunan Dokumen SRAP-REDD+ di Papua disajikan
dalan bagan alir Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Tahapan proses penyusunan dokumen SRAP-REDD+ di Provinsi
Papua.
Mengumpulkan dan menganalisa potretsektor kehutanan dan lahan di Provinsi Papua berdasarkan data
Analisis dan sintesis masalah terkait degradasi dan deforestasi hutan dan lahan di Provinsi Papua Konsultasi/FGD di Provinsi Papua
tentang kebutuhan pengembangan strategi daerah dan rencana aksi mitigasi untuk pembangunan rendah karbon
Draft ‘0’ Dokumen SRAP REDD+ Provinsi Papua :
1. Pendahuluan 2. Maksud dan tujuan 3. Ruang lingkup 4. Pilar-pilar strategis 5. Analisis emisi dari sektor
kehutanan dan lahan 6. Rencana aksi mitigasi
Telaah dokumen dan sinkronisasi dengan STRANAS REDD+
Lokakarya Diskusi dan konsultasi Provinsi Draft ‘0’ SRAP REDD+ Provinsi Papua
Draft ‘1’ Dokumen SRAP REDD+ Provinsi Papua :
1. Pendahuluan 2. Maksud dan tujuan 3. Ruang lingkup 4. Pilar-pilar strategis 5. Analisis emisi dari sektor
kehutanan dan lahan 6. Rencana aksi mitigasi
bersama dengan skenario penurunan emisi Lokakarya Diskusi dan
konsultasi Provinsi Draft ‘1’ SRAP REDD+ Provinsi Papua FINAL DOKUMEN
SRAP REDD+ Provinsi Papua
Gambar 1.1. Tahapan proses penyusunan dokumen SRAP-REDD+ di Provinsi Papua.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 23
BAB II. KONDISI UMUM DAN PERMASALAHAN
KEHUTANAN DI PROVINSI PAPUA
2.1. Kondisi Kawasan Hutan Provinsi Papua
Kebijakan pengelolaan sumber daya hutan diarahkan untuk meningkatkan kelestarian sumber daya hutan dan kemakmuran masyarakat. Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan Papua dinilai telah memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian nasional dan telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja serta mendorong pembukaan isolasi dan pengembangan wilayah, pembangunan infrastruktur pada kawasan terisolir serta mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan kehutanan di Provinsi Papua maka salah satu aspek penentu keberhasilan yang perlu mendapat perhatian adalah tersedianya suatu rencana yang sistematis dan berkelanjutan dengan memanfaatkan segenap sumber daya tersedia yang bersifat indikatif dan antisipatif serta dapat diukur tingkat keberhasilannya dalam rangka menjawab tuntutan perkembangan baik dalam lingkungan internal maupun eksternal.
Hutan merupakan modal dasar pembangunan, mempunyai fungsi : 1) fungsi ekologis atau fungsi penyangga kehidupan, mencakup fungsi pengatur tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan iklim mikro, penghasil udara bersih, menjaga siklus makanan serta sebagai tempat pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistem; 2) fungsi ekonomi, mencakup penghasil barang dan jasa baik kayu, non kayu, maupun kepariwisataan serta jasa lingkungan lain; 3) fungsi sosial, mencakup fungsi sosio-kultural mencakup berbagai sumber kehidupan dan lapangan kerja serta kesempatan berupaya bagi sebagian masyarakat terutama yang hidup di dalam dan di sekitar hutan, kepentingan pendidikan dan penelitian, guna pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS), bahkan tempat pemujaan (religius).
Hakekat pembangunan di Provinsi Papua bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang semakin baik dan meletakkan landasan yang kokoh bagi pembangunan Papua di masa yang akan datang. Kongkritnya bahwa kesinambungan pembangunan harus dapat diwujudkan melalui program-program pembangunan yang bersifat strategis, sinergis dan berpihak kepada rakyat serta mengandung prinsip-prinsip keberlanjutan (principles of sustainability).
