• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Konformitas. lakunya agar sesuai dengan norma sosial. Menurut Taylor et al (2009),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Konformitas. lakunya agar sesuai dengan norma sosial. Menurut Taylor et al (2009),"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

13

A. Konformitas 1. Pengertian Konformitas

Baron dan Byrne (2005) mendefinisikan konformitas sebagai suatu bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial. Menurut Taylor et al (2009), konformitas merupakan sikap sukarela sebagai tendensi keyakinan yang ditunjukkan melalui perilaku dengan tujuan penyesuaian diri terhadap individu lain. Sementara menurut Sarwono (2005), konformitas merupakan perilaku menyamakan diri dengan orang lain yang biasanya cenderung didorong oleh keinginan sendiri.

Konformitas menurut Shepard (Maryati, 2006) merupakan bentuk interaksi yang di dalamnya seseorang berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat di mana ia tinggal. Sedang menurut Sears et al (1991), definisi dari konformitas adalah perilaku tertentu yang ditampilkan oleh individu dikarenakan ada tuntutan dan individu lain juga menampilkan perilaku tersebut.

Konformitas berarti proses penyesuaian diri dengan masyarakat dengan cara menaati norma dan nila-nilai masyarakat (Maryati, 2006). Menurut Kamus Induk (Al-Barry, 2003) istilah ilmiah konformitas adalah bertingkah laku sesuai dengan norma-norma atau aturan yang berlaku;

(2)

kesesuaian sikap dan perilaku dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa konformitas merupakan sebuah penyesuaian terhadap sikap, pendapat, atau persepsi seorang individu yang ditunjukkan dengan perilaku terhadap perilaku individu atau sekelompok individu lain yang berada di sekitarnya.

2. Aspek-Aspek Konformitas

Taylor, dkk (2009), dalam bukunya mengemukakan bahwa adanya aspek-aspek dalam konformitas, yaitu informational influence, yaitu mengubah perilaku untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan karena adanya informasi berguna yang diberikan individu dengan kecenderungan untuk berbuat benar serta normative influence, yaitu mengubah perilaku untuk menyesuaikan diri agar diterima oleh individu lainya dan tendensi untuk disukai. Namun, secara eksplisit Sears, et al (1991) mengemukakan bahwa konformitas ditandai dengan adanya tiga hal, yaitu :

a. Kekompakan; semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka,maka akan semakin kompak kelompok tersebut.

b. Kesepakatan; pendapat yang menjadi acuan kelompok yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat sehingga individu harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat kelompok.

(3)

c. Ketaatan; tekanan sosial yang membentuk individu bersedia melakukan perilaku tertentu meskipun sebenarnya tidak ingin hal ini berkaitan juga dengan informasi yang persuasif serta adanya punishment dan reward. Aspek-aspek yang mempengaruhi konformitas dapat bervariasi. Hal ini berkaitan dengan ahli yang memaparkan. Sedangkan Sears et al (1991) memaparkan bahwa ada 3 aspek yang mempengaruhi konformitas yaitu kekompakan, kesepakatan dan ketaatan. Ketiganya memiliki peran kuat pada individu untuk berlaku konform pada sesama, sebab bermula dari kekompakan yang dimiliki maka terbentuklah kesepakatan-kesepakatan atas pedoman atau tata cara yang harus dilaksanakan individu sebagai anggota kelompok itu sendiri dan mau tidak mau atas tekanan yang ada maka individu akan melakukan perilaku yang serupa dengan anggot-anggot alainnya.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konformitas

Menurut beberapa ahli, konformitas dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya yaitu :

a. Budaya. Dari beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa individu yang tinggal di sebuah negara dengan budaya kolektifis memiliki tingkat individualitas yang rendah dan cenderung hidup berkelompok dan berorientasi pada nilai kelompok. Sebagai anggota maupun ketua dalam kelompok tertentu individu cenderung akan memiliki tendensi untuk menyesuaikan sikap dan perilaku agar sesuai dengan norma dan nilai yang dianut kelompok tersebut (Myers, 2014).

(4)

b. Kepribadian. Tindakan individu tidak hanya tergantung kepada bagaimana situasi saat itu melainkan dipengaruhi juga oleh kepribadian dan suasana hati (Myers, 2014).

c. Peran sosial. Individu cenderung menyamakan diri dengan norma-norma budaya yang ada dalam masyarakatnya sebagai bukti komitmen dalam berperan menyesuaikan lingkungan sekitarnya agar memiliki kesamaan dengan mayoritas kelompok (Myers, 2014).

d. Pembalikan peran. Pembalikan peran biasanya terjadi pada para imigran yang dengan sadar memainkan peran baru dalam upaya penyesuaian atas lingkungan baru dengan norma dan nilai yang relatif berbeda dari yang dimiliki sebelumnya dan meskipun bertentangan (Myers, 2014).

Dari penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya dapat diketahuhi bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas sangatlah beragam yaitu, budaya, kepribadian, peran sosial serta pembalikan peran. Masing-masing dari faktor ini tentu memiliki peran dalam menyumbang konformitas pada diri individu meskipun tidak tersebar secara rata. Hal ini terkait dengan daerah individu bertempat tinggal serta faktor-faktor lainnya yang memungkinkan mendominasi seperti budaya dan lain-lain.

B. Nilai Kebudayaan Jawa 1. Pengertian Nilai Kebudayaan Jawa

Nilai adalah sikap yang merefleksikan prinsip, standar, atau kualitas yang dianggap oleh individu sebagai sesuatu yang paling diharapkan atau

(5)

tepat dan merupakan pandangan yang mapan bahwa perilaku spesifik atau tujuan lebih disukai ketimbang perilaku atau tujuan lain (Shiraev & Levy, 2012). Konsep nilai menurut Sartini (2009), berfungsi untuk menggambarkan budaya yang membuat masyarakatnya rekat dalam kesatuan aktivitas berupa anjuran, larangan, pedoman untuk bertindak yang patut dipertahankan karena bermuatan positif dalam menentukan sikap hidup.

Kata budaya menurut pembendaharaan bahasa Jawa berasal dari kata budi dan daya. Budi yang mengandung arti akal, tabiat, kebaikan, daya upaya, kecerdikan. Sedangkan Daya yaitu kekuatan, pengaruh dan cara. Sehingga setelah kedua kata tersebut dipadatkan memiliki makna kekuatan batin dalam daya upayanya menuju kebaikan atau kesadaran batin menuju kebaikan (Herusatoto, 1984).

Makna kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti budi atau akal berupa cipta, rasa dan karsa. Kebudayaan merupakan keseluruhan dari hasil kelakuan manusia atas cipta, karsa dan rasa, yang teratur oleh tata kelakuan dan tersusun dalam kehidupan masyarakat yang didapatkan dengan cara belajar (Koentjaraningrat, 1990). Kebudayaan adalah seluruh tata cara kehidupan yang berasal dari masyarakat dan dianggap paling tinggi dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja (Siregar, 2002).

Menurut Koentjaraningrat (Hariyono, 1993), Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia

(6)

dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar yang dapat dibedakan dalam tiga bentuk yaitu, (1) sistem budaya : yaitu kompleks ide-ide yang menjadi orientasi manusia dalam menghadapi masalah kehidupan; (2) sistem sosial : tindakan berpola dari sekelompok masyarakat (habit of doing); (3) kebudayaan fisik : keseluruhan hasil karya masusia dalam kelompok masyarakat.

Dari definisi kebudayaan yang telah dikemukakan oleh para ahli dapat dikatakan bahwa kebudayaan merujuk pada berbagai aspek kehidupan yaitu cara-cara berlaku, keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu dan dianggap sebagai pedoman dalam melakukan segala aktivitas hidup sehari-hari.

Nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikrian sebagian besar warga sebagai anggota masyarakat yang penting dalam kehidupannya sebagai suatu pedoman yang member arah dan orientasi kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1990). Kluckhohn mengungkapkan bahwa nilai budaya adalah konsepsi umum yang terorganisasi, memengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan hal-hal yang diinginkan dan tidak yang mungkin berkaitan dengan hubungan indiviu dengan individu lain maupun dengan lingkungan (Sartini, 2009).