Ditinjau dari aspek pemanfaatan sumberdaya hutan, laju kerusakan hutan (deforestasi) dan penurunan kualitas hutan Provinsi Papua (degradasi) setiap tahun terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan manusia akan hasil hutan. Peningkatan kebutuhan manusia akan hasil hutan mendorong peningkatan kegiatan eksploitasi hutan. Pengelolaan hutan produksi di Provinsi Papua melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) telah berlangsung sejak tahun 1970an dan hingga sekarang areal hutan produksi (HP, HPT dan HPK) yang telah dibebani hak IUPHHK seluas 4.387.508 ha yang tersebar di 17 kabupaten. Areal konsesi IUPHHK ini potensial menyebabkan terjadinya degradasi hutan dan merupakan sumber emisi bila pengawasan terhadap implementasi system silvikultur dan tata kelola usaha tidak dilakukan secara intensif.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 24
NO KABUPATEN / PEMEGANG IUPHHK SK HPH / IUPHHK KETERANGAN NOMOR TGL LUAS (HA)
1 2 3 4 5 7
I KAB JAYAPURA DAN KABUPATEN SARMI
1 PT. Tunggal Yudhi Unit I (Jpr) 489/Kpts-II/95 14 Sep 95 69,400 Stagnasi sejak 2003
JUMLAH I 69,400
II KABUPATEN KEEROM
2 PT. Batasan 342/Kpts-II/97 01 Jun 97 106,643 Aktif
3 PT. Hanurata Coy. Ltd Jayapura 601/Menhut-II/2012 30 Oktober 2012 56,325 SK PERPANJANGAN IUPHHK
JUMLAH II 162,968
III KABUPATEN SARMI
4 PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II 723/Menhut-II/2011 12/20/2011 169,170 Aktif 5 PT. Bina Balantak Utama SK. 365/Menhut-II/2011 07 Juli 2011 298,710 Aktif 6 PT. Mondialindo Setya Pratama SK.466/MENHUT-II/2006 19 Sept 2006 94,800 Aktif 7 PT. Sumber Mitra Jaya Unit II SK.556/MENHUT-II/2006 22 Des 2006 52,160 Aktif 8 PT. Salaki Mandiri Sejahtera SK. 396/Menhut-II/2006 17 Juli 2006 79,130 Aktif
JUMLAH III 693,970
IV KABUPATEN SARMI DAN JAYAPURA
9 PT. Papua Hutan Lestari Makmur 334/Menhut-II/2009 15 Januari 2009 103,510 Aktif 10 PT. Sumber Mitra Jaya Unit I SK.396/MENHUT-II/2005 23 Nop 05 102,250 Aktif
JUMLAH IV 205,760
V KABUPATEN WAROPEN
11 PT. Irmasulindo Unit Serui 04/Kpts-II/2001 11 Jan 01 174,540 Aktif
JUMLAH V 174,540
VI KABUPATEN WAROPEN, PANIAI DAN MAMBERAMO RAYA
12 PT. Wapoga Mutiara Timber Unit III 169/Kpts-II/97 25 Mar 97 407,350 Aktif
JUMLAH VI 407,350
VII KABUPATEN NABIRE
13 PT. Jati Dharma Indah PI 96/Kpts-II/97 31 Jan 97 163,930 Aktif
JUMLAH VII 163,930
VIII KABUPATEN MIMIKA
14 PT. Diadyani Timber SK.292/MENHUT-II/09 18 Mei 2009 205,160 Aktif
15 PT. Alas Tirta Kencana 649/Kpts-II/95 30 Nop 95 87,500 Aktif
JUMLAH VIII 292,660
IX KABUPATEN ASMAT, YAHUKIMO DAN MAPPI
16 PT. Kayu Pusaka Bumi Makmur 70/Kpts-II/96 26 Peb 96 171,100 Stagnasi Sejak 2011
JUMLAH IX 171,100
X KABUPATEN MAPPI DAN BOVEN DIGOEL
17 PT. Mukti Artha Yoga SK.57MENHUT-II/2007 22 Peb 2007 151,690 Mengurus RKU Basis IHMB di Pusat
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 25
JUMLAH X 151,690
XI KABUPATEN BOVEN DIGOEL DAN PEG. BINTANG
18 PT. Tunggal Yudhi Unit II (Mrk) 489/Kpts-II/95 14 Sep 95 203,600 Stagnasi sejak 2002
JUMLAH XI 203,600
XII KABUPATEN BOVEN DIGOEL
19 PT. Dharmali Mahkota Timber 248/Kpts-II/94 07 Jun 94 156,800 Stagnasi 20 PT. Tunas Sawaerma/Tunas Timber Lestari SK.101/Menhut-II/2009 12 Maret 2009 214,935 Aktif 21 PT. Digul Daya Sakti Unit I 614/Kpts-II/95 Jo. 354/Kpts-II/1997 15 Nop 95 Jo. 9 Juli 1997 344,800 Pelaksanaan IHMB 22 PT. Digul Daya Sakti Unit II 614/Kpts-II/95 Jo. 354/Kpts-II/1997 15 Nop 95 Jo. 9 Juli 1997 103,200 Pelaksanaan IHMB