Secara antropologi budaya dapat dikatakan bahwa yang disebut suku bangsa Jawa adalah orang-orang yang turun-temurun menggunakan bahasa

(7)

Jawa dengan berbagai ragam dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Tanah Jawa adalah tanah yang didiami oleh suku bangsa Jawa. Suku bangsa Jawa asli atau pribumi, hidup di daerah pedalaman yaitu daerah-daerah yang secara kolektip sering disebut daerah Kejawen meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Yogyakarta dan Surakarta adalah dua daerah bekas kerajaan Mataram yang merupakan pusat dari kebudayaan Jawa. Pada kedua daerah ini terletak dua kerajaan terakhir dari pemerintahan raja-raja Jawa (Herusatoto, 1984).

Nilai Kebudayaan Jawa yang dimaksud disini adalah kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Jawa yang hidup di daerah Jawa Tengah bagian selatan dengan sentranya pada keraton Yogyakarta dan juga Surakarta (Hariyono, 1993). Adapun Koentjaraningrat (1984) mengungkapkan bahwa nilai budaya jawa adalah konsep mengenai apa yang ada di dalam alam pikiran dan dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup yang berfungsi sebagai pedoman hidup masyarakat.

Nilai Kebudayan Jawa menurut Idrus (2004) merupakan suatu patokan perilaku yang tumbuh dan berkembangg disekitar individu, yang diterima dengan sadar ataupun tidak yang kemudian akan direfleksikan dalam tingkah laku sehari-hari. Adapun berikut merupakan butir-butir nilai kebudayaan Jawa itu (Suharto dan Rukmana, 1991) :

(8)

a. Adigang Adigung Adiguna : berisi nasihat untuk tidak berwatak angkuh atau sombong seperti watak binatang yang tersirat dalam ungkapan ini. Adigang adalah gambaran watak kijang yang menyombongkan kekauatan larinya. Adigung merupakan watak kesombongan binatang gajah yang merasa menang daripada binatang lainnya karena ukuran tubuh dan kekuatan yang dimilki. Adiguna merupakan gambaran kesombongan ular atas bisa/ racun mematikan yang dimilikinya. Secara harafiah nasihat ini menjelaskan bahwa tidak sepatutnya individu merugikan orang lain dengan kekuatan yang dimiliki dan terlebih menyombongkan kemampuan yang dimiliki mengingat bahwa individu memerlukan individu lain dalam kehidupannya.

b. Aja Cedhak Kebo Gupak : menjelaskan mengenai pedoman pembawaan diri dalam pergaulan yang pas degan memiliki pertimbangan yang hati-hati agar tidak terjerumus dalam lingkungan yang tidak baik dan membawa diri menjadi negatif pula.

c. Aja Metani Alaning Liyan : hidup bermasyarakat harmonis dengan tidak mencari-cari kesalahan orang lain.

d. Aja Ngege Mangsa (mendahului waktu): memiliki makna bahwa dalam upaya setiap individu mencapai cita-cita atau keinginan tertentu, individu harus mengendalikan diri untuk tidak menghalalkan segala cara dalam proses pencapaiannya.

(9)

e. Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisa Rumangsa : Hendaknya individu hidup dengan memiliki rendah hati bukan sebaliknya tinggi hati dan tidak dibenarkan untuk bersikap unjuk gigi.

f. Ajining Dhiri Ana Lathi, Ajining Raga Ana Busana : pentingnya etika dan sopan santun termasuk dalam penampilan dalam berperilaku. Penampilan perilaku berupa ucapan, kata-kata, sedangkan tampila fisik berupa pakaian yang dikenakannya. Orang Jawa harus berhati-hati dengan lisannya (bicara, kata), dan harus mampu untuk menempatkan busana sesuai dengan kepentingan0kepentingan saat itu.

g. Ana Catur Mungkur : individu harus menghindarkan diri dari membicarakan kelemahan-kelemahan yang dimiliki individu lain dengan tujuan menjatuhkan.

h. Anak Molah Bapak Kepradhah : Seorang anak harus selalu menjaga sikap dan perilakunya. Hal ini berkaitan dengan jika seorang anak melakukan perbuatan buruk maka orangtua yang akan menereima hukuman (termasuk hukuman normatif), aib, beban penderitaan, dan lain sebagainya. Singkatnya ungkapan ini merujuk pada apabila seorang anak berperilaku buruk maka mau-tidak mau orangtua yang akan menanggung akibatnya.

i. Berbudi Bawa Leksana : individu harus konsekuen terhadap ucapan dan tindakannya. Keceenderung bersikap cermat dan hati-hati sebelum individu menyampaikan atau memutuskan suatu masalah yang menunutt kembali pad adirinya untuk bertanggung jawab.

(10)

j. Cegah Dhahar Lawan Guling : mengurangi makan dan tidur. Dalam kehidupan orang Jawa makan dan tidur merupakan kenikmatan hidup dan hal ini membuat individu lupa akan tujuan hidup, perjuangan hidup dan kewajiban suci yang lain. Untuk itu individu wajib mengurangi kenikmatan hidup dengan mengontrol diri agar tidak tergoda oleh nafsu-nafsu buruk.

k. Eling Nalika Lara Lapa : tidak ada keberhasilan yang datang secara tiba-tiba, melainkan melalui perjuangan dan pengorbanan atau waktu perjuangan (lara lapa). Dalam mencapai cita-cita individu harus melakukan perjuangan secar fisik dan psikis untuk mencapai keberhasilan yang maksimal. Dlam kehidupan orang Jawa hal ini biasa disebut dengan prihatin. Orang Jawa yakin bahwa keberhasilan harus dibayar dahulu dengan keprihatinan yang mendalam secara perilaku dan juga batin.

l. Eling Sangkan Paraning Dumadi (ingat akan asal dan tujuan hidup) : hendaknya individu selalu ingat pada asal mulanya dan akhir dari perjalanan hidupnya. Hal ini berkaitan erat dengan dasar keyakinan urip ana sing nguripake (hidup ada yang menghidupkan), urip mung mampir ngombe (hidup hanya obarat numpang minum/sebentar) yang bermakna hidup di dunia ini sementara oleh karena itu orang Jawa harus senantiasa menyadari dan mengakui bahwa sebagai manusia, indidvidu berasal dari Tuhan dan akan kembali berpulang pada-Nya. Sehingga alangkah baik apabila individu menghindari perbuatan yang tidak semestinya dari

(11)

ajaran-Nya dan memanfaatkan waktu yang terbatas untuk berperilaku baik demi kehidupan akhirat yang lebih baik.

m. Jujur Bakal Mujur : individu yang mampu berbuat jujur akan memiliki dua keuntungan, yaitu ketenangan hati dan tidak sumelang (khawatir) atas dosa yang harus diepertanggung-jawabkan pada hari esok.

n. Ngundhuh wohing pakarti : ungkapan ini mengandung arti memetik buah perbuatan. Hal ini merujuk pada keyakinan adanya timbal balik perbuatan yang dilakukan individu. Jika individu berbuat baik maka segala hal baik juga akan kembali datang padany, dan begitupun sebaliknya. Sehingga dengan demikian individu dituntut untuk senantiasa berbuat kebaikan dsalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari.

o. Kalah Cacak Menang Cacak : gagal atau berhasil suatu pekerjaan itu perlu dicoba, untuk itu tidak dibenarkan individu untuk psimis apalagi takut berusaha. Karena takut berusaha dianggap orang Jawa sebagai kalah sebelum berperang dan hal ini sangat memalukan.

p. Lambah Manah Lan Andhap Asor : ungkapan ini terkait dengan sikap hidup orang Jawa dalam menjaga hubungan sosial dengan orang lain. Baik lambah manah dan andhap asor sesungguhnya memiliki arti yang sama, yaitu rendah hati.

q. Madu Balung Tanpa Isi : dalam masyarakat Jawa, kerukunan adalah bagian dari kehiduapan yang wajib diwujudkan dan dijaga. Pandangan kerukunan membawa konsekuensi pada cara bersikap dan berperilaku