JUMLAH XII 819,735
XIII KABUPATEN YAHUKIMO, MAPPI & BOVEN DIGOEL
23 PT. Rimba Megah Lestari 303/Kpts-II/96 18 Jun 96 250,000 Stagnasi 2008
JUMLAH XIII 250,000
XIV KABUPATEN YAHUKIMO,ASMAT & NDUGA
24 PT. Global Partner Indonesia SK.39/Menhut-II/2009 09 Pebruari 2009 144,940 Belum Beroperasi
JUMLAH XIV 144,940
XV KABUPATEN MERAUKE DAN BOVEN DIGOEL
25 PT. Merauke Rayon Jaya SK.251/Menhut-II/0805/Kpts-II/98 Jo 1 Juli 2008 206,800 Belum Operasi
JUMLAH XV 206,800
XVI KABUPATEN MERAUKE
26 PT. Selaras Inti Semesta SK.18/Menhut-II/2009 22 Januari 2009 169,400 Aktif 27 PT. Inocin Abadi SK. 606/Menhut-II/2011 21 Oktober 2011 99,665 Aktif
JUMLAH XVII 269,065
TOTAL 4,387,508
Sumber: Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, 2012
Luas hutan Papua sesuai perhitungan terakhir adalah 31.228.696 Ha. Apabila Tata Hutan berdasarkan fungsi peruntukannya di Papua ditumpang susun (overlay) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Pembangunan (RTRWP) terhadap tutupan lahan tahun 2006 – 2011, maka akan dijumpai fakta sebagai berikut: Areal Penggunaan Lain (APL) bertambah 401.975 ha (+47,7%), Hutan Lindung bertambah 3.151.028 ha (+43.8%), Hutan Produksi berkurang 4.960.251 ha (-60%), HPK bekurang 2.847.146 ha (-43.9%), HPT bertambah 4.338.821 ha (+237.7%), KSA/KPA bertambah 312.225 ha (+4.4%). Fakta ini mengindikasikan bahwa pemerintah Papua benar-benar berkomitmen untuk melaksanakan pembangunan yang konservatif dan berwawasan lingkungan. Namun demikian sempitnya alokasi hutan untuk fungsi produksi dan hutan produksi konversi masih perlu diperdebatkan. Karena kebutuhan pembangunan yang bersumber dari hasil hutan dan lahan untuk kepentingan infrastruktur wilayah semakin hari semakin meningkat, ketersediaan areal hutan untuk produksi dan untuk dikonversi kemungkinan tidak mampu mengimbangi tuntutan peningkatan kebutuhan pembangunan sesuai dengan yang diharapkan.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 26
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Kondisi dan Umum dan Permasalahan Kehutanan di Provinsi Papua
II-4
Luas hutan Papua sesuai perhitungan terakhir adalah 31.228.696 Ha.
Apabila Tata Hutan berdasarkan fungsi peruntukannya di Papua ditumpang
susun (overlay) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Pembangunan
(RTRWP) terhadap tutupan lahan tahun 2006 – 2011, maka akan dijumpai
fakta sebagai berikut: Areal Penggunaan Lain (APL) bertambah 401.975 ha
(+47,7%), Hutan Lindung bertambah 3.151.028 ha (+43.8%), Hutan Produksi
berkurang 4.960.251 ha (-60%), HPK bekurang 2.847.146 ha (-43.9%), HPT
bertambah 4.338.821 ha (+237.7%), KSA/KPA bertambah 312.225 ha
(+4.4%). Fakta ini mengindikasikan bahwa pemerintah Papua benar-benar
berkomitmen untuk melaksanakan pembangunan yang konservatif dan
berwawasan lingkungan. Namun demikian sempitnya alokasi hutan untuk
fungsi produksi dan hutan produksi konversi masih perlu diperdebatkan.
Karena kebutuhan pembangunan yang bersumber dari hasil hutan dan lahan
untuk kepentingan infrastruktur wilayah semakin hari semakin meningkat,
ketersediaan areal hutan untuk produksi dan untuk dikonversi kemungkinan
tidak mampu mengimbangi tuntutan peningkatan kebutuhan pembangunan
sesuai dengan yang diharapkan.
Gambar 2.1. Peta usulan pola ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Provinsi Papua.