(12)

orang Jawa dalam menjaga kerukunan dengan melepas kepentingan-kepentingan pribadi. Dalam hal ini, individu yang tidak berperilaku demikian demi menjaga kerukunan dipandang sebagai orang yang aneh (tidak wajar) atau dalam bahasa Jawa disebut wong ora lumrah (orang yang berperilaku tidak pantas). Untuk itu orang Jawa wajib menyamakan perilaku guna mencapai tujuan bersama.

r. Mikul Dhuwur Mendhem Jero : berasal dari kata mikul dhuwur (memikul tinggi) yang secar aharafian bermakna menghargai orang lain setinggi-tingginya dan mendhem jero (mengubur dalam-dalam), yang bermakna mengahragai sebaik-baiknya keburukan dengan tidak mengulasnya. Ungkapan ini mmerupakan nasihat untuk menghargai orang-tua tau orang-orang yang dituakan. Hal ini merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang anak ataupun genrasi yang lebih muda.

s. Narima Ing Pandum : harus senantiasa bahwa semua yang berada di dunia ini adalah sementara dan semunya adalah milik Allah. Sehingga individu harus memiliki kesadaran bahwa Allah telah menggariskan segala seuatu untuk kehidupan individu secara sebaik-baiknya bukan sesuai dengan keinginan melainkan apa yang terbaik dan paling dibutuhkan dan untuk itu setiap orang memiliki jatah yang berbeda. t. Rukun Agawe Santosa : ungkapan ini berkaitan dengan ungkapan crah

agawawe bubrah. Arti dari ungkapan ini yaitu rukun membuat kehiduapn sentosa sedangkan pertengkaran dan konflik membuat

(13)

suasana rusak atau hancur. Sehingga dengan demikian individu harus senantiasa menjaga keharmonisan dengan sesama.

u. Tepa Slira (tenggang rasa) : memiliki makna hampir sama dengan paribahasa Indonesia, yaitu ukur baju sendiri. Tepa slira merupakan etika dalam pergaulan sosial yang menitik beratkan pada kesetaraan, bahwa semua individu adalah sama dan untuk itu harus saling menghargai guna menjaga ketentraman hidu bersama.

v. Urip Mung Sadrema Nglakoni : ungkapan ini memilik arti hidup hanya sekedar menjalani. Yang dimaksudkan dalam ungkpan ini adalah bahwa individu harus berlapang dada dalam menghadapi segala kerumitan hidup sebab hal itu merupakan pepesthen (takdir atau kehendak) Allah. Bahwa kerumitan tersebut hanyalah ujian kehidupan yang harus dilalui guna menjadi pribadi yang lebih baik, untuk itu dlam menghdapainya indiviu harus narima (menerima secara ikhlas).

w. Gusti Ora Sare (Allah tidak tidur) : merupakan dorongan individu untuk senantiasa tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dari norma-norma kebaikan (nalisir saka bebener). Hal ini merujuk pada kenyataan bahwa Allah tidak pernah tidur dan mengawasi setiap perilaku individu.

Dari pernjelasan diatas dapat diketahui cukup jelas mengenai gambaran butir-butir nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki orang Jawa sebagai pedoman menjalani kehidupan sehari-hari. Kebudayaan jawa yang hidup di kota-kota Yogyakarta dan Surakarta dan Solo merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di kraton. Dengan demikian, dapat

(14)

disimpulkan dari keseluruhan bahwa nilai kebudayaan jawa merupakan pedoman dari hasil belajar yang diyakini individu sebagai anggota masyarakat etnis Jawa dalam bertindak, berlaku dan berhubungan dengan lingkungan sekitar di kehidupan keseharian.

2. Aspek-aspek Nilai Kebudayaan Jawa

Aspek-aspek yang meliputi nilai kebudayaan Jawa menurut Suharto & Rukmana (1991), yaitu :

a. Nilai diri, yaitu orang Jawa harus bersikap andhap asor dalam artian kerendahan hati. Sikap hormat yang ditunjukkan individu terhadap individu lain dengn cara berlomba untuk saling mengalah dan menunjukkan secara personal bahwa kedudukan yang dimiliki lebih rendah. Nilai diri dalam kebudayaan Jawa meliputi aja cedhak kebo gupak; aja ngege mangsa; ajining dhiri ana lathi, ajining raga ana busana; ana catur mungkur; berbudi bawa leksana; cegah dhahar lawan guling; eling nalika lara lapa; jujur bakal mujur; ngundhuh wohing pakarti; kalah cacak menang cacak.

b. Nilai hubungan dengan sesama, yaitu prinsisp kerukunan dengang tujuan mempertahankan masayarakat dalam keadaan harmonis. Dapat diartikan juga sebagai keadaan selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertntgn, bersatu dalam maksud saling membantu. Beberapa butir-butir mengenai nilai hubungan sesama, meliputi ojo dumeh (jangan mentang-mentang atau sok dengan keluhuran, kekuatan dan kepandaian yang dimiliki), ojo meri

(15)

marang liyan (jangan iri terhadap apa yang telah dimiliki oleh orang lain), ojo mitunani liyan (jangan merugikan orang lain sebagaimana berbuat tidak baik dan memperlakukan semena-mena), dan mikul dhuwur mendhem jero (tidak membicarakan kekurangan yang dimiliki oleh keluarga terlebih orangtua dan senantiasa membicarakan kebaikannya). Secara garis besar nilai hubungan dengan sesama menunjukkan bahwa sebagai orang jawa sebaiknya menjaga perasaan individu lain sebagaimana kita tidak ingin dilukai sehingga akan terjalin tali silahturahmi yang baik dengan senantiasa mengingat kebaikan-kebaikannya. Adapun nilai hubungan dengan sesama dalam kebudayaan Jawa meliputi adigang adigung adiguna; aja metani alaning liya; aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa; anak molah bapak kepradhah; lambah manah lan andhap asor; madu balung tanpa isi; mikul dhuwur mendhem jero; rukun agawe santosa; tepa slira.

c. Nilai hubungan dengan Tuhan, yaitu senantiasa mengingat kepada Tuhan (ojo lali saben ari eling mareng Pangeranira) dengan cara terus mengabdi sehingga mampu narima dan rela. Mengabdi dengan cara-cara yang atas keyakinan masing-masing, dengan begitu jika dihadapakan dengan keadaan kecewa, kesulitan maka akan senantiasa mampu berikhtiar sehingga mampu memandang nasib buruk sebagai hal positif yang memiliki hikmah dibali semuan permasalahan yang terjadi. Dapun beberapa butir nilai hubungan

(16)

dengan Tuhan dalam kebudayaan Jawa, yaitu eling sangkan paraning dumadi; narima ing pandum; urip mung sadrema nglakoni; gusti ora sare.

Dari pemaparan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa nilai kebudayaan Jawa memiliki tiga aspek utama yaitu nilai hubungan dengan diri, nilai hubungan dengan sesama, serta nilai hubungan dengan Tuhan.

C. Remaja

Remaja berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Istilah adolescense sesungguhnya memiliki cakupan arti yang cukup luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1991). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1991) yang mengutarakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa. Usia dimana individu tidak merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama ataupun sejajar. Memasuki masyarakat dewasa ini mengandung banyak aspek afektif.

Masa remaja disebut juga sebagai masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual. Pada periode ini yang sangan menonjol adalah kesadaran mendealam menganai diri sendiri(Partowisastro, 1983). Hal ini berkaitan dengan

(17)

meyakini kemauan, potensi dan cita-cita. Dengan kesadaran tersebut remaja berusaha menentukan jalan hidupnya dan mulai mencari nilai-nilai teretentu seperti kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan, keindahan dan sebagainya (Partowisastro, 1983).