Gambar 2.1. Peta usulan pola ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua. 2.2. Deforestasi dan Degradasi Hutan di Provinsi Papua
Deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia secara umum disebabkan sistem kebijakan politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan bagi kepentingan politik dan keuntungan pribadi (FWI/ GFW, 2001).
Undang-undang Otsus Nomor 21 Tahun 2001 memberi makna yang besar guna mampu memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Implementasi Otsus juga telah memunculkan eforia berlebihan terutama dari aspek tuntutan pemekaran wilayah kabupaten/kota yang berlebihan dengan harapan untuk memperoleh keadilan dan pemerataan pembangunan. Tuntutan pemekaran akan berdampak langsung pada meningkatnya kebutuhan lahan untuk infrastruktur pembangunan yang pada akhirnya akan berimplikasi pada meningkatnya luas kawasan hutan yang akan dikonversi bagi kepentingan non hutan.
Greenpeace mencatat laju kerusakan hutan di Bumi Cenderawasih tiap tahun mencapai 300 ribu hektare (ha). Kerusakan terparah di bagian selatan Papua dan sejumlah wilayah yang memiliki perkebunan sawit raksasa. Itu data kita pada penelitian tahun 2009 dan 2010. Kerusakan hutan setelah itu bisa saja bertambah,” kata Charles Tawaru, Koordinator Greenpeace di Papua, Jumat, 10 Agustus 2012. Ia mengatakan, mega proyek Merauke Integrated Food dan Energy Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke serta aktivitas penebangan oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan, berperan besar meningkatkan deforestasi di Papua.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 27
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Kondisi dan Umum dan Permasalahan Kehutanan di Provinsi Papua
II-6
Gambar 2.2. Kondisi lahan kritis menurut tingkat kekritisan di Provinsi
Papua, 2010
Sebaran luas lahan tidak produktif di masing-masing kabupaten
menurut tingkat kekritisan lahan di Provinsi Papua seperti disajikan
pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Sebaran luas lahan kritis menurut fungsi kawasan hutan dan
tingkat kekritisan di Provinsi Papua
Keterangan : Sk = sangat kritis; K = kritis; AK = agak kritis; PK = potensial kritis Sumber : Balai Pengelola Daerah Alisan Sungai Mamberamo, 2011.
Data pada Tabel 2.2. memperlihatkan bahwa luas lahan kritis
yang berada di dalam kawasan suaka alam/pelestarian alam
(KSA/KPA) dan Hutan Lindung (HL) masing-masing 962.345 ha dan
802,025 ha. Fakta ini mengindikasikan bahwa telah terjadi kegiatan
perambahan dalam kawasan yang seharusnya dikonservasi. Kegiatan
perambahan ini terjadi selain sebagai akibat adanya pemekaran
wilayah kabupaten pada kawasan tersebut, tetapi juga diduga karena
kegiatan pengelolaan yang belum intensif. Banyak faktor yang
berperan dalam pembentukan lahan-lahan kritis tersebut
yang perlu
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
3500000
4000000
4500000
Sangat Kritis
Kritis
Agak Kritis
Potensi Kritis
SK
K
AK
PK
Jumlah
1
KSA/KPA
25,383
97,511
839,451
962,345
2
HL
39,693
412,255
349,712
365
802,025
3
HPT
5,538
29,078
35,537
1,465
71,618
4
HP
6,175
78,490
1,234,760
3,930
1,323,355
5
HPK
23,687
297,704
1,154,853
5,776
1,482,020
6
APL
2,129
53,814
244,759
33,883
334,585
102,605
968,852
3,859,072
45,419
4,975,948
No
Kawasan Hutan
Luas Lahan Kritis di Provinsi Papua (Ha)
Jumlah
Gambar 2.2. Kondisi lahan kritis menurut tingkat kekritisan di Provinsi Papua, 2010
Menurut data Statistik Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua Tahun 2010 menunjukkan bahwa angka deforestasi di dalam dan diluar kawasan hutan seluas 169.100 hektar/tahun. Selanjutnya menurut sumber yang sama bahwa lahan kritis di Provinsi Papua mencapai 4.976.051 hektar. Tingkat kekritisan kawasan hutan di Provinsi Papua sebagaimana terlihat pada histogram pada Gambar 2.2.
Sebaran luas lahan tidak produktif di masing-masing kabupaten menurut tingkat kekritisan lahan di Provinsi Papua seperti disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Sebaran luas lahan kritis menurut fungsi kawasan hutan dan tingkat kekritisan di Provinsi Papua
Keterangan : Sk = sangat kritis; K = kritis; AK = agak kritis; PK = potensial kritis Sumber : Balai Pengelola Daerah Alisan Sungai Mamberamo, 2011.