Seringkali kasus-kasus dilakukan oleh remaja disebabkan adanya friksi atau konflik-konflik dalam diri remaja menimbulkan masalah pemberontakan karena belum adanya kestabilan secara fisik maupun psikis. Hal ini berkaitan juga dengan keadaan lingkungan masyarakat di sekitar remaja. Pada usia ini remaja memiliki peran yang harus dijalankan di masyarakat, seperti mencapai posisi yang diterima oleh masyarakat, mengembangkan hati nurani, tanggung jawab, moralitas, dan nilai-nilai yang sesuai dengan lingkungan dan kebudayaan. Remaja pada usia ini sangat membutuhkan peer attachment dengan teman sebayanya dalam upaya penemuan jati diri dan pemahaman-pemahaman tentang nilai dan norma. Namun sayangnya nilai-nilai yang dominan dalam budaya anak muda mengarah pada banyak hal tetapi bukan kebudayaan ataupun akademik. Hal ini berkaitan dengan masa topan-badai (strum un drang), yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak akibat pertentangan serta pergeseran nilai-nilai (Sarwono, 2006). Dengan demikian peneliti memutuskan untuk memilih subjek dengan rentang usia tesebut karena memiliki kesesuaian terhadap kriteria yang akan diteliti terkait perubahan sikap dan perilaku akibat adanya pengaruh lingkungan yang lebih dominan dan dianggap sebagai tekanan, dalam hal ini remaja belum memiliki konsistensi dalam bersikap sehingga meskipun telah tertanam nilai kebudayaan Jawa sejak kecil sebagai nilai primer namun

(18)

dimungkinkan akan menjadi nilai sekunder bila terkait dengan teman sebaya sebab dapat dipastikan bahwa subjek dengan kriteria tersebut belum memiliki kematangan dari segi kognitif, moral, fisik maupun psikis sehingga mampu mewakili penelitian.

D. Hubungan Antara Konformitas dan Nilai Kebudayaan Jawa Pada dasarnya nilai-nilai kebudayaan memiliki pengaruh kepada seseorang dalam mengubah sikap dan perilaku sebagai imbas dari tekanan lingkungan sosial agar sesuai dengan orang lain. Hal ini menjadi potensi pendorong individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya beserta segala sesuatu yang ada di dalam lingkungannya, yakni manusia, hewan, binatang, benda dan konsep (Koentjaraningrat, 1990).

Adapun nilai-nilai kebudayaan Jawa dari aspek nilai hubungan dengan sesama juga turut menyumbang alasan individu Jawa konform terhadap individu atau sekelompok individu lainnya, meliputi : (1) adigang adigung adiguna : berisi nasihat untuk tidak berwatak angkuh atau sombong seperti watak binatang yang tersirat dalam ungkapan ini. Adigang adalah gambaran watak kijang yang menyombongkan kekauatan larinya. Adigung merupakan watak kesombongan binatang gajah yang merasa menang daripada binatang lainnya karena ukuran tubuh dan kekuatan yang dimilki. Adiguna merupakan gambaran kesombongan ular atas bisa/ racun mematikan yang dimilikinya. Secara harafiah nasihat ini menjelaskan bahwa tidak sepatutnya individu merugikan orang lain dengan kekuatan yang dimiliki dan terlebih menyombongkan kemampuan yang dimiliki

(19)

mengingat bahwa individu memerlukan individu lain dalam kehidupannya; (2) aja metani alaning liyan : hidup bermasyarakat harmonis dengan tidak mencari-cari kesalahan orang lain; (3) aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa : hendaknya individu hidup dengan memiliki rendah hati bukan sebaliknya tinggi hati dan tidak dibenarkan untuk bersikap unjuk gigi agar tidak terjadi konflik; (4) lambah manah lan andhap asor : ungkapan ini terkait dengan sikap hidup orang Jawa dalam menjaga hubungan sosial dengan orang lain dengan cara rendah hati; (5) madu balung tanpa isi : dalam masyarakat Jawa, kerukunan adalah bagian dari kehiduapan yang wajib diwujudkan dan dijaga. Pandangan kerukunan membawa konsekuensi pada cara bersikap dan berperilaku orang Jawa dalam menjaga kerukunan dengan melepas kepentingan-kepentingan pribadi (6) mikul dhuwur mendhem jero : yang bermakna mengahragai sebaik-baiknya keburukan dengan tidak mengulasnya. Ungkapan ini mmerupakan nasihat untuk menghargai orang-tua tau orang-orang yang diorang-tuakan; (7) rukun agawe santosa : arti dari ungkapan ini yaitu rukun membuat kehiduapn sentosa sedangkan pertengkaran dan konflik membuat suasana rusak atau hancur. Sehingga dengan demikian individu harus senantiasa menjaga keharmonisan dengan sesama sehingga terwujud kesatuan yang kuat; (8) tepa slira (tenggang rasa) : merupakan etika dalam pergaulan sosial yang menitik beratkan pada kesetaraan, bahwa semua individu adalah sama dan untuk itu harus saling menghargai guna menjaga ketentraman hidup bersama.