NO Kawasan Hutan Luas Luas Lahan Kritis di Provinsi Papua (Ha)
SK K AK PK Jumlah 1 KSA/KPA 25,383 97,511 839,451 962,345 2 HL 39,693 412,255 349,712 365 802,025 3 HPT 5,538 29,078 35,537 1,465 71,618 4 HP 6,175 78,490 1,234,760 3,930 1,323,355 5 HPK 23,687 297,704 1,154,853 5,776 1,482,020 6 APL 2,129 53,814 244,759 33,883 334,585 Jumlah 102,605 968,852 3,859,072 45,419 4,975,948
Data pada Tabel 2.2. memperlihatkan bahwa luas lahan kritis yang berada di dalam kawasan suaka alam/pelestarian alam (KSA/KPA) dan Hutan Lindung (HL) masing-masing 962.345 ha dan 802,025 ha. Fakta ini mengindikasikan bahwa telah terjadi kegiatan perambahan dalam kawasan yang seharusnya dikonservasi. Kegiatan perambahan ini terjadi selain sebagai akibat adanya pemekaran wilayah kabupaten pada kawasan tersebut, tetapi juga diduga karena kegiatan pengelolaan yang belum intensif. Banyak faktor yang berperan dalam pembentukan lahan-lahan kritis tersebut yang perlu diidentifikasi sehingga dapat ditentukan solusi yang tepat untuk mengatasinya.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 28
Sebaran luas lahan kritis menurut kabupaten di provinsi Papua seperti disajikan pada Tabel
NO Kabupaten/Kota Luas Lahan Kritis di Provinsi Papua (Ha)
SK K AK PK Jumlah 1 Merauke 487 29,105 2,389,672 2,419,264 2 Jayawijaya 2,478 54,951 53,818 111,247 3 Jayapura 7,408 21,729 28,904 14,224 72,265 4 Nabire 11,184 31,923 54,934 1,886 99,927 5 Yapen 1,123 8,695 5,306 15,124 6 Biak 3,391 18,123 37,918 531 59,963 7 Paniai 4,230 39,988 21,072 64,290 8 Puncak Jaya 2,327 42,303 10,123 54,753 9 Mimika 13,300 22,364 22,797 59,461 10 Boven Digoel 170 7,078 164,520 19,257 191,025 11 Mappi 306 61,601 655,205 1,973 719,085 12 Asmat 714 79,543 80,257 13 Yahukimo 15,123 141,486 15,991 202,600 14 Pegunungan Bintang 2,025 105,343 15,086 122,454 15 Tolikara 595 56,065 27,210 83,870 16 Sarmi 161 2,967 23,471 26,599 17 Keerom 129 3,708 26,165 7,466 37,468 18 Waropen 158 20,186 42,168 82 62,594 19 Supiori 48 1,477 4,571 6,096 20 Mamberamo Raya 833 16,972 89,527 107,332 21 Nduga 677 23,558 1,726 25,961 22 Lanny Jaya 194 53,130 12,054 65,378 23 Mamberano Tengah 57 26,059 13,922 40,038 24 Yalimo 584 21,512 8,587 30,683 25 Puncak 21,371 31,835 15,856 69,062 26 Dogiyai 4,220 29,871 19,685 53,776 27 Intan Jaya 8,624 56,147 8,517 73,288 28 Deiyai 821 2,439 344 3,664 29 Kota Jayapura 522 8,522 10,381 19,425 Jumlah 102,606 968,851 3,859,073 45,419 4,975,949
Tabel 2.3. Sebaran luas lahan kritis menurut kabupaten/kota dan tingkat kekritisan di Provinsi Papua.
Keterangan : Sk = sangat kritis; K = kritis; AK = agak kritis; PK = potensial kritis Sumber : Balai Pengelola Daerah Alisan Sungai Mamberamo, 2011.
2.3. Pemerintah Provinsi Papua mengambil kebijakan bahwa hingga 2011 dalam rangka mempertahankan ekosistem dan keanekaragaman hayati di Provinsi Papua, telah menetapkan kawasan konservasi yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) sebanyak 11 unit terdiri dari 7 unit CA dan ditambah dua unit Taman Nasional (TN) dengan luasan mencapai 6.211.688 ha. Rincian luas kawasan konservasi Komposisi di Provinsi Papua menurut status kawasan sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.4
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 29
No Kawasan Konservasi Luas (Ha)
1. Taman Nasional a. Lorentz 2.505.600 b. Wasur 413.810 2. Cagar Alam a. Pegunungan Cycloop 22.500 b. Pegunungan Wayland 128.220,23 c. Bupul 92.000 d. Yapen Tengah 119.000 e. Biak Utara 6.138,04 f. Pulau Supiori 41.990 g. Tanjung Wiay 4.378,70 3. Suaka Margasatwa a. Danau Bian 100.000 b. Pulau Dolok 664.627,97 c. Pulau Pombo 100 d. Pulau Savan 8.260 e. Pulau Komolom 84.000 f. Mamberamo Foja 2.018.300 g. Jayawijaya 800.00
4. Taman Wisata Alam
a. Teluk Youtefa 1.675
b. Nabire 100
Jumlah 6.211.688
Tabel 2.4. Luas kawasan konservasi di Provinsi Papua
No Kawasan Konservasi Luas Deforestasi (ha) Degradasi (ha)
1 CA Tanjung Wiay 6,646.95 11.47 1,389.00
2 CA Yapen Tengah 112,700.25 967.38 5.24
3 SM Mamberamo-Foja 1,667,820.16 8,383.15 36,090.23
4 TN Loretz 2,339,759.96 8,212.19 7,629.65
Jumlah 4,126,927.32 17,574.19 45,114.12
Tabel 2.5. Kawasan konservasi di Provinsi Papua yang mengalami deforestasi dan degradasi selama periode tahun 2006-2011.
Sumber : Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, 2011.
Berdasarkan data luas kawasan yang dikonservasi di Papua, ternyata terdapat beberapa kawasan yang telah mengalami perambahan dan pembalakan liar yang sistematis di Papua. Data kawasan konservasi di Provinsi Papua yang mengalami deforestasi dan degradasi di Provinsi Papua selama periode tahun 2006-2011 dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 30
Bentuk kerusakan hutan konservasi akibat pembalakan liar seperti terlihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Kegiatan Penebangan liar dan bentuk kerusakan hutan yang terjadi di Cagar Alam Biak Utara pada ruas jalan Biak-Sorendiweri, (Foto oleh :Alfred Antoh, Desember 2011)
“Sekilas melihat kayu-kayu gergajian yang ditemukan di sepanjang jalan tersebut memberi gambaran bahwa kayu olahan tersebut telah dikomersilkan atau sudah dipasarkan ke cukong-cukong (Pembeli Kayu secara illegal) tertentu. Pembiaran aktivitas kegiatan illegal tersebut dapat mempercepat kerusakan hutan dan kawasan Cagar Alam Biak Utara sudah barang tentu akan terdegradasi. Beberapa informasi yang diperoleh di lapangan mengindikasikan bahwa beberapa jenis kayu diangkut untuk kebutuhan infrastruktur bangunan fisik di Sorendiweri, Kabupaten Supirori. Hal ini amat sangat membahayakan eksistensi Cagar Alam Hutan Biak Utara. Apabila terjadi pembiaran seperti ini maka Cagar Alam ini hanya akan meninggalkan cerita bahwa pernah ada hutan Cagar Alam di daerah ini”. (Laporan Antoh dkk - Tim Pungumpul Data SRAP REDD+ Zona Utara, 2012).
Walaupun secara hukum dan peraturan pemerintah telah berusaha menekan laju deforetasi dan degradasi hutan, namun pada kenyataannya seperti telah diuraikan di atas bahwa kerusakan hutan masih terus terjadi pada kawasan yang di konservasi seperti Taman Nasional Wasur.
Gambar 2.4. Kerusakan Hutan Akibat Penabangan/Pembukaan Lahan di Taman Nasional Wasur (Foto : Alfred Antoh, Oktober 2012).
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Kondisi dan Umum dan Permasalahan Kehutanan di Provinsi Papua II-10 Gambar 2.4. Kerusakan Hutan Akibat Penabangan/Pembukaan Lahan di Taman
Nasional Wasur (Foto : Alfred Antoh, Oktober 2012).
Potret kerusakan hutan akibat penebangan liar dan perambahan hutan seperti di atas di Papua akan terus terjadi untuk berbagai suplai kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat yang memanfaatkan hutan dan lahan. Teladan: masyarakat mengambil kayu dan juga menjadikan kawasan yang telah ditetapkan untuk kawasan konservasi sebagai areal berusaha tani dan pembukaan areal permukiman baru. Sebagian areal hutan juga digunakan untuk pembangunan fisik baik gedung, bangunan sekolah, jalan dan jembatan.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+