Dari nilai-nilai budaya Jawa yang mengacu pada aspek nilai hubungan dengan sesama dapat diketahui bahwa kehidupan orang Jawa berorientasi pada kerukunan dengang tujuan mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis

(20)

yang dalam kata lain masing-masing individu dalam kelompok masyarakat akan senantiasa berusaha menyetarakan sikap untuk saling menghormati, menghargai, menjaga perasaan individu lain agar tidak terjadi konflik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa individu etnis Jawa akan seantiasa konform guna mencapai tujuan bersama, yakni kehidupan masyarakat yang harmonis melalui aspek nilai hubungan sesama.

Suatu kelompok studi yang terdiri dari sarjana ilmu sosial Harvard yaitu Talcott Parson, E. Shils, R. Merton, C. Kluckhohn dan H. A. Murray (Koentjaraningrat, 1990) dalam memandang kebudayaan sebagai tindakan manusia yang berpola. Kebudayaan yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia menyangkut tindakan-tindakan dan tingkah laku berinteraksi antar-individu dalam rangka kehidupan masyarakat.

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Bond dan Smith (1996) mengungkapkan bahwa meski didapati teori Asch tidak terlalu signifikan dalam menjelaskan hubungan antara konformitas dan budaya namun didapati bahwa negara di daerah timur terutama Asia termasuk Indonesia yang memiliki sikap kolektivitas tinggi memang cenderung konform dalam bersikap dan berperilaku terhadap individu maupun kelompok lain. Hal ini berkaitan dengan individu kolektivis yang memiliki kecenderungan untuk mengorientasikan nilai kelompok sebagai pedoman dalam berperilaku. Sehingga negara dengan budaya kolektivis memang cenderung memiliki tingkat konformitas lebih tinggi dibandingkan dengan negara individualistik.

(21)

Kesimpulannya, hasil penelitian telah menunjukkan bahwa nilai-nilai kebudayaan yang terkandung di sebuah negara merupakan faktor penting untuk individu melakukan konformitas. Dari hal ini dapat dijelaskan bahwa tendensi perubahan keyakinan dalam berperilaku berkaitan cukup erat dengan nilai-nilai kebudayaan yang di dalamnya mengandung pedoman hidup bagi masing-masing individu kolektivis.

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara nilai kebudayaan Jawa dan konformitas yaitu semakin tinggi nilai kebudayaan Jawa maka semakin tinggi pula konformitas pada siswa SMP di Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan mekanisme distribusi dan proporsi bagi Apabila lokasi REDD+ berada dalam kawasan hutan, hasil untuk pungutan atas sertifikat REDD yang maka pengelola memiliki

Data-data yang mendukung diagnosa ini pasien menyatakan baru bisa tidur setelah jam 10-12 malam, sering menguap, mata agak merah.Tujuan kebutuhan istirahat tidur klien terpenuhi

Input yang digunakan pada program analisa biaya dalam pengambilan keputusan beli-sewa backhoe adalah untuk database program, perhitungan biaya kepemilikan,

Dalam hal ini pelatih sangat berperan penting, maka dari itu peneliti berusaha untuk merubah pandangan beberapa pelatih bahwa komponen biomotor khususnya

Siklus II ini dilakukan oleh peneliti, jika pada siklus I lebih dari 40% siswa tidak dapat mencapai KKM ( Kriteria Ketuntasan Minimal ) matematika yaitu 70

Dalam Sistem PLTS-PV, baterai biasanya digunakan untuk menyimpan energi yang dihasilkan oleh modul PV pada siang hari yang kemudian digunakan untuk memasok listrik yang

Berdasarkan survei yang dilakukan perusahaan pada tahun 2014 terhadap pelayanan instalasi rawat inap, setiap pasien rawat inap selalu memberikan keluhan terhadap

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kepatuhan hand hygiene perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial di bangsal Dahlia RSUD Wonosari Yogyakarta